Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Menurut Barell, Heruti, Abargel dan Ziv (1999), sebanyak 1465 korban mengalami
trauma kepala, sedangkan 1795 korban mengalami trauma yang multipel dalam penelitian di
Israel. Kecederaan multipel berkaitan dengan keparahan dan ia adalah asas dalam
mendiagnosa gambaran keseluruhan kecederaan. Dengan merekam seluruh kecederaan yang
dialami oleh korban, ia dapat membantu dalam mengidentifikasi kecederaan yang sering
mengikut penyebab trauma pada korban.
Trauma Murni adalah apabila korban didiagnosa dengan satu kecederaan pada salah
satu regio atau bagian anatomis yang mayor (Barell, Heruti, Abargel dan Ziv, 1999).
Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan
secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan
kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan
disabilitas fungsional. Trauma kepala paling banyak dicatat pada pasien politrauma dengan
kombinasi dari kondisi yang cacat seperti amputasi, kelainan pendengaran dan penglihatan,
post-traumatic stress syndrome dan kondisi kelainan jiwa yang lain (Veterans Health
Administration Transmittal Sheet). Ada beberapa trauma yang sering terjadi yaitu:
1.1.1. Trauma servikal, batang otak dan tulang belakang
Trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang tinggi serta
pada aktivitas olahraga yang berbahaya boleh menyebabkan cedera pada beberapa
bagian ini.
1.1.2. Trauma toraks
Trauma toraks bisa terbagi kepada dua yaitu cedera dinding toraks dan
cedera paru.
1.1.3. Trauma abdominal
Trauma abdominal terjadi apabila berlaku cedera pada bagian organ dalam dan bagian
luar abdominal

1
1.1.4. Trauma tungkai atas
Trauma tungkai atas adalah apabila berlaku benturan hingga menyebabkan cedera dan
putus ekstrimitas. Cedera bisa terjadi dari tulang bahu, lengan atas, siku, lengan
bawah, pergelangan tangan, jari-jari tangan serta ibu jari.
1.1.5. Trauma tungkai bawah
Kecederaan yang paling sering adalah fraktur tulang pelvik. Cedera pada bagian lain
ekstrimitas bawah seperti patah tulang femur, lutut atau patella, ke arah distal lagi
yaitu fraktur tibia, fraktur fibula, tumit dan telapak kaki (James, Corry dan Perry,
2000).

2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1.1. Pengertian Trauma Kepala


Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Menurut Satya Negara (1998:148) mengemukakan bahwa cedera kepala
merupakan jumlah deformitas jaringan di kepala yang diakibatkan oleh suatu
kekuatan mekanis.
Dari beberapa penegertian di atas dapat disimpulkan bahwa trauma kepala
atau cidera kepala adalah suatu kerusakan yang menimpa struktur kepala yang
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar yang dapat menimbulkan
gangguan fugsional jaringan otak.
2.2. Anatomi dan Fisiologi Otak
Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai agar-agar dan
terletak di dalam ruangan yang tertutup oleh tulang yaitu kranium (tengkorak), yang
secara absolut tidak dapat bertambah volumenya, terutama pada orang dewasa.

Jaringan otak dilindungi oleh beberapa pelindung, mulai dari permukaan luar
adalah: kulit kepala yang mngandung rambut, lemak dan jaringan lainnya, tulang
tengkorak, meningens (selaput otak dan liquor serebrospinalis). (Satyanegara, 1998: 12)

3
Otak dibagi dalam beberapa bagian:

2.2.1. Serebrum (otak besar)


Merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur,
mengisi depan atas rongga tengkorak, masing-masing disebut fase kranialis
anterior atas dan fase kranialis media.

Pada otak besar ditemukan beberapa lobus, yaitu:

1) Lobus frontalis, adalah bagian dari serebrum yang terletak di depan siklus
sentralis. Lobus ini terlihat dalam 2 fungsi serebral utama, yaitu: (1) kontrol
motorik gerakan volunter termasuk fungsi bicara, dan (2) kontrol berbagai
ekspresi emosi, moral dan tingkah laku etika. Fungsi aktifitas motoriknya
diekspresikan melalui: korteks somato-motorik primer (area Brodmann 4),
korteks premotor dan suplemen (area Brodmann 6), frontal eye field (area
Brodmann 8) dan pusat bicara Broca (area Brodmann 44), sedangkan kontrol
ekspresif dari emosi dan moral dilaksanakan oleh korteks pre frontal
(Satyanegara, 1998: 15)
2) Lobus parietalis, terdapat di depan sulkus sentralis dan dibelakangi oleh
karaco oksipitalis. Lobus parietal dikaitkan untuk evaluasi sensorik umum dan
rasa kecap, dimana selanjutnya akan dintegrasi dan diproses untuk
menimbulkan kesiagaan tubuh terhadap lingkungan eksternal. (Satyanegara,
1998: 17)
3) Lobus temporalis, terdapat di bawah lateral dari fisura serebralis dan di depan
lobus oksipitalis. Lobus temporalis mempunyai peran fungsionil yang
berkaitan dengan pendengaran, keseimbangan dan juga sebagian dari emosi-
memori.
4) Lobus oksipitalis, yang mengisi bagian belakang daris erebrum lobus
oksipitalis sangat penting fungsinya sebagai kortex visual. Secara umum,
fungsi serebrum terdiri dari:
a) mengingat pengalaman-pengalaman masa lalu
b) pusat persyarafan yang menangani; aktifitas mental, akal, inteligensi,
keinginan dan memori
c) pusat menangis, buang air besar dan buang air kecil

4
Penampang lateral lobus-lobus otak

Sumber: Satyanegara, L. Djoko Listiano, Ilmu Bedah Saraf Edisi III, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1998

a. Batang otak (trunkus serebri)


Batang otak adalah pangkal otak yang merilei pesan-pesan antara medula spinalis
dan otak. Batang otak terdiri dari:

1) Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebrum dengan
mesensefalon. Kumpulan dari sel syaraf yang terdapat di bagian depan lobus
temporalis terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap ke samping.
Fungsi dari diensefalon:

a) vaso kontruktor, mengecilkan pembuluh darah


b) respiratori, membantu proses persyarafan
c) mengontrol kegiatan reflek
d) membantu pekerjaan jantung

Diensefalon tersusun atas struktur Hipothalamus yang berfungsi


sebagai pusat integrasi susunan saraf otonom, regulasi temperatur,
keseimbangan cairan dan elektrolit, integrasi sirkuit siklus bangun-tidur,
intake makanan, respon tingkah laku terhadap emosi, pengontrolan endokrin,
dan respon seksual. Thalamus berfungsi sebagai pusat persediaan dan integrasi

5
bagi semua jenis impuls sensorik, kecuali penciuman.thalamus memainkan
peranan penting dalam transmisi impuls nyeri.(satyanegara, 1998:20)

2) Mesensefalon, atap dari mesensefalon terdiri dari 4 bagian yang menonjol ke


atas, 2 di sebelah atas disebut korpus quadrigeminus superior dan 2 di sebelah
bawah disebut korpus quadrigeminus inferior, serat saraf okulomotorius
berjalan ke veritral di bagian medial. Serat-serat saraf nervus troklearis
berjalan ke arah dorsal menyilang garis tengah ke sisi lain.
Fungsinya terdiri dari:

a) membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata


b) memutar mata dan pusat pergerakan mata
3) Pons varoli, brakium pontis yang menghubungkan mesensefalon dengan pons
varoli dengan serebelum, terletak didepan serebelum di antara otak tengah dan
medula oblongota, disini terdapat premotoksid yang mengatur gerakan
pernafasan dan reflek.
Fungsi dari pons varoli terdiri dari:

a) penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga antara medula


oblongata dengan serebelum
b) pusat syaraf nervus trigeminus
4) Medula oblongata, merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah
yang menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis. Bagian bawah
medula oblongata merupakan persambungan medula spinalis ke atas dan
bagian atas medula oblongata disebut kanalis sentralis di daerah tengah bagian
ventral medula oblongata.

6
Fungsi medula oblongata merupakan organ yang menghantarkan impuls dari
medula spinalis dan otak yang terdiri dari:

a) mengontrol pekerjaan jantung


b) mengecilkan pembuluh darah (vasokonstruktor)
c) pusat pernafasan (respiratory centre)
d) mengontrol kegiatan reflek
Otak dilindungi oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan:

a. Duramater (lapisan sebelah luar)


Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, di
bagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan duramater propia di
bagian dalam. Di dalam kanal vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Duramater
pada tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan arah vena dari otak,
rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior, terletak di antara kedua
hemisfer otak.

b. Arakhnoid (lapisan tengah)


Merupakan selaput halus yang memisahkan duramater dengan piameter
membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh
susunan syaraf sentral. Medula spinalis terhenti setinggi di bawah lumbal I-II
terdapat sebuah kantong berisi cairan, berisi saraf perifer yang keluar dari
medula spinalis dapat dimanfaatkan untuk mengambil cairan otak yang disebut
pungsi lumbal.

c. Piamater (lapisan sebelah dalam)


Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piamater
berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang
disebut trabekel. Tepi falks serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan
sinus sagitalis inferior yang mengeluarkan darah dari falks serebri. Tentorium
memisahkan serebri dengan sereblum.(Syaifuddin, 1997: 124)

7
2.3. Etiologi
a) Menurut Satyanegara,1998:148
Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat salah satu dari kedua mekanisme
dasar yaitu:
 Kontak bentur, terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu
obyek atau sebaliknya
 Guncangan lanjut, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang
hebat, baik yang disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena
pukulan
b) Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala
adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%,
karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan
sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama
trauma kepala (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien
Trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan
adalah penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1
per100.000 populasi di Amerika Serikat ( Coronado, Thomas, 2007). Penyebab
utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut :
 Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan
dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan
kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya (IRTAD, 1995).
 Kekerasan
Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-tiba
dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka
kepala tiba-tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba
mendapat gaya mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala.
Kecederaan di bagian muka dikatakan fraktur maksilofasial (Sastrodiningrat,
2009).

2.4. Manifestasi Klinis


1) Rupturenya aneurisme menyebabkan sakit kepala mendadak, biasanya terjadi sangat
hebat, seringkali terjadi kehilangan kesadaran selama beberapa periode, nyeri dan
kekauan bagian belakang leher dan tulang belakang, gangguan penglihatan
(kehilangan penglihatan, diplopia, ptosis).

8
2) Dapat juga terjadi tinnitus, pusing, dan hemiparesis. Jika aneurisme mengeluarkan
darah, pasien mungkin sedikit memperlihatkan deficit neurologis, atau perdarahan
hebat, mengakibatkan kerusakan serebral yang dengan cepat diikuti dengan koma dan
kematian.
3) Prognosis tergantung pada kondisi neurologis, usia pasien penyakit yang berkaitan,
dan luas serta letak aneurisme.

2.5. Jenis Trauma Kepala


Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, kaparahan, dan morfologi
cedera.

1. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi duramater


 Trauma tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil)
Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
 Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)
2. Keparahan cedera
: (Mansjoer, Arief 2000:5), (Hudak and Gallo, alih bahasa Monica E.D Adiyanti,
1996:226)
 Ringan : Skala koma Glasgow (Glasglow Coma Scale, GCS) 14-15
Suatu keadaan dimana kepala mendapat trauma ringan dengan hasil penilaian
tingkat kesadaran (GCS) yaitu 13-15, klien sadar penuh, atentif dan orientatif.
Klien tidak mengalami kehilangan kesadaran, bila hilang kesadaran misalnya
konkusio, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang. Klien biasanya
mengeluh nyeri kepala dan pusing. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau
hematoma kulit kepala
 Sedang: GCS 9-13
Suatu keadaan cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12,
tingkat kesadaran lethargi, obturded atau stupon. Gejala lain berupa muntah,
amnesia pasca trauma, konkusio, rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea
cairan cerebrospinal dan biasanya terdapat kejang.
 Berat : GCS 3-8
Cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 3-8, tingkat
kesadaran koma. Terjadi penurunan derajat kesadaran secara progresif. Tanda
neurologis fokal, cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.
Mengalami amnesia > 24 jam, juga meliputi kontusio cerebral, laserasi atau
hematoma intra kranial.
2.6. Patofisiologi

9
Patofisiologi trauma kepala menurut: Sylvia Anderson, et,al., alih bahasa Peter
Anugerah (1995: 1011); Satyanegara, (1998: 150); Carolyn M. Hudak, et, al., alih bahasa
Monica E.D Adiyanti (1996: 226) adalah sebagai berikut:
Pada trauma kepala dimana kepala mengalami benturan yang kuat dan cepat akan
menimbulkan pergerakan dan penekanan pada otak dan jaringan sekitarnya secara
mendadak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Peristiwa ini dikenal
dengan sebutan cedera akselerasi-deselerasi. Dipandang dari aspek mekanis, akselerasi
dan deselerasi merupakan kejadian yang serupa, hanya berbeda arahnya saja. Efek
akselerasi kepala pada bidang sagital dari posterior ke anterior adalah serupa dengan
deselerasi kepala anterior-posterior.
Cedera yang terjadi pada waktu benturan dapat menimbulkan lesi, robekan atau
memar pada permukaan otak, dengan adanya lesi, robekan, memar tersebut akan
mengakibatkan gejala defisit neurologis yang tanda-tandanya adalah penurunan kesadaran
yang progresif, reflek Babinski yang positif, kelumpuhan dan bila kesadaran pulih
kembali biasanya menunjukkan adanya sindrom otak organik.
Pada trauma kepala dapat juga menimbulkan edema otak, dimana hal ini terjadi
karena pada dinding kapiler mengalami kerusakan, ataupun peregangan pada sel-sel
endotelnya. Sehingga cairan akan keluar dari pembuluh darah dan masuk ke jaringan otak
karena adanya perbedaan tekanan antara tekanan intravaskuler dengan tekanan
interstisial.

2.7. Dampak trauma kepala terhadap sistem tubuh lainnya


Adanya gangguan sistem persyarafan akibat trauma kepala akan mengganggu
sistem tubuh lainnya. Adapun gangguannya menurut : Carolyn M. Hudak, et, al., alih
bahasa Monica E.D Adiyanti (1996: 230) Tuti Pahria,dkk (1996:50) adalah sebagai
berikut :
a) Sistem kardiovaskuler
Trauma kepala yang disertai dengan Subdural hematoma, akan terjadi
perdarahan dan edema serebri sehingga terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
Kondisi ini akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, tachikardi kemudian
bradikardi dan iramanya tidak teratur sebagai kompresi kerja jantung.

Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktifitas


atipikal miokardiar, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Akibat adanya
perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan
10
vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh
persyarafan simfatik dan parasimfatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol
otak tidak begitu besar.

Aktifitas miokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan


menurunnya stroke work dimana pembacaan CVP abnormal, tidak adanya
stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel.
Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium
kiri. Akibatnya tubuh berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik.
Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema
paru.

b) Sistem pernafasan

Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokontriksi paru atau
hipertensi paru, menyebabkan hipernoe dan bronkhokonstriksi. Pernafasan cheyne
stokes dihubungkan dengan sensitifitas yang meningkat pada mekanisme terhadap
karbondioksida dan episode pasca hiperventilasi apnea. Konsentrasi oksigen dan
karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah,
aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2 akan terjadi
alkalosis yang menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF
(Serebral Blood Fluid). Bila PCO2 bertambah akibat gangguan sistem pernafasan
akan menyebabkan acidosis dan vasodilatasi. Hal ini menyebabkan pertambahan
CBF, yang kemudian menyebabkan terjadinya penambahan tingginya tekanan
intra kranial (TTIK) edema otak karena trauma adalah bentuk vasogenik. Pada
kontusio otak, terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatik yang
mengandung protein eksudat yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial
otak normal tidak didapatkan edema otak terjadi karena penekanan terhadap
pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Edema otak dapat menyebabkan herniasi
dan penekanan batang otak atau medula oblongata. Akibat penekanan daerah
medula oblongata dapat menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai dengan
irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif.

Trauma kepala dapat mengakibatkan penurunan kesadaran yang dapat


menyebabkan terakumulasinya sekret pada trakheobronkhiolus, sehingga akan
terjadi obstruksi pada saluran pernapasan.
11
c) Sistem pencernaan
Trauma kepala juga mempengaruhi sistem pencernaan. pada klien post
craniotomy pada hari pertama akan didapatkan bising usus yang menurun karena
efek narkose. Setelah trauma kepala (3 hari) terdapat respon tubuh dengan
merangsang aktifitas hipotalamus dan stimulus gagal. Hal ini merangsang anterior
hipofisis menjadi hiperasiditas. Hipotalamus merangsang anterior hipofisis untuk
mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani
edema serebral. Namun, pengaruhnya terhadap lambung adalah peningkatan
ekskresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu hiperasiditas
terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani
stres yang mempengaruhi produksi lambung.

