Edo Wilson
NIM. 22223027
A. Definisi
Fraktur adalah gangguan kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika terjadi
fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering kali terganggu. Radiografi
(sinar-x) dapat menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi tidak mampu
menunjukkan otot atau ligamen yang robek, saraf yang putus, atau pembuluh darah
yang pecah sehingga dapat menjadi komplikasi pemulihan klien (Black & Hawks,
2014).
Fraktur bawah lutut yang sering terjadi adalah fraktur tibia dan fibula yang
terjadi akibat pukulan langsung, jatuh dengan posisi kaki fleksi, atau gerakan
memutir keras. Fraktur tibia dan fibula sering kali melibatkan kerusakan jaringan
lunak berat karena jaringan subkutis daerah ini sangat tipis (Price & Wilson, 2013).
C. Manifestasi Klinis
Mendiagnosis fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis klien, menurut
Black & Hawks (2014) tanda dan gejala terjadinya fraktur antara lain:
1. Deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi
fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas
rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat
memiliki deformitas yang nyata.
2. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada
lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
3. Memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
4. Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi
gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.
5. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi fraktur,
intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing klien.
Nyeri biasanya terus-menerus , meningkat jika fraktur dimobilisasi. Hal ini
terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan atau cedera pada
struktur sekitarnya.
6. Ketegangan
Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.
7. Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena
hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan
juga dapat terjadi dari cedera saraf.
8. Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan
antar fragmen fraktur.
9. Perubahan neurovaskular
Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur
vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan
atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur
10. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau
tersembunyi dapat menyebabkan syok.
D. Komplikasi
Menurut Brunner & Suddarth (2002) komplikasi frakur dapat dilihat dalam dua
tingkatan :
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan
embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi
pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang
dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan
tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernafasan, tachikardi, hypertensi, tachipnea, demam dan infeksi. Sistem
pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
d. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia.
e. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion
ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang
membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena
aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik
E. Penatalaksanaan
Ada empat konsep dasar yang harus dipertimbangkan untuk menangani fraktur,
yaitu:
a. Rekoknisi, yaitu menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kecelakaan dan
selanjutnya di rumah sakit dengan melakukan pengkajian terhadap riwayat
kecelakaan, derajat keparahan, jenis kekuatan yang berperan pada pristiwa yang
terjadi serta menentukan kemungkinan adanya fraktur melalui pemeriksaan dan
keluhan dari klien
b. Reduksi fraktur (pengembalian posisi tulang ke posisi anatomis)
1. Reduksi terbuka. Dengan pembedahan, memasang alat fiksasi interna
(missal pen, kawat, sekrup, plat, paku dan batang logam)
2. Reduksi tertutup. Ekstremitas dipertahankan dengan gip, traksi, brace,
bidai dan fiksator eksterna
c. Imobilisasi. Setelah direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar hingga terjadi penyatuan.
Metode imobilisasi dilakukan dengan fiksasi eksterna dan interna
d. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi:
1. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
2. Meninggikan daerah fraktur untuk meminimalkan pembengkakan
3. Memantau status neuromuskuler
4. Mengontrol kecemasan dan nyeri
5. Latihan isometric dan setting otot
6. Kembali ke aktivitas semula secara bertahap
F. Patofisiologi
Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat
menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan
dapat terjadi revral vaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas
fisik terganggau. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang
kemungkinan dapat terjadi infeksi dan kerusakan jaringan lunak akan
mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan imobilisasi
c. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan
pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur
invasif/traksi tulang)
d. Resiko tinggi terjadinya kerusakan integritas jaringan atau kulit berhubungan
dengan luka, fraktur, pembedahan
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan / Kriteria
No Intervensi
Keperawatan Hasil
1. Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
berhubungan intervensi selama Observasi
dengan 3x24 jam a. Identifikasi lokasi,
terputusnya diharapkan tingkat karakteristik, durasi,
kontinuitas nyeri menurun, frekuensi, kualitas,
jaringan. dengan intensitas nyeri
kriteria hasil : b. Identifikasi skala nyeri
a. Klien tidak c. Identifikasi respon nyeri
mengeluh nyeri. non verbal
b. Tampak Terapeutik
meringis a. Berikan teknik
menurun nonfarmakologis untuk
c. Pembengkakan mengurangi rasa nyeri (mis.
hilang atau TENS, hipnosis, akupresur,
berkurang. terapi musik, biofeedback,
d. Otot relaksasi. terapi pijat, aromaterapi,
teknik imajinasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi
bermain)
b. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(mis. suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
Edukasi
a. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
analgetik
Pemberian Analgesik
Observasi
a. Identifikasi riwayat alergi
obat
b. Monitor tanda-tanda vital
sebelum dan sesudah
pemberian analgetik
Terapeutik
a. Dokumentasikan respons
terhadap efek analgetik dan
efek yang tidak diinginkan
Edukasi
a. Jelaskan efek terapi dan
efek samping obat
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian dosis
dan jenis analgetik sesuai
terapi
4. Evaluasi
Evaluasi merupakan Langkah terakhir dalam proses keperawatan. Terdapat
3 alternatif dalam evaluasi :
a. Masalah teratasi, jika klien mampu menunjukkan prilaku sesuai dengan
waktu dan tanggal yang telah ditentukan sesuai dengan pernyataan tujuan.
b. Masalah teratasi sebagian, jika klien mampu menunjukkan prilaku tetapi tidak
seluruhnya sesuai dengan pernyataan tujuan yang telah ditentukan.
c. Masalah tidak teratasi, jika klien tidak mampu sama sekali menunjukkan
prilaku yang diharapkan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan