FRAKTUR TIBIA
Oleh :
FEBRIANTY, S.Kep
NS0621071
CI LAHAN CI INSTITUSI
( ) (Amrianti Mutmainna,
NIP. S.kep.,Ns.,MSN)
NIDN.
A. KONSEP MEDIS
1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan
oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2012). Sedangkan menurut Carpenito (2011),
menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Fraktur atau sering
disebut patah tulang adalah terputusnya kontinuitas Jaringan tulang dan atau tulang rawan
yang penyebabnya dapat dikarenakan penyakit pengeroposan tulang diantaranya penyakit
yang sering disebut osteoporosis, biasanya dialami pada usia dewasa, dan dapat juga
disebabkan karena kecelakaan yang tidak terduga (Mansjoer, 2013).
2. Etiologi
Penyebab fraktur diantaranya :
1. Trauma
a) Trauma langsung : Benturan pada tulang mengakibatkan ditempat tersebut.
b) Trauma tidak langsung : Titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur
berjauhan.
2. Fraktur Patologis
Fraktur disebabkan karena proses penyakit seperti osteoporosis, kanker tulang dan
lain-lain.
3. Degenerasi
Terjadi kemunduran patologis dari jaringan itu sendiri : usia lanjut
4. Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.
5. Patofisiologi
Ketika patah tulang, terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum tulang
dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut terjadi perdarahan, kerusakan tulang dan
jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematom pada kanal medul antara tepi
tulang bawah periostrium dengan jaringan tulang yang mengatasi fraktur. Terjadinya
respon inflamasi akibat sirkulasi jaringan nekrotik ditandai dengan fase vasodilatasi dari
plasma dan leukosit, ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses
penyembuhan untuk memperbaiki cedera, tahap ini menunjukkan tahap awal
penyembuhan tulang. Hematom yang terbentuk biasa menyebabkan peningkatan tekanan
dalam sumsum tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan
lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai organ-organ yang lain.
Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler
di otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada
otot yang iskemik dan menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal
ini menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung syaraf,
yang bila berlangsung lama bisa menyebabkan syndrom comportement.
6. Manifestasi Klinik
1) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2) Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan eksremitas.
Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.
Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung
pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
3) Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat
fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm
4) Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik
tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau
beberapa hari setelah cedera.
7. Komplikasi
1) Dini
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi
pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terutama terjadi pada fraktur proksimal tibia tertutup. Komplikasi
ini sangat berbahaya karena berbahaya karena dapat menyebabkan gangguan
vaskularisasi tungkai bawah yang dapat mengancam kelangsungan hidup tungkai
bawah. Yang paling sering terjadi yaitu anterior compartment syndrome.
Mekanisme: dengan terjadi fraktur tibia terjadi perdarahan intra-kompartemen,
hal ini akan menyebabkan tekanan intrakompartemen meninggi, menyebabkan
aliran balik darah vena terganggu. Hal ini akan menyebabkan oedem tekanan
intrakompartemen makin meninggi sampai akhrinya sedemikian tinggi sehingga
menyumbat aarteri di intrakomparmen.
Gejala: rasa sakit pada tungkai bawah dan temukan paraesthesia. Rasa sakit akan
bertambah bila jari digerakan secar pasif. Kalau hal ini berlangsung cukup lama
dapat terjadi paralyse pada oto-otot ekstensor hallusis longus, ekstensor digitorum
longus dan tibial anterior. Tekanan intrakompatemen dapat diukur langsung
dengan cra whitesides. Penanganan: dalam waktu kurang 12jam harus dilakukan
fasciotomi.
8. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma
2) Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3) Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4) Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menurun
(pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma).
5) Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.(Doenges,
2004 : 762)
9. Penatalaksanaan Medis
Ada empat konsep dasar dalam menangani fraktur, yaitu :
a. Rekognisi
Rekognisi dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur. Prinsipnya adalah
mengetahui riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan
dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri.
b. Reduksi
Reduksi adalah usaha / tindakan manipulasi fragmen-fragmen seperti letak asalnya.
Tindakan ini dapat dilaksanakan secara efektif di dalam ruang gawat darurat atau
ruang bidai gips. Untuk mengurangi nyeri selama tindakan, penderita dapat diberi
narkotika IV, sedative atau blok saraf lokal.
c. Retensi
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi atau dipertahankan
dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi
gips, bidai, traksi dan teknik fiksator eksterna.
d. Rehabilitasi
Merupakan proses mengembalikan ke fungsi dan struktur semula dengan cara
melakukan ROM aktif dan pasif seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan klien.
Latihan isometric dan setting otot. Diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah ( Smeltzer & Bare, 2001 : 2360 – 2361).
10. Tindakan Medis Orif Pada Fraktur
1) Pengertian
ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi),open reduksi merupakan suatu tindakan
pembedahan untuk memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah / fraktur
sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya.Internal fiksasi biasanya melibatkan
penggunaan plat, sekrup, paku maupun suatu intramedulary (IM) untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang
solid terjadi.
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada
tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen
tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini
berupa Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan
tipe fraktur tranvers.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi. Fraktur
adalah teputusnya jaringan tulang-tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda
paksa.
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenal
stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart, 2000)
2) Etiologi
Pada fraktur cruris dextra 1/3 distal disebabkan karena adanya trauma pada
tungkai bawah kanan akibat benturan dengan benda yang keras, baik secara langsung
maupun tidak langsung.Dalam kasus fraktur cruris dextra 1/3 distal, tindakan yang
biasa dilakukan untuk reposisi antar fragmen adalah dengan reduksi terbuka atau
operasi. Ini dilakukan karena pada kasus ini memerlukan pemasangan internal fiksasi
untuk mencegah pergeseran antar fragmen pada waktu proses penyambungan tulang
(Apley, 1995).
Pada operasi ini dilakukan incisi untuk pemasangan internal fiksasi yang dapat
berupa Intra Medullary Nail sehingga akan terjadi kerusakan pada kulit, jaringan
lunak dan luka pada otot yang menyebabkan terjadinya oedema, nyeri, keterbatasan
lingkup gerak sendi serta gangguan fungsional pada tungkai bawah.
⮚ Menurut Oswari E (1993)
a. Kekerasan langsung
Terkena pada bagian langsung trauma
b. Kekerasan tidak langsung
Terkena bukan pada bagian yang terkena trauma
c. Kekerasan akibat tarikan otot
⮚ Menurut Barbara C Long (1996)
a. Benturan & cedera (jatuh, kecelakaan)
b. Fraktur patofisiologi (oleh karena patogen, kelainan)
c. Patah karena letih
3) Patofisiologi
Setelah fraktur dapat terjadi kerusakan pada sumsum tulang, endosteum dan
jaringan otot. Pada fraktur cruris dan femur dextra upaya penanganan dilakukan
tindakan operasi dengan menggunakan internal fiksasi. Pada kasus ini, hal pertama
yang dapat dilakukan adalah dengan incisi. Dengan incisi maka akan terjadi
kerusakan pada jaringan lunak dan saraf sensoris. Apabila pembuluh darah terpotong
dan rusak maka cairan dalam sel akan menuju jaringan dan menyebabkan oedema.
Oedema ini akan menekan saraf sensoris sehingga akan menimbulkan nyeri pada
sekitar luka incisi. Bila terasa nyeri biasanya pasien cenderung untuk malas bergerak.
Hal ini akan menimbulkan perlengketan jaringan otot sehingga terjadi fibrotik dan
menyebabkan penurunan lingkup gerak sendi (LGS) yang dekat dengan perpatahan
dan potensial terjadi penurunan nilai kekuatan otot.
Waktu penyembuhan pada fraktur sangat bervariasi antara individu satu dengan
individu lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara lain
: usia pasien, jenis fraktur, banyaknya displacement, lokasi fraktur, pasokan darah
pada fraktur dan kondisi medis yang menyertai (Garrison, 1996). Dan yang paling
penting adalah stabilitas fragmen pada tulang yang mengalami perpatahan. Apabila
stabilitas antar fragmen baik maka penyembuhan akan sesuai dengan target waktu
yang dibutuhkan atau diperlukan.
Secara fisiologis, tulang mempunyai kemampuan untuk menyambung kembali
setelah terjadi perpatahan pada tulang. Pada fraktur, proses penyambungan tulang
dibagi dalam 5 tahap yaitu :
a) Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur
(Apley, 1995). Hal ini mengakibatkan gangguan aliran darah pada tulang yang
berdekatan dengan fraktur dan mematikannya (Maurice King, 2001).
b) Proliferasi
Dalam 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel di
bawah periosteum dan di dalam saluran medulla yang tertembus. Hematoma
yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus
berkembang ke dalam daerah itu (Apley, 1995).
c) Pembentukan callus
Selama beberapa minggu berikutnya, periosteum dan endosteum menghasilkan
callus yang penuh dengan sel kumparan yang aktif. Dengan pergerakan yang
lembut dapat merangsang pembentukan callus pada fraktur tersebut (Maurice
King, 2001).
d) Konsolidasi
Selama stadium ini tulang mengalami penyembuhan terus-menerus. Fragmen
yang patah tetap dipertahankan oleh callus sedangkan tulang mati pada ujung dari
masing-masing fragmen dihilangkan secara perlahan, dan ujungnya mendapat
lebih banyak callus yang akhirnya menjadi tulang padat (Maurice King, 2001).
Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang
cukup kuat untuk membawa beban yang normal (Apley, 1995).
e) Remodelling
Tulang yang baru terbentuk, dibentuk kembali sehingga mirip dengan struktur
normal (Appley, 1995). Semakin sering pasien menggunakan anggota geraknya,
semakin kuat tulang baru tersebut (Maurice King, 2001).
⮚ Perubahan patologi setelah dilakukan operasi adalah :
1) Oedema
Oedema dapat terjadi karena adanya kerusakan pada pembuluh darah
akibat dari incisi, sehingga cairan yang melewati membran tidak lancar
dan tidak dapat tersaring lalu terjadi akumulasi cairan sehingga timbul
bengkak.
2) Nyeri
Nyeri dapat terjadi karena adanya rangsangan nociceptor akibat incisi dan
adanya oedema pada sekitar fraktur.
3) Keterbatasan LGS
Permasalahan ini timbul karena adanya rasa nyeri, oedema, kelemahan
pada otot sehingga pasien tidak ingin bergerak dan beraktivitas. Keadaan
ini dapat menyebabkan perlengketan jaringan dan keterbatasan lingkup
gerak sendi (Apley, 1995).
4) Potensial terjadi penurunan kekuatan otot
Pada kasus ini potensial terjadi penurunan kekuatan otot karena adanya
nyeri dan oedema sehingga pasien enggak menggerakkan dengan kuat.
Tetapi jika dibiarkan terlalu lama maka penurunan kekuatan otot ini akan
benar-benar terjadi
4) Manifestasi Klinik
a) Nyeri
b) Deformitas (kelainan bentuk)
c) Krepitasi (suara berderik)
d) Bengkak
e) Peningkatan temperatur local
f) Pergerakan abnormal
g) Echymosis (perdarahan subkutan yang lebar-lebar)
h) Kehilangan fungsi
5) Penatalaksanaan
1. Cara Konservatif
Dilakukan pada anak-anak dan remaja dimana masih memungkinkan terjadinya
pertumbuhan tulang panjang. Selain itu, dilakukan karena adanya infeksi atau
diperkirakan dapat terjadi infeksi. Tindakan yang dilakukan adalah dengan gips
dan traksi.
⮚ Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh.
Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah :
a. Immobilisasi dan penyangga fraktur
b. Istirahatkan dan stabilisasi
c. Koreksi deformitas
d. Mengurangi aktifitas
e. Membuat cetakan tubuh orthotic
⮚ Traksi (mengangkat / menarik)
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada
ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga
arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah.
2. Cara operatif / pembedahan
Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya
mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut fiksasi interna dan
reduksi terbuka. Pada umumnya insisi dilakukan pada tempat yang mengalami
cedera dan diteruskan sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang
mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen tulang yang telah
mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar
menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah direduksi, fragmen-fragmen
tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen, sekrup, pelat, dan
paku.
Keuntungan perawatan fraktur dengan pembedahan antara lain :
a. Ketelitian reposisi fragmen tulang yang patah
Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada
didekatnya
b. Dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai
c. Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yang lain
d. Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada kasus-
kasus yang tanpa komplikasi dan dengan kemampuan mempertahankan
fungsi sendi dan fungsi otot hampir normal selama penatalaksanaan
dijalankan
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1) Pengumpulan Data
a. Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
a. Gambaran Umum
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti:
1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut.
3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
b. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
5) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan)
6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
3. Intervensi keperawatan
Diagnosa Tujuan (Kriteria Hasil) Intervensi
Keperawatan
Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
berhubungan tindakan Observasi
dengan keperawatan selama 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
pergeseran 1x7 jam masalah durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
posisi tulang nyeri akut dapat nyeri
teratasi 2. Identifikasi skala nyeri
Kriteria Hasil : 3. Identifikasi faktor yang
❖ Melaporkan memperberat dan memperingan
nyeri terkontrol 5 nyeri
❖ Kemampuan Terapeutik
mengenali onset nyeri 4. Kontrol lingkungan yang
5 memperberat rasa nyeri
❖ Kemampuan Edukasi
mengenali penyebab 5. Jelaskan strategi meredakan nyeri
nyeri 5 6. Anjurkan memonitor nyeri secara
❖ Kemampuan mandiri
menggunakan 7. Ajarkan teknik
teknik nonfarmakologis untuk
nonfarmakologi 5 mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
8. Kolaborasi pemberian analgetik
Gangguan Setelah dilakukan tindakan Dukungan Mobilisasi
mobilitas fisik keperawatan selama 1x7 jam Observasi
berhubungan masalah gangguan mobilitas 1. Identifikasi adanya nyeri atau
dengan fisik dapat teratasi keluhan fisik lainnya
pemasangan Kriteria Hasil : 2. Identifikasi toleransi fisik
fiksasi interna ❖ Kemampuan melakukan pergerakan
mobilitas pasien 3. Monitor kondisi umum selama
meningkat melakukan mobilisasi
❖ Pergerakan ekstremitas Terapeutik
meningkat 4. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan
❖ Kekuatan otot alat bantu
meningkat 5. Fasilitasi melakukan pergerakan
❖ Rentang gerak ROM 6. Libatkan keluarga untuk
meningkat membantu pasien dalam
❖ Kaku sendi menurun meningkatkan pergerakan
Edukasi
7. Jelaskan tujuan dan prosedur
mobilisasi
8. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
9. Ajarkan mobilisasi sederhana yang
harus dilakukan
Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Infeksi
berhubungan keperawatan selama 1x24 Observasi
dengan insisi jam masalah risiko infeksi 1. Monitor tanda dan gejala infeksi
pembedahan dan dapat teratasi lokal dan sistemik
pemasangan Kriteria Hasil : 2. Terapeutik
3. Cuci tangan sebelum dan sesudah
fiksasi interna ❖ Kemerahan membaik 5 kontak dengan pasien dan
❖ Nyeri membaik 5 lingkungan pasien
❖ Bengkak membaik 4. Pertahankan teknik aseptik pada
pasien beresiko tinggi
Edukasi
5. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
6. Ajarkan cara memeriksa kondisi
luka atau luka operasi
7. Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
8. Anjurkan meningkatkan asupan
cairan
Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian imunisasi
4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana
asuhan keperawatan dalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu pasien
mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Asmadi, 2008). Implementasi keperawatan terdiri
dari beberapa komponen:
a. Tanggal dan waktu dilakukan implementasi keperawatan
b. Diagnosis keperawatan
c. Tindakan keperawatan berdasarkan intervensi keperawatan
d. Tanda tangan perawat pelaksana
5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah penilaian terakhir keperawatan yang didasarkan
pada tujuan keperawatan yang ditetapkan. Penetapan keberhasilan suatu asuhan
keperawatan didasarkan pada perubahan perilaku dan kriteria hasil yang telah ditetapkan,
yaitu terjadinya adaptasi ada individu (Nursalam, 2008). Evaluasi keperawatan dilakukan
dalam bentuk pendekatan SOAP. Evaluasi keperawatan terdiri dari beberapa komponen
yaitu:
a. Tanggal dan waktu dilakukan evaluasi keperawatan
b. Diagnosis keperawatan
c. Evaluasi keperawatan
S (Subjektif) : Data subjektif, keluhan yang masih dirasakan klien setelah dilakukan
tindakan keperawatan
A (Analisis) : suatu masalah diagnosis keperawatan yang masih terjadi atau juga
dapat dituliskan masalah diagnostik baru yang terjadi akibat perubahan status
kesehatan klien
Andra Saferi Wijaya & Yessie Mariza Putri. (2013). KMB 2 Keperawatan
Medikal Bedah Keperawatan Dewasa. Yogyakarta: Nuha Medika
Mubarak, I. Indrawati L, Susanto J. 2015. Buku 1 Ajar Ilmu Keperawatan
Dasar. Jakarta : Salemba Medika.
Potter, A & Perry, A 2012, Buku ajar fundamental keperawatan; konsep, proses, dan
praktik, vol.2, edisi keempat, EGC, Jakarta.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi
danKreteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Widuri, Hesti. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Lanjut Usia Ditatanan Klinik.
Yogyakata: Penerbit Fitramaya.
Carpenito (2010), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC,
Jakarta.
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2012. Rencana Asuhan Keperawatan:
Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hardjowidjoto, S. 2013. Anatomi Fisiologi Traktus Urogenital. Surabaya,
Program Studi Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD.
dr. Soetomo.
Long, B.C., 2012. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Price, Sylvia A,. 2015. Konsep Klinis Proses-proses penyakit. Edisi 6, Volume 2.
Jakarta: EGC.
Smeltze. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah. EGC: Jakarta.
Doenges, Marilynn E. et.al. 2004, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Rasjad, Chairuddin. 2006. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Lintang Imumpasue.
Smeltzer, Suzanne C. Bare Brenda G. 2004. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi III. Jakarta :
EGC.
Bakara, D. M., & Warsito, S. (2016). Latihan Range Of Motion (ROM) pasif terhadap
rentang sendi pasien pasca stroke Exercise Range Of Motion ( ROM ) Passive
toIncrease Joint Range of Post-Stroke Patients, VII(2).