Anda di halaman 1dari 8

TUGAS REFERAT UJIAN

MEKANISME ADH DAN ALDOSTERON DALAM


REABSORBSI NATRIUM

Oleh :
Esti Rahmawati Suryaningrum
G0007064

Pembimbing:

Dr. dr. Bambang Purwanto, Sp. PD-KGH-FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U R AK AR TA
2012

A.

MEKANISME ADH DALAM REABSORBSI NATRIUM


Ada suatu sistem umpan balik yang kuat untuk mengatur osmolaritas plasma
dan konsentrasi natrium, yang bekerja dengan cara mengubah ekskresi air oleh
ginjal dan tidak bergantung pada kecepatan ekskresi zat terlarut. Yang berperan
dalam umpan balik ini adalah hormon antidiuretik (ADH), yang juga disebut
vasopressin (Guyton dan Hall, 2008).
Bila osmolaritas cairan tubuh meningkat di atas normal (zat terlarut dalam
cairan tubuh menjadi terlalu pekat), kelenjar hipofisis posterior akan menyekresi
lebih banyak ADH, yang meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan tubulus
koligentes terhadap air. Keadaan ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi air
dalam jumlah besar dan penurunan volume urin, tetapi tidak mengubah kecepatan
ekskresi zat terlarut oleh ginjal secara nyata. Bila terdapat kelebihan air di dalam
tubuh dan osmolaritas cairan extrasel menurun, sekresi ADH oleh hipofisis
posterior akan menurun. Oleh sebab itu, permeabilitas tubulus distal dan tubulus
koligentes terhadap air akan menurun, yang menghasilkan sejumlah besar urin
encer. Jadi, kecepatan sekresi ADH sangat menentukan encer atau pekatnya urin
yang akan dikeluarkan oleh ginjal (Guyton dan Hall, 2008).
ADH yang sangat sedikit sebesar 2 nanogram dapat menyebabkan
berkurangnya ekskresi air oleh ginjal (antidiuresis). Singkatnya, bila hormon ADH
ini tidak ada, maka tubulus dan duktus koligentes hampir tidak permeabel
terhadap air, sehingga mencegah reabsorbsi air dalam jumlah yang signifikan dan
karena itu mempermudah keluarnya air yang sangat banyak ke dalam urin, yang
juga menyebabkan urin menjadi sangat encer. Sebaliknya, bila ada ADH, maka
permeabilitas tubulus dan duktus koligentes terhadap air sangat meningkat dan
menyebabkan sebagian besar air direabsorbsi sewaktu cairan tubulus melewati
duktus koligentes, sehingga air yang disimpan dalam tubuh akan lebih banyak dan
menghasilkan urin yang sangat pekat (Guyton dan Hall, 2008).
Walaupun natrium klorida adalah salah satu zat terlarut utama yang turut
membentuk hiperosmolaritas interstisium medula, bila diperlukan, ginjal mampu
mengeluarkan urin dengan kepekatan yang tinggi yang mengandung sedikit NaCl.
Hiperosmolaritas urin pada keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi zat
terlarut lain, terutama produk buangan seperti ureum dan kreatinin. Satu keadaan
yang menyebabkan hal ini terjadi adalah dehidrasi yang disertai dengan asupan Na
yang rendah. Asupan Na yang rendah akan merangsang pembentukan hormon

angiotensin II dan aldosteron, yang bersama-sama menimbulkan reabsorbsi Na


yang hebat dari tubulus sambil meninggalkan ureum dan zat terlarut lainnya untuk
mempertahankan kepekatan urin yang tinggi (Guyton dan Hall, 2008).
ADH berikatan dengan reseptor V2 spesifik di bagian akhir tubulus distal,
tubulus koligentes dan duktus koligentes, yang meningkatkan pembentukan
cAMP dan mengaktivasi protein kinase. Kemudia kedua hal tersebut merangsang
pergerakan suatu protein intrasel, yang disebut aquaporin-2 (AQP-2), ke sisi
luminal membran sel.molekul-molekul AQP-2 berkelompok dan bergabung
dengan membran sel melalui eksositosis untuk membentuk kanal air yang
menyebabkan difusi air secara cepat melalui sel. Juga terdapat aquaporin lainnya,
AQP-3 dam AQP-4. di sisi basolateral; dari membran sel yang menyediakan suatu
jalur bagi air untuk keluar dari sel secara cepat, walaupun hal ini tidak diyakini
diatur oleh ADH. Peningkatan kadar ADH secara kronis juga meningkatkan
pembentukan AQP-2 di sel tubulus ginjal dengan merangsang transkripsi gen
AQP-2. bila konsentrasi ADH menurun, molekul AQP-2 berpindah kembali ke
sitoplasma sel, dengan demikian memindahkan kanal air dari membran luminal
dan menurunkan permeabilitas air. Semua proses ini terjadi dalam waktu 5 sampai
10 menit. Kemudian, bila tidak ada ADH, seluruh proses berbalik dalam waktu 5
sampai 10 menit berikutnya. Jadi, proses ini secara sementara menyediakan
banyak pori baru yang mempermudah difusi bebas air dari cairan tubulus
melewati sel epitel tubulus dan masuk ke dalam cairan interstisial ginjal.
Kemudian air diabsorbsi dari tubulus dan duktus koligentes dengan cara osmosis
(Verbalis et al, 2007).

B.

MEKANISME ALDOSTERON DALAM REABSORBSI NATRIUM


Peranan renin-angiotensin sangat penting pada hipertensi renal atau yang
disebabkan karena gangguan pada ginjal. Apabila bila terjadi gangguan pada
ginjal, maka ginjal akan banyak mensekresikan sejumlah besar renin. Nama
renin pertama kali diberikan oleh Tigerstredt dan Bergman (1898) untuk suatu
zat presor yang diekstraksi dari ginjal kelinci (Basso dan Terragno, 2001). Pada
tahun 1975 Page dan Helmer mengemukakan bahwa renin merupakan enzim
yang bekerja pada suatu protein, angiotensinogen untuk melepaskan Angiotensin.
Baru pada tahun 1991 Rosivsll dan kawan-kawan mengemukakan bahwa bahwa
renin dihimpun dan disekresi oleh sel juxtaglomelurar yang terdapat pada dinding
arteriol afferen ginjal, sebagai kesatuan dari bagian macula densa satu unit nefron
(Laragh, 2007).
Menurut Guyton dan Hall (2008), renin adalah enzim dengan protein kecil
yang dilepaskan oleh ginjal bila tekanan arteri turun sangat rendah. Menurut
Klabunde (2007) pengeluaran renin dapat disebabkan aktivasi saraf simpatis
(pengaktifannya melalui 1-adrenoceptor), penurunan tekanan arteri ginjal
(disebabkan oleh penurunan tekanan sistemik atau stenosis arteri ginjal), dan
penurunan asupan garam ke tubulus distal.

Gambar 4. Proses pengeluaran renin dari ginjal, pembentukan


dan fungsi angiotensin II (Sumber : Klabunde, 2007)

Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan pada uraian berikut. Renin


bekerja secara enzimatik pada protein plasma lain, yaitu suatu globulin yang
disebut bahan renin (atau angiotensinogen), untuk melepaskan peptida asam
amino-10, yaitu angiotensin I. Angiotensin I memiliki sifat vasokonstriktor yang
ringan tetapi tidak cukup untuk menyebabkan perubahan fungsional yang
bermakna dalam fungsi sirkulasi. Renin menetap dalam darah selama 30 menit
sampai 1 jam dan terus menyebabkan pembentukan angiotensin I selama
sepanjang waktu tersebut (Guyton dan Hall, 2008).
Dalam beberapa detik setelah pembentukan angiotensin I, terdapat dua asam
amino tambahan yang memecah dari angiotensin untuk membentuk angiotensin II
peptida asam amino-8. Perubahan ini hampir seluruhnya terjadi selama beberapa
detik sementara darah mengalir melalui pembuluh kecil pada paru-paru, yang
dikatalisis oleh suatu enzim, yaitu enzim pengubah, yang terdapat di endotelium
pembuluh paru yang disebut Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Angiotensin
II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat, dan memiliki efek-efek lain yang juga
mempengaruhi sirkulasi. Angiotensin II menetap dalam darah hanya selama 1 atau
2 menit karena angiotensin II secara cepat akan diinaktivasi oleh berbagai enzim
darah dan jaringan yang secara bersama-sama disebut angiotensinase (Guyton dan
Hall, 2008).
Selama angiotensin II ada dalam darah, maka angiotensin II mempunyai dua
pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri. Pengaruh yang pertama,
yaitu vasokontriksi, timbul dengan cepat. Vasokonstriksi terjadi terutama pada
arteriol dan sedikit lebih lemah pada vena. Konstriksi pada arteriol akan
meningkatkan tahanan perifer, akibatnya akan meningkatkan tekanan arteri.
Konstriksi ringan pada vena-vena juga akan meningkatkan aliran balik darah vena
ke jantung, sehingga membantu pompa jantung untuk melawan kenaikan tekanan
(Guyton dan Hall, 2008).
Cara utama kedua dimana angiotensin meningkatkan tekanan arteri adalah
dengan bekerja pada ginjal untuk menurunkan eksresi garam dan air. Ketika
tekanan darah atau volume darah dalam arteriola eferen turun (kadang-kadang
sebagai akibat dari penurunan asupan garam), enzim renin mengawali reaksi
kimia yang mengubah protein plasma yang disebut angiotensinogen menjadi
peptida yang disebut angiotensin II. Angiotensin II berfungsi sebagai hormon
yang meningkatkan tekanan darah dan volume darah dalam beberapa cara.

Sebagai contoh, angiotensin II menaikan tekanan dengan cara menyempitkan


arteriola, menurunkan aliran darah ke banyak kapiler, termasuk kapiler ginjal.
Angiotensin II merangsang tubula proksimal nefron untuk menyerap kembali
NaCl dan air. Hal tersebut akan jumlah mengurangi garam dan air yang
diekskresikan dalam urin dan akibatnya adalah peningkatan volume darah dan
tekanan darah (Campbell, et al. 2004).
Pengaruh lain angiotensin II adalah perangsangan kelenjar adrenal, yaitu organ
yang terletak diatas ginjal, yang membebaskan hormon aldosteron. Hormon
aldosteron bekerja pada tubula distal nefron, yang membuat tubula tersebut
menyerap kembali lebih banyak ion natrium (Na +) dan air, serta meningkatkan
volume dan tekanan darah (Campbell, et al. 2004).
Peningkatan pembentukan angiotensin II membantu mengembalikan tekanan
darah dan volume ekstrasel menjadi normal dengan meningkatkan reabsorpsi
natrium dan air dari tubulus ginjal melalui tiga efek utama, yaitu:
1. Angiotensin II merangsang sekresi aldosteron yang dapat meningkatkan
reabsorpsi natrium, yaitu dengan cara merangsang pompa natrium kalium
ATPase pada sisi basolateral dari membran tubulus koligentes kortikalis.
Aldosteron juga meningkatkan permeabilitas natrium pada sisi luminal
membran.
2. Angiotensin II mengkonstriksikan arteriol pada ginjal, dengan demikian
menurunkan aliran darah yang melalui ginjal. Sebagai hasilnya, lebih sedikit
cairan yang disaring melalui glomerulus masu ke dalam tubulus. Selain itu
aliran darah yang lambat menurunkan tekanan di kapiler peritubulus, yang
menyebabkan reabsorpsi cairan yang cepat yang berasal dari tubulus.
3. Angiotensin II secara langsung merangsang reabsorpsi natrium di tubulus
proksimal, lengkung Henle, tubulus distal dan tubulus koligentes. Salah satu
efek langsung dari angiotensin II adalah merangsang pompa natrium kalium
ATPase pada membran basolateral sel epitel tubulus. Efek kedua adalah
merangsang pertukaran natrium hidrogen dalam membran luminal, terutama
dalam tubulus proksimal.
Enzim yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II disebut
dengan Angiotensin Converting Enzyme (ACE) (Sargowo, 2009). Perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II tidak saja terjadi di paru-paru, namun
ACE ditemukan pula di sepanjang jaringan epitel pembuluh darah (Oates,

2001). Rangkaian dari seluruh sistem renin sampai menjadi angiotensin II


dikenal dengan Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS). Sistem tersebut
memegang peranan penting dalam patogenesis hipertensi baik sebagai salah
satu penyebab timbulnya hipertensi, maupun dalam perjalanan penyakitnya
(Ismahun, 2001)

Gambar 5. Peranan ACE dalam menurunkan tekanan darah

DAFTAR PUSTAKA
Basso N, Terragno, and Norberto A. 2001. History about the discovery of the reninangiotensin system. Hypertension, 38(6): 1246-1249.
Campbell NA, Reece JB, and Mitchel LG. 2004. Biologi. Alih Bahasa : Wasmen
Manalu. Jakarta : Erlangga.
Ganong WF. 1995. Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-14. Alih Bahasa : Petrus Andrianto.
Jakarta : EGC Penerbit buku kedokteran.
Klabunde RE. 2007. Cardiovasculary physiology concepts.
http://www.cvphysiology.com/Blood%20Pressure/BP001.htm
Kostova E., Javanoska E., Zafirov D, Jakovski K, Maleva, and Slaninka-Miceska M.
2005. Dual inhibition of angiotensin converting enzyme and neutral
endopeptidase produces effective blood pressure control in spontaneously
hypertensive rats. Bratisl Lek listy, 106(12): 407-411.
Laragh JH. 1992. The Renin system and Four lines of hypertension research. Nephron
heterogeneity, the calcium conection, the proRenin vasodilator limb and
plasma Renin and heart attack. Hypertension, 20 : 267-279.
Oates JA, and Brown NJ. 2001. Antihypertensive agents and drugs therapy of
hypertension In: Hardman JG, Gilman AG (editors). The Pharmacological
basis of Theurapeutics. 10th ed. New York: McGraw-Hill.
Tortora, G.J., Derrickson, B. (2009). Principles of Anatomy and Physiology, 12th Ed.
New Jersey
Verbalis JG, Berl T. Disorders of water balance. In: Brenner BM. Brenner & Rector's
The Kidney. Vol 1. 8th ed. Saunders; 2007:459-491.

Anda mungkin juga menyukai