OLEH
ENDRA MULYADI
1614901110056
1. Konsep Penyakit
1.1 Definisi
Crush injury berasal dari bahasa Inggris Crush “ hancur” dan Injuri “ luka” ,
yang definisikan sebagai Luka yang hancur pada extremitas atau anggota
badan lain yang mengakibatkan terjadinya kerusakan yang serius, meliputi;
kulit dan jaringan lunak dibawa kulit, kerusakan pembuluh darah, persarafan,
tendon, fascia , bone joint (lokasi penghubung anatara tulang), kerusakan
tulang serta komponen didalam tulang.
Menurut U.S Centers for Disease Control and Prevention (CDC) ( 2009) ,
lokasi yang sering terjadi crush injury meliputi ; extremitas inferior 74%,
extremitas superior 10%, serta organ lain 10%.
Penyebab crush injury biasanya tertimpa object berat/lebar, motor
(kecelakaan lalu lintas) , kecelakaan industrial, atau sarana (angkut) jalan
kereta api yang menggulung di atas kaki, dan crush injury dari peralatan
industri.
1.2 ETIOLOGI
Penyebab utama dari crush injury adalah banyak faktor antara lain ; tertindih
oleh objek berat, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja pada Industri,
kecelakaan kerja lain yang menyebabkan luka hancur yang serius.
1.3 PATOFISIOLOGI
Pada crush injury kerusakan lapisan kulit dan subkutan dapat mempermudah
masuknya kuman melalui lokasi luka yang terbuka sehingga sangat penting
pada ada anamnesis dapat diketahui mengenai mekanisme trauma dan lokasi
kejadian, agar dapat mengetahui risiko terjadinya infeksi.
Kerusakan pembuluhh darah dapat disebabkan oleh kekuatan crush injury
yang mengakibatkan hilangnya suplai darah ke otot. Biasanya otot dapat
bertahan selama 4 jam tanpa aliran darah ( warm ischemia time) masuk dalam
sel otot, kemudian sel-sel otot akan mati. Selanjutnya terjadi kebocoran
membrane plasma sel otot serta kerusakan pembuluh darah yang akan
mengakibatkan cairan intravaskuler akan terakumulasi ke jaringan yang
cedera. Hal ini dapat dapat menyebabkan hipovelemia yang signifikan
sehingga mengakibatkan terjadi syok hipovolemik, serta kehilangan ion
calcium (Ca+) sehingga berpotensi menyebabkan terjadinya hipokalsemia.
Kerusakan saraf tibialis, dapat mengakibatkan hilangnya reflek neurologis
yang signfikan pada sebelah distal regio cruris, sebab cabang n.Tibialis dapat
menginervasi regio pedis.
Jika tulang patah maka periosteum dan pembuluhh darah pada kortek,
sum-sum dan jaringan lunak sekitarnya mengalami gangguan / kerusakan.
Perdarahan terjadi dari ujung tulang yang rusak dan dari jaringan lunak (otot)
yang ada disekitarnya. Hematoma terbentuk pada kannal medullary antara
ujung fraktur tulang dan bagian bawah periosteum. Jaringan nekrotik ini
menstimulasi respon inflamasi yang kuat yang dicirikan oleh vasodilasi,
eksudasi plasma dan lekosit , dan infiltrasi oleh sel darah putih lainnya.
Kerusakan pada periosteum dan sum-sum tulang dapat mengakibatkan
keluarnya sumsum tulang terutama pada tulang panjang, sumsum kuning
yang keluar akibat fraktur masuk ke dalam pembuluh darah dan mengikuti
aliran darah sehingga mengakibatkan terjadi emboli lemak ( Fat emboly ).
Apabila emboli lemak ini sampai pada pembuluh darah kecil, sempit, dimana
diameter emboli lebih besar dari pada diameter pembuluh darah maka akan
terjadi hambatan aliran-aliran darah yang mengakibatkan perubahan perfusi
jaringan. Emboli lemak dapat berakibat fatal apabila mengenai organ-organ
vital seperti otak, jantung, dan paru-paru.
Kerusakan pada otot dan jaringan lunak juga dapat menimbulkan nyeri yang
hebat karena adanya spasme otot. Sedangkan kerusakan pada tulang itu
sendiri mengakibatkan terjadinya perubahan ketidakseimbangan dimana
tulang dapat menekan persyarafan pada daerah yang terkena fraktur sehingga
dapat menimbulkan penurunan fungsi syaraf, yang ditandai dengan
kesemutan, rasa baal dan kelemahan. Selain itu apabila perubahan susunan
tulang dalam keadaan stabil atau benturan akan lebih mudah terjadi proses
penyembuhan fraktur dapat dikembalikan sesuai dengan anatominya.
Biasanya jika penanganan awal tidak dilakukan dengan baik, akan
berkembang timbul tanda-tanda dari crush syndrome yang mana akibat
kerusakan sel-sel otot sebagai akibat dari crush injury. Crush syndrome
ditandai dengan adanya gangguan sistemik.
1.5 Penatalaksanaan
Pada crush injury , perlu adanya penanganan yang sergera , karena lebih dari
6-8 jam setelah kejadian, jika tidak dapat ditangani dengan baik akan
menyebabkan kondisi pasien semakin memburuk dan terjadi banyak
komplikasi lain yang dapat memperberat kondisi pasien dan penanganan
selanjutnya menjadi semakain sulit.
Penanganan pada crush injury dapat dimulai dari tempat kejadian yaitu
dengan prinsip primary surface ( ABC) terutama mempertahankan atau
mengurangi perdarahan dengan cara bebat tekan sementara dilarikan ke
rumah sakit.
Penanganan di rumah sakit harus di awali dengan prinsip ATLS. Pemberian
oksigen (O2) guna mencegah terjadinya hipoksia jaringan serta terutama
organ-organ vital. Kemudian dilanjutkan dengan terapi cairan, terapi cairan
awal harus diarahkan untuk mengoreksi takikardia atau hipotension dengan
memperluas volume cairan tubuh dengan cepat dengan menggunakan cairan
NaCl ( isotonic) atau ringer laktat diguyur dan kemudian dilanjutkan
perlahan ± 1-1.5 L/jam ( Barbera& Macintyre, 1996; Gonzalez, 2005; Gunal
et Al., 2004; Malinoski et Al., 2004; Stewart, 2005).
Untuk mencegah gagal ginjal dengan hidrasi yang sesuai, anjuran terapi
akhir–akhir ini berupa pemberian cairan Intravena dan manitol untuk
mempertahankan diuresis minimal 300- 400 mL/jam, dalam hal ini penting
dipasang folley cateter guna menghitung balance cairan masuk dan cairan
keluar (Malinoski et Al., 2004). Volume agresif ini dapat mencegah kematian
yang cepat dan dikenal sebagai penolong kematian, dimana dapat
memperbaiki perfusi jaringan yang iskemik sebagai akibat crush injury.
Natrium bikarbonat berguna pada pasien dengan Crush Syndrome. Ini akan
mengembalikan asidosis yang sudah ada sebelumnya yang sering timbul dan
juga sebagai salah satu langkah pertama dalam mengobati hiperkalemia. Hal
ini juga akan meningkatkan pH urin, sehingga menurunkan jumlah mioglobin
yang mengendap di ginjal. Masukkan natrium bikarbonat intravena sampai
pH urine mencapai 6,5 untuk mencegah mioglobin dan endapan sama urat di
ginjal. Disarankan bahwa 50-100 mEq bikarbonat, tergantung pada tingkat
keparahan.
Selain natrium bikarbonat, perawatan lain mungkin diperlukan untuk
memperbaiki hiperkalemia, tergantung pada cedera yang mengancam ,
biasanya diberikan ;
Insulin dan glukosa.
Kalsium - intravena untuk disritmia.
Beta-2 agonists - albuterol, metaproterenol sulfat (Alupent), dll
Kalium-pengikat resin seperti natrium sulfonat polystyrene (Kayexalate).
Dialisis, terutama pada pasien gagal ginjal akut
1.8 Pathway
2. Rencana asuhan keperawatan
2.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada
tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
2.1.1 Pengumpulan Data
1. Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa
yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa
medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan
lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi
yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut,
atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda,
apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana
rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab
dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya
penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan
yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu,
dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa
diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D,
1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur
dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang
dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang
sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis
akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur,
seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa
keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan
secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat
serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya
baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius,
Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian
alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan
apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius,
Donna D,1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein,
vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan
tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada
pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji
frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat,
Budi Anna, 1991)
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan
tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada
lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos.
Marilynn E, 1999).
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan
klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang
perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan
beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan
yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak
timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani
rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan
dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan
fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien
bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi.
Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan
gerak klien (Ignatavicius, Donna D, 1995).
2.1.2 Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat
(lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena
ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan
daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan,
sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris,
tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
(karena tidak terjadi perdarahan)
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
(m)Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada
kesulitan BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada
sistem muskuloskeletal adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal
yang tidak biasa (abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan
kelembaban kulit.
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi
atau oedema terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan
(1/3 proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan
yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain
itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada
benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3) Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini
perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan
sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat,
dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral)
atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan
apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
2.1.3 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada fraktur meliputi:
a. Pemeriksaan rotgen (sinar X) untuk menentukan lokasi atau
luasnya fraktur/trauma.
b. Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI untuk memperlihatkan
fraktur. Pemeriksaan penunjang ini juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram, dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
d. Hitung darah lengkap
Hematokrit (Ht) mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh
pada trauma multipel). Peningkatan jumlah sel darah putih adalah
respons stress normal setelah trauma.
e. Kreatinin
Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f. Profil koagulasi
Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multipel,
atau cedera hati
Diagnosa Rasional
No. Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan
2 Kerusakan Tissue Integrity Insision Site Care 1. Untuk mengetahui
integritas kulit 1. Monitor proses perkambangan dan
berhubungan Setelah dilakukan tindakan kesembuhan area keefektifan terapi yang
dengan selama 3x24 jam, masalah insisi telah diberikan
terputusnya teratasi dengan kriteria hasil: 2. Anjurkan makan 2. Untuk mempercepat
kontinuitas 1. Perfusi jaringan baik dengan gizi penyembuhan dengan
jaringan. 2. Integritas kulit yang baik seimbang nutrisi yang cukup
bisa dipertahankan 3. Bersihkan area 3. Mempercepat
(sensasi, temperatur, sekitar jahitan atau penyembuhan dan
hidrasi dan pigmentasi) staples, mencegah infeksi
menggunakan lidi 4. Mempercepat
kapas steril dan penyembuhan dan
kasa steril mencegah infeksi
4. Gunakan preparat 5. Mempercepat
antiseptik sesuai penyembuhan dan
program mencegah infeksi
5. Ganti balutan pada
interval waktu yang
sesuai
Diagnosa Rasional
No. Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan
3 Hambatan Joint movement: active, Exercise therapy: 1. Untuk menyesuaikan
mobilitas fisik mobility level, self care: ambulation terapi yang akan
berhubungan ADLs, transfer performance. 1. Kaji kemampuan diberikan
dengan Kriteria hasil: pasien dalam 2. Mengetahui respon
kerusakan Setelah dilakukan tindakan mobilisasi tubuh klien terhadap
muskuloskeletal keperawatan (1x24 jam) 2. Monitoring vital latihan yang diberikan
. masalah teratasi atau sign 3. Agar ADLs klien dapat
berkurang dengan kriteria sebelum/sesudah terpenuhi secara mandiri
hasil: latihan dan lihat 4. Agar ADLs klien dapat
1. Klien meningkat dalam respon pasien saat terpenuhi secara mandiri
aktivitas fisik latihan 5. Untuk memudahkan
2. Mengerti tujuan dari 3. Latih pasien dalam klien dalam mobilisasi
peningkatan mobilitas pemenuhan ADLs 6. Untuk memudahkan
3. Memverbalisasikan secara mandiri klien dalam mobilisasi
perasaan dalam sesuai kemampuan
meningkatkan kekuatan 4. Dampingi dan
dan kemampuan bantu pasien saat
berpindah mobilisasi dan
4. Memperagakan bantu penuhi
penggunaan alat untuk kebutuhan ADLs
mobilisasi (stick walker) pasien.
5. Berikan alat bantu
jika klien
memerlukan
6. Ajarkan pasien
bagaimana
mengubah posisi
dan berikan
bantuan jika
diperlukan
Diagnosa Rasional
No. Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan
4 Risiko infeksi Immune Status, Knowledge: Infection Control Infection Control
Infection Control, Risk 1. Instruksikan 1. Untuk mencegah infeksi
Control pengunjung untuk dari pengunjung
Selama dalam masa mencuci tangan 2. Tebagai tindakan yang
perawatan diagnosa risiko saat berkunjung sesuai dengn SOP rumah
tidak berubah menjadi aktual dan setelah sakit untuk mencegah
dengan kriteria hasil: berkunjung pasien infeksi
1. Klien bebas dari tanda 2. Cuci tangan 3. Untuk mencegah infeksi
dan gejala infeksi sebelum dan dari lingkungan
2. Menunjukkan sesudah tindakan 4. Pencegahan infeksi
kemampuan untuk keperawatan dan dengan terapi
mencegah timbulnya gunakan sabun farmakologi
infeksi antimikrobial untuk 5. Untuk meningkatkan
3. Jumlah leukosit dalam cuci tangan daya tahan tubuh
batas normal 3. Pertahankan terhadap agen-agen
4. Menunjukkan perilaku lingkungan aseptik penyebab infeksi
hidup sehat selama
pemasangan alat Infection Protection
4. Berikan terapi 1. Untuk mendeteksi dini
antibiotik jika perlu infeksi
5. Tingkatkan intake 2. Untuk mengetahui
nutrisi apakah sistem
pertahanan tubuh baik
Infection Protection atau tidak
1. Monitor tanda 3. Untuk mencegah infeksi
dan gejala infeksi dari pengunjung
sistemik dan lokal 4. Untuk mencegah agen-
2. Monitor hitung agen penyebab infeksi
granulosit, WBC masuk ke jaringan yang
3. Batasi terbuka
pengunjung 5. Untuk mencegah agen-
4. Pertahankan agen penyebab infeksi
teknik asepsis masuk ke jaringan yang
5. Pertahankan terbuka
teknik isolasi 6. Untuk mendeteksi dini
6. Inspeksi kulit dan infeksi
membran mukosa 7. Untuk mendeteksi dini
terhadap infeksi
kemerahan dan 8. Untuk meningkatkan
panas daya tahan tubuh
7. Inspeksi kondisi 9. Untuk meningkatkan
luka daya tahan tubuh
8. Dorong masukan 10. Untuk meningkatkan
cairan daya tahan tubuh
9. Dorong masukan 11. Untuk membunuh agen-
nutrisi yang agen penyebab infeksi
cukup dengan terapi
10. Dorong istirahat farmakologi
11. Instruksikan 12. Untuk mendeteksi dini
pasien untuk adanya infeksi
minum antibiotik
sesuai resep
12. Ajarkan pasien
dan keluarga
tanda dan gejala
infeksi
3. DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Brenda G. Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC.
Ners Muda,
Mengetahui,
(……………………………….) (……………………………….)