Anda di halaman 1dari 42

PENDAHULUAN

Trauma saat ini merupakan penyebab kematian paling sering di empat


dekade pertama kehidupan dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang utama di setiap negara. Data WHO (World Health Organization)
menyebutkan sebanyak 5,6 juta orang meninggal dan sekitar 1,3 juta orang
mengalami cacat fisik akibat kecelakaan lalu lintas di seluruh dunia selama
tahun 2011.1 Data dari Kepolisian Republik Indonesia tahun 2010 menyebutkan
pada tahun 2009 terjadi 57.726 kasus kecelakaan di jalan raya dengan korban
terbanyak berusia 15-55 tahun.2
Pasien yang mengalami kegawatdaruratan harus segera mendapatkan
penanganan secara tepat, cermat, dan cepat. Penanganan yang tidak tepat akan
menyebabkan terjadinya kematian atau kecacatan pada pasien. Angka kematian
pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) terutama di Negara berkembang masih
tinggi. Bahkan di Amerika Serikat, studi yang dilakukan Olsen menunjukkan
angka kematian pasien yang dirawat di IGD meningkat sampai 26% dalam kurun
waktu tahun 1998–2000. Penyebab kematian terbanyak di IGD antara lain
penyakit jantung, trauma, cerebrovascular attact (CVA), dan sepsis. Mortalitas
pasien yang dirawat di IGD dipengaruhi faktor usia, kondisi klinis pasien saat tiba
di IGD, dan manajemen terapi yang diberikan. Lama perawatan dan lama waktu
tunggu pasien sebelum dipindah ke ruang perawatan atau ke ICU dan ramainya
pasien yang dirawat di UGD dikaitkan juga dengan meningkatnya mortalitas
pasien IGD. Manajemen kegawatan yang tepat pada pasien yang dirawat di IGD
tidak hanya menurunkan mortalitas atau morbiditasnya tetapi dapat menurunkan
biaya perawatan dan lama perawatan di rumah sakit. Berbagai studi
menghasilkan evidence yang mendorong terjadinya perubahan mendasar pada
paradigma penanganan pasien gawat diantaranya adalah:
• Changes in monitoring from intermittent to continuous, invasive to less invasive
• From too much to just enough.
PEMBAHASAN

A. Definisi Trauma Murni atau Multipel


Multiple trauma adalah keadaan yang di sebabkan oleh luka atau cedera
definisi ini memberikaan gambaran superficial dari respon fisik terhadap cedera,
trauma juga mempunyai dampak psikologis dan sosial. Pada kenyataannya
trauma adalah kejadian yang bersifat holistic dan dapat menyebabkan
hilangnya produktif seseorang. Informasi tentang pola atau mekanisme
terjadinya cedera seringkali akan sangat terbantu dalam mendiagnosa
kemungkinan gangguan yang diakibatkan. Trauma tumpul terjadi pada
kecelakaan kendaraan bermotor (KKB) dan jatuh, sedangkan trauma tusuk
(penetrasi) seringkali diakibatkan oleh luka tembak atau luka tikam. Umumnya,
makin besar kecepatan yang terlibat dalam suatu kecelakaan, akan makin
besar cedera yang terjadi, misalnya : KKB kecelakaan tinggi, peluru dengan
kecepatan tinggi, jatuh dari tempat yang sangat tinggi. 4
Multipel Trauma atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih
kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya
bisa menyebabkan kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif,
psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional. Trauma kepala
paling banyak dicatat pada pasien politrauma dengan kombinasi dari kondisi
yang cacat seperti amputasi, kelainan pendengaran dan penglihatan, post-
traumatic stress syndrome dan kondisi kelainan jiwa yang lain (Veterans Health
Administration Transmittal Sheet).5

B. Etiologi
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru.
Luka tusuk dan luka tembak pada suatu rongga dapat di kelompokan dalam
kategori luka tembus. Untuk mengetahui bagian tubuh yang terkena,organ apa
yang cedera ,dan bagaimana derajat kerusakannya, perlu diketahui biomekanik
terutama cedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar berupa
benturan, perlambatan (deselerasi), dan kompresi, baik oleh benda tajam ,
benda tumpul, peluru, ledakan, panas, maupun zat kimia. Akibat cedera ini
dapat menyebabkan cedera muskuloskeletal dan kerusakan organ.6

C. Macam-macam Multiple Trauma


1. Trauma servikal, batang otak dan tulang belakang
Trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang tinggi
serta pada aktivitas olahraga yang berbahaya boleh menyebabkan cedera pada
beberapa bagian ini. Antara kemungkinan kecederaan yang bisa timbul adalah
seperti berikut:6
• Kerusakan pada tulang servikal C1-C7; cedera pada C3 bisa
menyebabkan pasien apnea. Cedera dari C4-C6 bisa menyebabkan
pasien kuadriplegi, paralisis hipotonus tungkai atas dan bawah serta
syok batang otak.
• Fraktur Hangman terjadi apabila terdapat fraktur hiperekstensi yang
bilateral pada tapak tulang servikal C2.
• Tulang belakang torak dan lumbar bisa diakibatkan oleh cedera
kompresi dan cedera dislokasi.
• Spondilosis servikal juga dapat terjadi.
• Cedera ekstensi yaitu cedera ‘Whiplash’ terjadi apabila berlaku
ekstensi pada tulang servikal.

2. Trauma toraks
Trauma toraks bisa terbagi kepada dua yaitu cedera dinding
toraks dan cedera paru.
a) Cedera dinding torak seperti berikut:
• Patah tulang rusuk.
• Cedera pada sternum atau ‘steering wheel’.
• Flail chest.
• Open ‘sucking’ pneumothorax.
b) Cedera pada paru adalah seperti berikut:
• Pneumotoraks.
• hematorak.
• Subcutaneous(SQ) dan mediastinal emphysema.
• Kontusio pulmonal.
• Hematom pulmonal.
• Emboli paru.
3. Trauma abdominal
Trauma abdominal terjadi apabila berlaku cedera pada bagian
organ dalam dan bagian luar abdominal yaitu seperti berikut:
• Kecederaan yang bisa berlaku pada kuadran kanan abdomen adalah
seperti cedera pada organ hati, pundi empedu, traktus biliar,
duodenum dan ginjal kanan.
• Kecederaan yang bisa berlaku pada kuadran kiri abdomen adalah
seperti cedera pada organ limpa, lambung dan ginjal kiri.
• Kecederaan pada kuadran bawah abdomen adalah cedera pada
salur ureter, salur uretral anterior dan posterior, kolon dan rektum.
• Kecederaan juga bisa terjadi pada organ genital yang terbagi dua
yaitu cedera penis dan skrotum.
4. Tungkai atas
Trauma tungkai atas adalah apabila berlaku benturan hingga
menyebabkan cedera dan putus ekstrimitas. Cedera bisa terjadi dari
tulang bahu, lengan atas, siku, lengan bawah, pergelangan tangan,
jari-jari tangan serta ibu jari.
5. Tungkai bawah
Kecederaan yang paling sering adalah fraktur tulang pelvik.
Cedera pada bagian lain ekstrimitas bawah seperti patah tulang femur,
lutut atau patella, ke arah distal lagi yaitu fraktur tibia, fraktur fibula,
tumit dan telapak kaki.

D. Patofisiologi
Respon metabolik pada trauma dapat dibagi dalam tiga fase :
1. Fase pertama berlangsung beberapa jam setelah terjadinya trauma.
Dalam fase ini akan terjadi kembalinya volume sirkulasi, perfusi
jaringan, dan hiperglikemia.
2. Pada fase kedua terjadi katabolisme menyeluruh, dengan imbang
nitrogen yang negative, hiperglikemia, dan produksi panas. Fase ini
yang terjadi setelah tercapainya perfusi jaringan dengan baik dapat
berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa minggu,
tergantung beratnya trauma, keadaan kesehatan sebelum terjadi
trauma, dan tindakan pertolongan medisnya.
3. Pada fase ketiga terjadi anabolisme yaitu penumpukan kembali
protein dan lemak badan yang terjadi setelah kekurangan cairan
dan infeksi teratasi. Rasa nyeri hilang dan oksigenasi jaringan
secara keseluruhan sudah teratasi. Fase ini merupakan proses
yang lama tetapi progresif dan biasanya lebih lama dari fase
katabolisme karena sintesis protein hanya bisa mencapai 35 gr
/hari.

E. Manifestasi klinis6
1. Laserasi, memar,ekimosis
2. Hipotensi
3. Tidak adanya bising usus
4. Hemoperitoneum
5. Mual dan muntah
6. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh
darah,
biasanya pada arteri karotis)
7. Nyeri
8. Pendarahan
9. Penurunan kesadaran
10. Sesak
11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh
perdarahan
limfa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan
peritoneal
13. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang )
pada
perdarahan retroperitoneal
14. Tanda Coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau
labia pada
fraktur pelvis
15. Tanda Balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada
kuadran kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe

F. Klasifikasi Trauma
Klasifikasi dari multiple trauma adalah sebagai berikut : 7
1. Trauma Tumpul
Pada kecelakaan kendaraan mobil, badan kendaraan
memberikan sebagian perlindungan dan menyerap energi dari
hasil benturan tabrakan. Pengendara atau penumpang yang tidak
menggunakan sabuk pengman, bagaimanapun akan terlempar
dari mobil dan dampaknya mendapat cedera tambahan.
Pengendara sepeda motor mempunyai perlindungan
yang minimal dan seringkali akan menderita cedera yang lebih
parah
apabila terlempar dari motor.
Perlambatan yang cepat selama KKB atau jatuh dapat
menyebabkan kekuatan yang terputus yang dapat merobek
struktur tertentu. Organ-organ yang berdenyut seperti jantung
dapat terlepas dari pembuluh besar yang menahannya. Demikian
juga organ-organ abdomen
(limpa, ginjal, usus) akan terlepas dari mesenteri.
Tipe kedua trauma tumpul termasuk kompresi yang
disebabkan oleh kekuatan tabrakan berat. Pada kasus demikian,
jantung dapat terhimpit diantara sternum dan tulang belakang.
Hepar, limpa, dan pancreas juga sering tertekan terhadap tulang
belakang. Cedera karena benturan seringkali menyebabkan
kerusakan internal dengan sedikit
tanda-tanda trauma eksternal.
Tipe kerusakan pada kendaraan seringkali memberikan
petunjuk- petunjuk cedera spesifik yang diderita pada KKB. Stir
atau kemudi kendaraan yang bengkok atau rusak memperbesar
dugaaan akan kemungkinan cedera pada dada, iga, jantung,
trakea, tulang belakang atau abdomen. Trauma kepala dan wajah,
cedera tulang belakang servikal dan cedera trakeal sering
berkaitan dengan kerusakan pada kaca depan mobil atau
dashboard. Benturan lateral dapat menyebabkan patah iga, luka
dada penetrasi akibat pegangan pintu atau jendela, cedera limpa
atau hepar dan fraktur pelvis.

2. Trauma Penetrasi
Luka tembak berkaitan dengan derajat kerusakan yang lebih
tinggi dari luka-luka tikaman. Peluru dapat menyebakan lubang di
sekitar jaringan dan dapat terpecah atau merubah arah dalam
tubuh, mengakibatkan peningkatan cedera. Perdarahan internal,
perforasi organ,
dan fraktur kesemuanya dapat disebabkan oleh cedera penetrasi.
3. Trauma Torakik
Kurang lebih 25% dari kematian karena trauma adalah
karena cedera torakik. Banyak cedera toraks yang secara
potensial mengancam jiwa, misalnya tension atau pneumotoraks
terbuka, hemotoraks massif, iga melayang (flail chest) dan
tamponade jantung, dapat ditangani secara
cepat dan mudah, seringkali tanpa operasi besar. Jika tidak
ditangani,
maka akan mengancam jiwa. Cedera pada paru dan iga :
a. Pneumotoraks dan hematoraks
Trauma tumpul dan penetrasi dapat menyebabkan
pneumotoraks dan hemotoraks. Seringkali satu-satunya
tindakan yang diperlukan adalah pemasangan selang dada.
Hemotoraks massif (>1.500ml pada awalnya atau
>100-200ml/jam) akan memerlukan torakotomi, sedangkan
selang dada untuk mengembangkan kembali paru-paru
seringkali sudah memadai tamponade dengan sumber
perdarahan yang lebih kecil. Intervensi pembedahan juga
mungkin diperlukan dalam kasus pneumotoraks terbuka atau
kebocoran udara yang tidak
terkontrol.
Pasien dengan cedera paru mempunyai resiko lebih besar
untuk mengalami komplikasi pulmonal seperti atlektaksis,
pneumonia, dan empiema. Selang dada harus dikaji patensi
dan fungsinya serta dokter harus diberitahu jika drainase
menjadi berlebihan. Untuk kehilangan darah dalam jumlah
besar dari selang dada, mungkin harus dilakukan
ototranfusi.
b. Iga melayang
Iga melayang terjadi bila trauma tumpul menyebabkan
fraktur multiple iga, menyebabkan ketidakstabialan dinding
dada. Iga melayang berkaitan dengan pneumotoraks,
hemotoraks kontusio pulmonal, kontusio miokardial. Tujuan
utama dari perawatan terhadap tulang iga mengambang adalah
untuk meningkatkan ventilasi yang adekuat. Jika status
pernapasan terganggu atau diperlukan operasi untuk cedera
terjadi, maka ada indikasi pemasangan intubasi dan ventilasi
mekanis. Mungkin juga digunakan tekanan akhir ekspirasi
positif (PEEP). Pada kejadian yang langka, mungkin dilakukan
stabilisasi operatif dengan kawat dan staples. Fraktur iga tidak
pernah dibalut karena hal ini nantinya hanya akan mengurangi
fungsi
pulmonal.
Fraktur iga sering berkaitan dengan nyeri hebat. Control
nyeri yang adekuat dapat meningkatkan ekspansi paru tanpa
memerlukan ventilasi mekanis jangka panjang. Sering diberikan
analgesi
parenteral, intramuscular, atau analgesia yang dikontrol pasien.
Analgesic sistemik tidak cukup kuat untuk menghilangkan nyeri
iga melayang, sehingga membutuhkan metode lain untuk
meringankan
nyeri seperti blok interkosta atau analgesia epidural.
Hipoventilasi akibat nyeri meningkatkan resiko terhadap
komplikasi pernapasan, termasuk atlektaksis dan pneumonia.
Berbagai intervensi untuk memperbaiki fungsi pernapasan
dapat dilaksanakan termasuk batuk dan napas dalam,
spirometrik, drainase, dan chapping, mukolitik, bronkodilator,
pernapasan tekanan positif intermitten (PTPI), suksion
endotrakeal dan nasotrakeal, bronkoskopi terapeutik.
Serangkaian pengkajian pulmonal, termasuk sinar x-dada, gas-
gas arterial darah, pemeriksaan fisik, dan kadang-kadang
pemantauan
dengan oksimetrik adalah penting.
c. Kontusio pulmonal
Kontusio pulmonal adalah memar pada parenkim paru,
seringkali akibat trauma tumpul. Gangguan ini dapat tidak
terdiagnosa pada foto dada awal. Bagaimanapun adanya
fraktur iga atau iga melayang harus mengarah pada dugaan
kemungkinan adanya kontusio pulmonal. Kontusio pulmonal
terjadi bila perlambatan cepat memecahkan dinding sel kapiler,
menyebabkan hemoragi dan ekstravasasi plasma dan protein
ke dalam alveolar dan spasium interstisial. Hal ini
mengakibatkan atlektaksis dan konsolidasi, mengarah pada
pengalihan (shunting) intrapulmonal dan hipoksemia. Tanda-
tanda dan gejala- gejalanya termasuk dispnea, rales,
hemoptisis, takipnea. Kontusio yang hebat juga akan
mengakibatkan peningkatan tekanan puncak jalan udara,
hipoksemia, dan asidosis respiratorik. Kontusio pulmonal mirip
dengan ARDS dimana keduanya berespon sangat terburuk
terhadap fraksi inspirasi oksigen yang tinggi (FiO2).

Perbedaan antara kontusio pulmonal dan ARDS

Kontusio ARDS
pulmonal
Awitan Awitan gagal pernapasan
gagal mendadak
pernapas
an
bertahap
Perubahan- Perubahan-perubahan
perubahan gambaran radiografi
gambaran seringkali tertunda 2-3 hari
radiografi setelah timbul gejala- gejala.
dapat
segera
terlihat
Infiltrat Infiltrat menyebar
setempat
Dapat Dapat mengarah pada
mengarah fibrosis pulmonal
pada kronis
terbentukn
ya rongga

dan
abses
Pasien dengan kontusio ringan memerlukan pengamanan
ketat. Perlu dilakukan pengukuran gas darah arterial (GDA)
atau oksimetri nadi. Fisioterapi dada dan analgesia epidural
kontinu juga akan sangat bermanfaat. Kontusion pulmonal yang
parah akan memerlukan dukungan ventilator dengan TAEP.
Kateter arteri oksimetrik pulmonal ( oximetri Swans-Ganz) dan
biasanya aliran arteri untuk membantu memantau GDA,
hemodinamik dan parameter respiratori (pengiriman oksigen,
pirau intrapulmonal).
Meskipun ventilasi alveolar membaik dengan penambahan
TAEP, aliran darah ke alveoli dapat berkurang, mengarah pada
pirau intrapulmonal. Untuk mengoptimalkan perfusi jaringan dan
oksigenasi, setiap pergantian pada TAEP membutuhkan status
pirau, pengiriman oksigen, dan indicator lain perfusi jaringan
(curah jantung, tekanan darah, haluaran urine). Pernapasan
yang parah, peningkatan atau paralisis dapat menjadi tanda
untuk menurunkan pemakaian energi dan kebutuhan oksigen.
Tempat tidur berrotasi seperti Roto- Rest (Kinetic Concepts,
Ins., San Antonio, TX) juga harus dipertimbangkan.
Penggunaan ventilasi jet frekuensi tinggi untuk tipe cidera
seperti ini masih merupakan suatu kontroversi. Kontusio
unilateral berat dapat ditangani dengan ventilasi paru
independen
simultan dan membaringkan posisi pasien dengan bagian
cidera di sebelah atas.
Penatalaksanaan cairan juga penting. Masukkan dan
pengeluaran, berat badan setiap hari, tekanan vena central,
tekana kapiler pulmonal harus dipantau. Konsentrasi medikasi
mungkin diperlukan untuk mengurangi masukan yang
berlebihan, dan diuretik akan diperlukan secara periodik.
Pembatasan ketat cairan tidak dianjurkan. Sebaliknya,
keseimbangan cairan harus dipertahankan pada tingkat
mendekati normal untuk mendukung curah jantungdan
pengiriman oksigen. Karena paru yang basah dan mengalami
kontusio mengalami kemampuan untuk membersihkan bakteri,
mungkin diberikan antibiotik profilaktik. Steroid profilaktik dan
pemberian protein tetap menjadi suatu hal yang kontroversial.
Pneumonia dan gangguan ARDS adalah komplikasi yang
umum.

d. Cedera Trakeobronkial
Cedera pada trakea atau bronki dapat disebabkan oleh
trauma tumpul atau penetrasi dan seringkali disertai dengan
kerusakan pada esofagus dan vaskuler. Ruptur bronki sering
terjadi berkaitan dengan fraktur iga bagian atas atau
pneumotoraks. Cedera trakeobronkial yang parah mempunyai
angka kematian yang tinggi, bagaimana pun dengan bertambah
baiknya perawatan dan transportasi prarumah sakit akhir-akhir
ini, maka makin banyak pasien ini yang bertahan hidup. Cidera
jalan udara seringkali tidak tersamar. Tanda-tandanya termasuk
dispnea (adakalanya satu-satunya tanda), hemoptasis, batuk,
dan emfisema subkutan. Berdasarkan sinar-x dada dapat
memberikan tanda pada dokter terhadap kemungkinan adanya
cedera, bagaimanapun biasanya diagnosa dibuat dengan
bronkoskopi atau selama operasi. Perbaikan operasi dengan
ventilasi mekanis pascaoperasi melalui selang endotrakeal atau
trakeostomi akan diperlukan.
Selama beberapa hari pertama, dokter akan melakukan
bronkoskopi untuk melihat tempat yang diperbaiki serta untuk
memberikan suction yang lebih efektif. Pneumonia adalah
komplikasi
jangka pendek, sedangkan stenosis trakeal dapat terjadi
kemudian.
4. Cedera pada Jantung
a. Kontusio Miokard
Memar pada miokardium kebanyakan disebabkan oleh
benturan dada pada batang stir atau dashboard selama KKB.
Perlambatan cepat mengakibatkan jantung yang berdenyut
akan menbentur dinding dada anterior. Ventrikel kanan,
karena letaknya di sebelah anterior, adalah yang paling sering
terkena. Kontusio juga dapat terjadi apabila jantung terdesak
diantara sternum dan tulang belakang. Gejala-gejala kontusio
jarang bervariasi dari tidak ada gejala (umum) sampai pada
gagal jantung kongestif yang berat dan syok kardiogenik.
Setelah trauma, keluhan-keluhan tentang nyeri dada harus di
evaluasi dengan cermat. Perubahan-perubahan ECG
nonspesifik sering terlihat dan dapat mencakup setiap tipe
disritmia. sinus takikardi, kontraksi atrial ventrikular prematur,
takikardia supraventrikular paroksimal, blok berkas his kanan,
atau perubahan- perubahan gelombang ST dan T adalah hal
yang paling umum. Secara histologi, kontusio jantung mirip
dengan infark miokardial. Diagnosa bisa sulit ditegakkan.
Untuk menegakkannya dilakukan serangkaiaan pemeriksaan
EKG dan serangkaian pengukuran kreatin kinase isoenzim
miokardial, namun pemeriksaan ini tidak 100% sensitif. Ada
dokter yang menginstruksi pemeriksan ekokardiogram dua
dimensi untuk memeriksa komplikasi-komplikasi dan tingkat
cedera manakala kontusio sudah dipastikan terjadi.
Pemantauan dengan ketat diperlukan sampai kontusio
miokardial telah disingkirkan. Yang lebih umum dari kontusio
miokardial yang sudah dipastikan adalah cedera tipe
“konkusio” (gegar) yang dapat pilih. Tanda-tanda dan gejala-
gejala yang bersifat temporer akan terlihat tanpa adanya
perubahan dalam isoenzim. Selama diagnosanya belum jelas,
oksigenasi, hemodinamik, dan toleransi aktivitas harus
diamati dengan cermat. Jika timbul takikardia, maka
penyebab-penyebab alternatif seperti nyeri, penipisan volume
herus menjadi pertimbangan. Manakala kontusio sudah
dipastikan, maka tindakan yang dilakukan serupa dengan
untuk infark miokardial
akut.
b. Cedera Penetrasi jantung
Cedera penetrasi pada jantung mengakibatkan kematian
korban prarumah sakit sekitar 60% sampai 90% dari kasus.
Pada 10% sisanya, hemoragi dan syok adalah yang umum
terlihat. Luka tikam kecil yang mengenai ventrikel ada kalanya
menutup sendiri karena tebalnya muskulatur ventrikular. Pada
kondisi dimana terjadi hemoragi terus menerus, volume yang
hilang harus diganti, dan operasi perbaikan diperlukan. Pada
kasus-kasus parah, torakotomi departemen gawat darurat
mungkin harus dilakukan sebagai tindakan
untuk menyelamatkan jiwa.
Setelah operasi perbaikan, kateter arteri pulmonal dn
selang arterial dipasang untuk memudahkan pemantauan
hemodinamik dengan cermat. Vasopresor atau agen-agen
inotropik mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan
darah dan curah jantung yang adekuat. Keseimbangan cairan
dan elektrolit, sejalan dengan irama jantung, harus dipantau
dengan seksama. Bunyi jantung harus dikaji terhadap
murmur, yang menandakan kelainan katup atau septum, dan
sebagai tanda-tanda gagal jantung kongestif. Drainase selang
dada dan mediastinal harus sering dicatat. Berikan plasma
beku segar dan platelet, sesuai instruksi, untuk memperbaiki
koagulopati. Komplikasi termasuk hemoragi berlanjut dan
sindrom
poskardiotomi.
5. Trauma Abdomen
Rongga abdomen memuat baik organ yang padat maupun
yang berongga. Trauma tumpul kemungkinan besar
menyebabkan kerusakan yang serius organ-organ padat dan
trauma penetrasi sebagian besar melukai organ-organ
berongga. Kompresi dan perlambatan dari trauma tumpul
menyebabkan fraktur pada kapsula dan parenkim organ
padat, sementara organ berongga dapat kolaps dan menyerap
energi benturan. Bagaimana pun usus yang
menempati sebagian besar rongga abdomen, rentan untuk
mengalami oleh trauma penetrasi. Secara umum, organ-organ
padat berespons terhadap trauma dengan perdarahan. Organ-
organ berongga pecah dan mengeluarkan isinya dan ke dalam
rongga peritoneal,
menyebabkan peradangan dan infeksi.
Diagnosis dini adalah penting pada trauma abdomen.
Pasien yang memperlihatkan adanya cedera abdomen
penetrasi fasia dalam peritoneal, ketidakstabilan
hemodinamik, atau tanda-tanda dan gejala-gejala abdomen
akut dilakukan eksplorasi dengan pembedahan. Pada
kebanyakan kasus trauma abdomen lainnya, dilakukan lavase
peritoneal diagnostic (LPD). LPD yang positif juga
mengharuskan dilakukan eksplorasi pembedahan.
Baik LPD ataupun CT scan adalah 100% diagnostic,
sehingga pasien-pasien trauma dengan hasil negative harus
diobservasi. Dilakukan serangkaian pengukuran tingkat
hematokrit dan amylase. Pengobatan nyeri mungkin ditunda
sehingga tidak mengaburkan tanda-tanda dan gejala-gejala
yang potensial. Masukan per oral juga ditunda untuk berjaga-
jaga jika dilakukan pembedahan. Pasien dikaji untuk
mendapatkan tanda-tanda abdomen akut, seperti distensi,
rigiditas, guarding, dan nyeri lepas. Eksplorasi pembedahan
menjadi perlu dengan adanya awitan setiap tanda-tanda dan
gejala-gejala yang mengindikasikan cedera. Penggunaan CT
abdomen telah memperoleh popularitas dan sering digunakan
atau sebagai tambahan pada LPD. Cedera retroperitoneal,
seringkali terlewatkan dengan LPD dan bahkan dengan
pembedahan eksplorasi, sering dapat diidentifikasi dengan CT
scan. Namun CT scan tidak dapat terlalu diandalkan dalam
mendeteksi cedera pada organ-organ
berongga.
a. Cedera pada lambung dan usus halus
Cedera lambung yang signifikan jarang ditemui,
namun usus halus lebih umum mengalami cedera.
Meskipun sering mengalami kerusakan oleh trauma
penetrasi, trauma tumpul juga dapat menyebabkan usus
halus memar. Konvolusi multiple adakalanya membentuk
loop tertutup yang dapat menjadi
sasaran pecah karena meningkatnya tekanan dari
benturan dengan kemudi atau sabuk pengaman. Mobilitas
usus di sekitar titik tetap (seperti ligamentum treitz)
mencetuskan terjadinya
cedera dengan adanya perlambatan.
Cedera tumpul usus halus atau lambung dapat terlihat
dengan adanya darah pada aspirasi nasogastrik atau
hematemesis. Namun sering tidak terdapat tanda-tanda
fisik dan diagnosis tidak dapat ditegakkan sampai timbul
peritonitis. Cedera penetrasi biasanya menyebabkan LPD
positif. Meskipun kontusio usus ringan dapat diatasi
secara konservatif (dekompresi lambung dan menunda
masukan per oral), pembedahan biasanya diperlukan
untuk memperbaiki luka-luka
penetrasi.
Dekompresi pasca operasi, baik dengan selang
nasogastrik atau selang lambung, dipertahankan sampai
fungsi usus pulih. Pada kebanyakan kasus selang makan,
jejunustomi dipasang sebelah distal dari tempat yang
diperbaiki. NGT dapat dipasangkan segera pasca operasi.
Dengan ditingkatkannya konsentrasi dan frekuensi
pemberian makan secara bertahap, maka pengkajian
secara berkala terhadap tanda-tanda intolerans (distensi,
muntah) adalah penting. Karena lambung dan usus halus
mengandung jumlah bakteri yang signifikan, maka resiko
terhadap sepsis adalah kecil, namun pemberian antibiotic
profilaktik dapat dilakukan kapan saja terjadi perforasi
usus. Pada sisi lain, getah asam lambung mengiritasi
peritoneum dan dapat menyebabkan peritonitis. Potensial
komplikasi lainnya termasuk perdarahan pasca operasi,
hipovolemia karena “spasium ketiga”, serta timbulnya
fistula atau obstruksi. Beberapa dari keadaan ini
mengharuskan adanya tindakan pembedahan tambahan.
Sindrom malabsorpsi jarang terjadi
kecuali jika lebih dari 200 cm usus telah diangkat.
b. Cedera pada duodenum dan pancreas
Pancreas dan duodenum akan dibahas bersama-
sama karena keduanya adalah organ-organ
retroperitoneal dan secara anatomi
dan fisiologi mempunyai hubungan yang dekat. Diperlukan
kekuatan yang besar untuk mencerai organ-organ ini,
karena organ-organ ini terlindung dengan baik, jauh di
dalam abdomen. Cedera pada organ yang berdekatan
hampir selalu ada. Letak retroperitoneal membuat cedera
ini sulit untuk didiagnosa karena LPD sering negative, oleh
karena itu CT scan abdomen sangat penting untuk
keadaan ini. Tanda-tanda dan gejala-gejala dapat
mencakup abdomen akut, peningkatan kadar amylase
serum, nyeri epigastrik yang menjalar ke punggung,
mual, dan
muntah.
Laserasi minor atau kontusio hanya akan memerlukan
pemasangan drain, sedangkan luka-luka besar
memerlukan perbaikan pembedahan. Kebanyakan cedera
pankreatik akan membutuhkan drain pasca operasi untuk
menghindari pembentukan fistula. Pankreatektomi distal
atau anstomosis Roux-en-Y adalah dua prosedur yang
umum dilakukan pada cedera tubuh dan bagian ekor
pancreas. Adakalanya limpa juga harus diangkat karena
banyaknya perlekatan vascular. Kerusakan pada kaput
pancreas berkaitan dengan cedera duodenal dan
hemoragi hebat karena kedekatan dari struktur vascular.
Prosedur pembedahan yang dilakukan pada kasus- kasus
ini termasuk pankreotikoduodenektomi, anastomosis
ROUX-en-Y, dan pada keadaan yang langka dilakukan
pankreatektomi total.
Pengkajian dan asuhan keperawatan pasca operasi
adalah sama untuk berbagai prosedur. Patensi drain
harus dipertahankan dan pasien dipantau terhadap
timbulnya fistula. Perlindungan terhadap kulit adalah
penting jika fistula sudah terbentuk, karena tingginya
kandungan enzim dari getah pankreatin. Pengkajian
keseimbangan cairan dan elektrolit adalah penting karena
fistula pankreatik mengakibatkan kehilangan cairan juga
kalium dan bikarbonat. Stimulasi pancreas dapat dikurangi
dengan pemberian hiteralimentasi
parental atau pemberian makanan jejuna daripada diet
oral. Awitan diabetes mellitus jarang terjadi kecuali jika
dilakukan pankreatektomi total. Komplikasi lainnya
termasuk perdarahan dari fistula yang mengikis ke dalam
pembuluh, peritonitis, sepsis intra abdominal atau
sistemik, pancreatitis, dan obstruksi
usus mekanis.
Cedera pada duodenum sendiri dapat disembuhkan
dengan anastomosis primer atau Billroth II. Selang
duodenostomi mungkin dipasang untuk dekompresi dan
selang jejunustomi untuk pemberian makanan. Trauma
tumpul pada duodenum juga dapat menyebabkan
hematoma intramural, yang dapat mengarah pada
obstruksi duodenal. Diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan diatrizoate (Gastrografin) gastrointestinal
atas. Obstruksi menyeluruh umumnya memerlukan
drainase
pembedahan dari hematoma.
c. Cedera pada kolon
Cedera pada kolon biasanya berkaitan dengan
trauma penetrasi. Sifat dari cedera paling sering menuntut
segera dilakukannya operasi eksplorasi. Perbaikan primer
adalah tindakan pilihan untuk laserasi kolon. Pada
beberapa keadaan, perlu dilakukan perbaikan eksterior
atau kolostomi. Selang sekostomi bisa dipasang untuk
dekompresi. Jaringan subkutan dan kulit pada tempat
insisi mungkin dibiarkan terbuka untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya infeksi luka. Kolon mempunyai
jumlah bakteri yang tinggi, tumpahnya isi kolon dapat
mencetuskan terjadinya sepsis intra abdominal dan
pembentukan abses.
Penggantian balutan penting untuk insisi terbuka dan
biasanya diberikan antibiotic profilaktik. Pada kasus
perbaikan kolon eksterior dan dilakukan anastomosis
ujung ke ujung eksterior untuk memudahkan identifikasi
kebocoran. Kolon eksterior harus dijaga agar tetap lembab
dan ditutup dengan balutan yang tidak melekat atau
kantung untuk melindungi integritas jahitan. Karena sepsis
adalah komplikasi utama pada
cedera kolon, mungkin diperlukan serangkaian prosedur
radiografi dan pembedahan untuk menemukan dan
mengalirkan abses.

d. Cedera pada hepar


Setelah limpa, hepar adalah organ abdomen yang
paling umum mengalami cedera. Baik trauma tumpul
maupun trauma penetrasi dapat menyebabkan cedera.
Pasien dalam persentase yang kecil dapat ditangani non
operasi dengan serangkaian CT scan. Pada banyak
kasus, baik sifat dari cedera atau LPD positif atau CT scan
digabung dengan kondisi klinis pasien akan menuntut
dilakukannya pembedahan. Trauma hepatic dapat
menyebabkan kehilangan banyak darah ke dalam
peritoneum, namun perdarahan dapat berhenti secara
spontan. Laserasi kecil dperbaiki, sedangkan cedera lebih
besar dapat memerlukan reseksi segmental atau
debridement. Pada kasus hemoragi tak terkontrol, hepar
dibungkus. Setelah dibungkus, abdomen ditutup atau
hanya ditutup dengan penutup (mesh). Prosedur
pembedahan tambahan diperlukan dalam beberapa hari
kemudian untuk mengangkat pembungkus dan
memperbaiki laserasi. Cedera besar pada hepar juga
memerlukan drainase empedu dan darah pasca operasi
melalui drain (Penrose, Davol,
atau Jackso-Pratt).
Setelah pembedahan, mungkin timbul syok
hipovolemik dan koagulapati. Hemostatis inkomplit juga
mungkin terjadi dan harus dibedakan dari perdarahan
akibat koagulopati. Perdarahan hebat karena hemostatis
inkomplit mengharuskan kembali ke ruang operasi untuk
pengangkatan bekuan, pembungkusan, dan perbaikan
tambahan. Dengan koagulopati, perdarahan timbul dari
berbagai tempat, sedangkan dengan hemostatis inkomplit
perdarahan terutama berasal dari tempat pembedahan.
Asuhan keperawatan termasuk penggantian produk darah
sambil memantau hematokrit dan pemeriksaan koagulasi.
Pengkajian tipe dan jumlah selang drainase disertai
keseimbangan cairan,
juga adalah penting. Potensial komplikasi dari cedera
hepar termasuk abses hepatic atau perihepatik, obstruksi
atau
kebocoran saluran empedu, sepsis, ARDS, dan KID.
e. Cedera pada limpa
Limpa adalah organ abdomen yang paling umum
mengalami cedera, lebih sering sebagai akibat trauma
tumpul. Adanya fraktur iga kiri bawah dapat meningkatkan
kecurigaan terhadap cedera limpa. Tanda-tanda dan
gejala-gejala yang ditunjukkan termasuk dukungan nutrisi
parenteral. Diberikan transfuse darah berulang, namun
hematokrit dan tekanan darah sistolik tetap rendah (Ht =
20-25%, TDS = 90 mmHg). Perdarahan internal
berkelanjutan mengharuskan pasien kembali ke ruang
operasi untuk tindakan debridement dan pembungkusan
ulang hepar. Sampai hari berikutnya, perdarahan berhasil
diatasi. Pembungkus lalu dilepaskan, laserasi liver dapat
diperbaiki dan dipasang selang drain.
Pada hari berikutnya, timbul tanda-tanda dan gejala-
gejala sepsis pada pasien, termasuk kenaikan suhu dan
jumlah sel darah putih, takikardia, takipnea, peningkatan
curah jantung, penurunan tahanan vascular sistemik, dan
penurunan tingkat kesadaran. Biakan diperoleh dan
pemberian antibiotic dimulai. Kemudian berkembang
ARDS dan GGA, meningkatkan
kebutuhan dukungan ventilator dan hemodialisis.
Setelah prosedur pembedahan ketiga untuk
debridement jaringan nekrotik dan mengalirkan abses
perihepatik, akhirnya pasien mulai membaik. Beberapa
minggu kemudian, dukungan dialysis dan ventilator
dihentikan. Dua bulan setelah masuk rumah sakit, pasien
keluar dari unit rawat intensif, dan tiga minggu kemudian
diperbolehkan pulang.

6. Trauma Pelvik
a. Cedera pada Kandung Kemih
Kandung kemih dapat mengalami laserasi atau
pecah, paling sering sebagai konsekuensi trauma tumpul.
Cedera pada kangdung kemih sering kali berhubungan
dengan fraktur pelvik. Adanya hematuria ( nyata atau
mikroskopik ), nyeri abdomen bawah, atau tidakmampuan
berkemih memerlukan pemeriksaan terhadap cidera
uretra dengan uretrogram retrograd sebelum pemasangan
kateter urine. Cidera pada kandung kemih dapat
mennyebabkan ekstravasasi urine intraperitonial atau
ekstraperitoneal. Ekstravasi ekstraperitoneal sering dapat
ditangani dengan drainase kateter urine . ektravasi
intraperitoneal, bagaimanapun memerlukan pembedahan.
Mungkin dipasang selang sistostomi suprapubik .
komplikasi jarang tejadi infeksi karena kateter urine atau
sepsis akibat
ekstra vasasi urine.
b. Fraktur Pelvik
Fraktur pelvik yang kompleks berkaitan dengan
mortalitas yang tinggi. Hemoragi sekunder adalah
penyebab yang paing sering dari kematian dini,
sedangkan sepsis menyebabkan penundaan mortalitas.
Radiografi dan scan CT dapat memastikan adanya dan
menentukan tingkat fraktur pelvik. Fraktur pelvik sering
sering menyebabkan laserasi pembuluh – pembuluh kecil
yang mengeluarkan darah ke dalam jaringan lunak pada
rongga retroperineal. Areal ini meluas dari difragma
sampai ke pertengahan paha dan akan menampung
beberapa liter darah sebelum terjadi tamponade.
Angiogram sering kali diperlukan untuk menemukan letak
dan menyumbat sumber
darah.
Kontrol terhadap hemoragi merupakan pokok
permasalahan primer. PASG mungkin dipasang pada fase
prarumah sakit atau di unit gawat intensif. PASG dapat
membantu membelat pelvis dan tamponade hemoragi,
karena PASG menurunkan volume tidal, maka ada
kemungkinan dibutuhkan bantuan ventilator mekanik.
Fiksasi internal atau eksternal adalah lebih efektif
dalam menstabilkan fraktur juga dalam mengontrol
perdarahan. selain itu, fiksasi dini mengurangi nyeri dan
membantu ambulasi lebih dini. Pembedahan untuk
mengontrol hemoragi mungkin
juga diperlukan .
Tranfusi multiple dan pemantauan hemodinamik
diperlukan dalam kasus hemoragi yang signifikan.
Hematoma pelvik dapat menjadi sumber dari sepsis dan
dapat memerlukan drainase perkuata atau pembedahan.
Komplikasi utama lain dari fraktur pelvik termasuk
keterlibatan saraf pelvik dan emboli pulmonal. Penting
untuk dilakukan terapi fisik yang berkepanjangan dan
rehabilitasi yang sering.

7. Trauma pada Ekstremitas


a. Fraktur
Fraktur sering terjadi pada trauma tumpul, kurang
jarang pada trauma penetrasi. Manakalah radiografi sudah
memastikan adanya fraktur, maka harus dilakukan
stabilitas atau perbaikan fraktur. Karena prosedur
ortopedik akan memakan banyak waktu,sehingga cidera
lain yang mengancam jiwa harus terlebih dahulu di atasi,
dan operasi perbaikan dapat di tunda sampai masalah itu
teratasi. Fiksasi internal fraktur sering memungkinkan
ambulasi dini pada pasien dengan cedera multiple yang
mungkin akan mengalami komplikasi akibat tirah baring
berkepanjangan ( ulkus dekubitus, emboli pulmonal,
penyusutan otot). Penatalaksanaan fraktur juga dapat
dikerjakan dengan fiksasi eksternal atau traksi skeletal.
Fraktur terbuka akan memerlukan debridemen dengan
pembedahan. Fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi
terhadap infeksi. Potensial komplikasi lainnya adalah
emboli lemak dari fraktur tulang
panjang dan sindom kompartemen.
b. Dislokasi
Dislokasi menimbulkan rasa nyeri yang sangat hebat.
Dislokasi mudah dikenali karena adanya perubahan dari
anatomi yang normal. Dislokasi sendi umumnya tidak
mengancam jiwa, tapi memerlukan tindakan darurat
karena apabila tidak
dilakukan tindakan secepatnya, akan menyebabkan
gangguan pada daerah distal yang mengalami
dislokasi. Sangat sulit diketahui apakah fraktur disertai
dengan dilokasi atau tidak, maka sangat penting untuk
mengetahui denyut nadi, gerakan dan gangguan
persyarafan distal dari dislokasi. Kebanyakan tindakan
yang baik untuk klien adalah menyangga dan
meluruskan ekstremitas ke posisi yang lebih
menyenangkan untuk klien dan membawanya ke
pelayanan kesehatan yang
terdapat fasilitas ortopedi yang baik.
8. Cedera vaskular
Cedera vaskular seringkali mengakibatkan
perdarahan atau trombosis pembuluh. Cedera vaskular
biasanya disebabkan oleh trauma penetrasi, dan kurang
sering karena fraktur. Ultrasonografi doppler seing
digunakan untuk mendiagnosa cedera vaskular perifer.
Angiogram juga dapat digunakan untuk menetukan
tempat cedera dan mengidentifikasi fistula arteriovenosa,
psudoaneurisme, dan penutupan intima. Dilakukan
perbaikan pembedahan primer atau tandur vaskular.
Segera setelah periode pascaoperasi, terdapat resiko
perdarahan berlanjut atau oklusi trombotik dari pembuluh
keduannya mengharuskan kembali kekamar operasi.
Indeks ankel
– brakial (ABI) serinkali berguna dalam mendeteksi
perkembangan oklusi setelah trauma ekstrimitas bawah.
Untuk meghitung nilai ABI, tekanan darah sistolik pada
pergelangan kaki di bagi dengan tekanan darah sistolik
lengan. Penurunan ABI menunjukkan peningkatan
gradien tekanan yang menembus pembuluh. Metoda ini
memberikan data yang lebih objektif ketimbang hanya
meraba nadi.

Bila membicarakan mengenai masalah trauma, maka ada banyak sekali


guideline yang dipakai. Salah satu guideline yang sudah diterapkan oleh
banyak senter adalah Advanced Trauma Life Support (ATLS) dari American
College of Surgeon yang mulai ada sejak tahun 1980. Selama kurun waktu
itu ATLS telah mengalami beberapa perubahan dan saat ini sudah
menerbitkan guideline edisi ke-8. Mengenai ATLS, akan dibahas secara
singkat dan untuk mengetahui lebih dalam, para peserta dapat mengikuti
kursus ATLS yang diselenggarakan senter terdekat. Guideline ATLS dalam
penanganan trauma dapat dikenal dengan initial assessment untuk menilai
kondisi kedaruratan secara cepat. Initial assessment terdiri dari beberapa
tahapan utama sebagaimana akan dijelaskan secara singkat berikut ini.

Primary Survey
Primary survey merupakan langkah awal untuk mengidentifikasi secara cepat
masalah yang timbul pada kasus trauma. Kelima hal dalam primary survey
diterangkan menurut urutan prioritas namun dalam prakteknya dilapangan
dikerjakan secara simultan. Primary survey meliputi :
a. Airway with C-spine control
Masalah airway dapat dilihat dengan memeriksa suara napas dengan metode
look, listen, and feel. Masalah yang mungkin timbul pada airway adalah:
– Obstruksi jalan napas karena benda asing, cairan, ataupun fraktur
maksilofasial.
– Fraktur servikal harus selalu dicurigai terutama pada kondisi:
• kesadaran menurun,
• adanya jejas di atas clavicula, dan
• nyeri leher.

b. Breathing
Hal–hal yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi masalah breathing
adalah:
– menghitung frekuensi napas/Respiratory rate (RR);
– melihat gerakan dada simetris atau tidak;
– perkusi: redup, hipersonor; dan

– suara napas: vesikuler, meningkat atau menurun.

Distres napas antara lain dapat disebabkan oleh pneumotorakss, flail chest
dengan contusio pulmonum, hematotorakss, atau fraktur costa.
c. Circulation with haemorrhage control
Hal–hal yang dapat dilihat untuk mengidentifikasi masalah circulation
secara cepat adalah:
– tingkat kesadaran;
– warna kulit yang menandakan perfusi jaringan; dan
– nadi.
Hati–hati pada orang tua, anak kecil, atlet, dan riwayat pemakaian obat–
obatan karena pasien tidak bereaksi secara normal. Sumber perdarahan
dapat berasal dari dalam tubuh yang tidak terlihat maupun yang terlihat dari
luar.
– Internal bleeding paling banyak disebabkan oleh perdarahan
intraabdomen, hematotorakss masif, dan fraktur pelvis.
– Eksternal bleeding terutama pada ekstremitas.

d. Disability
Masalah disability atau kesadaran menurun dapat disebabkan oleh
perdarahan intrakranial atau edem otak. Lucid interval karena epidural
haemorrhage harus diwaspadai dan terus dilakukan re-evaluasi.
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi masalah disability
adalah:
– Memeriksa skala kesadaran antara lain dengan metode AVPU (Alert,
Verbal, Pain, Unresponsive) atau GCS (Glasgow Coma Scale).
– Memeriksa adakah lateralisasi dengan melihat ukuran pupil dan reflek
cahaya.
e. Exposure atau kontrol lingkungan.
Pakaian pasien harus dibuka semua agar dapat dilakukan pemeriksaan dan
evaluasi secara menyeluruh namun harus tetap dijaga agar tidak terjadi
hipotermi.
Resusitasi
Setelah primary survey, maka dikerjakan resusitasi terhadap permasalahan
yang ada.
a. Penanganan masalah airway dapat dengan cara noninvasif maupun
invasif.
– Non invasif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
• Tanpa alat dengan chin lift dan jaw thrust.
• Dengan alat seperti tube nasofaring, tube orofaring, suction cairan/ darah.
– Invasif dengan cricothyroidotomy, endo tracheal tube (ETT).
C-spine immobilisation dengan collar brace atau dengan meletakkan bantal
pasir yang mengapit leher.
b. Penanganan masalah breathing dengan cara:
– Pemberian oksigen.
– Needle toraksocintesis pada kasus tension pneumotorakss.
– Punksi pleura atau pemasangan chest tube.
c. Penanganan masalah circulation dengan cara:
– Pemasangan double infus untuk resusitasi cairan. Resusitasi dilakukan
dengan pemberian kristaloid (Ringer lactate), koloid maupun darah
tergantung dari derajat shock. Hindari penggunaan vasopresor, steroid, atau
Nabic. Pemberian cairan atau darah yang masih dingin dapat memicu
terjadinya hipotermi.
– Pelvic sling untuk kecurigaan fraktur pelvis.
– Bebat tekan untuk menghentikan sementara perdarahan eksternal.
Pemakaian tourniquet sebaiknya tidak dilakukan karena dapat menyebabkan
iskemia di bagian distal, kecuali bila telah terjadi amputasi traumatika.

Adjunct to Primary Survey


Pada primary survey dapat dikerjakan beberapa tindakan tambahan seperti :
– Monitor EKG.
– Kateter urin dan lambung.
Kateter urin tidak boleh dipasang bila ada dugaan ruptur uretra yang ditandai
dengan:
• Bloody dischrage.
• Hematom di scrotum atau perineum.
• Pada colok dubur didapatkan prostat melayang.
Katerer lambung tidak boleh dipasang bila ada dugaan fraktur basis cranii
(FBC) yang ditandai dengan:
• Bloody rinorhea
• Bloody otorhea
• Brill hematoma
• Battle sign.
– Monitor hasil resusitasi seperti blodd gas analysis (BGA), pulse oximetry,
dan tekanan darah.
– Pemeriksaan penunjang lainnya seperti:
• Radiologi: Foto cervical lateral, torakss AP, dan pelvis AP.
• USG FAST (Focused Assessment with Sonography for Trauma) atau DPL
(Diagnostic Peritoneal Lavage).
Evaluasi
Setelah penanganan awal, dilakukan evaluasi ulang mulai primary survey
sampai didapatkan kondisi pasien yang stabil. Setelah kondisi stabil, barulah
dilakukan secondary survey. Bila kondisi pasien belum stabil, maka perlu
dilakukan surgical resuscitation.
Secondary Survey
Secondary survey adalah pemeriksaan komplit dari kepala sampai kaki (head
to toe examination) yang dilakukan pada pasien dengan hemodinamik yang
stabil. Pada pasien dengan trauma yang mengancam nyawa, secondary
survey dikerjakan setelah surgical resuscitation. Anamnesis pada secondary
survey meliputi riwayat Mode of Injury (MOI) dan AMPLE. MOI trauma dapat
terjadi karena :
– Trauma tajam
– Trauma tumpul
– Trauma thermal, baik karena suhu panas maupun dingin
– Bahan berbahaya seperti bahan kimia, toksin, atau radiasi.

Riwayat AMPLE meliputi:


A: Alergi
M: Medication
P: Past illness
L: Last meal
E: Event/environment.

Pemeriksaan fisik pada secondary survey dapat dijabarkan berdasarkan


regio maupun sistem organ (B1-B6). Hal–hal yang dapat ditemukan pada
pemeriksaan fisik berdasarkan regio adalah sebagai berikut:
a. Kepala
– Trauma oculi
– Fraktur maksilofacial
b. Vertebra
– Nyeri di daerah vertebra
– Paresis pada ekstremitas
– RT: tonus sfingter ani yang longgar menandakan ada trauma pada
vertebra.
c. Toraks
– Kelainan pada paru: pneumotorakss, hematotoraks, contusion pulmonum
– Kelainan pada jantung: tamponade jantung
– Kelainan pada mediastinum: ruptur aorta
– Kelainan pada tulang: fraktur costa, clavicula.
d. Abdomen
– Adanya jejas di daerah abdomen
– Adanya tanda-tanda peritonitis
– Adanya tanda-tanda internal bleeding termasuk retroperitoneal bleeding
karena fraktur pelvis.
e. Perineum (termasuk genitalia)
– Tanda-tanda ruptur uretr
– Tes kehamilan pada wanita usia subur.

f. Muskuloskeletal/ekstremitas
– Luka dan deformitas. Tanda–tanda fraktur ditegakkan dengan adanya
nyeri, krepitasi, atau gerakan abnormal
– Fraktur pelvis
– Penilaian pulsasi perifer
– Kompartemen sindrom.
g. Neurologis
– Pemeriksaan tingkat kesadaran
– Adanya lateralisasi
– Adanya tanda-tanda fraktur basis cranii (FBC)
– Pemeriksaan motorik dan sensorik.

Sedangkan untuk pemeriksaan berdasarkan sistem organ dapat ditemukan


hal-hal sebagai berikut:
B1. Breathing. Pemeriksaan yang mungkin didapatkan pada B1 adalah:
– RR yang meningkat atau menurun
– Tanda-tanda pneumotorakss, hematotorakss, contusio pulmonum.
B2. Blood. Pemeriksaan yang mungkin didapatkan pada B2 adalah:
– Hipotensi
– Narrow pulse pressure
– Takikardi
– Tanda–tanda perfusi yang tidak adekuat
– Tanda-tanda tamponade jantung.
B3. Brain. Pemeriksaan yang mungkin didapatkan pada B3 adalah:
– GCS yang menurun
– Lateralisasi
– Tanda-tanda FBC.
B4. Bladder. Pemeriksaan yang mungkin didapatkan pada B4 adalah:
– Hematuria
– Bloody discharge
– RT: prostat melayang menandakan adanya ruptur uretra.
B5. Bowel. Pemeriksaan yang mungkin didapatkan pada B5 adalah:
– Tanda-tanda peritonitis: nyeri perut, defans musculer
– RT: nyeri sirkuler menandakan adanya peritonitis, darah pada sarung
tangan menandakan ada trauma pada GIT.
B6. Bone. Pemeriksaan yang mungkin didapatkan pada B6 adalah:
– Tanda-tanda fraktur pada ekstremitas
– RT: tonus sfingter ani longgar menandakan ada trauma pada vertebra.

Adjunct to Secondary Survey


Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan pada tahapan secondary
survey adalah:
– Laboratorium: SE, RFT, LFT, GDA, FH, urinalisis, laktat, toksikologi.
– Radiologi: CT-Scan kepala, retrograde urethrogram/cystogram, IVP, foto
polos abdomen (BOF, LLD, BOF erect), CT-Scan abdomen, foto polos
ekstremitas.
– USG abdomen.

Anda mungkin juga menyukai