DISUSUN OLEH:
IMROATUR ROSIDAH, S.Kep
2022032017
CI Lahan CI Institusi
Tulang tibia merupakan tulang pipa yang tersebar sesudah tulang paha
yang berbentuk persendihan lutut dengan tulang femur. Pada bagian ujungnya
terdapat tonjolan yang disebut tulang malcolus lateralis atau mata kaki luar.
Tulang tibia bentuknya lebih kecil, pada bagian pangkal melekat pada
tulang fibula, pada bagian ujung berbentuk persendihan dengan tulang pangkal
kaki dan terdapat taju yang disebut tulang moleulus medialis.
Tibia adalah merupakan tulang pipa dengan sebuah batang dan dua ujung
yaitu atas dan bawah. ujung atas memperlihatkan adanya kondil median dan
kondil lateral ini merupakan bagian yang paling atas dan paling pinggir dari
tulang permukaan superiornya memperlihatkan dua dataran permukaan
persendian untuk femur dalam formasi sendi lutut permukaan-permukaan
tersebut halus dan di atas permukaannya yang datar terdapat tulang rawan semi
lunar (1/2 bulan) yang membuat perrmukaan persendihan lebih dalam penerimaan
kondil femur.
Batang dalam irisan melintang bentuknya sepertiga sisi anteriornya paling
menjulang dan sepertiga bagian tengah terletak subkutan bagian ini membentuk
krita tibia. Permukaan medial adalah subkutancus pada hampir seluruh
panjangnya dan merupakan daerah berguna darimana dapat diambil serpihan
tulang untuk transpalantasi. Permukaan posterior ditandai oleh garis soleal atau
linea poplitea yaitu garis meninggi diatas tulang yang kuat dan yang berjalan ke
bawah dan medial.
Ujung bawah masuk kedalam formasi persendian mata kaki. Tulangnya
sedikit melebar dan kebawah sebelah medial menjulang menjadi moleolus medial
dan moleolus tibia sebelah depan tibia halus dan tendon-tendon menjulur
diantaranya ke arah kaki.
Permukaan lateral dari ujung bawah bersendi dengan fibula pada
persendian tibia fibuler interior. Tibia membuat sendi dengan tiga tulang yaitu
femur, fibula dan talus.
C. Etiologi
Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai
kekuatan dan daya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat :
D. Patofisiologi
Trauma langsung dan trauma tidak langsung serta kondisi patologis pada
tulang dapat menyebabkan fraktur pada tulang. Fraktur merupakan diskontinuitas
tulang atau pemisahan tulang. Pemisahan tulang ke dalam beberapa fragmen
tulang menyebabkan perubahan pada jaringan sekitar fraktur meliputi laserasi
kulit akibat perlukaan dari fragmen tulang tersebut, perlukaan jaringan kulit ini
memunculkan masalah keperawatan berupa kerusakan integritas kulit. Perlukaan
kulit oleh fragmen tulang dapat menyebabkan terputusnya pembuluh darah vena
dan arteri di area fraktur sehingga menimbulkan perdarahan. Perdarahan pada
vena dan arteri yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan cukup lama
dapat menimbulkan penurunan volume darah serta cairan yang mengalir pada
pembuluh darah sehingga akan muncul komplikasi berupa syok hipovolemik jika
perdarahan tidak segera dihentikan.
Perubahan jaringan sekitar akibat fragmen tulang dapat menimbulkan
deformitas pada area fraktur karena pergerakan dari fragmen tulang itu sendiri.
Deformitas pada area ekstremitas maupun bagian tubuh yang lain menyebabkan
seseorang memiliki keterbatasan untuk beraktivitas akibat perubahan dan
gangguan fungsi pada area deformitas tersebut sehingga muncul masalah
keperawatan berupa gangguan mobilitas fisik. Pergeseran fragmen tulang sendiri
memunculkan masalah keperawatan berupa nyeri.
Beberapa waktu setelah fraktur terjadi, otot-otot pada area fraktur akan
melakukan mekanisme perlindungan pada area fraktur dengan melakukan
spasme otot. Spasme otot merupakan bidai alamiah yang mencegah pergeseran
fragmen tulang ke tingkat yang lebih parah. Spasme otot menyebabkan
peningkatan tekanan pembuluh darah kapiler dan merangsang tubuh untuk
melepaskan histamin yang mampu meningkatkan permeabilitas pembuluh darah
sehingga muncul perpindahan cairan intravaskuler ke interstitial. Perpindahan
cairan intravaskuler ke interstitial turut membawa protein plasma. Perpindahan
cairan intravaskuler ke interstitial yang berlangsung dalam beberapa waktu akan
menimbulkan edema pada jaringan sekitar atau interstitial oleh karena
penumpukan cairan sehingga menimbulkan kompresi atau penekanan pada
pembuluh darah sekitar dan perfusi sekitar jaringan tersebut mengalami
penurunan. Penurunan perfusi jaringan akibat edema memunculkan masalah
keperawatan berupa gangguan perfusi jaringan.
Masalah gangguan perfusi jaringan juga bisa disebabkan oleh kerusakan
fragmen tulang itu sendiri. Diskontinuitas tulang yang merupakan kerusakan
fragmen tulang meningkatkan tekanan sistem tulang yang melebihi tekanan
kapiler dan tubuh melepaskan katekolamin sebagai mekanisme kompensasi
stress. Katekolamin berperan dalam memobilisasi asam lemak dalam pembuluh
darah sehingga asam-asam lemak tersebut bergabung dengan trombosit dan
membentuk emboli dalam pembuluh darah sehingga menyumbat pembuluh darah
dan mengganggu perfusi jaringan
E. Manifestasi Klinis
1. Nyeri dan terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur yang merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian yang fraktur tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap
regid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang dapat
diketahui dengan membandingkan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak
dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnya
terjadi karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
4. Saat tempat fraktur di periksa teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus
akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi sebagai
akibat trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa terjadi
setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cidera.
F. Komplikasi
1. Komplikasi awal:
a. Syok : dapat terjadi berakibat fatal dalam beberapa jam setelah edema.
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur
b. Emboli lemak : dapat terjadi 24-72 jam. Fat Embolism Syndrom (FES)
adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang
panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow
kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam
darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi,
hypertensi, tachypnea, demam.
c. Sindrom kompartemen : perfusi jaringan dalam otot kurang dari
kebutuhan. Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang
terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari
luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat. Gejala klinis yang
terjadi pada sindrom kompartemen dikenal dengan 5P, yaitu:
1) Pain (nyeri) Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot
yang terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala
dini yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak
sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin
gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot
yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan
sering.
2) Pallor (pucat) Diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah
tersebut.
3) Pulselessness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)
4) Parestesia (rasa kesemutan)
5) Paralysis: Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf
yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena sindrom
kompartemen.
d. Infeksi dan tromboemboli : System pertahanan tubuh rusak bila ada
trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit
(superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plat
e. Koagulopati intravaskuler diseminata
2. Komplikasi lanjut
a. Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak
seharusnya.
b. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
c. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali
d. Nekrosis avaskular tulang: Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena
aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan
nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia
e. Reaksi terhadap alat fiksasi interna
G. Pemeriksaan penunjang
pemeriksaan penunjang pada fraktur yaitu:
1. Anamnesa/ pemeriksaan umum
2. Pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan yang penting adalah pemeriksaan
menggunakan sinar Rontgen (sinar-x) untuk melihat gambaran tiga dimensi
dari keadaan dan kedudukan tulang yang sulit.
3. CT scan : pemeriksaan bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat
memperlihatkan jaringan lunak atau cedera ligament atau tendon.
4. X - Ray : menentukan lokasi, luas, batas dan tingkat fraktur.
5. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang lazim digunakan
untuk mengetahui lebih jauh kelainan yang terjadi meliputi :
a. Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
b. Fosfatase alkali meningkat pada saat kerusakan tulang
c. Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehydrogenase (LDH-5),
aspratat aminotransferase (AST) dan aldolase meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
6. Pemeriksaan lain-lain :
a. Biopsi tulang dan otot : pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan di
atas, tetapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.
b. Elekromiografi : terdapat kerusakan konduksi saraf akibat fraktur.
c. Artroskopi : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
d. MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
e. Indigium Imaging : pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
H. Penatalaksanaan
Ada empat konsep dasar yang harus dipertimbangkan untuk menangani fraktur,
yaitu:
1. Rekoknisi, yaitu menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kecelakaan dan
selanjutnya di rumah sakit dengan melakukan pengkajian terhadap riwayat
kecelakaan, derajat keparahan, jenis kekuatan yang berperan pada pristiwa
yang terjadi serta menentukan kemungkinan adanya fraktur melalui
pemeriksaan dan keluhan dari klien
2. Reduksi fraktur (pengembalian posisi tulang ke posisi anatomis)
a. Reduksi terbuka. Dengan pembedahan, memasang alat fiksasi interna
(missal pen, kawat, sekrup, plat, paku dan batang logam)
b. Reduksi tertutup. Ekstremitas dipertahankan dengan gip, traksi, brace,
bidai dan fiksator eksterna
3. Imobilisasi. Setelah direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar hingga terjadi
penyatuan. Metode imobilisasi dilakukan dengan fiksasi eksterna dan interna
4. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi:
a. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
b. Meninggikan daerah fraktur untuk meminimalkan pembengkakan
c. Memantau status neuromuskuler
d. Mengontrol kecemasan dan nyeri
e. Latihan isometric dan setting otot
f. Kembali ke aktivitas semula secara bertahap
I. Pencegahan
1. Gips
2. Kawat fungsional, yang memungkinkan gerakan kaki anda
3. Obat pereda nyeri, seperti obat anti-inflamasi
4. Terapi fisik
5. Latihan dirumah
6. Splints
J. Asuhan Keperawatan
Pengkajian adalah langkah pertama yang paling penting dalam
proses keperawatan. Jika langkah ini tidak di tangani dengan baik, perawat akan
kehilangan kontrol atas langkah-langkah selanjutnya dari proses keperawatan.
Tanpa pengkajian keperawatan yang tepat, tidak ada diagnose keperawatan, dan
tanpa diagnose keperawatan, tidak ada tindakan keperawatan mandiri Pengkajian
meliputi:
1. Identitas Pasien
Meliputi nama, inisial, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan, no. register,
tanggal MRS, alasan MRS, diagnosa medis.
2. Initial survey/pengkajian primer
Untuk menentukan apakah pasien responsif atau tidak menggunakan
metode AVPU.A (Alert): Pasien terjaga, responsif, berorientasi, dan berbicara
dengan petugas.V (Verbal): Petugas memberikan rangsangan berupa suara
(memanggil pasien). Pasien akan memberikan respon berupa mengerang,
mendengus, berbicara atau hanya mIel'ihat petugas.P (Painful): Jika pasien
tidak memberikan respon dengan suara, maka anda perlu melakukan
pemberian rangsangan nyeri dengan cara menggosok sternum atau sedikit
cubitan pada bahu. U (Unresponsive): Tidak ada respon apapun dengan suara
atau dengan nyeri.Menurut Parahita, Putu Sukma. setelah pasien sampai di
Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang pertama kali harus dilakukan adalah
mengamankan dan mengaplikasikan prinsip Airway, Breathing,Circulation,
Disability Limitation, Exposure (ABCDE).
a. Airway : Penilaian kelanaran airway pada pasien yang mengalamifraktur
meliputi, pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat
disebabkan benda asing, fraktur wajah, fraktur mandibula atau maksila,
fraktur laring atau trachea. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus
melindungi vertebral servikal karena kemungkinan patahnya tulang
servikal harus selalu diperhitungkan. Dalam hal ini dapat dilakukan chin
lift, tetapi tidak boleh melibatkan hiperektensi leher.
b. Breathing : Setelah melakukan airway kita harus menjaminventilasi
yang baik.Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru,
dinding dada dan diafragma. Dada pasien harus dibuka uantuk melihat
pernapasan yang baik.
c. Circulation : Kontrol perdarahan vena dengan menekanlangsung sisi
area perdarahan bersamaan dengan tekanan jari pada arteri paling dekat
dengan perdarahan. Curiga hemoragi internal (pleural, parasardial, atau
abdomen) pada kejadian syok lanjut dan adanya cidera pada dada dan
abdomen. Atasi syok, dimana pasien dengan fraktur biasanya mengalami
kehilangan darah. Kaji tanda-tanda syok yaitu penurunan tekanan darah,
kulit dingin, lembab dan nadi halus.
d. Disability :kaji kedaan neurologis secara cepat yang dinilaiadalah
tingkat kesadaran (GCS), ukuran dan reaksi pupil. Penurunan kesadaran
dapat disebabkan penurunan oksigen dan penurunan perfusi ke otak,
atau disebabkanperlukaan penurunan oksigen dan penurunan perfusi
ke otak, atau disebabkan perlukaan pada otak. Perubahan kesadaran
menuntut dilakukannya pemeriksaan terhadap keadaan ventilasi, perfusi
dan oksigenasi.
e. Exsposure : jika exsposure dilakukan di Rumah Sakit, tetapi jikaperlu
dapat membuka pakaian, misalnya membuka baju untuk melakukan
pemeriksaan fisik thoraks. Di Rumah Sakit pasien harus di buka seluruh
pakaiannya, untuk evaluasi pasien. Setelah pakain dibuka, penting agar
pasien tidak kedinginan pasien harus diberikan slimut hangan, ruangan
cukup hangat dan diberikan cairan intravena.
. 3. Pengkajian Sekunder
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan langkah-langkah
prosedursebelum pemasangan bidai
2. Jelaskan tanda dan gejala sindrom
kompartemen(5P: pulseless, parastesia,
pain, paralysis, palor)
Gejala & Tanda Mayor Setelah Manajemen nyeri
Subjektif dilakukan asuhan Observasi
1. Mengeluh sulit menggerakkan keperawatan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
ekstremitas … x 24 jam frekuensi,kualitas, intensitas nyeri.
Objektif diharapkan 2. Identifikasi skala nyeri
1. Kekuatan otot menurun mobilitas fisik 3. Identifikasi respons nyeri non verbal
2. Rentang gerak (ROM) meningkat 4. Identifikasi faktor yang memperberat
menurun dengan kriteria hasil: danmemperingan nyeri
Gejala & Tanda Minor 1. Keluhan nyeri 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
Subjektif menurun tentangnyeri.
1. Nyeri saat bergerak 2. Meringis menurun 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
2. Enggan melakukan pergerakan 3. Gelisah menurun responnyeri.
3. Merasa cemas saat bergerak 4. Kesulitan tidur
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
Objektif menurun
hidup
1. Sendi kaku 8. Monitor keberhasilan terapi
2. Gerakan tidak terkoordinasi
komplementer yang sudah diberikan
3. Gerakan terbatas
4. Fisik lemah 9. Monitor efek samping penggunaan
analgetik
Terapeutik
1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangirasa nyeri
2. Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu
4. Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam
rencana perawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri
(independen) dan tindakan kolaborasi.
5. Evaluasi
Evaluasi adalah fase kelima dari proses keperawatan. Evaluasi
merupakan aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan dan terarah ketika pasien
dan professional kesehatan menentukan kemajuan pasien menuju pencapaian
tujuan/ hasil dan keefektifan rencana asuhan keperawatan. Evaluasi ini akan
menentukan apakah intervensi keperawatan harus diakhiri, dilanjutkan ataupun
dirubah.
Daftar Pustaka
Cahyadi. W. 2017 Teori dan Aplikasi Pengolahan Citra. Penerbit Andi : yogyakarta
Choras, R.S dan hearn, T 2019, A CAD System For Segmecatation And Fracture
Detection. International Journal Of Innovative Research In Science,
Engineering and Technology 1 (1) : 153-162
Kurniawan, S.F. 2021 Deteksi Fraktur Tulang Menggunakan Open CV. Jurnal
Teoricital Indonesia Dan Teknologi Informasi 64 (1) 249-254.
Fuadah, Y.N dan Rizal. A. 2017 Diaphysis Fractur On Tibia And Fibula Detection
Based On Digital Image Proccessing And Scan Line Algorithm. The 15
International Conference On Biomedical Engincering. IFMBE Proccedings
43 : 679-682
Mahyudin, L. 2018 Fraktur Diafisis Tibia. http//www. Belibis17.tk(diakses pada 10
maret 2020).