PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan kebudayaan masyarakat, membawa banyak perubahan dalam segala
segi kehidupan manusia. Setiap perubahan situasi kehidupan individu baik yang sifatnya
positif ataupun yang negatif dapat mempengaruhi keseimbangan fisik, mental, dan
sosial. Manusia selalu berusaha untuk mempertahankan keseimbangan agar selalu sehat
baik fisik, mental ataupun sosial. Manusia sebagai makluk biologi-psikologi-sosial-
cultural mempunyai sejumlah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi dan apabila
mengalami kegagalan dalam mendapatkan keutuhan tersebut, maka akan terjadi
ketidakseimbangan (Stuart and Sunnden,1991).
Seseorang akan beradaptasi terhadap ketidakseimbangan melalui mekanisme
penanganan yang dipelajari pada masa lampau. Apabila seseorang berhasil beradaptasi
dimasa lampau, berarti ia telah mempelajari efektifitas mekanisme penangganan yang
sangat berguna bagi dirinya pada saat ini dan dimasa yang akan datang dan sebaliknya,
jika adaptasi dimasa lampau tak berhasil, maka ia tak punya mekanisme penanganan yang
adekuat untuk beradaptasi terhadap kesulitan yang lebih komplek dimasa mendatang dan
bisa menyebabkan terjadinya keadaan yang mempunyai pengaruh buruk terhadap
kesehatan jiwa atau dengan kata lain adalah gangguan jiwa.
Salah satu tanda dan gejala gangguan jiwa adalah ungkapan marah yang mal
adaptif yang dilakukan seseorang karena gagal dalam beradaptasi dan tak punya
mekanisme penanganan yang adekuat. Ungkapan marah yang mal adaptif, salah satunya
adalah agresif, yang akan membahayakan karena dapat timbul dorongan untuk bertindak
baik secara kontruktif maupun destruktif dan masih terkontrol. Marah agresif adalah suatu
prilaku yang menyertai rasa marah dan merupakan dorongan untuk bertindak baik secara
kontruktif maupun destruktif dan masih terkontrol. Pasien dengan marah agresif akan
bersifat menentang, suka membantah, bersikap kasar, kecenderungan menuntut secara
terus-menerus, bertingkah laku kasar disertai kekerasan (Stuart and Sunden,1991).
Permasalahan yang dihadapi dalam perawatan pasien dengan marah agresif adalah
sikap pasien yang tak kooperatif, membahayakan dirinya sendiri dan lingkungan serta
masalah pasien yang dapat menimbulkan dorongan agresifnya.
Umumnya klien dengan perilaku kekerasan dibawa dengan paksa ke rumah sakit
jiwa. Sering tampak klien diikat secara tidak manusiawi disertai bentakan dan
“pengawalan” oleh sejumlah anggota keluarga bahkan polisi. Perilaku kekerasan seperti
memukul anggota keluarga/orang lain, merusak alat rumah tangga dan marah-marah
merupakan alasan utama yang paling banyak dikemukakan oleh keluarga. Penanganan
yang dilakukan oleh keluarga belum memadai sehingga selama perawatan klien
setidaknya sekeluarga mendapat pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien
(manajemen perilaku kekerasan). Asuhan keperawatan yang diberikan di rumah sakit jiwa
terhadap perilaku kekerasan perlu ditingkatkan serta dengan perawatan intensif di rumah
sakit umum. Asuhan keperawatan perilaku kekerasan (MPK) yaitu asuhan keperawatan
yang bertujuan melatih klien mengontrol perilaku kekerasannya dan pendidikan kesehatan
tentang MPK pada keluarga. Seluruh asuhan keperawatan ini dapat dituangkan menjadi
pendekatan proses keperawatan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar mengenai prilaku kekerasan pada keluerga?
2. Bagaimana asuhan keperawatan jiwa prilaku kekerasan pada keluarga?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memperoleh pengalaman nyata dalam melakukan Asuhan keperawatan jiwa
perilaku kekerasan pada keluarga yang diharapkan akan mampu mengidentifikasikan
seluruh masalah yang terjadi sehubungan dengan Perilaku kekerasan.
2. Tujuan Khusus.
- Untuk mengetahui konsep dasar mengenai perilaku kekerasan.
- Untuk mengetahui mengenai asuhan keperawatan klien perilaku kekerasan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Perilaku kekerasan dalam keluarga adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap perempuan
maupun anak. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah
yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995)
Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga
adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal
1 ayat 1).
Kekerasan dalam keluarga mencakup penganiayaan fisik, emosonal dan seksual
pada anak-anak pengabaian anak, pemukulan pasangan, pemerkosaan terhadap suami atau
istri dan penganiayaan lansia. Perilaku penganiyaan dan prilaku kekerasan yang tidak akan
dapat diterima bila dilakukan oanng yang tidak dikenal sering kali di tolerannsi selama
bertahun-tahun dalam keluarga. Dalam kekerasan keluarga, keluarga yang normalnya
merupakan tempat yang aman dan anggotanya merasa dicintai dan terlindung, dapat
menjadi tempat palinng berbahaya bagi korban.
Maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk
D. Faktor Presdiposisi
Faktor Psikologis
Psycoanalytical Theory; Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif merupakan
akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia di pengaruhi
oleh dua insting. Pertama insting hidup yang dapat di ekspresikan dengan seksualitas; dan
kedua, insting kematian yang diekspresikan dengan agresivitas.
Frustation agression theory ; teori yang dikembangkan oleh pengikut Freud ini
berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami
hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi
perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi
hampir semua orang melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilkau agresif, mendukung pentingnya
peran dari perkembangan presdiposisi atau pengalaman hidup. Ini menggunakan
pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak
merusak. Beberapa contoh dari pengalaman tersebut :
Kerusakan otak organik, retardasi mental, sehingga tidak mampu menyelesaikan
secara efektif.
Severe Emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa kanak-kanak,
atau seduction parental, yang mengkin telah merusak hubungan saling percaya (trust) dan
harga diri.
Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child abuse atau
mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga membentuk pola pertahanan atau
koping.
Faktor Sosial Budaya
Social Learning Theory; teori yang dikembangkan oleh Bandura (1977) ini
mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat
di pelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan
makan semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan merespon terhadap
keterbangkitaan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang di pelajarinya.
Pembelajaran ini bisa internal atau ekternal. Contoh internal; orang yang mengalami
keterbangkitan seksual karena menonton film erotis menjadi lebih agresif dibandingkan
mereka yang tidak menonton film tersebut; seseorang anak yang marah karena tidak boleh
beli es kemudian ibunya memberinya es agar si anak mendapatkan apa yang dia inginkan.
Contoh eksternal; seorang anak menunjukan perilaku agresif setelah melihat seseorang
dewasa mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap sebuah boneka.
Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat
membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima atau tidak dapat
diterima. Sehingga dapat membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara
asertif.
Faktor biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresif mempunyai
dasar biologis. Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa adanya pemberian stimulus
elektris ringan pada hipotalamus (yang berada di tengah sistem limbik binatang ternyata
menimbulkan perilaku agresif). Perangsangan yang diberikan terutama pada nukleus
periforniks hipotalamus dapat menyebabkan seekor kucing mengeluarkan cakarnya,
mengangkat ekornya, mendesis, bulunya berdiri
Neurotransmitter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif adalah serotonin,
dopamin, norepinephrine, acetilkolin, dan asam amino GABA.
Faktor-faktor yang mendukung :
Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan.
Sering mengalami kegagalan.
Kehidupan yang penuh tindakan agresif.
Lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat).
Faktor Presipitasi
Secara umum, seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya
teramcam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal dengan
adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika seseorang merasa terancam,
mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh
karena itu, baik perawat maupun klien harus bersama-sama mengidentifikasikannya.
Ancaman dapat berupa internal ataupun eksternal. Contoh stressor eksternal yaitu
serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang di anggap bermakna dan adanya
kritikan dari orang lain. Sedangkan stressor dari internal yaitu merasa gagal dalam bekerja,
merasa kehilangan orang yang dicintainya, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita.
Bila dilihat dari sudut perawat-klien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya
perilaku kekerasan terbagi dua, yaitu :
Klien : Kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang
percaya diri.
Lingkungan : Ribut, kehilangan orang / objek yang berharga, konflik
interaksi sosial.
E. Etiologi
Menurut Stearen kemarahan adalah kombinasi dari segala sesuatu yang tidak enak,
cemas, tegang, dendam, sakit hati, dan frustasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya kemarahan yaitu frustasi, hilangnya harga diri, kebutuhan akan status dan
prestise yang tidak terpenuhi.
Frustasi, sesorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan / keinginan
yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika
ia tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain tanpa mengendalikan orang
lain dan keadaan sekitarnya misalnya dengan kekerasan.
Hilangnya harga diri; pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan yang sama
untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya individu tersebut mungkin
akan merasa rendah diri, tidak berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah, dan
sebagainya.
Kebutuhan akan status dan prestise ; Manusia pada umumnya mempunyai keinginan
untuk mengaktualisasikan dirinya, ingin dihargai dan diakui statusnya.
E. Bentuk-Bentuk KDRT
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat (Pasal 6).
2. Kekerasan psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7)
3. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai,
pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu.
Kekerasan seksual meliputi (pasal 8):
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut;
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
4. Penelantaran Rumah Tangga
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk
bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali
orang tersebut (pasal 9)
G. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi diri.(Stuart dan Sundeen, 1998 hal 33).
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya
ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi
diri antara lain : (Maramis, 1998, hal 83)
Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat untuk suatu
dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang
yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan
kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan
akibat rasa marah.
Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik.
Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual
terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu,
mencumbunya.
Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar.
Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya.
Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci
orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci
itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan melebih-lebihkan
sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya
seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan
kasar.
Displacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek yang tidak
begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu. Misalnya
Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena
menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya.
H. Psikopatologi
Depkes (2000) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah merupakan bagian
kehidupan sehari-hari yang harus dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan
kecemasan yan g menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan
dapat menimbulkan kemarahan yang mengarah pada perilaku kekerasan. Respon terhadap
marah dapat diekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal dapat
berupa perilaku kekerasan sedangkan secara internal dapat berupa perilaku depresi dan
penyakit fisik.
Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan kata-
kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain, akan memberikan
perasaan lega, menu runkan ketegangan, sehingga perasaan marah dapat diatasi (Depkes,
2000). Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan, biasanya
dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tentunya tidak akan
menyelesaikan masalah bahkan dapat menimbulkan kemarahan yang berkepanjangan dan
dapat menimbulkan tingkah laku destruktif, seperti tindakan kekerasan yang ditujukan
kepada orang lain maupun lingkungan.
Perilaku yang tidak asertif seperti perasaan marah dilakukan individu karena
merasa tidak kuat. Individu akan pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari rasa
marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan
rasa bermusuhan yang lama dan pada suatu saat dapat menimbulkan kemarahan destruktif
yang ditujukan kepada diri sendiri (Depkes, 2000).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Pengumpulan data.
a. Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi terhadap
sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, tachikardi, muka merah, pupil
melebar, pengeluaran urine meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti
meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal,
tubuh kaku, dan refleks cepat. Hal ini disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah
bertambah.
b. Aspek emosional
Salah satu anggota yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel,
frustasi, dendam, ingin memukul anggota yang lain , mengamuk, bermusuhan dan sakit
hati, menyalahkan dan menuntut.
c. Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses intelektual,
peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan lingkungan yang selanjutnya
diolah dalam proses intelektual sebagai suatu pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara
klien marah, mengidentifikasi penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses,
diklarifikasi, dan diintegrasikan.
d. Aspek sosial
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan. Emosi
marah sering merangsang kemarahan anggota keluarga yang lain lain. Individu seringkali
menyalurkan kemarahan dengan mengkritik tingkah laku yang lain sehingga anggota
keluarga yang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan kata-kata kasar yang berlebihan
disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri, menjauhkan diri
dari orang lain, menolak mengikuti aturan
e. Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungan.
Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang
dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak berdosa. Dari uraian tersebut di atas
jelaslah bahwa perawat perlu mengkaji individu secara komprehensif meliputi aspek fisik,
emosi, intelektual, sosial dan spiritual yang secara singkat dapat dilukiskan sebagai berikut
: Aspek fisik terdiri dari :muka merah, pandangan tajam, napas pendek dan cepat,
berkeringat, sakit fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat. Aspek emosi :
tidak adekuat, tidak aman, dendam, jengkel. aspek intelektual : mendominasi, bawel,
sarkasme, berdebat, meremehkan. aspek sosial : menarik diri, penolakan, kekerasan,
ejekan, humor.
2. Klasifikasi data
Data yang didapat pada pengumpulan data dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu
data subyektif dan data obyektif. Data subyektif adalah data yang disampaikan secara lisan
oleh klien dan keluarga. Data ini didapatkan melalui wawancara perawat dengan klien dan
keluarga. Sedangkan data obyektif yang ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan
melalui obsevasi atau pemeriksaan langsung oleh perawat.
3. Analisa data
Dengan melihat data subyektif dan data objektif dapat menentukan permasalahan
yang dihadapi keluarga dan dengan memperhatikan pohon masalah dapat diketahui
penyebab sampai pada efek dari masalah tersebut. Dari hasil analisa data inilah dapat
ditentukan diagnosa keperawatan.
4. Aspek Fisik
Aspek fisik terdiri dari :muka merah, pandangan tajam, napas pendek dan cepat,
berkeringat, sakit fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat. Aspek emosi :
tidak adekuat, tidak aman, dendam, jengkel. aspek intelektual : mendominasi, bawel,
sarkasme, berdebat, meremehkan. aspek sosial : menarik diri, penolakan, kekerasan,
ejekan, humor.
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perawat perlu mengkaji individu secara
komprehensif meliputi aspek fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual yang secara
singkat dapat dilukiskan sebagai berikut.
POHON MASALAH
Resiko Prilaku
Kekerasan gg
. komonikasi
HALUSINASI
verbal
Difissit
perawatan
diri
ISOS
HDR
Marah,
frustasi.cemas,
dendam, sakit
hati, tidak
enak,
B. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan utama pada klien marah dengan masalah utama
perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
1. Resiko Prilaku Kekerasan
C. INTERVENSI
tgl No Diagnose Rencana keperawatan
Dx keperawatan
SP IVp
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
pasien
2. Melatih pasien mengontrol PK dengan
cara spiritual
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
SP Vp
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
pasien
2. Menjelaskan cara mengontrol PK dengan
minum obat
3. Menganjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perilaku kekerasan dalam keluarga adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap perempuan
maupun anak. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah
yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995)