Hiperasiditas yang tidak ditangani akan menyebabkan perdarahan lambung.


sedangkan peningkatan asam lambung akan mengakibatkan klien mual dan
muntah. klien dengan peningkatan tekanan intra kranial akibat trauma kepala
ditandai dengan muntah yang seringkali proyektil.

2.8. Komplikasi pada trauma kepala


1) Sindrompasca konkusi
Nyeri kepala, vertigo, depresi dan gangguan konsentrasi dapat menetap bahkan
setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi setelah cedera vestibular

2) Kebocoran cairan serebro spinal

Hal ini dapat terjadi mulai dari saat cedera, tetapi jika hubungan Antara rongga
subaraknoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis hanya kecil
dan tertutup jaringan otak, maka hal ini tidak akan terjadi dan pasien mungkin
mengalami meningitis dikemudian hari. Selain terapi infeksi, komplikasi ini
membutuhkan reparasi bedah untuk robekan dura. Eksplorasi bedah juga dibutuhkan
terjadi kebocoran cairan serebrospinal presisten.

3) Epilepsy pascatrauma
Terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal ( dalam minggu pertama
setelah cedera), amnesia pasca trauma yang lama (lebih dari 24 jam), fraktur depresi
cranium, hematoma intracranial.
12
2.9. Pemeriksaan Diagnostik
1. Skan CT ( tanpa /dengan kontras ) : mengidentifikasi adanya SOL, hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. MRI : sama dengan skan CT dengan/tanpa menggunakan kontras
3. Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
4. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau brkembngnya gelombang patologis.
5. Sinar x : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur
dari geras tengah, adanya fragmen tulang.
6. BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks dan batang
otak
7. PET (positron Emission Tomography) : menunjukkan perubahan aktivitas
metabolisme pada otak
8. Pungsi Lumbal, CSS : Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarakhnoid.
9. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui ada masalah ventilasi atau oksigenasi yang
dapat meningkatkan TIK.
10. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
meningkatkan TIK/perubahan mental
11. Pemeriksaan toksologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran
12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif untuk mengatasi kejang.
2.10 Penatalaksanaaan Khusus

a) Cedera Kepala Ringan : pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan
ke rumah tanpa perlu dilakukan CT Scan bila memenuhi kriteria berikut :

a. Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan)
dalam batas normal
b. Foto servikal jelas normal
c. Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24
jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat
jika timbul gejala perburukan.
b) Cedera kepala sedang : pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan
skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT
scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di
rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko

13
timbulnya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala
sedang adalah minimal.
c) Cedera kepala berat : setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan
segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera
(hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke
bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya
dilakukan di unit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk
kerusakan primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak
sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau tekanan intrakranial yang meningkat.
 Anti kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus
diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan
dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat
diberikan fenitoin 15 mg/ kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan
kecepatan tidak melebihi 50 mg/ menit.pada cedera kepala berat, Antikejang
fenitoin diberikan 15-20 mg/kgBB bolus intavena, kemudian 300 mg/hari
intravena mengurangi frekuensi kejang pascatrauma dini (minggu pertama)
dari 14% menjadi 4% pada pasien dengan perdarahan intrakranial traumatik.
Pemberian fenitoin tidak mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma di
kemudian hari. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan
setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau ketat karena kadar subterapi
sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
 Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan
katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian
makanan enteral melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan
sesegera mungkin (biasanya hari ke-2 perawatan)
 Temperatur badan: demam (temperatur > 101oF) mengeksaserbasi cedera otak
dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin.
Pengobatan penyebab (antibiotik) diberikan bila perlu.
 Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan
cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia dan
komplikasi lain. Untuk itu, steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir
pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena setiap 4-6 jam
selama 48-72 jam)
 Profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanis atau koagulopati
memiliki resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat

14
ranitidin 50 mg intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam
atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
 Antibiotik: penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien dengan
cedera kepala terbuka masih kontroversial. Golongan penisilin dapat
mengurangi resiko meningitis penumokok pada pasien dengan otorea, rinorea
cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan resiko
infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
 Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi
 Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau
glukosa 40% atau gliserol 10%
 Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa, hanya cairan infus 5%, aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
 Pembedahan, meliputi kraniotomi atau kraniektomi
trauma berat, karena hari-hari pertama didapatkan penderita mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit,
maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan, dextrosa 5% 8
jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrosa 5% 8 jam ketiga.
Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui
nasogastrik tube (2500-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai urea
N. (kapita selekta kedokteran edisi ketiga jilid dua)

15
BAB III

TINJAUAN KASUS

Tn. D, usia 18 tahun di rawat di ruang RC.3 Bedah syaraf karena mengalami trauma
kepala sedang di sertai sub dural hematoma. Ketika di kaji diperoleh data: GCS= 11
(E2M5V4). Pasien telah di operasi 2 hari yang lalu, terdapat luka post craniotomy
sepanjang 10cm pada daerah lobus frontal, pasien tampak gelisah dan terpasang mag
slang karena masih di puasakan. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital di peroleh: TD=
140/90 mmHg, nadi= 110 x/menit, RR= 30x/menit, dan suhu= 38,5 ͦ celcius.

Penugasan:

Diskusikanlah trauma kepala dengan tindakan operasi craniotomy, apa yang saudara bisa
jelaskan dari kondisi tersebut terkait dengan kebutuhan perawatan pasien dan hal-hal lain
terkait dengan komplikasi yang mungkin timbul.

16
Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan Akibat
Trauma Kepala

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data baik
subyektif atau obyektif dan kemudian menganalisanya. Data-data dalam pengkajian
ini meliputi: (Pahria, Tuti ,dkk, 1996: 55)

a. Identitas klien
1) Identitas klien
Identitas klien meliputi nama klien, umur klien biasanya pada usia produktif
atau pada lansia, jenis kelamin mayoritas pria, agama, pendidikan, pekerjaan
klien biasanya berhubungan dengan sarana transportasi, status marital, suku
bangsa, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, golongan darah,
no.medrek, diagnosa medis dan alamat.

2) Identitas penanggung jawab

Identitas penanggung jawab meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,


pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.

b. Riwayat kesehatan
1) Alasan masuk Rumah Sakit
Biasanya penyebab trauma kepala karena kecelakaan lalu lintas, namun tidak
menutup kemungkinan faktor lain. Oleh karena itu pada Alasan klien masuk
Rumah Sakit perlu dikaji mengenai kapan, dimana, penyebab, bagaimana
proses terjadinya, apakah klien pingsan, muntah atau perdarahan dari hidung
atau telinga.

2) Keluhan utama saat dikaji


Pada umumnya pasien dengan trauma kepala sedang datang ke rumah sakit
dengan penurunan tingkat kesadaran (GCS = 9-12), sedangkan apabila klien

17
sudah sadar penuh biasanya akan merasa bingung,mengeluh muntah, dispnea,
tachipnea, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralise, hemiparese, luka
di kepala, akumulasi sputum pada saluran nafas, adanya liquor dari hidung dan
telinga dan adanya kejang yang disebabkan karena proses benturan akselerasi-
deselerasi pada setiap daerah lobus otak yang dapat menyebabkan konkusio
atau kontusio serebri yang mengakibatkan penurunan kesadaran kurang atau
bisa lebih dari 24 jam.

3) Riwayat kesehatan dahulu


Perlu dikaji apakah klien pernah mengalami trauma kepala atau penyakit
sistem syaraf serta penyakit sistemik. Perlu dikaji juga apakah klien memiliki
kebiasaan kebut-kebutan di jalan raya, memakai Helm dalam mengendarai
kendaraan, meminum minuman beralkohol atau obat-obatan terlarang.

4) Riwayat kesehatan keluarga


Kaji mengenai adanya penyakit keturunan, penyakit menular, kebiasaan buruk
dalam keluarga seperti merokok atau keadaan kesehatan anggota keluarga.

18
c. Pemeriksaan fisik
1) Sistem pernafasan
Didapatkan adanya perubahan pola nafas baik irama, kedalaman maupun
frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur (cheyne stokes, ataxia
breathing), bunyi nafas ronchi atau stridor, adanya sekret pada trakheo
bronkhiolus, adanya retraksi dinding dada.

2) Sistem kardiovaskuler
Dalam pemeriksaan didapatkan perubahan tekanan darah menurun kecuali
apabila terjadi peningkatan tekanan intra kranial maka tekanan darah
meningkat, denyut nadi tachikardi, kemudian bradikardi atau iramanya tidak
teratur sebagai kompresi kerja jantung untuk membantu mengurangi tekanan
intra kranial.

3) Sistem pencernaan
Pada klien post craniotomy biasanya didapatkan bising usus yang normal atau
bisa juga menurun apabila masih ada pengaruh anestesi, perut kembung, bibir
dan mukosa mulut tampak kering, klien dapat mual dan muntah. kadang-
kadang konstipasi karena klien tidak boleh mengedan atau inkontinensia
karena klien tidak sadar. Pada perkusi abdomen terdengar timpani, nyeri tekan
pada daerah epigastrium, penurunan berat badan.

4) Sistem perkemihan
Pada pengkajian akan didapatkan retensi urine pada klien sadar, sedangkan
pada klien tidak sadar akan didapatkan inkontinensia urine dan fekal, jumlah
urine output biasanya berkurang. Terdapat ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, dimana terdapat hiponatremia atau hipokalemia.

5) Sistem muskuloskeletal
Pada klien post craniotomy biasanya ditemukan gerakan-gerakan involunter,
kejang, gelisah, ataksia, paralisis dan kontraktur, kekuatan otot mungkin
menurun atau normal.

19
6) Sistem integumen
Pada klien post craniotomy tampak luka pada daerah kepala, suhu tubuh
mungkin di atas normal, banyak keringat. Pada hari ketiga dari operasi
biasanya luka belum sembuh karena masih agak basah/ belum kering.
biasanya masih terdapat hematoma pada klien dengan perdarahan di
meningen. Data fisik yang lain adalah mungkin didapatkan luka lecet dan
perdarahan pada bagian tubuh lainnya. Bentuk muka mungkin asimetris.

7) Sistem persyarafan
a) Test fungsi serebral
1) Klien mengalami penurunan kesadaran maka dalam
orientasi, daya ingat, perhatian dan perhitungan serta fungsi bicara
klien sehingga hasil pemeriksaan status mentalnya kurang dari normal
atau kurang dari 20 ditandai dengan amnesia, gangguan kognitif, dll.
2) Tingkat kesadaran
Biasanya tingkat kesadaran berkisar antara obtunded sampai lethargi.
Kuantitas: nilai GCS: 9-12

3) Pengkajian bicara
(a) Proses reseptif
Biasanya didapatkan kesulitan mengucapkan kata-kata yang leih
dari satu kata misalnya “sakit kepala” atau “rumah sakit”

(b) Proses ekspresif


Biasanya didapatkan bicara kurang lancar, tidak spontan dan tidak
jelas

b) Test nervus kranial (Lumbantobing, 2003: 24), (Tuti Pahria,


dkk, 1996: 55
 Nervus I (olfaktorius)
Memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman dan anosmia
bilateral yang disebabkan karena terputusnya serabut olfaktorius selain
karena trauma kepala juga bisa disebabkan oleh infeksi.

 Nervus II (optikus)

20
Pada trauma oksipitalis, memperlihatkan gejala berupa penurunan daya
penglihatan, penurunan lapang pandang

 Nervus III, IV, VI (okulomotorius, troklearis, abdusen)


Pada trauma kepala yang disertai dengan perdarahan intrakranial akan
menyebabkan gangguan reaksi pupil yang lambat/ midriasis karena
tekanan pada bagian pinggir nervus III yang mengandung serabut
parasimpatis. Gangguan kelumpuhan N IV, namun jarang terjadi.
Kelumpuhan N IV menyebabkan terjadinya diplopia, gejala lainnya
berupa refek cahaya menurun, anisokor.

 Nervus V (trigeminus)
Gangguan ditandai adanya anestesi daerah dahi.

 Nervus VII (fasialis)


Pada trauma kepala yang mengenai neuron motorik atas unilateral
dapat menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial,
melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada 2/3
bagian lidah anterior

 Nervus VIII (akustikus)


Pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya pendengaran dan
keseimbangan tubuh.

 Nervus IX, X, XI (glosofaringetus, vagus, assesoris)


Gejala jarang ditemukan karena klien akan meninggal apabila trauma
mengenai syaraf tersebut. Adanya hiccuping (cegukan) karena
kompresi pada nervus vagus yang menyebabkan spasmodik dan
diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi batang otak. Cegukan yang
terjadi biasanya beresiko peningkatan tekanan intrakranial.

 Nervus XII (hipoglosus)


Gejala yang biasa timbul adalah jatuhnya lidah ke salah satu sisi,
disfagia, dan disartria. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan menelan.

21
d. Data psikologis (Tuti Pahria, dkk, 1996: 57)
Pasien yang mengalami penurunan kesadaran, maka data psikologis tidak dapat
dikaji. Sedangkan pada pasien yang tingkat kesadarannya agak normal (GCS: 13-
15) akan terlihat adanya gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang
labil, iritabel, apatis, delirium.

e. Data sosial
Data yang diperlukan adalah bagaimana pasien berhubungan dengan orang-orang
terdekat dan yang lainnya. Kemampuan berkomunikasi dan peranannya dalam
keluarga. Pada klien yang mengalami penurunan kesadaran data sosial tidak dapat
dikaji. Sedangkan pada klien yang tingkat kesadarannya normal, pada klien
trauma kepala akan didapatkan kesulitan berkomunikasi bila area trauma pada
lobus temporal.

22
f. Data spiritual
Data spiritual pada klien dengan penurunan kesadaran tidak dapat dikaji, sehingga
data ketaatan klien terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup serta
keTuhanan yang diyakini klien tidak dapat terkaji.

g. Data penunjang (Doenges, et al, 2000:272)


1) Pemeriksaan analisa gas darah
Biasanya memperlihatkan acidosis respiratorik yaitu:

1) PH darah: < 7,35


2) PaO2 menurun antara 60-80 mmHg
3) PaCO2 : > 45 mmHg
4) HCO3: >22-26 mEq/l
5) Base excess: -2,5 s.d + 2,5
6) Saturasi: 95%
2) Pemeriksaan elektrolit biasanya didapatkan gambaran:
1) Natrium: > 14 mEq/l
2) Kalium: < 3,5 mEq/l
3) Kalsium: > 11 mg%
4) Fosfat: 3 mg%
5) Chlorida: > 107 mEq/l
3) Pemeriksaan HB dan leukosit biasanya didapatkan:
1) Penurunan HB (kurang dari normal: 13-18 gr/dl)
2) Leukosit meningkat (lebih dari normal: 3,8 – 10,6 ribu
mm3)
4) CT Scan (tanpa/ dengan kontras): mengidentifikasi hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
Catatan: Pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemia/
infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma.

5) MRI: Sama dengan CT Scan dengan/ tanpa menggunakan kontras


6) Angiografi serebral: Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat oedema, perdarahan, trauma

23
7) EEG: Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis
8) Sinar X: Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),
pergeseran struktur garis tengah (karena perdarahan, oedema), adanya fragmen
tulang
9) BAER (Brain Auditory Evoked Respons): Menentukan fungsi
kortexs dan batang otak
10) PET (Position Emission Tomography): Menunjukkan perubahan
aktifitas metabolisme pada otak
11) Fungsi Lumbal, CSS: Dapat mendeteksi kemungkinan adanya
perdarahan subarakhnoid dan memastikan bocornya CSS sehingga terjadi
iritasi meningen mengakibatkan meningitis
12) Pemeriksaan toksikologi: Mendeteksi obat yang mungkin
bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran
13) Kadar antikonvulsan darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui
tingkat therapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.

24
2. Diagnosa Keperawatan Dan Perencanaan
Setelah data terkumpul kemudian dilakukan analisa terhadap data untuk
menentukan diagnosa keperawatan yang muncul baik aktual maupun resiko.

Pada klien post craniotomy dekompresi atas indikasi moderat HI disertai


subdural hematoma fronto temporo parietal dextra, kemungkinan diagnosa
keperawatan yang mungkin muncul menurut:

Tuti Pahria, dkk, (1996: 58), Suzanne C Smeltzer, et. al, alih bahasa Agung Waluyo
(2002:2126), Linda Juall Carpenito, alih bahasa Monica Ester (2001:497), Linda Juall
Carpenito, alih bahasa Monica Ester (1999:523), Marilyn E. Doenges, alih bahasa I
Made Kariasa, dkk (2000:277) adalah sebagai berikut:

a. Resiko atau aktual tidak efektifnya pola pernafasan, disebabkan oleh:


1) Gangguan/ kerusakan pusat pernafasan di medula oblongata
2) Adanya obstruksi trakeobronkial
Tujuan:

Pola nafas efektif dalam batas normal

Kriteria evaluasi:

1) Pola nafas dalam batas normal dengan frekuensi 14-20 kali/ menit (untuk
dewasa) dan iramanya teratur
2) Bunyi nafas normal tidak ada stridor, ronchi, dullness dan wheezing
3) Tidak ada pernafasan cuping hidung
4) Pergerakan dada simetris/ tidak ada retraksi
5) Nilai analisa gas darah arteri normal yaitu:
pH darah: 7,35-7,45

PaO2: 80-100 mmHg

PaCO2: 35-45 mmHg

HCO3: 22-26 mEq/ L

BE: -2,5 - +2,5

25
Saturasi O2: 95-98%

Intervensi Rasional

1. Monitor kecepatan, Perubahan yang terjadi dan


kedalaman, frekuensi, irama hasil pengkajian berguna
dan bunyi nafas dalam menunjukkan adanya
komplikasi pulmonal dan luas-
nya bagian otak yang terkena

2. Atur posisi pasien dengan Dengan menempatkan pasien


posisi semi fowler (150 – posisi semi fowler maka akan
450) mengurangi penekanan isi
rongga perut terhadap
diapraghma, sehingga
ekspansi paru tidak terganggu.
Kepala ditinggikan dengan
tempat tidur (tanpa bantal)
untuk cegah hiperekstensi/
fleksi

Dengan dilakukannya
penghisapan lendir maka jalan
3. Lakukan penghisapan lendir
nafas akan bersih dan
dengan hati-hati selama 10-
akumulasi dari sekret bisa
15 detik. Catat sifat, warna
dicegah sehingga pernafasan
dan bau sekret. Lakukan bila
akan tetap lancar dan efektif.
tidak ada retak pada tulang
Penghisapan dilakukan hati-
basal dan robekan dural
hati untuk mencegah
terjadinya iritasi saluran nafas
dan refleks vagal

4. Berikan posisi semi prone Posisi semi prone dapat


lateral/ miring. Bila tidak ada membantu keluarnya sekret
kejang dan setelah 4 jam dan mencegah
pertama, ubah posisi miring aspirasisehingga dapat

26
atau prone (telentang) tiap 2 membuka jalan nafas.
jam Mengubah posisi dapat
berguna untuk merangsang
5. Apabila pasien sudah sadar,
mobilisasi sekret di saluran
anjurkan dan ajak latihan
pernafasan
nafas dalam
Latihan nafas dalam berguna
6. Lakukan kolaborasi dengan untuk melatih complain paru
tim medis dalam pemberian
terapi oksigen, monitor
ketepatan terapi oksigen dan Pemberian oksigen terapi
komplikasi yang mungkin tambahan dapat meningkatkan
timbul oksigenisasi otak untuk
mencegah hipoksia. Monitor
pemberian oksigen untuk
mencegah terjadinya
pemberian oksigen yang
berlebihan, iritasi saluran
7. Lakukan kolaborasi dengan
nafas
tim medis dalam
melaksanakan analisa gas
darah
Analisa gas darah dapat
menentukan keefektifan
respiratori, keseimbangan
asam basa dan kebutuhan
terapi

b. Resiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial disebabkan oleh:


1) Adanya proses desak ruang akibat penumpukan cairan darah di dalam otak
2) Kelainan sirkulasi serobrospinal
3) Vasodilatasi pembuluh darah otak akibat asidosis metabolik
Tujuan:

Peningkatan tekanan intra kranial tidak terjadi


27
Kriteria evaluasi:
Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial seperti tekanan darah
meningkat, denyut nadi lambat, pernafasan dalam dan lambat, hipertermia, pupil
melebar, anisokor, refleks terhadap cahaya negatif, kesadaran bertambah buruk,
nilai GCS < 1

Intervensi Rasional

28
1. Monitor status neurologis Hasil dari pengkajian dapat
yang berhubungan dengan diketahui secara dini adanya
tanda-tanda TTIK terutama tanda-tanda dan peningkatan
GCS. tekanan intra kranial sehingga
dapat menentukan arah tindakan
selanjutnya. Kecenderungan
terjadinya penurunan nilai GCS
menandakan adanya TTIK

2. Monitor tanda-tanda vital: Dapat mendeteksi secara dini


tekanan darah, denyut nadi, tanda-tanda TTIK
respirasi, suhu minimal setiap
jam sampai keadaan pasien
stabil
3. Naikkan kepala dengan sudut
Dengan posisi kepala 150-450
0 0
15 -45 , tanpa bantal (tidak
dari badan dan kaki maka akan
hiperekstensi dan fleksi) dan
meningkatkan dan melancarkan
posisi netral (dari kepala
aliran balik darah vena kepala
hingga daerah lumbal dalam
sehingga mengurangi kongesti
garis lurus)
serebrum, edema dan
mencegahterjadinya TTIK.
Posisi netral tanpa hiperekstensi
dan fleksi dapat mencegah
penekanan pada saraf

medula spinalis yang menambah


TTIK.

Tindakan ini untuk mencegah


29
4. Monitor asupan dan haluaran kelebihan cairan yang dapat
setiap 8 jam sekali menambah edema serebri
sehingga terjadi TTIK

5. Kolaborasi dengan tim medis Manitol atau gliserol merupakan


dalam pemberian obat-obatan cairan hipertonis yang berguna
anti edema seperti manitol, untuk menarik cairan dari
gliserol dan lasix intraseluler (sel) ke ekstraseluler
(vaskuler). Lasix untuk
meningkatkan ekskresi natrium
dan air yang diinginkan, untuk
mengurangi edema otak.

6. Monitor suhu dan atur suhu Demam menandakan gangguan


lingkungan sesuai indikasi. hipotalamus. Peningkatan
Batasi pemakaian selimut, kebutuhan metabolik karena
kompreslah bila suhunya demam dan suhu lingkungan
tinggi (demam) yang panas akan meningkatkan
TTIK

7. Berikan oksigen sesuai Mengurangi hiposemnia yang


program terapi dengan saluran dapat meningkatkan vasodilatasi
pernafasan yang lancar serebri, volume darah dan
tekanan intra kranial.

8. Bantu pasien untuk


menghindari/ membatasi Aktifitas seperti itu dapat
batuk, muntah ataumengedan meningkatkan tekanan intratorak
seperti pada saat BAB dan intraabdomen yang dapat
meningkatkan TTIK.

30
c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sehubungan dengan: penurunan
produksi anti diuretik hormon (ADH) akibat terfiksasinya hipotalamus
Tujuan:

Cairan elektrolit tubuh seimbang

Kriteria evaluasi:

1) Asupan-haluaran seimbang yaitu asupan cairan selama 24 jam 1-2 liter dan
haluaran urin 1-2 cc/ KgBB/ jam
2) Turgor kulit baik
3) Nilai elektrolit tubuh normal:
Natrium: 13-14 mEq/L

Kalsium: 9-11 mg%

Kalium: 3,5-4,5 mEq/L

Fosfat: 3-4 mg%

Klorida: 46-107 mEq/l

Intervensi Rasional

1. Monitor asupan-haluaran Monitor asupan-haluaran untuk


setiap 8 jam sekali dan mendeteksi timbulnya tanda-
timbang berat badan setiap tanda kelebihan atau kekurangan
hari dapat dilakukan cairan yang dapat dibuktikan
pula dengan penimbangan berat
badan (BB)
2. Berikan cairan setiap hari
tidak boleh lebih dari 2000 cc Berguna untuk menghindari
peningkatan cairan di ruang
ekstra seluler yang dapat
menambah edema otak
3. Pasang dower kateter dan
31
monitor warna urin, bau urin Dapat membantu kelancaran
dan aliran urin pengeluaran urin sehingga
terjadi urin statis. Monitor
kualitas dan kuantitas urin untuk
mencegah komplikasi.
4. Kolaborasi dengan tim medis
Lasix dapat membantu
dalam pemberian Lasix
meningkatkan ekskresi urin

5. Kolaborasi dengan tim analis


untuk pemeriksaan kadar
Pada trauma kepala dengan
elektrolit tubuh
pemakaian manitol dan obat-
obatan diuretik dapat mengalami
ketidakseimbangan elektrolit
hiponatremia dan hipokalemia.
Untuk itu perlu pemeriksaan
elektrolit setiap hari.

