DISUSUN OLEH
1814201212
CI KLINIK AKADEMIK
( ) ( )
TA 2020/2021
I. Konsep Dasar Medis
A. Defenisi
Trauma kepala merupakan kejadian cedera akibat trauma pada otak, yang
menimbulkan perubahan fisik, intelektual, emosional, social maupun vokasional [ CITATION
Jen12 \l 1033 ].
Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi
fisik.
Trauma Capitis berat merupakan cidera kepala yang mengakibatkan penurunan
kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8, mengalami amnesia > 24 jam (Haddad, 2012 dalam
B. Anatomi Fisiologi
Rata-rata otak manusia dewasa terdiri dari 2% berat badan tubuh, dengan kisaran
1,2-1,4 kg. Otak merupakan organ yang sangat vital, dan sangat penting untuk kehidupan
dan fungsi tubuh kita. Oleh karena itu, otak
mengkonsumsi jumlah besar dari volume darah yang beredar. Seperenam dari semua
keluaran jantung melewati otak dalam satu waktu, dan sekitar
seperlima dari seluruh oksigen tubuh digunakan oleh otak ketika sedang beristirahat.
Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk oleh
mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria dan dura mater disingkirkan, di
bawah lapisan arachnoid mater kranialis dan pia mater kranialis terlihat gyrus, sulkus,
dan fisura korteks serebri. Sulkus dan fisura korteks serebri membagi hemisfer serebri
menjadi daerah lebih kecil yang disebut lobus
Seperti terlihat pada gambar di atas, otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
C. Klasifikasi
Trauma kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale ( GCS ) nya,
yaitu :
1. Ringan
a. GCS = 13 – 15
b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
c. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
2. Sedang
a. GCS = 9 – 12
b. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24
jam.
c. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat
a. GCS = 3 – 8
b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
c. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
[ CITATION Nua15 \l 1033 ].
D. Patofisiologi
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya
konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan aselerasi terjadi jika benda
yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda
tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila
kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah.
Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba
tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat.
Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu cedera
otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi saat
atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena mekanik.
Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali
membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses
penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin
karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi
karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan
terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder
merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera
primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai a`kibat, cedera sekunder dapat
terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstra kranial akan dapat
menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena
mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat
menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi
(Soetomo, 2002).
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi
perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan
kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama
motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain, 2009).
E. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.
1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005).
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku.
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih
lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan (dengan atau tanpa kontras ) : mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Cat : untuk me ngetahui adanya
infark/ iskemia, jangan dilakukan pada 24-72 jam setelah injury.
2. MRI : digunakan sama seperti CT Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral angiografi : menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan
jaringan otak menjadi udema, perdarahan dan trauma.
4. Serial EEG : dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan /edema), fragmen tulang.
6. BAER : mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
7. PET : mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF : lumbal punkis dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
9. ABGs : mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan TIK
10. Kadar elektrolit : untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan TIK
11. Screen toxicologi : untuk mendeteksi pengaruh obat, sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran.
G. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai
berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
Penatalaksanaan pada pasien cedera kepala juga dapat dilakukan dengan cara :
a. Obliteri sisterna : Pada semua pasien dengan cedera kepala / leher, lakukan foto
tulang belakang servikal kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa
seluruh tulang servikal c1-c7 normal.
b. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang berat, lakukan prosedur berikut :
pasang infuse dengan larutan normal salin (nacl 0,9 %)/ larutan ringer rl dan
larutan ini tidak menambah edema cerebri.
c. Lakukan CT Scan, pasien dengan cedera kepala ringan, sedang dan berat harus
dievaluasi adanya:Hematoma epidural, Darah dalam subraknoid dan infra
ventrikel, Kontusio dan perdarahan jaringan otak, Edema serebri,
d. Elevasi kepala 30o
e. Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mandotorik intermitten dengan
kecepatan 16-20 kali /menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg
f. Berikan manitol 20 % 19/kg intravena dalam 20-30 menit
g. Pasang kateter foley
h. Konsul bedah syaraf bila terdapat indikasi operasi
H. Komplikasi
mengatakan kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma
intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala
adalah:
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal
dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa. Edema paru
terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan
perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah
sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran darah keotak, bila
keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi
berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus
dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan
sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara
umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas
pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan
difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan TIK
lebih lanjut.
2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan
herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir
dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. yang merupakan komplikasi serius
dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut. Perawat harus
membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan spatel lidah
yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien, juga peralatan
penghisap. Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan,
jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk
mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling banyak
digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada
system pernafasan, pantau selama pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
4. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak
basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges, sehingga CSS
akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi
bantalan steril di bawah hidung atau telinga.
5. Infeksi
D. Implementasi Keperawatan
serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari
masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang lebih baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Gordon, 1994, dalam Potter & Perry,
1997).
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai tindakan
keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara
optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.
Adapun ukuran pencapaian tujuan pada tahap evaluasi meliputi:
1. Masalah teratasi; jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan tujuan dan kriteria
hasil yang telah ditetapkan.
2. Masalah sebagian teratasi;jika klien menunjukkan perubahan sebahagian dari kriteria
hasil yang telah ditetapkan.
3. Masalah tidak teratasi; jika klien tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan sama
sekali yang sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan dan atau
bahkan timbul masalah/ diagnosa keperawatan baru.
Untuk penentuan masalah teratasi, teratasi sebahagian, atau tidak teratasi adalah dengan
cara membandingkan antara SOAP dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan.
S : Subjective adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari klien setelah tindakan
diberikan.
O : Objective adalah informasi yang didapat berupa hasil pengamatan, penilaian,
pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah tindakan dilakukan.
A : Analisis adalah membandingkan antara informasi subjective dan objective dengan
tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil kesimpulan bahwa masalah teratasi, teratasi
sebahagian, atau tidak teratasi.
P : Planning adalah rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan berdasarkan hasil
analisa.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin & Zafrullah. (2008). Perbandingan Kadar Potasium Darah Penderita Cedera Kepala
Sedang dan Cedera Kepala Berat di Ruang Emergensi Bedah diRS. dr. Hasan Sadikin
Bandung. http:// pustaka.unpad.ac.id/archives/26259/.
Baheram, L. (2007). Cedera kepala pada pejalan kaki dalam kecelakaan lalu lintas yang fatal.
Majalah Kedokteran Bandung. 26(2): 52-54.
Bisri, T. (2008). Dasar-dasar Neuro Anestesi. Bandung :Saga Olahcitra.
Data Instalasi Rekam Medik RSUP M. Djamil. Padang : 2013. Unpublished.
DepKes, RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar. http //www.depkes.go.id/resources/
download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf, Diakses tanggal 10 desember 2014.
Elizabeth J. C. (2009). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media
Hernanta, I. (2013). Ilmu Kedokteran Lengkap tentang Neurosains. Jogjakarta: D-MEDIKA.
Hoffman, J.M., Lucas, S., Dikmen, S., et al., (2011). Natural History of Headache after
Traumatic Brain Injury. Journal of Neurotrauma, XXVIII, 1719-1725.
Irawan, H., Setiawan, F., Dewi., Dewanto, G. (2010). Perbandingan Glasgow Coma Scale dan
Revised Trauma Score dalam Memprediksi Disabilitas Pasien Trauma Kepala di Rumah
Sakit Atma Jaya. Majalah Kedokteran
Indonesia. Available from
http://indonesia.digitaljournals.org/ index.php/idnmed/article/download/.../745.
Krisanty, P., et al. (2009)Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Cetakan Pertama, Jakarta :
Trans Info Media.
Miranda., et al. (2014). Gambaran Ct Scan Kepala Pada Penderita Cedera Kepala Ringan Di
BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode 2012 – 2013. Diakses tanggal 24
November 2014.
Morton, P. G., Dorrie, F., Carolyn, M. H & Barbara, M. G. (2008). Keperawatan Kritis:
Pendekatan Asuhan Holistik, Ed. 8, Vol. 2. Jakarta: EGC.
Padila (2012). Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta : Nuha Medika.
Pascual, J.L., et al. (2008). Injury to the brain. In : Flint LF et al, editor . Trauma :
Contemporary Principles and Therapy. Philadelphia: Lippincot. p 276-88.
Perron, A.D. (2008) : How to read a head CT Scan. In :Injuries to Bones and Organs.New
York : Mc Graw Hill. March 2008: Chp 69: 356 – 358.