TETANUS MODERAT
DI RUANG 20
DEPARTEMEN SURGIKAL
Oleh:
ANDHIKA SUSILA WIDJAYA
NIM: 125070207111002
A. Definisi
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa
disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara
langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanoplasmin) yang dihasilkan
oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang,
sambungan neuro muscular (neuro muscular jungtion) dan saraf autonom.
(Smarmo 2002)
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman clostridium tetani,
bermanifestasi dengan kejang otot secara paroksisimal dan diikuti oleh
kekakuan otot seluruh badan, khususnya otot-otot massester dan otot rangka.
Klasifikasi tetanus berdasarkan bentuk klinis yaitu: (Sudoyo Aru, 2009)
1. Tetanus local: Biasanya ditandai dengan otot terasa sakit, lalu timbul
rebiditas dan spasme pada bagian proksimal luar. Gejala itu dapat
menetap dalam beberapa minggu dan menghilang.
2. Tetanus sefalik: Varian tetanus local yang jarang terjadi. Masa inkubasi 1-
2 hari terjadi sesudah otitis media atau luka kepala dan muka. Paling
menonjol adalah disfungsi saraf III, IV, VII, IX, dan XI tersering saraf otak
VII diikuti tetanus umum.
3. Tetanus general: yang merupakan bentuk paling sering. Spasme otot,
kaku kuduk, nyeri tenggorokan, kesulitan membuka mulut, rahang terkunci
(trismus), disfagia. Timbul kejang menimbulkan aduksi lengan dan
ekstensi ekstremitas bagian bawah. Pada mulanya, spasme berlangsung
beberapa detik sampai beberapa menit dan terpisah oleh periode
relaksasi.
4. Tetanus neonatorum: biasa terjadi dalam bentuk general dan fatal apabila
tidak ditanggani, terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak
imunisasi secara adekuat, rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas, spasme.
Klasifikasi beratnya tetanus oleh albert (Sudoyo Aru, 2009):
1. Derajat I (ringan): trismus (kekakuan otot mengunyah) ringan sampai
sedang, spasitas general, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme,
sedikit atau tanpa disfagia.
2. Derajat II (sedang/moderat): trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas,
spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernapasan sedang
RR 30x/ menit, disfagia ringan.
3. Derajat III (berat): trismus berat, spastisitas generaisata, spasme reflek
berkepanjangan, RR 40x/ menit, serangan apnea, disfagia berat,
takikardia 120.
4. Derajat IV (sangat berat): derajat tiga dengan otomik berat melibatkan
sistem kardiovaskuler. Hipotensi berat dan takikardia terjadi perselingan
dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.
B. Etiologi
Spora bacterium clostridium tetani (C. Tetani). Kuman ini mengeluarkan
toxin yang bersifat neurotoksik (tetanospasmin) yang menyebabkan kejang
otot dan saraf perifer setempat. Termasuk bakteri gram positif. Bentuk:
batang. Terdapat: di tanah, kotoran manusia dan binatang (khususnya kuda)
sebagai spora, debu, instrument lain. Spora bersifat dorman dapat bertahan
bertahun-tahun (> 40 tahun).
C. Patofisiologi
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram
positif anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu
setelah inokulasi bentuk spora ke dalam darah tubuh yang mengalami cedera
(periode inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang
manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin
(tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme).Tempat masuknya kuman penyakit
ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan
jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi
tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi
tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah
tulang jari dan luka pada pembedahan.
D. Tanda dan Gejala
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-
rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala
pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Minggu
pertama: regiditas, spasme otot. Gangguan ototnomik biasanya dimulai
beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu tetapi
kekakuan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan bisa memerlukan waktu 4
minggu. (Sudoyo, Aru 2009)
Pemeriksaan fisis (Sumarmo, 2002)
Trismus adalah kekakuan otot mengunyah sehingga sukar membuka mulut.
Risus sardonicus, terjadi sebagai kekakuan otot mimic, sehingga tampak dahi
mengkerut, mata agak tertutup, dan sudut mulut tertarik keluar kebawah.
Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot
punggung, otot leher, otot badan, dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat
berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan
Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya hanya
terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau
terkena sinar yang kuat.
Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan akibat kejang
yang terus-menerus atau oleh kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan
anoksia dan kematian.
Secara umum tanda dan gejala yang akan muncul:
1. Spasme dan kaku otot rahang (massester) menyebabkan kesukaran
membuka mulut (trismus)
2. Pembengkakan, rasa sakit dan kaku dari berbagai otot:
a. Otot leher
b. Otot dada
c. Merambat ke otot perut
d. Otot lengan dan paha
e. Otot punggung, seringnya epistotonus
3. Tetanik seizures (nyeri, kontraksi otot yang kuat)
4. Iritabilitas
5. Demam
Gejala penyerta lainnya:
1. Keringat berlebihan
2. Sakit menelan
3. Spasme tangan dan kaki
4. Produksi air liur
5. BAB dan BAK tidak terkontrol
6. Terganggunya pernapasan karena otot laring terserang
F. Patofisiologi
Trauma yang mengenai mata dapat menyebabkan robekan pada
pembuluh darah iris, akar iris dan badan silier sehingga mengakibatkan
perdarahan dalam bilik mata depan iris bagian perifer merupakan bagian
paling lemah suatu yang mengenai mata akan menimbulkan kekuatan
hidraulis yang dapat menyebabkam hifema dan iridodialisis serta merobek
lapisan otot spingter sehingga pupil mnadi evoid dan non teaktri. Tenaga yang
timbul dari suatu trauma di perkirakan akan terus kedalam isi bola mata
melalui sumbu anterior, posterior sehingga menyebabkan kompresi ke
posterior sehingga menegakakkan bola mata ke lateral sesuai dengan garis-
garis ekoator lifema yang terjad dalam beberapa hari oleh karena adanya
proses hemostasisi darah dalam bilik mata depan akan di serap sehingga
akan jernih kembali (Pearce, 2009).
Pathway (terlampir)
G. Komplikasi
1. Hipertensi
2. Kelelahan
3. Asfiksia
4. Aspirasi pneumonia
5. Fraktur dan robekan otot
H. Penatalaksanaan
1. Netralisasi toksin dengan tetanus antitoksin (TAT)
a. hiperimun globulin (paling baik)
Dosis: 3.000-6.000 unit IM
Waktu paruh: 24 hari, jadi dosis ulang tidak diperlukan
Tidak berefek pada toksin yang terikat di jaringan saraf; tidak dapat
menembus barier darah-otak
b. Pemberian ATS (anti tetanus)
ATS profilaksis diberikan untuk (luka yang kemungkinan terdapat
clostridium: luka paku berkarat), luka yang besar, luka yang terlambat
dirawat, luka tembak, luka yang terdapat diregio leher dan muka, dan
luka-luka tusuk atau gigitan yang dalam) yaitu sebanyak 1500 IU 4500
IU
ATS terapi sebanyak > 1000 IU, ATS ini tidak berfungsi membunuh
kuman tetanus tetapi untuk menetralisir eksotoksin yang dikeluarkan
clostridium tetani disekitar luka yang kemudian menyebar melalui sirkulasi
menuju otak.
Untuk terapi, pemberian ATS melelui 3 cara yaitu:
Di suntik disekitar luka 10.000 IU (1 ampul)
IV 200.000 IU (10 ampul lengan kanan dan 10 ampul lengan kiri)
IM di region gluteal 10.000 IU
2. Perawatan luka
a. Bersihkan, kalau perlu didebridemen, buang benda asing, biarkan
terbuka (jaringan nekrosis atau pus membuat kondisis baik C. Tetani
untuk berkembang biak)
b. Penicillin G 100.000 U/kg BB/6 jam (atau 2.000.000 U/kg BB/24 jam
IV) selama 10 hari
c. Alternatif
Tetrasiklin 25-50 mg/kg BB/hari (max 2 gr) terbagi dalam 3 atau 4
dosis
Metronidazol yang merupakan agent anti mikribial.
Kuman penyebab tetanus terus memproduksi eksotoksin yang hanya
dapat dihentikan dengan membasmi kuman tersebut.
3. Berantas kejang
a. Hindari rangsang, kamar terang/silau, suasana tenang
b. Preparat anti kejang
c. Barbiturat dan Phenotiazim
o Sekobarbital/Pentobarbital 6-10 mg/kg BB IM jika perlu tiap 2 jam
untuk optimum level, yaitu pasien tenag setengah tidur tetapi
berespon segera bila dirangsang
o Chlorpromazim efektif terhadap kejang pada tetanus
o Diazepam 0,1-0,2 mg/kg BB/3-6 jam IV kalau perlu 10-15 mg/kg
BB/24 jam: mungkin 2-6 minggu
4. Terapi suportif
a. Hindari rangsang suara, cahaya, manipulasi yang merangsang
b. Perawatan umum, oksigen
c. Bebas jalan napas dari lendir, bila perlu trakeostomi
d. Diet TKTP yang tidak merangsang, bila perlu nutrisi parenteral, hindari
dehidrasi. Selama pasase usus baik, nutrisi interal merupakan pilihan
selain berfungsi untuk mencegah atropi saluran cerna.
e. Kebersihan mulut, kulit, hindari obstipasi, retensi urin
5. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi.
Pemberian cairan secara i.v., sekalian untuk memberikan obat-obatan
secara syringe pump (valium pump).
6. Menjaga saluran nafas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu
tracheostomy.
7. Memeriksa tambahan oksigen secara nasal.
8. Kejang harus segera dihentikan dengan pemberian valium/diazepam
bolus i.v. 5 mg untuk neonatus, bolus i.v. atau perectal 10 mg untuk anak-
anak (maksimum 0.7 mg/kg BB).
I. Prognosis
Tetanus neonatorum mempunyai angka kematian 66%, pada usia 10-19
tahun, angka kematiannya antara 10-20% sedangkan penderita dengan usia
> 50 tahun angka kematiannya mencapai 70%. Penderita dengan
undernutrisi mempunyai prognosis 2 kali lebih jelek dari yang mempunyai
gizi baik. Tetanus lokal mempunyai prognosis yang lebih baik dari tetanus
umum.
Catatan:
o Tetanus Sefalik selalu dinilai berat atau sangat berat
o Tetanus Neonatorum selalu dinilai sangat berat
C. Intervensi Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo Aru, dkk. 2009. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid 1, 2, 3, edisi keempat.
Internal Publising. Jakarta
Sumarmo, herry. 2002. Buku ajar nfeksi dan pediatric tropis edisi kedua.IDAI.
Jakarta
Spasme otot
Penumpukan sekret
Gangguan ventilasi
spontan
Ketidakefektifan bersihan
jalan napas Imobilisasi
Obstruksi trakea bronkhial