Anda di halaman 1dari 15

TUGAS KEGAWATDARURATAN

MULTIPLE TRAUMA DAN FRAKTUR

Dosen Pengampu Mata Ajar:


Ns. Muh Hasan Basri, S.Kep., M.Kep

Disusun oleh :

KETRI DIOKTA LARA

AKADEMI KEPERAWATAN SETIH SETIO MUARA BUNGO


TAHUN 2020
A. Definisi Trauma Murni atau Multipel
Multi trauma adalah keadaan yang di sebabkan oleh luka atau cedera definisi ini
memberikaan gambaran superficial dari respon fisik terhadap cedera, trauma juga
mempunyai dampak psikologis dan sosial. Pada kenyataannya trauma adalah kejadian
yang bersifat holistic dan dapat menyebabkan hilangnya produktif seseorang. Informasi
tentang pola atau mekanisme terjadinya cedera seringkali akan sangat terbantu dalam
mendiagnosa kemungkinan gangguan yang diakibatkan. Trauma tumpul terjadi pada
kecelakaan kendaraan bermotor ( KKB) dan jatuh, sedangkan trauma tusuk (penetrasi)
seringkali diakibatkan oleh luka tembak atau luka tikam. Umumnya, makin besar
kecepatan yang terlibat dalam suatu kecelakaan, akan makin besar cedera yang terjadi,
misalnya : KKB kecelakaan tinggi, peluru dengan kecepatan tinggi, jatuh dari tempat yang
sangat tinggi (Hudak,carolyn 1996).
Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan
secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan
kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial
dan disabilitas fungsional. Trauma kepala paling banyak dicatat pada pasien politrauma
dengan kombinasi dari kondisi yang cacat seperti amputasi, kelainan pendengaran dan
penglihatan, post-traumatic stress syndrome dan kondisi kelainan jiwa yang lain (Veterans
Health Administration Transmittal Sheet).

B. Etiologi
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru. Luka tusuk
dan luka tembak pada suatu rongga dapat di kelompokan dalam kategori luka tembus.
Untuk mengetahui bagian tubuh yang terkena,organ apa yang cedera ,dan bagaimana
derajat kerusakannya, perlu diketahui biomekanik terutama cedera pada trauma dapat
terjadi akibat tenaga dari luar berupa benturan, perlambatan (deselerasi), dan kompresi,
baik oleh benda tajam , benda tumpul, peluru, ledakan, panas, maupun zat kimia . Akibat
cedera ini dapat menyebabkan cedera muskuloskeletal dan kerusakan organ.

C. Macam-macam Trauma Multiple


1. Trauma servikal, batang otak dan tulang belakang
Trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang tinggi serta
pada aktivitas olahraga yang berbahaya boleh menyebabkan cedera pada beberapa bagian
ini. Antara kemungkinan kecederaan yang bisa timbul adalah seperti berikut:
• Kerusakan pada tulang servikal C1-C7; cedera pada C3 bisa menyebabkan pasien apnu.
Cedera dari C4-C6 bisa menyebabkan pasien kuadriplegi, paralisis hipotonus tungkai atas
dan bawah serta syok batang otak.
• Fraktur Hangman terjadi apabila terdapat fraktur hiperekstensi yang bilateral pada tapak
tulang servikal C2.
• Tulang belakang torak dan lumbal bisa diakibatkan oleh cedera kompresi dan cedera
dislokasi.
• Spondilosis servikal juga dapat terjadi.
• Cedera ekstensi yaitu cedera ‘Whiplash’ terjadi apabila berlaku ekstensi pada tulang
servikal.
Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla spinalis akibat trauma
maupun nontrauma yang akan menimbulkan gangguan pada system motorik, system
sensorik, dan vegetative. Kelainan motorik yang akan timbul berupa kelumpuhan atau
gangguan gerak dan fungsi otot-otot gangguan sensorik berupa hilangnya sensasi pada
area tertentu sesuai dengan area yang dipersyarafi oleh level vertebrata yang terkena,
serta gangguan vegetative berupa gangguan pada fungsi bladder, bowel dan juga adanya
gangguan fungsi seksual.
Cidera medulla spinalis dibagi menjadi 2 yaitu : cedera medulla spinalis traumatic
terjadi karena benturan fisik eksternal sepertiyang diakibatkan oleh kecelakaan bermotor,
jatuh atau kekerasan, merusak medulla spinalis. Kemudian cedera medulla spinalis non
traumatic yang terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor yang
mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis.
2. Trauma toraks
Trauma toraks bisa terbagi kepada dua yaitu cedera dinding toraks dan cedera paru.
a) Cedera dinding torak seperti berikut:
• Patah tulang rusuk.
• Cedera pada sternum atau ‘steering wheel’.
• Flail chest.
• Open ‘sucking’ pneumothorax.
b) Cedera pada paru adalah seperti berikut:
• Pneumotoraks.
• hematorak.
• Subcutaneous(SQ) dan mediastinal emphysema.
• Kontusio pulmonal.
• Hematom pulmonal.
• Emboli paru.
3. Trauma abdominal
Trauma abdominal terjadi apabila berlaku cedera pada bagian organ dalam dan
bagian luar abdominal yaitu seperti berikut:
• Kecederaan yang bisa berlaku pada kuadran kanan abdomen adalah seperti cedera pada
organ hati, pundi empedu, traktus biliar, duodenum dan ginjal kanan.
• Kecederaan yang bisa berlaku pada kuadran kiri abdomen adalah seperti cedera pada
organ limpa, lambung dan ginjal kiri.
• Kecederaan pada kuadran bawah abdomen adalah cedera pada salur ureter, salur uretral
anterior dan posterior, kolon dan rektum.
• Kecederaan juga bisa terjadi pada organ genital yang terbagi dua yaitu cedera penis dan
skrotum.
4. Tungkai atas
Trauma tungkai atas adalah apabila berlaku benturan hingga menyebabkan cedera
dan putus ekstrimitas. Cedera bisa terjadi dari tulang bahu, lengan atas, siku, lengan
bawah, pergelangan tangan, jari-jari tangan serta ibu jari.
5. Tungkai bawah
Kecederaan yang paling sering adalah fraktur tulang pelvik. Cedera pada bagian lain
ekstrimitas bawah seperti patah tulang femur, lutut atau patella, ke arah distal lagi yaitu
fraktur tibia, fraktur fibula, tumit dan telapak kaki (James, Corry dan Perry, 2000).

D. Patofisiologi
Respon metabolik pada trauma dapat dibagi dalam tiga fase :
1. Fase pertama berlangsung beberapa jam setelah terjadinya trauma. Dalam fase ini akan
terjadi kembalinya volume sirkulasi, perfusi jaringan, dan hiperglikemia.
2. Pada fase kedua terjadi katabolisme menyeluruh, dengan imbang nitrogen yang
negative, hiperglikemia, dan produksi panas. Fase ini yang terjadi setelah tercapainya
perfusi jaringan dengan baik dapat berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa
minggu, tergantung beratnya trauma, keadaan kesehatan sebelum terjadi trauma, dan
tindakan pertolongan medisnya.
3. Pada fase ketiga terjadi anabolisme yaitu penumpukan kembali protein dan lemak
badan yang terjadi setelah kekurangan cairan dan infeksi teratasi. Rasa nyeri hilang
dan oksigenasi jaringan secar keseluruhan sudah teratasi. Fase ini merupakan proses
yang lama tetapi progresif dan biasanya lebih lama dari fase katabolisme karena
isintesis protein hanya bisa mencapai 35 gr /hari.
E. Manifestasi klinis
1. Laserasi, memar,ekimosis
2. Hipotensi
3. Tidak adanya bising usus
4. Hemoperitoneum
5. Mual dan muntah
6. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah, biasanya pada
arteri karotis)
7. Nyeri
8. Pendarahan
9. Penurunan kesadaran
10. Sesak
11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limfa.
Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
13. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada perdarahan
retroperitoneal
14. Tanda Coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada fraktur
pelvis
15. Tanda Balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri atas
ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe
(Scheets, 2002 :  277-278)

F. Komplikasi pada Multi Trauma


1. Penyebab kematian dini ( dalam 72 jam )
a. Hemoragi dan cedera kepala
Hemoragi dan cedera kepala adalah penyebab utama kematian dini setelah
trauma multiple. Untuk mencegah kehabisan darah, maka perdarahan harus
dikendalikan. Ini dapat diselesaikan dengan operasi ligasi ( pengikatan ) dan
pembungkusan, dan embolisasi dengan angiografi. Hemoragi berkelanjutan
memerlukan tranfusi multiple, sehingga meningkatkan kecenderungan terjadinya
ARDS dan DIC. Hemoragi berkepanjangan mengarah pada syok hipovolemik dan
akhirnya terjadi penurunan perfusi organ.
Mekanisme yang mengarah pada penurunan perfusi jaringan :
/Faktor penyebab ( seperti , penurunan volume, pelepasan toksin )
/Penurunan isi secukup
/Penurunan curah jantung
/Penurunan perfusi jaringan yang tidak sama
Berbagai organ memberikan respon yang berbeda terhadap
penurunan perfusi yang disebabkan oleh syok hipovolemik.

2. Penyebab Lambat Kematian ( Setelah 3 Hari ) :


a. Sepsis
Sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi pada trauma multiple.
Pelepasan toksin menyebabkan dilatasi pembuluh, yang mengarah pada
penggumpalan venosa yang mengakibatkan penurunan arus balik vena. Pada
mulannya, curah jantung mengikat untuk mengimbangi penurunan tekanan
vaskular sistemik. Akhirnya, mekanisme kompensasi terlampaui dan curah
jantung menurun sejalan dengan tekanan darah dan perfusi.
Sumber infektif harus ditemukan dan di basmi. Diberikan antibiotik,
dilakukan pemeriksaan kultur, mulai dilakukan pemeriksaan radiologok,
operasi eksplorasi sering dilakukan. Abses intra abdomen merupakan
penyebab sepsis paling sering . Sebagaian abses dapat keluarkan perkuatan,
sedangkan yang lainnya memerlukan pembedahan. Setelah pembedahan
drainase abses abdomen, insisi di biarkan terbuka, dengan drainase terpasang,
untuk memungkinkan penyembuhan dan menghindari kekambuhan .sumber
– sumber infeksi lainnya yang perlu diperhatikan adalah selang invasif,
saluran kemih, dan paru – paru. Di perkirakan bahwa pemberian nutrisi yang
dini dapat menurunkan perkembangan sepsis dan gagal organ multipel.

G. Pemeriksaan Pada Multiple Trauma


1. Pemeriksaan Diagnostik
a. Trauma Tumpul
1) Diagnostik Peritoneal Lavage
DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang
bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya ,dan dianggap 98 %
sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal. Harus dilaksanakan oleh 
team bedah untuk pasien dengan trauma tumpul multiple dengan
hemodinamik yang abnormal,terutama bila dijumpai :
a) Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol, kecanduan obat-
obatan.
b) Perubahan sensasi trauma spinal.
c) Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis.
d) Pemeriksaan diagnostik tidak jelas.
e) Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu
yang agak lama, pembiusan untuk cedera extraabdominal, pemeriksaan X-
Ray yang lama misalnya Angiografi.
f) Adanya lap-belt sign (kontusio dinding  perut) dengan kecurigaan trauma
usus.
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal nilai
dijumpai hal seperti di atas dan disini tidak memiliiki fasilitas USG ataupun
CT Scan. Salah satu kontraindikasi untuk DPL adalah adanya indikasi yang
jelas untuk laparatomi. Kontraindikasi relative antara lain adanya operasi
abdomen sebelumnya, morbid obesity, shirrosis yang lanjut, dan adanya
koagulopati sebelumnya. Bisa dipakai tekhnik terbuka atau tertutup 
(Seldinger) di infraumbilikal oleh dokter yang terlatih. Pada pasien dengan
fraktur pelvis atau ibu hamil, lebih baik dilakukan supraumbilikal untuk
mencegah kita mengenai hematoma pelvisnya ataupun membahayakan uterus
yang membesar. Adanya aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat
sayuran ataupun empedu yang keluar, melalui tube DPL pada pasien dengan
henodinamik yang abnormal menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi.
Bila tidak ada darah segar (>10 cc) ataupun cairan feses ,dilakukan lavase
dengan 1000cc Ringer Laktat (pada anak-anak  10cc/kg). Sesudah cairan
tercampur dengan cara menekan maupun melakukan rogg-oll, cairan
ditampung kembali dan diperiksa di laboratorium untuk melihat isi
gastrointestinal ,serat maupun empedu (American College of Surgeon
Committee of Trauma, 2004 : 149-150).
Test (+)  pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah makroskopis
(gross) pada aspirasi awal, eritrosit > 100.000 mm3, leukosit > 500/mm3 atau
pengecatan gram (+) untuk bakteri, bakteri atau serat. Sedangkan bila DPL
(+) pada trauma tajam bila 10 ml atau lebih darah makroskopis (gross) pada
aspirasi awal,sel darah merah 5000/mm3 atau lebih (Scheets, 2002 :  279-
280).
2) FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)
Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG untuk
mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan adanya peralatan khusus di
tangan mereka yang berpengalaman, ultrasound memliki sensifitas, specifitas
dan ketajaman untuk meneteksi adanya cairan intraabdominal yang
sebanding dengan DPL dan CT abdomen Ultrasound memberikan cara yang
tepat, noninvansive, akurat dan murah untuk mendeteksi hemoperitorium,
dan dapat diulang kapanpun. Ultrasound dapat digunakan sebagai alat
diagnostik bedside dikamar resusitasi, yang secara bersamaan dengan
pelaksanaan beberapa prosedur diagnostik maupun terapeutik lainnya.
Indikasi pemakaiannya sama dengan indikasi DPL (American College of
Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 150).
3) Computed Tomography (CT)
Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang
mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk
mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang sulit di diagnosa
dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL (American College of
Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151).
b. Trauma Tajam
1) Cedera thorax bagian bawah
Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada diafragma
dan struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun
thorax foto berulang, thoracoskopi,  laparoskopi maupun pemeriksaan CT
scan.
2) Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan dengan DPL pada
luka tusuk abdomen depan. Untuk pasien yang relatif asimtomatik (kecuali
rasa nyeri akibat tusukan), opsi pemeriksaan diagnostik yang tidak invasive
adalah pemeriksaan diagnostik serial dalam 24 jam, DPL maupun laroskopi
diagnostik.
3) Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double atau triple
contrast pada cedera flank maupun punggung. Untuk pasien yang
asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain pemeriksaan fisik serial, CT
dengan double atau triple contrast, maupun DPL. Dengan pemeriksaan
diagnostic serial untuk pasien yang mula-mula asimptomatik kemudian
menjadi simtomatik, kita peroleh ketajaman terutama dalam mendeteksi
cedera retroperinel maupun intraperineal untuk luka dibelakang linea
axillaries anterior (American College of Surgeon Committee of Trauma,
2004 : 151).

2. Pemeriksaan penunjang
a. Radiologi
1) Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul.
2) Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP dan
pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen
foto abdomen tiga posisi (telentang, setengah tegak dan lateral decubitus)
berguna untuk melihat adanya udara bebas dibawah diafragma ataupun udara
di luar lumen diretroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi
petunjuk untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas
menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal
b. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak
memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas umbilicus atau
dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan hemodinamik yang
abnormal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat untuk menyingkirkan
kemungkinan hemo atau pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi adanya
udara bebas intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya normal,
pemasangan klip pada luka masuk maupun keluar dari suatu luka tembak dapat
memperlihatkan jalannya peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada
rontgen foto abdomen tidur.
c. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri
2) Penurunan hematokrit/hemoglobin
3) Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT
4) Koagulasi : PT,PTT
d. MRI
e. Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatic
f. CT Scan
g. Radiograf dada  mengindikasikan peningkatan diafragma,kemungkinan
pneumothorax atau fraktur  tulang rusuk VIII-X.
h. Scan limfa
i. Ultrasonogram
j. Peningkatan serum atau amylase urine
k. Peningkatan glucose serum
l. Peningkatan lipase serum
m. DPL (+) untuk amylase
n. Peningkatan WBC
o. Peningkatan amylase serum
p. Elektrolit serum
q. AGD (ENA,2000:49-55)

H. Masalah akibat luka


1. Infeksi, terjadi apabila terdapat tanda-tanda seperti kulit kemerahan, demam atau
panas, rasa nyeri dan timbul beangkak, jaringan disekitar luka mengeras, serta
adanya kenaikan leukosit.
2. Dehiscene, merupakah pecahnya luka sebagian atau seluruhnya yang dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kegemukan, kekurangan nutrisi,
terjdinya trauma dan sebagainya. Sering ditandai dengan kenaikan suhu tubuh
(demam), dan disertai rasa nyeri di daerah luka.
3. Evisceration, yaitu menonjolnya organ tubuh bagian dalam kearah luar melalui
luka. Hal ini dapat terjadi jika luka tidak segera menyatu dengan baik akibat
proses penyembuhan yang lambat.
4. Perdarahan, ditandai dengan adanyaperdarahan disertai dengan perubahan tanda
vital seperti kenaikan denyut nadi, peningkatan pernafasan, penurunan tekanan
darah, melemahnya kondisi tubuh, kehausan serta keadaan kulit yag dingin dan
lembab.

I. Jenis-jenis luka digolongkan berdasarkan :

1. Berdasarkan sifat kejadian, dibagi menjadi 2, yaitu luka disengaja (luka terkena
radiasi atau bedah) dan luka tidak disengaja (luka terkena trauma). Luka tidak
disengaja dibagi menjadi 2, yaitu :

 Luka tertutup : luka dimana jaringan yang ada pada permukaan tidak rusak
(kesleo, terkilir, patah tulang, dsb).

 Luka terbuka : luka dimana kulit atau selaput jaringan rusak, kerusakan terjadi
karena kesengajaan (operasi) maupun ketidaksengajaan (kecelakaan).

2. Berdasarkan penyebabnya, di bagi menjadi :

a. Luka mekanik (cara luka didapat dan luas kulit yang terkena)

1) Luka insisi (Incised wound), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam.
Luka dibuat secara sengaja, misal yang terjadi akibat pembedahan.

2) Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura setelah seluruh pembuluh
darah yang luka diikat (ligasi).

3) Luka memar (Contusion Wound), adalah luka yang tidak disengaja terjadi
akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh: cedera pada
jaringan lunak, perdarahan dan bengkak, namun kulit tetap utuh. Pada luka
tertutup, kulit terlihat memar.

4) Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda
lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.

5) Luka tusuk (Punctured Wound), luka ini dibuat oleh benda yang tajam yang
memasuki kulit dan jaringan di bawahnya. Luka punktur yang disengaja
dibuat oleh jarum pada saat injeksi. Luka tusuk/ punktur yang tidak disengaja
terjadi pada kasus: paku yang menusuk alas kaki bila paku tersebut terinjak,
luka akibat peluru atau pisau yang masuk ke dalam kulit dengan diameter yang
kecil.
6) Luka gores (Lacerated Wound), terjadi bila kulit tersobek secara kasar. Ini
terjadi secara tidak disengaja, biasanya disebabkan oleh kecelakaan akibat
benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat. Pada kasus kebidanan:
robeknya perineum karena kelahiran bayi.

7) Luka tembus/luka tembak (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus


organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi
pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar, bagian tepi luka
kehitaman.

8) Luka bakar (Combustio), luka yang terjadi karena jaringan tubuh terbakar.

9) Luka gigitan (Morcum Wound), luka gigitan yang tidak jelas bentuknya pada
bagian luka.

b. Luka non mekanik : luka akibat zat kimia, termik, radiasi atau serangan listrik.

3. Berdasarkan tingkat kontaminasi

a. Clean Wounds (luka bersih), yaitu luka bedah takterinfeksi yang mana tidak
terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan,
pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan
luka yang tertutup, jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup. Kemungkinan
terjadinya infeksi luka sekitar 1% – 5%.

b. Clean-contamined Wounds (luka bersih terkontaminasi), merupakan luka


pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam
kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya
infeksi luka adalah 3% – 11%.

c. Contamined Wounds (luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh, luka


akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau
kontaminasi dari saluran cerna. Pada kategori ini juga termasuk insisi akut,
inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% – 17%.

d. Dirty or Infected Wounds (luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya


mikroorganisme pada luka.

4. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka


a. Stadium I : Luka Superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi
pada lapisan epidermis kulit.

b. Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan
epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya
tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.

c. Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi
kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi
tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan
epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis
sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.

d. Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan
tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.

5. Berdasarkan waktu penyembuhan luka

a. Luka akut : yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep
penyembuhan yang telah disepakati.

b. Luka kronis : yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses


penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.

J. PERDARAHAN
Perdarahan adalah keluarnya darah dari pembuluh darah (kardiovaskuler).
Jumlahnya dapat bermacam-macam, mulai dari yang sedikit sampai yang dapat
menyebabkan kematia. Kehilangan darah bisa disebabkan perdarahan internal dan
eksternal. Jenis perdarahan secara umum ada 3, yaitu :
 Arterial, ditandai dengan darah keluar memancar/menyemprot dan
berwarna merah segar.
 Pembuluh darah balik(venous), darah keluar dan berwarna agak
gelap/kehitaman.
 Kapiler, darah keluar merembes dan berwarna merah segar.
Beberapa hal yang perlu dicermati saat menghentikan perdarahan pada korban
gawat darurat.
1. Anatomi dan letak pembuluh darah yang terkena
a. Humerus, femur
b. Arteri : carotis, axillaris, cubiti, radialis, femoralis, poplitea, dorsalis pedis
dan
2. Perdarahan dapat dihentikan dengan berbagai cara
a. Balut tekan
b. Torniquet
3. Waspada pada “Life before Limb” berakibat pada kematian jaringan
a. Shock dikelolah oleh tenaga kesehatan yang bersertifikasi ATLS
b. P3K yang tepat : Tourniquet, klem arteri

Shock hemoragic atau shock akibat perdarahan.

 Shock hemoragik dapat risiko cedera otot dan tulang


 Laserasi langsung arteri, fraktur pelvis dan femur sering disertai pendarahan dan
menimbulkan shock.
 Luka pada syaraf dan pembuluh darah yang mengalirkan darah ketangan dan kaki
merupakan komplikasi yang sering terjadi.

K. PRINSIP PENANGANAN

1. Survei Primer dulu ( ABC)

Bila cedera ekstermitas yang mengganggu ABC misalnya shock karena luka dan
perdarahan aktif, harus dilakukan dalam bentuk kontrol perdarahan.

2. Survei Sekunder
Kerusakan pada ekstermitas sudah harus mendapat perhatian
3. Memperioritaskan penanganan trauma ekstremitas dan luka hanya apabila
mengancam ABC.

L. Hal-Hal yang harus menjadi perhatian saat merawat luka

1. Tidak memprioritaskan penanganan trauma ekstermitas dan luka kecuali dapat


mengancam ABC.
2. Mampu mengenal komplikasi dan menangani trauma ekstermitas tersebut : Faraktur,
dislokasi, amputasi, luka terbuka.

3. Luka neurovaskuler

4. Keseleo

5. Impaled object

6. Sindrom kompartemen

7. Mengetahui jumlah darah yang hilang dari fraktur pelvis dan ekstermitas

Anda mungkin juga menyukai