Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA Tn. T DENGAN POST OPERASI FRAKTUR TIBIA

DI RUANG KENANGA RST. dr. SOEPRAOEN

MALANG

OLEH :

NING SRI RAHAYU

201610461011005

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2017
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan ini dibuat


dalam rangka Praktek Profesi Ners Universitas Muhammadiyah
Malang di Kenanga RST. Dr. Soepraoen mulai tanggal 16 22
Januari 2017.

Malang, Januari 2017

Ning Sri Rahayu

Mengetahui,

Pembimbing Institusi Pembimbing


Klinik (RS)

(..........................................)
(..........................................)
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR TIBIA

A. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontiunitas tulang, retak atau
patahnya tulang yang utuh, yang biasanya di sebabkan oleh
trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang di tentukan jenis dan
luas trauma (Lukman 2007).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas
jaringan dan atau tulang yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa (Mansjoer, 2010). Fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya
(Brunner & Suddath, 2012).
B. Anatomi Dan Fisiologi Tibia
Tibia atau tulang kering merupakan kerangka utama tungkai
bawah dan terletak medial dari fibula atau tulang betis;tibia
adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan dua ujung
(Pearce, 2011).
Tulang ini termasuk tulang panjang, sehingga terdiri dari tiga
bagian (Pearce, 2011):
1. Epiphysis proximalis (ujung atas)
Ujung atas memperlihatkan adanya kondil medial dan kondil
lateral. Kondil-kondil ini merupakan bagian yang paling atas
dan paling pinggir dari tulang. Permukaan superiornya
memperlihatkan dua dataran permukaan persendian untuk
femur dalam formasi sendi lutut. Permukaan- permukaan
tersebut halus dan diatas permukaanya yang datar terdapat
tulang rawan semilunar (setengah bukan) yang membuat
permukaan ersendian lebih dalam untuk penerimaan kondil
femur. Kondil lateral memperlihatkan posterior sebuah faset
untuk persendian dengan kepala fibula pada sendi tibio-
febuler superior. Kondil-kondil ini di sebelah belakang
dipisahkan kekukan popliteum. Tuberkel tibia di sebelah
depan tepat dibawah kondil-kondil ini.
bagian depan memberi
kaitan pada tendon patela,
yatu tendon dari insersi otot
eksensor kuadrisep. Bagian
bawah tuberkel itu adalah
subkutaneus dan sewaktu
berlutut menyangga berat
badan.
2. Diaphysis (corpus)
Pada irisan melintang bentuknya
segitiga. Sisi anteriornya paling
menulang dan sepertiga sebelah
tengah terletak subkutan.
Bagian ini membentuk
krista tiia. Permukaan medial adalah subkutaneus pada
hampir seluruh panjangnya dan merupakan daerah berguna
tempat pengambilan serpihan tulng untuk transplantasi
(bonegraf). Permukaan posteror ditandai oleh garis soleal
atau linea poplitea, yaitu garis meninggi di tas tulang yang
kuat dan yang berjalan ke bawah dan medial.
3. Epiphysis distalis (ujung bawah)
Ujung bawah masuk dalam formasi persendianmata kaki.
Tulangnya sedikit melebar dan ke bawah sebelah medial
menjulang menjadi maleolus medial atau maleolus tibiae.
Sebelah depan tibia halus dan tendon-tendon menjulur
diatasnya ke arah kaki.
Fisiologi Tibia
Menurut Long, B.C, fungsi tulang secara umum yaitu :
1. Menahan jaringan tubuh dan memberi bentuk kepada
kerangka tubuh.
2. Melindungi organ-organ tubuh (contoh:tengkorak melindungi
otak)
3. Untuk pergerakan (otot melekat kepada tulang untuk
berkontraksi dan bergerak).
4. Merupakan gudang untuk menyimpan mineral (contoh kalsium
dan posfor)
5. Hematopoiesis (tempat pembuatan sel darah merah dalam
sum-sum tulang).
Menurut Price, Sylvia Anderson, Pertumbuhan dan
metabolisme tulang dipengaruhi oleh mineral dan hormon :
1. Kalsium dan posfor tulang mengandung 99 % kalsium tubuh
dan 90 % posfor. Konsentrasi kalsium dan posfor dipelihara
hubungan terbalik, kalsitonin dan hormon paratiroid bekerja
untuk memelihara keseimbangan.
2. Kalsitonin diproduksi oleh kelenjar tiroid dimana juga
tirokalsitonin yang memiliki efek untuk mengurangi aktivitas
osteoklast, untuk melihat peningkatan aktivitas osteoblast dan
yang terlama adalah mencegah pembentukan osteoklast yang
baru.
3. Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorbsi tulang. Dalam
jumlah besar vitamin D dapat menyebabkan absorbsi tulang
seperti yang terlihat dalam kadar hormon paratiroid yang
tinggi. Bila tidak ada vitamin D, hormon paratiroid tidak akan
menyebabkan absorbsi tulang sedang vitamin D dalam jumlah
yang sedikit membantu klasifikasi tulang dengan meningkatkan
absorbsi kalsium dan posfat oleh usus halus.
4. Paratiroid Hormon, mempunyai efek langsung pada mineral
tulang yang menyebabkan kalsium dan posfat diabsorbsi dan
bergerak melalui serum. Peningkatan kadar paratiroid hormon
secara perlahan-lahan menyebabkan peningkatan jumlah dan
aktivitas osteoklast sehingga terjadi demineralisasi.
Peningkatan kadar kalsium serum pda hiperparatiroidisme
dapat menimbulkan pembentukan batu ginjal.
5. Growth Hormon (hormon pertumbuhan), disekresi oleh lobus
anterior kelenjar pituitary yang bertanggung jawab dalam
peningkatan panjang tulang dan penentuan jumlah matriks
tulang yang dibentuk pada masa sebelum pubertas.
6. Gluikokortikoid, adrenal glukokortikoid mengatur metabolisme
protein. Hormon ini dapat meningkatkan atau menurunkan
katabolisme untuk mengurangi atau meningkatkan matriks
organ tulang dan membantu dalam regulasi absorbsi kalsium
dan posfor dari usus kecil.
7. Estrogen menstimulasi aktifitas osteoblast. Penurunan
estrogen setelah menopause mengurangi aktifitas osteoblast
yang menyebabkan penurunan matriks organ tulang.
Klasifikasi tulang berpengaruh pada osteoporosis yang terjadi
pada wanita sebelum usia 65 tahun namun matriks organiklah
yang merupakan penyebab dari osteoporosis.
C. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh (Muttaqin, 2008) :
a. Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada
tulang. Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya fraktur
pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat
komuniti dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
b. Trauma tidak langsung
Apabila trauma dihantarkan kedaerah yang lebih jauh dari
daerah fraktur, trauma tersebut disebut trauma tidak
langsung. Misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat
menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini
biasanya jaringan lunak tetap utuh.
Faktor resiko terjadinya fraktur meliputi (Kowalak, 2011) :
1. Kejadian terjatuh
2. Kecelakaan kendaraan bermotor
3. Olahraga
4. Pemakaian obat yang mengganggu kemampuan penilaian
atau mobilitas
5. Usia muda (immaturasi tulang)
6. Tumor tulang
7. Penyakit metabolik (hiper/hipoparatioridisme)
8. Obat-obat yang menyebabkan osteoporosis iatrogenik
seperti preparat steroid.

D. Patofisiologi
Fraktur dapat terjadi karena trauma / rudapaksa sehingga
dapat menimbulkan luka terbuka dan tertutup. Fraktur luka
terbuka memudahkan mikroorganisme masuk kedalam luka
tersebut dan akan mengakibatkan terjadinya infeksi.
Pada fraktur dapat mengakibatkan terputusnya
kontinuitas jaringan sendi, tulang bahakan kulit pada fraktur
terbuka sehingga merangsang nociseptor sekitar untuk
mengeluarkan histamin, bradikinin dan prostatglandin yang
akan merangsang serabut A-delta untuk menghantarkan
rangsangan nyeri ke sum-sum tulang belakang, kemudian
dihantarkan oleh serabut-serabut saraf aferen yang masuk ke
spinal melalu dorsal root dan sinaps pada dorsal horn. Impuls-
impuls nyeri menyeberangi sum-sum belakang pada
interneuron-interneuron dan bersambung dengan jalur spinal
asendens, yaitu spinothalamic tract (STT) dan spinoreticuler
tract (SRT). STT merupakan sistem yang diskriminatif dan
membawa informasi mengenai sifat dan lokasi dari stimulus
kepada thalamus kemudian ke korteks untuk diinterpretasikan
sebagai nyeri.
Nyeri bisa merangsang susunan syaraf otonom
mengaktifasi norepinephrin, sarap msimpatis terangsang untuk
mengaktifasi RAS di hipothalamus mengaktifkan kerja organ
tubuh sehingga REM menurun menyebabkan gangguan tidur.
Akibat nyeri menimbulkan keterbatasan gerak
(imobilisasi) disebabkan nyeri bertambah bila digerakkan dan
nyeri juga menyebabkan enggan untuk bergerak termasuk
toiletening, menyebabkan penumpukan faeses dalam colon.
Colon mereabsorpsi cairan faeses sehingga faeses menjadi
kering dan keras dan timbul konstipasi.
Imobilisasi sendiri mengakibatkan berbagai masalah,
salah satunya dekubitus, yaitu luka pada kulit akibat penekanan
yang terlalu lama pada daerah bone promenence.
Perubahan struktur yang terjadi pada tubuh dan perasaan
ancaman akan integritas stubuh, merupakan stressor psikologis
yang bisa menyebabkan kecemasan.
Terputusnya kontinuitas jaringan sendi atau tulang dapat
mengakibatkan cedera neuro vaskuler sehingga mengakibatkan
oedema juga mengakibatkan perubahan pada membran alveolar
(kapiler) sehingga terjadi pembesaran paru kemudian terjadi
kerusakan pada pertukaran gas, sehingga timbul sesak nafas
sebagai kompensasi tubuh untk memenuhi kebutuhan oksigen.
Usia kekuatan benturan jenis dan penyakit (Osteoporosis/tumo
kelenturan tulang
E. PATHWAY

Fraktur tertutup

Terputusnya kontinuitas jaringan tulang
Merangs
ng
Nyeri sat nocicepto
digerakkan sekitar
untuk
Hambatan mobilitas mengelua
ka
fisik
histamin,
Tirah bradikini
prostagla
baring
din

Nyeri
dihantark
n melalu
Serabut A
delta da

Cedera vaskuler, Penekanan yang terlalu Tirah baring Sumsum
pembentukan lama yang cukup lama tulang
trombus belakang
Sirkulasi darah Bising usus
Oedema terganggu menurun Serabut
saraf
perubahan aliran Pemenuhan nutrisi dan Retensi faeces aferen
darah O2 ke jaringan dalam colon
menurun Spinal
Cairan faeces melalui
Ischemia direabsorpsi oleh sinap pad
colon dorsal
Perubahan membran root dan
Alveolar (kapiler) Nekrosis jaringan faeces kering sinap pad
dorsal
Kontak dengan dunia Konstipasihorn
Ketidak efektifan luar
perfusi jaringan Resiko infeksi Spinal
perifer assende
(STT/SRT

Thalamu

Gangguan pola
tidur

Kortek
Serebri

Merangsang RAS Timbul
Nyeri akut di Hipothalamus nyeri

REM Menururn

F. Klasifikasi
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan
yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur.
1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga
fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat
hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh
penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang
seperti terlihat pada foto.
2) Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang seperti:
- Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
- Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu
korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
- Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan
angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang
panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan
mekanisme trauma.
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada
tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau
langsung.
2) Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma
angulasijuga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk
spiral yang disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma
aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan
lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma
tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.

d. Berdasarkan jumlah garis patah.


1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari
satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari
satu tapi tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu
tapi tidak pada tulang yang sama.
G. Manifestasi Klinis
Menurut Kowalak (2011) Manifestasi klinis fraktur adalah
nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstermitas,
krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna.
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai
fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai
fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untum meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat
digunakan dan cenderung bergerak secara alamiah (gerakan
luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya.
Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas (terliahat maupun teraba)
ekstermitas yang bisa diketahui dengan membandingkan
ekstermitas yang normal. Ekstermitas tak dapat berfungsi
dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang
yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas
dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling
melengkapi satu sama lain sampai 2,5-5cm (1-2 inchi).
d. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya
derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan
antara fragmen satu dengan lainnya. Uji kreptus dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan yang lebih berat.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi
sebagi akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti
fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau
cedera.

H. Komplikasi
Brunner dan Suddarth (2012) membagi komplikasi fraktur
kedalam empat macam, antara lain :
1. Syok hipovolemik atau traumatik yang terjadi karena
perdarahan dan kehilangan cairan ekstra sel kejaringan yang
rusak.
2. Sindrome emboli lemak (terjadi dalam 24 sampai 72 jam
setelah cedera). Berasal dari sumsum tulang karena
perubahan tekanan dalam tulang yang fraktur mendorong
molekul-molekul lemak dari sumsum tulang masuk ke sistem
sirkulasi darah ataupun karena katekolamin yang dilepaskan
oleh reaksi stres.
3. Sindrom Kompartemen terjadi karena perfusi jaringan dalam
otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan.
Ini bisa diakibatkan karna:
a. Penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang
membungkus otot terlalu ketat atau gips atau balutan
yang terlalu menjerat
b. Peningkatan isi kompartemen otot karena edema.
4. Tromboemboli, infeksi dan Koagulopati Intravaskuler
Desiminata (KID)

I. Pemeriksaan Penunjang (Kowalak, 2011) :


1. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya
fraktur trauma
2. Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan
fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4. Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat
( hemokonsentrasi ) atau menurun ( pendarahan sel darah
putih adalah respon stress normal setelah trauma).
5. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin
untuk klien ginjal.

J. Penatalaksanaan
Menurut Price (2009), empat konsep dasar yang harus
dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur :
1. Rekognisi, menangani diagnosis pada tempat kejadian
kecelakaan dan kemudian dibawa ke rumah sakit.
2. Reduksi, reposisi fragmen-fragmen fraktur semirip
mungkin dengan keadaan letak normal, usaha-usaha
tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah
sedapat mungkin untuk kembali seperti letak asalnya.
3. Retensi, menyatakan metoda-metoda yang dilaksanakan
untuk menahan fragmen-fragmen tersebut selama
penyembuhan.
4. Rehabilitasi, dimulai segera setelah dan sesudah
dilakukan bersamaan pengobatan fraktur, untuk
menghindari atropi otot dan kontraktur sendi.
Penatalaksanaan klien dengan fraktur dapat dilakukan dengan
cara :
1. Traksi Yaitu penggunaan kekuatan penarikan pada bagian
tubuh dengan memberikan beban yang cukup untuk
penarikan otot guna meminimalkan spasme otot,
mengurangi dan mempertahankan kesejajaran tubuh,
untuk memobilisasi fraktur dan mengurangi deformitas.
2. Fiksasi interna Yaitu stabilisasi tulang yang patah yang
telah direduksi dengan skrup, plate, paku dan pin logam
dalam pembedahan yang dilaksanakan dengan teknik
aseptik.
3. Reduksi terbuka Yaitu melakukan kesejajaran tulang yang
patah setelah terlebih dahulu dilakukan fiksasi dan
pemanjangan tulang yang patah.
4. Gips Adalah fiksasi eksterna yang sering dipakai terbuat
dari plester ovaria, fiber dan plastik.

K. Penatalaksanaan Keperawatan
Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan
dan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya.
Kegiatan dalam pengkajian adalah pengumpulan data.
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan proses yang berisikan status
kesehatan klien dengan menggunakan teknik anamnesis
(autoanamnesa dan aloanamnesa) dan observasi.
a. Biodata Klien
1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin perlu
dikaji karena biasanya laki-laki lebih rentan terhadap
terjadinya fraktur akibat kecelakaan bermotor,
pendidikan, pekerjaan, agama, suku/bangsa, tanggal
masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis,
nomor medrek dan alamat.
2) Identitas penanggung jawab meliputi : nama, umur,
pekerjaan, agama, pendidikan, suku/bangsa, alamat,
hubungan dengan klien.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan utama adalah alasan klien masuk rumah sakit yang
dirasakan saat dilakukan pengkajian yang ditulis dengan singkat
dan jelas, dua atau tiga kata yang merupakan keluhan yang
membuat klien meminta bantuan pelayanan kesehatan.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Merupakan penjelasan dari permulaan klien merasakan keluhan
sampai dengan dibawa ke rumah sakit dan pengembangan dari
keluhan utama dengan menggunakan PQRST.
P (Provokative/Palliative), apa yang menyebabkan gejala
bertambah berat dan apa yang dapat mengurangi gejala.
Q (Quality/Quantity), bagaimana gejala dirasakan klien dan
sejauh mana gejala dirasakan.
R (Region/Radiation) dimana gejala dirasakan ? apakah
menyebar? apa yang dilakukan untuk mengurangi atau
menghilangkan gejala tersebut ?
S (Saferity/Scale), seberapa tingkat keparahan gejala dirasakan?
Pada skala berapa?
T (Timing), berapa lama gejala dirasakan ? kapan tepatnya
gejala mulai dirasakan, apakah ada perbedaan intensitas gejala
misalnya meningkat di malam hari.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Tanyakan mengenai masalah-masalah seperti adanya riwayat
trauma, riwayat penyakit tulang seperti osteoporosis,
osteomalacia, osteomielitis, gout ataupun penyakit metabolisme
yang berhubungan dengan tulang seperti diabetes mellitus
(lapar terus-menerus, haus dan kencing terusmenerus),
gangguan tiroid dan paratiroid.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Hal yang perlu dikaji adalah apakah dalam keluartga klien
terdapat penyakit keturunan ataupun penyakit menular dan
penyakit-penyakit yang karena lingkungan yang kurang sehat
yang berdampak negatif pada kesehatan anggota keluarga
termasuk klien.

c. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dengan menggunakan teknik inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi terhadap berbagai sistem tubuh.
1) Keadaan Umum
Klien yang mengalami immobilisasi perlu dilihat dalam hal
penampilan, postur tubuh, kesadaran, gaya berjalan, kelemahan,
kebersihan dirinya dan berat badannya.
2) Sistem Pernafasan
Bentuk hidung, ada atau tidaknya sekret, PCH (Pernafasan
Cuping Hidung), kesimetrisan dada dan pernafasan, suara nafas
dan frekwensi nafas. Pengaturan pergerakan pernafasan akan
mengakibatkan adanya retraksi dada akibat kehilangan
koordinasi otot. Ekspansi dada menjadi terbatas karena posisi
berbaring akibatnya ventilas paru menurun sehingga dapat
menimbulkan atelektasis. Akumulasi sekret pada saluran
pernafasan mengakibatkan terjadinya penurunan efisiensi
siliaris yang dapat menyebabkan pembersihan jalan nafas yang
tidak efektif. Kelemahan pada otot pernafasan akan
menimbulkan mekanisme batuk tidak efektif.
3) Sistem Kardiovaskuler
Warna konjungtiva pada fraktur, terutama fraktur terbuka akan
terlihat pucat dikarenakan banyaknya perdarahan yang keluar
dari luka, terjadi peningkatan denyut nadi karena pengaruh
metabolik, endokrin dan mekanisme keadaaan yang
menghasilkan adrenergik sereta selain itu peningkatan denyut
jantung dapat diakibatkan pada klien immobilisasi. Orthostatik
hipotensi biasa terjadi pada klien immobilisasi karena
kemampuan sistem syaraf otonom untuk mengatur jumlah darah
kurang. Rasa pusing saat bangun bahkan dapat terjadi pingsan,
terdapat kelemahan otot. Ada tidaknya peningkatan JVP
(Jugular Vena Pressure), bunyi jantung serta pengukuran
tekanan darah. Pada daerah perifer ada tidaknya oedema dan
warna pucat atau sianosis.
4) Sistem Pencernaan
Keadaan mulut, gigi, bibir, lidah, kemampuan menelan,
peristaltik usus dan nafsu makan. Pada klien fraktur dan
dislokasi biasanya diindikasikan untuk mengurangi pergerakan
(immobilisasi) terutama pada daerah yang mengalami dislokasi
hal ini dapat mengakibatkan klien mengalami konstipasi.

5) Sistem Genitourinaria
Ada tidaknya pembengkakan dan nyeri daerah pinggang, palpasi
vesika urinaria untuk mengetahui penuh atau tidaknya, kaji alat
genitourinaria bagian luar ada tidaknya benjolan, lancar
tidaknya pada saat klien miksi serta warna urine. Pada klien
fraktur dan dislokasi biasanya untuk sementara waktu jangan
dulu turun dari tempat tidur, dimana hal ini dapat
mengakibatkan klien harus BAK ditempat tidur memaskai pispot
sehingga hal ini menambah terjadinya susah BAK karena klien
tidak terbiasa dengan hal tersebut.
6) Sistem Muskuloskeletal
Derajat Range Of Motion pergerakan sendi dari kepala sampai
anggota gerak bawah, ketidaknyamanan atau nyeri ketika
bergerak, toleransi klien waktu bergerak dan observasi adanya
luka pada otot akibat fraktur terbuka, tonus otot dan kekuatan
otot. Pada klien fraktur dan dislokasi dikaji ada tidaknya
penurunan kekuatan, masa otot dan atropi pada otot. Selain itu
dapat juga ditemukan kontraktur dan kekakuan pada
persendian.
7) Sistem Integumen
Keadaan kulit, rambut dan kuku. Pemeriksaan kulit meliputi
tekstur, kelembaban, turgor, warna dan fungsi perabaan. Pada
klien fraktur dan dislokasi yang immobilisasi dapat terjadi
iskemik dan nekrosis pada jaringan yang tertekan, hal ini
dikarenakan aliran darah terhambat sehingga penyediaan
nutrisi dan oksigen menurun.
8) Sistem Persyarafan
Mengkaji fungsi serebral, fungsi syaraf cranial, fungsi sensorik
dan motorik sertsa fungsi refleks.
d. Pola Aktivitas Sehari-hari
1) Pola Nutrisi
Kebiasaan makan klien sehari-hari dan kebiasaan makan-
makanan yang mengandung kalsium yang sangat berpengaruh
dalam proses penyembuhan tulang dan kebiasaan minum klien
sehari-hari, meliputi frekwensi, jenis, jumlah dan masalah yang
dirasakan.
2) Pola Eliminasi
Kebiasaan BAB dan BAK klien, apakah berpengaruh terhadap
perubahan sistem tubuhnya yang disebabkan oleh fraktur.

3) Pola Istirahat Tidur


Kebiasaan klien tidur sehari-hari, apakah terjadi perubahan
setelah mengalani fraktur.
4) Personal Hygiene
Kebiasaan mandi, cuci rambut, gosok gigi dan memotong kuku
perlu dkaji sebelum klien sakit dan setelah klien dirawat
dirumah sakit.
5) Pola Aktivitas
Sejauh mana klien mampu beraktivitas dengan kondisinya saat
ini dan kebiasaan klien berolah raga sewaktu masih sehat.
e. Aspek Psiko Sosial Spiritual
1) Data Psikologis Pengkajian psikologis yang dilakukan pada
klien dengan fraktur pada dasarnya sama dengan pengkajian
psikososial dengan gangguan sistem lain yaitu mengenai konsep
diri (gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran diri dan
identitas diri). Pada klien fraktur adanya perubahan yang
kurang wajar dalam status emosional, perubahan tingkah laku
dan pola koping yang tidak efektif.
2) Data sosial
Pada data sosial yang dikaji adalah hubungan klien dengan
keluarga dan hubungan klien dengan petugas pelayanan
kesehatan.
3) Data Spiritual
Perlu dikaji agama dan kepribadiannya, keyakinan dan harapan
yang merupakan aspek penting untuk penyembuhan
penyakitnya.
f. Data Penunjang
Pemeriksaaan diagnostik yang biasa dilakukan pada pasien
dengan fraktur:
1) Pemeriksaan rontgen
Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
2) Computed Tomography (CT-SCAN).
Memperlihatkan fraktur dan dislokasi, dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak dan untuk
mengetahui lokasi dan panjangnya patah tulang didaerah yang
sulit dievaluasi.
3) Arteriogram
Dilakukan bila dicurigai terdapat kerusakan vaskuler.
4) Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar haemoglobin yang
biasanya lebih rendah karena perdarahan akibat trauma.
Hematokrit mungkin meningkat atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh dari trauma
multiple). Kreatinin (trauma otot meningkatkan beban kreatinin
untuk klirens ginjal). Profil koagulasi (perubahan dapat terjadi
pada kehilangan darah, tranfusi multipel atau cedera hati).
Analisa Data
Data yang sudah dikumpulkan kemudian dikelompokkan
berdasarkan masalahnya kemudian dianalisa dengan
menggunakan tabel yang terdiri dari nomer, data yang terdiri
dari data subjektif dan objektif, etiologi dan masalah, sehingga
menghasilkan suatu kesimpulan berupa masalah keperawatan
yang nantinya akan menjadi diagnosa keperawatan.

Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik

2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan


dengan gangguan suplai darah

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan


integritas struktur tulang

4. Resiko infeksi berhungan dengan kerusakan integritas


jaringan

5. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri

6. Konstipasi berhubungan dengan keterbatasan aktifitas fisik

Rencana Keperawatan

Diagnosa NOC NIC

Nyeri akut NOC : Pain Management


berhubungan Lakukan pengkajian
dengan agen nyeri secara
Pain Level, komprehensif termasuk
cedera fisik
pain control, lokasi, karakteristik,
comfort level durasi, frekuensi,
Kriteria Hasil : kualitas dan faktor
presipitasi
Mampu mengontrol Observasi reaksi
nyeri (tahu penyebab nonverbal dari
nyeri, mampu ketidaknyamanan
menggunakan tehnik Gunakan teknik
nonfarmakologi untuk komunikasi terapeutik
mengurangi nyeri, untuk mengetahui
mencari bantuan) pengalaman nyeri pasien
Skala : 1 2 3 4 5 Kaji kultur yang
Melaporkan bahwa nyeri mempengaruhi respon
berkurang dengan nyeri
menggunakan Evaluasi pengalaman
manajemen nyeri nyeri masa lampau
Skala: 1 2 3 4 5 Evaluasi bersama pasien
Mampu mengenali nyeri dan tim kesehatan lain
(skala, intensitas, tentang ketidakefektifan
frekuensi dan tanda kontrol nyeri masa
nyeri) lampau
Skala : 1 2 3 4 5 Bantu pasien dan
Menyatakan rasa keluarga untuk mencari
nyaman setelah nyeri dan menemukan
berkurang dukungan
Skala : 1 2 3 4 5 Kontrol lingkungan yang
Tanda vital dalam dapat mempengaruhi
rentang normal nyeri seperti suhu
Skala : 1 2 3 4 5 ruangan, pencahayaan
dan kebisingan
Kurangi faktor
presipitasi nyeri
Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi, non
farmakologi dan inter
personal)
Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk menentukan
intervensi
Ajarkan tentang teknik
non farmakologi
Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
Tingkatkan istirahat
Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan
dan tindakan nyeri tidak
berhasil
Monitor penerimaan
pasien tentang
manajemen nyeri

Analgesic Administration

Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas,
dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
Cek instruksi dokter
tentang jenis obat, dosis,
dan frekuensi
Cek riwayat alergi
Pilih analgesik yang
diperlukan atau
kombinasi dari analgesik
ketika pemberian lebih
dari satu
Tentukan pilihan
analgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri
Tentukan analgesik
pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara
teratur
Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
Berikan analgesik tepat
waktu terutama saat
nyeri hebat
Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)
Ketidakefektifan NOC : Peripheral
perfusi jaringan Sensation Management
Circulation status (Manajemen sensasi
perifer
berhubungan perifer)
Kriteria Hasil : Monitor adanya daerah
dengan
tertentu yang hanya
gangguan mendemonstrasikan status
peka terhadap
suplai darah sirkulasi yang ditandai panas/dingin/tajam/tump
dengan : ul
Monitor adanya paretese
Tekanan Instruksikan keluarga
systole dandiastole untuk mengobservasi
dalam rentang yang kulit jika ada lsi atau
diharapkan laserasi
Skala : 1 2 3 4 Gunakan sarun tangan
5
untuk proteksi
Tidak ada
ortostatikhipertensi
Skala :1 2 3 4 5
Tidak ada
tnda-tanda odem
Skala : 1 2 3 4
5
Lokasi
trauma teraba
hangat
Skala : 1 2 3 4
5
Sensasi
raba positif
Skala : 1 2
3 4 5

Hambatan NOC : Exercise therapy :


mobilitas fisik ambulation
Mobility Level Monitoring vital sign
berhubungan
Kriteria Hasil : sebelm/sesudah latihan
dengan
dan lihat respon pasien
kerusakan Klien meningkat dalam saat latihan
integritas aktivitas fisik Konsultasikan dengan
struktur tulang Skala : 1 2 3 4 5 terapi fisik tentang
Mengerti tujuan dari rencana ambulasi sesuai
peningkatan mobilitas
Skala : 1 2 3 4 5 dengan kebutuhan
Memverbalisasikan Bantu klien untuk
perasaan dalam menggunakan tongkat
meningkatkan saat berjalan dan cegah
kekuatan dan terhadap cedera
kemampuan berpindah Ajarkan pasien atau
Skala 1 2 3 4 5 tenaga kesehatan lain
Memperagakan tentang teknik ambulasi
penggunaan alat Bantu Kaji kemampuan pasien
untuk mobilisasi dalam mobilisasi
(walker) Latih pasien dalam
Skala : 1 2 3 4 5 pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
Dampingi dan Bantu
pasien saat mobilisasi
dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs ps.
Berikan alat Bantu jika
klien memerlukan.
Ajarkan pasien bagaimana
merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
DAFTAR PUSTAKA

Kozier, B., & Erb, G. (2009). Buku Ajar Praktek Keperawatan


Klinis Edisi 5. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kowlak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC
Mansjoer, A. (2010). Kapita Selekta Kedokteran ed. 4. Jakarta :
Media Aesculapius.
Muttaqin, A. (2010). Asuhan Kperaawatan Klien Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta :EGC
Potter, A.,& Perry, AG. (2009). Buku Ajar Fundamental
Keperawatan : konsep, proses dan
praktik, Edisi 4, Volume 2, Monica E et all (penerjemah),
2006. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Price, SA.,& Wilson, LM. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit Edisi 6, Volume 2, Petter A
(penerjemah), 2006. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Pearce, E. (2011). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis.
Jakarta : Gramedia.
Smeltzer, C.S., & Bare, G.B. (2012). Buku Ajar Keperawatan
Medical Bedah Brunner & Suddart Edisi 8 Volume 2,
Penerbit Buku Kedokteran ( EGC ) : Jakarta.
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa
Keperawatan, Edisi III. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai