B. Etiologi
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru.
Luka tusuk dan luka tembak pada suatu rongga dapat di kelompokan dalam
kategori luka tembus. Untuk mengetahui bagian tubuh yang terkena,organ apa
yang cedera ,dan bagaimana derajat kerusakannya, perlu diketahui biomekanik
terutama cedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar berupa
benturan, perlambatan (deselerasi), dan kompresi, baik oleh benda tajam ,
benda tumpul, peluru, ledakan, panas, maupun zat kimia. Akibat cedera ini
dapat menyebabkan cedera muskuloskeletal dan kerusakan organ.6
2. Trauma toraks
Trauma toraks bisa terbagi kepada dua yaitu cedera dinding
toraks dan cedera paru.
a) Cedera dinding torak seperti berikut:
• Patah tulang rusuk.
• Cedera pada sternum atau ‘steering wheel’.
• Flail chest.
• Open ‘sucking’ pneumothorax.
b) Cedera pada paru adalah seperti berikut:
• Pneumotoraks.
• hematorak.
• Subcutaneous(SQ) dan mediastinal emphysema.
• Kontusio pulmonal.
• Hematom pulmonal.
• Emboli paru.
3. Trauma abdominal
Trauma abdominal terjadi apabila berlaku cedera pada bagian
organ dalam dan bagian luar abdominal yaitu seperti berikut:
• Kecederaan yang bisa berlaku pada kuadran kanan abdomen adalah
seperti cedera pada organ hati, pundi empedu, traktus biliar,
duodenum dan ginjal kanan.
• Kecederaan yang bisa berlaku pada kuadran kiri abdomen adalah
seperti cedera pada organ limpa, lambung dan ginjal kiri.
• Kecederaan pada kuadran bawah abdomen adalah cedera pada
salur ureter, salur uretral anterior dan posterior, kolon dan rektum.
• Kecederaan juga bisa terjadi pada organ genital yang terbagi dua
yaitu cedera penis dan skrotum.
4. Tungkai atas
Trauma tungkai atas adalah apabila berlaku benturan hingga
menyebabkan cedera dan putus ekstrimitas. Cedera bisa terjadi dari
tulang bahu, lengan atas, siku, lengan bawah, pergelangan tangan,
jari-jari tangan serta ibu jari.
5. Tungkai bawah
Kecederaan yang paling sering adalah fraktur tulang pelvik.
Cedera pada bagian lain ekstrimitas bawah seperti patah tulang femur,
lutut atau patella, ke arah distal lagi yaitu fraktur tibia, fraktur fibula,
tumit dan telapak kaki.
D. Patofisiologi
Respon metabolik pada trauma dapat dibagi dalam tiga fase :
1. Fase pertama berlangsung beberapa jam setelah terjadinya trauma.
Dalam fase ini akan terjadi kembalinya volume sirkulasi, perfusi
jaringan, dan hiperglikemia.
2. Pada fase kedua terjadi katabolisme menyeluruh, dengan imbang
nitrogen yang negative, hiperglikemia, dan produksi panas. Fase ini
yang terjadi setelah tercapainya perfusi jaringan dengan baik dapat
berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa minggu,
tergantung beratnya trauma, keadaan kesehatan sebelum terjadi
trauma, dan tindakan pertolongan medisnya.
3. Pada fase ketiga terjadi anabolisme yaitu penumpukan kembali
protein dan lemak badan yang terjadi setelah kekurangan cairan
dan infeksi teratasi. Rasa nyeri hilang dan oksigenasi jaringan
secara keseluruhan sudah teratasi. Fase ini merupakan proses
yang lama tetapi progresif dan biasanya lebih lama dari fase
katabolisme karena sintesis protein hanya bisa mencapai 35 gr
/hari.
E. Manifestasi klinis6
1. Laserasi, memar,ekimosis
2. Hipotensi
3. Tidak adanya bising usus
4. Hemoperitoneum
5. Mual dan muntah
6. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh
darah,
biasanya pada arteri karotis)
7. Nyeri
8. Pendarahan
9. Penurunan kesadaran
10. Sesak
11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh
perdarahan
limfa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan
peritoneal
13. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang )
pada
perdarahan retroperitoneal
14. Tanda Coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau
labia pada
fraktur pelvis
15. Tanda Balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada
kuadran kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe
F. Klasifikasi Trauma
Klasifikasi dari multiple trauma adalah sebagai berikut : 7
1. Trauma Tumpul
Pada kecelakaan kendaraan mobil, badan kendaraan
memberikan sebagian perlindungan dan menyerap energi dari
hasil benturan tabrakan. Pengendara atau penumpang yang tidak
menggunakan sabuk pengman, bagaimanapun akan terlempar
dari mobil dan dampaknya mendapat cedera tambahan.
Pengendara sepeda motor mempunyai perlindungan
yang minimal dan seringkali akan menderita cedera yang lebih
parah
apabila terlempar dari motor.
Perlambatan yang cepat selama KKB atau jatuh dapat
menyebabkan kekuatan yang terputus yang dapat merobek
struktur tertentu. Organ-organ yang berdenyut seperti jantung
dapat terlepas dari pembuluh besar yang menahannya. Demikian
juga organ-organ abdomen
(limpa, ginjal, usus) akan terlepas dari mesenteri.
Tipe kedua trauma tumpul termasuk kompresi yang
disebabkan oleh kekuatan tabrakan berat. Pada kasus demikian,
jantung dapat terhimpit diantara sternum dan tulang belakang.
Hepar, limpa, dan pancreas juga sering tertekan terhadap tulang
belakang. Cedera karena benturan seringkali menyebabkan
kerusakan internal dengan sedikit
tanda-tanda trauma eksternal.
Tipe kerusakan pada kendaraan seringkali memberikan
petunjuk- petunjuk cedera spesifik yang diderita pada KKB. Stir
atau kemudi kendaraan yang bengkok atau rusak memperbesar
dugaaan akan kemungkinan cedera pada dada, iga, jantung,
trakea, tulang belakang atau abdomen. Trauma kepala dan wajah,
cedera tulang belakang servikal dan cedera trakeal sering
berkaitan dengan kerusakan pada kaca depan mobil atau
dashboard. Benturan lateral dapat menyebabkan patah iga, luka
dada penetrasi akibat pegangan pintu atau jendela, cedera limpa
atau hepar dan fraktur pelvis.
2. Trauma Penetrasi
Luka tembak berkaitan dengan derajat kerusakan yang lebih
tinggi dari luka-luka tikaman. Peluru dapat menyebakan lubang di
sekitar jaringan dan dapat terpecah atau merubah arah dalam
tubuh, mengakibatkan peningkatan cedera. Perdarahan internal,
perforasi organ,
dan fraktur kesemuanya dapat disebabkan oleh cedera penetrasi.
3. Trauma Torakik
Kurang lebih 25% dari kematian karena trauma adalah
karena cedera torakik. Banyak cedera toraks yang secara
potensial mengancam jiwa, misalnya tension atau pneumotoraks
terbuka, hemotoraks massif, iga melayang (flail chest) dan
tamponade jantung, dapat ditangani secara
cepat dan mudah, seringkali tanpa operasi besar. Jika tidak
ditangani,
maka akan mengancam jiwa. Cedera pada paru dan iga :
a. Pneumotoraks dan hematoraks
Trauma tumpul dan penetrasi dapat menyebabkan
pneumotoraks dan hemotoraks. Seringkali satu-satunya
tindakan yang diperlukan adalah pemasangan selang dada.
Hemotoraks massif (>1.500ml pada awalnya atau
>100-200ml/jam) akan memerlukan torakotomi, sedangkan
selang dada untuk mengembangkan kembali paru-paru
seringkali sudah memadai tamponade dengan sumber
perdarahan yang lebih kecil. Intervensi pembedahan juga
mungkin diperlukan dalam kasus pneumotoraks terbuka atau
kebocoran udara yang tidak
terkontrol.
Pasien dengan cedera paru mempunyai resiko lebih besar
untuk mengalami komplikasi pulmonal seperti atlektaksis,
pneumonia, dan empiema. Selang dada harus dikaji patensi
dan fungsinya serta dokter harus diberitahu jika drainase
menjadi berlebihan. Untuk kehilangan darah dalam jumlah
besar dari selang dada, mungkin harus dilakukan
ototranfusi.
b. Iga melayang
Iga melayang terjadi bila trauma tumpul menyebabkan
fraktur multiple iga, menyebabkan ketidakstabialan dinding
dada. Iga melayang berkaitan dengan pneumotoraks,
hemotoraks kontusio pulmonal, kontusio miokardial. Tujuan
utama dari perawatan terhadap tulang iga mengambang adalah
untuk meningkatkan ventilasi yang adekuat. Jika status
pernapasan terganggu atau diperlukan operasi untuk cedera
terjadi, maka ada indikasi pemasangan intubasi dan ventilasi
mekanis. Mungkin juga digunakan tekanan akhir ekspirasi
positif (PEEP). Pada kejadian yang langka, mungkin dilakukan
stabilisasi operatif dengan kawat dan staples. Fraktur iga tidak
pernah dibalut karena hal ini nantinya hanya akan mengurangi
fungsi
pulmonal.
Fraktur iga sering berkaitan dengan nyeri hebat. Control
nyeri yang adekuat dapat meningkatkan ekspansi paru tanpa
memerlukan ventilasi mekanis jangka panjang. Sering diberikan
analgesi
parenteral, intramuscular, atau analgesia yang dikontrol pasien.
Analgesic sistemik tidak cukup kuat untuk menghilangkan nyeri
iga melayang, sehingga membutuhkan metode lain untuk
meringankan
nyeri seperti blok interkosta atau analgesia epidural.
Hipoventilasi akibat nyeri meningkatkan resiko terhadap
komplikasi pernapasan, termasuk atlektaksis dan pneumonia.
Berbagai intervensi untuk memperbaiki fungsi pernapasan
dapat dilaksanakan termasuk batuk dan napas dalam,
spirometrik, drainase, dan chapping, mukolitik, bronkodilator,
pernapasan tekanan positif intermitten (PTPI), suksion
endotrakeal dan nasotrakeal, bronkoskopi terapeutik.
Serangkaian pengkajian pulmonal, termasuk sinar x-dada, gas-
gas arterial darah, pemeriksaan fisik, dan kadang-kadang
pemantauan
dengan oksimetrik adalah penting.
c. Kontusio pulmonal
Kontusio pulmonal adalah memar pada parenkim paru,
seringkali akibat trauma tumpul. Gangguan ini dapat tidak
terdiagnosa pada foto dada awal. Bagaimanapun adanya
fraktur iga atau iga melayang harus mengarah pada dugaan
kemungkinan adanya kontusio pulmonal. Kontusio pulmonal
terjadi bila perlambatan cepat memecahkan dinding sel kapiler,
menyebabkan hemoragi dan ekstravasasi plasma dan protein
ke dalam alveolar dan spasium interstisial. Hal ini
mengakibatkan atlektaksis dan konsolidasi, mengarah pada
pengalihan (shunting) intrapulmonal dan hipoksemia. Tanda-
tanda dan gejala- gejalanya termasuk dispnea, rales,
hemoptisis, takipnea. Kontusio yang hebat juga akan
mengakibatkan peningkatan tekanan puncak jalan udara,
hipoksemia, dan asidosis respiratorik. Kontusio pulmonal mirip
dengan ARDS dimana keduanya berespon sangat terburuk
terhadap fraksi inspirasi oksigen yang tinggi (FiO2).
Kontusio ARDS
pulmonal
Awitan Awitan gagal pernapasan
gagal mendadak
pernapas
an
bertahap
Perubahan- Perubahan-perubahan
perubahan gambaran radiografi
gambaran seringkali tertunda 2-3 hari
radiografi setelah timbul gejala- gejala.
dapat
segera
terlihat
Infiltrat Infiltrat menyebar
setempat
Dapat Dapat mengarah pada
mengarah fibrosis pulmonal
pada kronis
terbentukn
ya rongga
dan
abses
Pasien dengan kontusio ringan memerlukan pengamanan
ketat. Perlu dilakukan pengukuran gas darah arterial (GDA)
atau oksimetri nadi. Fisioterapi dada dan analgesia epidural
kontinu juga akan sangat bermanfaat. Kontusion pulmonal yang
parah akan memerlukan dukungan ventilator dengan TAEP.
Kateter arteri oksimetrik pulmonal ( oximetri Swans-Ganz) dan
biasanya aliran arteri untuk membantu memantau GDA,
hemodinamik dan parameter respiratori (pengiriman oksigen,
pirau intrapulmonal).
Meskipun ventilasi alveolar membaik dengan penambahan
TAEP, aliran darah ke alveoli dapat berkurang, mengarah pada
pirau intrapulmonal. Untuk mengoptimalkan perfusi jaringan dan
oksigenasi, setiap pergantian pada TAEP membutuhkan status
pirau, pengiriman oksigen, dan indicator lain perfusi jaringan
(curah jantung, tekanan darah, haluaran urine). Pernapasan
yang parah, peningkatan atau paralisis dapat menjadi tanda
untuk menurunkan pemakaian energi dan kebutuhan oksigen.
Tempat tidur berrotasi seperti Roto- Rest (Kinetic Concepts,
Ins., San Antonio, TX) juga harus dipertimbangkan.
Penggunaan ventilasi jet frekuensi tinggi untuk tipe cidera
seperti ini masih merupakan suatu kontroversi. Kontusio
unilateral berat dapat ditangani dengan ventilasi paru
independen
simultan dan membaringkan posisi pasien dengan bagian
cidera di sebelah atas.
Penatalaksanaan cairan juga penting. Masukkan dan
pengeluaran, berat badan setiap hari, tekanan vena central,
tekana kapiler pulmonal harus dipantau. Konsentrasi medikasi
mungkin diperlukan untuk mengurangi masukan yang
berlebihan, dan diuretik akan diperlukan secara periodik.
Pembatasan ketat cairan tidak dianjurkan. Sebaliknya,
keseimbangan cairan harus dipertahankan pada tingkat
mendekati normal untuk mendukung curah jantungdan
pengiriman oksigen. Karena paru yang basah dan mengalami
kontusio mengalami kemampuan untuk membersihkan bakteri,
mungkin diberikan antibiotik profilaktik. Steroid profilaktik dan
pemberian protein tetap menjadi suatu hal yang kontroversial.
Pneumonia dan gangguan ARDS adalah komplikasi yang
umum.
d. Cedera Trakeobronkial
Cedera pada trakea atau bronki dapat disebabkan oleh
trauma tumpul atau penetrasi dan seringkali disertai dengan
kerusakan pada esofagus dan vaskuler. Ruptur bronki sering
terjadi berkaitan dengan fraktur iga bagian atas atau
pneumotoraks. Cedera trakeobronkial yang parah mempunyai
angka kematian yang tinggi, bagaimana pun dengan bertambah
baiknya perawatan dan transportasi prarumah sakit akhir-akhir
ini, maka makin banyak pasien ini yang bertahan hidup. Cidera
jalan udara seringkali tidak tersamar. Tanda-tandanya termasuk
dispnea (adakalanya satu-satunya tanda), hemoptasis, batuk,
dan emfisema subkutan. Berdasarkan sinar-x dada dapat
memberikan tanda pada dokter terhadap kemungkinan adanya
cedera, bagaimanapun biasanya diagnosa dibuat dengan
bronkoskopi atau selama operasi. Perbaikan operasi dengan
ventilasi mekanis pascaoperasi melalui selang endotrakeal atau
trakeostomi akan diperlukan.
Selama beberapa hari pertama, dokter akan melakukan
bronkoskopi untuk melihat tempat yang diperbaiki serta untuk
memberikan suction yang lebih efektif. Pneumonia adalah
komplikasi
jangka pendek, sedangkan stenosis trakeal dapat terjadi
kemudian.
4. Cedera pada Jantung
a. Kontusio Miokard
Memar pada miokardium kebanyakan disebabkan oleh
benturan dada pada batang stir atau dashboard selama KKB.
Perlambatan cepat mengakibatkan jantung yang berdenyut
akan menbentur dinding dada anterior. Ventrikel kanan,
karena letaknya di sebelah anterior, adalah yang paling sering
terkena. Kontusio juga dapat terjadi apabila jantung terdesak
diantara sternum dan tulang belakang. Gejala-gejala kontusio
jarang bervariasi dari tidak ada gejala (umum) sampai pada
gagal jantung kongestif yang berat dan syok kardiogenik.
Setelah trauma, keluhan-keluhan tentang nyeri dada harus di
evaluasi dengan cermat. Perubahan-perubahan ECG
nonspesifik sering terlihat dan dapat mencakup setiap tipe
disritmia. sinus takikardi, kontraksi atrial ventrikular prematur,
takikardia supraventrikular paroksimal, blok berkas his kanan,
atau perubahan- perubahan gelombang ST dan T adalah hal
yang paling umum. Secara histologi, kontusio jantung mirip
dengan infark miokardial. Diagnosa bisa sulit ditegakkan.
Untuk menegakkannya dilakukan serangkaiaan pemeriksaan
EKG dan serangkaian pengukuran kreatin kinase isoenzim
miokardial, namun pemeriksaan ini tidak 100% sensitif. Ada
dokter yang menginstruksi pemeriksan ekokardiogram dua
dimensi untuk memeriksa komplikasi-komplikasi dan tingkat
cedera manakala kontusio sudah dipastikan terjadi.
Pemantauan dengan ketat diperlukan sampai kontusio
miokardial telah disingkirkan. Yang lebih umum dari kontusio
miokardial yang sudah dipastikan adalah cedera tipe
“konkusio” (gegar) yang dapat pilih. Tanda-tanda dan gejala-
gejala yang bersifat temporer akan terlihat tanpa adanya
perubahan dalam isoenzim. Selama diagnosanya belum jelas,
oksigenasi, hemodinamik, dan toleransi aktivitas harus
diamati dengan cermat. Jika timbul takikardia, maka
penyebab-penyebab alternatif seperti nyeri, penipisan volume
herus menjadi pertimbangan. Manakala kontusio sudah
dipastikan, maka tindakan yang dilakukan serupa dengan
untuk infark miokardial
akut.
b. Cedera Penetrasi jantung
Cedera penetrasi pada jantung mengakibatkan kematian
korban prarumah sakit sekitar 60% sampai 90% dari kasus.
Pada 10% sisanya, hemoragi dan syok adalah yang umum
terlihat. Luka tikam kecil yang mengenai ventrikel ada kalanya
menutup sendiri karena tebalnya muskulatur ventrikular. Pada
kondisi dimana terjadi hemoragi terus menerus, volume yang
hilang harus diganti, dan operasi perbaikan diperlukan. Pada
kasus-kasus parah, torakotomi departemen gawat darurat
mungkin harus dilakukan sebagai tindakan
untuk menyelamatkan jiwa.
Setelah operasi perbaikan, kateter arteri pulmonal dn
selang arterial dipasang untuk memudahkan pemantauan
hemodinamik dengan cermat. Vasopresor atau agen-agen
inotropik mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan
darah dan curah jantung yang adekuat. Keseimbangan cairan
dan elektrolit, sejalan dengan irama jantung, harus dipantau
dengan seksama. Bunyi jantung harus dikaji terhadap
murmur, yang menandakan kelainan katup atau septum, dan
sebagai tanda-tanda gagal jantung kongestif. Drainase selang
dada dan mediastinal harus sering dicatat. Berikan plasma
beku segar dan platelet, sesuai instruksi, untuk memperbaiki
koagulopati. Komplikasi termasuk hemoragi berlanjut dan
sindrom
poskardiotomi.
5. Trauma Abdomen
Rongga abdomen memuat baik organ yang padat maupun
yang berongga. Trauma tumpul kemungkinan besar
menyebabkan kerusakan yang serius organ-organ padat dan
trauma penetrasi sebagian besar melukai organ-organ
berongga. Kompresi dan perlambatan dari trauma tumpul
menyebabkan fraktur pada kapsula dan parenkim organ
padat, sementara organ berongga dapat kolaps dan menyerap
energi benturan. Bagaimana pun usus yang
menempati sebagian besar rongga abdomen, rentan untuk
mengalami oleh trauma penetrasi. Secara umum, organ-organ
padat berespons terhadap trauma dengan perdarahan. Organ-
organ berongga pecah dan mengeluarkan isinya dan ke dalam
rongga peritoneal,
menyebabkan peradangan dan infeksi.
Diagnosis dini adalah penting pada trauma abdomen.
Pasien yang memperlihatkan adanya cedera abdomen
penetrasi fasia dalam peritoneal, ketidakstabilan
hemodinamik, atau tanda-tanda dan gejala-gejala abdomen
akut dilakukan eksplorasi dengan pembedahan. Pada
kebanyakan kasus trauma abdomen lainnya, dilakukan lavase
peritoneal diagnostic (LPD). LPD yang positif juga
mengharuskan dilakukan eksplorasi pembedahan.
Baik LPD ataupun CT scan adalah 100% diagnostic,
sehingga pasien-pasien trauma dengan hasil negative harus
diobservasi. Dilakukan serangkaian pengukuran tingkat
hematokrit dan amylase. Pengobatan nyeri mungkin ditunda
sehingga tidak mengaburkan tanda-tanda dan gejala-gejala
yang potensial. Masukan per oral juga ditunda untuk berjaga-
jaga jika dilakukan pembedahan. Pasien dikaji untuk
mendapatkan tanda-tanda abdomen akut, seperti distensi,
rigiditas, guarding, dan nyeri lepas. Eksplorasi pembedahan
menjadi perlu dengan adanya awitan setiap tanda-tanda dan
gejala-gejala yang mengindikasikan cedera. Penggunaan CT
abdomen telah memperoleh popularitas dan sering digunakan
atau sebagai tambahan pada LPD. Cedera retroperitoneal,
seringkali terlewatkan dengan LPD dan bahkan dengan
pembedahan eksplorasi, sering dapat diidentifikasi dengan CT
scan. Namun CT scan tidak dapat terlalu diandalkan dalam
mendeteksi cedera pada organ-organ
berongga.
a. Cedera pada lambung dan usus halus
Cedera lambung yang signifikan jarang ditemui,
namun usus halus lebih umum mengalami cedera.
Meskipun sering mengalami kerusakan oleh trauma
penetrasi, trauma tumpul juga dapat menyebabkan usus
halus memar. Konvolusi multiple adakalanya membentuk
loop tertutup yang dapat menjadi
sasaran pecah karena meningkatnya tekanan dari
benturan dengan kemudi atau sabuk pengaman. Mobilitas
usus di sekitar titik tetap (seperti ligamentum treitz)
mencetuskan terjadinya
cedera dengan adanya perlambatan.
Cedera tumpul usus halus atau lambung dapat terlihat
dengan adanya darah pada aspirasi nasogastrik atau
hematemesis. Namun sering tidak terdapat tanda-tanda
fisik dan diagnosis tidak dapat ditegakkan sampai timbul
peritonitis. Cedera penetrasi biasanya menyebabkan LPD
positif. Meskipun kontusio usus ringan dapat diatasi
secara konservatif (dekompresi lambung dan menunda
masukan per oral), pembedahan biasanya diperlukan
untuk memperbaiki luka-luka
penetrasi.
Dekompresi pasca operasi, baik dengan selang
nasogastrik atau selang lambung, dipertahankan sampai
fungsi usus pulih. Pada kebanyakan kasus selang makan,
jejunustomi dipasang sebelah distal dari tempat yang
diperbaiki. NGT dapat dipasangkan segera pasca operasi.
Dengan ditingkatkannya konsentrasi dan frekuensi
pemberian makan secara bertahap, maka pengkajian
secara berkala terhadap tanda-tanda intolerans (distensi,
muntah) adalah penting. Karena lambung dan usus halus
mengandung jumlah bakteri yang signifikan, maka resiko
terhadap sepsis adalah kecil, namun pemberian antibiotic
profilaktik dapat dilakukan kapan saja terjadi perforasi
usus. Pada sisi lain, getah asam lambung mengiritasi
peritoneum dan dapat menyebabkan peritonitis. Potensial
komplikasi lainnya termasuk perdarahan pasca operasi,
hipovolemia karena “spasium ketiga”, serta timbulnya
fistula atau obstruksi. Beberapa dari keadaan ini
mengharuskan adanya tindakan pembedahan tambahan.
Sindrom malabsorpsi jarang terjadi
kecuali jika lebih dari 200 cm usus telah diangkat.
b. Cedera pada duodenum dan pancreas
Pancreas dan duodenum akan dibahas bersama-
sama karena keduanya adalah organ-organ
retroperitoneal dan secara anatomi
dan fisiologi mempunyai hubungan yang dekat. Diperlukan
kekuatan yang besar untuk mencerai organ-organ ini,
karena organ-organ ini terlindung dengan baik, jauh di
dalam abdomen. Cedera pada organ yang berdekatan
hampir selalu ada. Letak retroperitoneal membuat cedera
ini sulit untuk didiagnosa karena LPD sering negative, oleh
karena itu CT scan abdomen sangat penting untuk
keadaan ini. Tanda-tanda dan gejala-gejala dapat
mencakup abdomen akut, peningkatan kadar amylase
serum, nyeri epigastrik yang menjalar ke punggung,
mual, dan
muntah.
Laserasi minor atau kontusio hanya akan memerlukan
pemasangan drain, sedangkan luka-luka besar
memerlukan perbaikan pembedahan. Kebanyakan cedera
pankreatik akan membutuhkan drain pasca operasi untuk
menghindari pembentukan fistula. Pankreatektomi distal
atau anstomosis Roux-en-Y adalah dua prosedur yang
umum dilakukan pada cedera tubuh dan bagian ekor
pancreas. Adakalanya limpa juga harus diangkat karena
banyaknya perlekatan vascular. Kerusakan pada kaput
pancreas berkaitan dengan cedera duodenal dan
hemoragi hebat karena kedekatan dari struktur vascular.
Prosedur pembedahan yang dilakukan pada kasus- kasus
ini termasuk pankreotikoduodenektomi, anastomosis
ROUX-en-Y, dan pada keadaan yang langka dilakukan
pankreatektomi total.
Pengkajian dan asuhan keperawatan pasca operasi
adalah sama untuk berbagai prosedur. Patensi drain
harus dipertahankan dan pasien dipantau terhadap
timbulnya fistula. Perlindungan terhadap kulit adalah
penting jika fistula sudah terbentuk, karena tingginya
kandungan enzim dari getah pankreatin. Pengkajian
keseimbangan cairan dan elektrolit adalah penting karena
fistula pankreatik mengakibatkan kehilangan cairan juga
kalium dan bikarbonat. Stimulasi pancreas dapat dikurangi
dengan pemberian hiteralimentasi
parental atau pemberian makanan jejuna daripada diet
oral. Awitan diabetes mellitus jarang terjadi kecuali jika
dilakukan pankreatektomi total. Komplikasi lainnya
termasuk perdarahan dari fistula yang mengikis ke dalam
pembuluh, peritonitis, sepsis intra abdominal atau
sistemik, pancreatitis, dan obstruksi
usus mekanis.
Cedera pada duodenum sendiri dapat disembuhkan
dengan anastomosis primer atau Billroth II. Selang
duodenostomi mungkin dipasang untuk dekompresi dan
selang jejunustomi untuk pemberian makanan. Trauma
tumpul pada duodenum juga dapat menyebabkan
hematoma intramural, yang dapat mengarah pada
obstruksi duodenal. Diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan diatrizoate (Gastrografin) gastrointestinal
atas. Obstruksi menyeluruh umumnya memerlukan
drainase
pembedahan dari hematoma.
c. Cedera pada kolon
Cedera pada kolon biasanya berkaitan dengan
trauma penetrasi. Sifat dari cedera paling sering menuntut
segera dilakukannya operasi eksplorasi. Perbaikan primer
adalah tindakan pilihan untuk laserasi kolon. Pada
beberapa keadaan, perlu dilakukan perbaikan eksterior
atau kolostomi. Selang sekostomi bisa dipasang untuk
dekompresi. Jaringan subkutan dan kulit pada tempat
insisi mungkin dibiarkan terbuka untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya infeksi luka. Kolon mempunyai
jumlah bakteri yang tinggi, tumpahnya isi kolon dapat
mencetuskan terjadinya sepsis intra abdominal dan
pembentukan abses.
Penggantian balutan penting untuk insisi terbuka dan
biasanya diberikan antibiotic profilaktik. Pada kasus
perbaikan kolon eksterior dan dilakukan anastomosis
ujung ke ujung eksterior untuk memudahkan identifikasi
kebocoran. Kolon eksterior harus dijaga agar tetap lembab
dan ditutup dengan balutan yang tidak melekat atau
kantung untuk melindungi integritas jahitan. Karena sepsis
adalah komplikasi utama pada
cedera kolon, mungkin diperlukan serangkaian prosedur
radiografi dan pembedahan untuk menemukan dan
mengalirkan abses.
6. Trauma Pelvik
a. Cedera pada Kandung Kemih
Kandung kemih dapat mengalami laserasi atau
pecah, paling sering sebagai konsekuensi trauma tumpul.
Cedera pada kangdung kemih sering kali berhubungan
dengan fraktur pelvik. Adanya hematuria ( nyata atau
mikroskopik ), nyeri abdomen bawah, atau tidakmampuan
berkemih memerlukan pemeriksaan terhadap cidera
uretra dengan uretrogram retrograd sebelum pemasangan
kateter urine. Cidera pada kandung kemih dapat
mennyebabkan ekstravasasi urine intraperitonial atau
ekstraperitoneal. Ekstravasi ekstraperitoneal sering dapat
ditangani dengan drainase kateter urine . ektravasi
intraperitoneal, bagaimanapun memerlukan pembedahan.
Mungkin dipasang selang sistostomi suprapubik .
komplikasi jarang tejadi infeksi karena kateter urine atau
sepsis akibat
ekstra vasasi urine.
b. Fraktur Pelvik
Fraktur pelvik yang kompleks berkaitan dengan
mortalitas yang tinggi. Hemoragi sekunder adalah
penyebab yang paing sering dari kematian dini,
sedangkan sepsis menyebabkan penundaan mortalitas.
Radiografi dan scan CT dapat memastikan adanya dan
menentukan tingkat fraktur pelvik. Fraktur pelvik sering
sering menyebabkan laserasi pembuluh – pembuluh kecil
yang mengeluarkan darah ke dalam jaringan lunak pada
rongga retroperineal. Areal ini meluas dari difragma
sampai ke pertengahan paha dan akan menampung
beberapa liter darah sebelum terjadi tamponade.
Angiogram sering kali diperlukan untuk menemukan letak
dan menyumbat sumber
darah.
Kontrol terhadap hemoragi merupakan pokok
permasalahan primer. PASG mungkin dipasang pada fase
prarumah sakit atau di unit gawat intensif. PASG dapat
membantu membelat pelvis dan tamponade hemoragi,
karena PASG menurunkan volume tidal, maka ada
kemungkinan dibutuhkan bantuan ventilator mekanik.
Fiksasi internal atau eksternal adalah lebih efektif
dalam menstabilkan fraktur juga dalam mengontrol
perdarahan. selain itu, fiksasi dini mengurangi nyeri dan
membantu ambulasi lebih dini. Pembedahan untuk
mengontrol hemoragi mungkin
juga diperlukan .
Tranfusi multiple dan pemantauan hemodinamik
diperlukan dalam kasus hemoragi yang signifikan.
Hematoma pelvik dapat menjadi sumber dari sepsis dan
dapat memerlukan drainase perkuata atau pembedahan.
Komplikasi utama lain dari fraktur pelvik termasuk
keterlibatan saraf pelvik dan emboli pulmonal. Penting
untuk dilakukan terapi fisik yang berkepanjangan dan
rehabilitasi yang sering.
Primary Survey
Primary survey merupakan langkah awal untuk mengidentifikasi secara cepat
masalah yang timbul pada kasus trauma. Kelima hal dalam primary survey
diterangkan menurut urutan prioritas namun dalam prakteknya dilapangan
dikerjakan secara simultan. Primary survey meliputi :
a. Airway with C-spine control
Masalah airway dapat dilihat dengan memeriksa suara napas dengan metode
look, listen, and feel. Masalah yang mungkin timbul pada airway adalah:
– Obstruksi jalan napas karena benda asing, cairan, ataupun fraktur
maksilofasial.
– Fraktur servikal harus selalu dicurigai terutama pada kondisi:
• kesadaran menurun,
• adanya jejas di atas clavicula, dan
• nyeri leher.
b. Breathing
Hal–hal yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi masalah breathing
adalah:
– menghitung frekuensi napas/Respiratory rate (RR);
– melihat gerakan dada simetris atau tidak;
– perkusi: redup, hipersonor; dan
Distres napas antara lain dapat disebabkan oleh pneumotorakss, flail chest
dengan contusio pulmonum, hematotorakss, atau fraktur costa.
c. Circulation with haemorrhage control
Hal–hal yang dapat dilihat untuk mengidentifikasi masalah circulation
secara cepat adalah:
– tingkat kesadaran;
– warna kulit yang menandakan perfusi jaringan; dan
– nadi.
Hati–hati pada orang tua, anak kecil, atlet, dan riwayat pemakaian obat–
obatan karena pasien tidak bereaksi secara normal. Sumber perdarahan
dapat berasal dari dalam tubuh yang tidak terlihat maupun yang terlihat dari
luar.
– Internal bleeding paling banyak disebabkan oleh perdarahan
intraabdomen, hematotorakss masif, dan fraktur pelvis.
– Eksternal bleeding terutama pada ekstremitas.
d. Disability
Masalah disability atau kesadaran menurun dapat disebabkan oleh
perdarahan intrakranial atau edem otak. Lucid interval karena epidural
haemorrhage harus diwaspadai dan terus dilakukan re-evaluasi.
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi masalah disability
adalah:
– Memeriksa skala kesadaran antara lain dengan metode AVPU (Alert,
Verbal, Pain, Unresponsive) atau GCS (Glasgow Coma Scale).
– Memeriksa adakah lateralisasi dengan melihat ukuran pupil dan reflek
cahaya.
e. Exposure atau kontrol lingkungan.
Pakaian pasien harus dibuka semua agar dapat dilakukan pemeriksaan dan
evaluasi secara menyeluruh namun harus tetap dijaga agar tidak terjadi
hipotermi.
Resusitasi
Setelah primary survey, maka dikerjakan resusitasi terhadap permasalahan
yang ada.
a. Penanganan masalah airway dapat dengan cara noninvasif maupun
invasif.
– Non invasif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
• Tanpa alat dengan chin lift dan jaw thrust.
• Dengan alat seperti tube nasofaring, tube orofaring, suction cairan/ darah.
– Invasif dengan cricothyroidotomy, endo tracheal tube (ETT).
C-spine immobilisation dengan collar brace atau dengan meletakkan bantal
pasir yang mengapit leher.
b. Penanganan masalah breathing dengan cara:
– Pemberian oksigen.
– Needle toraksocintesis pada kasus tension pneumotorakss.
– Punksi pleura atau pemasangan chest tube.
c. Penanganan masalah circulation dengan cara:
– Pemasangan double infus untuk resusitasi cairan. Resusitasi dilakukan
dengan pemberian kristaloid (Ringer lactate), koloid maupun darah
tergantung dari derajat shock. Hindari penggunaan vasopresor, steroid, atau
Nabic. Pemberian cairan atau darah yang masih dingin dapat memicu
terjadinya hipotermi.
– Pelvic sling untuk kecurigaan fraktur pelvis.
– Bebat tekan untuk menghentikan sementara perdarahan eksternal.
Pemakaian tourniquet sebaiknya tidak dilakukan karena dapat menyebabkan
iskemia di bagian distal, kecuali bila telah terjadi amputasi traumatika.
f. Muskuloskeletal/ekstremitas
– Luka dan deformitas. Tanda–tanda fraktur ditegakkan dengan adanya
nyeri, krepitasi, atau gerakan abnormal
– Fraktur pelvis
– Penilaian pulsasi perifer
– Kompartemen sindrom.
g. Neurologis
– Pemeriksaan tingkat kesadaran
– Adanya lateralisasi
– Adanya tanda-tanda fraktur basis cranii (FBC)
– Pemeriksaan motorik dan sensorik.