Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KASUS FRAKTUR TIBIA

FIBULA DI RUANGAN KAMAR OPERASI RSUD UNDATA

DISUSUN OLEH:
IMROATUR ROSIDAH, S.Kep
2022032017

CI Lahan CI Institusi

Nurvia, S.Kep.,Ns Ns. Siti Yartin S.Kep.,M.Kep


NIP : 198104011999032002 NIK : 20210902025

UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA PALU


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2023
A. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan
epifisis dan atau tulang rawan sendi. Fraktur dapat terjadi akibat peristiwa trauma
tunggal, tekanan yang berulang-ulang, atau kelemahan abnormal pada tulang
(fraktur patologik).
Fraktur tibia adalah pergeseran conylus lateralis tibia yang disebabkan oleh
pukulan yang membengkok sendi lutut dan robekan ligamentum medialis sendi
tersebut.
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan
berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan,
pemuntiran, atau penarikan. Fraktur dapat disebabkan trauma langsung atau tidak
langsung. Trauma langsung berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan
fraktur di tempat itu. Trauma tidak langsung bila titik tumpu benturan dengan
terjadinya fraktur berjauhan. Tekanan yang berulang-ulang dapat menyebabkan
keretakan pada tulang. Keadaan ini paling sering ditemui pada tibia, fibula, atau
metatarsal. Fraktur dapat pula terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu
lemah (misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada
penyakit paget).
B. Anatomi Fisiologi

Tulang tibia merupakan tulang pipa yang tersebar sesudah tulang paha
yang berbentuk persendihan lutut dengan tulang femur. Pada bagian ujungnya
terdapat tonjolan yang disebut tulang malcolus lateralis atau mata kaki luar.
Tulang tibia bentuknya lebih kecil, pada bagian pangkal melekat pada
tulang fibula, pada bagian ujung berbentuk persendihan dengan tulang pangkal
kaki dan terdapat taju yang disebut tulang moleulus medialis.
Tibia adalah merupakan tulang pipa dengan sebuah batang dan dua ujung
yaitu atas dan bawah. ujung atas memperlihatkan adanya kondil median dan
kondil lateral ini merupakan bagian yang paling atas dan paling pinggir dari
tulang permukaan superiornya memperlihatkan dua dataran permukaan
persendian untuk femur dalam formasi sendi lutut permukaan-permukaan
tersebut halus dan di atas permukaannya yang datar terdapat tulang rawan semi
lunar (1/2 bulan) yang membuat perrmukaan persendihan lebih dalam penerimaan
kondil femur.
Batang dalam irisan melintang bentuknya sepertiga sisi anteriornya paling
menjulang dan sepertiga bagian tengah terletak subkutan bagian ini membentuk
krita tibia. Permukaan medial adalah subkutancus pada hampir seluruh
panjangnya dan merupakan daerah berguna darimana dapat diambil serpihan
tulang untuk transpalantasi. Permukaan posterior ditandai oleh garis soleal atau
linea poplitea yaitu garis meninggi diatas tulang yang kuat dan yang berjalan ke
bawah dan medial.
Ujung bawah masuk kedalam formasi persendian mata kaki. Tulangnya
sedikit melebar dan kebawah sebelah medial menjulang menjadi moleolus medial
dan moleolus tibia sebelah depan tibia halus dan tendon-tendon menjulur
diantaranya ke arah kaki.
Permukaan lateral dari ujung bawah bersendi dengan fibula pada
persendian tibia fibuler interior. Tibia membuat sendi dengan tiga tulang yaitu
femur, fibula dan talus.
C. Etiologi
Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai
kekuatan dan daya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat :

1. Peristiwa trauma tunggal


Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba – tiba dan
berlebihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran,
penekukan atau terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan.
Bila terkena kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang
terkena; jaringan lunak juga pasti rusak. Pemukulan (pukulan sementara)
biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit
diatasnya; penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif
disertai kerusakan jaringan lunak yang luas. Bila terkena kekuatan tak
langsung tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat
yang terkena kekuatan itu; kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur
mungkin tidak ada. Kekuatan dapat berupa :
a. Pemuntiran (rotasi), yang menyebabkan fraktur spiral
b. Penekukan (trauma angulasi atau langsung) yang menyebabkan fraktur
melintang
c. Penekukan dan Penekanan, yang mengakibatkan fraktur sebagian
melintang tetapi disertai fragmen kupu – kupu berbentuk segitiga yang
terpisah
d. Kombinasi dari pemuntiran, penekukan dan penekanan yang
menyebabkan fraktur obliq pendek
e. Penatikan dimana tendon atau ligamen benar – benar menarik tulang
sampai terpisah
2. Tekanan yang berulang – ulang
Retak dapat terjadi pada tulang, seperti halnya pada logam dan benda
lain, akibat tekanan berulang – ulang.
3. Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik)
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah
(misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh.

D. Patofisiologi
Trauma langsung dan trauma tidak langsung serta kondisi patologis pada
tulang dapat menyebabkan fraktur pada tulang. Fraktur merupakan diskontinuitas
tulang atau pemisahan tulang. Pemisahan tulang ke dalam beberapa fragmen
tulang menyebabkan perubahan pada jaringan sekitar fraktur meliputi laserasi
kulit akibat perlukaan dari fragmen tulang tersebut, perlukaan jaringan kulit ini
memunculkan masalah keperawatan berupa kerusakan integritas kulit. Perlukaan
kulit oleh fragmen tulang dapat menyebabkan terputusnya pembuluh darah vena
dan arteri di area fraktur sehingga menimbulkan perdarahan. Perdarahan pada
vena dan arteri yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan cukup lama
dapat menimbulkan penurunan volume darah serta cairan yang mengalir pada
pembuluh darah sehingga akan muncul komplikasi berupa syok hipovolemik jika
perdarahan tidak segera dihentikan.
Perubahan jaringan sekitar akibat fragmen tulang dapat menimbulkan
deformitas pada area fraktur karena pergerakan dari fragmen tulang itu sendiri.
Deformitas pada area ekstremitas maupun bagian tubuh yang lain menyebabkan
seseorang memiliki keterbatasan untuk beraktivitas akibat perubahan dan
gangguan fungsi pada area deformitas tersebut sehingga muncul masalah
keperawatan berupa gangguan mobilitas fisik. Pergeseran fragmen tulang sendiri
memunculkan masalah keperawatan berupa nyeri.
Beberapa waktu setelah fraktur terjadi, otot-otot pada area fraktur akan
melakukan mekanisme perlindungan pada area fraktur dengan melakukan
spasme otot. Spasme otot merupakan bidai alamiah yang mencegah pergeseran
fragmen tulang ke tingkat yang lebih parah. Spasme otot menyebabkan
peningkatan tekanan pembuluh darah kapiler dan merangsang tubuh untuk
melepaskan histamin yang mampu meningkatkan permeabilitas pembuluh darah
sehingga muncul perpindahan cairan intravaskuler ke interstitial. Perpindahan
cairan intravaskuler ke interstitial turut membawa protein plasma. Perpindahan
cairan intravaskuler ke interstitial yang berlangsung dalam beberapa waktu akan
menimbulkan edema pada jaringan sekitar atau interstitial oleh karena
penumpukan cairan sehingga menimbulkan kompresi atau penekanan pada
pembuluh darah sekitar dan perfusi sekitar jaringan tersebut mengalami
penurunan. Penurunan perfusi jaringan akibat edema memunculkan masalah
keperawatan berupa gangguan perfusi jaringan.
Masalah gangguan perfusi jaringan juga bisa disebabkan oleh kerusakan
fragmen tulang itu sendiri. Diskontinuitas tulang yang merupakan kerusakan
fragmen tulang meningkatkan tekanan sistem tulang yang melebihi tekanan
kapiler dan tubuh melepaskan katekolamin sebagai mekanisme kompensasi
stress. Katekolamin berperan dalam memobilisasi asam lemak dalam pembuluh
darah sehingga asam-asam lemak tersebut bergabung dengan trombosit dan
membentuk emboli dalam pembuluh darah sehingga menyumbat pembuluh darah
dan mengganggu perfusi jaringan

E. Manifestasi Klinis
1. Nyeri dan terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur yang merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian yang fraktur tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap
regid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang dapat
diketahui dengan membandingkan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak
dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnya
terjadi karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
4. Saat tempat fraktur di periksa teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus
akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi sebagai
akibat trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa terjadi
setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cidera.
F. Komplikasi
1. Komplikasi awal:
a. Syok : dapat terjadi berakibat fatal dalam beberapa jam setelah edema.
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur
b. Emboli lemak : dapat terjadi 24-72 jam. Fat Embolism Syndrom (FES)
adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang
panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow
kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam
darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi,
hypertensi, tachypnea, demam.
c. Sindrom kompartemen : perfusi jaringan dalam otot kurang dari
kebutuhan. Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang
terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari
luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat. Gejala klinis yang
terjadi pada sindrom kompartemen dikenal dengan 5P, yaitu:
1) Pain (nyeri) Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot
yang terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala
dini yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak
sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin
gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot
yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan
sering.
2) Pallor (pucat) Diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah
tersebut.
3) Pulselessness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)
4) Parestesia (rasa kesemutan)
5) Paralysis: Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf
yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena sindrom
kompartemen.
d. Infeksi dan tromboemboli : System pertahanan tubuh rusak bila ada
trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit
(superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plat
e. Koagulopati intravaskuler diseminata

2. Komplikasi lanjut
a. Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak
seharusnya.
b. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
c. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali
d. Nekrosis avaskular tulang: Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena
aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan
nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia
e. Reaksi terhadap alat fiksasi interna
G. Pemeriksaan penunjang
pemeriksaan penunjang pada fraktur yaitu:
1. Anamnesa/ pemeriksaan umum
2. Pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan yang penting adalah pemeriksaan
menggunakan sinar Rontgen (sinar-x) untuk melihat gambaran tiga dimensi
dari keadaan dan kedudukan tulang yang sulit.
3. CT scan : pemeriksaan bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat
memperlihatkan jaringan lunak atau cedera ligament atau tendon.
4. X - Ray : menentukan lokasi, luas, batas dan tingkat fraktur.
5. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang lazim digunakan
untuk mengetahui lebih jauh kelainan yang terjadi meliputi :
a. Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
b. Fosfatase alkali meningkat pada saat kerusakan tulang
c. Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehydrogenase (LDH-5),
aspratat aminotransferase (AST) dan aldolase meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
6. Pemeriksaan lain-lain :
a. Biopsi tulang dan otot : pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan di
atas, tetapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.
b. Elekromiografi : terdapat kerusakan konduksi saraf akibat fraktur.
c. Artroskopi : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
d. MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
e. Indigium Imaging : pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
H. Penatalaksanaan
Ada empat konsep dasar yang harus dipertimbangkan untuk menangani fraktur,
yaitu:
1. Rekoknisi, yaitu menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kecelakaan dan
selanjutnya di rumah sakit dengan melakukan pengkajian terhadap riwayat
kecelakaan, derajat keparahan, jenis kekuatan yang berperan pada pristiwa
yang terjadi serta menentukan kemungkinan adanya fraktur melalui
pemeriksaan dan keluhan dari klien
2. Reduksi fraktur (pengembalian posisi tulang ke posisi anatomis)
a. Reduksi terbuka. Dengan pembedahan, memasang alat fiksasi interna
(missal pen, kawat, sekrup, plat, paku dan batang logam)
b. Reduksi tertutup. Ekstremitas dipertahankan dengan gip, traksi, brace,
bidai dan fiksator eksterna
3. Imobilisasi. Setelah direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar hingga terjadi
penyatuan. Metode imobilisasi dilakukan dengan fiksasi eksterna dan interna
4. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi:
a. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
b. Meninggikan daerah fraktur untuk meminimalkan pembengkakan
c. Memantau status neuromuskuler
d. Mengontrol kecemasan dan nyeri
e. Latihan isometric dan setting otot
f. Kembali ke aktivitas semula secara bertahap
I. Pencegahan
1. Gips
2. Kawat fungsional, yang memungkinkan gerakan kaki anda
3. Obat pereda nyeri, seperti obat anti-inflamasi
4. Terapi fisik
5. Latihan dirumah
6. Splints
J. Asuhan Keperawatan
Pengkajian adalah langkah pertama yang paling penting dalam
proses keperawatan. Jika langkah ini tidak di tangani dengan baik, perawat akan
kehilangan kontrol atas langkah-langkah selanjutnya dari proses keperawatan.
Tanpa pengkajian keperawatan yang tepat, tidak ada diagnose keperawatan, dan
tanpa diagnose keperawatan, tidak ada tindakan keperawatan mandiri Pengkajian
meliputi:
1. Identitas Pasien
Meliputi nama, inisial, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan, no. register,
tanggal MRS, alasan MRS, diagnosa medis.
2. Initial survey/pengkajian primer
Untuk menentukan apakah pasien responsif atau tidak menggunakan
metode AVPU.A (Alert): Pasien terjaga, responsif, berorientasi, dan berbicara
dengan petugas.V (Verbal): Petugas memberikan rangsangan berupa suara
(memanggil pasien). Pasien akan memberikan respon berupa mengerang,
mendengus, berbicara atau hanya mIel'ihat petugas.P (Painful): Jika pasien
tidak memberikan respon dengan suara, maka anda perlu melakukan
pemberian rangsangan nyeri dengan cara menggosok sternum atau sedikit
cubitan pada bahu. U (Unresponsive): Tidak ada respon apapun dengan suara
atau dengan nyeri.Menurut Parahita, Putu Sukma. setelah pasien sampai di
Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang pertama kali harus dilakukan adalah
mengamankan dan mengaplikasikan prinsip Airway, Breathing,Circulation,
Disability Limitation, Exposure (ABCDE).
a. Airway : Penilaian kelanaran airway pada pasien yang mengalamifraktur
meliputi, pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat
disebabkan benda asing, fraktur wajah, fraktur mandibula atau maksila,
fraktur laring atau trachea. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus
melindungi vertebral servikal karena kemungkinan patahnya tulang
servikal harus selalu diperhitungkan. Dalam hal ini dapat dilakukan chin
lift, tetapi tidak boleh melibatkan hiperektensi leher.
b. Breathing : Setelah melakukan airway kita harus menjaminventilasi
yang baik.Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru,
dinding dada dan diafragma. Dada pasien harus dibuka uantuk melihat
pernapasan yang baik.
c. Circulation : Kontrol perdarahan vena dengan menekanlangsung sisi
area perdarahan bersamaan dengan tekanan jari pada arteri paling dekat
dengan perdarahan. Curiga hemoragi internal (pleural, parasardial, atau
abdomen) pada kejadian syok lanjut dan adanya cidera pada dada dan
abdomen. Atasi syok, dimana pasien dengan fraktur biasanya mengalami
kehilangan darah. Kaji tanda-tanda syok yaitu penurunan tekanan darah,
kulit dingin, lembab dan nadi halus.
d. Disability :kaji kedaan neurologis secara cepat yang dinilaiadalah
tingkat kesadaran (GCS), ukuran dan reaksi pupil. Penurunan kesadaran
dapat disebabkan penurunan oksigen dan penurunan perfusi ke otak,
atau disebabkanperlukaan penurunan oksigen dan penurunan perfusi
ke otak, atau disebabkan perlukaan pada otak. Perubahan kesadaran
menuntut dilakukannya pemeriksaan terhadap keadaan ventilasi, perfusi
dan oksigenasi.
e. Exsposure : jika exsposure dilakukan di Rumah Sakit, tetapi jikaperlu
dapat membuka pakaian, misalnya membuka baju untuk melakukan
pemeriksaan fisik thoraks. Di Rumah Sakit pasien harus di buka seluruh
pakaiannya, untuk evaluasi pasien. Setelah pakain dibuka, penting agar
pasien tidak kedinginan pasien harus diberikan slimut hangan, ruangan
cukup hangat dan diberikan cairan intravena.
. 3. Pengkajian Sekunder

Bagian dari pengkajian sekunder pada pasien cidera muskuloskeletal


adalah anamnesis danpemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah
mencari cidera - cidera lain yangmungkin terjadi pada pasien sehingga tidak
satupun terlewatkan dan tidak terobati.Apabilapasien sadar dan dapat berbicara
maka kita harus mengambil riwayat SAMPLE dari pasien, yaitu Subyektif,
Allergies, Medication, PastMedical History, Last Ate dan Event (kejadian atau
mekanismekecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan
untuk mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh pasien,
terutama jika kitamasih curiga ada cidera yang belum diketahui saat primary
survey, Selain riwayat SAMPLE, peI n' ting juga untuk mencari informasi
mengenai penanganan sebelum pasien sampai di rumah sakit. Pada
pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk dievaluasi adalah
a. kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi
b. fungsi neuromuskular
c. status sirkulasi,
d. integritas ligamentum dan tulang.
Cara pemeriksaannya dapatdilakukan dengan Look, Feel, Move.
Pada Look, kita menilai warna dan perfusi, luka, deformitas,
pembengkakan, dan memar.
Penilaian inspeksi dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan
pendarahan eksternal aktif, begitu pula dengan bagian punggung. Bagian
distal tubuh yang pucat dan tanpa pulsasi menandakan adanya gangguan
vaskularisasi. Ekstremitas yang bengkak pada daerah yang berotot
menunjukkan adanyacrush injury dengan ancaman sindroma kompartemen.
Pada pemerikasaan Feel, kitamenggunakan palpasi untuk
memeriksa daerah nyeri tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi. Pada
periksaan Move kita memeriksa Range of Motion dan gerakan
abnormal.Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi
bagian distal dari fraktur danjuga memeriksa capillary refill pada ujung jari
kemudian membandingkan sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika
hipotensi mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat digunakanalat
Doppler yang dapat mendeteksi aliran darah di ekstremitas. Pada pasien
dengan hemodinamik yang normal, perbedaan besarnya denyut nadi,
dingin, pucat, parestesi danadanya gangguan motorik menunjukkan
trauma arteri. Selain itu hematoma yangmembesar atau pendarahan yang
memancar dari luka terbuka menunjukkan adanya trauma arteria.
penting untuk dilakukan mengingat cedera muskuloskeletal
juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan iskemia sel syaraf.
Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja sama pasien. Setiap
syaraf perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu diperiksa
secara sistematik.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : dikaji GCS pasien
b. System Integumen : kaji ada tidaknya eritema, bengkak, oedema, nyeri
tekan.
c. Kepala : kaji bentuk kepala, apakah terdapat benjolan, apakah ada nyeri
kepala
d. Leher : kaji ada tidaknya penjolankelenjar tiroid, dan reflek menelan.
e. Muka : kaji ekspresi wajah pasien wajah, ada tidak perubahan fungsi
maupun bentuk. Ada atau tidak lesi, ada tidak oedema.
f. Mata : kaji konjungtiva anemis atau tidak (karena tidak terjadi perdarahan)
g. Telinga : kaji ada tidaknya lesi, nyeri tekan, dan penggunaan alat
bantu pendengaran.
h. Hidung : kaji ada tidaknya deformitas, dan pernapasan cuping hidung.
i. Mulut dan Faring : kaji ada atau tidak pembesaran tonsil, perdarahan
gusi, kaji mukosa bibir pucat atau tidak.
j. Paru :
1) Inspeksi : kaji ada tidaknya pernapasan meningkat.
2) Palpasi : kaji pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
3) Perkusi : kaji ada tidaknya redup atau suara tambahan.
4) Auskultasi : kaji ada tidaknya suara nafas tambahan.
k. Jantung I

1) Inspeksi : kaji ada tidaknya iktus jantung.


2) Palpasi : kaji ada tidaknya nadi meningkat, iktus teraba atau tidak.
3) Perkusi : kaji suara perkusi pada jantung
4) Auskultasi: kaji adanya suara tambahan.
l. Abdomen
1) Inspeksi : kaji kesimetrisan, ada atau tidak hernia
2) Auskultasi : kaji suara Peristaltik usus pasien
3) Perkusi : kaji adanya suara
4) Palpasi : ada atau tidak nyeri tekan
m. Ekstremitas
1) Atas : kaji kekuatan otot, rom kanandan kiri, capillary refile,
perubahan bentuk tulang
2) Bawah : kaji kekuatan otot, rom kanan dan kiri, capillaryrefile, dan
perubahan bentuk tulang
5. Riwayat kesehatan Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap pasien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh
mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.
6. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pada pengkajIia'n ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-
penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung.
Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko
terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat
proses penyembuhan tulang.
7. Riwayat kesehatan Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,dan kanker tulang
yang cenderung diturunkan secara genetik (Paul Krisanty. Dkk. 2016).
8. Riwayat dan mekanisme trauma
Dilakukan pengkajian riwayat terjadinya trauma dan mekanisme atau
bagaimana trauma terjadi.
9. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu
AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi
tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari
karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x- ray harus atas
dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai
dengan permintaan. Hal yang harus diIba' ca pada x-ray:
a. Bayangan jaringan lunak.
b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya
seperti:
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur
yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur
saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan
akibat trauma.
3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan
potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu
struktur tulang yang rusak.
10. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahappenyembuhan
tulang.
b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang danmenunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase(LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat
pada tahap penyeIm' buhan tulang.

11. Pemeriksaan lain-lain :


a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Akut b.d Agen cedera fisik di tandai dengan pasien tampak meringgis,
gelisah.
b. Resiko Infeksi b.d kerusakan integritas kulit.
c. Gangguan Mobilitas Fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang di tandai
dengan pasien nyeri saat bergerak.
d. Gangguan integritas kulit/jaringan b.d kelembabpan di tantai dengan pasien
tanpak nyeri, perdarahan, kemerahan
e. Risiko Disfungsi Neorovaskuler perifer b.d fraktur, penekanan klinis
(balutan)
f. ResikoI 'pedarahan b.d trauma dan tindakan pembedahan.
3. Intervensi Keperawatan
SDKI SLKI SIKI
Gangguan Mobilitas Fisik Setelah Pembidaian
Penyebab dilakukan asuhan
1. Kerusakan integritas keperawatan Observasi
struktur tulang … x 24 jam 1. Identifikasi kebutuhan dilakukan
2. Perubahan metabolism diharapkan pembidaian (mis.fraktur, dislokasi)
3. Ketidakbugaran fisik mobilitas fisik 2. Monitor bagian distal area cedera (mis.
4. Penurunan kendali otot meningkat Pulsasinadi, pengisian kapiler, gerakan
5. Penurunan massa otot dengan kriteria hasil: motorik dan sensasi)
6. Penurunan kekuatan otot Mobilitas Fisik 3. Monitor adanya perdarahan pada area
7. Keterlambatan 1. Pergerakan cedera
perkembangan ektremitas 4. Identifikasi material bidai yang sesuai (mis.
8. Kekakuan sendi meningkat
9. Kontraktur Lurusdan keras, panjang bidai melewati dua
2. Kekuatan otot
10. Malnutrisi sendi)
meningkat
11. Gangguan musculoskeletal 3. Rentang gerak
12. Gangguan neuromuskuler (ROM) Meningkat Terapeutik
13. Indeks masa tubuh di atas 4. Nyeri menurun 1. Tutup luka terbuka dengan balutan
persentil ke-75 sesuai usia 5. Kecemasan 2. Atasi perdarahan sebelum bidai dipasang
14. Efek agen farmakologis menurun 3. Minimalkan pergerakan, terutama pada
15. Program pembatasan gerak 6. Kaku sendi bagianyang cedera
16. Nyeri menurun 4. Berikan bantalan (padding) pada bidai
17. Kurang terpapar informasi 7. Gerakan tidak 5. Imobilisasi sendi di atas dan di bawah area
tentang aktivitas fisik terkoordinasimenu cedera
18. Kecemasan run 6. Topang kaki menggunakan penyangga kaki
19. Gangguan kognitif 8. Gerakan terbatas (footboard), jika tersedia
20. Keengganan melakukan menurun 7. Tempatkan ekstremitas yang cedera dalam
pergerakan 9. Kelemahan fisik posisifungional, jika memungkinkan
21. Gangguan sensori persepsi menurun 8. Pasang bidai pada posisi tubuh seperti
saatDitemukan
9. Gunakan kedua tangan untuk menopang
areaCedera
10. Gunakan kain gendongan (sling) secara
tepat

Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan langkah-langkah
prosedursebelum pemasangan bidai
2. Jelaskan tanda dan gejala sindrom
kompartemen(5P: pulseless, parastesia,
pain, paralysis, palor)
Gejala & Tanda Mayor Setelah Manajemen nyeri
Subjektif dilakukan asuhan Observasi
1. Mengeluh sulit menggerakkan keperawatan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
ekstremitas … x 24 jam frekuensi,kualitas, intensitas nyeri.
Objektif diharapkan 2. Identifikasi skala nyeri
1. Kekuatan otot menurun mobilitas fisik 3. Identifikasi respons nyeri non verbal
2. Rentang gerak (ROM) meningkat 4. Identifikasi faktor yang memperberat
menurun dengan kriteria hasil: danmemperingan nyeri
Gejala & Tanda Minor 1. Keluhan nyeri 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
Subjektif menurun tentangnyeri.
1. Nyeri saat bergerak 2. Meringis menurun 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
2. Enggan melakukan pergerakan 3. Gelisah menurun responnyeri.
3. Merasa cemas saat bergerak 4. Kesulitan tidur
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
Objektif menurun
hidup
1. Sendi kaku 8. Monitor keberhasilan terapi
2. Gerakan tidak terkoordinasi
komplementer yang sudah diberikan
3. Gerakan terbatas
4. Fisik lemah 9. Monitor efek samping penggunaan
analgetik
Terapeutik
1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangirasa nyeri
2. Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan nyeri

Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu
4. Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam
rencana perawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri
(independen) dan tindakan kolaborasi.
5. Evaluasi
Evaluasi adalah fase kelima dari proses keperawatan. Evaluasi
merupakan aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan dan terarah ketika pasien
dan professional kesehatan menentukan kemajuan pasien menuju pencapaian
tujuan/ hasil dan keefektifan rencana asuhan keperawatan. Evaluasi ini akan
menentukan apakah intervensi keperawatan harus diakhiri, dilanjutkan ataupun
dirubah.
Daftar Pustaka

Cahyadi. W. 2017 Teori dan Aplikasi Pengolahan Citra. Penerbit Andi : yogyakarta
Choras, R.S dan hearn, T 2019, A CAD System For Segmecatation And Fracture
Detection. International Journal Of Innovative Research In Science,
Engineering and Technology 1 (1) : 153-162
Kurniawan, S.F. 2021 Deteksi Fraktur Tulang Menggunakan Open CV. Jurnal
Teoricital Indonesia Dan Teknologi Informasi 64 (1) 249-254.
Fuadah, Y.N dan Rizal. A. 2017 Diaphysis Fractur On Tibia And Fibula Detection
Based On Digital Image Proccessing And Scan Line Algorithm. The 15
International Conference On Biomedical Engincering. IFMBE Proccedings
43 : 679-682
Mahyudin, L. 2018 Fraktur Diafisis Tibia. http//www. Belibis17.tk(diakses pada 10
maret 2020).

Anda mungkin juga menyukai