Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

PRAKTIK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


KLIEN DENGAN FRAKTUR TIBIA FIBULA
(RUANG BEDAH KELAS RSUP PERSAHABATAN)
OLEH: DWIANA INTAN RAHAYU PERTIWI, 1206245140
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA

1. ANATOMI DAN FISIOLOGI TULANG


Tulang adalah jaringan yang kuat dan tangguh yang memberi bentuk pada tubuh. Skelet
atau kerangka adalah rangkaian tulang yang mendukung dan melindungi organ lunak,
terutama dalam tengkorak dan panggul. Tulang membentuk rangka penunjang dan
pelindung bagi tubuh dan tempat untuk melekatnya otot-otot yang menggerakan
kerangka tubuh. Tulang juga merupakan tempat primer untuk menyimpan dan
mengatur kalsium dan fosfat (Price dan Wilson, 2006). Berikut adalah gambar anatomi
tulang manusia :

Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk
melekatnya otot- otot yang menggerakan kerangka tubuh. Tulang juga merupakan
tempat primer untuk menyimpan dan mengatur kalsium dan fhosfat. Tulang rangka
orang dewasa terdiri atas 206 tulang. Tulang adalah jaringan hidup yang akan suplai
syaraf dan darah. Tulang banyak mengandung bahan kristalin anorganik (terutama
garam- garam kalsium ) yang membuat tulang keras dan kaku., tetapi sepertiga dari
bahan tersebut adalah fibrosa yang membuatnya kuat dan elastis (Price dan Wilson,
2006).
Tulang ekstrimitas bawah atau anggota gerak bawah dikaitkan pada batang tubuh
dengan perantara gelang panggul terdiri dari 31 pasang antra lain: tulang koksa,
tulang femur, tibia, fibula, patella, tarsalia, meta tarsalia, dan falang (Price dan
Wilson, 2006).
a. Tulang Koksa (tulang pangkal paha) OS koksa turut membentuk gelang
panggul, letaknya disetiap sisi dan di depan bersatu dengan simfisis pubis dan
membentuk sebagian besar tulang pelvis.
b. Tulang Femur ( tulang paha) Merupakan tulang pipa dan terbesar di dalam
tulang kerangka pada bagian pangkal yang berhubungan dengan asetabulum
membentuk kepala sendi yang disebut kaput femoris, disebelah atas dan
bawah dari kolumna femoris terdapat taju yang disebut trokanter mayor dan
trokanter minor. Dibagian ujung membentuk persendian lutut, terdapat dua
buah tonjolan yang disebut kondilus lateralis dan medialis. Diantara dua
kondilus ini terdapat lakukan tempat letaknya tulang tempurung lutut (patella)
yang di sebut dengan fosa kondilus.
c. Osteum tibialis dan fibularis (tulang kering dan tulang betis)
Merupakan tulang pipa yang terbesar sesudah tulang paha yang membentuk
persendian lutut dengan OS femur, pada bagian ujungnya terdapat tonjolan
yang disebut OS maleolus lateralis atau mata kaki luar. OS tibia bentuknya
lebih kecil dari pada bagian pangkal melekat pada OS fibula pada bagian
ujung membentuk persendian dengan tulang pangkal kaki dan terdapat taju
yang disebut OS maleolus medialis. Kaki bagian bawah terdiri dari dua tulang
kering (tibia) dan tulang betis (fibula). Tibia berukuran lebih besar dan
mendukung sebagian besar berat badan dan merupakan bagian penting dari
kedua sendir lutut dan sendi pergelangan kaki. Sedangkan fibula adalah
tulang panjang yang terletak di laterak tibia ukurannya lebih kecil. Agar lebih
jelas berikut gambar anatomi os tibia dan fibula.
d. Tulang tarsalia (tulang pangkal kaki) Dihubungkan dengan tungkai bawah
oleh sendi pergelangan kaki, terdiri dari tulang-tulang kecil yang banyaknya 5
yaitu sendi talus, kalkaneus, navikular, osteum kuboideum, kunaiformi.
e. Meta tarsalia (tulang telapak kaki) Terdiri dari tulang- tulang pendek yang
banyaknya 5 buah, yang masing-masing berhubungan dengan tarsus dan
falangus dengan perantara sendi.
f. Falangus (ruas jari kaki) Merupakan tulang-tulang pipa yang pendek yang
masing-masingterdiri dari 3 ruas kecuali ibu jari banyaknya 2 ruas, pada
metatarsalia bagian ibu jari terdapat dua buah tulang kecil bentuknya bundar
yang disebut tulang bijian (osteum sesarnoid).

2. DEFINISI, KLASIFIKASI, DAN JENIS FRAKTUR


Klasifikasi berdasarkan pergeseran anatomis fragmen tulang (fraktur bergeser atau
tidak bergeser)
a. Greenstick : fraktur di mana salah satu sisi tulang patah sedangkan sisi lainnya
membengkok.
b. Tranversal, suatu fraktur yang melintang pada tulang (fraktur sepanjang garis
tengah tulang) merupakan akibat dari trauma langsung.
c. Oblik, yaitu fraktur yang membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih
tidak stabil dibanding tranversal) akibat trauma langsung.
d. Spiral, suatu fraktur yang mengelilingi batang tulang, arah garis patahnya
berbentuk spiral yang disebabkan karena trauma rotasi
e. Impacted (Telescopic) atau kompresi, yaitu sebagian fragmen tulang menusuk
bagian fragmen yang lain.
f. Displaced. Fragmen tulang terpisah dengan kesegarisan tulang lain
Klasifikasi berdasarkan luas kerusakan jaringan lunak sekitar
a. Fraktur terbuka (compound fraktur) merupakan fraktur dengan luka pada
kulit atau membrane mukosa sampai patahan tulang dan adanya luka
eksternal. Fraktur terbuka ini digradasi menjadi:
Grade I : luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya, trauma dan kerusakan
kulit minimal, kontaminasi minimal
Grade II : luka bersih luas tanpa kerusakan jaringan lunak ekstensif dengan
panjang lebih dari 1 cm. Adanya luka memar pada kulit dan otot,
kontaminasi sedang
Grade III : Kerusakan meliputi kulit (jaringan lunak), tendon, otot, saraf,
pembuluh darah, diameter luka lebih dari 6-8 cm, luka sangat terkontaminasi
dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif.
b. Fraktur tertutup (simple fraktur) : fraktur tidak melukai jaringan kulit dan
tidak terlihat adanya luka (tidak merobek jaringan kulit).
Klasifikasi berdasarkan lokasi fraktur
a. Colles Fraktur : jarak bagian distal fraktur lebih kurang 1 cm dari permukaan
sendi
b. Articular Fraktur : meliputi permukaan sendi
c. Extracapsular Fraktur : dekat sendi tetapi tidak masuk kedalam sendi
d. Intracapsular Fraktur : didalam capsul sendi
e. Apiphyseal Fraktur : terjadi kerusakan pasda pusat ossifikasi
Klasifikasi berdasarkan pergeseran fragmen tulang
a. Fraktur undisplaced (tidak bergeser) : garis patah lengkap tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur displaced (bergeser) : terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan
overlapping).
Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
Klasifikasi berdasarkan jumlah dan garis patah/bentuk/konfigurasi
a. Fraktur kominutif : lebih dari satu garis fraktur, fragmen tulang pecah,
terpisah-pisah dalam berbagai serpihan.
b. Fraktur segmental : bila garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan
satu ujung yang tidak memiliki pembuluh darah menjadi sulit untuk sembuh
dan keadaan ini perlu terapi bedah.
c. Fraktur multipel : garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan
tempatnya, seperti fraktur femur, cruris dan vertebra.
Klasifikasi berdasarkan luas fraktur
a. Fraktur komplit : patah dari seluruh garis tengah tulang, biasanya mengalami
pergeseran (bergeser dari posisi normal) dan tulang menjadi dua bagian yang
terpisah.
b. Fraktur inkomplit : patahnya terjadi di sebagian garis tengah tulang.

3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu: 1. Cidera atau
benturan, kedua fraktur patologik yang dapat terjadi pada daerah-daerah tulang yang
telah menjadi lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis. Dan yang terakhir
adalah fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan bersenjata
atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.
Sedangkan fraktur tibia dan fibula paling sering disebabkan oleh lima hal yaitu, Jatuh
dari ketinggian, cedera olahraga, trauma langsung, kecelakaan motor dan luka tembak

A. Klasifikasi fraktur tibia dan fibula berdasarkan The Orthopaedic Trauma


Association (OTA) AO
Fraktur diafisis tibia dan fibula lebih sering ditemukan bersama-sama. Fraktur dapat
juga terjadi hanya pada tibia atau fibula saja. Fraktur diafisis tibia dan fibula terjadi
karena adanya trauma angulasi yang akan menimbulkan fraktur tipe transversal atau
oblik pendek, sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan trauma tipe spiral. Fraktur
jenis ini dapat diklasifikasikan menjadi:

a) Fraktur Tertutup Korpus Tibia

Dua jenis cedera dapat mematahkan tibia dewasa tanpa mematahkan fibula:
1) Jika tungkai mendapat benturan dari samping, dapat mematahkan secara transversal
atau oblik, meninggalkan fibula dalam keadaan intak, sehingga dapat membidai
fragmen, dan pergeseran akan sangat terbatas.
2) Kombinasi kompresi dan twisting dapat menyebabkan fraktur oblik spiral hampir
tanpa pergeseran dan cedera jaringan lunak yang sangat terbatas.
Fraktur jenis ini biasanya menyembuh dengan cepat. Jika pergeseran minimal,
tinggalkan fragmen sebagaimana adanya. Jika pergeseran signifikan, lakukan anestesi
dan reduksikan.
c) Fraktur Tertutup Pada Korpus Fibula
Gaya yang diarahkan pada sisi luar tungkai pasien dapat mematahkan fibula secara
transversal. Tibianya dapat tetap dalam keadaan intak, sehingga tidak terjadi
pergeseran atau hanya sedikit pergeseran ke samping. Biasanya pasien masih dapat
berdiri. Otot-otot tungkai menutupi tempat fraktur, sehingga memerlukan sinar-X
untuk mengkonfirmasikan diagnosis. Tidak diperlukan reduksi, pembidaian, dan
perlindungan, karena itu asalkan persendian lutut normal, biarkan pasien berjalan
segera setelah cedera jaringan lunak memungkinkan. Penderita cukup diberi
analgetika dan istirahat dengan tungkai tinggi sampai hematom diresorbsi.
d) Fraktur Tertutup pada Tibia dan Fibula
Pada fraktur ini tungkai pasien terpelintir, dan mematahkan kedua tulang pada tungkai
bawah secara oblik, biasanya pada sepertiga bawah. Fragmen bergeser ke arah lateral,
bertumpang tindih, dan berotasi. Jika tibia dan fibula fraktur, yang diperhatikan
adalah reposisi tibia. Angulasi dan rotasi yang paling ringan sekalipun dapat mudah
terlihat dan dikoreksi. Perawatan tergantung pada apakah terdapat pemendekan. Jika
terdapat pemendekan yang jelas, maka traksi kalkaneus selama seminggu dapat
mereduksikannya. Pemendekan kurang dari satu sentimeter tidak menjadi masalah
karena akan dikompensasi pada waktu pasien sudah mulai berjalan. Sekalipun
demikian, pemendekan sebaiknya dihindari.

4. PATOFISIOLOGI
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika
ambang fraktur suatu tulang hana sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya retak
saja bukan patah. Jika gaya sangat ekstrem, seperti tabrakan mobil maka tulang dapat
pecah berkeping-keping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang
dapat terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar
posisi. Kelompok otot yang besar dapat menciptkan spasme yang kuat dan bahkan
mampi menggeser tular besar seperti femur. Walaupn bagian proksimal dari tulang
patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal dapat bergeser ke samping, pada
suatu sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga
dapat berotasi atau berpindah (Black & Hawks, 2014).
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari tulang yang
patah juga terganggu. Sering terjadi cedera pada jaringan lunak. Pendarahan terjadi
karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang-tulang itu sendiri. Pada saluran
sumsum (medula), hematoma terjadi di antara fragmen-fragmen tulang dan di bawah
periosteum. Jaringan tulang di sekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan
respons peradangan yang hebat. Akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan
fungsi, eksudasi plasma dan leukosit, serta infiltrasi sel darah putih. Respons
patofisiologis ini juga merupakan tahap awal dari penyembuhan tulang (Black &
Hawks, 2014).
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur
terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena
perlukaan di kulit (Smelter dan Bare, 2002). Sewaktu tulang patah perdarahan
biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang
tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan
biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin
direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang
sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total
dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot.
Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Brunner dan Suddarth, 2002 ).

5. MANIFESTASI KLINIS
(Smelzter dan Bare, 2002).
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di imobilisasi,
spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang di rancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan deformitas,
ekstrimitas yang bias di ketahui dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang
normal. Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat dari
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cedera.

6. KOMPLIKASI
Smeltzer dan Bare (2001) dan Price (2005):
a. Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan darah
eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias menyebabkan penurunan oksigenasi)
dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur
ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.
b. Sindrom emboli lemak Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam
pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau
karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi
asam lemak dan memudahkan terjasinya globula lemak pada aliran darah.
c. Sindroma Kompartement Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam
otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan
karena penurunan ukuran kompartement otot karena fasia yang membungkus otot
terlalu ketat, penggunaan gibs atau balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi
kompatement otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai
masalah (misalnya : iskemi,dan cidera remuk).
d. Kerusakan Arteri Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai denagan tidak ada nadi,
CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada
yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
e. Infeksi Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya
terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bias juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat. f. Avaskuler nekrosis Avaskuler nekrosis (AVN)
terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bias menyebabkan
nekrosis tulang dan di awali dengan adanya Volkmans Ischemia (Smeltzer dan Bare,
2001).

7. PENGKAJIAN
Anamnesis & Pemeriksaan Fisik
Aktivitas/istirahat: kelemahan, keletihan, masalah mobilitas, penurunan fungsi pada
area cedera
Sirkulasi: hipertensi (karena nyeri/cemas) atau hipotensi (kehilangan banyak darah),
takikardia, penurunan pulsasi pada area cedera ekstremitas, pelambatan CRT, pucat
pada area cedera, pembengkakan, memar, atau hematoma pada area cedera
Eliminasi: hematuria, sedimen pada urin, perubahan output, acute renal failure
Neurosensori: gangguan sensasi rasa, spasme otot, baal, deformitas muskuloskeletal
lokal, dislokasi, agitasi, defisit ROM
Nyeri/ketidaknyamanan: nyeri berat yang tiba-tiba, spasme otot, kram, perilaku
pengalihan, gelisah
Keamanan: kecelakaan kondisional, laserasi kulit, perdarahan, perubahan warna,
pembengkakan lokal, resiko jatuh
Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan radiografi
Menentukan lokasi dan perpanjangan trauma/fraktur, dapat mengetahui fraktur yang
tidak terdiagnosis
b. Scan tulang, CT Scan, MRI
Memvisualisasikan fraktur, perdarahan, dan kerusakan jaringan halus, membedakan
trauma tulang dengan neoplasma tulang, dan menunjukkan gambaran yang lebih
akurat mengenai jenis cedera
c. Arteriogram
Dapat dilakukan ketika ditemukan kerusakan vaskuler
d. Hitung darah lengkap
Hematokrit dapat meningkat atau menurun. Mengkatnya White Blood Cell (WBC)
menunjukkan respon normal terhadap trauma
e. Bersihan urin kreatinin
Trauma otot meningkatkan peningkatan jumlah kreatinin pada bersihan ginjal
f. Profil koagulasi
Gangguan dapat terjadi karena kehilangan darah, multipel transfusi, atau cedera
8. PENETALAKSANAAN
Ada dua metode penatalaksanaan medis pada fraktur, yaitu (Brunner & Suddart,
2002):
1.Metode Konservatif
a. Gips yaitu alat immobilisasi eksternal yang kaku dan dicetak sesuai bentuk tubuh
yang dipasang. Dilakukan pada anak-anak dan remaja dimana masih
memungkinkan terjadinya pertumbuhan tulang panjang. Indikasi dilakukan
pemasangan gips adalah :
Immobilisasi dan penyangga fraktur
Istirahatkan dan stabilisasi
Koreksi deformitas
Mengurangi aktivitas
Membuat cetakan tubuh orthotik
b. Traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh (Brunner & Suddart,
2002). Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada
ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah
tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah. Kegunaan pemasangan
traksi antara lain:
Mengurangi nyeri akibat spasme otot
Memperbaiki dan mencegah deformitas
Immobilisasi
Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi).
Mengencangkan pada perlekatannya.
Traksi yang sering dipakai untuk fraktur tibia dan fibula adalah Traksi Russells.
Traksi ini digunakan untuk fraktur batang femur. Kadang-kadang juga digunakan
untuk terapi nyeri punggung bagian bawah. Traksi kulit untuk skeletal yang biasa
digunakan. Traksi ini dibuat sebuah bagian depan dan atas untuk menekan kaki
dengan pemasangan vertikal pada lutut secara horisontal pada tibia atau fibula.
Metode pemasangan traksi antara lain :
2. Metode Pembedahan
Metode perawatan ini disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka. Pada umumnya
insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan sepanjang bidang
anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-
fragmen tulang yang telah mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi
dengan tangan agar menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah direduksi,
fragmen-fragmen tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen,
sekrup, pelat, dan paku.
a. ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Prosedur pembedahan untuk memperbaiki fungsi dengan mengembalikan stabilitas
dan mengurangi rasa nyeri pada tulang yang patah yang telah direduksi dengan
skrup, paku dan pin logam. Pada metode ini, kedua ujung tulang yang patah
dikembalikan kepada posisi asalnya dan difiksasi dengan pelat dan skrup atau
diikat dengan kawat. Setelah immobilisasi dilaksanakan, tulang akan beradaptasi
pada kondisi tersebut, yaitu mengalami proses penyembuhan dan perbaikan tulang.
Fiksasi internal diindikasikan pada:
Fraktur intraartikular (untuk menstabilkan patahan tulang secara anatomi)
Memperbaiki pembuluh darah dan nervus (untuk melindungi peredaran darah
dan perbaikan nervus)
Multiple injuries
Pasien lansia (untuk menunjang mobilisasi dini)
Fraktur tulang panjang (tibia, femur, dan humerus)
Kegagalan management konservatif
Fraktur patologis
Unstable fractures
Komplikasi yang mungkin muncul pada fiksasi internal diantaranya adalah
infeksi, on-union, kegagalan implant, dan Refracture
b. Fiksasi ekterna
Penanganan fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak dimana garis fraktur
direduksi, disejajarkan dan diimobilisasi dengan sejumlah pin yang dimasukkan ke
dalam fragmen tulang. Terapi ini biasanya dilakukan pada kasus cedera tipe open-
book dimana ligament sakroiliaka intak. Fiksasi eksternal diindikasikan pada:
Trauma akut (fraktur terbuka dan tidak stabil)
Non-union fracture
Perbaikan pada joint contracture
Terdapat pengisian pada kerusakan segmen limb (trauma, tumor dan
osteomyelitis)
Pemanjangan limb
c. Reduksi terbuka
Melakukan kesejajaran tulang yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi
dan pemanjangan tulang yang patah.

9. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Masalah Keperawatan dan Diagnosa yang mungkin muncul
a. Nyeri akut
b. Kerusakan integritas kulit
c. Gangguan mobilitas fisik
d. Risiko infeksi
Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Rencana Tindakan Rasional

1 Nyeri (akut) b.d Nyeri hilang atau Mandiri


terkontrol
Spasme otot a. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit a. Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi
Gerakan fragmen tulang, Kriteria evaluasi: dengan tirah baring, gips, pembebat, traksi tulang yang cedera
edema, dan cedera pada b. Tinggikan dan dukungan ekstrimitas yang b. Meningkatkan aliran balik vena, menurunkan edema
jaringan lunak Klien tampak rileks terkena dan meneurunkan nyeri
Alat traksi/imobilisasi dan santai c. Hindari penggunaan sprei/bantal plastik c. Dapat meningkatkan ketidaknyamanan karena
Stres, ansietas Klien mau dibawah ekstrimitas dalm gips peningkatan produksi padas dalam gips yang kering
berpartisipasi dalam d. Tinggikan penutup tempat tidur, d. Mempertahankan kehangatan tubuh tanpa
aktivitas/tidus/ pertahankan linen terbuka pada ibu jari kaki ketidaknyamanan karena tekanan selimut pada bagian
istirahat yang tepat yang sakit
e. Evaluasi keluhan nyeri/ketidaknyamanan,
Klien mampu
perhatikan karakteristik, lokasi, termasuk e. Mempengaruhi pilihan keefektifan intervensi. Tingkat
menggunakan
intensitasnya (skala 0-10). Perhatikan intensitas dapat mempengaruhi persepsi reaksi terhadap
ketrampilan
petunjuk nyeri non verbal (perubahan tanda- nyeri
relaksasi
tanda vital dan emosi) f. Membantu menghilangkan ansietas. Pasien dapat
Tanda-tanda vital
stabil
f. Dorong pasien untuk mendiskusikan merasakan kebutuhan untuk menghilangkan
masalah sehubungan dengan cedera pengalaman kecelakaan
g. Lakukan dan awasi rentang gerak pasif/aktif g. Mempertahankan kekuatan/mobilitas otot yang sakit dan
h. Berikan alternatif tindakan ketidakmampuan memudahkan resolusi inflamasi pada jaringan cedera
(pijatan punggung, perubahan posisi) h. Meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area
i. Dorong menggunakan teknik manajemen tekanan lokal dan kelelahan otot
stres (relaksasi, latihan nafas dalam, i. Menfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa
imajinasi visualisasi, sentuhan terapeutik) kontrol kemampuan koping dalam manajemen nyeri
j. Identifikasi aktifitas terapeutik yang tepat untuk periode lebih lama
untuk usia pasien, kemampuan fisik dan j. Mencegah kebosanan, menurunkan ketegangan dan
penampilan pribadi dapat meningkatkan kekuatan otot, dapat meningkatkan
k. Cek adanya keluhan nyeri yang tidak biasa harga diri dan kemmapuan koping
atau tidak hilang dengan analgesik k. Dapat menandakan terjadinya komplikasi
Kolaborasi l. Menurunkan edema/ pembentukan hematom,
menurunkan sensasi nyeri
l. Lakukan kompres dingin 24-48 jam m. Diberikan untuk menurunkan nyeri dan atau spasme
pertama/ sesuai indikasi otot. Penelitia toradol telah diperbaiki lebih efektif
m. Berikan obat sesuai indikasi, narkotik, dalam menghilangkan nyeri tulang dengan masa kerja
relaksan otot lebih lama
n. Awasi pemberian analgetik yang dikontrol n. Pemberian rutin ADP mempertahankan kadar analgetik
pasien darah adekuat, mencegah fluktuasi dalam
menghilangkan nyeri sehubungan dengan tegangan
otot/spasme
2. Kerusakan integritas kulit Menpertahankan Mandiri:
integritas kulit dan
Berhubungan dengan: mukosa a. Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, a. Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan
kemerahan, perdarahan, perubahan warna masalah yang mungkin disebabkan oleh alat dan/atau
cedera tusuk; fraktur terbuka; Kriteria evaluasi: pada kulit. pemasangan gips/bebat atau traksi, atau pembentukan
bedah perbaikan; b. Masase kulit dan penonjolan tulang. edema yang membutuhkan intervensi medik lanjut.
pemasangan traksi pen, Integritas kulit yang Pertahankan tempat tidur kering dan bebas b. Menurunkan tekanan pada area yang peka dan risiko
baik dapat kerutan. Tempatkan bantalan air/bantalan abrasi/kerusakan kulit.
kawat, sekrup; perubahan
dipertahankan lain bawah siku/tumit sesuai indikasi. c. Mengurangi tekanan konstan pada area yang sama dan
sensasi, sirkulasi; Ditandai c. Ubah posisi dengan sering. Dorong meminimalkan risiko kerusakan kulit, Penggunaan
dengan: Penyembuhan luka
penggunaan trapeze bila mungkin. trapeze dapat menurunkan abrasi pada siku/tumit.
Tidak ada tanda-
d. Kaji posisi posisi fiksasi eksternal d. Posisi yang tak tepat dapat menyebabkan cedera
Data Subyektif: tanda infeksi
Kolaborasi: kulit/kerusakan.
e. Karena imobilisasi bagian tubuh, tonjolan tulang lebih
- Keluhan nyeri e. Gunakan tempat tidur busa, bantal apung, dari area yang sakit oleh fiksasi mungkin sakit karena
Data Obyektif: atau kasur udara sesuai indikasi. penurunan sirkulasi.