32
d. Aktual atau resiko terjadi gangguan pemenuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan
yang disebabkan oleh:
1) Berkurangnya kemampuan menerima nutrisi akibat menurunnya
kesadaran
2) Melemahnya otot-otot yang digunakan untuk mengunyah atau
menelan
3) Hipermetabolik
4) Perubahan kemampuan untuk mencerna makanan
Tujuan:

Kekurangan nutrisi tidak terjadi

Kriteria evaluasi:

1) Berat badan pasien normal (BB normal = TB-100-(10%TB-100))


2) Tanda-tanda malnutrisi tidak ada
3) Nilai-nilai hasil laboratorium normal:
Protein total: 6-8 gr%

Albumin: 3,5-5,3 gr%

Globulin: 1,8-3,6 gr%

Hb tidak kurang dari 10 gr%

Intervensi Rasional

1. Auskultasi bising usus dan Fungsi gastro-intestinal harus


catat bila terjadi penurunan tetap dipertahankan pada
bising usus penderita trauma kepala.
Perdarahan lambung akan
menurunkan peristaltik (bising
usus lemah). Bising usus perlu
diketahui untuk menentukan
pemberian makanan dan
33
mencegah komplikasi
2. Timbang berat badan
Penimbangan berat badan dapat
mendeteksi perkembangan berat
badan

3. Berikan makanan dalam Memudahkan proses pencernaan


porsi sedikit tapi sering, dan toleransi pasien terhadap
baik melalui Nasogastrik nutrisi
tube (NGT) maupun oral

4. Tinggikan kepala pasien dari Mencegah regurgitasi dan


badan ketika makan dan aspirasi
buat posisi miring dan
netral/ lurus setelah makan
Untuk mengidentifikasi
5. Lakukan kolaborasi dengan defisiensi nutrisi fungsi organ
tim kesehatan (analis) untuk dan respon nutrisi, serta menen-
pemeriksaan, protein global, tukan pemberian hiperalimentasi
globulin, albumin dan Hb karena protein yang banyak
keluar dari cairan serebrospinal

Pemberian makanan dapat


disesuaikan dengan kondisi
6. Berikan makanan melalui
pasien
oral, NGT atau IVFD

e. Gangguan mobilisasi fisik, sehubungan dengan:


1) Imobilisasi, aturan terapi untuk tirah baring
2) Menurunnya kekuatan/ kemampuan motorik
Tujuan:

1) Mampu melakukan aktifitas fisik dan ADL (Activity Daily Living)


2) Tidak terjadi komplikasi dekubitus, bronkopnemonia, tromboplebitis dan
kontraktur sendi
Kriteria evaluasi:
34
1) Pasien mampu dan pulih kembali setelah pascaakut dalam mempertahankan
fungsi gerak
2) Tidak terjadi dekubitus, bronkopnemonia, tromboplebitis dan kontraktur seni
3) Mampu mempertahankan keseimbangan tubuh
4) Mampu melakukan aktifitas ringan pascaakut dan aktifitas sehari-hari (ADL)
pada tahap rehabilitasi sesuai kemampuan

Intervensi Rasional

1. Koreksi tingkat kemampuan Untuk menentukan tingkat


mobilisasi dengan skala 0-4 aktifitas dan bantuan yang
0=pasien tidak tergantung diberikan
pada orang lain
1 = pasien butuh sedikit
bantuan

2 = pasien butuh bantuan/


pengawasan/ bimbingan
sederhana

3 = pasien butuh bantuan/


peralatan yang banyak

4 = pasien sangat tergantung


pada pemberian pelayanan

2. Atur posisi pasien dan ubahlah Mengubah posisi pasien secara


secara teratur tiap 2 jam sekali teratur dapat meningkatkan
bila tidak ada kejang atau sirkulasi seluruh tubuh dan
setelah 4 jam pertama. Ubah mencegah adanya penekanan
posisi dengan pada organ tubuh yang
mempertahankan posisi netral menonjol. Pasien dengan kejang
sewaktu membalikkan tubuh tidak boleh banyak dirangsang
pasien terutama bila ada dengan gerakan-gerakan motorik

35
trauma spinal karena akan merangsang
terjadinya kejang.Posisi netral
akan mencegah trauma lebih
berat pada daerah saraf spinal
dan mencegah bertambahnya
TTIK

Mempertahankan fungsi sendi


3. Bantu pasien melakukan
dan mencegah penurunan tonus
gerakan-gerakan sendi secara
dan kekuatan otot dan mencegah
psif bila kesadaran menurun
kontraktor
dan secara aktif bila pasien
kooperatif

Untuk melihat penurunan atau


4. Observasi/ kaji terus
peningkatan fungsi sensoris-
kemampuan gerakan motorik,
motoris (fungsi neurologis)
keseimbangan, koordinasi
gerakan dan tonus otot

5. Buat posisi seluruh persendian Untuk mencegah kontraktur


dalam letak anatomis dengan sendi
memberi penyanggah pada
lekukan-lekukan sendi,
telapak tangan dan kaki
6. Lakukan massage, perawatan
Meningkatkan sirkulasi,
kulit dan mempertahankan
elastisitas kulit dan integritas
alat-alat tenuin bersih dan
kulit
kering
Untuk mencegah iritasi mukosa
7. Lakukan perawatan mata mata karena kekeringan dan
dengan memberi cairan aira mencegah trauma pada mata
mata buatan dan tutup mata yang tidak dapat tertutup karena
dengan kasa steril lembab penurunan kemampuan gerakan
sesuai indikasi.
36
kelopak mata

8. Bantu pasien seluruhnya Bantuan yang diberikan akan


dalam memenuhi kebutuhan mampu memenuhi kebutuhan
ADL bila kesadaran belum ADL
pulih kembali
9. Observasi BAB dan bantu
BAB secara teratur, periksa Tidak lancarnya BAB akan
feses yang mengeras dan menyebabkan distensi abdomen
terjepit di anus. Kolaborasi dan terjepitnya feses pada anus
dengan dokter pemberian akan merangsang refleks vagal
supositoria dan pengeluaran yang dapat menambah TTIK.
feses secara manual bila ada Tidak lancarnya BAB dapat
kesukaran BAB disebabkan karena kurangnya
mobilisasi
10. Berikan motivasi dan latihan
Motivasi ini diberikan untuk
pada pasien dalam memenuhi
meningkatkan semangat hidup
kebutuhan ADL-nya sesuai
pasien agar lebih mandiri dalam

37
f. Gangguan persepsi sensoris yang disebabkan oleh:
1) Menurunnya tingkat kesadaran (defisit neurologis)
2) Penurunan daya penangkapan sensoris

Tujuan:

Mengembalikan fungsi persepsi sensoris agar mengarah ke pemulihan/ normal


dan komplikasi dapat dicegah atau seminimal mungkin tidak terjadi

Kriteria evaluasi:

1) Tingkat kesadaran normal: GCS = E4 M6 V5


2) Fungsi alat-alat indra baik
3) Pasien kooperatif kembali dan dapat berorientasi pada orang, tempat dan
waktu

38
Intervensi Rasional

1. Monitor respon sensoris Informasi yang didapat melalui


terhadap raba/ sentuhan, pengkajian sangat penting untuk
panas/ dingin, tajam/ mengetahui tingkat kegawatan
tumpul dan catat dan kerusakan otak
perubahan-perubahan yang
Hasil pengkajian dapat
terjadi
menginformasikan penurunan
2. Monitor persepsi pasien,
fungsi otak yang terkena dan
beri umpan balik dan
membantu intervensi
koreksi kemampuan pasien
selanjutnya
berorientasi terhadap
orang, tempat dan waktu
3. Berikan stimulus yang
Stimulus dapat merangsang
berarti saat penurunan
kembalinya kemampuan
kesadaran sampai kembali-
persepsi sensoris, tingkat
nya fungsi persepsi yang
kesadaran dan memori pasien
maksimal seperti:
mengajak bicara (walau
tanpa jawaban), taktil
dengan memberikan
sentuhan dan pendengaran
dengan musik atau bunyi-
bunyian.
Berbicaralah pada pasien Membantu pasien
dengan tenang, lembut berkomunikasi untuk
menggunakan kalimat yang merangsang kondisi pasien,
sederhana. Tunggu respon perhatian dan pemahaman
pasien/ jawabandengan kembali ke arah normal
sabar baik melalui verbal, (semaksimal mungkin)
isyarat atau tulis

39
4. Berikan keamanan pasien Gangguan persepsi sensoris dan
dengan pengaman sisi buruknya keseimbangan dapat
tempat tidur, bantu latihan meningkatkan resiko terjadinya
jalan dan lindungi dari
injuri
cedera

g. Resiko terjadinya infeksi sehubungan dengan:


1) Masuknya kuman melalui jaringan atau kontinuitas yang rusak
2) Kekurangan nutrisi
Tujuan:
Tidak terjadi infeksi baru

Kriteria evaluasi:

1) Tidak terdapatnya tanda-tanda infeksi seperti rabor, dolor, kalor, tumor dan
fungsiolesa
2) Tidak ada pus pada daerah kulit yang rusak
3) Tidak ada infeksi dari kateter dan infus set
4) Tidak terjadi abses otak/ meningitis
Intervensi Rasional

1. Lakukan cuci tangan sebelum Untuk mencegah infeksi


dan sesudah melakukan nosokomial
tindakan perawatan secara
aseptik dan antiseptik

2. Monitor suhu tubuh dan Untuk mendeteksi tanda-tanda


penurunan kesadaran sepsis
3. Kolaborasi dengan tim medis
Antibiotik berguna untuk
dalam pemberian obat-obat
membunuh atau memberantas
antibiotik
bibit penyakit yang masuk ke
dalam tubuh sehingga infeksi
dapat dicegah

40
4. Kolaborasi dengan tim analis Kadar leukosit darah dan urin
untuk pemeriksaan: kadar adalah indikator dalam
leukosit, liquor dari hidung, menentukan adanya infeksi.
telinga, dan urin serta kultur Liquor dari mulut dan hidung
resistensi diperiksa untuk menentukan
jenis kuman dan terapi yang
akan digunakan

Bila ada kuman yang masuk


5. Bila ada perdarahan melalui
melalui hidung dan telinga akan
hidung dan telinga atau liquor
menyebar sampai cairan
yang keluar dari hidung dan
serebrospinal sehingga dapat
telinga maka tutup dengan
menyebabkan abses otak dan
kasa steril. Jangan
meningitis
memasukkan alat-alat tidak
steril
6. Periksakan cairan/ liquor yang
Untuk mengkaji apakah berasal
keluar dari hidung dan telinga.
dari cairan serebrospinal
Kolaborasi dengan medis dan
analis

h. Gangguan rasa nyaman (pada pasien yang tingkat kesadarannya sudah pulih, GCS
= 15): nyeri kepala, pusing dan vertigo disebabkan karena:
Kerusakan jaringan otak dan perdarahan otak/ peningkatan tekanan intrakranial

Tujuan:

Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi

Kriteria evaluasi:

1) Pasien tenang, tidak gelisah


2) Nyeri kepala, pusing dan vertigo hilang
3) Pasien dapat istirahat dengan tenang
Intervensi Rasional
41
(1) (2)

1. Monitor mengenai lokasi, Untuk memudahkan membuat


intensitas, penyebaran, tingkat intervensi
kegawatan dan keluhan-
keluhan pasien
2. Ajarkan latihan teknik Latihan nafas dalam dan relaksasi
relaksasi seperti latihan nafas otot-otot dapat mengurangi
dalam dan relaksasi otot-otot ketegangan syaraf sehingga pasien
merasa lebih rileks dan dapat
mengurangi rasa nyeri kepala,
pusing dan vertigo. Latihan nafas
dalam dapat membantu
pemasukan oksigen lebih banyak,
terutama untuk oksigenisasi otak

3. Buat posisi kepala lebih tinggi Posisi kepala lebih atas dari badan
(150-450) dan kaki akan meningkatkan dan
melancarkan aliran balik
pembuluh darah vena dari kepala
sehingga dapat mengurangi edema
dan TTIK

42
4. Kurangi stimulus yang tidak Respon yang tidak menyenangkan
menyenangkan dari luar dan menambah ketegangan saraf dan
berikan tindakan yang massage daerah punggung, kaki,
menyenangkan seperti dll akan mengalihkan rangsangan
massage daerah punggung, terhadap nyeri, pusing dan vertigo
kaki, dll

5. Kolaborasi dengan tim media Obat analgetik untuk meningkat-


dalam pemberian obat-obatan kan ambang rangsang nyeri,
analgetik pusing yang dapat mengurangi/
menghilangkan rasa nyeri

i. Gangguan kemampuan proses berfikir dengan baik dan logis yang disebabkan
oleh:
1) Konflik psikologis
2) Gangguan fungsi sensoris
Tujuan:

Kemampuan berpikir pasien dapat kembali normal

Kriteria evaluasi

1) Pasien dapat menerima/ berorientasi terhadap kenyataan


2) Pasien dapat mengenali adanya perubahan-perubahan dalam proses
3) Keluarga dapat menerima perubahan berfikir pasien
4) Pasien mau berperan serta dalam proses latihan atau perawatan

43
Intervensi Rasional

1. Monitor kemampuan berfikir Dengan mengetahui kemampuan


dengan menanyakan nama berfikir pasien maka dapat
dan orientasi terhadap ditentukan rencana latihan-latihan
lingkungan di sekitarnya; yang berhubungan dengan
tempat, orang dan waktu. stimulus proses berpikir dan
memori

2. Monitor perhatian dan cara Pada trauma kepala terutama


pasien mengalihkan kontusio serebri akan mengalami
perhatiannya kemudian catat penurunan kemampuan
tingkat kecemasan berkonsentrasi dan dalam
memusatkan perhatian. Hal ini
menimbulkan kecemasan.

Dengan memberi penjelasan


3. Berikan penjelasan kepada
kepada pasien dan keluarga, dapat
pasien dan keluarga tentang
mengurangi kecemasan pasien dan
perubahan berfikir pasien dan
keluarga, sehingga dapat diajak
rencana perawatan
bekerja sama dalam
mengantisipasi keadaan dan
meningkatkan peran sosial

4. Ajarkan teknik relaksasi, Tindakan ini melatih pasien dalam


jangan berikan tantangan memusatkan perhatian sehingga
berfikir keras dan beri lambat laun kemampuan berpikir
aktifitas sesuai kemampuan pasien akan pulih kembali (sesuai
dengan kerusakan otak yang
Beritahu pasien dan keluarga terjadi).
bahwa fungsi intelektual,
Dengan penjelasan yang tepat dan
fungsi perilaku dan emosi
keterbukaan tim pelayanan
lambat laun akan normal bila
kesehatan terhadap pasien dan
kerusakan otakdapat pulih
keluarga akan memberikan
kembali. Tetapi efek-efek
kesiapan dan kesabaran dalam
tertentu dapat bertahan 44
latihan-latihan saat proses
sebagai gejala sisa.
rehabilitsi
j. Resiko terhadap cedera berhubungan dengan gerakan tonik/ klonik tak terkontrol
selama episode kejang dan/ atau somnolen
Tujuan:

Cedera tidak terjadi

Kriteria evaluasi:

1) Klien tidak mengalami cedera


2) Tidak terjadi luka baru
3) Kesadaran meningkat
Intervensi Rasional

1. Libatkan keluarga untuk terus Keluarga dapat mengawasi


menemani klien keadaan klien dan menghindari
perilaku yang membahayakan
klien

Lingkungan yang aman dapat


2. Modifikasi lingkungan dengan
mengurangi resiko cedera
cara:

- menjauhkan benda-benda
tajam, memasang bed
plang,

- bantahan di pinggir tempat


tidur

3. Pasang restrain dan fiksasi Mencegah gerakan yang tidak


klien bila perlu terkontrol yang dapat

45
menimbulkan cedera
4. Berikan penjelasan pada
Keluarga dapat mengetahui dan
keluarga tentang pencegahan
memahami cara mencegah trauma
trauma
k. Perubahan eliminasi urinarius (inkontinen atau retensi) berhubungan dengan
penurunan kesadaran
Tujuan:

Retensi atau inkontinensi tidak terjadi

Kriteria evaluasi:

1) Klien dapat BAK dengan lancar


2) Pola BAK terkontrol
3) Warna urine kuning muda
Intervensi Rasional

1. Monitor intake dan output Mengetahui keseimbangan cairan


urine klien
2. Palpasi distensi kandung
Mengidentifikasi adanya kontraksi
kemih dan observasi
kandung kemih
pengeluaran urine

3. Bersihkan daerah perineum Mencegah infeksi pada meatus


dan jaga agar tetap kering uretra externa
4. Lakukan pemasangan dan Dapat menurunkan resiko
perawatan kateter, jika perlu terjadinya iritasi kulit atau infeksi
5. Latih klien teknik bladder Melatih otot spinkter uretra
training bila klien sehat eksterna sehingga kontrol klien
untuk BAK meningkat.

3. Implementasi

46
Pada tahap ini dilakukan pelaksanaan dari perencanaan keperawatan yang
telah ditentukan, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien secara optimal.
Pelaksanaan tindakan pada klien dengan gangguan sistem persyarafan akibat trauma
kepala difokuskan pada tindakan-tindakan yang ditujukan pada upaya untuk
mengembalikan tekanan intra kranial pada kondisi normal (50-200 mmH2O atau 4 –
15 mmHg), kebutuhan O2 ke otak terpenuhi, pemenuhan kebutuhan nutrisi yang
adekuat, pemenuhan kebutuhan aktifitas sehari-hari klien, mengembalikan fungsi
persepsi sensori dan fungsi kognitif kembali normal serta pencegahan terjadinya
cedera berulang.

(Effendy, Nasrul, 1995: 40)

tujuan utama dari pelayanan medis dan keperawatan ialah :

1. Harus selalu waspada tentang perubahan kondisi pasien,


terutama tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial.
2. Mempertahankan fungsi vital pasien sampai pemulihan
sehingga fungsi-fungsi bekerja kembali.
3. Pengelolaan komplikasi yang mengancam jiwa dan
berusaha sepenuhnya dengan pemulihan yang
sempurna.

 Perawatan respiratori
Anoksia dengan penignkatan kadar karbondioksida dapat menyebabkan otak menjadi
hipoksia yang berakibat edema otak. Darah atau lendir aibat cedera dapat menyumbat
saluran nafas atau muntahan pasien, karena itu penyedotan sangat diperlukan.
Ketidakmampuan membebaskan salurann nafas dapat menimbulkan obstruksi saluran
nafas dan bisa timbul pneumonia aspirasi. Oksigen harus diberikan pada pasien cedera
kepala dan bila saluran nafas tidak dibersihkan harus dipasang pipa endotracheal.
Kadar gas darah arteri harus dicek sesering mungkin untuk menetukan perubahan
pernapasan samai membaik.
 Istirahat dan pengawasan kejang
Jangan melakukan kebersihan pasien dengan kuat-kuat beberapa jam setelah
kecelakaan. Penghalang tempat tidur harus selalu terpasang karena pasien bisa
mendadak gelisah dan kejang dan bagian kepala biasanya ditinggikan 30º . gelisah
mungkin merupakan isyarat dari pasien ingin merubah posisi, nyeri, atau ingin BAK.
Codein atau analgesik lain yang tidak menekan pernapasan bisa dipakai mengurangi
nyeri. Antikonvulsan suka diberikan untuk mencegah kejang.
47
 Tanda vital dan pengendalian suhu
Tanda vital dicatat sesering mungkin sampai keadaan stabil. Peningkata suhu tubuh
secara mendadak bisa mencapai 42ºC atau lebih. Penurunan tekanan darah
menunjukkan bahwa mekanisme pengatur suhu sudah tidak bekerja. Hipertermi
meningkatkan metabolisme otak yang bisa mengakibatkan otak menjadi rusak. Usaha-
usaha terdiri dari :
1. Pemberian aspirin
2. Kompres dingin
3. Kompres es pada sela paha dan aksila
4. Menurunkan suhu ruangan.
5. Kasur pendingin yang diatur oleh arus listrik.
 Pencegahan infeksi
Telinga dan hidung diperiksa dengan cermat untuk memantau apakah meningen sobek
dan cairan serebrospinal keluar rongga tersebut jangan dibersihkan dapat dipasang
kapas yang tidak menutupi keluarnya cairan. Pasien tidak boleh batuk, bersin atau
mengosok-gosok hidung jika keluar liquor dari hidung. Bila ragu apakah cairan yang
keluar itu adalah CSF atau bukan, kertas tes dapat memuktikan positif gula.
 Pengobatan
Obat-obatan yang diberikan untuk mengurangi edema otak dan peningkatan TIK.
Obat-obatan terdiri dari :
1. Diuretik osmotik yang bisa penetrasi ke otak dengan lambat laun
a. Larutan urea 30%
b. Manitol 20%
2. Dexamethason
 Ketidakseimbangan elektrolit
Pemantauan elektrolit yang cermat diperlukan. Berbagai macam ketidak
keseimbangan bisa terjadi pada pasien cedera kepala diantaranya seperti berikut :
1. Natriuresis (urin banyak mengandung sodium)
2. Sindrom ADH tidak sesuai (kenaikan kadar ADH dalam plasma, hiponatremia,
dan hipotonisitas)
3. Kadar cortisol dalam plasma meningkat

 Eliminasi
Intake dan output dari pasien harus diukur dan dicatat, berat jenis urine juga harus
diukur, karena dapat menandai ketidak seimbangan elektrolit. Output urine harus rata-
rata 0,6 sampai 1 ml/kg berat badan/jam.
 Membantu rasa nyaman dan AKS
o Dukungan emosi
Tidak jarang pasien dengan cedera kepala memperlihatkan kehilangan daya
ingat dan inisiatif. Masalah perilaku disertai pengambilan keputusan yang

48
salah serta gelisah dapat terjadi. Pasien perlu pelayanan yang ketat, tapi tepat,
disertai pedoman untuk perilaku yang bagaimana itu bisa dilaksanakan.
 Pengembalian aktifitas
Masa konvalesen akan tergantung kepada besarnya kerusakan otak dan bagaimana
kecepatan pemulihan. Pasien biasanya dibujuk untuk melaksanakan kembali aktifitas
sedini mungkin. Sakit kepala dan pusing masih akan tetap ada untuk beberapa lama
setelah cedera otak. Sementara orang orang memerlukan rehabilitasi intensif dan
dalam waktu yang sangat lama di pusat rehabilitasi.
 Konsultasi dan penyuluhan
Penyuluhan kepada pasien dengan cedera kepala yang mengalami gangguan yang
berat membutuhkan rehabikitasi lama sama seperti untuk pasien dengan masalah
motorik. Berikut beberapa uraian untuk penyuluhan :
1. Penyebab peningkatan tekanan intracranial
2. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan tekanan intracranial
a. Jangan bersin
b. Jangan mengangkat yang berat, jangan membungkuk, jangan
memaksakan tenaga
c. Jangan mengedan waktu bab
3. Tanda-tanda dan gejala yang harus dilaporkan kepada dokter
4.

4. Evaluasi (Nasrul Effendy, 1995: 46)


Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematik dan
terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan
dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan pasien dan tenaga kesehatan
lainnya.

Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam melaksanakan rencana


tindakan yang telah ditentukan untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan pasien secara
optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.

Evaluasi keperawatan adalah mengukir keberhasilan dari rencana dan


pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan
pasien.

Kriteria keberhasilan pada klien dengan gangguan sistem persyarafan akibat


trauma kepala adalah klien berada pada kondisi kesadaran penuh dengan nilai GCS:
15, tanpa adanya kecacatan fisik dan gejala sisa.

49
50
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak.
Pengartian yang lain, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
B. Saran
Kami penyusun makalah mengucapkan terima kasih kepada ibu/bapak dosen yang turut
membantu kami dalam pembuatan makalah ini dan teman-teman yang berpartisipasi.
Kami sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekuranganoelh karena itu
kami sangat membtuhkan saran dan kritikan yang membangun agar makalah ini dapat
sepurna menjadi makalah yang lebih baik.

Semoga bermanfaat bagi pembaca,kami ucapkan limpah terimah kasih.

51
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.Jakarta : EGC

Effendy, Nasrul. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. Jakarta : EGC

Ginsberg, Lionel. 2007. Lecture Notes Neurologi. Alih Bahasa Indah R. Wardhani.
Jakarta: Erlangga

Masnjoer, Arif, dkk. 2003. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga. Jakarta : Media
Aesculapius

Pahria, Tuti, dkk. 1996. Asuhan Keperawatan pada Paien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: EGC

Price, Sylvia Anderson, dkk. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
Edisi IV,alih bahasa Peter Anugerah. Jakarta : EGC

Satyanegara, L. Djoko Listiano. 1998. Ilmu Bedah Saraf Edisi III. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama

Smeltzer, S. Suzanne, Bare, G.Brenda.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah


Brunner & Suddarth, Edisi VIII volume 3. Alih Bahasa Agung Waluyo. Jakarta :
EGC

52

Anda mungkin juga menyukai