Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN DAN LAPORAN KASUS

PADA Nn. S DENGAN FRAKTUR OS. HUMERUS DEXTRA


DI RUANG PERAWATAN BEDAH
RSUD PALEMBANG BARI
TAHUN 2019

NAMA : WAHYU KUSUMA WARDANI


NIM : PO.71.20.1.17.073
PRODI : DIII KEPERAWATAN PALEMBANG

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PRODI DIII KEPERAWATAN
TAHUN 2019
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Dasar
1. Anatomi Fisiologi Humerus
Tulang Lengan Atas (Humerus) , Anatomi Fisiologis Paramedis
(Sumber/ Source: Pearce, Evelyn C.2008.Anatomi dan Fisiologi untuk
Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.)
Humerus atau tulang lengan atas adalah tulang terpanjang dari anggota atas.
Memperlihatkan sebuah batang dan dua ujung.
a. Ujung atas Humerus. Sepertiga dari atas ujung humerus terdiri atas sebuah
kepala, yang membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapula dan
merupakan bagian dari bangunan sendi bahu. Segera di bawah leher ada
bagian yang sedikit lebih rampng yang disebut leher anatomik. Di seblah
luar ujung atas di bawah leher anatomi terdapat sebuah benjolan yaitu
tuberositas mayor dan di sebelah depan ada benjolan lebih kecil yaitu
tuberositas minor. Antar kedua tuberositas ini terdapat sebuah celah, celah
bisipital atau sulkus intertuberkularis, yang memuat tendon dari otot bisep.
Tulang menjadi lebih sempit di bawah tuberositas dan tempat ini disebut
leher cirurgis sebab mudahnya kena fraktur di tempat itu.
b. Batang hymerus sebelah atas bundar, tetapi semakin ke bawah menjadi
lebih pipih. Sebuah tuberkel di sebelah lateral batang, tepat di atas
pertengahan disebut tuberosistas deltoideus. Tuberositas ini menerima
insersi atau kaitan otot deltoid. Sebuah celah berjalan oblik melintasi
sebelah belakang batang, dari sebelah emdial ke sebelah lateral. Karena
memberi jalan kepada saraf radikal atau saraf muskulo-spiralis maka celah
itu disebut celah spiralis atau celah radialis.
c. Ujung bawah humerus lebar dan agak pipih. Pada bagian paling bawah
terdapat permukaan sendi yang dibentuk bersama tulang lengan bawah.
d. Trokhlea yang terletak di sisi sebelah dalam berbentuk gelendong benang
tempat persendian dengan ulna dan di sebelah luar terdapat kapitulum yang
bersendi dengan radius.

2. Pengertian
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, kedaan tulang itu sendiri
dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang
terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price, Wilson, 2003).
Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik (Brunner & Suddarth, 2000).
Fraktur adalah terputusnya kontuinitast ulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar
dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer dan Bare,2002).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpukan bahwa fraktur
adalah terputusnya kontinuitas tulang yang dapat disebabkan oleh
trauma,rudapaksa atau oleh penyebab patologis yang dapat digolongkan
sesuai dengan jenis dan kontinuitasnya.

3. Etiologi
Penyebab fraktur diantaranya:
a. Fraktur Fisiologis
Suatu kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan dari kecelakaan,
tenaga fisik, olahraga, dan trauma dapat disebabkan oleh:
1) Cidera langsung berarti pukulan lansung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan.
2) Cidera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan,misalnya jatuh dengan tangan terjulur menyebabkan fraktur
klavikula, atau orang tua yang terjatuh mengenai bokong dan berakibat
fraktur kolom femur.
b. Fraktur Patologis
Dalam hal ini kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur. Dapat terjadi pada
berbagai keadaan berikut:
1) Tumor tulang, terbagi menjadi jinak dan ganas
2) Infeksi seperti Osteomielitis
3) Scurvy (penyakit gusi berdarah)
4) Osteomalasia
5) Rakhitis
6) Osteoporosis ( Rasjad, 2007)
Umumya fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan
yang berlebihan pada tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki,
biasanya fraktur terjadi pada umur dibawah 45 tahun dan sering
berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor. Sedangkan pada orang tua, perempuan
lebih sering mengalami fraktur dari pada laki-laki yang berhubungan dengan
meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon
pada menopause.

4. Klasifikasi
a. Fraktur terbuka
Fraktur terbuka atau patah tulang terbuka adalah hilangnya kontinuitas
tulang disertai kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan
pembuluh darah) yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada area
yang terkena.
b. Farktur tertutup
Fraktur tertutup atau patah tulang tertutup adalah hilangnya kontinitas
tulang tanpa disertai kerusakan jaringan kulit yang dapat disebabkan oleh
trauma langsung atau kodisi tertentu, seperti degenerasi tulang
(osteoporosis).
5. Patogenesis
6. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang
lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang
yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Ketika
patah tulang, terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum tulang
dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut terjadi perdarahan, kerusakan
tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematom pada
kanal medul antara tepi tulang bawah periostrium dengan jaringan tulang yang
mengatasi fraktur. Terjadinya respon inflamasi akibat sirkulasi jaringan
nekrotik ditandai dengan fase vasodilatasi dari plasma dan leukosit, ketika
terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk
memperbaiki cedera, tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang.
Hematom yang terbentuk biasa menyebabkan peningkatan tekanan dalam
sumsum tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan
lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai organ-organ
yang lain. Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga
meningkatkan tekanan kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan
kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskemik dan
menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini
menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung
syaraf, yang bila berlangsung lama bisa menyebabkan syndrom
comportement.
Tulang bergenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah
dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang-tulang
baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel. Pada stadium poliferasi sel menjadi
fibrokartilago. Sel yang mengalami poliferasi terus masuk kedalam lapisan
yang lebih dalam dan bergenerasi sehingga terjadi osteogenesis. Sel-sel
yangberkembang memiliki potensi yang kardiogenik

7. Tanda Dan Gejala


a. Nyeri hebat di tempat fraktur
b. Tak mampu menggerakkan ekstremitas
c. Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi
berubah,bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.

8. Manisfestasi Klinis
Manisfestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitus, pembekakan lokal, dan perubahan warna.
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid
seperti nomalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa
diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas
tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melengketnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkapi satu sama lain 2,5 – 5 cm (1 – 2 inci).
d. Saat eksremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
yang lainnya ( uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak
yang lebih berat.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cidera ( Brunner & Suddarth, 2002 ).

9. Komplikasi
a. Komplikasi awal
Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok yang bisa berakibat fatal
dalam beberapa jam setelah cidera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam
48 jam atau lebih dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan
fungsi ekstremitas permanen jika tidak ditangani segera. Komplikasi awal
lainnya yang berhubungan dengan fraktur adalah infeksi, tromboemboli
(emboli paru) yang dapat menyebabkan kematian beberapa minggu setelah
cidera dan koagulopati intravaskuler diseminata (KID).
b. Komplikasi lambat
Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan. Penyatuan lambat
terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan normal untuk
jenis dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan terlambat mungkin
berhubungan dengan infeksi sistemik dan distaksi ( tarikan jauh ) fragmen
tulang.
Tidak ada penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan ujung-ujung
patahan tulang. Pasien mengeluh tidak nyaman dan gerakan yang menetap
pada tempat fraktur. Faktor yang ikut berperan dalam masalah penyatuan
meliputi infeksi pada tempat fraktur, interposisi jaringan diantara ujung-
ujung tulang, imobilisasi dan manipulasi yang tidak memadai, yang
menghentikan pembentukan kalus, jarak yang terlalu antara fragmen,
kontak tulang yang terbatas dan gangguan asupan darah yang
mengakibatkan nekrosis avaskuler (Brunner & suddarth, 2002).
10. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi, luasnya fraktur, trauma, dan jenis
fraktur.
b. Scan tulang, temogram, CT scan/MRI :memperlihatkan tingkat keparahan
fraktur, juga dan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram : dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
d. Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
multipel trauma) peningkatan jumlah SDP adalah proses stres normal
setelah trauma.
e. Kretinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk pasien ginjal.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi
mulpel atau cidera hati.

11. Penatalaksanaan Medis


Penatalaksanaan fraktur mengacu kepada empat tujuan utama yaitu:
1. Mengurangi rasa nyeri,
Trauma pada jaringan disekitar fraktur menimbulkan rasa nyeri yang hebat
bahkan sampai menimbulkan syok. Untuk mengurangi nyeri dapat diberi
obat penghilang rasa nyeri, serta dengan teknik imobilisasi, yaitu
pemasangan bidai / spalk, maupun memasang gips.
2. Mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Fraktur harus segera diimobilisasi untuk memungkinkan pembentukan
hematoma fraktur dan meminimalkan kerusakan. Penyambungan kembali
tulang (reduksi) penting dilakukan agar terjadi pemulihan posisi yang normal
dan rentang gerak. Sebagian besar reduksi dapat dilakukan tanpa intervensi
bedah (reduksi tertutup/OREF), misalnya dengan pemasangan gips, skin
traksi maupun bandaging. Apabila diperlukan pembedahan untuk fiksasi
(reduksi terbuka/ORIF), pin atau sekrup dapat dipasang untuk
mempertahankan sambungan. (Elizabeth J. Corwin, 2009; 339)
3. Membuat tulang kembali menyatu
Imobilisasi jangka panjang setelah reduksi penting dilakukan agar terjadi
pembentukan kalus dan tulang baru. Imobilisasi jangka panjang biasanya
dilakukan dengan pemasangan gips atau penggunaan bidai.
4. Mengembalikan fungsi seperti semula
Imobilisasi dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan atrofi otot
dan kekakuan pada sendi. Maka untuk mencegah hal tersebut diperlukan
upaya mobilisasi. (Anonim, 2008)

12. Komplikasi
1. Non-union, delayed-union dan mal-union tulang dapat terjadi, yang
menimbulkan deformitas atau hilangnya fungsi.
2. Sindrom kompartemen.
3. Ditandai dengan kerusakan atau destruksi saraf dan pembuluh darah yang
disebabkan oleh pembengkakan dan edema di daerah fraktur. Dengan
pembengkakan interstitial yang intens, tekanan pada pembuluh darah yang
menyuplai daerah tersebut dapat menyebabkan pembuluh darah tersebut
kolaps. Hal ini menyebabkan hipoksia jaringan dan dapat menyebabkan
kematian saraf yang mempersarafi area tersebut. Biasanya timbul nyeri
hebat. Individu mungkin tidak dapat menggerakkan jari tangannya. Untuk
memeriksa sindrom kompartemen, hal berikut harus dievaluasi dengan
sering pada tulang yang cedera atau digips: nyeri, pucat, parestesia dan
paralisis. Denyut nadi mungkin teraba atau mungkin tidak.
4. Embolus lemak dapat timbul setelah patah tulang, terutama tulang panjang,
termasuk humerus. Embolus lemak dapat timbul akibat pajanan sumsum
tulang, atau dapat terjadi akibat sistem saraf simpatis yang menimbulkan
stimulasi mobilisasi asam lemak bebas setelah trauma. Embolus lemak yang
timbul setelah patah tulang panjangsering tersangkut di sirkulasi paru dan
dapat menimbulkan gawat napas dan gagal napas.
(Elizabeth J. Corwin, 2009; 338)

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Meliputi tanggal pengkajian, ruangan, nama (inisial), No MR, umur,
pekerjaan, agama, jenis kelamin, alamat, tanggal masuk RS, alasan masuk
RS, cara masuk RS, penanggung jawab.
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan dahulu
Tanyakan juga penyakit yang pernah dialami pasien sebelumnya,
riwayat penyakit pasien yang pernah dirawat dirumah sakit serta
pengobatan yang pernah didapatkan dan hasilnya. Dan ada tidaknya
riwayat DM pada masa lalu yang akan mempengaruhi proses
perawatan post operasi.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Tanyakan pada pasien dan atau keluarga tentang keluhan pasien saat
ini, biasanya pasien mengalami nyeri pada daerah fraktur, kondisi fisik
yang lemah, tidak bisa melakukan banyak aktifitas, mual, muntah, dan
nafsu makan menurun.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada pasien dan atau keluarga mengenai penyakit yang
berhubungan dengan yang diderita pasien saat ini dan penyakit
herediter/keturunan lainnya (anggota keluarga dengan riwayat penyakit
yang sama).
c. Data pola kebiasaan sehari-hari
1) Nutrisi
a) Makanan
Catat pola kebiasaan makan saat sehat dan sakit. Catat diit yang
diberikan rumah sakit pada pasien dan jumlahnya. Tanyakan
konsumsi diit atau makanan sehari-hari lainnya pada waktu sakit
dan bandingkan pada waktu sehat, catat porsi makan yang
dihabiskan, keluhan saat makan serta kemandirian dalam
pelaksanannya.
b) Minuman
Tanyakan jumlah cairan yang diminum dan ragamnya, bandingkan
jumlahnya pada saat sakit dengan sehat. Catat keluhan yang
dirasakan pasien dan kemandirian dalam melaksanakannya.
2) Eliminasi
a) Miksi
Tanyakan frekuensi buang air kecil dan perkiraan jumlahnya,
bandingkan pada keadaan sakit dengan sehat serta catat
karakteristik urine (warna, konsistensi dan bau serta temuan lain)
serta keluhan yang dirasakan selama BAK dan kemandirian dalam
melaksanakannya serta alat bantu yang dipakai.
b) Defekasi
Tanyakan frekuensi buang air besar, bandingkan pada keadaan sakit
dengan sehat serta catat karakteristik feses(warna, konsistensi dan
bau serta temuan lainnya) serta keluhan yang dirasakan selama
BAB dan kemandirian dalam melaksanakannya.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum pasien
a) Tingkat kesadaran
b) Berat badan
c) Tinggi badan
2) Kepala
Amati bentuk kepala, adanya hematom/oedema, perlukaan (rinci
keadaan luka, luas luka, adanya jahitan, kondisi luka).
a) Rambut : Amati keadaan kulit kepala dan rambut
sertakebersihannya dan temuan lain saat melakukan inspeksi.
b) Wajah: Amati adanya oedema/hematom, perlukaan disekitarwajah
(rinci keadaan luka, luas luka, adanya jahitan, kondisi luka) dan
temuan lain saat melakukan inspeksi.
c) Mata : Amati kesimetrisan kedua mata, reflek cahaya,
diameterpupil, kondisi bola mata (sklera, kornea, atau lensa, dll)
keadaan kelopak mata dan konjungtiva serta temuan lainya.
d) Hidung : Amati keadaan hidung, adanya perlukaan,
keadaanseptum, adanya sekret pada lubang hidung, darah atau
obstruksi), adanya pernafasan cuping hidung dan temuan lain saat
melakukan inspeksi (rinci keadaan luka, luas luka, adanya jahitan,
kondisi luka).
e) Bibir : Amati adanya oedema, permukaan (rinci keadaanluka,
luas luka, adanya jahitan, kondisi luka), warna bibir dan kondisi
mukosa bibir serta temuan lain saat melakukan inspeksi.
f) Gigi : Amati kelengkapan gigi, kondisi gigi dan
kebersihanserta temuan lain saat melakukan inspeksi.
g) Lidah : Amati letak lidah, warna, kondisi dan kebersihanlidah serta
temuan lain saat melakukan inspeksi.
3) Leher
Amati adanya pembesaran kelenjar thyroid, kelenjar getah bening
dileher serta deviasi trakea, adanya luka operasi, pemasangan drain
serta temuan lain saat melakukan inspeksi. Lakukan auskultasi pada
kelenjar thyroid jika ditemukan pembesaran. Ukur jugularis vena
pressure (JVP), tuliskan lengkap dengan satuannya.
4) Dada/thorak
a.) Inspeksi : Pengamatan terhadap lokasi pembengkakan, warna kulit
pucat, laserasi, kemerahan mungkin timbul pada area terjadinya
fraktur adanya spasme otot dan keadaan kulit.
b.) Palpasi : Pemeriksaan dengan cara perabaan, yaitu penolakanotot
oleh sentuhan kita adalah nyeri tekan, lepas dan sampai batas mana
daerah yang sakit biasanya terdapat nyeri tekan pada area fraktur
dan didaerah luka insisi.
c.) Perkusi : Perkusi biasanya jarang dilakukan pada kasusfraktur.
d.) Auskultasi : Periksaan dengan cara mendengarkan gerakanudara
melalui struktur merongga atau cairan yang mengakibatkan struktur
sulit bergerak. Pada pasian fraktur pemeriksaan ini pada area yang
sakit jarang dilakukan.
5) Jantung
a.) Inspeksi : Amati ictus cordis.
b.) Palpasi : Raba lokasi dirasakan ictus cordis dan
kekuatanangkanya.
c.) Perkusi : Tentukan batas-batas jantung.
d.) Auskultasi : Dengarkan irama denyutan jantung, keteraturandan
adanya bunyi tambahan.
6) Perut/abdomen
a.) Inspeks : Amati adanya pembesaran rongga abdomen,keadaan
kulit, luka bekas operasi pemasangan drain dan temuan lain saat
melakukan inspeksi.
b.) Auskultasi : Dengarkan bunyi bising usus dan
catatfrekuensinya dalam 1 menit.
c.) Palpasi : Raba ketegangan kulit perut, adanya
kemungkinanpembesaran hepar, adanya massa atau cairan.
d.) Perkusi : Dengarkan bunyi yang dihasikan dari ketukandirongga
abdomen bandingkan dengan bunyi normal.
7) Genitourinaria
Amati keadaan genetalia, kebersihan dan pemasangan kateter serta
temuan lain saat melakukan inspeksi.
8) Ekstremitas
Amati adanya bentuk, adanya luka (rinci keadaan luka), oedema, dan
pengisian kapiler, suhu bagian akral serta temuan lain saat
pemeriksaan.
9) Sistem integumen
Amati warna kulit, rasakan suhu kulit, keadaan turgor kulit, adanya
luka serta temuan lain saat pemeriksaan.
10) Sistem neurologi (diperiksa lebih rinci jika pasien mengalami penyakit
yang berhubungan dengan sistem neurologis)
a.) Glascow Come score
b.) Tingkat kesadaran
c.) Refleks fisiologis
d.) Reflek patologis
e.) Nervus cranial I – XII

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri yang berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan
neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang.
b. Resiko tinggi syok hipovolemik yang berhubungan dengan hilangnya
darah dari luka terbuka, kerusakan vaskuler, dan cedera pada pembuluh
darah.
c. Resiko tinggi sindrom komparteman yang berhubungan dengan
terjebaknya pembuluh darah, saraf, dan jaringan lunak lainnya akibat
pembengkakan.
d. Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan port de entree luka
fraktur terbuka, luka pasca-bedah.
e. Kerusakan integritas jaringan yang berhubungan dengan cidera jaringan
lunak sekuderakibat fraktur terbuka.
f. Ansietas yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakit
yang dialami d/d klien mengatakan ingin cepat sembuh dan kembali
kedalam keluarga

3. Rencana Asuhan Keperawatan


a. Nyeri yang berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan
neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang.
Tujuan: Dalamwaktu 3x24 jam, nyeri berkurang atau teradaptasi.
Kriteria hasil: Secara subjektif, pasien melaporkan nyeri berkurang atau
dapat diadaptasi, dapat mengindentifikasikan aktifitas yang meningkatkan
atau menurunkan nyeri,pasien tidak gelisah, skala nyeri 0-1 atau
teradaptasi.
Intervensi:
1) Kaji nyeri dengan skala 0 – 4
Rasional: Nyeri merupakan respon subjektif yang dapat dikaji dengan
menggunakan skala nyeri. Klen melaporkan nyeri biasanya diatas
tingkat cidera.
2) Pantau keluhan nyeri lokal, apakah disertai pembengkakan.
Rasional: Deteksi dini untuk mengetahui adanya tanda sindrom
kompartemen.
3) Lakukan manajemen nyeri keperawatan :
a) Atur posisi imobilisasi.
Rasional: Mobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan
fragmen tulang yang menjadi unsur utama penyebab nyeri
b) Manajemen lingkungan :Lingkungan yang tenang, batasi
pengunjung, dan istirahatkan pasien.
Rasional: Lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri
eksternal dan pembatasan pengunjung akan membantu
meningkatkan kondisi oksigen ruangan yang akan berkurang apa
bila banyak pengunjung yang berada diruangan. Istirahat akan
menurunkan kebutuhan oksigen jaringan perifer.
c) Ajarkan teknik relaksasi pernafasan dalam ketika nyeri muncul.
Rasional: Meningkatkan asupan oksigen sehingga akan
menurunkan nyeri sekunder akibat iskemia.
d) Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri.
Rasional: Distraksi (pengalihan perhatian) dapat menurunkan
stimulus internal dengan mekanisme peningkatan produksi
endorfin dan enkefalin yang dapat memblok reseptor nyeri agar
tidak dikimkan ke korteks serebri sehingga menurunkan presepsi
nyeri.
e) Lakukan menajemen sentuhan.
Rasional: Manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan
dukungan psikologis dapat membantu menurunkan nyeri. Masase
ringan dapat meningkatkan aliran darah dan membantu suplai
darah dan oksigen ke area nyeri.
4) Kolaborasi :
a) Pemberian analgesik
Rasional: Analgesik memblok lintasan nyeri sehingga nyeriakan
berkurang.
b) Pemasangan traksi skeletal.
Rasional: Penarikan dengan traksi skeletal dapat mengurangi
pergerakan fragmen tulang yang dapat menekan jaringan saraf
sehingga dapat menurunkan respon nyeri.

b. Resiko tinggi syok hipovolemik yang berhubungan dengan hilangnya


darah dari luka terbuka, kerusakan vaskuler, dan cidera pada pembuluh
darah.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam, resiko syok hipovolemik tidak terjadi.
Kriteria hasil: Pasien tidak mengeluh pusing, membran mukosa lembab,
turgor kulit normal, TTV dalam batas nomal, CRT <3 detik, urine >600
ml/hari.
Intervensi :
1) Pantau status cairan (turgor kulit, membran mukosa, haluaran urine).
Rasional: Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan oleh keadaan
status cairan. Penurunan volume cairan mengakibatkan menurunnya
produksi urine, pemantauan yang ketat pada produksi urine < 600 ml/
hari merupakan tanda-tanda terjadinya syok kardiogenik.
2) Kaji sumber kehilangan cairan.
Rasional: Kehilangan cairan dapat berasal dari faktor ginjal dan
diluar ginjal. Penyakit yang mendasari terjadinya kekurangan volume
cairan ini juga haris diarasi. Perdarahan harus dikendalikan.
3) Auskultasi tekanan darah. Bandingkan kedua lengan.\
Rasional: hipotensi dapat terjadi pada hipovolemia yang
menunjukkan terlibatnya sistem kardiovaskuler untuk melakukan
kompensasi mempertahankan tekanan darah.
4) Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi perifer, dan diaforesis secara
teratur.
Rasional: Mengetahui adanya pengaruh peningkatan tahanan perifer.
5) Pantau frekuensi dan irama jantung.
Rasional: Perubahan frekuensi dan irama jantung
menunjukankomplikasi disritmia.
6) Kolaborasi :Pertahankan pemberian cairan melalui intravena.
Rasional: Jalur yang paten penting untuk pemberian cairan cepat dan
memudahkan perawat dalam melakukan kontrol asupan dan haluaran
cairan.

c. Resiko tinggi sindrom komparteman yang berhubungan dengan


terjebaknya bembuluh darah, saraf, dan jaringan lunak lainnya akibat
pembengkakan.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam, resiko sindrom kompartemen
tidak terjadi.
Kriteria hasil : Pasien tidak mengeluh nyeri lokal hebat, skala nyeri 0-1,
CRT <3 detik, akral pada sisi lesi hangat, nadi pada sisi lesi sama dengan
sisi yang sehat.
Intervensi :
1) Pantau pulsasi nadi, perfusi perifer, dan CRT pada sisi lesi setiap jam.
Rasional: perubahan nadi, perfusi, dan meningkatnya CRT pada sisi
lesi menunjukkan tanda awal tidak baiknya sistem vaskuler akibat
bembengkakan.
2) Pantau status nyeri setiap jam.
Rasional: keluhan nyeri lokal hebat pada pasien fraktur disertai
pembengkakan merupakan peringatan pada perawat tentang gejala
sindrom kompartemen.
3) Kaji dan bebaskan apa bila ada bagian pembebatan yang kuat pada
bagian proksimal.
Rasional: pembebatan merupakan stimulus yang dapat meningkatkan
respon penjepitan pada pembulur darah dan jaringan lunak lainnya
sehingga harus dibebaskan.
4) Kolaborasi :Debridemen dan fasiotomi.
Rasional: Intervensi untuk menurunkan dan menghilangkan respon
penjepitan pada bagian proksimal.

d. Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan port de entree luka


fraktur terbuka, luka pasca-bedah.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam, resiko infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil : Tidak ada tanda dan gejala infeksi, pengangkatan jahitan
pasca bedah ORIF dapat dilakukan pada hari ke-10.
Intervensi :
1) Kaji faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya infeksi yang masuk
ke port de entree.
Rasional: faktor port de entree fraktur femur adalah luka terbuka dari
fraktur, luka pasca-bedah, sisi luka dari staksi tulang, setiap sisi besi
pada fiksasi eksterna. Faktor-faktor ini harus dipantau oleh perawat
dan dilakukan perawatan luka steril.
2) Lakukan menajemen keperawatan :
a) Lakukan perawatan luka steril pada hari ke 2 pasca-bedah ORIF
atau apabila kasa terlihat kotor.
Rasional: perawatam luka steril dilakukan idealnya pada hari ke 2
dan perawatan selanjutnya tidak setiap hari. Biasanya dilakukan
setiap dua hari sekali atau apabila kasa terlihat kotor, dapat
dilakukan setiap hari.
b) Lakukan perawatan luka secara steril pada luka pasca-bedah ORIF
dengan iodin providum dan dibersihkan dengan alkohol 70%
dengan teknik swabbing dari arah dalam keluar.
Rasional: teknik swabbing secara steril dapat membersihkan sisa
nekrotik, debris, dan dapat mengurangi kontaminasi kuman.
c) Desinfeksi daerah pemasangan fiksasi eksterna dengan iodin
providum dan dibilas dengan alkohol 70%.
Rasional: desinfeksi dengan iodin providun dapatmenghilangkan
kuman pada sekitar logam yang masuk kekulit pada fiksasi
eksterna.
3) Tingkatkan asupan nutrisi tinggi kalori dan tinggi protein.
Rasional: meningkatkan imunitas tubuh secara umum dan membantu
menurunkan resiko infeksi.
4) Kolaborasi :Beri antibiotik sesuai indikasi.
Rasional: Satu atau beberapa agens diberikan yang bergantung pada
sifat patogen dan infeksi yang terjadi.

e. Kerusakan integritas jaringan yang berhubungan dengan cidera jaringan


lunak sekuderakibat fraktur terbuka.
Tujuan : Dalam waktu 7 x 24 jam, integritas jaringan membaik secara
optimal.
Kriteria hasil : Pertumbuhan jaringan meningkat, keadaan luka membaik,
pengeluaran pus pada luka tidak ada lagi, luka menutup.
Intervensi :
1) Kaji kerusakan jaringan lunak yang terjadi pada pasien.
Rasional: menjadi data dasar untuk memberikan informasi intervensi
perawatan luka, alat apa yang akan dipakai, dan jenis larutan apa yang
akam dilakukan.
2) Lakukan perawatan luka :
a) Lakukan perawatan luka dengan teknik steril.
Rasional: perawatan luka dengan teknik steril dapat mengurangi
kontaminasi kuman langsung kearea luka
b) Kaji keadaan luka dengan teknik membuka balutan, mengurangi
stimulus nyeri. Jika perban melekat kuat, diguyur dengan NaCl.
Rasional: manajemen membuka luka dengan mengguyur larutan
NaCl ke kasa dapat mengurangi stimulus nyeri dan padat
menghindari terjadinya perdarahan pada luka osteomielitis kronis
akibat kasa yang kering karena ikut mengering bersama pus.
3) Evaluasi kerusakan jaringan dan perkembangan pertumbuhan jaringan.
Rasional: apa bila masih belum tercapai kriteria evaluasi, sebaiknya perlu
dikaji ulang faktor-faktor apa yang menghambat pertumbuhan jaringan
luka.
4) Kolaborasi:Kolaborasi dengan tim bedah untuk dilakukan bedah
perbaikan pada kerusakan jaringan agar tingkat kesembuhan dapat
dipercepat.
Rasional: Bedah perbaikan dilakukan terutama pada pasien fraktur
terbuka dengan luka yang luas yang dapat menjadi pintu masuk kuman
yang ideal.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Fraktur (patah tulang). (online: http://nursingbegin.com/fraktur-


patah-tulang/, akses tanggal 9 januari 2012)
Brunner & Suddarth. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah, Edisi 8., Jakarta:
EGC.
Elizabeth J. Corwin. (2009). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media.
Price, Sylvia Anderson dan Wilson, Lorraine M. C, 2006, Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6, Vol 2, Alih bahasa, Brahm U. Pendit,
Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
Rasjad Chairuddin, 2007, Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi edisi ketiga, Jakarta:
PT.Yarsif Watampone (Anggota IKAPI).
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. EGC : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai