Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH PEDIATRIK

‘’EPILEPSI ‘’

Disusun oleh : kelompok 5


Anisa (11202065)
Eva ana sholihah (11202078)
Hesti arum (11202089)
Nurlaili (11202108)
Syarifah hidayah (11202124)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA

PROGAM STUDI S1 KEPERAWATAN NON REGULER

ANGKATAN THN 2020


KATA PENGANTAR
Puji dan sykur kami haturkan ke Hadirat Yang Maha Esa, yang telah memberikan
Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“EPILEPSI ”.

Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan mata kuliah


“PEDIATRIK”.Kami menyadari keterbatasanpengetahuan dan kemampuan yang dimiliki,
oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.

Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
khususnya dari tenaga kesehatan lainnya.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
BAB I Pendahuluan
1.1 Pendahuluan
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Manfaat

BAB II Pembahasan

2.1 Pengertian

2.2 etiologi

2.3 Patofisiologi

2.4 Manifestasi Klinik

2.5 Pemeriksaan Diagostik

2.6 Penatalaksanaan

2.7 Asuhan Keperawatan

BAB III Tinjauan Kasus

3.1 Pengkajian

3.2 Analisa Data

3.3 Diagnosa Keperawatan

3.4 Intervensi

BAB IV Penutup

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Anak merupakan hal yang penting artinya bagi sebuah keluarga. Selain sebagai
penerus keturunan, anak pada akhirnya juga sebagai generasi penerus bangsa. Oleh
karena itu tidak satupun orang tua yang menginginkan anaknya jatuh sakit, lebih-lebih
bila anaknya mengalami kejang demam.
Epilepsi merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai pada
anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas
38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Penyebab demam terbanyak adalah
infeksi saluran pernapasan bagian atas disusul infeksi saluran pencernaan. (Ngastiyah,
2002; 229).
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 5 bulan
sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita
kejang demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada
perempuan. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral
yang lebih cepat dibandingkan laki-laki. (ME. Sumijati, 2000;72-73)
Bangkitan kejang berulang atau kejang yang lama akan mengakibatkan kerusakan sel-sel
otak kurang menyenangkan di kemudian hari, terutama adanya cacat baik secara fisik,
mental atau sosial yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak. (Iskandar
Wahidiyah, 2001 : 858) .

Epilepsi merupakan kedaruratan medis yang memerlukan pertolongan segera. Diagnosa


secara dini serta pengelolaan yang tepat sangat diperlukan untuk menghindari cacat yang
lebih parah, yang diakibatkan bangkitan kejang yang sering. Untuk itu tenaga
perawat/paramedis dituntut untuk berperan aktif dalam mengatasi keadaan tersebut serta
mampu memberikan asuhan keperawatan kepada keluarga dan penderita, yang meliputi
aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif secara terpadu dan berkesinambungan
serta memandang klien sebagai satu kesatuan yang utuh secara bio-psiko-sosial-spiritual.
Prioritas asuhan keperawatan pada Epilepsi adalah : Mencegah/mengendalikan aktivitas
kejang, melindungi pasien dari trauma, mempertahankan jalan napas, meningkatkan harga
diri yang positif, memberikan informasi kepada keluarga tentang proses penyakit,
prognosis dan kebutuhan penanganannya. (I Made Kariasa, 2000; 262).

1.2 Rumusan Masalah

1. Menjelaskan tentang pengertian epilepsi ?


2. Menjelaskan tentang etiologi ?
3. Menjelaskan tentang patofisiologi ?
4. Menjelaskan tentang manifestasi klinik ?
5. Menjelaskan tentang pemeriksaan diagnostic?
6. Menjelaskan tentang penatalaksaan ?
7. Menjelaskan tentang asuhan keperawatan ?

1.4 Tujuan Makalah


1. Untuk mengetahui tentang pengertian epilepsi
2. Untuk mengetahui tentang etiologik
3. Untuk mengetahui tentang patofisiologi
4. Untuk mengetahui manifestasi klinik
5. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnosa
6. Untuk mengetahui penatalaksaan
7. Untuk asuhan keperawatan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang


akibatlepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversible (Tarwoto,
2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang
dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik
abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif,
2000).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri
timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neron-neron
otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang
baru lahir (Utopias,2008).

2.2 Etiologi

Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (Idiopatik) Sering
terjadi pada:
1.Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2.Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3.Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4.Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5.Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah

Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama, ialah


epilepsi idopatik, remote symptomatic epilepsy (RSE), epilepsi simtomatik akut, dan
epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau
antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi
idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang
berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.

Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi


neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai prediksi
sebagai berikut: Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam
waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, apabila
defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan
ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama kecuali
bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan
mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk
terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan
ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam
waktu 6 bulan pertama.

Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni pada
bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan pada
ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa
menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan
yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak
janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ''embrio''
epilepsi bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya gangguan
pada otak seperti infeksi/ radang otak dan selaput otak, cedera karena benturan fisik/
trauma serta adanya tumor otak atau kelainan pembuluh darah otak juga
memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.epilepsi bahkan bayi yang tidak segera
menangis saat lahir atau adanya gangguan pada otak seperti infeksi/ radang otak dan
selaput otak, cedera karena benturan fisik/ trauma serta adanya tumor otak atau
kelainan pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.
Tabel penyebab-penyebab kejang pada epilepsi
Bayi (0- 2 th)  Hipoksia dan iskemia paranatal
 Cedera lahir intrakranial
 Infeksi akut
 Gangguan metabolik (hipoglikemia,
hipokalsemia,hipomagnesmia,
defisiensi piridoksin)
 Malformasi kongenital
 Gangguan genetik
Anak (2- 12 th)  Idiopatik
 Infeksi akut
 Trauma Kejang demam
Remaja (12- 18 th)  Idiopatik
 Trauma Gejala putus obat dan
alcohol
 Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th)  Trauma
 Alkoholisme
 Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35)  Tumor otak
 Penyakit serebrovaskular
 Gangguan metabolik (uremia, gagal
hepatik, dll ) dan alkoholisme
 Klasifikasi
Epilepsi diklasifikasikan menjadi dua pokok umum yaitu klasifikasi epilepsi dengan
sindrom epilepsi dan klasifikasi berdasarkan tipe kejang.
a) klasifikasi epilepsi dan sindrom epilepsi
1. Epilepsi idiopatik: bila tidak diketahui penyebabnya, epilepsi pada anak dengan
paroksimal oksipital
2. Simtomatik: bila ada penyebabnya, letak fokus pada pada semua lobus otak
b) klasifikasi tipe kejang epilepsi (browne, 2008)
1. Epilepsi kejang parsial (lokal, fokal)
a. Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal
Dengan gejala motorik:
• Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja
 Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan
menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
• Versif: epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
• Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap
tertentu.
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai halusinasi
sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo).
• Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
• Visual: terlihat cahaya
• Auditoris: terdengar sesuatu
• Olfaktoris: terhidu sesuatu
• Gustatoris: terkecap sesuatu
• Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
• Disfagia: gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau
bagian kalimat.
 Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah
mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak
mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
• Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
• Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
• Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih
besar. • Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara,
musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.
b. Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik
kemudian baru menurun.
• Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada
golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
• Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul
dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka
berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing
baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll. Dengan penurunan
kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan kesadaran.
• Hanya dengan penurunan kesadaran
• Dengan automatisme

2. Epilepsi kejang umum


a) Lena Atau Kejang absant (Petit mal)
Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak
membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara.
Biasanya epilepsi ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada
anak.
 Hanya penurunan kesadaran
 Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai
pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
 Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher,
lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
 Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot ekstremitas,
leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi
melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
 Dengan automatisme
 Dengan komponen autonom.
Lena tak khas (atipical absence) Dapat disertai:
 Gangguan tonus yang lebih jelas.
 Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
b) Grand Mal
 Kejang mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat
atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang.
Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.

 Kejang klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat,
dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali
pada anak.

 Kejang tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku
pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai.
Epilepsi ini juga terjadi pada anak.

 Kejang tonik- klonik


Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan
nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tandatanda yang
mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot- otot seluruh
badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang
kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri.
Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan
ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan
napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah
kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan
kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan
badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.

 Kejang atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien
terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini
terutama sekali dijumpai pada anak.
3. Epilepsi kejang tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang
ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang
mendadak berhenti sederhana.
2.3 Patofisiologi

Durasi pendek Durasi pendek


< 15 menit < 15 menit

Hiperkapni Hipoksemia Denyut jantung meningkat

Kerusakan Neuron otak


Demam Meningkat

Takikardi Gangguan saraf otonom


Dx : tidak efektif
termoregulasi Dx : jalan nafas tidak efektif
peningkatan suhu

Dispnea O2 Menurun

Gangguan keseimbangan membran sel neuron Kebutuhan O2 Meningkat

Disfusi Na+& K+ Berlebilahan Kesadaran menurun

Pelepasan muatan listrik semakin meluas ke Dx : gangguan perfusi jaringan


seluruh sel maupun membran sel disekitarnya
dengan bantuan neorotransiter
Dx : Resiko Cidera
Kejang

Parsial Umum

Sederhana Komplek Mioklonik tonik Atonik

Tonik-klonik
klonik
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan
pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron.
Pada hakekatnya tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf
yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps.

Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan nerotransmiter. Acetylcholine dan


norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-
amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam
sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik saraf di otak yang
dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui
sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga
seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi).
Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya
akan menyebar kebagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai
hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas
listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya
akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian
akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran

2.4 Manifestasi Klinik


a. Kehilangan kesadaran
b. Aktivitas motorik
1) Tonik klonik
2) Gerakan sentakan, tepukan atau menggarau
3)Kontraksi singkat dan mendadak disekelompok otot
4) Kedipan kelopak mata
5) Sentakan wajah
6) Bibir mengecap – ecap
7) Kepala dan mata menyimpang ke satu sisi
c. Fungsi pernafasan
1) Takipnea
2) Apnea
3) Kesulitan bernafas
4) Jalan nafas tersumbat
Sedangkan manifestasi klinik berdasarkan proses terjadinya keadaan epilepsi yang
dialami pada penderita gejala yang timbul berturut-turut meliputi di saat serangan,
penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba. Kesadaran menghilang dan tidak
mampu bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan baik rangsang
pendengaran, penglihatan, maupun rangsang nyeri. Badan tertarik ke segala penjuru. Kedua
lengan dan tangannya kejang, sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya
terkancing. Hitam bola mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak
dan jantung berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat. Terkadang
diikuti dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat
sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan
muatan listrik.

2.5 Pemeriksaan Diagnostik


a) CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada
otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral.
Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak
jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan
otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal
dengan defisit neurologik yang jelas.
b) Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
c) Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
• mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
• menilai fungsi hati dan ginjal
 menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan
adanya infeksi).
 Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
1. Elektrolit (natrim dan kalium), ketidak seimbangan pada dan dapat berpengaruh
atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang.
2. Glukosa, hipolegikemia dapat menjadi presipitasi ( percetus ) kejang.
3. Ureum atau creatinin, meningkat dapat meningkatkan resiko timbulnya aktivitas
kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrofoksik yang berhubungan dengan
pengobatan.
4. Sel darah merah, anemia aplestin mungkin sebagai akibat dari therapy obat.
5. Kadar obat pada serum : untuk membuktikan batas obat anti epilepsi yang
teurapetik.
6. Fungsi lumbal, untuk mendeteksi tekanan abnormal, tanda infeksi, perdarahan.
7. Foto rontgen kepala, untuk mengidentifikasi adanya sel, fraktur.
8. DET ( Position Emission Hemography ), mendemonstrasikan perubahan
metabolik
( Dongoes, 2000 : 202 )

2. 6 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah mencegah timbulnya sawan tanpa mengganggu kapasitas dan
intelek pasien. Pengobatan epilepsi meliputi pengobatan medikamentosa dan pengobatan
psikososial.
1) Pengobatan medikamentosa

Pada epilepsi yang simtomatis di mana sawan yang timbul adalah manifestasi
penyebabnya seperti tumor otak, radang otak, gangguan metabolic, mka di samping
pemberian obat anti-epilepsi diperlukan pula terapi kausal. Beberapa prinsip dasar
yang perlu dipertimbangkan:

a. Pada sawan yang sangat jarang dan dapat dihilangkan factor pencetusnya,
pemberian obat harus dipertimbangkan.
b. Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan; ini berarti pasien
mengalami lebih dari dua kali sawan yang sama.
c. Obat yang diberikan sisesuaikan dengan jenis sawan.
d. Sebaiknya menggunakan monoterapi karena dengan cara ini toksisitas akan
berkurang, mempermudah pemantauan, dan menghindari interaksi obat.
e. Dosis obat disesuaikan secara individual.
f. Evaluasi hasilnya, bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya:
 Salah etiologi: kelaianan metabolisme, neoplasma yang tidak terdeteksi,
adanya penyakit degenerates susunan saraf pusat.
 Pemberian obat antiepilepsi yang tepat.
 Kurang penerangan: menelan obat tidak teratur.
 Faktor emosional sebagai pencetus.
 Termasuk intractable epilepsi.
g. Pengobatan dihentikan setelah sawan hilang selama minimal 2 – 3 tahun.
Pengobatan dihentikan secara berangsur dengan menurunkan dosisnya.
h. Jenis obat yang sering digunakan, yaitu:
 Phenobarbital (luminal).
Paling seringdipergunakan, murahharganya, toksisitasrendah.
 Primidone (mysolin)
Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan
phenyletylmalonamid.
 Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).
Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah PH.
Berhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis,
takberhasiatterhadap petit mal, efek samping yang dijumpai ialah
nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan gangguan darah.
 Carbamazine (tegretol).
Mempunyaikhasiatpsikotropikyangmungkindisebabkanpengontrolanbangkita
nepilepsiitusendiriataumungkinjugacarbamazinememangmempunyaiefekpsik
otropik.Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang
sering disertai gangguan tingkahlaku.Efek samping yang mungkin terlihat
ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi sumsum tulang dan
gangguanfungsi hati.
 Diazepam.
Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status
konvulsi.).Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena
penyerapannya lambat. Sebaiknyadiberikani.v.atau intra rektal.
 Nitrazepam (inogadon).
Terutamadipakaiuntukspasmeinfantildanbangkitanmioklonus.
 Ethosuximide (zarontine).
Merupakanobatpilihanpertamauntukepilepsi petit mal
 Na-valproat (dopakene)
obat pilihan kedua pada petit mal
Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai.
obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak.
 Acetazolamide (diamox).
Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi.
Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun,
influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi.
 ACTH
Sering kali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantile
2) Pengobatan Psikososial.
     Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal sebagian besar
akan terbebas dari sawan. Pasien harus patuh dalam menjalani pengobatannya
sehingga dapat bebas dari sawan dan dapat belajar, bekerja dan bermasyarkat secara
normal.

3)  Penatalaksanaan status epileptikus

a) Lima menit pertama

 Pastikan diagnosis dengan observasi aktivitas serangan atau satu


serangan berikutnya.
 Beri oksigen lewat kanul nasal atau masker, atur posisi kepala dan jalan
nafas, intubasi bila perlu bantuan bentilasi.
 Tanda-tanda vital dan EKG, koreksi bila ada kelaianan.
 Pasang jalur intravena dengan NaC10,9%, periksa gula darah, kimia
darah, hematology dan kadar OAE (bila ada fasilitas dan biaya).

b) Menit ke-6 hingga ke-9


Jika hipoglikemia/gula darah tidak diperiksa, berikan 50 ml glukosa 50%
bolas intravena (pada anak: 2 ml/kgBB/glukosa 25%) disertai 100 mg tiamin
intravena.

c) Menit ke-10 hingga ke-20

Pada dewasa: berikan 0,2 mg/kgBB diazepam dengan kecepatan 5 mg/menit


sampai maksimum 20 mg. Jika serangan masih ada setelah 5 menit, dapat
diulangi lagi. Diazepam harus diikuti dengan dosis rumat fenitoin.
d). Menit ke 20 hingga ke-60

Berikan fenitoin 20 mg/kgBB dengan kecepatan <50 mg/menit pada dewasa


dan 1 mg/kbBB/menit pada anak; monitor EKG dan tekanan darah selama
pemberian.

e) Menit setelah 60 menit

Jika status masih berlanjut setelah fenitoin 20 mg/kg maka berikan fenitoin
tambahan 5 mg/kg sampai maksimum 30 mg/kg. Jika status menetap, berikan
20 mg/kg fenobarbital intravena dengan kecepatan 60 mg/menit. Bila apne,
berikan bantuan ventilasi (intubasi). Jika status menetap, anestasia umum
dengan pentobarbiatal, midazolam atau propofal.

4)Perawatan pasien yang mengalami kejang :

a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu

(pasien yang mempunyai aura/penanda ancaman kejang memerlukan waktu

untuk mengamankan, mencari  tempat yang aman dan pribadi

b) Pasien dilantai jika memungkinkan lindungi kepala dengan bantalan untuk

mencegah cidera dari membentur permukaan yang keras.

c) Lepaskan pakaian yang ketat

d) Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai pasien selama kejang.

e) Jika pasien ditempat tidur singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat tidur.

f) Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang diberi bantalan

diantara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.

g) Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada keadaan spasme untuk

memasukkan sesuatu, gigi yang patah cidera pada bibir dan lidah dapat

terjadi karena tindakan ini.


h) Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama kejang karena

kontraksi otot kuat dan restrenin dapat menimbulkan cidera

i) Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu sisi dengan kepala

fleksi kedepan yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan

pengeluaran salifa dan mucus. Jika disediakan pengisap gunakan jika perlu

untuk membersihkan secret

j) Setelah kejang: pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah

aspirasi, yakinkan bahwa jalan nafas paten. Biasanya terdapat periode

ekonfusi setelah kejang grand mal. Periode apnoe pendek dapat terjadi

selama atau secara tiba-tiba setelah kejang. Pasien pada saat bangun harus

diorientasikan terhadap lingkungan   


2.7 Asuhan Keperawatan

a) Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien ditanyakan
tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan alkohol
dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang
ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah pasien mempunyai program rekreasi?
Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja? Mekanisme koping apa yang digunakan?

1. Identitas Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal
pengkajian dan diagnosa medis.
2. Keluhan utama Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk
masuk RS. Pasien sering mangalami kejang.
3. Riwayat penyakit sekarang Merupakan riwayat klien saat ini meliputi
keluhan, sifat dan hebatnya keluhan, mulai timbul. Biasanya ditandai dengan
anak mulai rewel, kelihatan pucat, demam, anemia, terjadi pendarahan
(pendarah gusi dan memar tanpa sebab), kelemahan. nyeri tulang atau sendi
dengan atau tanpa pembengkakan.
4. Riwayat penyakit dahulu Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang
berhubungan dengan keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan.
5. Riwayat kehamilan dan kelahiran. Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat
prenatal, natal dan post natal. Dalam riwayat prenatal perlu diketahui
penyakit apa saja yang pernah diderita oleh ibu. Riwayat natal perlu
diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena
mempengaruhi sistem kekebalan terhadap penyakit pada anak. Trauma
persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi
ketuban untuk anak. Riwayat post natal diperlukan untuk mengetahui
keadaan anak setelah kelahariran dan pertumbuhan dan perkembanagannya.
6. Riwayat penyakit keluarga Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah
ada kaitannya dengan penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status
kesehatan keluarga perlu diketahui, apakah ada yang menderita gangguan
hematologi, adanya faktor hereditas misalnya kembar monozigot.
Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam
mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.

a) Selama serangan :

 Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.


 Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
 Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
 Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik, kejang
tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.
 Apakah pasien menggigit lidah.
 Apakah mulut berbuih.
 Apakah ada inkontinen urin.
 Apakah bibir atau muka berubah warna.
 Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
 Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu sisi
atau keduanya.
b) Sesudah serangan
 Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara
 Apakah ada perubahan dalam gerakan.
 Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum, selama dan
sesudah serangan.
 Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi denyut
jantung.
 Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang
c) Riwayat sebelum serangan
 Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi
 Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.
 Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik, olfaktorik
maupun visual.
d) Riwayat Penyakit
 Sejak kapan serangan terjadi.
 Pada usia berapa serangan pertama.
 Frekuensi serangan.
 Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang tidur,
keadaan emosional.
 Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan
gangguan kesadaran, kejang-kejang.
 Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
 Apakah makan obat-obat tertentu
 Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

Pemeriksaan fisik

1. Tingkat kesadaran pasien


2. Sirkulasi Gejala : palpitasi. Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.
3. Penglihatan (mata) Perubahan pada posisi bola mata, dan perubahan pupil
4. Makanan / cairan Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.

Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, perdarahan pada gusi

5. Ekstremitas: Adanya kelemahan otot ekstremitas, distrosia osteo atau tidak


6. Integritas ego Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.

Tanda : depresi, ansietas, marah.

7. Neurosensori Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang


konsentrasi, pusing.

Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.

8. Nyeri / kenyamanan Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi,
kram otot. Tanda : gelisah, distraksi.

9. Pernafasan Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal, akumulasi
cairan.

Tanda : dispnea, apnea, batuk

b). Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di


endotrakea, peningkatan sekresi saliva, keruskan neromuskuler.
2. Termogulasi tidak efektif : Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolik,
proses infeksi
3. Resiko terhadap cidera berhubungan dengan perubahan kesadaran, keruskan kognitif
selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri dan aktivitas kejang
yang terkontrol ( gangguan keseimbangan )
4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan
kurang pemanjaan, kesalahan interprestasi, kurang mengingat.

c). Intervensi

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di


endotrakea, peningkatan sekresi saliva, keruskan neromuskuler.
Tujuan : Setelah dilakukan askep 3x24 Jam masalah bersihan jalan nafas
tidak efektif tidak terjadi dan teratasi.

Kriteria hasil : nafas normal ( 25 – 30 x/menit ), tidak tejadi aspirasi, tidak


ada dispnea, tidak ada penumpukan sekret.

INTERVENSI RASIONAL
1. Anjurkan klien untuk 1. Menurunkan resiko aspirasi
mengosongkan mulut dari atau masuknya sesuatu benda
benda/zat tertentu asing kedalam tirah baring

2. Letakkan klien dalam posisi 2. Meningkatkan aliran


miring dan pada permukaan datar (drainase), sekret, mencegah
lidah jatuh dan menyumbat
3. Tanggalkan pakaian klien pada
jalan nafas
daerah leher atau dada dan
abdomen 3. Untuk memudahkan usaha
klien dalam bernafas dan
4. Melakukan penghisapan sesuai ekspansi dada
indikasi
4. Mengeluarkan mukus yang
berlebihan menurunkan resiko
aspirasi atau afeksia

5. Membantu pemenuhi
kebutuhan oksigen adar tetap
Berikan oksigen sesuai program terai adekuat.
2. Termogulasi tidak efektif : Hipertermi berhubungan dengan peningkatan
metabolik, proses infeksi
Tujuan : Setelah dilakukan askep 3x24 Jam, masalah termogulasi tidak efektif
teratasi.
Kriterua hasil : Demam berkurang, suhu normal 36,5 – 37,5 ̊ C , Nadi dan RR
normal, tidak ada perubahan warna kulit

INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji faktor-faktor terjadinya 1. Mengetahui penyebab terjadinya
peningkatan suhu peningkatan suhu tubuh karena
penambahan pakaian / selimut
2. Observasi tanda – tanda vital dapat menghambat penurunan
suhu.
2. Pemantauan tanda vital yang
3. Ajarkan keluarga cara teratur dapat menentukan
memberikan kompres dibagian perkembangan keperawatan
kepala / ketiak selanjutnya.

3. Proses konduksi / perpindahan


4. Anjurkan untuk menggunakan
panas dengan suatu bahan
pakaian tipis yang terbuat dari
perantara.
kain katun

4. Proses hilangnya panas akan


5. Berikan ekstra cairan dengan
terhalangi oleh pakaian tebal dan
menganjurkan klien banyak
tidak dapat menyerap keringat.
minum
5. Kebutuhan cairan meningkat
karena penguapan tubuh yang
meningkat.

3. Resiko terhadap cidera berhubungan dengan perubahan kesadaran, keruskan


kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri dan
aktivitas kejang yang terkontrol ( gangguan keseimbangan )
Tujuan : Setelah dilakukan askep selama 3x24 Jam masalah resiko terhadap
cidera teratasi dan tidak terjadi.

Kriteria Hasil : tidak terjadi cidera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman,
tidak ada memar dan tidak ada resiko terjatuh.

INTERVENSI RASIONAL

1. Identifikasi faktor lingkungan 1. Dengan menjauhkan barang-


yang memungkinkan resiko barang disekitarnya dapat
terjadinya cidera membahayakan saat terjadinya
kejang
2. Pasang penghalang ditempat 2. Penjagaan untuk keamanan,
tidur untuk mencegah terjadinya
cidera pada klien
3. Letakkan klien ditempat tidur 3. Area yang rendah dan datar
yang rendah & datar dapat mencegah terjadinya
cidera pada klien
4. Siapkan kain lunak untuk 4. Lidah berpotensi tergigit saat
mencegah terjadinya tergigitnya kejang karena saat kejang
lidah saat kejang biasanya lidah menjulur
kedepan
5. Berikan obat anti kejang
5. Mengurangi aktivitas kejang
yang berkepanjangan yang
dapat mengurangi suplai
oksigen

4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan


dengan kurang pemanjaan, kesalahan interprestasi, kurang mengingat.

Tujuan : Setelah dilakukan askep 1x24 Jam masalah kurang pengetahuan


mengenai kondisi dan aturan pengobatan teratasi.
Kriteria hasil : Mampu mengungkapkan pemahaman tentang gangguan dan
berbagai rangsangan yang telah diberikan, mulai merubah perilaku,
mentaati peraturan obat yang diresepkan.

INTERVENSI RASIONAL
1. Jelaskan mengenai prognosis 1.Memberikan kesempatan untuk
penyakit dan perlunya mengklarifikasi kesalahan
pengobatan persepsi & keadaan penyakit
yang ada
2. Berikan informasi yang 2.Pengetahuan yang diberikan
adekuat tentang prognosis mampu menurunkan resiko dari
penyakit dan tentang interaksi efek bahay satu penyakit & cara
obat yang potensial menanganinya

3. Tekankan perlunya untuk 3.Kebutuhan terpeutik dapat


melakukan evaluasi yang berubah sehingga
teratur/melakukan pemeriksaan mempersiapkan kemungkinan
laboratorium sesuai indikasi yang akan terjadi

4. Diskusikan manfaat kesalahan 4.Aktivitas yang sedang & teratur


umum yang baik, seperti diet dapat membantu
yang adekuat, & istirahat yang menurunkan/mengendalikan
cukup faktor presdiposisi

d). Pelaksanaan
Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan dapat bersifat mandiri
dan kolaboratif. Selama melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor
kemajuan kesehatan klien.
e). Evaluasi
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data
subyektif dan obyektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan keperawatan
sudah dicapai atau belum. Bila perlu langkah evaluasi ini merupakan langkah awal
dari identifikasi dan analisa masalah selanjutnya

Anda mungkin juga menyukai