Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR TIBIA FIBULA


DI RUANG ORTHOPEDI RSUD ULIN BANJARMASIN
2018

OLEH
NESTA KALALANA

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUAKA INSAN
BANJARMASIN
2018
I. KONSEP TEORI
A. ANATOMI FISIOLOGI TIBIA FIBULA

Gambar 1 : Anatomi Tulang Tibia Fibula

Tibia atau tulang kering merupakan kerangka yang utama dari tungkai bawah dan
terletak medial dari fibula atau tulang betis, tibia adalah tulang pipa dengan sebuah
batang dan dua ujung yaitu : Ujung atas yang merupakan permukaan dua dataran
permukaan persendian femur dan sendi lutut. Ujung bawah yang membuat sendi dengan
tiga tulang, yaitu femur fibula dan talus. Fibula atau tulang betis adalah tulang sebelah
lateral tungkai bawah, tulang ini adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan dua
ujung.(Wibowo & Paryana,2009).
Merupakan tulang pipa yang terbesar sesudah tulang paha yang membentuk
persendian lutut dengan OS femur, pada bagian ujungnya terdapat tonjolan yang disebut
OS maleolus lateralis atau mata kaki luar. OS tibia bentuknya lebih kecil dari pada bagian
pangkal melekat pada OS fibula pada bagian ujung membentuk persendian dengan tulang
pangkal kaki dan terdapat taju yang disebut OS maleolus medialis.
Fungsi Tulang :
1) Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.
2) Tempat melekatnya otot.
3) Melindungi organ penting.
4) Tempat pembuatan sel darah.
5) Tempat penyimpanan garam mineral
B. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai
dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh
darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya
jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya
(Smeltzer, 2002).
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang
lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart, 2000).

C. ETIOLOGI
1. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang. Hal tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yangterjadi biasanya
bersifat komuniti dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
2. Trauma tidak langsung. Apabila trauma dihantarkan kedaerah yang lebih jauh dari
daerah fraktur,trauma tersebut disebut trauma tidak langsung. Misalnya jatuh dengan
tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini
biasanya jaringan lunak tetap utuh. (Muttaqin, 2008).
3. Penyebab fraktur juga meliputi pukulan langsung, gaya remuk, gerakan
punter mendadak, dan kontraksi otot ekstrim. fraktur terjadi jika tulang dikenai stress
yanglebih besar dari pada diabsorpsinya

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Nyeri
2. Terjadi pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan
deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang dapat diketahui dengan
membandingkan ekstremitas normal.
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnyaterjadi
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat tempat fraktur di periksa teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus akibat
gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi sebagai
akibat trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa terjadi
setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cidera

E. KLASIFIKASI
1. Fraktur berdasarkan derajat atau luas garis fraktur
a. Fraktur complete : tulang patah terbagi menjadi dua bagian (fragmen) atau lebih.
b.Fraktur incomplete (parsial). Fraktur parsial terbagi lagi menjadi :
- Fissure/Crack/Hairline, tulang terputus seluruhnya tetapi masih di tempat, biasa
terjadi di tulang pipih
- Greenstick Fracture, biasa terjadi pada anak-anak dan pada os. radius, ulna,
clavikula dan costae.
- Buckle Fracture, fraktur dimana korteksnya melipat ke dalam.
2. Berdasarkan garis patah atau konfigurasi tulang:
a. Transversal, garis patah tulang melintang sumbu tulang (80-1000 dari sumbu
tulang)
b. Oblik, garis patah tulang melintang sumbu tulang (<800 atau >1000 dari sumbu
tulang)
c. Longitudinal, garis patah mengikuti sumbu tulang
d. Spiral, garis patah tulang berada di dua bidang atau lebih
e. Comminuted, terdapat dua atau lebih garis fraktur.
3. Berdasarkan hubungan antar fragman fraktur :
a. Undisplace, fragment tulang fraktur masih terdapat pada tempat anatomisnya
b. Displace, fragmen tulang fraktur tidak pada tempat anatomisnya, terbagi atas:
c. Shifted Sideways, menggeser ke samping tapi dekat
d. Angulated, membentuk sudut tertentu
e. Rotated, memutar
f. Distracted, saling menjauh karena ada interposisi
g. Overriding, garis fraktur tumpang tindih
h. Impacted, satu fragmen masuk ke fragmen yang lain.
F. EPIDEMIOLOGI
Menurut Depkes RI 2011, dari sekian banyak kasus fraktur di indonesia, fraktur
pada ekstremitas bawah akibat kecelakaan memiliki prevalensi yang paling tinggi
diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2%. Dari 45.987 orang dengan kasus fraktur
ekstremitas bawah akibat kecelakaan, 19.629 orang mengalami fraktur pada tulang
femur, 14.027 orang mengalami fraktur cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia, 970
orang mengalami fraktur pada tulang-tulang kecil di kaki dan 336 orang mengalami
fraktur fibula. Walaupun peran fibula dalam pergerakan ektremitas bawah sangat
sedikit, tetapi terjadinya fraktur pada fibula tetap saja dapat menimbulkan adanya
gangguan aktifitas fungsional tungkai dan kaki.
Di Indonesia angka kejadian patah tulang atau insiden fraktur cukup tinggi,
berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2013 didapatkan sekitar delapan
juta orang mengalami kejadian fraktur dengan jenis fraktur yang berbeda dan penyebab
yang berbeda.(DepKes,2013).

G. PATOFISIOLOGI
Trauma langsung dan trauma tidak langsung serta kondisi patologis pada tulang
dapat menyebabkan fraktur pada tulang. Fraktur merupakan diskontinuitas tulang atau
pemisahan tulang. Pemisahan tulang ke dalam beberapa fragmen tulang menyebabkan
perubahan pada jaringan sekitar fraktur meliputi laserasi kulit akibat perlukaan dari
fragmen tulang tersebut, perlukaan jaringan kulit ini memunculkan masalah
keperawatan berupa kerusakan integritas kulit. Perlukaan kulit oleh fragmen tulang
dapat menyebabkan terputusnya pembuluh darah vena dan arteri di area fraktur sehingga
menimbulkan perdarahan.
Perdarahan pada vena dan arteri yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan
cukup lama dapat menimbulkan penurunan volume darah serta cairan yang mengalir
pada pembuluh darah sehingga akan muncul komplikasi berupa syok hipovolemik jika
perdarahan tidak segera dihentikan.
Perubahan jaringan sekitar akibat fragmen tulang dapat menimbulkan deformitas
pada area fraktur karena pergerakan dari fragmen tulang itu sendiri. Deformitas pada area
ekstremitas maupun bagian tubuh yang lain menyebabkan seseorang memiliki
keterbatasan untuk beraktivitas akibat perubahan dan gangguan fungsi pada area
deformitas tersebut sehingga muncul masalah keperawatan berupa gangguan mobilitas
fisik. Pergeseran fragmen tulang sendiri memunculkan masalah keperawatan berupa
nyeri. Beberapa waktu setelah fraktur terjadi, otot-otot pada area fraktur akan melakukan
mekanisme perlindungan pada area fraktur denganmelakukan spasme otot. Spasme otot
merupakan bidai alamiah ya n g mencegah pergeseran fragmen tulang ke tingkat yang
lebih parah. Spasme otot menyebabkan peningkatan tekanan pembuluh darah kapiler dan
merangsang tubuh untuk melepaskan histamin yang mampu meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah sehingga muncul perpindahan cairan intravaskuler ke interstitial.
Perpindahan cairan intravaskuler ke interstitial turut membawa protein plasma.
Perpindahan cairan intravaskuler keinterstitial yang berlangsung dalam beberapa
waktu akan menimbulkan edema pada jaringan sekitar atau interstitial oleh karena
penumpukancairan sehingga menimbulkan kompresi atau penekanan pada pembuluh
darah sekitar dan perfusi sekitar jaringan tersebut mengalami penurunan. Masalah
gangguan perfusi jaringan juga bisa disebabkan oleh kerusakan fragmen tulang itu
sendiri.
Diskontinuitas tulang yang merupakan kerusakan fragmen tulang meningkatkan
tekanan sistem tulang yang melebihi tekanan kapiler dan tubuh melepaskan katekolamin
sebagai mekanisme kompensasi stress. Atekolamin berperan dalam memobilisasi asam
lemak dalam pembuluh darah sehingga asam-asam lemak tersebut bergabung
dengan trombosit dan membentuk emboli dalam pembuluh darah sehingga menyumbat
pembuluh darah dan mengganggu perfusi jaringan.(Muttaqin,2008).

H. KOMPLIKASI
1. Syok hipovolemik atau traumatik yang terjadi karena perdarahan dankehilangan
cairan ekstra sel kejaringan yang rusak.
2. Sindrome emboli lemak (terjadi dalam 24 sampai 72 jam setelah cedera). Berasal dari
sumsum tulang karena perubahan tekanan dalam tulang yang fraktur mendorong
molekul-molekul lemak dari sumsum tulang masuk k e sistem sirkulasi darah ataupun
karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres.
3. Sindrom Kompartemen terjadi karena perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang
dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa diakibatkan karena:
a. Penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu
ketat atau gips atau balutan yang terlalu menjerat
b. Peningkatan isi kompartemen otot karena edema.
4. Tromboemboli, infeksi dan Koagulopati Intravaskuler Desiminata (KID)

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan rotgen (sinar X) untuk menentukan lokasi atau luasnya fraktur dan
trauma.
2. Scan tulang, tomogram, CT scan/MRI : untuk memperlihatkan fraktur; juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4. Hitung darah lengkap : Hematokrit mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma
multiple). Peningkatan jumlah sel darah putih adalah respon stress normal setelah
trauma.
5. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multiple,
atau cedera hati. (Doengoes, Marilynn, 2007).

J. PENATALAKSANAAN
Ada empat konsep dasar dalam menangani fraktur, yaitu :
1. Rekognisi
Rekognisi dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur. Prinsipnya adalah
mengetahui riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan
dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri.
2. Reduksi
Reduksi adalah usaha / tindakan manipulasi fragmen-fragmen seperti letak asalnya.
Tindakan ini dapat dilaksanakan secara efektif di dalam ruang gawat darurat atau
ruang bidai gips. Untuk mengurangi nyeri selama tindakan, penderita dapat diberi
narkotika IV, sedative atau blok saraf lokal.
3. Retensi
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi atau dipertahankan
dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi gips, bidai, traksi dan teknik fiksator eksterna.
4. Rehabilitasi
Merupakan proses mengembalikan ke fungsi dan struktur semula dengan cara
melakukan ROM aktif dan pasif seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan klien.
Latihan isometrik dan setting otot. Diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah. (Smeltzer & Bare, 2002).

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomor register,
tanggal MRS, diagnosa medis.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut
bisa akut atau kronik. Provoking Incident : apakah ada peristiwa yangmenjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri, Quality of pain : seperti apa rasa nyeri
yangdirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut,
atau menusuk, Region : radiation: relief : apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar,dan dimana rasa sakit terjadi, Severity (Scale) of pain :
seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya, Time:
berapa lama nyeri berlangsung, kapan,apakah bertambah buruk pada malam hari
atau siang hari.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.
4. Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.

5. Riwayat penyakit keluarga


Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu
faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,osteoporosis.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung
pada keadaan klien.
b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus
fraktur biasanya akut.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk
d. Inspeksi : Pengamatan lokasi pembengkakan, kulit pucat, laserasi, kemerahan
mungkin timbul pada area terjadinya faktur adanya spasme otot dan keadaan
kulit.
e. Palpasi : Pemeriksaan dengan perabaan, penolakan otot oleh sentuhan kita adalah
nyeri tekan, lepas dan sampai batas mana daerah yang sakit biasanya terdapat
nyeri tekan pada area fraktur dan di daerah luka insisi.
f. Perkusi : Perkusi biasanya jarang dilakukan pada kasus fraktur.
g. Auskultasi ; Pemeriksaan dengan cara mendengarkan gerakan udara melalui
struktur berongga atau cairan yang mengakibatkan struktur solit bergerak. Pada
pasien fraktur pemeriksaan ini pada areal yang sakit jarang dilakukan

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada daerah fragmen tulang yang
berubah,keterbatasan rentang gerak
3. Resiko infeksi dengan faktor resiko prosedur invasif
4. Ansietas berhubungan dengan status kesehatan

C. INTERVENSI
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
- Tujuan nyeri berkurang atau hilang dengan
- Kriteria Hasil :
a. Klien melaporkan nyeri berkurang atau hilang
b. Meninggikan ekstremitas untuk mengontrol pembengkakan dan
ketidaknyamanan.
c. Bergerak dengan lebih nyaman
Intervensi dan Rasional :
1. Ukur tanda-tanda vital pada klien
Rasional : mengetahui keadaan umum klien
2. Lakukan pengkajian nyeri menggunakan PQRST
Rasional : Untuk mengetahui karakteristik nyeri agar dapat menentukan
diagnosa selanjutnya
3. Kaji adanya edema, hematom, dan spasme otot.
Rasional : Adanya edema, hematom dan spasme otot menunjukkan adanya
penyebab nyeri
4. Tinggikan ekstremitas yang sakit.
Rasional : Meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi edema dan
mengurangi nyeri.
5. Berikan kompres dingin (es).
Rasional : Menurunkan edema dan pembentukan hematom
6. Ajarkan klien teknik relaksasi, seperti distraksi, dan imajinasi terpimpin
Rasional : Menghilangkan atau mengurangi nyeri secara non farmakologis
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada daerah fragmen tulang
yang berubah,keterbatasan rentang gerak
Tujuan pasien mampu melakukan mobilisasi sesuai terapi yang diberikan
Kriteria hasil :
a. Klien memaksimalkan mobilitas dalam batas terapeutik.
b. Menggunakan alat imobilisasi sesuai petunjuk.
c. Mematuhi pembatasan pembebanan sesuai anjuran
Intervensi dan Rasional :
1. Bantu klien menggerakkan bagian cedera dengan tetap memberikan sokongan
yang adekuat.
Rasional : Agar dapat membantu mobilitas secara bertahap
2. Ekstremitas ditinggikan dan disokong dengan bantal.
Rasional : Meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi edema dan
mengurangi nyeri
3. Nyeri dikontrol dengan bidai dan memberikan obat anti-nyeri sebelum
digerakkan.
Rasional : Mengurangi nyeri sebelum latihan mobilitas
4. Ajarkan klien menggunakan alat bantu gerak (tongkat, walker, kursi roda), dan
anjurkan klien untuk latihan.
Rasional : Alat bantu gerak membantu keseimbangan diri untuk latihan
mobilisasi

3. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.


Tujuan tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil : Tidak terjadi Infeksi
Intervensi dan Rasional :
1. Kaji respon pasien terhadap pemberian antibiotic
Rasional Untuk menentukan antibiotik yang tepat untuk pasien
2. Pantau tanda-tanda vital
Rasional Peningkatan suhu tubuh di atas normal menunjukkan adanya tanda-
tanda infeksi
3. Pantau luka operasi dan cairan yang keluar dari luka
Rasional Adanya cairan yang keluar dari luka menunjukkan adanya tanda
infeksi dari luka.
4. Rawat luka dengan konsep steril
Rasional : Agar tidak terjadi infeksi dan terpapar oleh kuman atau bakteri
5. Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
Rasional : mencegah terjadi penyebaran kuman atau bakteri
6. Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga mengenai tanda dan gejala dari
infeksi
Rasional : Agar keluarga pasien mengetahui tanda dan gejala dari infeksi

4. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan


Tujuan : Kecemasan pada klien berkurang
Kriteria hasil :
a. Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
b. Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan teknik untuk mengontrol
cemas
c. Vital sign dalam batas normal
d. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan
berkurangnya kecemasan
Intervensi dan Rasional :
1. Ukur tanda-tanda vital pada klien
Rasional : mengetahui keadaan umum pada klien
2. Mendengarkan penyebab kecemasan klien dengan penuh perhatian
Rasional : Klien dapat mengungkapkan penyebab kecemasannya sehingga
perawat dapat menentukan tingkat kecemasan klien dan menentukan intervensi
untuk klien selanjutnya.
3. Menganjurkan keluarga untuk tetap mendampingi klien
Rasional : Dukungan keluarga dapat memperkuat mekanisme koping klien
sehingga tingkat ansietasnya berkurang
4. Menginstruksikan klien untuk menggunakan tekhnik relaksasi
Rasional : Tekhnik relaksasi yang diberikan pada klien dapat mengurangi
ansietas.

D. EVALUASI
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik dapat teratasi
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada daerah fragmen tulang
yang berubah,keterbatasan rentang gerak
3. Resiko infeksi tidak terjadi
4. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan dapat teratasi
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mutaqin.2008. Asuhan Keperawatan Sistem Muskoluskeltal. Salemba Medika, Jakarta.
Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI
Doengoes, Marlyn E, Moorhouse, Mary F dan Geissler, Alice C, 2007, Rencana
Keperawatan Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien, Edisi 3, Alih Bahasa I Made Kriasa, EGC, Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung
Waluyo…(dkk), EGC, Jakarta.
Wibowo, Daniel S. dan Paryana, Widjaja, 2009, Anatomi Tubuh Manusia, Graha Ilmu,
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai