Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR TIBIA

Oleh :
FEBRIANTY, S.Kep
NS0621071

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) (Amrianti Mutmainna,
NIP. S.kep.,Ns.,MSN)
NIDN.

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
NANI HASANUDDIN MAKASSAR
2022

A. KONSEP MEDIS
1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan
oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2012). Sedangkan menurut Carpenito (2011),
menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Fraktur atau sering
disebut patah tulang adalah terputusnya kontinuitas Jaringan tulang dan atau tulang rawan
yang penyebabnya dapat dikarenakan penyakit pengeroposan tulang diantaranya penyakit
yang sering disebut osteoporosis, biasanya dialami pada usia dewasa, dan dapat juga
disebabkan karena kecelakaan yang tidak terduga (Mansjoer, 2013).
2. Etiologi
Penyebab fraktur diantaranya :
1. Trauma
a) Trauma langsung : Benturan pada tulang mengakibatkan ditempat tersebut.
b) Trauma tidak langsung : Titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur
berjauhan.
2. Fraktur Patologis
Fraktur disebabkan karena proses penyakit seperti osteoporosis, kanker tulang dan
lain-lain.
3. Degenerasi
Terjadi kemunduran patologis dari jaringan itu sendiri : usia lanjut
4. Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.

5. Patofisiologi
Ketika patah tulang, terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum tulang
dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut terjadi perdarahan, kerusakan tulang dan
jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematom pada kanal medul antara tepi
tulang bawah periostrium dengan jaringan tulang yang mengatasi fraktur. Terjadinya
respon inflamasi akibat sirkulasi jaringan nekrotik ditandai dengan fase vasodilatasi dari
plasma dan leukosit, ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses
penyembuhan untuk memperbaiki cedera, tahap ini menunjukkan tahap awal
penyembuhan tulang. Hematom yang terbentuk biasa menyebabkan peningkatan tekanan
dalam sumsum tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan
lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai organ-organ yang lain.
Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler
di otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada
otot yang iskemik dan menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal
ini menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung syaraf,
yang bila berlangsung lama bisa menyebabkan syndrom comportement.

6. Manifestasi Klinik
1) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2) Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan eksremitas.
Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.
Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung
pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
3) Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat
fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm
4) Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik
tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau
beberapa hari setelah cedera.
7. Komplikasi
1) Dini
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi
pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terutama terjadi pada fraktur proksimal tibia tertutup. Komplikasi
ini sangat berbahaya karena berbahaya karena dapat menyebabkan gangguan
vaskularisasi tungkai bawah yang dapat mengancam kelangsungan hidup tungkai
bawah. Yang paling sering terjadi yaitu anterior compartment syndrome.
Mekanisme: dengan terjadi fraktur tibia terjadi perdarahan intra-kompartemen,
hal ini akan menyebabkan tekanan intrakompartemen meninggi, menyebabkan
aliran balik darah vena terganggu. Hal ini akan menyebabkan oedem tekanan
intrakompartemen makin meninggi sampai akhrinya sedemikian tinggi sehingga
menyumbat aarteri di intrakomparmen.
Gejala: rasa sakit pada tungkai bawah dan temukan paraesthesia. Rasa sakit akan
bertambah bila jari digerakan secar pasif. Kalau hal ini berlangsung cukup lama
dapat terjadi paralyse pada oto-otot ekstensor hallusis longus, ekstensor digitorum
longus dan tibial anterior. Tekanan intrakompatemen dapat diukur langsung
dengan cra whitesides. Penanganan: dalam waktu kurang 12jam harus dilakukan
fasciotomi.

c. Fat Embolism Syndrom


Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan
bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen
dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi,
hypertensi, tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada
fraktur.
2) Lanjut
a. Malunion: biasanya terjadi pada fraktur yang kominutiva sedang immobilisasinya
longgar, sehingga terjadi angulasi dan rotasi. Untuk memperbaiki perlu dilakukan
osteotomi.
b. Delayed union: terutama terjadi padda fraktur terbuka yang diikuti dengan infeksi
atau pada fraktur yang communitiva. Hal ini dapat di atasi dengan operasi tandur
alih tulang spongiosa.
c. Non union: disebabkan karena terjadi kehilangan segmen tulang tibia disertai
dengan infeksi. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan bone grafting menurut
cara papineau.
d. Kekakuan sendi: hal ini disebabkan karena pemakaian gips yang terlalu lama.
Pada persendian kaki dan jari-jari biasanya terjadi hambatan gerak. Hal ini dapat
diatasi dengan fisioterapi

8. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma
2) Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3) Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4) Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menurun
(pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma).
5) Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.(Doenges,
2004 : 762)

9. Penatalaksanaan Medis
Ada empat konsep dasar dalam menangani fraktur, yaitu :
a. Rekognisi
Rekognisi dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur. Prinsipnya adalah
mengetahui riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan
dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri.
b. Reduksi
Reduksi adalah usaha / tindakan manipulasi fragmen-fragmen seperti letak asalnya.
Tindakan ini dapat dilaksanakan secara efektif di dalam ruang gawat darurat atau
ruang bidai gips. Untuk mengurangi nyeri selama tindakan, penderita dapat diberi
narkotika IV, sedative atau blok saraf lokal.
c. Retensi
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi atau dipertahankan
dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi
gips, bidai, traksi dan teknik fiksator eksterna.

d. Rehabilitasi
Merupakan proses mengembalikan ke fungsi dan struktur semula dengan cara
melakukan ROM aktif dan pasif seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan klien.
Latihan isometric dan setting otot. Diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah ( Smeltzer & Bare, 2001 : 2360 – 2361).
10. Tindakan Medis Orif Pada Fraktur
1) Pengertian
ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi),open reduksi merupakan suatu tindakan
pembedahan untuk memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah / fraktur
sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya.Internal fiksasi biasanya melibatkan
penggunaan plat, sekrup, paku maupun suatu intramedulary (IM) untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang
solid terjadi.
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada
tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen
tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini
berupa Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan
tipe fraktur tranvers.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi. Fraktur
adalah teputusnya jaringan tulang-tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda
paksa.
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenal
stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart, 2000)
2) Etiologi
Pada fraktur cruris dextra 1/3 distal disebabkan karena adanya trauma pada
tungkai bawah kanan akibat benturan dengan benda yang keras, baik secara langsung
maupun tidak langsung.Dalam kasus fraktur cruris dextra 1/3 distal, tindakan yang
biasa dilakukan untuk reposisi antar fragmen adalah dengan reduksi terbuka atau
operasi. Ini dilakukan karena pada kasus ini memerlukan pemasangan internal fiksasi
untuk mencegah pergeseran antar fragmen pada waktu proses penyambungan tulang
(Apley, 1995).
Pada operasi ini dilakukan incisi untuk pemasangan internal fiksasi yang dapat
berupa Intra Medullary Nail sehingga akan terjadi kerusakan pada kulit, jaringan
lunak dan luka pada otot yang menyebabkan terjadinya oedema, nyeri, keterbatasan
lingkup gerak sendi serta gangguan fungsional pada tungkai bawah.
⮚ Menurut Oswari E (1993)
a. Kekerasan langsung
Terkena pada bagian langsung trauma
b. Kekerasan tidak langsung
Terkena bukan pada bagian yang terkena trauma
c. Kekerasan akibat tarikan otot
⮚ Menurut Barbara C Long (1996)
a. Benturan & cedera (jatuh, kecelakaan)
b. Fraktur patofisiologi (oleh karena patogen, kelainan)
c. Patah karena letih
3) Patofisiologi
Setelah fraktur dapat terjadi kerusakan pada sumsum tulang, endosteum dan
jaringan otot. Pada fraktur cruris dan femur dextra upaya penanganan dilakukan
tindakan operasi dengan menggunakan internal fiksasi. Pada kasus ini, hal pertama
yang dapat dilakukan adalah dengan incisi. Dengan incisi maka akan terjadi
kerusakan pada jaringan lunak dan saraf sensoris. Apabila pembuluh darah terpotong
dan rusak maka cairan dalam sel akan menuju jaringan dan menyebabkan oedema.
Oedema ini akan menekan saraf sensoris sehingga akan menimbulkan nyeri pada
sekitar luka incisi. Bila terasa nyeri biasanya pasien cenderung untuk malas bergerak.
Hal ini akan menimbulkan perlengketan jaringan otot sehingga terjadi fibrotik dan
menyebabkan penurunan lingkup gerak sendi (LGS) yang dekat dengan perpatahan
dan potensial terjadi penurunan nilai kekuatan otot.
Waktu penyembuhan pada fraktur sangat bervariasi antara individu satu dengan
individu lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara lain
: usia pasien, jenis fraktur, banyaknya displacement, lokasi fraktur, pasokan darah
pada fraktur dan kondisi medis yang menyertai (Garrison, 1996). Dan yang paling
penting adalah stabilitas fragmen pada tulang yang mengalami perpatahan. Apabila
stabilitas antar fragmen baik maka penyembuhan akan sesuai dengan target waktu
yang dibutuhkan atau diperlukan.
Secara fisiologis, tulang mempunyai kemampuan untuk menyambung kembali
setelah terjadi perpatahan pada tulang. Pada fraktur, proses penyambungan tulang
dibagi dalam 5 tahap yaitu :
a) Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur
(Apley, 1995). Hal ini mengakibatkan gangguan aliran darah pada tulang yang
berdekatan dengan fraktur dan mematikannya (Maurice King, 2001).
b) Proliferasi
Dalam 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel di
bawah periosteum dan di dalam saluran medulla yang tertembus. Hematoma
yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus
berkembang ke dalam daerah itu (Apley, 1995).
c) Pembentukan callus
Selama beberapa minggu berikutnya, periosteum dan endosteum menghasilkan
callus yang penuh dengan sel kumparan yang aktif. Dengan pergerakan yang
lembut dapat merangsang pembentukan callus pada fraktur tersebut (Maurice
King, 2001).
d) Konsolidasi
Selama stadium ini tulang mengalami penyembuhan terus-menerus. Fragmen
yang patah tetap dipertahankan oleh callus sedangkan tulang mati pada ujung dari
masing-masing fragmen dihilangkan secara perlahan, dan ujungnya mendapat
lebih banyak callus yang akhirnya menjadi tulang padat (Maurice King, 2001).
Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang
cukup kuat untuk membawa beban yang normal (Apley, 1995).
e) Remodelling
Tulang yang baru terbentuk, dibentuk kembali sehingga mirip dengan struktur
normal (Appley, 1995). Semakin sering pasien menggunakan anggota geraknya,
semakin kuat tulang baru tersebut (Maurice King, 2001).
⮚ Perubahan patologi setelah dilakukan operasi adalah :
1) Oedema
Oedema dapat terjadi karena adanya kerusakan pada pembuluh darah
akibat dari incisi, sehingga cairan yang melewati membran tidak lancar
dan tidak dapat tersaring lalu terjadi akumulasi cairan sehingga timbul
bengkak.
2) Nyeri
Nyeri dapat terjadi karena adanya rangsangan nociceptor akibat incisi dan
adanya oedema pada sekitar fraktur.
3) Keterbatasan LGS
Permasalahan ini timbul karena adanya rasa nyeri, oedema, kelemahan
pada otot sehingga pasien tidak ingin bergerak dan beraktivitas. Keadaan
ini dapat menyebabkan perlengketan jaringan dan keterbatasan lingkup
gerak sendi (Apley, 1995).
4) Potensial terjadi penurunan kekuatan otot
Pada kasus ini potensial terjadi penurunan kekuatan otot karena adanya
nyeri dan oedema sehingga pasien enggak menggerakkan dengan kuat.
Tetapi jika dibiarkan terlalu lama maka penurunan kekuatan otot ini akan
benar-benar terjadi
4) Manifestasi Klinik
a) Nyeri
b) Deformitas (kelainan bentuk)
c) Krepitasi (suara berderik)
d) Bengkak
e) Peningkatan temperatur local
f) Pergerakan abnormal
g) Echymosis (perdarahan subkutan yang lebar-lebar)
h) Kehilangan fungsi

5) Penatalaksanaan
1. Cara Konservatif
Dilakukan pada anak-anak dan remaja dimana masih memungkinkan terjadinya
pertumbuhan tulang panjang. Selain itu, dilakukan karena adanya infeksi atau
diperkirakan dapat terjadi infeksi. Tindakan yang dilakukan adalah dengan gips
dan traksi.
⮚ Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh.
Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah :
a. Immobilisasi dan penyangga fraktur
b. Istirahatkan dan stabilisasi
c. Koreksi deformitas
d. Mengurangi aktifitas
e. Membuat cetakan tubuh orthotic
⮚ Traksi (mengangkat / menarik)
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada
ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga
arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah.
2. Cara operatif / pembedahan
Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya
mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut fiksasi interna dan
reduksi terbuka. Pada umumnya insisi dilakukan pada tempat yang mengalami
cedera dan diteruskan sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang
mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen tulang yang telah
mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar
menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah direduksi, fragmen-fragmen
tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen, sekrup, pelat, dan
paku.
Keuntungan perawatan fraktur dengan pembedahan antara lain :
a. Ketelitian reposisi fragmen tulang yang patah
Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada
didekatnya
b. Dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai
c. Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yang lain
d. Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada kasus-
kasus yang tanpa komplikasi dan dengan kemampuan mempertahankan
fungsi sendi dan fungsi otot hampir normal selama penatalaksanaan
dijalankan
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1) Pengumpulan Data
a. Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.

2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau


digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.

3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.

4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan


klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.

5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah


buruk pada malam hari atau siang hari.

c) Riwayat Penyakit Sekarang


Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh
mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s
yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang.
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan
kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat.
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan

1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat


Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang
dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol
yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan
olahraga atau tidak.

2) Pola Nutrisi dan Metabolisme


Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna
serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah.
Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal
ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang
lain.
6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap.
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya
yang salah (gangguan body image).
8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu
juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga,
timbul rasa nyeri akibat fraktur.
9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.

a. Gambaran Umum
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti:
1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut.
3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
b. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
5) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan)
6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.

8) Mulut dan Faring


Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
10) Paru
● Inspeksi :Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
● Palpasi :Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
● Perkusi :Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
● Auskultasi :Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
11) Jantung
● Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.
● Palpasi :Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
● Auskultasi :Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
12) Abdomen
● Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
● Palpasi :Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
● Perkusi :Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
● Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
3) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal
adalah:
a. Look (inspeksi)
1. Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
2. Cape au lait spot (birth mark).
3. Fistulae.
4. Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
5. Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak
biasa (abnormal).
6. Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
7. Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b. Feel (palpasi)
1. Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
2. Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
3. Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal,tengah, atau distal).
4. Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya.
c. Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau
dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan
gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif
dan pasif.
2. Diagnosa keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan pergeseran posisi tulang
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan pemasangan fiksasi interna
3) Risiko infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan dan pemasangan
fiksasi interna
4) Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri
5) Defisit perawatan diri berhubungn dengan gangguan neuromuskuler

3. Intervensi keperawatan
Diagnosa Tujuan (Kriteria Hasil) Intervensi
Keperawatan
Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
berhubungan tindakan Observasi
dengan keperawatan selama 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
pergeseran 1x7 jam masalah durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
posisi tulang nyeri akut dapat nyeri
teratasi 2. Identifikasi skala nyeri
Kriteria Hasil : 3. Identifikasi faktor yang
❖ Melaporkan memperberat dan memperingan
nyeri terkontrol 5 nyeri
❖ Kemampuan Terapeutik
mengenali onset nyeri 4. Kontrol lingkungan yang
5 memperberat rasa nyeri
❖ Kemampuan Edukasi
mengenali penyebab 5. Jelaskan strategi meredakan nyeri
nyeri 5 6. Anjurkan memonitor nyeri secara
❖ Kemampuan mandiri
menggunakan 7. Ajarkan teknik
teknik nonfarmakologis untuk
nonfarmakologi 5 mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
8. Kolaborasi pemberian analgetik
Gangguan Setelah dilakukan tindakan Dukungan Mobilisasi
mobilitas fisik keperawatan selama 1x7 jam Observasi
berhubungan masalah gangguan mobilitas 1. Identifikasi adanya nyeri atau
dengan fisik dapat teratasi keluhan fisik lainnya
pemasangan Kriteria Hasil : 2. Identifikasi toleransi fisik
fiksasi interna ❖ Kemampuan melakukan pergerakan
mobilitas pasien 3. Monitor kondisi umum selama
meningkat melakukan mobilisasi
❖ Pergerakan ekstremitas Terapeutik
meningkat 4. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan
❖ Kekuatan otot alat bantu
meningkat 5. Fasilitasi melakukan pergerakan
❖ Rentang gerak ROM 6. Libatkan keluarga untuk
meningkat membantu pasien dalam
❖ Kaku sendi menurun meningkatkan pergerakan
Edukasi
7. Jelaskan tujuan dan prosedur
mobilisasi
8. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
9. Ajarkan mobilisasi sederhana yang
harus dilakukan
Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Infeksi
berhubungan keperawatan selama 1x24 Observasi
dengan insisi jam masalah risiko infeksi 1. Monitor tanda dan gejala infeksi
pembedahan dan dapat teratasi lokal dan sistemik
pemasangan Kriteria Hasil : 2. Terapeutik
3. Cuci tangan sebelum dan sesudah
fiksasi interna ❖ Kemerahan membaik 5 kontak dengan pasien dan
❖ Nyeri membaik 5 lingkungan pasien
❖ Bengkak membaik 4. Pertahankan teknik aseptik pada
pasien beresiko tinggi
Edukasi
5. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
6. Ajarkan cara memeriksa kondisi
luka atau luka operasi
7. Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
8. Anjurkan meningkatkan asupan
cairan
Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian imunisasi

Gangguan pola Setelah dilakukan tindakan Dukungan Tidur


tidur keperawatan selama 1x24 Observasi
berhubungan jam masalah gangguan pola 1. Identifikasi pola aktivitas dan tidur
dengan nyeri) tidur dapat teratasi 2. Identifikasi faktor pengganggu tidur
Kriteria Hasil : 3. Identifikasi makanan dan minuman
❖ Keluhan sulit tidur yang mengganggu tidur
5 4. Identifikasi obat tidur yang
❖ Keluhan sering dikonsumsi
terjaga 5 Terapeutik
❖ Keluhan tidak puas 5. Modifikasi lingkungan
tidur 5 6. Fasilitasi menghilangkan stres
❖ Keluhan pola sebelum tidur
tidur berubah 5 7. Lakukan prosedur untuk
❖ Keluhan istirahat meningkatkan kenyamanan
tidak cukup 5 Edukasi
8. Jelaskan pentingnya tidur cukup
selama sakit
9. Ajarkan relaksasi otot
autogenik atau cara
nonfarmakologi lainnya
Defisit Setelah diberi Dukungan perawatan diri
perawatan Asuhan Observasi
diri Keperawatan selama 1. Identifikasi kebiasaan aktivitas
berhubungn 1x24jam, diharapkan perawatan diri sesuai usia
dengan kemampuan melakukan 2. Monitor tingkat kemandirian
gangguan atau menyelesaikan 3. Identifikasi kebutuhan alat bantu
neuromuskuler aktivitas perawatan diri. kebersihan diri, berpakaian, berhias,
dengan kriteria hasil : dan makan
❖ Kemampuan mandi Terapeutik
meningkat 5 4. Sediakan lingkungan yang terapeutik
❖ Kemampuan 5. Siapkan keperluan pribadi
mengenakan pakaian 6. Dampingi dalam melalukan
meningkat 5 perawatan diri
❖ Kemampuan ketoilet 7. Fasilitasi untuk menerima
meningkat 5 keadaan ketergantungan
❖ Minat melakukan 8. Fasilitasi kemandirian, bantu jika
perawan diri tidak mampu melakukan perawatan
meningkat 5 dir
❖ Mempertahankan 9. Jadwalkan rutinitas perawatan diri
kebersihan diri Edukasi
meningkat 10. Anjurkan melakukan perawatan diri
❖ Mempertahankan secara konsisten sesuai kemampuan
kebersihan mulut
meningkat 5

4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana
asuhan keperawatan dalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu pasien
mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Asmadi, 2008). Implementasi keperawatan terdiri
dari beberapa komponen:
a. Tanggal dan waktu dilakukan implementasi keperawatan
b. Diagnosis keperawatan
c. Tindakan keperawatan berdasarkan intervensi keperawatan
d. Tanda tangan perawat pelaksana
5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah penilaian terakhir keperawatan yang didasarkan
pada tujuan keperawatan yang ditetapkan. Penetapan keberhasilan suatu asuhan
keperawatan didasarkan pada perubahan perilaku dan kriteria hasil yang telah ditetapkan,
yaitu terjadinya adaptasi ada individu (Nursalam, 2008). Evaluasi keperawatan dilakukan
dalam bentuk pendekatan SOAP. Evaluasi keperawatan terdiri dari beberapa komponen
yaitu:
a. Tanggal dan waktu dilakukan evaluasi keperawatan
b. Diagnosis keperawatan
c. Evaluasi keperawatan
S (Subjektif) : Data subjektif, keluhan yang masih dirasakan klien setelah dilakukan
tindakan keperawatan

O (Obkektif) : Data objektif, hasil pengukuran atau observasi perawat secara


langsung pada klien setelah dilakukan tindakan keperawatan

A (Analisis) : suatu masalah diagnosis keperawatan yang masih terjadi atau juga
dapat dituliskan masalah diagnostik baru yang terjadi akibat perubahan status
kesehatan klien

P (Planinng) : perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan, dihentikan,


dimodifikasi atau perencanaan yang di tambahkan dari rencana tindakan keperawatan
yang telah di tentukan sebelumnya
DAFTAR PUSTAKA

Andra Saferi Wijaya & Yessie Mariza Putri. (2013). KMB 2 Keperawatan
Medikal Bedah Keperawatan Dewasa. Yogyakarta: Nuha Medika
Mubarak, I. Indrawati L, Susanto J. 2015. Buku 1 Ajar Ilmu Keperawatan
Dasar. Jakarta : Salemba Medika.
Potter, A & Perry, A 2012, Buku ajar fundamental keperawatan; konsep, proses, dan
praktik, vol.2, edisi keempat, EGC, Jakarta.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi
danKreteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Widuri, Hesti. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Lanjut Usia Ditatanan Klinik.
Yogyakata: Penerbit Fitramaya.
Carpenito (2010), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC,
Jakarta.
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2012. Rencana Asuhan Keperawatan:
Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hardjowidjoto, S. 2013. Anatomi Fisiologi Traktus Urogenital. Surabaya,
Program Studi Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD.
dr. Soetomo.
Long, B.C., 2012. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Price, Sylvia A,. 2015. Konsep Klinis Proses-proses penyakit. Edisi 6, Volume 2.
Jakarta: EGC.
Smeltze. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah. EGC: Jakarta.
Doenges, Marilynn E. et.al. 2004, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Rasjad, Chairuddin. 2006. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Lintang Imumpasue.
Smeltzer, Suzanne C. Bare Brenda G. 2004. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi III. Jakarta :
EGC.
Bakara, D. M., & Warsito, S. (2016). Latihan Range Of Motion (ROM) pasif terhadap
rentang sendi pasien pasca stroke Exercise Range Of Motion ( ROM ) Passive
toIncrease Joint Range of Post-Stroke Patients, VII(2).

Anda mungkin juga menyukai