Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Demam thypoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemis di Asia, Afrika,
Amerika latin, Karibia, Oceania dan jarang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa.
Menurut data WHO, terdapat 16 juta hingga 30 juta kasus thypoid di seluruh dunia
dan diperkirakan sekitar 500,000 orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit
ini. Asia menempati urutan tertinggi pada kasus thypoid ini, dan terdapat 13 juta
kasus dengan 400,000 kematian setiap tahunnya.
Penyakit typhus abdominallis sangat cepat penularanya yaitu melalui kontak
dengan seseorang yang menderita penyakit typhus, kurangnya kebersihan pada
minuman dan makanan, susu dan tempat susu yang kurang kebersihannya menjadi
tempat untuk pembiakan bakteri salmonella, pembuangan kotoran yang tak
memenuhi syarat dan kondisi saniter yang tidak sehat menjadi faktor terbesar
dalam penyebaran penyakit typhus.
Dalam masyarakat, penyakit ini dikenal dengan nama thypus, tetapi didalam
dunia kedokteran disebut dengan Tyfoid fever atau thypus abdominalis, karena
pada umumnya kuman menyerang usus, maka usus bisa jadi luka dan
menyebabkan pendarahan serta bisa mengakibatkan kebocoran usus.
Untuk itu kami menyusun makalah ini dengan judul “Asuhan Keperawatan
dengan Demam Thypoid” dengan tujuan agar mahasiswa memahami dan
mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan demam hypoid.

B. TUJUAN
1. Tujuan umum :
Mahasiswa dapat mengetahui dan mencegah terjadinya demam thypoid serta
mengimplementasikan asuhan keperawatan demam thypoid di lapangan.

1
2. Tujuan khusus :
a. Mengetahui konsep medik dan asuhan keperawatan pada penyakit demam
thypoid.
b. Mampu mengaplikasikan tindakan keperawatan sesuai konsep dan sesuai
indikasi klien.

C. MANFAAT PENULISAN
1. Mendapatkan pengetahuan tentang penyakit demam thypoid
2. Mendapatkan pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan
demam thypoid.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Demam typhoid adalah suatu penyakit infeksi oleh bakteri Salmonella typhii
dan bersifat endemik yang termasuk dalam penyakit menular (Cahyono, 2010).
Demam typhoid atau sering disebut dengan tifus abdominalis adalah penyakit
infeksi akut pada saluran pencernaan yang berpotensi menjadi penyakit multi
sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhi (Muttaqin, A & Kumala, S. 2011)
Demam typhoid atau Typhoid Fever ialah suatu sindrom sistemik terutama
disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam typhoid merupakan jenis terbanyak dari
salmonelosis.Jenis lain dari demam enterik adalah demam paratifoid yang
disebabkan oleh S. paratyphi A, S. schottmuelleri (semula S. paratyphi B), dan S.
hirschfeldii (semula S. paratyphi C).Demam Typhoid memperlihatkan gejala lebih
berat dibandingkan demam enterik yang lain (Widagdo, 2011).

B. Etiologi
Menurut Widagdo (2011), penyebab dari demam typhoid adalah salmonella
thypoid, termasuk dalam genus salmonella yang tergolong dalam famili
enterobacteriaceae. Salmonela bersifat bergerak, berbentuk batang, tidak
membentuk spora, tidak berkapsul, gram (-). Tahan terhadap berbagai bahan
kimia, tahan beberapa hari/ minggu pada suhu kamar, bahan limbah, bahan
makanan kering, bahan farmasi dan tinja. Salmonela mati pada suhu 54.4º C dalam
1 jam, atau 60º C dalam 15 menit. Salmonela mempunyai antigen O (stomatik),
adalah komponen dinding sel dari lipopolisakarida yang stabil pada panas, dan anti
gen H (flagelum) adalah protein yang labil terhadap panas. Pada S. typhi, juga pada
S. Dublin dan S. hirschfeldii terdapat anti gen Vi yaitu poli sakarida kapsul.
Menurut Sodikin (2011), penyebab penyakit demam typhoid adalah jenis
salmonella thyposha, kuman ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

3
1. Hasil gram negatif yang bergerarak dengan bulu getar dan tidak berspora.
2. Yang terdiri atas zat kompleks lipopolisakarida), antigen H (flagella), dan
antigen Vi. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratoriun pasien, biasanya
terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.

C. Tanda dan gejala


Masa inkubasi demam typhoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala- gejala
klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari
asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga
kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri
otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut,
batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan – lahan terutama pada sore
hari hingga malam hari. (Perhimpunan Dokter Spesial Penyakit dalam Indonesia,
2014). Masa tunas 7-14 hari, selama inkubasi ditemukan gejala prodromal ( gejala
awal tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas ) yaitu:
1. Perasaan tidak enak badan
2. Nyeri kepala
3. Pusing
4. Diare
5. Anoreksia
6. Batuk
7. Nyeri otot
8. Muncul gejala klinis yang lain
Demam berlangsung 3 minggu. Minggu pertama: demam ritmen, biasanya
menurun pagi hari, dan meningkat pada sore dan malam hari. Minggu kedua :
demam terus. Minggu ketiga : demam mulai turun secara berangsur-angsur,

4
gangguan pada saluran pencernaan, lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan
kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai tremor, hati dan limpa membesar
yang nyeri pada perabaan, gangguan pada kesadaran, kesadaran yaitu apatis-
samnolen. Gejala lain ”RESEOLA” ( bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil
dalam kapiler kulit ).

D. Anatomi fisiologi
Menurut Sodikin 2011,sistem pencernaan terdiri dari :

Gambar 2.1 sistem pencernaan pada manusia menurut Sodikin (2011).


1. Mulut
Mulut merupakan bagin pertama dari pencernaan. Dinding kavum oris
memiliki struktur untuk fungsi mastikasi (pengunyahan), dimana makanan akan
dipotong, dihancurkan oleh gigi dan dilembabkan oleh saliva (Sodikin,2011).
2. Lidah
Lidah tersusun atas otot yang pada bagian atas dan sampingnya dilapisi
dengan mukosa, lidah pada neonates relative pendek dan lebar. Lidah berfungsi
membolak-balikan makanan sehingga semua makanan dihancurkan secara

5
merata.selain itu, lidah berfungsi membantu menelan makanan (Sodikin, 2011).
3. Gigi
Gigi mempunyai ukuran berbeda – beda. Setiap gigi memiliki tiga bagian
yaitu mahkota yang terlihat di atas gusi, leher yang ditutupi oleh gusi dan akar
yang ditahan oleh soket tulang. Fungsi gigi untuk mengunyah
makanan(Sodikin, 2011).
4. Esofagus/kerongkongan
Esophagus merupakan tuba otot dengan ukuran 8 – 10 cm dari kartilago
krikoid sampai bagian kardia lambung. Panjangnya bertambah selama 3 tahun
setelah kelahiran, selanjutnya kecepatan pertumbuhan lebih lambat mencapai
panjang dewasa 23 – 30 cm. Kerongkonan atau esophagus berfungsi
menyalurkan makanan dari mulut ke lambung. Secara anatomis di depan
esophagus adalah trachea dan kelenjar tiroid, jantung, serta diafragma,
sedangkan dibagian belakangnya adalah kolumna vertebralis (Sodikin, 2011).
5. Lambung
Lambung berbentuk lebar dan merupakan bagian yang dapat berdilatasi dari
saluran cerna. Bentuk lambung bervarisi bergantng dari jumlah makanan
didalamnya, adanya gelombang peristaltik, tekanan dari organ lain, dan postur
tubuh. Posisi dan bentuk lambung juga sangat bervariasi, biasanya memiliki
bentuk “J”, dan terletak di kuadran kiri atas abdomen. Fungsi utama lambung
adalah menyiapkan makanan untuk dicerna di usus, memecah makanan,
penambahan cairan setengah cair dan meneruskannya ke duodenum. Makanan
disimpan di dalam lambung lalu dicampur dengan asam, mucus, dan pepsin,
kemudian dilepaskan pada kecepatan mantap terkontrol ke dalam duodenum
(Sodikin, 2011). Secara mekanisme lambung juga mencerna makanan secara
kimiawi. Lambung menghasilkan suatu cairan yang mengandung air, lender,
asam lambung (HCL), serta enzim renin dan pepsinogen. Karena sifatnya yang
asam, cairan lambung dapat membunuh kuman yang masuk bersama makanan.
Sementara itu, enzim rennin akan mengumpulkan protein susu yang ada di

6
dalam air susu sehingga dapat dicerna lebih lanjut. Pepsinogen akan diaktifkan
oleh HCL menjadi pepsin yang berfunsi memecah protein menjadi pepton
(Budiyono, 2011).
6. Usus kecil
Usus kecil terbagi menjadi duodenum, jejunum, dan ileum. Usus kecil
memiliki panjng 300- 350 cm saat lahir, mengalami peningkatan sekitar 50 %
selama tahun pertama kehidupan, dan berukuran ± 6 meter saat dewasa.
Duodenum merupakan bagian terpendek dari ususkecil yaitu sekitar 7,5 – 10
cm dengan diameter 1 – 1,5 cm. dinding usus terbagi menjadi 4 lapisan,yaitu
mukosa, sub mukosa, muskuler, dan serosa(peritoneal) (Sodikin,2011).
Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum),
yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam
duodenum melalui sfingter pylorus dalam jumlah yang bisa dicerna oleh usus
halus. Jika penuh, duodenum akan mengirimkan sinyal kepada lambung untuk
berhenti mengalirkan makanan (Budiyono, 2011).
Duodenum menerima enzim pankreatik dari pankreas dan empedu dari hati.
Cairan tersebut (yang masuk ke dalam duodenum melalui lubang yang disebut
sfingter oddi) merupakan bagian yang penting dari proses pencernaan dan
penyerapan. Gerakan peristaltic juga membantu pencernaan dan penyerapan
dengan cara mengaduk dan mencampurnya dengan zat yang dihasilkan oleh
usus. Beberapa senti pertama dari lapisan duodenum adalah licin tetapi sisanya
memiliki lipatan-lipatan, tonjoan-tonjolan kecil (vili) dan tonjolan yang lebih
kecil (mikrovili)(Budiyono, 2011).
7. Pankreas
Pankreas merupakan suatu organ yang terdiri dari 2 jaringan dasar yaitu asini
yang menghasilkan enzim-enzim pencernaan dan pulau pancreas yang
menghasilkan hormon. Pankreas melepaskan enzim pencernaan kedalam
duodenum dan melepaskan hormon ke dalam darah (Budiyono, 2011).
Tiga hormon yang dihasilkan oleh pankreas adalah :

7
a. Insulin, yang berfungsi menurunkan kadar gula dalam darah.
b. Glucagon, yang berfungsi menaikkan kadar gula dalam darah.
c. Somatostatin, yang berfungsi menghalangi pelepasan kedua hormone
lainnya (insulin dan glucagon) (Budiyono, 2011).
8. Kandung dan Saluran empedu
Empedu mengalir dari hati melalui duktus hepatikus kiri dan kanan, yang
selanjutnya bergabung membentuk duktus hepatikus umum. Saluran ini
kemudian bergabung dengan sebuah saluran yang berasal dari kandung empedu
(duktus sistikus) untuk membentuk saluran empedu umum. Duktus
pankreatikus bergabung dengan saluran empedu umu dan masuk ke dalam
duodenum (Budiyono, 2011).
Menurut Budiyono (2011), empedu memiliki 2 fungsi penting:
a. Membantu pencernaan dan penyerapan lemak.
b. Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama
hemoglobin yang berasal dari penghacuran sel darah merah dan kelebihan
kolesterol.
9. Usus Besar
Menurut Budiyono (2011), usus besar terdiri dari:
a. Kolon asendens (kanan)
b. Transversum
c. Kolon desendens (kiri)
d. Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum).
Apendiks (usus buntu) merupakan suatu tonjolan kecil yang berbentuk
seperti tabung, yang terletak di kolon asendens, pada perbatasan kolon asendens
dengan usus halus.Usus besar menghasilkan lendir dan berfungsi menyerap air
dan elektrolit dari tinja. Ketika mencapai usus besar, isi usus berbentuk cairan,
tetapi ketika mencapai rektum bentuknya menjadi padat. Banyaknya bakteri
yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan dan
membantu penyerapan zat-zat gizi.bakteri di dalam usus besar juga berfungsi

8
membuat zat-zat penting, sperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi
normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan
gangguan pada bakteri-bakteri di dalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi
yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare
(Budiyono, 2011).
10. Rektum dan Anus
Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah
kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Biasanya rektum ini kosong karena tinja
disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon
desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan
untuk buang air besar. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan
keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan
dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda buang air besar
(Budiyono, 2011).
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah
keluar dari.Sebagai anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian
lainnya dari usus.Suatu cincin berotot (sfingter ani) menjaga agar anus tetap
tertutup (Budiyono, 2011).

E. Patofisiologi
Kuman salmonella typhi yang masuk ke saluran gastrointestinal akan di telan
oleh sel-sel fagosit ketika masuk melewati mukosa dan oleh makrofag yang ada
di dalam laminaprophia. Sebagian dari salmonella typhi ada yang dapat masuk ke
usus halus mengadakan invaginasi kejarinagn limfoid usus halus (lakpeyer) dan
jaringan limfoid mesenterika.Kemudian salmonella typhi masuk melalui folikel
limfa ke saluran limphatik dan sirkulasi darah sistemik sehingga terjadi
bakterimia. Bakterimia pertama-tama menyerang sistem retikulo endothelial
(RES) yaitu : hati, limpa, dan tulang, kemudian selanjutnya mengenai seluruh
organ di dalam tubuh antara lain sistem saraf pusat, ginjal, dan jaringan limpa

9
(Curtis, 2006 dalam Muttaqin & Sari, 2011).
Usus yang terserang tifus umumnya ileum distal, tetapi kadang bagian lain
usus halus dan kolon proksimal juga di hinggapi.Pada mulanya, plakatpeyer
penuh dengan vagosit, membesar, menonjol, dan tampak seperti infiltrate atau
hyperplasia dimukosa usus (Hidayat, 2005 dalam Muttaqin & Sari, 2011).
Pada akhir minggu pertama infeksi, terjadi nekrosis dan tukak.Tukak ini lebih
besar di ileum dari pada di kolon sesuai dengan ukuran plakpeyer yang ada
disana.Kebanyakan tukaknya dangkal, tetapi kadang lebih dalam sampai
menimbulkan perdarahan.Perforasi terjadi pada tukak yang menembus
serosa.Setelah penderita sembuh, biasanya ulkus membaik tanpa meninggalkan
jaringan parut dan fibrosis (Brusch, 2009 dalam Muttaqin & Sari, 2011).
Masuknya kuman kedalam intestinal terjadi pada minggu pertama dengan
tanda dan gejala suhu tubuh naik turun khususnya suhu akan naik pada malam
hari dan akan menurun menjelang pagi hari. Demam yang terjadi pada masa ini
di sebut demam interminten (suhu yang tinggi, naik turun, dan turunnya dapat
mencapai normal). Disamping peningkatan suhu tubuh, juga akan terjadi
obstipasi sebagai akibat penurunan motilitas suhu, namun hal ini tidak selalu
terjadi dan dpat pula terjadi sebalinya. Setelah kuman melewati fase awal
intestinal, kemudian masuk ke sirkulasi sistemik dengan tanda peningkatan suhu
tubuh yang sangat tinggi dan tanda-tanda infeksi pada ERS seperti nyeri perut
kanan atas, splenomegali, dan hepatomegali (Chaterjee, 2009 dalam Muttaqin &
Sari, 2011).
Pada minggu selanjutnya dimana infeksi fokal intestinal terjadi dengan tanda-
tanda suhu tubuh masih tetap tinggi, tetapi nilainya lebih rendah dari fase
bakterimia dan berlangsung terus menerus (deman kontinu), lidah kotor, tepi
lidah hiperemesis, penurunan peristaltik, gangguan digesti dan absorpsi sehingga
akan terjadi distensi, diare dan pasien merasa tidak nyaman. Pada masa ini dapat
terjadi perdarahan usus, perforasi, dan peritonitis dengan tanda distensi abdomen
berat, peristaltik menurun bahkan hilang, melena, syok, dan penurunan kesadaran

10
(Parry, 2002 dalam Muttaqin & Sari, 2011).

11
F. Pathway

Invasi & multiplikasi Hipertermi Febris

Peradangan pada jaringan Kerusakan kontrol suhu


Apendisitis terhadap inflamasi

Operasi Sekresi mucus berlebih


pada lumen apendik

Luka insisi Ansietas


Apendik teregang

Kerusakan jaringan Pintu masuk kuman

Ujung saraf terputus Resiko infeksi

Pelepasan prostagladin Kerusakan integritas jaringan

Stimulasi dihantarkan
Spasme dinding apendik Tekanan intraluminal lebih
dari tekanan vena
Spinal cord Nyeri
Hypoxia jaringan apendic
Cortex serebri
Nyeri dipersepsikan
Ulserasi

Anestesi Resiko ketidakefektifan


perfusi gastrointestinal Perforasi

peristaltic usus
Reflek batuk menurun Akumulasi skret

Distensi abdomen
Depresi system respirasi Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas
Gangguan rasa nyaman
Anorexia
Ketidakseimbangan
Resiko kekurangan volume nutrisi kurang
12dari
cairan Mual & muntah kebutuhan tubuh
G. Pemeriksaan Penunjang.
Pemeriksaan Laboratorium meliputi :
a. Pemeriksaan Leukosit.
Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan
darah tepi dalam batas normal, malahan kadang terdapat leukositosis, walaupun
tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder.
b. Pemeriksaan SGOT dan SGPT.
Jumlah SGOT dan SGPT akan meningkat, tetapi akan kembali normal
setelah sembuh dari demam typhoid.
c. Tes Widal.
Tes widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan anti bodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella terdapat dalam serum
pasien demam typhoid, juga pada orang yang pernah ketularan salmonella dan
pada orang yang pernah divaksinasi terhadap demam typhoid.
Anti gen yang digunakan pada tes widal adalah suspensi salmonella
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud tes widal adalah
untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum pasien yang disangka
menderita demam typhoid.
Akibat infeksi oleh kuman salmonella, pasien membuat anti bodi
(aglutinin), yaitu:
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman).
b. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagela kuman).
c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernyauntuk diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan
pasien menderita demam typhoid. Pada infeksi yang aktif, titer uji widal akan
meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang paling sedikit 5
hari.
13
d. Biakan Darah.
Biakan darah positif memastikan demam typhoid, tetapi biakan darah
negatif tidak menyingkirkan demam typhoid, karena pada pemeriksaan
minggu pertama penyakit berkurang dan pada minggu-minggu
berikutnya pada waktu kambuh biakan akan positif lagi.

H. Komplikasi
Menurut sodikin (2011) komplikasi biasanya terjadi pada usus halus,namun
haal tersebut jarang terjadi. Apabila komplikasi ini terjadi pada seorang anak,
maka dapat berakibat fatal. Gangguan pada usus halus dapat berupa :
1. Perdarahan usus
Apabila perdarahan terjadi dalam jumlah sedikit, perdarahan tersebut hanya
dapat ditemukan jika dilakukan pemeriksaan feses dengan benzidin, jika
perdarahan banyak maka dapat terjadi melena yang bisa disertai nyeri perut
dengan tanda- tanda renjatan. Perforasi usus biasanya timbul pada minggu
ketigaatau setelahnya dan terjadi pada bagian usus distal ileum.
Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat
udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara
diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam
keadaan tegak.
2. Peritonitis
Peritonitis biasanya menyertai perforasi, namun dapat juga terjadi tanpa
perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut seperti nyeri perut yang hebat,
dinding abdomen tegang (defebce musculair) dan nyeri tekan.
3. Komplikasi diluar usus
Terjadi lokalisasi peradangan akibat sepsis (bacteremia), yaitu meningitis,
kolesistisis, ensefalopati, dan lain – lain. Komplikasi diluar usus ini terjadi
karena infeksi sekunder, yaitu bronkopneumonia.

14
I. Penatalaksanaan
1. Tirah baring atau bed rest.
2. Diit lunak atau diit padat rendah selulosa (pantang sayur dan buahan),
kecuali komplikasi pada intestinal.
3. Obat-obat :
a. Antimikroba :
1) Kloramfenikol 4 X 500 mg sehari/iv
2) Tiamfenikol 4 X 500 mg sehari oral
3) Kotrimoksazol 2 X 2 tablet sehari oral (1 tablet = sulfametoksazol 400 mg
+ trimetoprim 80 mg) atau dosis yang sama iv, dilarutkan dalam 250 ml
cairan infus.
4) Ampisilin atau amoksisilin 100 mg/kg BB sehari oral/iv, dibagi dalam 3
atau 4 dosis.
b. Antimikroba diberikan selama 14 hari atau sampai 7 hari bebas demam.
c. Antipiretik seperlunya
d. Vitamin B kompleks dan vitamin C
4. Mobilisasi bertahap setelah 7 hari bebas demam.

J. Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan infeksi.
2. Nyeri akut berhubungan dengan saluran gastrointestinal.
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kekurangan asupan nutrisi.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake yang tidak adekuat.
5. Diare berhubungan dengan proses infeksi
6. Kontipasi berhubungan dengan asupan cairan yang tidak mencukupi.
7. Gangguan pola tidur berhubungan dengan suhu dan lingkungan sekitar.
8. Ansietas berhubungan dengan prognosis penyakit.
9. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, salah
15
interprestasi informasi, kurang pajanan, kurang minat dan belajar.
10. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum.

K. Rencana keperawatan
Menurut NANDA (2012), dalam rencana keperawatan pada pasien dengan
penyakit demam typhoid adalah :
1. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan infeksi.
Tujuan : suhu tubuh dalam batas normal
Intervensi :
a. Monitor suhu tubuh minimal tiap 2 jam
b. Monitor TD, nadi, dan RR
c. Monitor suhu kulit dan warna
d. Monitor tanda – tanda hipertermi dan hipetermi
e. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
f. Ajarkan pasien cara mencegah keletihan akibat panas
g. Ajarkan indikasi dari hipotermi dan penanganan yang diperlukan
h. Kolaborasi dengan dokter pemberian antipiretik

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury biologis


Tujuan : nyeri berkurang atau hilang.
Intervensi :
a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan faktor presipitasi.
b. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
c. Berikan lingkungan yang kondusif.
d. Kurangi faktor presipitasi nyeri.
e. Ajarkan teknik non farmakologi untuk mengurangi nyeri (teknik nafas
dalam)
f. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
16
3. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kekurangan asupan
cairan.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Intervensi :
a. Kaji intake dan output pasien.
b. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat.
c. Monitor vital sign.
d. Monitor status nutrisi.
e. Kolaborasi pemberian cairan IV.
f. Dorong masukan oral.

4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan intake yang tidak adekuat.
Tujuan : kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi.
Intervensi :
a. Kaji adanya alergi makanan.
b. Monitor intake output pasien.
c. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi
yang di butuhkan pasien.
d. Berikan makanan yang sudah di konsultasikan dengan ahli gizi.
e. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi.
f. Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang di butuhkan.

5. Diare berhubungan dengan proses infeksi


Tujuan : diare dapat di kendalikan atau di hilangkan
Intervensi :
a. Ajarkan pada orang tua mengenai perawatan anak, pemberian makanan dan
minuman.
17
b. Keseimbangan elektrolit dalam batas normal.
c. Jelaskan obat-obatan yang di berikan, efek samping dan kegunaannya
d. Tingkatkan keseimbangan cairan
e. Anjurkan banyak minum air.
f. Biasakan cuci tangan dengan sabun dan air tiap kali sesudah buang air besar
atau kecil dan sebelum menyiapkan makanan.

6. Kontipasi berhubungan dengan asupan cairan yang tidak mencukupi.


Tujuan : Kontipasi menurun
Intervensi :
a. Mempertahankan pola eliminasi defekasi yang teratur.
b. Manajemen kontipasi/inpakasi.
c. Manajemen cairan : tingkatkan keseimbangan cairan dan cegah komplikasi
akibat kadar cairan yang tidak normal atau tidak di inginkan.
d. Konsultasi dengan ahli gizi untuk meningkatkan serat dan cairan dalam diet.

7. Gangguan pola tidur berhubungan dengan suhu dan lingkungan sekitar.


Tujuan : Kebutuhan tidur pasien adekuat.
Intervensi :
a. Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat.
b. Kaji pola tidur pasien.
c. Ciptakan lingkungan yang nyaman.
d. Kolaborasi pemberian obat tidur.
e. Diskusikan keluarga dengan pasien dan keluarga tentang teknik tidur
pasien.
f. Catat kebutuhan tidur pasien setiap hari dan jam.

8. Ansietas berhubungan dengan prognosis penyaki


Tujuan : secara subjektif melaporkan rasa cemas berkurang.
18
Intervensi :
a. Gunakan pendekatan yang menenangkan.
b. Kaji tingkat kecemasan.
c. Jelaskan semua prosedur.
d. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan.
e. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi.
f. Intruksikan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi
g. Temani pasien untuk memberikan kenyamanan dan mengurangi
takut.
h. Dorong keluarga untuk menemani anak.
i. Berikan obat untuk mengurangi kecemasan.

9. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, salah


interprestasi informasi, kurang pajanan, kurang minat dan belajar.
Tujuan : pasien mampu melaksanakan apa yang telah di informasikan.
Intervensi :
a. Kaji pengetahuan awal pasien dan keluarga.
b. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan
dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
c. Gambarkan proses penyakit dengan cara yang cepat.
d. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa mucul pada penyakit.
e. Berikan pada pasien dan keluarga tentang informasi yang tepat.
10. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
Tujuan : Aktivitas kembali normal.
Intervensi :
a. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktifitas tyang mampu dilakukan.
b. Bantu untuk memilih aktifitas konsisten yang sesuai dengan kamapuan
fisik, psikologi, dan sosial.
c. Bantu untuk mendapatkan alat bantuan aktifitas.
19
d. Bantu pasien/ keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktifitas.
e. Monitor respon fisik, emosi

20
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas
a. Identitas Klien
Nama : Ny. K
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : perempuan
Tanggal Masuk Rs : 26-01-2020
Tanggan Pengkajian : 27-01-2020
No Medrek : A73541
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Ny. S
Umur : 29 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Hubungan Dengan Klien : Anak
2. Status Kesehatan Sekarang
a. Keluhan Utama : Demam tinggi
b. Faktor pencetus : Bakteri salmonella typhi
c. Lamanya keluhan : 1 minggu yang lalu
d. Timbulnya keluhan : Saat malam hari
e. Faktor yg memperberat : Saat klien beraktivitas
3. Riwayat Kesehatan Masalalu
a. Penyakit yang pernah dialami : Tidak ada
b. Kecelakaan : Tidak ada
4. Pernah dirawat
a. Penyakit yang pernah di derita : Tidak ada
b. Waktu : Tidak ada
c. Riwayat operasi : Tidak ada
5. Pengkajian pola fungsi
a. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan : klien mengatakan percaya bahwa
penyakit yang di deritanya akan sembuh.

21
b. Pengetahuan dan persepsi pasien tentang penyakit : klien mengetahui tentang
penyakit yang dideritanya
c. Pemeriksaan kesehatan berkala : klien tidak selalu melakukan kesehatan
secara berkala
d. Kemampuan mengontrol kesehatan
- yang dilakukan saat sakit : klien pada saat sakit hanya tidur dan minum
obat
- kemana klien berobat bila sakit : kepuskesmas
e. Faktor social ekonomi/ jaminan kesehatan yang berhubungan dengan
kesehatan
- Asuransi kesehatan : BPJS
f. Pola nilai kepercayaan dan spiritual
- Sumber kekuatan bagi pasien : keluarga
- Perasaan menyalahkan tuhan : Tidak ada
g. Masalah berkaitan dengan aktivitas tersebut selama dirawat
Klien mengeluh demam dan lemas
h. Adakah keyakinan atau kebudayaan terhadap pengobatan yang dialami :
Tidak ada
6. Kebutuhan dasar
a. Rasa nyaman dan kebersihan
- AdanyaNyeri :Tidak ada nyeri
- Kebersihan tempat tidur : bersih
- Kebersihan badan : Kurang

b. Oksigenasi
- Penggunaan alat bantu nafas :Tidak ada
- Dyspnea :Tidak ada
c. Cairan & nutrisi

22
- Terpasang infus RL
- Makan 3x sehari seperempat porsi Sulit makan karena mual muntah
7. Pemeriksaan Fisik
a. Penampilan Umum : Baik
b. Kesadaran : Compos Mentis E4V5M6
c. Tanda-tanda Vital : TD: 120/80mmHg
N: 98x/m
RR: 20x/m
S: 39,3C
d. Kepala dan wajah : Bentuk kepala bulat, tidak ada kelainan, bentuk wajah
oval, tidak ada kelainan, tidak ada Hidrocepalus
e. Mata : Normal tidak ada kelainan, bentuk simetris,
pergerakan bola mata baik
f. Telinga : Normal, bentuk telinga simetris kanan kiri,
tidak ada lesi, daya dengar klien baik
g. Hidung : Normal, tidak ada kelainan, tidak ada secret,
terdapat lubang hidung kanan dan kiri
h. Leher : Normal, bentuk simetris, tidak ada kelainan, tidak ada
benjolan dan tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
i. Paruparu : Normal tidak ada kelainan, tidak ada suara
nafas tambahan dan terdengar vesikuler pada saat di auskultasi
j. Dada : Normal, bentuk dada simetris, tidak ada kelainan,
tidak ada retraksi dada, tidak ada nyeri tekan
k. Abdomen : Tidak ada nyeri tekan
l. Ekstremitas : ekstremitas atas : terpasang cairan infus RL di
metacarpal dextra & ekstremitas bawah : normal, bentuk simetris, tidak ada
kelainan
8. Pemeriksaan Penunjang
- Bilirubin total : 0,90 mg/dl\
- Bilirubin direk : 0,30 mg/dl
- SGOT : 22,0 u/l
- SGPT : 23,0 u/l
- Leoukosit : 12,61 u/l
- Eritrosit : 4,52 u/l
- HB : 11,9 g/dl
- Hematokrit : 34,9 %
23
- MCV : 77,2
- MCH : 34,1 g/dl
- Trombosit : 178 ribu/ul
- Hbsag : Negative
- Gol darah :O
- Widal :+

9. Terapi Farmakologi
a. Ondancentron 4mg 2x4mg
b. Ketorolak 30mg 2x30mg
c. Ringer Laktat 20 tpm
d. Ceftriaxone 1gr 2x1gr
e. Paracetamol BP
f. Ranitidine 50mg 2x50mg

B. ANALISA DATA
No Data Etiologi Masalah
1. Ds : Invasi bakteri salmonella Hipertermi
Klien mengatakan Demam thypoid
Do :
- Akral teraba hangat Terjadi peradangan pada
- Klien terpasang infus
saluran pencernaan
Rl dimetacapal dexta
- Hasil TTV :
TD : 120/80mmHg Dilepaskanya zat pirogen
RR: 20x/m
oleh leoukosit pada
N 98 x/m
S: 39.3 C jaringan yang meradang

Demam typoid

Peningkatan suhu tubuh


(Hipertermi)

24
2. Ds: Invasi bakteri salmonella Nutrisi kurang dari
Klien mengatakan sulit thypoid kebutuhan
makan mual muntah
Do : Sebagian dimusnahkan
- Klien tampak lemas asam lambung
- Mukosa kering
- Makan di habiskan
Peningkatan asam
sperempat porsi
lambung

Mual muntah

Intake kurang dri


kebutuhan

G.g nutrisi kurang dari


kebutuhan

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hipertermi b.d proses infeksi salmonella thypoid
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d anoreksia

D. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Tujuan Rencana
Hipertermi Setelah dilakukan tindakan - Observasi TTV klien
- Pantau aktivitas
keperawatan 1x8 jam
kejang
diharapkan masalah dapat
- Ajarkan klien /
teratasi dengan kriteria
keluarga kompres
hasil :

25
- Suhu tubuh dalam hangat di axila
- Anjurkan klien
batas normal
menggunakan pkaian
tipis2 & longar
- Kolaborasi dengan
dokter pemberian
pemberian antipiretik

Nutrisi kurang dari kebutuhan Setelah dilakukan tindakan - Kaji pola dan
keperawatan 1x8 jam kebiasan makan klien
- Observasi adanya
diharapkan masalah teratasi
mual muntah
dengan kriteria hasil:
- Anjurkan klien
- Tidak mual muntah
- Nafsu makan makan sedikit tapi
meningkat sering yang tidak
merangsang produksi
asam lambung
- Kolaborasi pemberian
terapi cairan dan
nutrisi sesuai
program
- Kolaborasi dengan
dokter pemberian
obat anti emetik

E. IMPLEMENTASI
No Tanggal Diagnosa keperawatan Implementasi
1. 27 – 01 – 2020 Hipertermi - Mengobservasi TTV klien
- Memantau aktivitas kejang
- Mengajarkan klien / keluarga

26
kompres hangat di axila
- Menganjurkan klien menggunakan
pkaian tipis2 & longar
- Berkolaborasi dengan dokter
pemberian pemberian antipiretik

2. 27 – 01 – 2020 Nutrisi kurang dari - Mengkaji pola dan kebiasan makan


kebutuhan klien
- Mengobservasi adanya mual
muntah
- Menganjurkan klien makan sedikit
tapi sering yang tidak merangsang
produksi asam lambung
- Berkolaborasi pemberian terapi
cairan dan nutrisi sesuai program
- Berkolaborasi dengan dokter
pemberian obat anti emetik

F. CATATAN PERKEMBANGAN
No Tanggal Diagnosa Catatan perkembangan
1 27 - 01 – Hipertermi S: klien mengatakan badanya masih panas
2020
O:
- Klien mengigil
- klien terpasang infus Rl
dimetacapal dexta
- hasil TTV :
TD : 120/80mmHg,
RR: 20x/m
N 98 x/m
S: 39.3 C
- mukosa bibir kering
A: masalah hipertermi belum teratasi
P: lanjutkan intervensi

27
1 27 - 01 – Nutrisi kurang S: klien mengatakan masih mual muntah
2020 dari kebutuhan
O:
- klien tampak lemas
- porsi makan masih tersisa dipiring
makan klien
- klien terpasang infus Rl
dimetacapal dexta
A: Masalah Nutrisi kurang dari kebutuhan
belum teratasi
P: lanjutkan intervensi

2 28 - 01 – Hipertermi S:klien mengatakan panasnya menurun


2020
O:
- Klien sudah tidak mengigil
- klien terpasang infus Rl
dimetacapal dexta
- hasil TTV :
TD : 110/80mmHg,
RR: 20x/m
N 96 x/m
S: 37.6 C
- mukosa bibir masih tampakkering
A: masalah hipertermiteratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
2 28 - 01 – Nutrisi kurang S: klien mengatakan masih mual, muntah
2020 dari kebutuhan (-)

O:
- klien masih tampak lemas
- porsi makan masih tersisa dipiring

28
makan klien
- klien terpasang infus Rl
dimetacapal dexta
A: Masalah Nutrisi kurang dari kebutuhan
Teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi

3 29 - 01 – Hipertermi S: klien mengatakan sudah tidak ada


2020 panas

O:
- Klien tampak nyaman
- klien terpasang infus Rl
dimetacapal dexta
- hasil TTV :
TD : 120/80mmHg,
RR: 20x/m
N 90 x/m
S: 36.4 C
- mukosa bibir sudah tidak kering
A: masalah hipertermi teratasi
P: pertahankan intervensi
3 29 - 01 – Nutrisi kurang S: klien mengatakan sudah tidak mual,
2020 dari kebutuhan muntah

O:
- klien sudah tidak lemas
- porsi makan dihabisan dipiring
klien sudah tidak ada sisa
makanan
- klien terpasang infus Rl
dimetacapal dexta

29
A: Masalah Nutrisi kurang dari kebutuhan
Teratasi
P: pertahankan intervensi

30
BAB VI
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Typhoid adalah suatu penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna dan
gangguan kesadaran. Penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik
yang disebabkan oleh salmonella typhi, salmonella type A.B.C penularan terjadi
secara pecal, oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Cara pencegahan penyakit typoid yang dilakukan adalah cuci tangan setelah
dari toilet dan khususnya sebelum makan atau mempersiapkan makanan, hindari
minum susu mentah (yang belum dipasteurisasi), hindari minum air mentah, rebus
air sampai mendidih dan hindari makanan pedas.

B. SARAN
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan maka dengan
adanya makalah ini, diharapkan pembaca dapat memahami tentang penyakit
thypoid dengan baik.

31
DAFTAR PUSTAKA

Budiyono, Setiadi. (2011). Anatomi Tubuh Manusia. Bekasi: CV Laskar Aksara.


Cahyono, J.B. Suharyo B. 2010. Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Muttaqin Arif. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta. Salemba Medika.
Nanda. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi. Edisi 10. Alih Bahasa:
Keliat,A,B, Dkk.
Sodikin, M., 2012. Prinsip Perawatan Demam Pada Anak. Yogyakarta: Pustaka
pelajar.
Widagdo. 2011. Masalah dan tatalksana penyakit anak dengan demam. CV Sagung
Seto.
Wilkinson, Judith M. 2011. Buku saku diagnosis keperawatan dengan intervensi NIC
dan kriteria hasil NOC. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai