Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Trauma saat ini merupakan penyebab kematian paling sering di empat


dekade pertama kehidupan dan masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang utama di setiap negara (Gad, 2012). Data WHO (World
Health Organization) menyebutkan sebanyak 5,6 juta orang meninggal
dan sekitar 1,3 juta orang mengalami cacat fisik akibat kecelakaan lalu
lintas di seluruh dunia selama tahun 2011. Data dari Kepolisian Republik
Indonesia tahun 2010 menyebutkan pada tahun 2009 terjadi 57.726 kasus
kecelakaan di jalan raya dengan korban terbanyak berusia 15-55 tahun.
Sebagai penyebab utama kematian dan kecacatan, trauma telah
menjadi masalah kesehatan dan social yang signifikan. Multi trauma
adalah Keadaan yang di sebabkan oleh luka atau cedera defenisi ini
memberikaan gambaran superficial dari respon fisik terhadap cedera,
trauma juga mempunyai dampak psikologis dan social. Pada kenyataannya
trauma adalah kejadian yang bersifat holistic dan dapat menyebabkan
hilangnya produktif seseorang. Berdasarkan mekanismenya, terdapat
trauma tumpul yang biasanya disebabkan karena kecelakaan kendaraan
bermotor dan trauma tajam biasanya disebabkan karena tusukan, tikaman
atau tembakan senapan. Trauma yang terjadi seringkali melibatkan
beberapa regio tubuh. Pada multipel trauma, sering terjadi perdarahan
yang akan mengakibatkan kematian (Sauaia, 1995). Selain itu, pada
multipel trauma juga terjadi keadaan hipoperfusi dan asidosis serta
koagulopati yang juga akan meningkatkan mortalitas pasien multipel
trauma (Brohi, 2007).
Penanganan secara sistematis sangat penting dalam
penatalaksanaan pasien dengan trauma. Perawatan penting yang menjadi
prioritas adalah mempertahankan jalan napas, memastikan pertukaran
udara secara efektif, dan mengontrol pendarahan.
B. Rumusan Masalah

1. Apakah definisi dari trauma multiple?

2. Bagaimana etiologi dari trauma multiple?


3. Apa saja macam-macam trauma multiple yang sering terjadi?

4. Bagaimana patofisiologi dari multiple trauma?

5. Bagaimana manifestasi klinis dari multiple trauma?

6. Apa klasifikasi dari trauma?

7. Apa saja komplikasi pada multiple trauma?

8. Apa pemeriksaan untuk multiple trauma?

C. Tujuan

1. Mengetahui definisi dari trauma multiple.

2. Mengetahui etiologi trauma multiple.

3. Mengetahui macam-macam trauma multiple.

4. Mengetahui patofisiologi trauma multiple.

5. Mengetahui manifestasi klinis dari trauma multiple.

6. Mengetahui klasifikasi trauma multiple.

7. Mengetahui komplikasi dari trauma multiple.

8. Mengetahui pemeriksaan untuk trauma multiple.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Trauma Murni atau Multipel

Multi trauma adalah keadaan yang di sebabkan oleh luka atau cedera
definisi ini memberikaan gambaran superficial dari respon fisik terhadap
cedera, trauma juga mempunyai dampak psikologis dan sosial. Pada
kenyataannya trauma adalah kejadian yang bersifat holistic dan dapat
menyebabkan hilangnya produktif seseorang. Informasi tentang pola atau
mekanisme terjadinya cedera seringkali akan sangat terbantu dalam
mendiagnosa kemungkinan gangguan yang diakibatkan. Trauma tumpul terjadi
pada kecelakaan kendaraan bermotor ( KKB) dan jatuh, sedangkan trauma
tusuk (penetrasi) seringkali diakibatkan oleh luka tembak atau luka tikam.
Umumnya, makin besar kecepatan yang terlibat dalam suatu kecelakaan, akan
makin besar cedera yang terjadi, misalnya : KKB kecelakaan tinggi, peluru
dengan kecepatan tinggi, jatuh dari tempat yang sangat tinggi (Hudak,carolyn
1996).
Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih
kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya
bisa menyebabkan kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif,
psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional. Trauma kepala
paling banyak dicatat pada pasien politrauma dengan kombinasi dari kondisi
yang cacat seperti amputasi, kelainan pendengaran dan penglihatan, post-
traumatic stress syndrome dan kondisi kelainan jiwa yang lain (Veterans
Health Administration Transmittal Sheet).

B. Etiologi

Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru.
Luka tusuk dan luka tembak pada suatu rongga dapat di kelompokan dalam
kategori luka tembus. Untuk mengetahui bagian tubuh yang terkena,organ
apa yang cedera ,dan bagaimana derajat kerusakannya, perlu diketahui
biomekanik terutama cedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar
berupa benturan, perlambatan (deselerasi), dan kompresi, baik oleh benda
tajam , benda tumpul, peluru, ledakan, panas, maupun zat kimia . Akibat
cedera ini dapat menyebabkan cedera muskuloskeletal dan kerusakan organ.
C. Macam-macam Trauma Multiple

1. Trauma servikal, batang otak dan tulang belakang

Trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang
tinggi serta pada aktivitas olahraga yang berbahaya boleh menyebabkan
cedera pada beberapa bagian ini. Antara kemungkinan kecederaan yang bisa
timbul adalah seperti berikut:
 Kerusakan pada tulang servikal C1-C7; cedera pada C3 bisa menyebabkan
pasien apnu. Cedera dari C4-C6 bisa menyebabkan pasien kuadriplegi,
paralisis hipotonus tungkai atas dan bawah serta syok batang otak.
 Fraktur Hangman terjadi apabila terdapat fraktur hiperekstensi yang bilateral
pada tapak tulang servikal C2.
 Tulang belakang torak dan lumbar bisa diakibatkan oleh cedera kompresi dan
cedera dislokasi.
 Spondilosis servikal juga dapat terjadi.

 Cedera ekstensi yaitu cedera ‘Whiplash’ terjadi apabila berlaku ekstensi pada
tulang servikal.
2. Trauma toraks

Trauma toraks bisa terbagi kepada dua yaitu cedera dinding toraks dan
cedera paru.
a) Cedera dinding torak seperti berikut:

 Patah tulang rusuk.

 Cedera pada sternum atau ‘steering wheel’.

 Flail chest.

 Open ‘sucking’ pneumothorax.

b) Cedera pada paru adalah seperti berikut: Pneumotoraks.

 hematorak.

 Subcutaneous(SQ) dan mediastinal emphysema.

 Kontusio pulmonal.

 Hematom pulmonal.

 Emboli paru.
3. Trauma abdominal

Trauma abdominal terjadi apabila berlaku cedera pada bagian organ


dalam dan bagian luar abdominal yaitu seperti berikut:
 Kecederaan yang bisa berlaku pada kuadran kanan abdomen adalah seperti
cedera pada organ hati, pundi empedu, traktus biliar, duodenum dan ginjal
kanan.
 Kecederaan yang bisa berlaku pada kuadran kiri abdomen adalah seperti
cedera pada organ limpa, lambung dan ginjal kiri.
 Kecederaan pada kuadran bawah abdomen adalah cedera pada salur ureter,
salur uretral anterior dan posterior, kolon dan rektum.
 Kecederaan juga bisa terjadi pada organ genital yang terbagi dua yaitu
cedera penis dan skrotum.

4. Tungkai atas

Trauma tungkai atas adalah apabila berlaku benturan hingga


menyebabkancedera dan putus ekstrimitas. Cedera bisa terjadi dari tulang
bahu, lengan atas, siku, lengan bawah, pergelangan tangan, jari-jari tangan
serta ibu jari.

5. Trauma abdominal

Trauma abdominal terjadi apabila berlaku cedera pada bagian organ


dalam dan bagian luar abdominal yaitu seperti berikut:
 Kecederaan yang bisa berlaku pada kuadran kanan abdomen adalah seperti
cedera pada organ hati, pundi empedu, traktus biliar, duodenum dan ginjal
kanan.
Kecederaan yang bisa berlaku pada kuadran kiri abdomen adalah seperti
cedera pada organ limpa, lambung dan ginjal kiri.
 Kecederaan pada kuadran bawah abdomen adalah cedera pada salur ureter,
salur uretral anterior dan posterior, kolon dan rektum.
Kecederaan juga bisa terjadi pada organ genital yang terbagi dua yaitu
cedera penis dan skrotum.
D. Patofisiologi
Respon metabolik pada trauma dapat dibagi dalam tiga fase :

1. Fase pertama berlangsung beberapa jam setelah terjadinya trauma. Dalam


fase ini akan terjadi kembalinya volume sirkulasi, perfusi jaringan, dan
hiperglikemia.Pada fase kedua terjadi katabolisme menyeluruh, dengan
imbang nitrogen yang negative, hiperglikemia, dan produksi panas. Fase
ini yang terjadi setelah tercapainya perfusi jaringan dengan baik dapat
berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa minggu, tergantung beratnya
trauma, keadaan kesehatan sebelum terjadi trauma, dan tindakan pertolongan
medisnya.
2. Pada fase ketiga terjadi anabolisme yaitu penumpukan kembali protein dan
lemak badan yang terjadi setelah kekurangan cairan dan infeksi teratasi.
Rasa nyeri hilang dan oksigenasi jaringan secar keseluruhan sudah teratasi.
Fase ini merupakan proses yang lama tetapi progresif dan biasanya lebih
lama dari fase katabolisme karena isintesis protein hanya bisa mencapai 35
gr /hari.

E. Manifestasi klinis
a. Laserasi, memar,ekimosis
b. Hipotensi
c. Tidak adanya bising usus
d. Hemoperitoneum
e. Mual dan muntah
f. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah,

biasanya pada arteri karotis)


g. Nyeri
h. Pendarahan
i. Penurunan kesadaran
j. Sesak
k. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh
perdarahan limfa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
l. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan
peritoneal
m. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang )
pada perdarahan retroperitoneal.
n. Tanda Coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia
pada fraktur pelvis
o. Tanda Balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada
kuadran kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe.
F. Klasifikasi Trauma
Berdasarkan Hudak Carolyn 1996:517-534 bahwa klasifikasi dari multi

trauma adalah sebagai berikut :


1. Trauma Tumpul

Pada kecelakaan kendaraan mobil, badan kendaraan memberikan


sebagian perlindungan dan menyerap energi dari hasil benturan tabrakan.
Pengendara atau penumpang yang tidak menggunakan sabuk pengman,
bagaimanapun akan terlempar dari mobil dan dampaknya mendapat
cedera tambahan. Pengendara sepeda motor mempunyai perlindungan
yang minimal dan seringkali akan menderita cedera yang lebih parah
apabila terlempar dari motor.
Perlambatan yang cepat selama KKB atau jatuh dapat
menyebabkan kekuatan yang terputus yang dapat merobek struktur
tertentu. Organ-organ yang berdenyut seperti jantung dapat terlepas dari
pembuluh besar yang menahannya. Demikian juga organ-organ abdomen
(limpa, ginjal, usus) akan terlepas dari mesenteri.
Tipe kedua trauma tumpul termasuk kompresi yang disebabkan
oleh kekuatan tabrakan berat. Pada kasus demikian, jantung dapat
terhimpit diantara sternum dan tulang belakang. Hepar, limpa, dan
pancreas juga sering tertekan terhadap tulang belakang. Cedera karena
benturan seringkali menyebabkan kerusakan internal dengan sedikit
tanda-tanda trauma eksternal.
Tipe kerusakan pada kendaraan seringkali memberikan petunjuk-
petumjuk cedera spesifik yang diderita pada KKB. Stir atau kemudi
kendaraan yang bengkok atau rusak memperbesar dugaaan akan
kemungkinan cedera pada dada, iga, jantung, trakea, tulang belakang atau
abdomen. Trauma kepala dan wajah, cedera tulang belakang servikal dan
cedera trakeal sering berkaitan dengan kerusakan pada kaca depan mobil
atau dashboard. Benturan lateral dapat menyebabkan patah iga, luka dada
penetrasi akibat pegangan pintu atau jendela, cedera limpa atau hepar dan
fraktur pelvis.
2. Trauma Penetrasi

Luka tembak berkaitan dengan derajat kerusakan yang lebih tinggi dari
luka-luka tikaman. Peluru dapat menyebakan lubang di sekitar jaringan
dan dapat terpecah atau merubah arah dalam tubuh, mengakibatkan
peningkatan cedera. Perdarahan internal, perforasi organ, dan fraktur
kesemuanya dapat disebabkan oleh cedera penetrasi. Dengan
menggunakan keterampilan pengkajian yang baik dan kewaspadaan pada
mekanisne terjadinya cederam, perawat unit perawatan kritis dapat
membantu dalam mengidentifikasi cedera yang tidak didiagnosa di unit

kegawatdaruratan.
3. Trauma Torakik
Kurang lebih 25% dari kematian karena trauma adalah karena
cedera torakik. Banyak cedera toraks yang secara potensial mengancam
jiwa, misalnya tension atau pneumotoraks terbuka, hemotoraks massif,
iga melayang (flail chest) dan tamponade jantung, dapat ditangani secara
cepat dan mudah, seringkali tanpa operasi besar. Jika tidak ditangani,
maka akan mengancam jiwa. Cedera pada paru dan iga :
a. Pneumotoraks dan hematoraks
Trauma tumpul dan penetrasi dapat menyebabkan pneumotoraks
dan hemotoraks. Seringkali satu-satunya tindakan yang diperlukan
adalah pemasangan selang dada. Hemotoraks massif (>1.500ml pada
awalnya atau >100-200ml/jam) akan memerlukan torakotomi,
sedangkan selang dada untuk mengembangkan kembali paru-paru
seringkali sudah memadai tamponade dengan sumber perdarahan yang
lebih kecil. Intervensi pembedahan juga mungkin diperlukan dalam
kasus pneumotoraks terbuka (luka menyedot dada) atau kebocoran
udara yang tidak terkontrol.
Selain memberikan perawatan rutin post operasi (spirometri, batuk,
latihan napas dalam), perawatan unit perawatan kritis harus mengkaji
fungsi pernapasan dan hemodinamik dengan cermat. Pasien dengan
cedera paru mempunyai resiko lebih besar untuk mengalami
komplikasi pulmonal seperti atlektaksis, pneumonia, dan empiema.
Selang dada harus dikaji patensi dan fungsinya serta dokter harus
diberitahu jika drainase menjadi berlebihan. Untuk kehilangan darah
dalam jumlah besar dari selang dada.
b. Iga melayang

Iga melayang terjadi bila trauma tumpul menyebabkan fraktur


multiple iga, menyebabkan ketidakstabialan dinding dada. Iga
melayang berkaitan dengan pneumotoraks, hemotoraks kontusio
pulmonal, kontusio miokardial. Tujuan utama dari perawatan terhadap
tulang iga mengambang adalah untuk meningkatkan ventilasi yang
adekuat. Jika status pernapasan terganggu atau diperlukan operasi
untuk cedera terjadi, maka ada indikasi pemasangan intubasi dan
ventilasi mekanis. Mungkin juga digunakan tekanan akhir ekspirasi
positif (PEEP). Pada kejadian yang langka, mungkin dilakukan
stabilisasi operatif dengan kawat dan staples. Fraktur iga tidak pernah
dibalut karena hal ini nantinya hanya akan mengurangi fungsi
pulmonal.
Fraktur iga sering berkaitan dengan nyeri hebat. Control nyeri yang
adekuat dapat meningkatkan ekspansi paru tanpa memerlukan
ventilasi mekanis jangka panjang. Sering diberikan analgesi
parenteral, intramuscular, atau analgesia yang dikontrol pasien.
Analgesic sistemik tidak cukup kuat untuk menghilangkan nyeri iga
melayang, sehingga membutuhkan metode lain untuk meringankan
nyeri seperti blok interkosta atau analgesia epidural.
Asuhan keperawatan pada pasien dengan iga melayang ditujukan
pada pengkajian dan pengontrolan nyeri deisertai dengan peningkatan
oksigenasi dan pertukaran gas yang adekuat. Hipoventilasi akiibat
nyeri meningkatkan resiko terhadap komplikasi pernapasan, termasuk
atlektaksis dan pneumonia. Berbagai intervensi untuk memperbaiki
fungsi pernapasan dapat dilaksanakan termasuk batuk dan napas
dalam, spirometrik, drainase, dan chapping, mukolitik, bronkodilator,
pernapasan tekanan positif intermitten (PTPI), suksion endotrakeal
dan nasotrakeal, bronkoskopi terapeutik. Serangkaian pengkajian
pulmonal, termasuk sinar x-dada, gas-gas arterial darah, pemeriksaan
fisik, dan kadang-kadang pemantauan dengan oksimetrik adalah
penting.
c. Kontusio pulmonal

Kontusio pulmonal adalah memar pada parenkim paru, seringkali


akibat trauma tumpul. Gangguan ini dapat tidak terdiagnosa pada foto
dada awal. Bagaimanapun adanya fraktur iga atau iga melayang harus
mengarah pada dugaan kemungkinan adanya kontusio pulmonal.
Kontusio pulmonal terjadi bila perlambatan cepat memecahkan
dinding sel kapiler, menyebabkan hemoragi dan ekstravasasi plasma
dan protein ke dalam alveolar dan spasium interstisial. Hal ini
mengakibatkan atlektaksis dan konsolidasi, mengarah pada pengalihan
(shunting) intrapulmonal dan hipoksemia. Tanda-tanda dan gejala-
gejalanya tgermasuk dispnea, rales, hemoptisis, takipnea. Kontusio
yang hebat juga akan mengakibatkan peningkatan tekanan puncak
jalan udara, hipoksemia, dan asidosis respiratorik. Kontusio pulmonal
mirip dengan ARDS dimana keduanya berespon sangat terburuk
terhadap fraksi inspirasi oksigen yang tinggi (FiO2).

Perbedaan antara kontusio pulmonal dan ARDS

Kontusio ARDS

pulmonal
Awitan gagal Awitan gagal pernapasan mendadak
pernapasan
bertahap
Perubahan- Perubahan-perubahan gambaran
perubahan radiografi seringkali tertunda 2-3
gambaran hari setelah timbul gejala- gejala.
radiografi
dapat segera
terlihat
Infiltrat Infiltrat menyebar

setempat
Dapat Dapat mengarah pada fibrosis
mengarah pulmonal kronis
pada
terbentuknya
rongga dan
abses
Pasien dengan kontusio ringan memerlukan pengamanan ketat. Perlu
sering dilakukan pengukuran gas darah arterial (GDA) atau oksimetri
nadi. Inter vensi keperawatan tambahan termasuk pengkajian
pernapasan yang kerap, perawatan pulomonal dan control nyeri.
Fisioterapi dada dan analgesia epidural kontinu juga akan sangat
bermanfaat. Kontusion pulmonal yang parah akan memerlukan
dukungan ventilator dengan TAEP. Kateter arteri oksimetrik pulmonal
( oximetri Swans-Ganz) dan biasanya aliran arteri untuk membantu
memantau GDA, hemodinamik dan parameter respiratori (pengiriman
oksigen, pirau intrapulmonal).
Meskipun ventilasi alveolar membaik dengan penambahan TAEP,
aliran darah ke alveoli dapat berkurang, mengarah pada pirau
intrapulmonal. Untuk mengoptimalkan perfusi jaringan dan
oksigenasi, setiap pergantian pada TAEP membutuhkan status pirau,
pengiriman oksigen, dan indicator lain perfusi jaringan (curah jantung,
tekanan darah, haluaran urine). Pernapasan yang parah, peningkatan
atau paralisis dapat menjadi tanda untuk menurunkan pemakaian
energi dan kebutuhan oksigen. Tempat tidur berrotasi seperti Roto-
Rest (Kinetic Concepts, Ins., San Antonio, TX) juga harus
dipertimbangkan. Penggunaan ventilasi jet frekuensi tinggi untuk tipe
cidera seperti ini masih merupakan suatu kontroversia. Kontusio
unilateral berat dapat ditangani dengan ventilasi paru independen
simultan dan membaringkan posisi pasien dengan bagian cidera di
sebelah atas.
Penatalaksanaan cairan juga penting. Masukkan dan haluarkan,
berat badan setiap hari, tekanan vena central, tekanan desak kapiler
pulmonal harus dipantau. Konsentrasi medikasi mungkin diperlukan
untuk mengurangi masukan yang berlebihan, dan diuretik akan
diperlukan secara periodik. Pembatasan ketat cairan tidak dianjurkan.
Sebaliknya, keseimbangan cairan harus dipertahankan pada tingkat
mendekati normal untuk mendukung curah jantungdan pengiriman
oksigen. Karena paru yang basah dan mengalami kontusio mengalami
kemampuan untuk membersihkan bakteri, mungkin diberikan
antibiotik profilaktik. Steroid profilaktik dan pemberian protein tetap
menjadi suatu hal yang kontroversial. Pneumonia dan gangguan
ARDS adalah komplikasi yang umum.
Penatalaksanaan cairan juga penting. Masukkan dan haluarkan,
berat badan setiap hari, tekanan vena central, tekanan desak kapiler
pulmonal harus dipantau. Konsentrasi medikasi mungkin diperlukan
untuk mengurangi masukan yang berlebihan, dan diuretik akan
diperlukan secara periodik. Pembatasan ketat cairan tidak dianjurkan.
Sebaliknya, keseimbangan cairan harus dipertahankan pada tingkat
mendekati normal untuk mendukung curah jantungdan pengiriman
oksigen. Karena paru yang basah dan mengalami kontusio mengalami
kemampuan untuk membersihkan bakteri, mungkin diberikan
antibiotik profilaktik. Steroid profilaktik dan pemberian protein tetap
menjadi suatu hal yang kontroversial. Pneumonia dan gangguan
ARDS adalah komplikasi yang umum.
d. Cidera Trakeobronkial

Cedera pada trakea atau bronki dapat disebabkan oleh trauma


tumpul atau penetrasi dan seringkali disertai dengan kerusakan pada
esofagus dan vaskuler. Ruptur bronki sering terjadi berkaitan dengan
fraktur iga bagian atas atau pneumotoraks. Cedera trakeobronkial yang
parah mempunyai angka kematian yang tinggi, bagaimana pun dengan
bertambah baiknya perawatan dan transportasi prarumah sakit akhir-
akhir ini, maka makin banyak pasien ini yang bertahan hidup. Cidera
jalan udara seringkali tidak tersamar. Tanda-tandanya termasuk
dispnea (adakalanya satu-satunya tanda), hemoptasis, batuk, dan
emfisema subkutan. Berdasarkan sinar-x dada dapat memberikan
tanda pada dokter terhadap kemungkinan adanya cedera,
bagaimanapun biasanya diagnosa dibuat dengan bronkoskopi atau
selama operasi. Perbaikan operasi dengan ventilasi mekanis
pascaoperasi melalui selang endotrakeal atau trakeostomi akan
diperlukan.
Asuhan keperawatan melibatkan pengkajian terhadap oksigenasi
dan pertukaran gas, disertai dengan perawatan pulmonal yang tepat.
Selama beberapa hari pertama, dokter akan melakukan bronkoskopi
untuk melihat tempat yang diperbaiki serta untuk memberikan suction
yang lebih efektif. Pneumonia adalah komplikasi jangka pendek,
sedangkan stenosis trakeal dapat terjadi kemudian.

4. Cedera pada Jantung


a. Kontusio Miokard
Memar pada miokardium kebanyakan disebabkan oleh benturan
dada pada batang stir atau dashboard selama KKB. Perlambatan
cepat mengakibatkan jantung yang berdenyut akan menbentur
dinding dada anterior. Ventrikel kanan, karena letaknya di sebelah
anterior, adalah yang paling sering terkena. Kontusio juga dapat
terjadi apabila jantung terdesak diantara sternum dan tulang
belakang. Gejala-gejala kontusio jarang bervariasi dari tidak ada
gejala (umum) sampai pada gagal jantung kongestif yang berat dan
syok kardiogenik. Setelah trauma, keluhan-keluhan tentang nyeri
dada harus di evaluasi dengan cermat. Perubahan-perubahan ECG
nonspesifik sering terlihat dan dapat mencakup setiap tipe disritmia.
Takikardia sinus, kontraksi atrial ventrikular prematur, takikardia
supraventrikular paroksimal, blok berkas his kanan, atau perubahan-
perubahan gelombang ST dan T adalah hal yang paling umum.
Secara histologi, kontusio jantung mirip dengan infark miokardial.

Diagnosa bisa sulit ditegakkan. Untuk menegakkannya dilakukan


serangkaiaan pemeriksaan EKG dan serangkaian pengukuran kreatin
kinase isoenzim miokardial, namun pemeriksaan ini tidak 100%
sensitif. Ada dokter yang menginstruksi pemeriksan ekokardiogram
dua dimensi untuk memeriksa komplikasi-komplikasi dan tingkat
cedera manakala kontusio sudah dipastikan terjadi.
Pemantauan dengan ketat diperlukan sampai kontusio miokardial
telah disingkirkan. Yang lebih umum dari kontusio miokardial yang
sudah dipastikan adalah cedera tipe “konkusio” (gegar) yang dapat
pilih. Tanda-tanda dan gejala-gejala yang bersifat temporer akan
terlihat tanpa adanya perubahan dalam isoenzim. Selama
diagnosanya belum jelas, oksigenasi, hemodinamik, dan toleransi
aktivitas harus diamati dengan cermat. Jika timbul takikardia, maka
penyebab-penyebab alternatif seperti nyeri, penipisan volume herus
menjadi pertimbangan. Manakala kontusio sudah dipastikan, maka
tindakan yang dilakukan serupa dengan untuk infark miokardial
akut.

b. Cedera Penetrasi jantung


Cedera penetrasi pada jantung mengakibatkan kematian korban
prarumah sakit sekitar 60% sampai 90% dari kasus. Pada 10%
sisanya, hemoragi dan syok adalah yang umum terlihat. Luka tikam
kecil yang mengenai ventrikel ada kalanya menutup sendiri karena
tebalnya muskulatur ventrikular. Pada kondisi dimana terjadi
hemoragi terus menerus, volume yang hilang harus diganti, dan
operasi perbaikan diperlukan. Pada kasus-kasus parah, torakotomi
departemen gawat darurat mungkin harus dilakukan sebagai tindakan
untuk menyelamatkan jiwa.
Setelah operasi perbaikan, kateter arteri pulmonal dn selang
arterial dipasang untuk memudahkan pemantauan hemodinamik
dengan cermat. Vasopresor atau agen-agen inotropik mungkin
diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung
yang adekuat. Keseimbangan cairan dan elektrolit, sejalan dengan
irama jantung, harus dipantau dengan seksama. Bunyi jantung harus
dikaji terhadap murmur, yang menandakan kelainan katup atau
septum, dan sebagai tanda-tanda gagal jantung kongestif. Drainase
selang dada dan mediastinal harus sering dicatat. Berikan plasma
beku segar dan platelet, sesuai instruksi, untuk memperbaiki
koagulopati. Komplikasi termasuk hemoragi berlanjut dan sindrom
poskardiotomi.
5. Trauma Abdomen
Rongga abdomen memuat baik organ yang padat maupun yang
berongga. Trauma tumpul kemungkinan besar menyebabkan
kerusakan yang serius organ-organ padat dan trauma penetrasi
sebagian besar melukai organ-organ berongga. Kompresi dan
perlambatan dari trauma tumpul menyebabkan fraktur pada kapsula
dan parenkim organ padat, sementara organ berongga dapat kolaps
dan menyerap energi benturan. Bagaimana pun usus yang
menempati sebagian besar rongga abdomen, rentan untuk mengalami
oleh trauma penetrasi. Secara umum, organ-organ padat berespons
terhadap trauma dengan perdarahan. Organ-organ berongga pecah
dan mengeluarkan isinya dan ke dalam rongga peritoneal,
menyebabkan peradangan dan infeksi.

Diagnosis dini adalah penting pada trauma abdomen. Pasien


yang memperlihatkan adanya cedera abdomen penetrasi fasia dalam
peritoneal, ketidakstabilan hemodinamik, atau tanda-tanda dan
gejala-gejala abdomen akut dilakukan eksplorasi dengan
pembedahan. Pada kebanyakan kasus trauma abdomen lainnya,
dilakukan lavase peritoneal diagnostic (LPD). LPD yang positif juga
mengharuskan dilakukan eksplorasi pembedahan.

Baik LPD ataupun CT scan adalah 100% diagnostic, sehingga


pasien-pasien trauma dengan hasil negative harus diobservasi.
Dilakukan serangkaian pengukuran tingkat hematokrit dan amylase.
Pengobatan nyeri mungkin ditunda sehingga tidak mengaburkan
tanda-tanda dan gejala-gejala yang potensial. Masukan per oral juga
ditunda untuk berjaga-jaga jika dilakukan pembedahan. Pasien dikaji
untuk mendapatkan tanda-tanda abdomen akut, seperti distensi,
rigiditas, guarding, dan nyeri lepas. Eksplorasi pembedahan menjadi
perlu dengan adanya awitan setiap tanda-tanda dan gejala-gejala
yang mengindikasikan cedera. Penggunaan CT abdomen telah
memperoleh popularitas dan sering digunakan atau sebagai
tambahan pada LPD. Cedera retroperitoneal, seringkali terlewatkan
dengan LPD dan bahkan dengan pembedahan eksplorasi, sering
dapat diidentifikasi dengan CT scan. Namun CT scan tidak dapat
terlalu diandalkan dalam mendeteksi cedera pada organ-organ
berongga.

a. Cedera pada lambung dan usus halus


Cedera lambung yang signifikan jarang ditemui, namun usus
halus lebih umum mengalami cedera. Meskipun sering mengalami
kerusakan oleh trauma penetrasi, trauma tumpul juga dapat
menyebabkan usus halus memar. Konvolusi multiple adakalanya
membentuk loop tertutup yang dapat menjadi sasaran pecah karena
meningkatnya tekanan dari benturan dengan kemudi atau sabuk
pengaman. Mobilitas usus di sekitar titik tetap (seperti ligamentum
treitz) mencetuskan terjadinya cedera dengan adanya perlambatan.
Cedera tumpul usus halus atau lambung dapat terlihat dengan
adanya darah pada aspirasi nasogastrik atau hematemesis. Namun
sering tidak terdapat tanda-tanda fisik dan diagnosis tidak dapat
ditegakkan sampai timbul peritonitis. Cedera penetrasi biasanya
menyebabkan LPD positif. Meskipun kontusio usus ringan dapat
diatasi secara konservatif (dekompresi lambung dan menunda
masukan per oral), pembedahan biasanya diperlukan untuk
memperbaiki luka-luka.penetrasi.

Dekompresi pasca operasi, baik dengan selang nasogastrik atau


selang lambung, dipertahankan sampai fungsi usus pulih. Pada
kebanyakan kasus selang makan, jejunustomi dipasang sebelah
distal dari tempat yang diperbaiki. Selang pemberi makan dapat
dipasangkan segera pasca operasi. Dengan ditingkatkannya
konsentrasi dan frekuensi pemberian makan secara bertahap, maka
pengkajian secara berkala terhadap tanda- tanda intolerans
(distensi, muntah) adalah penting. Karena lambung dan usus halus
mengandung jumlah bakteri yang signifikan, maka resiko terhadap
sepsis adalah kecil, namun pemberian antibiotic profilaktik dapat
dilakukan kapan saja terjadi perforasi usus. Pada sisi lain, getah
asam lambung mengiritasi peritoneum dan dapat menyebabkan
peritonitis. Potensial komplikasi lainnya termasuk perdarahan pasca
operasi, hipovolemia karena “spasium ketiga”, serta timbulnya
fistula atau obstruksi. Beberapa dari keadaan ini mengharuskan
adanya tindakan pembedahan tambahan. Sindrom malabsorpsi
jarang terjadi kecuali jika lebih dari 200 cm usus telah diangkat.

b. Cedera pada duodenum dan pancreas


Pancreas dan duodenum akan dibahas bersama-sama karena
keduanya adalah organ-organ retroperitoneal dan secara anatomi
dan fisiologi mempunyai hubungan yang dekat. Diperlukan
kekuatan yang besar untuk mencerai organ-organ ini, karena organ-
organ ini terlindung dengan baik, jauh di dalam abdomen. Cedera
pada organ yang berdekatan hampir selalu ada. Letak
retroperitoneal membuat cedera ini sulit untuk didiagnosa karena
LPD sering negative, oleh karena itu CT scan abdomen sangat
penting untuk keadaan ini. Tanda-tanda dan gejala-gejala dapat
mencakup abdomen akut, peningkatan kadar amylase serum, nyeri
epigastrik yang menjalar ke punggung, mual, dan muntah.
Laserasi minor atau kontusio hanya akan memerlukan
pemasangan drain, sedangkan luka-luka besar memerlukan
perbaikan pembedahan. Kebanyakan cedera pankreatik akan
membutuhkan drain pasca operasi untuk menghindari pembentukan
fistula. Pankreatektomi distal atau anstomosis Roux-en-Y adalah
dua prosedur yang umum dilakukan pada cedera tubuh dan bagian
ekor pancreas. Adakalanya limpa juga harus diangkat karena
banyaknya perlekatan vascular. Kerusakan pada kaput pancreas
berkaitan dengan cedera duodenal dan hemoragi hebat karena
kedekatan dari struktur vascular. Prosedur pembedahan yang
dilakukan pada kasus- kasus ini termasuk
pankreotikoduodenektomi, anastomosis ROUX-en-Y, dan pada
keadaan yang langka dilakukan pankreatektomi total.
Pengkajian dan asuhan keperawatan pasca operasi adalah sama
untuk berbagai prosedur. Patensi drain harus dipertahankan dan
pasien dipantau terhadap timbulnya fistula. Perlindungan terhadap
kulit adalah penting jika fistula sudah terbentuk, karena tingginya
kandungan enzim dari getah pankreatin. Pengkajian keseimbangan
cairan dan elektrolit adalah penting karena fistula pankreatik
mengakibatkan kehilangan cairan juga kalium dan bikarbonat.
Stimulasi pancreas dapat dikurangi dengan pemberian
hiteralimentasi parental atau pemberian makanan jejuna daripada
diet oral. Awitan diabetes mellitus jarang terjadi kecuali jika
dilakukan pankreatektomi total. Komplikasi lainnya termasuk
perdarahan dari fistula yang mengikis ke dalam pembuluh,
peritonitis, sepsis intra abdominal atau sistemik, pancreatitis, dan
obstruksi usus mekanis.
Cedera pada duodenum sendiri dapat disembuhkan dengan
anastomosis primer atau Billroth II. Selang duodenostomi mungkin
dipasang untuk dekompresi dan selang jejunustomi untuk
pemberian makanan. Trauma tumpul pada duodenum juga dapat
menyebabkan hematoma intramural, yang dapat mengarah pada
obstruksi duodenal. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan
diatrizoate (Gastrografin) gastrointestinal atas.
c. Cedera pada kolon
Cedera pada kolon biasanya berkaitan dengan trauma
penetrasi. Sifat dari cedera paling sering menuntut segera
dilakukannya operasi eksplorasi. Perbaikan primer adalah tindakan
pilihan untuk laserasi kolon. Pada beberapa keadaan, perlu
dilakukan perbaikan eksterior atau kolostomi. Selang sekostomi
bisa dipasang untuk dekompresi. Jaringan subkutan dan kulit pada
tempat insisi mungkin dibiarkan terbuka untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya infeksi luka. Kolon mempunyai jumlah
bakteri yang tinggi, tumpahnya isi kolon dapat mencetuskan
terjadinya sepsis intra abdominal dan pembentukan abses.
Asuhan keperawatan pasca operasi difokuskan pada
pencegahan infeksi. Penggantian balutan penting untuk insisi
terbuka dan biasanya diberikan antibiotic profilaktik. Pada kasus
perbaikan kolon eksterior dan dilakukan anastomosis ujung ke
ujung eksterior untuk memudahkan identifikasi kebocoran. Kolon
eksterior harus dijaga agar tetap lembab dan ditutup dengan balutan
yang tidak melekat atau kantung untuk melindungi integritas
jahitan. Karena sepsis adalah komplikasi utama pada cedera kolon,
mungkin diperlukan serangkaian prosedur radiografi dan
pembedahan untuk menemukan dan mengalirkan abses.

d. Cedera pada hepar

Setelah limpa, hepar adalah organ abdomen yang paling


umum mengalami cedera. Baik trauma tumpul maupun trauma
penetrasi dapat menyebabkan cedera. Pasien dalam persentase yang
kecil dapat ditangani non operasi dengan serangkaian CT scan.
Pada banyak kasus, baik sifat dari cedera atau LPD positif atau CT
scan digabung dengan kondisi klinis pasien akan menuntut
dilakukannya pembedahan. Trauma hepatic dapat menyebabkan
kehilangan banyak darah ke dalam peritoneum, namun perdarahan
dapat berhenti secara spontan. Laserasi kecil dperbaiki, sedangkan
cedera lebih besar dapat memerlukan reseksi segmental atau
debridement. Pada kasus hemoragi tak terkontrol, hepar dibungkus.
Setelah dibungkus, abdomen ditutup atau hanya ditutup dengan
penutup (mesh). Prosedur pembedahan tambahan diperlukan dalam
beberapa hari kemudian untuk mengangkat pembungkus dan
memperbaiki laserasi. Cedera besar pada hepar juga memerlukan
drainase empedu dan darah pasca operasi melalui drain (Penrose,
Davol, atau Jackso-Pratt).

Setelah pembedahan, mungkin timbul syok hipovolemik dan


koagulapati. Hemostatis inkomplit juga mungkin terjadi dan harus
dibedakan dari perdarahan akibat koagulopati. Perdarahan hebat
karena hemostatis inkomplit mengharuskan kembali ke ruang
operasi untuk pengangkatan bekuan, pembungkusan, dan perbaikan
tambahan. Dengan koagulopati, perdarahan timbul dari berbagai
tempat, sedangkan dengan hemostatis inkomplit perdarahan
terutama berasal dari tempat pembedahan. Asuhan keperawatan
termasuk penggantian produk darah sambil memantau hematokrit
dan pemeriksaan koagulasi. Pengkajian tipe dan jumlah selang
drainase disertai keseimbangan cairan, juga adalah penting.
Potensial komplikasi dari cedera hepar termasuk abses hepatic atau
perihepatik, obstruksi atau kebocoran saluran empedu, sepsis,
ARDS, dan KID.

Pada hari berikutnya, timbul tanda-tanda dan gejala-gejala


sepsis pada pasien, termasuk kenaikan suhu dan jumlah sel darah
putih, takikardia, takipnea, peningkatan curah jantung, penurunan
tahanan vascular sistemik, dan penurunan tingkat kesadaran.
Biakan diperoleh dan pemberian antibiotic dimulai. Kemudian
berkembang ARDS dan GGA, meningkatkan kebutuhan dukungan
ventilator dan hemodialisis.

Asuhan keperawatan intensif perlu untuk mengatasi gangguan


yang ada dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Dukungan
psikososial bagi pasien dan keluarganya juga diberikan. Setelah
prosedur pembedahan ketiga untuk debridement jaringan nekrotik
dan mengalirkan abses perihepatik, akhirnya pasien mulai
membaik. Beberapa minggu kemudian, dukungan dialysis dan
ventilator dihentikan. Dua bulan setelah masuk rumah sakit, pasien
keluar dari unit rawat intensif, dan tiga minggu kemudian
diperbolehkan pulang.
6. Trauma Pelvik
a. Cedera pada Kandung Kemih
Kandung kemih dapat mengalami laserasi atau pecah,
paling sering sebagai konsekuensi trauma tumpul. Cedera pada
kangdung kemih sering kali berhubungan dengan fraktur
pelvik.adanya hematuria ( nyata atau mikroskopik ), nyeri
abdomen bawah, atau tidak mampuan berkemih memerlukan
pemeriksaan terhadap cidera uretra dengan uretrogram retrograd
sebelum pemasangan kateter urine. Cidera pada kandung kemih
dapat mennyebabkan ekstravasasi urine intraperitonial atau
ekstraperitoneal. Ekstravasi ekstraperitoneal sering dapat
ditangani dengan drainase kateter urine . ektravasi
intraperitoneal, bagaimanapun memerlukan pembedahan.
Mungkin dipasang selang sistostomi suprapubik . komplikasi
jarang tejadi infeksi karena kateter urine atau sepsis akibat
ekstra vasasi urine.
b. Fraktur Pelvik

Fraktur pelvik yang kompleks berkaitan dengan mortalitas yang


tinggi. Hemoragi sekunder adalah penyebab yang paing sering
dari kematian dini, sedangkan sepsis menyebabkan penundaan
mortalitas. Radiografi dan scan CT dapat memastikan adanya
dan menentukan tingkat fraktur pelvik. Fraktur pelvik sering
sering menyebabkan laserasi pembuluh – pembuluh kecil yang
mengeluarkan darah ke dalam jaringan lunak pada rongga
retroperineal. Areal ini meluas dari difragma sampai ke
pertengahan paha dan akan menampung beberapa liter darah
sebelum terjadi tamponade. Angiogram sering kali diperlukan
untuk menemukan letak dan menyumbat sumber
darah.
Kontrol terhadap hemoragi merupakan pokok permasalahan
primer. PASG mungkin dipasang pada fase prarumah sakit atau
di unit gawat intensif. PASG dapat membantu membelat pelvis
dan tamponade hemoragi, karena PASG menurunkan volume
tidal, maka ada kemungkinan dibutuhkan bantuan ventilator
mekanik. Fiksasi internal atau eksternal adalah lebih efektif
dalam menstabilkan fraktur juga dalam mengontrol perdarahan.
selain itu, fiksasi dini mengurangi nyeri dan membantu ambulasi
lebih dini. Pembedahan untuk mengontrol hemoragi mungkin
juga diperlukan . Perhatian utama dari perawat unit
perawatan kritis adalah untuk mencegah syok hemoragi.
Tranfusi multiple dan pemantauan hemodinamik diperlukan
dalam kasus hemoragi yang signifikan. Hematoma pelvik dapat
menjadi sumberdari sepsis dan dapat memerlukan drainase
perkuata atau pembedahan. Komplikasi utama lain dari fraktur
pelvik termasuk keterlibatan saraf pelvik dan emboli pulmonal.
Penting untuk dilakukan terapi fisik yang berkepanjangan dan
rehabilitasi yang sering.
7. Trauma pada Ekstremitas
a. Fraktur

Fraktur sering terjadi pada trauma tumpul, kurang jarang pada


trauma penetrasi. Manakalah radiografi sudah memastikan
adanya fraktur, maka harus dilakukan stabilitas atau perbaikan
fraktur. Karena prosedur ortopedik akan memakan banyak
waktu,sehingga cidera lain yang mengancam jiwa harus terlebih
dahulu di atasi, dan operasi perbaikan dapat di tunda sampai
masalah itu teratasi. Fiksasi internal fraktur sering
memungkinkan ambulasi dini pada pasien dengan cidera
multiple yang mungkin akan mengalami komplikasi akibat tirah
baring berkepanjangan ( ulkus dekubitus, emboli pulmonal,
penyusutan otot). Penatalaksanaan fraktur juga dapat dikerjakan
dengan fiksasi eksternal atau traksi skeletal . fraktur terbuka
akan memerlukan debridemen dengan pembedahan. Tanggung
jawab keperawatan termasuk pengkajian neurovaskular, sejalan
dengan perawatan lika dan pin. Fraktur terbuka mempunyai
resiko tinggi terhadap infeksi. Potensial komplikasi lainnya
adalah emboli lemak dari fraktur tulang panjang dan sindom
kompartemen. Asuhan keperawatan harus di arahkan terhadap
pencegahan dan deteksi dini tentang masalah – masalah ini.
Perawat juga harus bekerja sama dengan terapis fisik untuk
meningkatkan kekuatan dan mobilisasi dini.
b. Dislokasi
Dislokasi menimbulkan rasa nyeri yang sangat hebat.
Dislokasi mudah dikenali karena adanya perubahan dari anatomi
yang normal. Dislokasi sendi umumnya tidak mengancam jiwa,
tapi memerlukan tindakan darurat karena apabila tidak
dilakukan tindakan secepatnya, akan menyebabkan gangguan
pada daerah distal yang mengalami dislokasi. Sangat sulit
diketahui apakah fraktur disertai dengan dilokasi atau tidak,
maka sangat penting untuk mengetahui denyut nadi, gerakan dan
gangguan persyarafan distal dari dislokasi. Kebanyakan
tindakan yang baik untuk klien adalah menyangga dan
meluruskan ekstremitas ke posisi yang lebih menyenangkan
untuk klien dan membawanya ke pelayanan kesehatan yang
terdapat fasilitas ortopedi yang baik.
8. Cedera vascular
Cedera vaskular seringkali mengakibatkan perdarahan
atau trombosis pembuluh. Cedera vaskular biasanya
disebabkan oleh trauma penetrasi, dan kurang sering karena
fraktur. Ultrasonografi doppler seing digunakan untuk
mendiagnosa cedera seringkali mengakibatkan perdarahan atau
trombosis pembuluh. perifer. Angiogram juga dapat digunakan
untuk menetukan tempat cedera dan mengidentifikasi fistula
arteriovenosa, psudoaneurisme, dan penutupan intima. Dilakukan
perbaikan pembedahan primer atau tandur vaskular. Segera setelah
periode pascaoperasi, terdapat resiko perdarahan berlanjut atau
oklusi trombotik dari pembuluh keduannya mengharuskan kembali
kekamar operasi. Perawat harus mengkaji nadi distal, warna kulit,
sensasi gerakan , dan suhu ekstrimitas yang cedera. Indeks ankel –
brakial (ABI) serinkali berguna dalam mendeteksi perkembangan
oklusi setelah trauma ekstrimitas bawah. Untuk meghitung nilai
ABI, tekanan darah sistolik pada pergelangan kaki di bagi dengan
tekanan darah sistolik lengan . penurunan ABI menunjukkan
peningkatan gradien tekanan yang menembus pembuluh.
G. Komplikasi pada Multi Trauma
1. Penyebab kematian dini ( dalam 72 jam )
a. Hemoragi dan cedera kepala
Hemoragi dan cedera kepala adalah penyebab utama kematian dini
setelah trauma multiple. Untuk mencegah kehabisan darah, maka
perdarahan harus dikendalikan. Ini dapat diselesaikan dengan operasi
ligasi ( pengikatan ) dan pembungkusan, dan embolisasi dengan
angiografi. Hemoragi berkelanjutan memerlukan tranfusi multiple,
sehingga meningkatkan kecenderungan terjadinya ARDS dan DIC.
Hemoragi berkepanjangan mengarah pada syok hipovolemik dan
akhirnya terjadi penurunan perfusi organ.
Mekanisme yang mengarah pada penurunan perfusi jaringan :

Faktor penyebab ( seperti , penurunan volume, pelepasan toksin )

Penurunan isi secukup


Penurunan curah jantung
Penurunan perfusi jaringan yang tidak sama
Berbagai organ memberikan respon yang berbeda terhadap
penurunan perfusi yang disebabkan oleh syok hipovolemik.

2. Penyebab Lambat Kematian ( Setelah 3 Hari ) :


a. Sepsis
Sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi pada trauma
multiple. Pelepasan toksin menyebabkan dilatasi pembuluh, yang
mengarah pada penggumpalan venosa yang mengakibatkan
penurunan arus balik vena. Pada mulannya, curah jantung
mengikat untuk mengimbangi penurunan tekanan vaskular
sistemik. Akhirnya, mekanisme kompensasi terlampaui dan curah
jantung menurun sejalan dengan tekanan darah dan perfusi.
Sumber infektif harus ditemukan dan di basmi. Diberikan
antibiotik, dilakukan pemeriksaan kultur, mulai dilakukan
pemeriksaan radiologok, operasi eksplorasi sering dilakukan.
Abses intra abdomen merupakan penyebab sepsis paling sering .
Sebagaian abses dapat keluarkan perkuatan, sedangkan yang
lainnya memerlukan pembedahan. Setelah pembedahan drainase
abses abdomen, insisi di biarkan terbuka, dengan drainase
terpasang, untuk memungkinkan penyembuhan dan menghindari
kekambuhan .sumber – sumber infeksi lainnya yang perlu
diperhatikan adalah selang invasif, saluran kemih, dan paru –
paru. Di perkirakan bahwa pemberian nutrisi yang dini dapat
menurunkan perkembangan sepsis dan gagal organ multipel.
H. Pemeriksaan Pada Multiple Trauma
1. Pemeriksaan Diagnostik
a. Trauma Tumpul
1) Diagnostik Peritoneal Lavage
DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan
yang bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya ,dan
dianggap 98 % sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal.
Harus dilaksanakan oleh team bedah untuk pasien dengan trauma
tumpul multiple dengan hemodinamik yang abnormal,terutama
bila dijumpai :
a) Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol,

kecanduan obat-obatan.
b) Perubahan sensasi trauma spinal.
c) Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis.
d) Pemeriksaan diagnostik tidak jelas.

e) Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam


waktu yang agak lama, pembiusan untuk cedera
extraabdominal, pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya
Angiografi.
f) Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan
kecurigaan trauma usus.
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik
normal nilai dijumpai hal seperti di atas dan disini tidak
memiliiki fasilitas USG ataupun CT Scan. Salah satu
kontraindikasi untuk DPL adalah adanya indikasi yang jelas
untuk laparatomi. Kontraindikasi relative antara lain adanya
operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity, shirrosis yang
lanjut, dan adanya koagulopati sebelumnya. Bisa dipakai
tekhnik terbuka atau tertutup (Seldinger) di infraumbilikal oleh
dokter yang terlatih. Pada pasien dengan fraktur pelvis atau ibu
hamil, lebih baik dilakukan supraumbilikal untuk mencegah
kita mengenai hematoma pelvisnya ataupun membahayakan
uterus yang membesar. Adanya aspirasi darah segar, isi
gastrointestinal, serat sayuran ataupun empedu yang keluar,
melalui tube DPL pada pasien dengan henodinamik yang
abnormal menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi. Bila
tidak ada darah segar (>10 cc) ataupun cairan feses ,dilakukan
lavase dengan 1000cc Ringer Laktat (pada anak-anak 10cc/kg).
Sesudah cairan tercampur dengan cara menekan maupun
melakukan rogg-oll, cairan ditampung kembali dan diperiksa
di laboratorium untuk melihat isi gastrointestinal ,serat maupun
empedu (American College of Surgeon Committee of
Trauma, 2004 : 149-150).
Test (+) pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah
makroskopis (gross) pada aspirasi awal, eritrosit > 100.000
mm3, leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+) untuk
bakteri, bakteri atau serat. Sedangkan bila DPL (+) pada
trauma tajam bila 10 ml atau lebih darah makroskopis (gross)
pada aspirasi awal,sel darah merah 5000/mm 3 atau lebih
(Scheets, 2002 : 279-280).

2) FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)

Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan


USG untuk mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan adanya
peralatan khusus di tangan mereka yang berpengalaman,
ultrasound memliki sensifitas, specifitas dan ketajaman untuk
meneteksi adanya cairan intraabdominal yang sebanding dengan
DPL dan CT abdomen Ultrasound memberikan cara yang tepat,
noninvansive, akurat dan murah untuk mendeteksi
hemoperitorium, dan dapat diulang kapanpun. Ultrasound dapat
digunakan sebagai alat diagnostik bedside dikamar resusitasi,
yang secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur
diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya
sama dengan indikasi Computed Tomography (CT).
Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ
yang mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga
bisa untuk mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang
sulit di diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL
(American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 :
151).

b. Trauma Tajam

1) Cedera thorax bagian bawah

Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada


diafragma dan struktur abdomen bagian atas diperlukan
pemeriksaan fisik maupun thorax foto berulang, thoracoskopi,
laparoskopi maupun pemeriksaan CT scan.

Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan


dengan DPL pada luka tusuk abdomen depan. Untuk pasien yang
relatif asimtomatik (kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi
pemeriksaan diagnostik yang tidak invasive adalah pemeriksaan
diagnostik serial dalam 24 jam, DPL maupun laroskopi
diagnostik.
2) Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double
atau triple contrast pada cedera flank maupun punggung. Untuk
pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain
pemeriksaan fisik serial, CT dengan double atau triple contrast,
maupun DPL. Dengan pemeriksaan diagnostic serial untuk pasien
yang mula-mula asimptomatik kemudian menjadi simtomatik,
kita peroleh ketajaman terutama dalam mendeteksi cedera
retroperinel maupun intraperineal untuk luka dibelakang linea
axillaries anterior (American College of Surgeon Committee of
Trauma, 2004 : 151).
2. Pemeriksaan penunjang
a. Radiologi
1) Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul.
2) Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax
AP dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan
multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang,
setengah tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat
adanya udara bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar
lumen diretroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi
petunjuk untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas
menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal
b. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam

Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak


memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas
umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan
hemodinamik yang abnormal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat
untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumothorax,
ataupun untuk dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal. Pada
pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka
masuk maupun keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan
jalannya peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen

foto abdomen tidur.


c. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah

itu sendiri
2) Penurunan hematokrit/hemoglobin
3) Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT
4) Koagulasi : PT,PTT
d. MRI
e. Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatic
f. CT Scan
g. Radiograf dada mengindikasikan peningkatan
diafragma,kemungkinan pneumothorax atau fraktur tulang rusuk
VIII-X.
h. Scan limfa
i. Ultrasonogram
j. Peningkatan serum atau amylase urine
k. Peningkatan glucose serum
l. Peningkatan lipase serum
m. DPL (+) untuk amylase
n. Peningkatan WBC
o. Peningkatan amylase serum
p. Elektrolit serum
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Multi trauma adalah keadaan yang di sebabkan oleh luka atau cedera
definisi ini memberikaan gambaran superficial dari respon fisik terhadap
cedera, trauma juga mempunyai dampak psikologis dan social. Trauma dapat
disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru. Akibat cedera ini
dapat menyebabkan cedera muskuloskeletal dan kerusakan organ. Trauma
terjadi dalam 3 fase : Fase pertama berlangsung beberapa jam setelah
terjadinya trauma. Dalam fase ini akan terjadi kembalinya volume sirkulasi,
perfusi jaringan, dan hiperglikemia. Pada fase kedua terjadi katabolisme
menyeluruh, dengan imbang nitrogen yang negative, hiperglikemia, dan
produksi panas. Pada fase ketiga terjadi anabolisme yaitu penumpukan
kembali protein dan lemak badan yang terjadi setelah kekurangan cairan dan
infeksi teratasi. Rasa nyeri hilang dan oksigenasi jaringan secar keseluruhan
sudahteratasi
DAFTAR PUSTAKA

Eliastam, Michael. 1998. Penuntun Kedaruratan Medis. Jakarta. EGC Kartikawati,


Dewi. 2012. Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat.

Jakarta : Salemba Medika

Hudak,Carolyn.1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik Edisi 6,Vol 2.

Jakarta : EGC
q. Cedera pada limpa
Limpa adalah organ abdomen yang paling umum
mengalami cedera, lebih sering sebagai akibat trauma tumpul.
Adanya fraktur iga kiri bawah dapat meningkatkan kecurigaan
terhadap cedera limpa. Tanda-tanda dan gejala-gejala yang
ditunjukkan termasuk dukungan nutrisi parenteral. Diberikan
transfuse darah berulang, namun hematokrit dan tekanan darah
sistolik tetap rendah (Ht = 20-25%, TDS = 90 mmHg).
Perdarahan internal berkelanjutan mengharuskan pasien kembali
ke ruang operasi untuk tindakan debridement dan
pembungkusan ulang hepar. Sampai hari berikutnya, perdarahan
berhasil diatasi. Pembungkus lalu dilepaskan, laserasi liver dapat
diperbaiki dan dipasang selang drain.
.

Anda mungkin juga menyukai