- Luka Tertutup/ terbuka


- Fraktur
- Kerusakan lapisan kulit
3. Gangguan mobilitas fisik Mobilitas fisik Mandiri
b.d meningkat secara
optimal a. Kaji derajat mobilitas yang dihasikan oleh a. Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri tentang
Kerusakan rangka cedera/pengobatan dan perhatikan persepsi keterbatasan fisik aktual, memerlukan informasi untuk
neurovaskuler: Kriteria evaluasi: pasien terhadap imobilisasi meningkatkan kemajuan kesehatan.
nyeri/ketidaknyamanan b. Instruksikan pasien untuk/bantu dalam b. Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulnag untuk
Terapi restriktif/ Kekuatan otot rentang gerak pasif/aktif pada ektrimitas meningkatkan tonus otot, mempertahankan gerak sendi,
imobilisasi tungkai Posisi anatomis pada yang sakit dan tidak sakit mencegah kontraktur/atropi dan resorpsi kalsium karena
ektrimitas yang c. Dorong penggunaan latihan isometrik mulai tidak digunakan
cedera dengan tungkai yang tidak sakit c. Kontraksi otot isometrik tanpa menekuk
Mampu melakukan d. Bantu dorong untuk perawatan diri sendi/menggerakkan tungkai dan membantu
aktivitas/ROM e. Berikan/bantu dalam mobilisasi dengan mempertahankan kekuatan dan masa otot. Cat. Kontra
Tanda vital stabil kursi roda, kruk, tongkat sesegera mungkin. indikasi pada perdarahan akut dan edema
Luka membaik Instruksikan keamanan dalam penggunaan d. Meningkatkan kekuatan otot/sirkulasi, meningkatkan
alat mobilitas kontrol pasien dalam situasi dan meningkatkan
f. Awasi TD dengan melakukan aktivitas kesehatan diri langsung
perhatikan keluhan pusing e. Mobilsasi dini menurukan komplikasi tirah baring dan
g. Ubah posisi secara periodik dan dorong meningkatkan pengaturan dan normalisasi fungsi organ
untuk latihan batuk/nafas dalam f. Hipotensi postural adalah masalah umum yang
h. Dorong masukan cairan sampai 2000-3000 menyertai tirah baring lama dan memerlukan intervensi
cc/hari khusus
Kolaborasi g. Mencegah/menurunkan insiden komplikasi
kulit/pernapasan
i. Konsul dengan ahli terapi fisik/okupasi dan h. Mempertahankan hidrasi tubh, menurunkan resiko
atau rehabilitasi medik infeksi urinarius, pembentukan batu dan konstipasi
j. Lakukan prigram defikasi (pelunak feses, i. Berguna dalam membuat aktifitas individual paien dapat
enema laksatif) menentukan bantuan jangka anjang dengan gerakan,
kekuatan dan aktifitas yang mengandalkan BB dan juga
penggunaan alat
j. Dilakukan untuk meningkatkan evaluasi usus
4 Resiko infeksi b.d Perluasan/penyebaran Mandiri a. Kemerahan/abrasi dapat menimbulkan infeksi tulang
infeksi tidak terjadi b. Dapat mengindikasikan timbulnya infeksi lokal/nekrosis
Tidak adekuatnya a. Inspeksi kulit untuk adanya luka jaringan yang dapat menimbulkan osteomielitis
pertahanan primer: Kriteria evaluasi: b. Kaji peningkatan keluhan nyeri, adanya c. Dapat mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan
kerusakan kulit, trauma edema, drainase/bau tidak enak/asam infeksi
jaringan, terpajan pada Luka membaik, pus c. Berikan perawatan luka secra steril sesuai d. Tanda perkiraan infeksi gas gangren
lingkungan tidak ada, tidak ada protokol
Prosedur invasif bau dan adanya
e. Dapat mengindikasikan terjadinya osteomielitis
d. Observasi luka untuk pembentukan bula, f.
Traksi tulang pertumbuhan Anemia dapat terjadi pada osteomielitis, leukositosis
krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, biasanya ada dengan proses infeksi, Peningkatan
jaringan/granulasi bau drainase yang tidak enak
Sekitar luka tidak osteomielitis, mengidentifikasi organisme infeksi
pucat, edema
e. Selidiki nyeri tiba-tiba/keterbatasan gerakan g. Antibiotik spektrum luas dapat digunakan secara
dengan edema lokal/eritema ektrimitas profilaksis/dapat ditunjukkan pada mikroorganisme
berkurang
cedera
Tidak ada demam khusus
Kolaborasi
Tanda vital stabil h. Debridement lokal/pembersihan luka menurunkan
Hb 13-16 g/dl mikroorganisme dan insiden infeksi sistemik
f. Awasi pemeriksaan laboratorimum
Ht 40-48% i. Banyak prosedur dilakukan pada pengobatan infeksi
- Hitung darah lengkap
Lekosit 5000-1000 - LED
lokal, osteomielitis, gas gangren
- Kultur j. Sequestrektomi/pengangkatan tulang nekrotik perlu
untuk membantu penyembuhan dan mencegah
g. Berikan obat sesuai indikasi perluasan proses infeksi
- Antibiotik
h. Berikan irigasi luka/tulang
i. Bantu prosedur insisi/drainase, pemasangan
drain, terapi O2 hiperbarik
j. Siapkan pembedahan sesuai indikasi
Referensi :

Doenges E, Marilynn, dkk. (2010). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk


perancanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 8. Jakarta : EGC

Brunner & Suddarth. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah edisi 8. Jakarta: EGC

Black, J. M, & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan medikal bedah edisi 8. Singapore: Elsevier

Bulecheckk, G.M., Butcer, H.K. Dochterman, J.McC., Wagner, C.M. (2013). Nursing
Interventions Classification (6th Ed.). Missouri: Elsevier Mosby

Herdman, T.H., Kamitsuru, S. (2014). NANDA international nursing diagnoses: definitions


& classification 20152017(10th Ed.). Oxford: Wiley Blackwell

Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2006). Medical surgical nursing: Critical thinking
for collaborative care. (5th Ed). St. Louis: Elseveir Saunders.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC): Measurement of health outcomes (5th Ed.). Missouri: Elsevier
Mosby

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses


penyakit(Penerjemah: Brahm U. Pendit). Jakarta: EGC.
Smeltzer,S.C., Burke,B.G., Hinkle,J.L & Cheever,K.H. (2010). Brunner & Suddarths
textbook of medical surgical nursing. (12th Ed). Philadelphia: Lippincott William &
Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai