Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI


PADA PASIEN NEFROLITIASIS ( BATU GINJAL )

DISUSUN OLEH :
DEDI SUHENDRA
2014301174

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI D4 KEPERAWATAN ANESTESI
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
DENPASAR 2020
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP TEORI PENYAKIT

1. Defenisi

Batu ginjal adalah suatu keadaan terdapat satu atau lebih di dalam pelvis

atau calyces ginjal atau saluran kemih (Pratomo, 2007). Batu ginjal di saluran

kemih (Kalkulus uriner) adalah masa keras seperti batu yang terbentuk di

sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan

aliran kemih dan infeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal)

maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih). Proses pembentukan

batu disebut dengan urolitiasis (litiasis renalis, nefrolitiasis).

Batu ginjal terbentuk bila konsentrasi garam atau mineral dalam urin

mencapai nilai yang memungkinkan terbentuknya kristal yang akan mengendap

pada tubulus ginjal atau ureter. Meningkatnya konsentrasi garam-garam ini

disebabkan adanya kelainan metabolisme atau pengaruh lingkungan. Sebagian

besar batu ginjal merupakan garam kalsium, fosfat, oksolat serta asam urat. Batu

ginjal lainnya adalah batu sistim tetapi jarang terjadi (Nurqoriah, 2012).

Penyakit batu ginjal merupakan penyakit yang terbentuk karena terjadinya

pengkristalan kalsium dan atau asam urat dalam tubuh (ginjal), cairan mineral ini

memompa dan membentuk kristal yang mengakibatkan terjadinya batu ginjal.

Penyakit batu ginjal biasanya terdapat di dalam ginjal tubuh seseorang, dimana

tempat bernaungnya urin sebelum dialirkan melalui ureter menuju kandung

kemih (Nurqoriah dkk, 2012).


2. Etiologi

Penyakit batu ginjal dapat disebabkan oleh beberapa hal. Berikut ini

merupakan beberapa faktor penyebab dari batu ginjal :

a. Genetik (Bawaan)

Ada orang-orang tertentu memiliki kelainan atau gangguan organ

ginjal sejak dilahirkan, meskipun kasusnya relatif sedikit anak yang sejak

kecil mengalami gangguan metabolisme khususnya di bagian ginjal yaitu air

seni nya memiliki kecendrungan mudah mengendapkan garam membuat

mudah terbentuknya batu karna fungsi ginjal tidak dapat bekerja normal maka

kelancaran proses pengeluaran air kemih nya mengalami gangguan, misalnya

banyak zat kapur di air kemih sehingga mudah mengendapkan batu.

b. Makanan

Sebagian besar penyakit batu ginjal disebabkan oleh faktor makanan

dan minuman. Makanan-makanan tertentu memang mengandung bahan kimia

yang berefek pada pengendapan air kemih, misalnya makanan yang

mengandung kalsium tinggi, seperti oksolat dan fosfat.

c. Aktivitas

Faktor pekerjaan dan olah raga dapat mempengaruhi penyakit batu

ginjal. Resiko terkena penyakit ini pada orang yang pekerjaannya banyak

duduk lebih tinggi dari pada orang yang banyak berdiri atau bergerak dan

orang yang kurang berolah raga karena tubuh kurang bergerak (baik olah

raga maupun aktivitas bekerja) menyebabkan peredaran darah maupun aliran

air seni menjadikurang lancar. Bahkan tidak hanya penyakit batu ginjal yag

diderita, penyakit lain bisa dengan gampang menyerang.


3. Manifestasi Klinis
Hariyanto (2008) menyatakan bahwa besar dan lokasi batu bervariasi, rasa

sakit disebabkan oleh obstruksi merupakan gejala utama. Batu yang besar dengan

permukaan yang kasar yang masuk ke dalam ureter akan menambah frekuensi

dan memaksa kontraksi ureter secara otomatis. Rasa sakit yang dimulai dari

pinggang bawah menuju ke pinggul, kemudian ke alat kelamin luar. Intensitas

rasa sakit berfluktuasi dan rasak sakit yang luar biasa bisa merupakan puncak dari

kesakitan.

Menurut handriadi (2006) menyatakan apabila batu berada di ginjal dan

kalik, rasa sakit menetap dan kurang intensitasnya. Sakit pinggang terjadi bila

batu yang mengadakan obstruksi berada di dalam ginjal. Sedangkan rasa sakit

yang parah terjadi bila batu telah pindah ke bagian ureter. Mual dan muntah

selalu mengikuti rasa sakit yang berat. Penderita batu ginjal kadang-kadang juga

mengalami panas, kedinginan, adanya darah di dalam urin bila batu melukai urin,

distensi perut, nanah dalam urin.

Batu, terutama yang kecil, bisa tidak menimbulkan gejala. Batu di dalam

kandung kemih bisa menyebabkan nyeri di perut bagian bawah. Batu yang

menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus renalis bisa menyebabkan nyeri

punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang hebat). Kolik renalis ditandai

dengan nyeri hebat yang hilang-timbul, biasanya di daerah antara tulang rusuk

dan tulang pinggang, yang menjalar ke perut, daerah kemaluan dan paha sebelah

dalam (Brunner dan Suddarth, 2003). Gejala lainnya adalah mual dan muntah,

perut menggelembung, demam, menggigil dan darah di dalam air kemih.

Penderita mungkin menjadi sering berkemih, terutama ketika batu melewati


ureter. Batu bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika batu menyumbat aliran

kemih, bakteri akan terperangkap di dalam air kemih yang terkumpul diatas

penyumbatan, sehingga terjadilah infeksi. Jika penyumbatan ini berlangsung

lama, air kemih akan mengalir balik ke saluran di dalam ginjal, menyebabkan

penekanan yang akan menggelembungkan ginjal (hidronefrosis) dan pada

akhirnya bisa terjadi kerusakan ginjal.(jarot,2008).

4. Pemeriksaan Diagnostik/Pemeriksaan Penunjang Terkait


Adapun pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien batu saluran

kemih adalah (American Urological Association, 2005) :

a. Urinalisa

Warna kuning, coklat atau gelap. : warna : normal kekuning-

kuningan, abnormal merah menunjukkan hematuri (kemungkinan obstruksi

urine, kalkulus renalis, tumor,kegagalan ginjal). pH : normal 4,6 – 6,8 (rata-

rata 6,0), asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat), alkali

(meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat), Urine

24 jam : Kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin mungkin

meningkat), kultur urine menunjukkan Infeksi Saluran Kencing , BUN hasil

normal 5 – 20 mg/dl tujuan untuk memperlihatkan kemampuan ginjal untuk

mengekskresi sisa yang bemitrogen.

BUN menjelaskan secara kasar perkiraan Glomerular Filtration Rate.

BUN dapat dipengaruhi oleh diet tinggi protein, darah dalam saluran

pencernaan status katabolik (cedera, infeksi). Kreatinin serum hasil normal

laki-laki 0,85 sampai 15mg/dl perempuan 0,70 sampai 1,25 mg/dl tujuannya

untuk memperlihatkan kemampuan ginjal untuk mengekskresi sisa yang

bemitrogen. Abnormal (tinggi pada serum/rendah pada urine) sekunder


Laboratorium

1) Darah lengkap : Hb, Ht, abnormal bila pasien dehidrasi berat atau

polisitemia.

2) Hormon Paratyroid mungkin meningkat bila ada gagal ginjal (PTH

merangsang reabsorbsi kalsium dari tulang, meningkatkan sirkulasi serum

dan kalsium urine.

b. Foto KUB (Kidney Ureter Bladder)

Menunjukkan ukuran ginjal, ureter dan bladder serta menunjukan

adanya batu di sekitar saluran kemih.

c. Endoskopi ginjal

Menentukan pelvis ginjal, dan untuk mengeluarkan batu yang kecil.

d. USG Ginjal

Untuk menentukan perubahan obstruksi dan lokasi batu.

e. EKG (Elektrokardiografi)

Menunjukan ketidak seimbangan cairan, asam basa dan elektrolit.

f. Foto Rontgen

Menunjukan adanya batu didalam kandung kemih yang abnormal,

menunjukkan adanya calculi atau perubahan anatomik pada area ginjal dan

sepanjang ureter.

g. IVP (Intra Venous Pyelografi )

Menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih, membedakan

derajat obstruksi kandung kemih divertikuli kandung kemih dan penebalan

abnormal otot kandung kemih dan memberikan konfirmasi cepat urolithiasis

seperti penyebab nyeri abdominal atau panggul. Menunjukkan abnormalitas

pada struktur anatomik (distensi ureter).


h. Pielogram retrograd

Menunjukan abnormalitas pelvis saluran ureter dan kandung kemih.

Diagnosis ditegakan dengan studi ginjal, ureter, kandung kemih, urografi

intravena atau pielografi retrograde. Uji kimia darah dengan urine dalam 24

jam untuk mengukur kalsium, asam urat, kreatinin, natrium, dan volume total

merupakan upaya dari diagnostik. Riwayat diet dan medikasi serta adanya

riwayat batu ginjal, ureter, dan kandung kemih dalam keluarga di dapatkan

untuk mengidentifikasi faktor yang mencetuskan terbentuknya batu kandung

kemih pada klien.

5. Penatalaksanaan Medis
a. Keperawatan

1) Pengurangan nyeri

Morfin atau meperiden untuk mencegah syok dan sinkop akibat

nyeri yang luar biasa, mandi air panas atau hangat di area panggul,

pembarian cairan kecuali untuk pasien muntah atau menderita gagal

jantung kongestif. Pemberian cairan dibutuhkan mengurangi konsentrasi

kristoid urin, mengecerkan urin, dan menjamin haluaran yang besar serta

meningkatkan tekanan hidrostatik pada ruang dibelakang batu sehingga

mendorong massase batu kebawah.

2) Pengakatan batu

Pemeriksaan sitoskopik dan passase ureter kecil untuk

menghilangkan batu yang obstruktif. Jika batu tersangkut, dapat dilakukan

analisa kimiawi untuk menentukan kandungan batu.


3) Terapi nutrisi dan medikasi

Tujuan terapi adalah membuat pengeceran dimana batu sering

terbentuk dan membatasi makanan yang memberikan kontribusi pada

pembentukan batu serta anjurkan klien untuk bergerak agar mengurangi

pelepasan kalsium dari tulang. Tujuan pemberian terapi diit rendah

protein, rendah garam adalah pembatu memperlambat pertumbuhan batu

ginjal atau membatu mencengah pembentukan batu ginjal.

b. Medis

1) Percutaneus Nephrolitotomy (PCNL)

Merupakan salah satu tindakan minimal invasif di bidang urologi

yang bertujuan mengangkat batu ginjal dengan menggunakan akses

perkutan untuk mencapai sistem pelviokalises. Prosedur ini sudah

diterima secara luas sebagai suatu prosedur untuk mengangkat batu ginjal

karena relatif aman, efektif, murah, nyaman, dan memiliki morbiditas

yang rendah, terutama bila dibandingkan dengan operasi terbuka.

Keuntungan prosedur PCNL adalah angka bebas batu yang lebih

besar dari pada ESWL, dapat digunakan untuk terapi batu gunjal

berukuran besar (>20 mm), dapat digunakan padabatu kalik inferior yang

sulit di terapi dengan ESWL, dan morbiditasnya yang lebih rendah di

bandingkan dengan operasi terbuka baik dalam respon sistemik tubuh

maupun preservasi terhadap fungsi ginjal pasca operasi. Kelemahan

PCNL adalah dibutuhkan keahlian kusus dalam pengalaman untuk

melakukan prosedurnya. Saat ini operasi terbuka batu ginjal sudah banyak

di ganti oleh prosedur PCNL dan ESWL baik dalam bentuk monoterapi

maupun kombinasi, hal ini disebabkan morbiditas operasi terbuka lebih

besar dibandingkan kedua modalitas lainnya.


PCNL dianjurkan untuk :

1) Batu pilium simpel dengan ukuran > 2 cm, dengan angka bebas batu sebesar

89%, lebih tinggi dari angka bebas batu bila dilakukan ESWL yaitu 43 %.

2) Batu kalik ginjal, terutama batu kalik inferior dengan ukuran 2 cm dengan

angkan bebas batu 90% dibandingkan dengan ESWL 28,8 %. Batu kalik

superior biasanya dapat diambil dari akses kalik inferior sedangkan untuk

batu kalik media seringkali sulit bila akses berasal dari kalik inferior

sehingga membutuhkan akses yang lebih tinggi.

3) Batu multipel, pernah dilaporkan kasus multipel pada ginjal tapal kuda dan

berhasil di ekstraksi batu sebanyak 36 buah dengan hanya menyisakan 1

fragmen kecil pada kalik media posterior.

4) Batu pada ureteropelvik juntion dan ureter proksimal.

Batu pada tempat ini seringkali infacted dan menimbulkan kesulitan saat

pengambilannya. Untuk batu ureter proksimal yang letaknya sampai 6 cm

proksimal masih dapat di jangkau dengan nefroskop, namun harus

diperhatikan bahaya terjadinya preforasi dan kerusakan ureter, sehungga

teknik ini direkomendasikan hanya untuk yang berpengalaman.

5) Batu ginjal besar. PCNL pada batu besar terutama staghorn membutuhkan

waktu operasi yang lebih lama, mungkin juga membutuhkan beberapa sesi

operasi, dan harus diantisipasi kemungkinan adanya batu sisa, keberhasilan

sangat berkaitan dengan pengalaman operator.

6) Batu pada solitari kidney lebih aman dilakukan terapi dengan PCNL

dibandingkan dengan bedah terbuka.

c. Terapi Konservatif

Sebagian besar batu ureter mempunyai diameter kurang dari 5 mm. Batu

ureter yang besarnya kurang dari 5 mm bisa keluar spontan (Fillingham dan

Douglass, 2000). Untuk mengeluarkan batu kecil tersebut terdapat pilihan terapi
konservatif berupa (American Urological Association, 2005):

1) Minum sehingga diuresis 2 liter/ hari

2) α – blocker

3) NSAID

Batas lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran batu

syarat lain untuk terapi konservatif adalah berat ringannya keluhan pasien, ada

tidaknya infeksi dan obstruksi. Adanya kolik berulang atau ISK menyebabkan

konservatif bukan merupakan pilihan. Begitu juga dengan adanya obstruksi,

apalagi pada pasien-pasien tertentu (misalnya ginjal tunggal, ginjal trasplan dan

penurunan fungsi ginjal ) tidak ada toleransi terhadap obstruksi. Pasien seperti ini

harus segera dilakukan intervensi (American Urological Association, 2005).

1) Extracorporal Shock Wave Lithotripsy ( ESWL )

ESWL banyak digunakan dalam penanganan batu saluran kemih.

Badlani (2002) menyebutkan prinsip dari ESWL adalah memecah batu

saluran kemih dengan menggunakan gelombang kejut yang dihasilkan oleh

mesin dari luar tubuh. Gelombang kejut yang dihasilkan oleh mesin di luar

tubuh dapat difokuskan ke arah batu dengan berbagai cara. Sesampainya di

batu, gelombang kejut tadi akan melepas energinya. Diperlukan beberapa ribu

kali gelombang kejut untuk memecah batu hingga menjadi pecahan-pecahan

kecil, selanjutnya keluar bersama kencing tanpa menimbulkan sakit.

Al-Ansari (2005) menyebutkan komplikasi ESWL untuk terapi batu

ureter hampir tidak ada. Keterbatasan ESWL antara lain sulit memecah batu

keras (misalnya kalsium oksalat monohidrat), perlu beberapa kali tindakan,

dan sulit pada orang bertubuh gemuk. Penggunaan ESWL untuk terapi batu

ureter distal pada wanita dan anak-anak juga harus dipertimbangkan dengan

serius karena ada kemungkinan terjadi kerusakan pada ovarium


2) Ureterorenoskopic (URS)

Pengembangan ureteroskopi sejak tahun 1980 an telah mengubah

secara dramatis terapi batu ureter. Kombinasi ureteroskopi dengan pemecah

batu ultrasound, EHL, laser dan pneumatik telah sukses dalam memecah batu

ureter. Keterbatasan URS adalah tidak bisa untuk ekstraksi langsung batu

ureter yang besar, sehingga diperlukan alat pemecah batu seperti yang

disebutkan di atas. Pilihan untuk menggunakan jenis pemecah batu tertentu,

tergantung pada pengalaman masing-masing operator dan ketersediaan alat

tersebut.

3) Operasi Terbuka

Fillingham dan Douglass (2000) menyebutkan bahwa beberapa variasi

operasi terbuka untuk batu ureter mungkin masih dilakukan. Hal tersebut

tergantung pada anatomi dan posisi batu, ureterolitotomi bisa dilakukan lewat

insisi pada flank, dorsal atau anterior. Saat ini operasi terbuka pada batu

ureter kurang lebih tinggal 1 -2 persen saja, terutama pada penderita-penderita

dengan kelainan anatomi atau ukuran batu ureter yang besar


B. PERTIMBANGAN ANESTESI
1. Definisi Anestesi
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit
ketika dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan
rasa sakit, dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan
kondisi optimal bagi pelaksanaan pembedahan .(Sabiston, 2011)
Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis
kegunaannya dibagi menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya
kesadaran, sedangakan anestesi regional dan anestesi local menghilangya rasa
nyeri disatu bagian tubuh saja tanpa menghilangnya kesadaran. (Sjamsuhidajat
& De Jong, 2012)
Anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa
sakit pada tubuh. (Morgan, 2011)
Dari beberapa definisi anestesi menurut para ahli maka dapat
disimpulkan bahwa Anestesti merupakan suatu tindakan menghilangkan rasa
sakit pada saat pembedahan atau melakukan tindakan prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit dengan cara trias anestesi yaitu hipnotik, analgetik,
relaksasi.

2. Jenis Anestesi
a. General Anestesi
Anestesi umum melibatkan hilangnya kesadaran secara penuh.
Anestesi umum dapat diberikan kepada pasien dengan injeksi intravena
atau melalui inhalasi. (Royal College of Physicians (UK), 2011)
Anestesi umum meliputi:
1) Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan anestetika inhalasi
(VIMA=Volatile Induction and Maintenance of Anesthesia)
2) Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika intravena
(TIVA=Total Intravenous Anesthesia)
Anestesi umum merupakan suatu cara menghilangkan seluruh
sensasi dan kesadarannya. Relaksasi otot mempermudah manipulasi
anggota tubuh. Pembedahan yang menggunakan anestesi umum
melibatkan prosedur mayor, yang membutuhkan manipulasi jaringan
yang luas.
b. Regional Anestesi
1) Pengertian Anestesi Spinal
Anestesi spinal adalah injeksi agen anestesi ke dalam ruang
intratekal, secara langsung ke dalam cairan serebrospinalis sekitar
region lumbal di bawah level L1/2 dimana medulla spinalis
berakhir. (Keat, dkk, 2013)
Spinal anestesi merupakan anestesia yang dilakukan pada
pasien yang masih dalam keadaan sadar untuk meniadakan proses
konduktifitas pada ujung atau serabut saraf sensori di bagian tubuh
tertentu. (Rochimah, dkk, 2011)
2) Tujuan Anestesi Spinal
Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi spinal
dapat digunakan untuk prosedur pembedahan, persalinan,
penanganan nyeri akut maupun kronik.
3) Kontraindikasi Anestesi Spinal
Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi regional
yang luas seperti spinal anestesi tidak boleh diberikan pada kondisi
hipovolemia yang belum terkontrol karena dapat mengakibatkan
hipotensi berat.
4) Komplikasi yang dapat terjadi pada spinal anestesi menurut
Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010, ialah :
a) Hipotensi terutama jika pasien tidak prahidrasi yang cukup;
b) Blokade saraf spinal tinggi, berupa lumpuhnya pernapasan
dan memerlukan bantuan napas dan jalan napas segera;
c) Sakit kepala pasca pungsi spinal, sakit kepala ini bergantung
pada besarnya diameter dan bentuk jarum spinal yang
digunakan.
5) Jenis – Jenis Obat Spinal Anestesi
Lidokain, Bupivakain, dan tetrakain adalah agen anestesi lokal
yang utama digunakan untuk blockade spinal. Lidokain efektif
untuk 1 jam, dan bupivacaine serta tetrakain efektif untuk 2 jam
sampai 4 jam (Reeder, S., 2011).
3. Teknik Anestesi
Sebelum memilih teknik anestesi yang digunakan, terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan diantaranya keselamatan pasien, kenyamanan pasien
serta kemampuan operator di dalam melakukan operasi pada penggunaan
anestesi tersebut. Terdapat dua kategori umum anestesi diantaranya Generał
Anesthesia (GA) dan Regional Anesthesia (RA) dimana pada RA termasuk
dua teknik yakni teknik spinal dan teknik epidural. Teknik anestesi dengan GA
biasanya digunakan untuk operasi yang emergensi dimana tindakan tersebut
memerlukan anestesi segera dan secepat mungkin. Teknik anestesi GA juga
diperlukan apabila terdapat kontraindikasi pada teknik anestesi RA, misalnya
terdapat peningkatan pada tekanan intrakranial dan adanya penyebaran infeksi
di sekitar vertebra.
Terdapat beberapa resiko dari GA yang dapat dihindari dengan
menggunakan teknik RA, oleh karena itu lebih disarankan penggunaan teknik
anestesi RA apabila waktu bukan merupakan suatu prioritas. Penggunaan RA
spinal lebih disarankan untuk digunakan dibandingkan dengan teknik GA pada
kasus Batu ginjal. Salah satu alasan utama pemilihan teknik anestesi RA
dibandingkan dengan GA adalah adanya resiko gagalnya intubasi trakea serta
aspirasi dari isi lambung pada teknik anestesi GA.

4. Rumatan Anestesi
a. Regional Anestesi
1) Oksigen nasal 2 Liter/menit;
2) Obat Analgetik;
3) Obat Hipnotik Sedatif;
4) Obat Antiemetik;
5) Obat Vasokonstriktor.
b. General Anestesi
1) Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan anestetika inhalasi
(VIMA=Volatile Induction and Maintenance of Anesthesia);
2) Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika intravena
(TIVA=Total Intravenous Anesthesia);
3) Obat Pelumpuh Otot;
4) Obat Analgetik;
5) Obat Hipnotik Sedatif;
6) Obat Antiemetik
5. Risiko
Menurut Latief (2002), beberapa risiko yang mungkin terjadi pada pasien
apendiktomi dengan anestesi spinal adalah :
a. Reaksi alergi;
b. Sakit kepala yang parah (PDPH);
c. Hipotensi berat akibat blok simpatis, terjadi ‘venous pooling’;
d. Bradikardi akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali
napas;
e. Trauma pembuluh darah;
f. Mual muntah;
g. Blok spinal tinggi atau spinal total.

C. WOC
Pengendapan garam mineral, Infeksi, Mengubah pH
urine dari asam menjadi alkalis

pembentukan batu

Obstruksi saluran kemih

Obstruksi di ureter Peningkatan distensi abdomen Kurang pengetahuan

Kalkulus berada di ureter Anoreksia Cemas

Gesekan pada dinding ureter Mual/muntah

Output berlebihan

Gangguan rasa Gangguan


nyaman, nyeri pemenuhan nutrisi
kurang dari
Sumber Mansjoer Arief,
2000

D. TINJAUAN TEORI ASKAN


1. Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan
data tentang penderita agar dapat mengidentifikasi kebebutuhan serta masalahnya.
Pengkajian meliputi
a. Data Subjektif
1) Pasien mengatakan takut di operasi
2) Pasien merasa tidak dapat rileks
3) Pasien mengatakan belum pernah menjalani operasi
4) Pasien mengeluh mual dan pusing
5) Pasien mengatakan kedinginan
6) Pasien merasa badan lemas
7) Pasien mengatakan kaki sulit digerakkan
8) Pasien mengeluh nyeri pada bagian pinggang sebelah kiri

b. Data obyektif
1) Wajah pasien tampak grimace
2) Mukosa bibir kering dan pucat
3) Cemas,Akral teraba dingin
4) CRT >3 detik
5) Tekanan darah pasien dibawah batas normal
6) Denyut nadi lemah dan tidak teratur
7) Bromage score >1
8) Skala nyeri sedang sampai berat

2. Masalah Kesehatan Anestesi


Pre Anestesi :
a. Ansietas
b. Nyeri akut
Intra Anestesi :
a. Komplikasi potensial syok kardiogenik
b. Hipotermia
Post Anestesi :
a. Hambatan mobilitas ekstremitas bawah
b. Risiko jatuh
3. Perencanaan Intervensi
Pre Anestesi :
a. Ansietas
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan cemas
berkurang/hilang.
2) Kriteria hasil :
a) Pasien menyatakan tahu tentang proses kerja obat anestesi/pembiusan
b) Pasien menyatakan siap dilakukan pembiusan
c) Pasien mengkomunikasikan perasaan negative secara tepat
d) Pasien tampak tenang dan kooperatif
e) Tanda-tanda vital normal
3) Rencana tindakan :
a) Kaji tingkat ansietas, catat verbal dan non verbal pasien.
b) Jelaskan jenis prosedur tindakan prosedur yang akan dilakukan
c) Berikan dorongan pada pasien untuk mengungkapkan perasaan
d) Ajarkan teknik relaksasi
e) Kolaborasi untuk pemberian obat sedasi

b. Hipertermi
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan suhu
tubuh pasien menurun.
2) Kriteria hasil :
a) Pasien tidak mengeluh demam
b) Suhu tubuh pasien dalam batas norma3
3.Recana tindakan:
a) Monitoring suhu tubuh pasien
b) Beri kompres hangat
c) Pertahankan intake cairan
d) Kolaborasi pemberian antipiretik

c. Nyeri akut
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri
hilang atau terkontrol, klien tampak rileks.
2) Kriteria hasil :
a) Pasien mangatakan nyeri berkurang atau hilang
b) Pasien mampu istirahat atau tidur
c) Ekspresi wajah nyaman atau tenang
d) TTV dalam batas normal (TD : 100-120/70-80 mmHg, N : 60-100 x/mnt R :
16-24 x/mnt, S : 36,5-37,5oC)
3) Rencana tinadakan:
a) Observasi tanda-tanda vital
b) Identifikasi derajat, lokasi, durasi, frekwensi dan karakteristik nyeri
c) Lakukan Teknik komunikasi terapeutik
d) Ajarkan Teknik relaksasi
e) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetic

Intra Anestesi :
a. Komplikasi potensial syok kardiogenik
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pompa
jantung dan sirkulasi efektif.
2) Kriteria hasil :
a) TTV dalam batas normal
b) Denyut jantung dalan batas normal
c) Hipotensi aorta statis tidak ada
d) Distensi vena leher tidak ada
e) Pasien mengatakan tidak pusing
f) Denyut nadi perifer kuat dan teratur
3) Rencana tindakan :
a) Atur posisi pasien
b) Kaji toleransi aktivitas : awal napas pendek, nyeri, pusing, palpitasi
c) Monitoring TTV
d) Beri oksigen
e) Kolaborasi dengan dokter
b. Hipotermia
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
menunjukkan termoregulasi.
2) Kriteria hasil :
a) Akral hangat
b) Suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5oC)
c) CRT <2 detik
d) Pasien mengatakan tidak kedinginan
e) Pasien tampak tidak menggigil
3) Rencana tindakan :
a) Motitoring TTV
b) Berikan selimut hangat
c) Berikan infus hangat
d) Kolaborasi pemberian obat untuk mencegah/mengurangi menggigil
e)
Post Anestesi :
a. Hambatan mobilitas ekstremitas bawah
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
mampu menggerakkan ekstremitas bawah (sendi dan otot).
2) Kriteria hasil :
a) Tidak ada neuropati
b) Mampu menggerakkan ekstremitas bawah
c) Bromage score : <1
3) Rencana tindakan
a) Monitoring TTV
b) Lakukan penilaian bromage score
c) Berikan posisi nyaman pada pasien
d) Ajarkan teknik pergerakan yang aman
e) Latih angkat atau gerakan ekstrimitas bawah
b. Risiko jatuh
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
aman setelah pembedahan.
2) Kriteria hasil :
a) TTV dalam batas normal
b) Bromage score <1
c) Pasien mengatakan kaki dapat digerakkan
d) Pasien tampak tidak lemah
3) Rencana tindakan :
a) Monitoring TTV
b) Lakukan penilaian bromage score
c) Berikan pengaman pada tempat tidur pasien
d) Berikan gelang resiko jatuh
e) Latih angkat atau gerakkan ekstremitas bawah
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta:
ECG
Carpenito. 2013. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC
Chang, E. dkk. 2010. Patofisiologi Aplikasi pada Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC
Doenges, Marlynn E. 2006. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: ECG
http://nuzulul.fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35840-Kep%20PerencanaanAskep
%20Apendisitis.html (diakses pada tanggal 9 Oktober 2020)
Keat, Sally.2013. Anaesthesia on the move. Jakarta: Indeks
Latief, Said. dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Mansjoer, A.  (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI
Medical Mini Notes. 2019. Anesthesia and Intensive Care. MMN
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2011. Clinical Anesthesiology, 4thed. Lange Medical
Books/McGraw-Hill
Nagelhout, John and Plaus. 2010. Handbook Of Nurse Anesthesia. USA: Elsevier.
Nurqoriah (2008).
Pratomo (2007).
Reeder (2004).
Rohimah (2011).
Sabiston, D. C. 2011. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC.
Syamsuhidajat, R & Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Beda

Anda mungkin juga menyukai