Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

PRAKTUR

DI Ruangan Instalasi Bedah Sentral

RSUD DR. SOEDOMO TRENGGLEK

Di Susun Oleh :

Ai Yayah Nurhayati

04143982

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

STIKES SURYA GLOBAL YOGYAKARTA

2018
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi Fraktur

Fraktur adalah diskontiunitas jaringan tulang yang banyak disebabkan karena


kekerasan yang mendadak atau tidak atau kecelakaan. Menurut Suddarth
(2002:2353)

Fraktur adalah terputusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan
yang disebabkan oleh kekerasan. Menurut Santoso Herman (2000:144)

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Carpenito 2000:43)

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.(Arief Mansjoer,
dkk. 2000; hal 346).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. (Brunner & Suddarth. 200; hal 2357)

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
(Sylvia, dkk. 2005; hal 1365).

Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang khususnya pada


daerah femur yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
B. Etiolodi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan
sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan
oleh kendaraan bermotor.

Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama


pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges,
2000:627)
Menurut Carpenito (2000:47) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan.Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan
garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan.Yang patah biasanya adalah bagian yang
paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari
ketiganya, dan penarikan.

Menurut (Doenges, 2000:627) adapun penyebab fraktur antara lain:


1) Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa
misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan
fraktur
2) Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat kejadian kekerasan.
3) Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan,
neuplastik dan metabolik).

C. Tanda dan gejala

1) Deformitas ( perubssahan struktur atau bentuk)


2) Bengkak atau penumpukan cairan/darah karena kerusakan pembuluh
darah
3) Ekimosis ( perdarahan subkutan)
4) Spasme otot karena kontraksi involunter disekitar fraktur
5) Nyeri, karena kerusakan jaringan dan perubahan struktur yang meningkat
karena penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan bagian fraktur
6) Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan syaraf,
dimana syaraf ini terjepit atau terputus oleh fragmen tulang
7) Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan tulang,
nyeri atau spasme otot
8) Pergerakan abnormal
9) Krepitasi, yang dapat dirasakan atau didengar bila fraktur digerakan
10) Hasil foto rontgen yang abnormal
D. Patofisilogi

Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma.
Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil,
atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan
menyangga. Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya: patah tulang
patela dan olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi.
(Doenges, 2000:629)
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah
dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan.Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah
fraktur.Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan
aliran darahketempat tersebut.Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati
dimulai.Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi
sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru.Aktivitas osteoblast terangsang
dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi
dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati
Carpenito (2000:50)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi
darah total dapat berakibat anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut
saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen
(Brunner & suddarth, 2002: 2387).
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang
lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang
yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang.Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.Perdarahan terjadi
karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula
tulang.Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.Jaringan
yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan
tulang nantinya (Doenges, 2000:629).

E. Komplikasi
1. Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh
dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring.
2. Delayed union adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
3. Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali.
4. Compartment syndroma adalah suatu keadaan peningkatan takanan yang
berlebihan di dalam satu ruangan yang disebabkan perdarahan masif
pada suatu tempat.
5. Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
6. Fat embalism syndroma, tetesan lemak masuk ke dalam pembuluh darah.
Faktor resiko terjadinya emboli lemak ada fraktur meningkat pada laki-laki
usia 20-40 tahun, usia 70 sam pai 80 fraktur tahun.
7. Tromboembolic complicastion, trombo vena dalam sering terjadi pada
individu yang imobiil dalam waktu yang lama karena trauma atau ketidak
mampuan lazimnya komplikasi pada perbedaan ekstremitas bawah atau
trauma komplikasi paling fatal bila terjadi pada bedah ortopedil.
8. Infeksi, Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat
9. Avascular necrosis, pada umumnya berkaitan dengan aseptika atau
necrosis iskemia.
10. Refleks symphathethic dysthropy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif sistem
saraf simpatik abnormal syndroma ini belum banyak dimengerti. Mungkin
karena nyeri, perubahan tropik dan vasomotor instability.

F. Data Penunjang

Radiologi :

X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan metalikment.


Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi.CT scan untuk
mendeteksi struktur fraktur yang kompleks.
Laboratorium :

Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hb, hematokrit sering
rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila
kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan Ca dan
P mengikat di dalam darah

G. Penatalaksanaan : non medis dan medis

1. Pengobatan dan Terapi Medis


a) Pemberian anti obat antiinflamasi
b) Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
c) Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
d) Bedrest, Fisioterapi.
2. Konservatif (Non Medis)
Pembedahan dapat mempermudah perawatan dan fisioterapi agar
mobilisasi dapat berlangsung lebih cepat.Pembedahan yang sering dilakukan
seperti disektomi dengan peleburan yang digunakan untuk menyatukan
prosessus spinosus vertebra; tujuan peleburan spinal adalah untuk
menjembatani discus detektif, menstabilkan tulang belakang dan mengurangi
angka kekambuhan.Laminectomy mengangkat lamina untuk memanjakan
elemen neural pada kanalis spinalis, menghilangkan kompresi medulla dan
radiks.Microdiskectomy atau percutaeneus diskectomy untuk menggambarkan
penggunaan operasi dengan mikroskop, melihat potongan yang mengganggu
dan menekan akar syaraf.
Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
Pengkajian pada klien fraktur menurut Doengoes, (2000) diperoleh data sebagai
berikut :
1. Aktivitas (istirahat)
Tanda : Keterbatasan / kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin
segera fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder dari pembengkakan
jaringan nyeri)

2. Sirkulasi
Tanda : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri)
atau hipotensi ( kehilangan darah), takikardia ( respon stress, hipovolemia),
penurunan / tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera : pengisian kapiler
lambat, pucat pada bagian yang terkena pembengkakan jaringan atau massa
hepatoma pada sisi cedera.

3. Neurosensori
Gejala : Hilang sensasi, spasme otot, kebas / kesemutan (panastesis)
Tanda : Deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi,
spasme otot, terlihat kelemahan / hilang fungsi, agitasi (mungkin
berhubungan dengan nyeri atau trauma)

4. Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada
area jaringan / kerusakan tulang : dapat berkurang pada imobilisasi ; tidak
ada nyeri akibat kerusakan saraf, spasme / kram otot (setelah imobilisasi)

5. Keamanan
Tanda : Laserasi kulit, avulse jaringan, perubahan warna, pendarahan,
pembengkakan local (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba)

6. Penyuluhan
Gejala : Lingkungan cedera

7. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan roentgen : Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
b) Skan tulang, tomogram, skan CT/MRI : memperlihatkan fraktur, juga
dapat di gunakan untuk mengidentifikasi jaringan lunak
c) Arteriogram : Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d) Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi).
Peningkatan jumlah SOP adalah respon stress setelah trauma.
e) Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk kirens ginjal.
f) Profil koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfuse multiple atau cedera hati.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan integritas
tulang (fraktur).
2. Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot gerakan fragmen tulang,
edema dan cedera pada jaringan lunak, alat traksi/imobilisasi, stress,
ansietas
3. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan
penurunan/interupsi aliran darah : cedera vaskuler langsung, edema
berlebihan, pembentukan thrombus, hipovolemia.
C. Intervensi
Setelah diagnosa keperawatan ditemukan, dilanjutkan dengan menyusun
perencanaan untuk masing masing diagnosa yang meliputi prioritas diagnosa
keperawatan, penetapan tujuan dan kriteria evaluasi sebagai berikut :
1. Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan integritas
tulang (fraktur).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperaatan diharapkan trauma tidak
terjadi

Kriteria evaluasi :
1) Mempertahankan stabilitas dan posisi fraktur
2) Menunjukan mekanika tubuh yang meningkatkan stabilitas pada sisi
fraktur.
3) Menunjukan pembentukan kallus/mulai penyatuan fraktur yang tepat.
Intervensi :
1) Pertahankan tirah baring atau ekstremitas sesuai indikasi, berikan
sokongan sendi di atas dan di bawah fraktur bila bergerak.
2) Letakkan papan di bawah tempat tidur, pertahankan posisi netral pada
bagian yang sakit dengan bantal pasir, gulungan trochanter, papan kaki.
3) Kaji integritas alat fiksasi eksternal.
4) Kaji tulang foto atau evaluasi.

2. Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot gerakan ragmen tulang,


edema dan cedera pada jaringan lunak, alat traksi/imobilisasi, stress,
ansietas.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri
berkurang/hilang
Kriteria evaluasi :
1) Menyatakan nyeri hilang
2) Menunjukan sikap santai
3) Menunjukan keterampilan penggunaan relaksasi dan aktifitas terapeutik
sesuai indikasi untuk situasi individu.
Intervensi :
1) Kaji tingkat nyeri, lokasi nyeri, kedalaman, karakteristik serta intensitas
2) Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips,
pemberat, traksi
3) Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena.
4) Berikan alternatif tindakan kenyamanan misalnya : pijatan dan
perubahan posisi.
5) Ajarkan menggunakan teknik manajemen stress misalnya : relaksasi
progresif, latihan nafas dalam.
6) Kolaborasi, berikan analgetik sesuai program.

3. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan


penurunan/interupsi aliran darah ; cedera vaskuler langsung, edema
berlebihan, pembentukan thrombus, hipovolemia.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan disfungsi
neurovaskuler tidak terjadi.
Kriteria evaluasi.
1) Mempertahankan perfusi jaringan dibuktikan oleh terabanya nadi, kulit
kering/hangat,sensasi biasa, tanda vital stabil.
2) Haluaran urin adekuat untuk situasi individu.
Intervensi :
1) Evaluasi adanya atau kualitas nadi perifer distal terhadap cedera melalui
palpasi, bandingkan dengan ekstremitas yang satu.
2) Kaji aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan distal pada fraktur.
3) Pertahankan peninggian ekstremitas yang cedera kecuali
dikontraindikasikan dengan keyakinan danya sindrom kompartement.
4) Anjurkan klien untuk secara rutin latihan ROM
5) Beri obat sesuai indikasi.
D. Evaluasi Secara Teoritis
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang mengukur
seberapa jauh tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai berdasarkan standar
atau kriteria yang telah ditetapkan. Evaluasi merupakan aspek penting didalam
proses keperawatan, karena menghasilkan kesimpulan apakah perencanaan
keperawatan diakhiri atau ditinjau kembali atau dimodifikasi. Dalam evaluasi
prinsip objektifitas, reliabilitas dan validitas dapat dipertahankan agar keputusan
yang diambil tepat.

Evaluasi proses keperawatan ada dua yaitu evaluasi proses dan evaluasi
hasil. Evalusi proses/formatif adalah evaluasi yang dilakukan segera setelah
tindakan dilakukan dan didokumentasikan pada catatan keperawatan.Sedangkan
evaluasi hasil/sumatif adalah evaluasi yang dilakukan untuk mengukur sejauh
mana pencapaian tujuan yang ditetapkan, dan dilakukan pada akhir asuhan.
Daftar Pustaka

Engram, Barbara. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC, 1999

Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI,1999

NANDA.Diagnosis Keperawatan 2000. Alih bahasa mahasiswa PSIK – FK UGM


Angkatan 2002

Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta

Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC,


Jakarta

Robbins, dkk. (1999) Dasar Patologi Penyakit Edisi 5, Jakarta : EGC

Price, Sylvia A, dkk. (2005) Patofisiologi Edisi 6 Volume 2, Jakarta : EGC

Price & Wilson, (2006).Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyaki.Volume


2.Edisi 6.EGC : Jakarta.

Smeltzer dan Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume II. Edisi 8.
Agung Waluyo, Penerjemah. Jakarta : EGC

Wilkinson, Judith.M & ahern, Nancy R. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi
9.Buku kedokteran EGC. Jakarta

Corwin, Elizabeth. J, ( 2001 ), Buku Saku Patofisiologi, Jakarta : EGC

Muttaqin,Arif. (2011).Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal: Aplikasi Pada Praktik


Klinik Keperawatan. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai