DISUSUN OLEH :
DEDI SUHENDRA
2014301174
FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI D4 KEPERAWATAN ANESTESI
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
DENPASAR 2020
LAPORAN PENDAHULUAN
1. Defenisi
Batu ginjal adalah suatu keadaan terdapat satu atau lebih di dalam pelvis
atau calyces ginjal atau saluran kemih (Pratomo, 2007). Batu ginjal di saluran
kemih (Kalkulus uriner) adalah masa keras seperti batu yang terbentuk di
aliran kemih dan infeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal)
Batu ginjal terbentuk bila konsentrasi garam atau mineral dalam urin
besar batu ginjal merupakan garam kalsium, fosfat, oksolat serta asam urat. Batu
ginjal lainnya adalah batu sistim tetapi jarang terjadi (Nurqoriah, 2012).
pengkristalan kalsium dan atau asam urat dalam tubuh (ginjal), cairan mineral ini
Penyakit batu ginjal biasanya terdapat di dalam ginjal tubuh seseorang, dimana
Penyakit batu ginjal dapat disebabkan oleh beberapa hal. Berikut ini
a. Genetik (Bawaan)
ginjal sejak dilahirkan, meskipun kasusnya relatif sedikit anak yang sejak
mudah terbentuknya batu karna fungsi ginjal tidak dapat bekerja normal maka
b. Makanan
c. Aktivitas
ginjal. Resiko terkena penyakit ini pada orang yang pekerjaannya banyak
duduk lebih tinggi dari pada orang yang banyak berdiri atau bergerak dan
orang yang kurang berolah raga karena tubuh kurang bergerak (baik olah
air seni menjadikurang lancar. Bahkan tidak hanya penyakit batu ginjal yag
sakit disebabkan oleh obstruksi merupakan gejala utama. Batu yang besar dengan
permukaan yang kasar yang masuk ke dalam ureter akan menambah frekuensi
dan memaksa kontraksi ureter secara otomatis. Rasa sakit yang dimulai dari
rasa sakit berfluktuasi dan rasak sakit yang luar biasa bisa merupakan puncak dari
kesakitan.
kalik, rasa sakit menetap dan kurang intensitasnya. Sakit pinggang terjadi bila
batu yang mengadakan obstruksi berada di dalam ginjal. Sedangkan rasa sakit
yang parah terjadi bila batu telah pindah ke bagian ureter. Mual dan muntah
selalu mengikuti rasa sakit yang berat. Penderita batu ginjal kadang-kadang juga
mengalami panas, kedinginan, adanya darah di dalam urin bila batu melukai urin,
Batu, terutama yang kecil, bisa tidak menimbulkan gejala. Batu di dalam
kandung kemih bisa menyebabkan nyeri di perut bagian bawah. Batu yang
menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus renalis bisa menyebabkan nyeri
punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang hebat). Kolik renalis ditandai
dengan nyeri hebat yang hilang-timbul, biasanya di daerah antara tulang rusuk
dan tulang pinggang, yang menjalar ke perut, daerah kemaluan dan paha sebelah
dalam (Brunner dan Suddarth, 2003). Gejala lainnya adalah mual dan muntah,
kemih, bakteri akan terperangkap di dalam air kemih yang terkumpul diatas
lama, air kemih akan mengalir balik ke saluran di dalam ginjal, menyebabkan
a. Urinalisa
rata 6,0), asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat), alkali
24 jam : Kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin mungkin
BUN dapat dipengaruhi oleh diet tinggi protein, darah dalam saluran
laki-laki 0,85 sampai 15mg/dl perempuan 0,70 sampai 1,25 mg/dl tujuannya
1) Darah lengkap : Hb, Ht, abnormal bila pasien dehidrasi berat atau
polisitemia.
c. Endoskopi ginjal
d. USG Ginjal
e. EKG (Elektrokardiografi)
f. Foto Rontgen
menunjukkan adanya calculi atau perubahan anatomik pada area ginjal dan
sepanjang ureter.
intravena atau pielografi retrograde. Uji kimia darah dengan urine dalam 24
jam untuk mengukur kalsium, asam urat, kreatinin, natrium, dan volume total
merupakan upaya dari diagnostik. Riwayat diet dan medikasi serta adanya
riwayat batu ginjal, ureter, dan kandung kemih dalam keluarga di dapatkan
5. Penatalaksanaan Medis
a. Keperawatan
1) Pengurangan nyeri
nyeri yang luar biasa, mandi air panas atau hangat di area panggul,
kristoid urin, mengecerkan urin, dan menjamin haluaran yang besar serta
2) Pengakatan batu
b. Medis
diterima secara luas sebagai suatu prosedur untuk mengangkat batu ginjal
besar dari pada ESWL, dapat digunakan untuk terapi batu gunjal
berukuran besar (>20 mm), dapat digunakan padabatu kalik inferior yang
melakukan prosedurnya. Saat ini operasi terbuka batu ginjal sudah banyak
di ganti oleh prosedur PCNL dan ESWL baik dalam bentuk monoterapi
1) Batu pilium simpel dengan ukuran > 2 cm, dengan angka bebas batu sebesar
89%, lebih tinggi dari angka bebas batu bila dilakukan ESWL yaitu 43 %.
2) Batu kalik ginjal, terutama batu kalik inferior dengan ukuran 2 cm dengan
angkan bebas batu 90% dibandingkan dengan ESWL 28,8 %. Batu kalik
superior biasanya dapat diambil dari akses kalik inferior sedangkan untuk
batu kalik media seringkali sulit bila akses berasal dari kalik inferior
3) Batu multipel, pernah dilaporkan kasus multipel pada ginjal tapal kuda dan
Batu pada tempat ini seringkali infacted dan menimbulkan kesulitan saat
5) Batu ginjal besar. PCNL pada batu besar terutama staghorn membutuhkan
waktu operasi yang lebih lama, mungkin juga membutuhkan beberapa sesi
6) Batu pada solitari kidney lebih aman dilakukan terapi dengan PCNL
c. Terapi Konservatif
Sebagian besar batu ureter mempunyai diameter kurang dari 5 mm. Batu
ureter yang besarnya kurang dari 5 mm bisa keluar spontan (Fillingham dan
Douglass, 2000). Untuk mengeluarkan batu kecil tersebut terdapat pilihan terapi
konservatif berupa (American Urological Association, 2005):
2) α – blocker
3) NSAID
syarat lain untuk terapi konservatif adalah berat ringannya keluhan pasien, ada
tidaknya infeksi dan obstruksi. Adanya kolik berulang atau ISK menyebabkan
apalagi pada pasien-pasien tertentu (misalnya ginjal tunggal, ginjal trasplan dan
penurunan fungsi ginjal ) tidak ada toleransi terhadap obstruksi. Pasien seperti ini
mesin dari luar tubuh. Gelombang kejut yang dihasilkan oleh mesin di luar
batu, gelombang kejut tadi akan melepas energinya. Diperlukan beberapa ribu
ureter hampir tidak ada. Keterbatasan ESWL antara lain sulit memecah batu
dan sulit pada orang bertubuh gemuk. Penggunaan ESWL untuk terapi batu
ureter distal pada wanita dan anak-anak juga harus dipertimbangkan dengan
batu ultrasound, EHL, laser dan pneumatik telah sukses dalam memecah batu
ureter. Keterbatasan URS adalah tidak bisa untuk ekstraksi langsung batu
ureter yang besar, sehingga diperlukan alat pemecah batu seperti yang
tersebut.
3) Operasi Terbuka
operasi terbuka untuk batu ureter mungkin masih dilakukan. Hal tersebut
tergantung pada anatomi dan posisi batu, ureterolitotomi bisa dilakukan lewat
insisi pada flank, dorsal atau anterior. Saat ini operasi terbuka pada batu
2. Jenis Anestesi
a. General Anestesi
Anestesi umum melibatkan hilangnya kesadaran secara penuh.
Anestesi umum dapat diberikan kepada pasien dengan injeksi intravena
atau melalui inhalasi. (Royal College of Physicians (UK), 2011)
Anestesi umum meliputi:
1) Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan anestetika inhalasi
(VIMA=Volatile Induction and Maintenance of Anesthesia)
2) Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika intravena
(TIVA=Total Intravenous Anesthesia)
Anestesi umum merupakan suatu cara menghilangkan seluruh
sensasi dan kesadarannya. Relaksasi otot mempermudah manipulasi
anggota tubuh. Pembedahan yang menggunakan anestesi umum
melibatkan prosedur mayor, yang membutuhkan manipulasi jaringan
yang luas.
b. Regional Anestesi
1) Pengertian Anestesi Spinal
Anestesi spinal adalah injeksi agen anestesi ke dalam ruang
intratekal, secara langsung ke dalam cairan serebrospinalis sekitar
region lumbal di bawah level L1/2 dimana medulla spinalis
berakhir. (Keat, dkk, 2013)
Spinal anestesi merupakan anestesia yang dilakukan pada
pasien yang masih dalam keadaan sadar untuk meniadakan proses
konduktifitas pada ujung atau serabut saraf sensori di bagian tubuh
tertentu. (Rochimah, dkk, 2011)
2) Tujuan Anestesi Spinal
Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi spinal
dapat digunakan untuk prosedur pembedahan, persalinan,
penanganan nyeri akut maupun kronik.
3) Kontraindikasi Anestesi Spinal
Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi regional
yang luas seperti spinal anestesi tidak boleh diberikan pada kondisi
hipovolemia yang belum terkontrol karena dapat mengakibatkan
hipotensi berat.
4) Komplikasi yang dapat terjadi pada spinal anestesi menurut
Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010, ialah :
a) Hipotensi terutama jika pasien tidak prahidrasi yang cukup;
b) Blokade saraf spinal tinggi, berupa lumpuhnya pernapasan
dan memerlukan bantuan napas dan jalan napas segera;
c) Sakit kepala pasca pungsi spinal, sakit kepala ini bergantung
pada besarnya diameter dan bentuk jarum spinal yang
digunakan.
5) Jenis – Jenis Obat Spinal Anestesi
Lidokain, Bupivakain, dan tetrakain adalah agen anestesi lokal
yang utama digunakan untuk blockade spinal. Lidokain efektif
untuk 1 jam, dan bupivacaine serta tetrakain efektif untuk 2 jam
sampai 4 jam (Reeder, S., 2011).
3. Teknik Anestesi
Sebelum memilih teknik anestesi yang digunakan, terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan diantaranya keselamatan pasien, kenyamanan pasien
serta kemampuan operator di dalam melakukan operasi pada penggunaan
anestesi tersebut. Terdapat dua kategori umum anestesi diantaranya Generał
Anesthesia (GA) dan Regional Anesthesia (RA) dimana pada RA termasuk
dua teknik yakni teknik spinal dan teknik epidural. Teknik anestesi dengan GA
biasanya digunakan untuk operasi yang emergensi dimana tindakan tersebut
memerlukan anestesi segera dan secepat mungkin. Teknik anestesi GA juga
diperlukan apabila terdapat kontraindikasi pada teknik anestesi RA, misalnya
terdapat peningkatan pada tekanan intrakranial dan adanya penyebaran infeksi
di sekitar vertebra.
Terdapat beberapa resiko dari GA yang dapat dihindari dengan
menggunakan teknik RA, oleh karena itu lebih disarankan penggunaan teknik
anestesi RA apabila waktu bukan merupakan suatu prioritas. Penggunaan RA
spinal lebih disarankan untuk digunakan dibandingkan dengan teknik GA pada
kasus Batu ginjal. Salah satu alasan utama pemilihan teknik anestesi RA
dibandingkan dengan GA adalah adanya resiko gagalnya intubasi trakea serta
aspirasi dari isi lambung pada teknik anestesi GA.
4. Rumatan Anestesi
a. Regional Anestesi
1) Oksigen nasal 2 Liter/menit;
2) Obat Analgetik;
3) Obat Hipnotik Sedatif;
4) Obat Antiemetik;
5) Obat Vasokonstriktor.
b. General Anestesi
1) Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan anestetika inhalasi
(VIMA=Volatile Induction and Maintenance of Anesthesia);
2) Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika intravena
(TIVA=Total Intravenous Anesthesia);
3) Obat Pelumpuh Otot;
4) Obat Analgetik;
5) Obat Hipnotik Sedatif;
6) Obat Antiemetik
5. Risiko
Menurut Latief (2002), beberapa risiko yang mungkin terjadi pada pasien
apendiktomi dengan anestesi spinal adalah :
a. Reaksi alergi;
b. Sakit kepala yang parah (PDPH);
c. Hipotensi berat akibat blok simpatis, terjadi ‘venous pooling’;
d. Bradikardi akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali
napas;
e. Trauma pembuluh darah;
f. Mual muntah;
g. Blok spinal tinggi atau spinal total.
C. WOC
Pengendapan garam mineral, Infeksi, Mengubah pH
urine dari asam menjadi alkalis
pembentukan batu
Output berlebihan
b. Data obyektif
1) Wajah pasien tampak grimace
2) Mukosa bibir kering dan pucat
3) Cemas,Akral teraba dingin
4) CRT >3 detik
5) Tekanan darah pasien dibawah batas normal
6) Denyut nadi lemah dan tidak teratur
7) Bromage score >1
8) Skala nyeri sedang sampai berat
b. Hipertermi
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan suhu
tubuh pasien menurun.
2) Kriteria hasil :
a) Pasien tidak mengeluh demam
b) Suhu tubuh pasien dalam batas norma3
3.Recana tindakan:
a) Monitoring suhu tubuh pasien
b) Beri kompres hangat
c) Pertahankan intake cairan
d) Kolaborasi pemberian antipiretik
c. Nyeri akut
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri
hilang atau terkontrol, klien tampak rileks.
2) Kriteria hasil :
a) Pasien mangatakan nyeri berkurang atau hilang
b) Pasien mampu istirahat atau tidur
c) Ekspresi wajah nyaman atau tenang
d) TTV dalam batas normal (TD : 100-120/70-80 mmHg, N : 60-100 x/mnt R :
16-24 x/mnt, S : 36,5-37,5oC)
3) Rencana tinadakan:
a) Observasi tanda-tanda vital
b) Identifikasi derajat, lokasi, durasi, frekwensi dan karakteristik nyeri
c) Lakukan Teknik komunikasi terapeutik
d) Ajarkan Teknik relaksasi
e) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetic
Intra Anestesi :
a. Komplikasi potensial syok kardiogenik
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pompa
jantung dan sirkulasi efektif.
2) Kriteria hasil :
a) TTV dalam batas normal
b) Denyut jantung dalan batas normal
c) Hipotensi aorta statis tidak ada
d) Distensi vena leher tidak ada
e) Pasien mengatakan tidak pusing
f) Denyut nadi perifer kuat dan teratur
3) Rencana tindakan :
a) Atur posisi pasien
b) Kaji toleransi aktivitas : awal napas pendek, nyeri, pusing, palpitasi
c) Monitoring TTV
d) Beri oksigen
e) Kolaborasi dengan dokter
b. Hipotermia
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
menunjukkan termoregulasi.
2) Kriteria hasil :
a) Akral hangat
b) Suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5oC)
c) CRT <2 detik
d) Pasien mengatakan tidak kedinginan
e) Pasien tampak tidak menggigil
3) Rencana tindakan :
a) Motitoring TTV
b) Berikan selimut hangat
c) Berikan infus hangat
d) Kolaborasi pemberian obat untuk mencegah/mengurangi menggigil
e)
Post Anestesi :
a. Hambatan mobilitas ekstremitas bawah
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
mampu menggerakkan ekstremitas bawah (sendi dan otot).
2) Kriteria hasil :
a) Tidak ada neuropati
b) Mampu menggerakkan ekstremitas bawah
c) Bromage score : <1
3) Rencana tindakan
a) Monitoring TTV
b) Lakukan penilaian bromage score
c) Berikan posisi nyaman pada pasien
d) Ajarkan teknik pergerakan yang aman
e) Latih angkat atau gerakan ekstrimitas bawah
b. Risiko jatuh
1) Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
aman setelah pembedahan.
2) Kriteria hasil :
a) TTV dalam batas normal
b) Bromage score <1
c) Pasien mengatakan kaki dapat digerakkan
d) Pasien tampak tidak lemah
3) Rencana tindakan :
a) Monitoring TTV
b) Lakukan penilaian bromage score
c) Berikan pengaman pada tempat tidur pasien
d) Berikan gelang resiko jatuh
e) Latih angkat atau gerakkan ekstremitas bawah
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta:
ECG
Carpenito. 2013. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC
Chang, E. dkk. 2010. Patofisiologi Aplikasi pada Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC
Doenges, Marlynn E. 2006. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: ECG
http://nuzulul.fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35840-Kep%20PerencanaanAskep
%20Apendisitis.html (diakses pada tanggal 9 Oktober 2020)
Keat, Sally.2013. Anaesthesia on the move. Jakarta: Indeks
Latief, Said. dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Mansjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI
Medical Mini Notes. 2019. Anesthesia and Intensive Care. MMN
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2011. Clinical Anesthesiology, 4thed. Lange Medical
Books/McGraw-Hill
Nagelhout, John and Plaus. 2010. Handbook Of Nurse Anesthesia. USA: Elsevier.
Nurqoriah (2008).
Pratomo (2007).
Reeder (2004).
Rohimah (2011).
Sabiston, D. C. 2011. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC.
Syamsuhidajat, R & Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Beda