PENDAHULUAN
Menurut Barell, Heruti, Abargel dan Ziv (1999), sebanyak 1465 korban mengalami
trauma kepala, sedangkan 1795 korban mengalami trauma yang multipel dalam penelitian di
Israel. Kecederaan multipel berkaitan dengan keparahan dan ia adalah asas dalam
mendiagnosa gambaran keseluruhan kecederaan. Dengan merekam seluruh kecederaan yang
dialami oleh korban, ia dapat membantu dalam mengidentifikasi kecederaan yang sering
mengikut penyebab trauma pada korban.
Trauma Murni adalah apabila korban didiagnosa dengan satu kecederaan pada salah
satu regio atau bagian anatomis yang mayor (Barell, Heruti, Abargel dan Ziv, 1999).
Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan
secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan
kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan
disabilitas fungsional. Trauma kepala paling banyak dicatat pada pasien politrauma dengan
kombinasi dari kondisi yang cacat seperti amputasi, kelainan pendengaran dan penglihatan,
post-traumatic stress syndrome dan kondisi kelainan jiwa yang lain (Veterans Health
Administration Transmittal Sheet). Ada beberapa trauma yang sering terjadi yaitu:
1.1.1. Trauma servikal, batang otak dan tulang belakang
Trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang tinggi serta
pada aktivitas olahraga yang berbahaya boleh menyebabkan cedera pada beberapa
bagian ini.
1.1.2. Trauma toraks
Trauma toraks bisa terbagi kepada dua yaitu cedera dinding toraks dan
cedera paru.
1.1.3. Trauma abdominal
Trauma abdominal terjadi apabila berlaku cedera pada bagian organ dalam dan bagian
luar abdominal
1
1.1.4. Trauma tungkai atas
Trauma tungkai atas adalah apabila berlaku benturan hingga menyebabkan cedera dan
putus ekstrimitas. Cedera bisa terjadi dari tulang bahu, lengan atas, siku, lengan
bawah, pergelangan tangan, jari-jari tangan serta ibu jari.
1.1.5. Trauma tungkai bawah
Kecederaan yang paling sering adalah fraktur tulang pelvik. Cedera pada bagian lain
ekstrimitas bawah seperti patah tulang femur, lutut atau patella, ke arah distal lagi
yaitu fraktur tibia, fraktur fibula, tumit dan telapak kaki (James, Corry dan Perry,
2000).
2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Jaringan otak dilindungi oleh beberapa pelindung, mulai dari permukaan luar
adalah: kulit kepala yang mngandung rambut, lemak dan jaringan lainnya, tulang
tengkorak, meningens (selaput otak dan liquor serebrospinalis). (Satyanegara, 1998: 12)
3
Otak dibagi dalam beberapa bagian:
1) Lobus frontalis, adalah bagian dari serebrum yang terletak di depan siklus
sentralis. Lobus ini terlihat dalam 2 fungsi serebral utama, yaitu: (1) kontrol
motorik gerakan volunter termasuk fungsi bicara, dan (2) kontrol berbagai
ekspresi emosi, moral dan tingkah laku etika. Fungsi aktifitas motoriknya
diekspresikan melalui: korteks somato-motorik primer (area Brodmann 4),
korteks premotor dan suplemen (area Brodmann 6), frontal eye field (area
Brodmann 8) dan pusat bicara Broca (area Brodmann 44), sedangkan kontrol
ekspresif dari emosi dan moral dilaksanakan oleh korteks pre frontal
(Satyanegara, 1998: 15)
2) Lobus parietalis, terdapat di depan sulkus sentralis dan dibelakangi oleh
karaco oksipitalis. Lobus parietal dikaitkan untuk evaluasi sensorik umum dan
rasa kecap, dimana selanjutnya akan dintegrasi dan diproses untuk
menimbulkan kesiagaan tubuh terhadap lingkungan eksternal. (Satyanegara,
1998: 17)
3) Lobus temporalis, terdapat di bawah lateral dari fisura serebralis dan di depan
lobus oksipitalis. Lobus temporalis mempunyai peran fungsionil yang
berkaitan dengan pendengaran, keseimbangan dan juga sebagian dari emosi-
memori.
4) Lobus oksipitalis, yang mengisi bagian belakang daris erebrum lobus
oksipitalis sangat penting fungsinya sebagai kortex visual. Secara umum,
fungsi serebrum terdiri dari:
a) mengingat pengalaman-pengalaman masa lalu
b) pusat persyarafan yang menangani; aktifitas mental, akal, inteligensi,
keinginan dan memori
c) pusat menangis, buang air besar dan buang air kecil
4
Penampang lateral lobus-lobus otak
Sumber: Satyanegara, L. Djoko Listiano, Ilmu Bedah Saraf Edisi III, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1998
1) Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebrum dengan
mesensefalon. Kumpulan dari sel syaraf yang terdapat di bagian depan lobus
temporalis terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap ke samping.
Fungsi dari diensefalon:
5
bagi semua jenis impuls sensorik, kecuali penciuman.thalamus memainkan
peranan penting dalam transmisi impuls nyeri.(satyanegara, 1998:20)
6
Fungsi medula oblongata merupakan organ yang menghantarkan impuls dari
medula spinalis dan otak yang terdiri dari:
7
2.3. Etiologi
a) Menurut Satyanegara,1998:148
Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat salah satu dari kedua mekanisme
dasar yaitu:
Kontak bentur, terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu
obyek atau sebaliknya
Guncangan lanjut, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang
hebat, baik yang disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena
pukulan
b) Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala
adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%,
karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan
sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama
trauma kepala (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien
Trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan
adalah penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1
per100.000 populasi di Amerika Serikat ( Coronado, Thomas, 2007). Penyebab
utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut :
Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan
dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan
kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya (IRTAD, 1995).
Kekerasan
Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-tiba
dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka
kepala tiba-tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba
mendapat gaya mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala.
Kecederaan di bagian muka dikatakan fraktur maksilofasial (Sastrodiningrat,
2009).
8
2) Dapat juga terjadi tinnitus, pusing, dan hemiparesis. Jika aneurisme mengeluarkan
darah, pasien mungkin sedikit memperlihatkan deficit neurologis, atau perdarahan
hebat, mengakibatkan kerusakan serebral yang dengan cepat diikuti dengan koma dan
kematian.
3) Prognosis tergantung pada kondisi neurologis, usia pasien penyakit yang berkaitan,
dan luas serta letak aneurisme.
9
Patofisiologi trauma kepala menurut: Sylvia Anderson, et,al., alih bahasa Peter
Anugerah (1995: 1011); Satyanegara, (1998: 150); Carolyn M. Hudak, et, al., alih bahasa
Monica E.D Adiyanti (1996: 226) adalah sebagai berikut:
Pada trauma kepala dimana kepala mengalami benturan yang kuat dan cepat akan
menimbulkan pergerakan dan penekanan pada otak dan jaringan sekitarnya secara
mendadak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Peristiwa ini dikenal
dengan sebutan cedera akselerasi-deselerasi. Dipandang dari aspek mekanis, akselerasi
dan deselerasi merupakan kejadian yang serupa, hanya berbeda arahnya saja. Efek
akselerasi kepala pada bidang sagital dari posterior ke anterior adalah serupa dengan
deselerasi kepala anterior-posterior.
Cedera yang terjadi pada waktu benturan dapat menimbulkan lesi, robekan atau
memar pada permukaan otak, dengan adanya lesi, robekan, memar tersebut akan
mengakibatkan gejala defisit neurologis yang tanda-tandanya adalah penurunan kesadaran
yang progresif, reflek Babinski yang positif, kelumpuhan dan bila kesadaran pulih
kembali biasanya menunjukkan adanya sindrom otak organik.
Pada trauma kepala dapat juga menimbulkan edema otak, dimana hal ini terjadi
karena pada dinding kapiler mengalami kerusakan, ataupun peregangan pada sel-sel
endotelnya. Sehingga cairan akan keluar dari pembuluh darah dan masuk ke jaringan otak
karena adanya perbedaan tekanan antara tekanan intravaskuler dengan tekanan
interstisial.
b) Sistem pernafasan
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokontriksi paru atau
hipertensi paru, menyebabkan hipernoe dan bronkhokonstriksi. Pernafasan cheyne
stokes dihubungkan dengan sensitifitas yang meningkat pada mekanisme terhadap
karbondioksida dan episode pasca hiperventilasi apnea. Konsentrasi oksigen dan
karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah,
aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2 akan terjadi
alkalosis yang menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF
(Serebral Blood Fluid). Bila PCO2 bertambah akibat gangguan sistem pernafasan
akan menyebabkan acidosis dan vasodilatasi. Hal ini menyebabkan pertambahan
CBF, yang kemudian menyebabkan terjadinya penambahan tingginya tekanan
intra kranial (TTIK) edema otak karena trauma adalah bentuk vasogenik. Pada
kontusio otak, terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatik yang
mengandung protein eksudat yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial
otak normal tidak didapatkan edema otak terjadi karena penekanan terhadap
pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Edema otak dapat menyebabkan herniasi
dan penekanan batang otak atau medula oblongata. Akibat penekanan daerah
medula oblongata dapat menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai dengan
irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif.
Hal ini dapat terjadi mulai dari saat cedera, tetapi jika hubungan Antara rongga
subaraknoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis hanya kecil
dan tertutup jaringan otak, maka hal ini tidak akan terjadi dan pasien mungkin
mengalami meningitis dikemudian hari. Selain terapi infeksi, komplikasi ini
membutuhkan reparasi bedah untuk robekan dura. Eksplorasi bedah juga dibutuhkan
terjadi kebocoran cairan serebrospinal presisten.
3) Epilepsy pascatrauma
Terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal ( dalam minggu pertama
setelah cedera), amnesia pasca trauma yang lama (lebih dari 24 jam), fraktur depresi
cranium, hematoma intracranial.
12
2.9. Pemeriksaan Diagnostik
1. Skan CT ( tanpa /dengan kontras ) : mengidentifikasi adanya SOL, hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. MRI : sama dengan skan CT dengan/tanpa menggunakan kontras
3. Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
4. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau brkembngnya gelombang patologis.
5. Sinar x : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur
dari geras tengah, adanya fragmen tulang.
6. BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks dan batang
otak
7. PET (positron Emission Tomography) : menunjukkan perubahan aktivitas
metabolisme pada otak
8. Pungsi Lumbal, CSS : Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarakhnoid.
9. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui ada masalah ventilasi atau oksigenasi yang
dapat meningkatkan TIK.
10. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
meningkatkan TIK/perubahan mental
11. Pemeriksaan toksologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran
12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif untuk mengatasi kejang.
2.10 Penatalaksanaaan Khusus
a) Cedera Kepala Ringan : pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan
ke rumah tanpa perlu dilakukan CT Scan bila memenuhi kriteria berikut :
a. Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan)
dalam batas normal
b. Foto servikal jelas normal
c. Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24
jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat
jika timbul gejala perburukan.
b) Cedera kepala sedang : pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan
skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT
scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di
rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko
13
timbulnya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala
sedang adalah minimal.
c) Cedera kepala berat : setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan
segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera
(hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke
bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya
dilakukan di unit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk
kerusakan primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak
sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau tekanan intrakranial yang meningkat.
Anti kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus
diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan
dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat
diberikan fenitoin 15 mg/ kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan
kecepatan tidak melebihi 50 mg/ menit.pada cedera kepala berat, Antikejang
fenitoin diberikan 15-20 mg/kgBB bolus intavena, kemudian 300 mg/hari
intravena mengurangi frekuensi kejang pascatrauma dini (minggu pertama)
dari 14% menjadi 4% pada pasien dengan perdarahan intrakranial traumatik.
Pemberian fenitoin tidak mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma di
kemudian hari. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan
setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau ketat karena kadar subterapi
sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan
katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian
makanan enteral melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan
sesegera mungkin (biasanya hari ke-2 perawatan)
Temperatur badan: demam (temperatur > 101oF) mengeksaserbasi cedera otak
dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin.
Pengobatan penyebab (antibiotik) diberikan bila perlu.
Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan
cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia dan
komplikasi lain. Untuk itu, steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir
pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena setiap 4-6 jam
selama 48-72 jam)
Profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanis atau koagulopati
memiliki resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat
14
ranitidin 50 mg intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam
atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
Antibiotik: penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien dengan
cedera kepala terbuka masih kontroversial. Golongan penisilin dapat
mengurangi resiko meningitis penumokok pada pasien dengan otorea, rinorea
cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan resiko
infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi
Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau
glukosa 40% atau gliserol 10%
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa, hanya cairan infus 5%, aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
Pembedahan, meliputi kraniotomi atau kraniektomi
trauma berat, karena hari-hari pertama didapatkan penderita mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit,
maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan, dextrosa 5% 8
jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrosa 5% 8 jam ketiga.
Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui
nasogastrik tube (2500-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai urea
N. (kapita selekta kedokteran edisi ketiga jilid dua)
15
BAB III
TINJAUAN KASUS
Tn. D, usia 18 tahun di rawat di ruang RC.3 Bedah syaraf karena mengalami trauma
kepala sedang di sertai sub dural hematoma. Ketika di kaji diperoleh data: GCS= 11
(E2M5V4). Pasien telah di operasi 2 hari yang lalu, terdapat luka post craniotomy
sepanjang 10cm pada daerah lobus frontal, pasien tampak gelisah dan terpasang mag
slang karena masih di puasakan. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital di peroleh: TD=
140/90 mmHg, nadi= 110 x/menit, RR= 30x/menit, dan suhu= 38,5 ͦ celcius.
Penugasan:
Diskusikanlah trauma kepala dengan tindakan operasi craniotomy, apa yang saudara bisa
jelaskan dari kondisi tersebut terkait dengan kebutuhan perawatan pasien dan hal-hal lain
terkait dengan komplikasi yang mungkin timbul.
16
Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan Akibat
Trauma Kepala
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data baik
subyektif atau obyektif dan kemudian menganalisanya. Data-data dalam pengkajian
ini meliputi: (Pahria, Tuti ,dkk, 1996: 55)
a. Identitas klien
1) Identitas klien
Identitas klien meliputi nama klien, umur klien biasanya pada usia produktif
atau pada lansia, jenis kelamin mayoritas pria, agama, pendidikan, pekerjaan
klien biasanya berhubungan dengan sarana transportasi, status marital, suku
bangsa, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, golongan darah,
no.medrek, diagnosa medis dan alamat.
b. Riwayat kesehatan
1) Alasan masuk Rumah Sakit
Biasanya penyebab trauma kepala karena kecelakaan lalu lintas, namun tidak
menutup kemungkinan faktor lain. Oleh karena itu pada Alasan klien masuk
Rumah Sakit perlu dikaji mengenai kapan, dimana, penyebab, bagaimana
proses terjadinya, apakah klien pingsan, muntah atau perdarahan dari hidung
atau telinga.
17
sudah sadar penuh biasanya akan merasa bingung,mengeluh muntah, dispnea,
tachipnea, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralise, hemiparese, luka
di kepala, akumulasi sputum pada saluran nafas, adanya liquor dari hidung dan
telinga dan adanya kejang yang disebabkan karena proses benturan akselerasi-
deselerasi pada setiap daerah lobus otak yang dapat menyebabkan konkusio
atau kontusio serebri yang mengakibatkan penurunan kesadaran kurang atau
bisa lebih dari 24 jam.
18
c. Pemeriksaan fisik
1) Sistem pernafasan
Didapatkan adanya perubahan pola nafas baik irama, kedalaman maupun
frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur (cheyne stokes, ataxia
breathing), bunyi nafas ronchi atau stridor, adanya sekret pada trakheo
bronkhiolus, adanya retraksi dinding dada.
2) Sistem kardiovaskuler
Dalam pemeriksaan didapatkan perubahan tekanan darah menurun kecuali
apabila terjadi peningkatan tekanan intra kranial maka tekanan darah
meningkat, denyut nadi tachikardi, kemudian bradikardi atau iramanya tidak
teratur sebagai kompresi kerja jantung untuk membantu mengurangi tekanan
intra kranial.
3) Sistem pencernaan
Pada klien post craniotomy biasanya didapatkan bising usus yang normal atau
bisa juga menurun apabila masih ada pengaruh anestesi, perut kembung, bibir
dan mukosa mulut tampak kering, klien dapat mual dan muntah. kadang-
kadang konstipasi karena klien tidak boleh mengedan atau inkontinensia
karena klien tidak sadar. Pada perkusi abdomen terdengar timpani, nyeri tekan
pada daerah epigastrium, penurunan berat badan.
4) Sistem perkemihan
Pada pengkajian akan didapatkan retensi urine pada klien sadar, sedangkan
pada klien tidak sadar akan didapatkan inkontinensia urine dan fekal, jumlah
urine output biasanya berkurang. Terdapat ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, dimana terdapat hiponatremia atau hipokalemia.
5) Sistem muskuloskeletal
Pada klien post craniotomy biasanya ditemukan gerakan-gerakan involunter,
kejang, gelisah, ataksia, paralisis dan kontraktur, kekuatan otot mungkin
menurun atau normal.
19
6) Sistem integumen
Pada klien post craniotomy tampak luka pada daerah kepala, suhu tubuh
mungkin di atas normal, banyak keringat. Pada hari ketiga dari operasi
biasanya luka belum sembuh karena masih agak basah/ belum kering.
biasanya masih terdapat hematoma pada klien dengan perdarahan di
meningen. Data fisik yang lain adalah mungkin didapatkan luka lecet dan
perdarahan pada bagian tubuh lainnya. Bentuk muka mungkin asimetris.
7) Sistem persyarafan
a) Test fungsi serebral
1) Klien mengalami penurunan kesadaran maka dalam
orientasi, daya ingat, perhatian dan perhitungan serta fungsi bicara
klien sehingga hasil pemeriksaan status mentalnya kurang dari normal
atau kurang dari 20 ditandai dengan amnesia, gangguan kognitif, dll.
2) Tingkat kesadaran
Biasanya tingkat kesadaran berkisar antara obtunded sampai lethargi.
Kuantitas: nilai GCS: 9-12
3) Pengkajian bicara
(a) Proses reseptif
Biasanya didapatkan kesulitan mengucapkan kata-kata yang leih
dari satu kata misalnya “sakit kepala” atau “rumah sakit”
Nervus II (optikus)
20
Pada trauma oksipitalis, memperlihatkan gejala berupa penurunan daya
penglihatan, penurunan lapang pandang
Nervus V (trigeminus)
Gangguan ditandai adanya anestesi daerah dahi.
21
d. Data psikologis (Tuti Pahria, dkk, 1996: 57)
Pasien yang mengalami penurunan kesadaran, maka data psikologis tidak dapat
dikaji. Sedangkan pada pasien yang tingkat kesadarannya agak normal (GCS: 13-
15) akan terlihat adanya gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang
labil, iritabel, apatis, delirium.
e. Data sosial
Data yang diperlukan adalah bagaimana pasien berhubungan dengan orang-orang
terdekat dan yang lainnya. Kemampuan berkomunikasi dan peranannya dalam
keluarga. Pada klien yang mengalami penurunan kesadaran data sosial tidak dapat
dikaji. Sedangkan pada klien yang tingkat kesadarannya normal, pada klien
trauma kepala akan didapatkan kesulitan berkomunikasi bila area trauma pada
lobus temporal.
22
f. Data spiritual
Data spiritual pada klien dengan penurunan kesadaran tidak dapat dikaji, sehingga
data ketaatan klien terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup serta
keTuhanan yang diyakini klien tidak dapat terkaji.
23
7) EEG: Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis
8) Sinar X: Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),
pergeseran struktur garis tengah (karena perdarahan, oedema), adanya fragmen
tulang
9) BAER (Brain Auditory Evoked Respons): Menentukan fungsi
kortexs dan batang otak
10) PET (Position Emission Tomography): Menunjukkan perubahan
aktifitas metabolisme pada otak
11) Fungsi Lumbal, CSS: Dapat mendeteksi kemungkinan adanya
perdarahan subarakhnoid dan memastikan bocornya CSS sehingga terjadi
iritasi meningen mengakibatkan meningitis
12) Pemeriksaan toksikologi: Mendeteksi obat yang mungkin
bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran
13) Kadar antikonvulsan darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui
tingkat therapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
24
2. Diagnosa Keperawatan Dan Perencanaan
Setelah data terkumpul kemudian dilakukan analisa terhadap data untuk
menentukan diagnosa keperawatan yang muncul baik aktual maupun resiko.
Tuti Pahria, dkk, (1996: 58), Suzanne C Smeltzer, et. al, alih bahasa Agung Waluyo
(2002:2126), Linda Juall Carpenito, alih bahasa Monica Ester (2001:497), Linda Juall
Carpenito, alih bahasa Monica Ester (1999:523), Marilyn E. Doenges, alih bahasa I
Made Kariasa, dkk (2000:277) adalah sebagai berikut:
Kriteria evaluasi:
1) Pola nafas dalam batas normal dengan frekuensi 14-20 kali/ menit (untuk
dewasa) dan iramanya teratur
2) Bunyi nafas normal tidak ada stridor, ronchi, dullness dan wheezing
3) Tidak ada pernafasan cuping hidung
4) Pergerakan dada simetris/ tidak ada retraksi
5) Nilai analisa gas darah arteri normal yaitu:
pH darah: 7,35-7,45
25
Saturasi O2: 95-98%
Intervensi Rasional
Dengan dilakukannya
penghisapan lendir maka jalan
3. Lakukan penghisapan lendir
nafas akan bersih dan
dengan hati-hati selama 10-
akumulasi dari sekret bisa
15 detik. Catat sifat, warna
dicegah sehingga pernafasan
dan bau sekret. Lakukan bila
akan tetap lancar dan efektif.
tidak ada retak pada tulang
Penghisapan dilakukan hati-
basal dan robekan dural
hati untuk mencegah
terjadinya iritasi saluran nafas
dan refleks vagal
26
atau prone (telentang) tiap 2 membuka jalan nafas.
jam Mengubah posisi dapat
berguna untuk merangsang
5. Apabila pasien sudah sadar,
mobilisasi sekret di saluran
anjurkan dan ajak latihan
pernafasan
nafas dalam
Latihan nafas dalam berguna
6. Lakukan kolaborasi dengan untuk melatih complain paru
tim medis dalam pemberian
terapi oksigen, monitor
ketepatan terapi oksigen dan Pemberian oksigen terapi
komplikasi yang mungkin tambahan dapat meningkatkan
timbul oksigenisasi otak untuk
mencegah hipoksia. Monitor
pemberian oksigen untuk
mencegah terjadinya
pemberian oksigen yang
berlebihan, iritasi saluran
7. Lakukan kolaborasi dengan
nafas
tim medis dalam
melaksanakan analisa gas
darah
Analisa gas darah dapat
menentukan keefektifan
respiratori, keseimbangan
asam basa dan kebutuhan
terapi
Intervensi Rasional
28
1. Monitor status neurologis Hasil dari pengkajian dapat
yang berhubungan dengan diketahui secara dini adanya
tanda-tanda TTIK terutama tanda-tanda dan peningkatan
GCS. tekanan intra kranial sehingga
dapat menentukan arah tindakan
selanjutnya. Kecenderungan
terjadinya penurunan nilai GCS
menandakan adanya TTIK
30
c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sehubungan dengan: penurunan
produksi anti diuretik hormon (ADH) akibat terfiksasinya hipotalamus
Tujuan:
Kriteria evaluasi:
1) Asupan-haluaran seimbang yaitu asupan cairan selama 24 jam 1-2 liter dan
haluaran urin 1-2 cc/ KgBB/ jam
2) Turgor kulit baik
3) Nilai elektrolit tubuh normal:
Natrium: 13-14 mEq/L
Intervensi Rasional
32
d. Aktual atau resiko terjadi gangguan pemenuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan
yang disebabkan oleh:
1) Berkurangnya kemampuan menerima nutrisi akibat menurunnya
kesadaran
2) Melemahnya otot-otot yang digunakan untuk mengunyah atau
menelan
3) Hipermetabolik
4) Perubahan kemampuan untuk mencerna makanan
Tujuan:
Kriteria evaluasi:
Intervensi Rasional
Intervensi Rasional
35
trauma spinal karena akan merangsang
terjadinya kejang.Posisi netral
akan mencegah trauma lebih
berat pada daerah saraf spinal
dan mencegah bertambahnya
TTIK
37
f. Gangguan persepsi sensoris yang disebabkan oleh:
1) Menurunnya tingkat kesadaran (defisit neurologis)
2) Penurunan daya penangkapan sensoris
Tujuan:
Kriteria evaluasi:
38
Intervensi Rasional
39
4. Berikan keamanan pasien Gangguan persepsi sensoris dan
dengan pengaman sisi buruknya keseimbangan dapat
tempat tidur, bantu latihan meningkatkan resiko terjadinya
jalan dan lindungi dari
injuri
cedera
Kriteria evaluasi:
1) Tidak terdapatnya tanda-tanda infeksi seperti rabor, dolor, kalor, tumor dan
fungsiolesa
2) Tidak ada pus pada daerah kulit yang rusak
3) Tidak ada infeksi dari kateter dan infus set
4) Tidak terjadi abses otak/ meningitis
Intervensi Rasional
40
4. Kolaborasi dengan tim analis Kadar leukosit darah dan urin
untuk pemeriksaan: kadar adalah indikator dalam
leukosit, liquor dari hidung, menentukan adanya infeksi.
telinga, dan urin serta kultur Liquor dari mulut dan hidung
resistensi diperiksa untuk menentukan
jenis kuman dan terapi yang
akan digunakan
h. Gangguan rasa nyaman (pada pasien yang tingkat kesadarannya sudah pulih, GCS
= 15): nyeri kepala, pusing dan vertigo disebabkan karena:
Kerusakan jaringan otak dan perdarahan otak/ peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan:
Kriteria evaluasi:
3. Buat posisi kepala lebih tinggi Posisi kepala lebih atas dari badan
(150-450) dan kaki akan meningkatkan dan
melancarkan aliran balik
pembuluh darah vena dari kepala
sehingga dapat mengurangi edema
dan TTIK
42
4. Kurangi stimulus yang tidak Respon yang tidak menyenangkan
menyenangkan dari luar dan menambah ketegangan saraf dan
berikan tindakan yang massage daerah punggung, kaki,
menyenangkan seperti dll akan mengalihkan rangsangan
massage daerah punggung, terhadap nyeri, pusing dan vertigo
kaki, dll
i. Gangguan kemampuan proses berfikir dengan baik dan logis yang disebabkan
oleh:
1) Konflik psikologis
2) Gangguan fungsi sensoris
Tujuan:
Kriteria evaluasi
43
Intervensi Rasional
Kriteria evaluasi:
- menjauhkan benda-benda
tajam, memasang bed
plang,
45
menimbulkan cedera
4. Berikan penjelasan pada
Keluarga dapat mengetahui dan
keluarga tentang pencegahan
memahami cara mencegah trauma
trauma
k. Perubahan eliminasi urinarius (inkontinen atau retensi) berhubungan dengan
penurunan kesadaran
Tujuan:
Kriteria evaluasi:
3. Implementasi
46
Pada tahap ini dilakukan pelaksanaan dari perencanaan keperawatan yang
telah ditentukan, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien secara optimal.
Pelaksanaan tindakan pada klien dengan gangguan sistem persyarafan akibat trauma
kepala difokuskan pada tindakan-tindakan yang ditujukan pada upaya untuk
mengembalikan tekanan intra kranial pada kondisi normal (50-200 mmH2O atau 4 –
15 mmHg), kebutuhan O2 ke otak terpenuhi, pemenuhan kebutuhan nutrisi yang
adekuat, pemenuhan kebutuhan aktifitas sehari-hari klien, mengembalikan fungsi
persepsi sensori dan fungsi kognitif kembali normal serta pencegahan terjadinya
cedera berulang.
Perawatan respiratori
Anoksia dengan penignkatan kadar karbondioksida dapat menyebabkan otak menjadi
hipoksia yang berakibat edema otak. Darah atau lendir aibat cedera dapat menyumbat
saluran nafas atau muntahan pasien, karena itu penyedotan sangat diperlukan.
Ketidakmampuan membebaskan salurann nafas dapat menimbulkan obstruksi saluran
nafas dan bisa timbul pneumonia aspirasi. Oksigen harus diberikan pada pasien cedera
kepala dan bila saluran nafas tidak dibersihkan harus dipasang pipa endotracheal.
Kadar gas darah arteri harus dicek sesering mungkin untuk menetukan perubahan
pernapasan samai membaik.
Istirahat dan pengawasan kejang
Jangan melakukan kebersihan pasien dengan kuat-kuat beberapa jam setelah
kecelakaan. Penghalang tempat tidur harus selalu terpasang karena pasien bisa
mendadak gelisah dan kejang dan bagian kepala biasanya ditinggikan 30º . gelisah
mungkin merupakan isyarat dari pasien ingin merubah posisi, nyeri, atau ingin BAK.
Codein atau analgesik lain yang tidak menekan pernapasan bisa dipakai mengurangi
nyeri. Antikonvulsan suka diberikan untuk mencegah kejang.
47
Tanda vital dan pengendalian suhu
Tanda vital dicatat sesering mungkin sampai keadaan stabil. Peningkata suhu tubuh
secara mendadak bisa mencapai 42ºC atau lebih. Penurunan tekanan darah
menunjukkan bahwa mekanisme pengatur suhu sudah tidak bekerja. Hipertermi
meningkatkan metabolisme otak yang bisa mengakibatkan otak menjadi rusak. Usaha-
usaha terdiri dari :
1. Pemberian aspirin
2. Kompres dingin
3. Kompres es pada sela paha dan aksila
4. Menurunkan suhu ruangan.
5. Kasur pendingin yang diatur oleh arus listrik.
Pencegahan infeksi
Telinga dan hidung diperiksa dengan cermat untuk memantau apakah meningen sobek
dan cairan serebrospinal keluar rongga tersebut jangan dibersihkan dapat dipasang
kapas yang tidak menutupi keluarnya cairan. Pasien tidak boleh batuk, bersin atau
mengosok-gosok hidung jika keluar liquor dari hidung. Bila ragu apakah cairan yang
keluar itu adalah CSF atau bukan, kertas tes dapat memuktikan positif gula.
Pengobatan
Obat-obatan yang diberikan untuk mengurangi edema otak dan peningkatan TIK.
Obat-obatan terdiri dari :
1. Diuretik osmotik yang bisa penetrasi ke otak dengan lambat laun
a. Larutan urea 30%
b. Manitol 20%
2. Dexamethason
Ketidakseimbangan elektrolit
Pemantauan elektrolit yang cermat diperlukan. Berbagai macam ketidak
keseimbangan bisa terjadi pada pasien cedera kepala diantaranya seperti berikut :
1. Natriuresis (urin banyak mengandung sodium)
2. Sindrom ADH tidak sesuai (kenaikan kadar ADH dalam plasma, hiponatremia,
dan hipotonisitas)
3. Kadar cortisol dalam plasma meningkat
Eliminasi
Intake dan output dari pasien harus diukur dan dicatat, berat jenis urine juga harus
diukur, karena dapat menandai ketidak seimbangan elektrolit. Output urine harus rata-
rata 0,6 sampai 1 ml/kg berat badan/jam.
Membantu rasa nyaman dan AKS
o Dukungan emosi
Tidak jarang pasien dengan cedera kepala memperlihatkan kehilangan daya
ingat dan inisiatif. Masalah perilaku disertai pengambilan keputusan yang
48
salah serta gelisah dapat terjadi. Pasien perlu pelayanan yang ketat, tapi tepat,
disertai pedoman untuk perilaku yang bagaimana itu bisa dilaksanakan.
Pengembalian aktifitas
Masa konvalesen akan tergantung kepada besarnya kerusakan otak dan bagaimana
kecepatan pemulihan. Pasien biasanya dibujuk untuk melaksanakan kembali aktifitas
sedini mungkin. Sakit kepala dan pusing masih akan tetap ada untuk beberapa lama
setelah cedera otak. Sementara orang orang memerlukan rehabilitasi intensif dan
dalam waktu yang sangat lama di pusat rehabilitasi.
Konsultasi dan penyuluhan
Penyuluhan kepada pasien dengan cedera kepala yang mengalami gangguan yang
berat membutuhkan rehabikitasi lama sama seperti untuk pasien dengan masalah
motorik. Berikut beberapa uraian untuk penyuluhan :
1. Penyebab peningkatan tekanan intracranial
2. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan tekanan intracranial
a. Jangan bersin
b. Jangan mengangkat yang berat, jangan membungkuk, jangan
memaksakan tenaga
c. Jangan mengedan waktu bab
3. Tanda-tanda dan gejala yang harus dilaporkan kepada dokter
4.
49
50
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak.
Pengartian yang lain, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
B. Saran
Kami penyusun makalah mengucapkan terima kasih kepada ibu/bapak dosen yang turut
membantu kami dalam pembuatan makalah ini dan teman-teman yang berpartisipasi.
Kami sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekuranganoelh karena itu
kami sangat membtuhkan saran dan kritikan yang membangun agar makalah ini dapat
sepurna menjadi makalah yang lebih baik.
51
DAFTAR PUSTAKA
Ginsberg, Lionel. 2007. Lecture Notes Neurologi. Alih Bahasa Indah R. Wardhani.
Jakarta: Erlangga
Masnjoer, Arif, dkk. 2003. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga. Jakarta : Media
Aesculapius
Pahria, Tuti, dkk. 1996. Asuhan Keperawatan pada Paien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: EGC
Price, Sylvia Anderson, dkk. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
Edisi IV,alih bahasa Peter Anugerah. Jakarta : EGC
Satyanegara, L. Djoko Listiano. 1998. Ilmu Bedah Saraf Edisi III. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
52