Anda di halaman 1dari 40

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA Ny.

N DENGAN
EKLAMPSI DILAKUKAN TINDAKAN SECTIO CAESAREA
MENGGUNAKAN TEKNIK GENERAL ANESTESI DI IBS Hj. ANNA
LASMANAH BANJARNEGARA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Anestesi Dasar (PK-II)
Dosen Pembimbing: Ns. Harmilah, M.Kep., Sp.MB
Clinical Instructor : Imam Yulianto, SST

Disusun Oleh :
1. Yehuda Gelar Pamungkas (P07120319037)
2. Moch. Akmal Fajar (P07120319006)
3. Ni Putu Lisna Febriyanti (P07120319022)
4. Syaneu Silviana Dewi (P07120319023)

POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA


JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
2021
LEMBAR PENGESAHAN
ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA Ny. N DENGAN EKLAMPSI
DILAKUKAN TINDAKAN SECTIO CAESAREA MENGGUNAKAN TEKNIK
GENERAL ANESTESI DI IBS Hj. ANNA LASMANAH BANJARNEGARA

Diajukan untuk disetujui pada,


Hari :
Tanggal :
Tempat : IBS RSUD Hj. Anna Lasmanah Banjarnegara

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Lapangan

(Ns. Harmilah, M.Kep., Sp.MB) (Imam Yulianto, SST)

ii
DAFTAR ISI
BAB I.............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..........................................................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................................2
C. Tujuan.................................................................................................................................2
BAB II............................................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................................3
A. Sectio Caesarea...................................................................................................................3
B. Konsep Dasar Eklamsia......................................................................................................7
C. Anestesi.............................................................................................................................11
BAB III.........................................................................................................................................19
TINJAUAN KASUS.....................................................................................................................19
A. Pengkajian.............................................................................................................................19
B. Persiapan Penatalaksanaan Anestesi.....................................................................................26
C. Pengkajian Intra Anestesi......................................................................................................28
D. Pengkajian Pasca Anestesi....................................................................................................29
E. Analisa Data..........................................................................................................................30
F. Diagnosa Keperawatan dan Prioritas Masalah.......................................................................31
G. Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi...............................................................................32
BAB IV.........................................................................................................................................35
KESIMPULAN.............................................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................36

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sectio caesarea merupakan pengeluaran janin melalui insisi dinding
abdomen dan dinding uterus. Persalinan dengan section caesarea berisiko
kematian 25 kali lebih besar dan berisiko infeksi 80 kali lebih tinggi dibanding
persalinan pervaginam (Cuningham et al, 2010). Selain risiko dari tindakan, sectio
caesarea sendiri berpengaruh terhadap kehamilan berikutnya karena persalinan
dengan riwayat bekas sectio caesarea merupakan persalinan yang berisiko tinggi
(Mochtar, 2002). Pada masa dulu sectio caesarea dilakukan atas indikasi yang
terbatas pada panggul sempit dan placenta previa. Meningkatnya angka kejadian
section caesarea pada waktu sekarang ini justru antara lain disebabkan karena
berkembangnya indikasi dan makin kecilnyarisiko dan mortalitas pada section
caesarea karena kemajuan tehnik operasi dan anestesi, serta ampuhnya
antibiotika (Mochtar, 2002).
Menurut statistik tentang 3.509 kasus sectio caesarea yang disusun oleh
Peel dan Chamberlain. Indikasi untuk sectio caesaria adalah disproporsi janin
panggul 21%, gawat janin 14%, plasenta previa 11% pernah section caesaria 11%,
kelainan letak janin 10%, pre eklamsi dan hipertensi 7% dengan angka kematian
ibu sebelum dikoreksi 17% dan sesudah dikoreksi 0,5% sedangkan kematian janin
14,5% (Winkjosastro, 2005). Menurut Andon dari beberapa penelitian terlihat
bahwasebenarnyaangka kesakitan dan kematian ibu pada tindakan operasi section
caesarea lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan pervaginam. Angka
kematian langsungpada operasi sesar adalah 5,8 per 100.000 kelahiran hidup.
Sedangkan angka kesakitan sekitar 27,3 persen dibandingkan
dengan persalinan normal hanya sekitar 9 per 1000 kejadian.
Untuk menekan angka kematian ibu dan janin salah satu cara bisa
dilakukan dengan tindakan operasi. Tind akan persalinan yang biasa
dilakukan adalah operasi caesar. WHO (World Health Organization)
menganjurkan operasi sesar hanya sekitar 10-15 % dari jumlah total kelahiran.
Eklampsia atau peningkatan tekanan darah, protenuria dan udem pada ibu
hamil juga merupakan indikasi dilakukan operasi sectio caesarea. Karena bila
dipaksakan pervaginaan dapat berisiko terjadi kejang pada ibu atau eklampsia.
Eklampsia dapat menyebabkan kematian ibu bahkan janin yang
dikandungnya. Namun demikian operasi sectio caesarea bukan tanpa adanya
risiko. Komplikasi section caesarea antara lain perdarahan, infeksi (sepsis), dan
cedera di sekeliling struktur (usus besar, kandung kemih, pembuluh ligament yang
lebar, ureter) (Hacker, 2001).
Berdasarkan dari uraian di atas, penulis tertarik untuk melaksanakan dan
menyusun laporan kasus yang berjudul “Asuhan Keperawatan Anestesi Pada Ny.
N dengan Sectio Caesarea Menggunakan Teknik General Anestesi di Ruang
Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Daerah Hj. Anna Lasmanah
Banjarnegara”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumusan masalah bagaimanakah
Asuhan Keperawatan Anestesi Pada Ny. N dengan Sectio Caesarea Menggunakan
Teknik General Anestesi di Ruang Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Umum
Daerah Hj. Anna Lasmanah Banjarnegara ?
C. Tujuan
Mengetahui Asuhan Keperawatan Anestesi Pada Ny. N dengan Sectio
Caesarea Menggunakan Teknik General Anestesi di Ruang Instalasi Bedah
Sentral Rumah Sakit Umum Daerah Hj. Anna Lasmanah Banjarnegara.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sectio Caesarea
1. Pengertian Sectio Caesarea
Sectio caesarea merupakan prosedur bedah untuk pelahiran janin
dengan insisi melalui abdomen dan uterus (Liu, 2007). Sectio caesarea adalah
suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada
dinding perut dan dinding rahim dengan sayatan rahim dalam keadaan utuh
serta berat janin diatas 500 gram (Sarwono, 2005). Sectio caesarea atau
bedah sesar adalah sebuah bentuk melahirkan anak dengan melakukan sebuah
irisan pembedahan yang menembus abdomen seorang ibu (laparotomi) dan
uterus (hiskotomi) untuk mengeluarkan satu bayi atau lebih (Dewi Y, 2007).
2. Jenis-jenis Sectio Caesarea
Ada dua jenis sayatan operasi yang dikenal yaitu :
a. Sayatan melintang Sayatan pembedahan dilakukan dibagian bawah rahim
(SBR). Sayatan melintang dimulai dari ujung atau pinggir selangkangan
(simphysisis) di atas batas rambut kemaluan sepanjang sekitar 10-14 cm.
keuntunganya adalah parut pada rahim kuat sehingga cukup kecil resiko
menderita rupture uteri (robek rahim) di kemudian hari. Hal ini karna
pada masa nifas, segmen bawah rahim tidak banyak mengalami kontraksi
sehingga luka operasi dapat sembuh lebih sempurna (Prawirohardjo,
2008).
b. Sayatan memanjang (bedah caesar klasik) Meliputi sebuah pengirisan
memanjang dibagian tengah yang memberikan suatu ruang yang lebih
besar untuk mengeluarkan bayi. Namun, jenis ini kini jarang dilakukan
karena jenis ini labil, rentan terhadap komplikasi (Dewi Y, 2007).
3. Indikasi Sectio Caesarea
Indikasi dilakukan operasi sectio caesarea antara lain meliputi:
a. Indikasi Medis
Ada tiga faktor penentu dalam proses persalinan yaitu Power, pasanger,
passage. Power yaitu kekuatan atau kontraksi, misalnya daya mengejan
lemah, ibu berpenyakit jantung atau penyakit menahun lain yang
mempengaruhi tenaga. Passanger yaitu keadaan janin dan placenta
misalnya anak terlalu besar, anak “mahal” dengan kelainan letak lintang,
3
primigravida diatas 35 tahun dengan letak sungsang, anak tertekan terlalu
lama pada pintu atas panggul, dan anak menderita fetal distress syndrome
(denyut jantung janin kacau dan melemah). Passage, yaitu kondisi jalan
lahir, kelainan pada panggul sempit, trauma persalinan serius pada jalan
lahir atau pada anak, adanya infeksi pada jalan lahir yang diduga bisa
menular ke anak, umpamanya herpes kelamin (herpes genitalis),
condyloma lota (kondiloma sifilitik yang lebar dan pipih), condyloma
acuminata (penyakit infeksi yang menimbulkan massa mirip kembang kol
di kulit luar kelamin wanita), hepatitis B dan hepatitis C. (Dewi Y, 2007)
b. Indikasi Ibu
1) Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kali pada usia sekitar 35 tahun,
memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi pada wanita
dengan usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya seseorang
memiliki penyakit yang beresiko, misalnya tekanan darah tinggi,
penyakit jantung, kencing manis dan preeklamsia. Eklampsia
(keracunan kehamilan) dapat menyebabkan ibu kejang sehingga dokter
memutuskan persalinan dengan sectio caesarea.
2) Tulang Panggul
Cephalopelvic diproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu
tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat
menyebabkan ibu tidak melahirkan secara alami. Tulang panggul
sangat menentukan mudah tidaknya proses persalinan.
3) Persalinan Sebelumnya dengan sectio caesarea
Persalinan melalui bedah caesar tidak mempengaruhi persalinan
selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak. Apabila
memang ada indikasi yang mengharuskan dilakukanya tindakan
pembedahan, seperti bayi terlalu besar, panggul terlalu sempit, atau
jalan lahir yang tidak mau membuka, operasi bisa saja dilakukan.
4) Faktor Hambatan Jalan Lahir
Gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku sehingga tidak
memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan
bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek, dan ibu sulit bernafas.
5) Kelainan Kontraksi Rahim
4
Kelainan kontraksi rahim jika kontraksi rahim lemah dan tidak
terkoordinasi (inkordinate uterine action) atau tidak elastisnya leher
rahim sehingga tidak dapat melebar pada proses persalinan,
menyebabkan kepala bayi tidak terdorong, tidak dapat melewati jalan
lahir dengan lancar.
6) Ketuban Pecah Dini
Kantung ketuban yang robek sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi
harus segera dilahirkan. Kondisi ini membuat air ketuban merembes ke
luar sehingga tinggal sedikit atau habis. Air ketuban (amnion) adalah
cairan yang mengelilingi janin dalam rahim.
7) Rasa Takut Kesakitan
Seorang wanita yang melahirkan secara alami akan mengalami proses rasa
sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa sakit di pinggang dan
pangkal paha yang semakin kuat dan “menggigit”. Kondisi tersebut
karena keadaan yang pernah atau baru melahirkan merasa ketakutan,
khawatir, dan cemas menjalaninya. Hal ini bisa karena alasan secara
psikologis tidak tahan melahirkan dengan sakit. Kecemasan yang
berlebihan juga akan mengambat proses persalinan alami yang
berlangsung (Prawirohardjo,
c. Indikasi Janin
Indikasi janin yang akan melalui jalan sectio caesarea adalah : (Cendika, dkk.
2007).
1) Ancaman Gawat Janin (fetal distress) Detak jantung janin
melambat, normalnya detak jantung janin berkisar 120 x/mnt – 160
x/mnt. Namun dengan CTG (cardiotography) detak jantung janin
melemah, lakukan segera sectio caesarea segara untuk
menyelematkan janin.
2) Bayi Besar (makrosemia)
3) Letak Sungsang
Letak sungsang yang demikian dapat menyebabkan poros janin tidak
sesuai dengan arah jalan lahir. Pada keadaan ini, letak kepala pada
posisi yang satu dan bokong pada posisi yang lain.
(1) Letak Plasenta Plasenta previa
Posisi plasenta terletak dibawah rahim dan menutupi sebagian atau
5
seluruh jalan lahir.
(2) Plasenta lepas (Solution placenta)
Kondisi ini merupakan keadaan plasenta yang lepas lebih cepat
dari dinding rahim sebelum waktunya. Persalinan dengan
operasi dilakukan untuk menolong janin segera lahir sebelum
mengalami kekurangan oksigen atau keracunan air ketuban.
(3) Plasenta accreta
Plasenta accreta merupakan keadaan menempelnya plasenta di
otot rahim. Pada umumnya dialami ibu yang mengalami
persalinan yang berulang kali, ibu berusia rawan untuk hamil
(di atas 35 tahun), dan ibu yang pernah operasi (operasinya
meninggalkan bekas yang menyebabkan menempelnya
plasenta.
4) Kelainan Tali Pusat
(1) Prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung)
Keadaan penyembulan sebagian atau seluruh tali pusat. Pada
keadaan ini, tali pusat berada di depan atau di samping atau tali
pusat sudah berada di jalan lahir sebelum bayi.
(2) Terlilit tali pusat
Lilitan tali pusat ke tubuh janin tidak selalu berbahaya. Selama tali
pusat tidak terjepit atau terpelintir maka aliran oksigen dan
nutrisi dari plasenta ke tubuh janin tetap aman (Prawirohardjo,
2008).
4. Komplikasi Sectio Caesarea
Bagi ibu yang melahirkan dengan tindakan sectio caesarea tidak saja
menimbulkan resiko medis tapi juga resiko psikologis. Resiko Sectio
Caesarea menurut Kasdu (2008), antara lain:
a. Resiko medis
1) Infeksi rahim dan bekas jahitan
Infeksi luka akibat caesarea beda dengan luka pada persalinan normal.
Luka setelah caesar lebih besar dan lebih belapis-lapis. Bila
penyembuhan tidak sempurna, kuman lebih mudah menginfeksi
sehingga luka pada rahim dan jahitan bisa lebih parah.
2) Perdarahan
6
Perdarahan tidak bisa dihindari dalam proses persalinan. Namun darah
yang hilang lewat sectio caesarea dua kali lipat dibanding lewat
persalinan normal. Kehilangan darah yang cukup banyak
mengakibatkan syok secara mendadak.
3) Resiko obat bius
Pembiusan pada proses caesarea bisa menyebabkan komplikasi. Selain
itu, obat bius juga bisa mempengaruhi bayi. Sebagian bayi mengalami
efek dari obat bius yang diberikan doker kepada ibunya saat caesarea.
Setelah dilahirkan bayi biasanya menjadi kurang aktif dan banyak tidur
sebagai efek dari obat bius.
b. Resiko psikologis
1) Baby blues
Bagi sebagian ibu yang menjalani caesarea ini merupakan masa peralihan.
Biasanya berlangsung selama satu atau dua minggu. Hal ini ditandai
dengan perubahan suasana hati, kecemasan, sulit tidur, konsentrasi
menurun.
2) Post Traumatic Syndrom Disorder (PTSD)
Pengalaman perempuan menjalani sectio caesarea sebagai suatu peristiwa
traumatik. 3% perempuan memiliki gejala klinis PTSD pada 6 minggu
setelah caesarea dan 24% menunjukkan setidaknya 1 dari 3 komponen
PTSD.
3) Sulit pendekatan kepada bayi
Perempuan yang mengalami sectio caesarea mempunyai perasaan negatif
setelah menjalani sectio caesarea tanpa memperhatikan kepuasan
terhadap hasil operasi. Sehingga Ibu yang melahirkan secara sectio
caesarea biasanya sulit dekat dengan bayinya. Bahkan jarang bisa
menyusui dibandingkan dengan melahirkan normal. Karena rasa tidak
nyaman akibat sectio caesarea.
B. Konsep Dasar Eklamsia
1. Definisi Eklamsia
Eklampsia adalah terjadinya kejang dengan adanya preeklamsia
(ditunjukkan dengan hipertensi, proteinuria, dan edema yang terjadi
setelah usia kehamilan 20 minggu). Definisi saat ini kurang mengandalkan
kehadiran pre-eklampsia karena eklampsia dapat berkembang tanpa gejala
7
atau tanda sebelumnya pada hingga 38% kasus.2 Percobaan Eklampsia
Inggris: Kejang terjadi pada kehamilan atau dalam 10 hari setelah
melahirkan dan dengan setidaknya dua dari fitur berikut didokumentasikan
dalam waktu 24 jam setelah kejang.
a. Hipertensi tekanan darah diastolik (DBP) minimal 90 mm Hg (jika
DBP kurang dari 90 mm Hg pada kunjungan pemesanan) atau
kenaikan DBP 25 mmHg di atas tingkat pemesanan.
b. Proteinuria satu "plus" atau setidaknya 0,3 g/24 jam.
c. Trombositopenia kurang dari 100.000/ul
2. Insidensi
Sebuah survei deskriptif prospektif dari setiap kasus eklampsia di
Inggris dilakukan pada tahun 1992.1 Dua ratus tujuh puluh sembilan unit
kebidanan yang dipimpin konsultan disurvei. Lima ratus delapan puluh
dua kemungkinan kasus dilaporkan dan 383 kemudian dikonfirmasi
sebagai kasus eklampsia. Ini memberikan tingkat 4,9 per 10 000 bersalin.
Insiden ini serupa dengan yang dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun
1983-1986 sebesar 4,3 per 10.000.3 Enam puluh delapan persen kejang
terjadi di rumah sakit; 44% adalah postpartum; 18% adalah intrapartum.
Sisanya adalah antepartum. Dari kasus postpartum, 20 kejang terjadi lebih
dari 48 jam setelah melahirkan dan tiga terjadi setelah tujuh hari.
3. Patofisiologi
eklampsia diperkirakan terjadi akibat perkembangan plasenta yang
abnormal. Perubahan patologis utama terjadi pada tempat tidur vaskular
plasenta yang mengakibatkan iskemia plasenta. Perubahan rasio
prostasiklin dan tromboksan terjadi bersamaan dengan agregasi trombosit,
aktivasi trombin, dan deposisi fibrin di tempat tidur vaskular sistemik ibu.
Peningkatan permeabilitas kapiler dan hipoalbuminemia juga terjadi.
Kombinasi vasospasme dan trombosis yang dalam menyebabkan disfungsi
hampir semua sistem organ. Faktor predisposisi untuk preeklamsia
meliputi nulipara, kehamilan ganda, ekstremitas usia (remaja 3x lebih
mungkin daripada wanita yang lebih tua)
Pada preeklamsia, terdapat respon berlebihan terhadap angiotensin
II, katekolamin, dan vasopresin.2 Volume intravaskular berkurang. Kejang
dianggap sebagai akibat dari vasospasme serebral dan kerusakan endotel
8
yang menyebabkan iskemia, mikroinfark, dan edema.2 5 Waktu
perdarahan sering meningkat pada preeklamsia berat, meskipun tes
koagulasi standar seperti waktu protrombin dan waktu tromboplastin
parsial mungkin normal. 2 Penyebabnya tidak pasti tetapi peningkatan
kadar faktor von Willebrand dan zat lain yang tidak diketahui mungkin
terlibat.
4. Komplikasi
Di Pengadilan Eklampsia Inggris,1 1,8% pasien meninggal dan
35% memiliki setidaknya satu komplikasi utama (lihat tabel 4). Prematur
dan eklampsia antenatal tampaknya menjadi yang paling parah. Angka
kelahiran mati dan kematian neonatus masing-masing adalah 22,2 dan
34,1 per 1000 kelahiran. Secara keseluruhan, satu dari 14 o Vmusim semi
wanita dengan eklampsia meninggal. Di Inggris, perdarahan serebral
merupakan penyebab kematian tersering pada eklampsia dan
preeklamsia.8–10 Manifestasi serebral mirip dengan ensefalopati
hipertensi dengan trombosis dan nekrosis fibrinoid arteriol serebral,
berbeda Vmenggunakan mikroinfark, dan perdarahan petekie di otak.2 4 5
Namun, sekitar 20% wanita dengan eklampsia memiliki tekanan darah
sistolik kurang dari 140 mm Hg atau DBP kurang dari 90 mm Hg sekitar
waktu kejang.11 Perubahan retina pada ensefalopati hipertensi jarang
terlihat. 2 Karena deplesi volume intravaskular disertai dengan
vasospasme yang intens, pasien ini berisiko tinggi mengalami edema paru
akibat penggantian cairan yang berlebihan. Sebaliknya, mereka berisiko
hipovolemia bahkan dari kehilangan darah normal yang terkait dengan
persalinan. 2 Edema paru mungkin disebabkan oleh kombinasi
peningkatan permeabilitas kapiler, tekanan osmotik koloid yang rendah,
dan kerusakan endotel paru. Komplikasi ginjal termasuk pembengkakan
glomerulus dan deposisi fibrin yang mengakibatkan endoteliosis kapiler
glomerulus. Oliguria sering terjadi dan ini dapat berkembang menjadi
nekrosis tubular akut.
Disfungsi hati dapat terjadi akibat nekrosis hati periportal,
perdarahan subkapsular atau deposisi fibrin pada sinusoid hati. Dalam
kasus yang sangat jarang, ruptur hati yang fatal dapat terjadi.2 Disfungsi
hati dapat menjadi bagian dari sindrom HELLP, yang mempersulit 0,3%
9
dari semua kehamilan dan hingga 20% wanita dengan preeklamsia berat.
Sindrom ini terdiri dari hemolisis, peningkatan enzim hati, dan trombosit
rendah dengan nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas.12 Ini
merupakan komplikasi yang mengancam jiwa dan membutuhkan
pengiriman yang cepat. Koagulasi intravaskular diseminata terjadi pada
7% pasien dengan eklampsia tetapi penyebabnya tidak jelas.
Komplikasi janin diperkirakan timbul sebagai akibat dari
hipoperfusi plasenta. Ini termasuk tingkat kematian janin yang tinggi,
retardasi pertumbuhan intrauterin, bayi kecil untuk kurma dan peningkatan
kematian perinatal. oksihemo Kurva disosiasi globin bergeser ke kiri pada
preeklamsia, mengurangi pengiriman oksigen ke janin.
5. Tujuan pengobatan
Penatalaksanaan preeklamsia/eklampsia terdiri dari pencegahan
atau pengobatan kejang, kontrol tekanan darah dan akhirnya, persalinan
bayi. Enam puluh persen kematian ibu dalam kondisi ini disebabkan oleh
perdarahan otak dan tekanan darah lebih dari 170/110 mmHg harus
ditangani segera tetapi dipertahankan di atas 130/90 mm Hg untuk
menghindari penurunan akut perfusi plasenta. Persalinan diindikasikan
segera jika ada bukti penyakit progresif yang parah seperti sakit kepala,
penglihatan kabur, skotoma, nyeri epigastrium, DBP lebih dari 110
mmHg, koagulopati, peningkatan kreatinin, atau enzim hati.

6. Pengendalian Kejang
Cairan Kristaloid Penelitian sebelumnya di Inggris melaporkan
diazepam dan fenitoin sebagai obat pilihan untuk pengobatan kejang
eklampsia. Keduanya umum digunakan dan efektif dalam pengobatan
bentuk kejang lainnya dan fenitoin memiliki keuntungan memiliki sedikit
efek sedatif Tindakan lini pertama untuk mengontrol kejang tetap
diazepam atau diazemuls 5-10 mg, atau lorazepam 2-4 mg diberikan
sebagai bolus intravena lambat. Chlormethiazole sebagian besar telah
ditinggalkan karena risiko oversedasi, hilangnya refleks jalan napas,
depresi pernapasan, dan kelebihan cairan. Sebagai perbandingan,
magnesium sulfat telah menjadi pengobatan lini pertama di Amerika
Serikat dan Afrika Selatan selama bertahun-tahun dan mendapatkan
10
penerimaan sebagai pengobatan pilihan di Inggris. Percobaan Eklampsia
Kolaboratif adalah percobaan acak multisenter internasional yang
melibatkan 1680 wanita dengan eklampsia. Persidangan dibagi menjadi
dua lengan. Yang pertama membandingkan magnesium sulfat dengan
diazepam dan yang kedua membandingkan magnesium sulfat dengan
fenitoin dalam pencegahan kejang berulang. Morbiditas dan mortalitas ibu
dan bayi adalah ukuran hasil.
C. Anestesi
a. Pengertian
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika
dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit,
dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal
bagi pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011).
b. General Anestesi
General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit
secara sentral disertai hilangnya kesadaran (reversible).
Tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik yang dapat
dilakukan adalah general anestesi denggan teknik intravena
anestesi dan general anestesi dengan inhalasi yaitu dengan face
mask (sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu
pemasangan endotrecheal tube atau gabungan keduanya inhalasi
dan intravena (Latief, 2007).
1) Teknik General Anestesi
General anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2010), dapat dilakukan dengan
3 teknik, yaitu:
a) General Anestesi Intravena
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat
anestesi parenteral langsung ke dalam 11 pembuluh darah vena.
b) General Anestesi Inhalasi
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi
obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah
menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
c) Anestesi Imbang
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-obatan
11
baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi
teknik general anestesi dengan analgesia regional untuk mencapai trias
anestesi secara optimal dan berimbang, yaitu:
(1) Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum
atau obat anestesi umum yang lain.
(2) Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik opiat
atau obat general anestesi atau dengan cara analgesia regional.
(3) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot
atau general anestesi, atau dengan cara analgesia regional.
2) Obat-obat General Anestesi
Pada tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik 12 yang dapat dilakukan
adalah general anestesi dengan teknik intravena anestesi dan general anestesi
dengan inhalasi, berikut obat-obat yang dapat digunakan pada kedua teknik
tersebut
Obat-obatan Anestesi Intravena Obat-obatan Anestesi Inhalasi
1 Atropine Sulfat 1 Nitrous Oxide
2 Pethidin 2 Halotan
3 Atracurium 3 Enfluran
4 Ketamin HCL 4 Isofluran
5 Midazolam 5 Sevofluran
6 Fentanyl
7 Rokuronium Bromide
8 Prostigmin

3. Waktu Pulih Sadar


a. Pengertian
Pulih sadar merupakan bangun dari efek obat anestesi setelah proses pembedahan
dilakukan. Lamanya waktu yang dihabiskan pasien di recovery room
tergantung kepada berbagai faktor termasuk durasi dan jenis pembedahan,
teknik anestesi, jenis obat dan dosis yang diberikan dan kondisi umum pasien.
Menurut Gwinnutt (2012) dalam bukunya mengatakan sekitar 30 menit berada
dalam ruang pemulihan dan itu pun memenuhi kriteria pengeluaran. Pasca
operasi, pulih dari anestesi general secara rutin pasien dikelola di recovery
room atau disebut juga Post Anesthesia Care Unit (PACU), idealnya adalah
12
bangun dari anestesi secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus dengan
pengawasan dan pengelolaan secara ketat sampai dengan keadaan stabil
menurut penilaian Score Aldrete.
b. Penilaian Waktu Pulih Sadar
Penilaian dilakukan saat masuk recovery room, selanjutnya dinilai dan dicatat
setiap 5 menit sampai tercapai nilai minimal 8. Pasien bisa dipindahkan ke
ruang perawatan jika nilai pengkajian pasca anestesi adalah 8-10. Lama
tinggal di ruang pemulihan tergantung dari teknik anestesi yang digunakan
(Larson, 2009). Tingkat pulih sadar seseorang pasca anestesi dilakukan
perhitungan menggunakan Score Aldrete (Nurzallah,2015).
Score Aldrete

13
No Kriteria Nilai
1 Aktivitas Motorik 2
a. Mampu menggerakan 4 ekstermitas 1

b. Mampu menggerakan 2 ekstermitas 0

c. Tidak mampu menggerakan


ekstermitas

2 Respirasi
a. Mampu nafas dalam, batuk dan tangis 2
kuat

b. Sesak atau pernafasan terbatas 1

c. Henti nafas 0

3 Tekanan Darah
a. Berubah sampai 20% dari pra bedah 2

b. Berubah 20%-50% dari pra bedah 1

c. Berubah >50% dari pra bedah 0

4 Kesadaran
a. Sadar baik dan orientasi baik 2

b. Sadar setelah dipanggil 1

c. Tak ada tanggapan terhadap rangsangan 0

5 Warna Kulit
a. Kemerahan 2
c. Faktor-
b. Pucat 1 Faktor

c. Sianosis 0

Pemindahan Pasien
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan sebelum memindahkan pasien ke ruangan
adalah:
14
1) Observasi minimal 30 menit setelah pemberian narkotik atau penawarnya
(nalokson) secara intavena.
2) Observasi minimal 60 menit setelah pemberian antibiotik, antiemetik atau
narkotik secara intramuskuler.
3) Observasi minimal 30 menit setelah oksigen dihentikan.
4) Observasi 60 menit setelah esktubasi (pencabutan ETT).
5) Tindakan lain akan ditentukan kemudian oleh dokter spesialis
anestesiologi dan dokter spesialis bedah (Mangku dan Senapathi, 2010).
Kembalinya kesadaran pasien dari general anestesi secara ideal harus mulus
dan juga bertahap dalam keadaan yang terkontrol hingga kembali sadar penuh,
waktu pulih sadar tindakan general anestesi sebagai berikut:
1) General Anestesi Intravena
Waktu pulih sadar pasien dengan general anestesi dengan TIVA propofol
TCI (Target Controlled Infusion) adalah 10 menit (Simanjuntak,
2013).
2) General Anestesi Inhalasi
Waktu pasien akan kembali sadar penuh dalam waktu 15 menit dan tidak
sadar yang berlangsung diatas 15 menit dianggap prolonged (Mecca,
2013).
3) Anestesi Imbang
Observasi minimal 30 menit setelah pemberian narkotik atau penawarnya
(nalokson) secara intavena dan observasi 60 menit setelah esktubasi
(pencabutan ETT) (Mangku dan Senapathi, 2010).
d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Waktu Pulih Sadar
1) Efek Obat Anestesi (premedikasi anestesi, induksi anestesi)
Penyebab tersering tertundanya pulih sadar (belum sadar penuh 30-60
menit pasca general anestesi adalah pengaruh dari sisa-sisa obat anestesi
sedasi dan analgesik (midazolam dan fentanyl) baik absolut maupun
relative dan juga potensasi dari obat atau agen anestesi dengan obat
sebelum (alkohol) (Andista, 2014).
Induksi anestesi juga berpengaruh terhadap waktu pulih sadar pasien.
Pengguna obat induksi ketamine jika dibandingkan dengan propofol,
waktu pulih sadar akan lebih cepat dengan penggunaan obat induksi
propofol. Propofol memiliki lama aksi yang singkat (5-10 menit),
15
distribusi yang luas dan eliminasi yang cepat. Sifat obat atau agen anestesi
yang umumnya bisa menyebabkan blok sistem saraf, pernafasan dan
kardiovaskuler maka selama durasi anestesi ini bisa terjadi komlikasi-
komplikasi dari tindakan anestesi yang ringan sampai yang berat.
Komplikasi pada saat tindakan anestesi bisa terjadi selama induksi anestesi
dari saat rumatan (pemeliharaan) anestesi. Peningkatan kelarutan anestesi
inhalasi serta pemanjangan durasi kerja pelemas otot diduga merupakan
penyebab lambatnya pasien bangun pada saat akhir anestesi. Waktu pulih
sadar saat di ruang pemulihan menjadi lebih lama pada pasien hipotermi
(Mecca, 2013).
Cara mencegah agar tidak terjadi komplikasi-komplikasi selama
tindakan anestesi maka diperlukan monitoring secara ketat sebagai bentuk
tanggung jawab kita sebagai petugas anestesi. Monitoring pasien selama
tindakan anestesi bisa menggunakan panca indera kita maupun dengan
menggunakan alat monitor pasien yang bisa digunakan sekarang.
2) Durasi Tindakan Anestesi
Durasi (lama) tindakan anestesi merupan waktu dimana pasien
dalam keadaan teranestesi, dalam hal ini general anestesi. Lama tindakan
anestesi dimulai sejak dilakukan induksi anestesi dengan obat atau agen
anestesi yang umumnya menggunakan obat atau agen anestesi intravena
dan inhalasi sampai obat atau pembedahan yang dilakukan. Jenis operasi
adalah pembagian atau klasifikasi tindakan medis bedah berdasarkan
waktu, jenis anestesi dan resiko yang dialami, meliputi operasi kecil,
sedang, besar dan khusus dilihat dari durasi operasi.

Durasi Operasi
Jenis Operasi Waktu
Operasi kecil Kurang dari 1 jam
Operasi sedang 1-2 jam
Operasi besar >2 jam
Operasi khusus Memakai alat cangggih
Sumber : Baradero, 2008

Pembedahan yang lama secara otomatis menyebabkan durasi


16
anestesi semakin lama. Hal ini akan menimbulkan efek akumulasi obat
dan agen anestesi di dalam tubuh semakin banyak sebagai hasil
pemanjangan penggunaan obat atau agen anestesi tesebut dimana obat
diekskresikan lebih lambat dibandingkan absorbsinya yang akhirnya dapat
menyebabkan pulih sadar berlangsung lama (Latief, 2007).
3) Usia
Umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu
keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang
mati. Lansia bukan merupakan kontra indikasi untuk tindakan anestesi.
Suatu kenyataan bahwa tindakan anestesi sering memerlukan ventilasi
mekanik, toilet tracheobronchial, sirkulasi yang memanjang pada orang
tua dan pengawasan fungsi faal yang lebih teliti, kurangnya kemampuan
sirkulasi untuk mengkompensasi vasodilatasi karena anestesi
menyebabkna hipotensi dan berpengaruh pada stabilitas keadaan umum
pasca bedah (Andista, 2014).
4) Berat Badan dan Indeks Masa Tubuh (Body Mass Index)
Indeks Masa Tubuh (IMT) merupakan alat atau cara yang
sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang
berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan (Depkes RI,
2009). Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah cara untuk memperkirakan
obesitas dan berkolerasi tinggi dengan massa lemak tubuh, selain itu juga
penting untuk mengidentifikasi pasien obesitas yang mempunyai resiko
mendapat komplikasi medis.
5) Jenis Operasi
Beberapa jenis operasi yang dilakukan akan memberikan efek yang berbeda
terhadap kondisi pasien pasca bedah. Operasi dengan perdarahan yang
lebih dari 15 sampai 20 persen dari total volume darah normal
memberikan pengaruh terhadap perfusi organ, pengangkutan oksigen dan
sirkulasi. Pasien dengan perdarahan yang banyak memerlukan bantuan
yang lebih lanjut, pemberian tranfusi pasca bedah dinilai lebih efektif
untuk menggantikan cairan darah hilang. Cairan koloid dapat membantu
bila darah donor belum tersedia.
6) Status Fisik Pra Anestesi
Status ASA, sistem klasifikasi fisik adalah suatu sistem untuk menilai
17
kesehatan pasien sebelum operasi. American Society of Anesthesiologis
(ASA) mengadopsi sistem klasifikasi status lima kategori fisik yaitu:
a) ASA 1, seorang pasien yang normal dan sehat.
b) ASA 2, seorang pasien dengan penyakit sistemik ringan.
c) ASA 3, seorang pasien dengan penyakit sistemik berat.
d) ASA 4, seorang pasien dengan penyakit sistemik berat yang
merupakan ancaman bahi kehidupan.
e) ASA 5, seorang pasien yang hamper mati tidak ada harapan hidup
dalam 24 jam untu berthan hidup tanpa operasi. Jika pembedahan
darurat, klasifikasi status fisik diikuti dengan “E” (untuk darurat)
misalnya “3E”.
Semakin tinggi status ASA pasien maka gangguan sistemik pasien tersebut
akan semakin berat. Hal ini menyebabkan respon organ-organ tubuh
terhadap obat atau agen anestesi tersebut semakin lambat, sehingga
berdampak pada semakin lama pulih sadar pasien (Setiawan, 2010).
7) Gangguan Asam Basa dan Elektrolit
Tubuh memiliki mekanisme untuk mengatur keseimbangan asam, basa,
cairan, maupun elektrolit yang mendukung fungsi tubuh yang optimal.
Mekanisme regulasi dilakukan terutama oleh ginjal yang manpu
mengonservasi ataupun meningkatkan pengeluaran cairan, konstribusi
pengaturan asam basa maupun elektrolit apabila terjadi
ketidakseimbangan. Mekanisme pengaturan keseimbangan asam basa
didalam tubuh terutana oleh tiga komponen yaitu sistem buffer kimiawi,
pari-paru dan ginjal. Gangguan keseimbangan asam basa tubuh terbagi
menjadi empat macam yaitu asidosis respiratorik, asidosis metabolik,
alkalosis respiratorik dan alkalosis metabolik. Istilah respiratorik merujuk
pada kelainan system pernafasan, sedangkan istilah metabolik merujuk
pada kelainan yang disebabkan sistem pernafasan. Pasien yang mengalami
gangguan asam basa menyebabkan terganggunya fungsi pernafasan,
fungsi ginjal maupun fungsi tubuh yang lain. Hal ini berdampak pada
terganggunya proses ambilan maupun pengeluaran obat-obatan dan agen
anestesi. Begitu juga dengan gangguan keseimbangan elektrolit di dalam
tubuh, baik hipokalemia, hiperkalemia, hiponatremia, hipokalsemia,
ataupun ketidakseimbangan elektrolit yang lain. Kondisi-kondisi ini bisa
18
menyebabkan gangguan irama jantung, kelemahan otot, maupun
terganggunya perfusi otak. Sehingga ambilan obat-obatan dan agen
inhalasi anestesi menjadi terhalang dan proses eliminasi zat-zat anestesi
menjadi lambat yang berakibat waktu pulih sadar menjadi lebih lama.

BAB III
TINJAUAN KASUS
19
A. Pengkajian
Hari/tanggal : Kamis, 11 November 2021
Jam : 02.50 WIB
Tempat : IBS RSUD Hj. Anna Lasmanah Banjarnegara
Metode : Wawancara, observasi, pemeriksaan
fisik.
Sumber data : Pasien, tim kesehatan,status kesehatan
pasien
Oleh : Yehuda Gelar P, Moh Akmal F, Ni Putu Lisna F,
Sayaneu Silviana D.
Rencana tindakan : Sectio Caesarea
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Umur : 18 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Alamat : Banjarnegara
No RM : 71-60-xx
Diagnosa pre operasi : G1P1A0 Eklampsi
Tindakan operasi : Sectio Caesarea
Tanggal operasi : 11 November 2021
Dokter bedah : dr. V, Sp.B.
Dokter anestesi : dr. S, Sp. An.
2. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn. A
Umur : 22 tahun
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Hubungan dengan pasien : Suami
3. Riwayat Kesehatan
a. Kesehatan Pasien
1) Keluhan Utama
Ny. N menatakan sakit kepala
20
a) Alasan Masuk RS
G1P0A1 eklampsia
b) Riwayat Kesehatan Pasien
Pasien menderita hipertensi berhubungan dengan
eklampsia. Pasien mengalami muntah 3 kali di rumah
dan tidak terjadi di ruang penerimaan pasien, ruang
operasi, dan ruang pemulihan.
c) Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengatakan tidak ada menggunakan obat-
obatan khusus, belum pernah dirawat atau
dioperasi,tidak ada alergi sebelum masa kehamilan.
d) Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga mengatakan dalam keluarga pasien tidak ada
yang menderita penyakit yang diderita oleh klien.
4. Kesehatan Fungsional
a. Aspek Fisik – Biologis
1) Nutrisi
a) Sebelum Sakit
Pasien mengatakan makan 3 kali sehari, nasi, lauk dan sayur.
b) Selama Sakit
Pasien mengatakan makan 3 kali sehari, nasi, lauk dan sayur
2) Pola Eliminasi
Pola eliminasi pasien normal.
3) Pola Aktivitas
a) Sebelum Sakit
i. Keadaan aktivitas sehari – hari
Pasien mengatakan kegiatan sehari- hari ibu rumah
tangga.
ii. Keadaan pernafasan
Suara nafas vesikuler, tidak ada wheezing
iii. Keadaan Kardiovaskuler
Pasien mengatakan tidak sesak nafas
b) Selama Sakit
i. Keadaan aktivitas sehari – hari

21
Pasien mengurangi aktivitas berat
ii. Keadaan pernafasan
Mengalami gangguan pernapasan saat terjadi eklampsia
di ruangan operasi.
iii. Keadaan kardiovaskuler
Tekanan darah pasien tinggi
4) Kebutuhan Istirahat – Tidur
Pasien mengatakan sehari-hari bisa tidur, tidak ada keluhan untuk
kebiasaan tidurnya. Biasanya tidur antara jam 22.00 – 04.00.
b. Aspek Psiko-Sosial-Spiritual
1) Pemeliharaan dan Pengetahuan
Terhadap Kesehatan Pasien
kurang pengetahuan tentang
penyakitnya.
2) Pola Hubungan
Selama mondok di RS pasien selalu ditemani oleh
suaminya dan hubungan pasien dengan petugas kesehatan
baik. Hubungan dengan dokter, perawat, ahli gizi dan
praktikan baik.
3) Koping atau Toleransi Stres
Pasien merasa cemas dengan penyakitnya, gelisah, tegang.
4) Kognitif dan persepsi tentang penyakitnya
Pasien mengatakan tidak tahu tentang penyakitnya.
5) Konsep diri
a) Gambaran Diri
Pasien mengatakan setelah operasi terasa nyeri.
b) Harga Diri
Sejak sakit ini pasien merasa tetap dihargai dan dihormati
oleh suami dan keluarganya.
c) Ideal Diri
Pasien mengatakan ingin sembuh dari penyakitnya.
d) Identitas Diri
Pasien mengatakan sebagai seorang istri
6) Nilai
Pasien mengatakan beragama Islam dan berusaha selalu berdoa.
22
c. Aspek Lingkungan Fisik
Lingkungan rumah pasien baik. Lingkungan di kamar
perawatan pasien bersih, tidak ada ceceran makanan, seprei
rapi dan bersih.
5. Observasi
a. B1 (Breath)
1) Inspeksi : Membran mukosa hidung faring tampak
kemerahan, tonsil normal, tidak tampak penggunaan otot-
otot pernapasan tambahan, pernapasan cuping hidung.
2) Palpasi : Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar limfe
pada daerah leher, tidak teraba adanya pembesaran
kelenjar tyroid.
3) Perkusi : Suara paru normal (resonance).
4) Auskultasi : Suara napas vesikuler/tidak terdengar
ronchi pada kedua sisi paru.

b. B2 (Blood)

Hipertensi
c. B3 (Brain)
Fungsi otak normal
d. B4 (Bladder)
Perkemihan tidak ada kelainan.
e. B5 (Bowel)
Pencernaan nafsu makan menurun.
f. B6 (Bone)
Warna kulit normal.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
1) Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15 E4V5M6
2) Status Gizi : TB = 150 cm
BB = 71 kg
IMT= 31,5 kg/m2 (berat badan lebih)
3) Tanda Vital : TD = 158/96 mmHg

23
Nadi = 96 x/mnt
Suhu = 37 ℃
RR = 20 x/mnt
b. Pemeriksaan Secara Sistematik (Cephalo – Caudal)
1) Kulit
Kulit bersih sawo matang, turgor kulit, tidak ada sianosis.
2) Kepala
Bentuk normocephal, bentuk simetis, rambut dan kulit
kepala bersih, mata ishokor, simetris, visus normal,
telinga simetris dan bersih.
3) Leher
Tidak ada benjolan dan tidak ada pembesaran kelenjar getah
bening, tidak ada abses dan fraktur pada leher, leher tidak
pendek dan jaringan lemak pada leher tidak berlebih. Skor
mallampati I.
4) Tengkuk
Tidak ada benjolan dan tidak ada kaku kuduk.
5) Thorak dan Paru
a) Inspeksi
- Bentuk torak (normal chest), bentuk dada
(simetris), keadaan kulit baik .
- Retrasksi otot bantu pernafasan : retraksi
intercosta (-), retraksi suprasternal (-),
Sternomastoid (-), pernafasan cuping hidung (-).
- Pola nafas : (eupnea).
- Cianosis (-), batuk (produktif), bentuk dada simetris.
b) Palpasi
- Pemeriksaan taktil / vocal fremitus : getaran
antara kanan dan kiri teraba (sama).
c) Perkusi
Sonor
d) Auskultasi
- Suara nafas area vesikuler: (bersih), Area
Bronchial: (bersih) Area Bronkovesikuler (bersih).
- Suara ucapan terdengar: Bronkophoni (-),

24
Egophoni (-), Pectoriloqy (-).
- Suara tambahan terdengar: Rales (-), Ronchi (-),
Wheezing (-), Pleural fricion rub (-).

6) Jantung
a) Inspeksi
- Ictus cordis (-).
b) Palpasi
- Pulsasi pada dinding
torak teraba: (kuat).
Perkusi : (pekak)
Perkusi Batas-batas jantung normal adalah:
- Kanan atas : SIC II Linea Para Sternalis Dextra
- Kanan bawah : SIC IV Linea Para Sternalis Dextra
- Kiri atas : SIC II Linea Para Sternalis Sinistra
- Kiri bawah : SIC IV Linea Medio Clavicularis Sinistra
c) Auskultasi
- BJ I terdengar (tunggal), (keras), (reguler) BJ II
terdengar (tunggal), (keras), (regular) Bunyi jantung
tambahan : BJ III (-), Gallop Rhythm (-),Murmur
(-).
7) Punggung
Tidak ada nyeri punggung, bentuk tulang belakang normal.
8) Abdomen
a) Inspeksi
Warna kulit sawo matang, simetris, tidak ada
kemerahan
dan kekuningan, tidak ada bekas luka.
b) Auskultasi
Bising usus >30 kali/menit
c) Perkusi
Timpani
d) Palpasi
Nyeri tekan karena distensi perut
9) Panggul
25
Tidak ada nyeri panggul
10) Genetalia
Pasien mengatakan genetalianya bersih
11) Ekstremitas
a) Atas
Mampu menggerakkan tangan secara mandiri, tidak
teraba benjolan, akral hangat, dan terpasang infus RL
di lengan kanan. Tidak ada kelainan bentuk dan
fungsi.
b) Bawah
Mampu menggerakkan kaki secara mandiri, akral
hangat, dan tidak teraba benjolan.
Kanan Kiri
0 0
0 0

Uji Kekuatan Otot


Kanan Kiri
5 5
5 5

7. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: tanggal 11November 2021
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Darah Rutin
Hemoglobin 12.3 11.7 – 15.5 g/dl
Leukosit 14.2 3.8 – 11 U/L
Hematokrit 34.8 40 – 52 %
Eritrosit 4.6 4.4 – 5.9 10^6/ uL
MCV 75.6 80 – 100 fL
MCH 26.8 26 – 34 pg/cell
MCHC 35.4 32 -36 %
RDW 40.9 11.5 – 14.5 %

26
Trombosit 307 150-440
Hbs Ag Negative Negative
SGOT 62 0-50 U/L
SGPT 90 0-50 U/L
Ureum 10.7 10-50 mg/dL
Creatinin 0.44 0.45-0.75 mg/Dl
8. Diagnosis Anestesi
Diagnose Medis : G1P0A0 Eklampsi
Rencana Tindakan : Sectio Caesarea
Status ASA :
ASA II E
Rencana Anestesi : General Anestesi dengan ETT (Endotrakheal Tube)
B. Persiapan Penatalaksanaan Anestesi
1. Jenis Anestesi
General Anestesi
Menggunakan Endotrakheal Tube
2. Persiapan Alat
a. Persiapan alat general anestesi dengan endotracheal tube yaitu
laryngoskop, stetoskop, endotracheal tube ukuran (6,5), 7, dan
(7,5), spuit 5cc, oropharyngeal airway, tape, conector, suction,
stilet ett, dan face mask ventilation.

b. Persiapan mesin anestesi


c. Persiapan bedside monitor yaitu tekanan darah, nadi, pulse
oxymetri
d. Siapkan lembar laporan intra anestesi
3. Persiapan Pasien
a. Pemasangan Infus
Pasien sudah terpasang infus
b. Pemasangan nasogatric tube (NGT)
Pasien tidak terpasang NGT
c. Pemasangan dower cathether (DC)
Pasien sudah terpasang DC
d. Makan minum terakhir
Makan terakhir tanggal 10 November 2021 pukul19.00 WIB

27
Minum terakhir tanggal 11 November 2021 pukul 05.00 WIB
e. Lama puasa
1 jam
4. Persiapan Obat
a. Obat Pramedikasi
Dexamethasone 10 mg
b. Obat Induksi
Propofol 100 mg
Fentanyl 100 mcg
Matamizol 1 mg
Roculax 40 mg
c. Obat Emergency
Pethidine
Oxytocin
Atropin Sulfate
Lidocaine
Neostigmin
Metoclopramide
Asam Tranexamat
Ephedrin
Midazolam
Propofol
Fentanyl
Ketorolac
Ketamin

6. Maintenance
a. Maintenance
Oksigen2 liter/ menit, N2o, Isoflurance
b. Maintenance Cairan
i. Kebutuhan cairan basal (M) =2 x kgBB = 2 x 71 kgBB = 142 ml
ii. Pegganti puasa (PP) =2ml x jam puasa x bb = 2ml x 10 jam
x 71 kg = 1420 ml
iii. Stress operasi (SO) =Jenis operasi B(10), S(8), K(6)) x BB

28
= 10 x 71 kg = 710 ml
iv. Kebutuhan cairan =
Jam I : M + ½ PP + SO = 142 ml + 710 ml + 720 ml = 1.572 ml
Jam II dan III : M + ¼ PP + SO = 142 ml +355 ml + 720 ml =
1.215 ml

C. Pengkajian Intra Anestesi


Anestesi mulai : Pukul 06.10 WIB
Operasi mulai : Pukul 06.20 WIB
Operasi selesai : Pukul 07.00 WIB
Anestesi selesai : Pukul 07.10 WIB
Posisi : Supine
Gas : Oksigen, N2O, Isoflurance
Cairan intra operasi : RL 500 ml
Jumlah perdarahan : 150 mL

Tabel Monitoring Intra Anestesi


No. Tindakan Waktu TD HR SpO2
Pemberian obat premedikasi 06.10 150/100 120 100%
mmHg x/mnt
1. dexamethasone 10 mg

Tindakan general anestesi anestesi 06.15 150/100 122 98%


mmHg x/mnt
dimulai dengan memberikan obat
2. induksi propofol 100 mg dan
fentanyl 100 mg. Berikan roculax
40 mg. Ketika pasien sudah tertidur
lakukan intubasi dengan pemberian
O2, N2O, agen inhalasi
isoflurance. Berikan metamizole 1
mg.
5. Operasi dimulai 06.20 150/100 120 96%
mmHg x/mnt
7. Monitoring TTV pasien 06.25 160/100 120 97%
mmHg x/mnt
8. Penggantian infus RL 06.30 160/100 110 96%
mmHg x/mnt
9. Monitoring hemodinamic 06.35 160/100 110 97%

29
mmHg x/mnt
10. Monitoring hemodinamic 06.40 163/100 110 98%
mmHg x/mnt
12. Monitoring hemodinamic 06.45 150/90 mmHg 105 99%
x/mnt
14. Monitoring hemodinamic 06.50 150/90 mmHg 105 98%
x/mnt
15. Penggantian infus RL 06.55 140/100 110 99%
mmHg x/mnt
16. Monitoring hemodinamic 07.00 140/100 110 98%
mmHg x/mnt
17. Monitoring hemodinamic 07.05 140/100 105 100%
mmHg x/mnt
18 Operasi selesai 07.00 140/90 mmHg 105 100%
x/mnt
19 Memindahkan pasien ke ICU 07.20 130/90 mmHg 95 x/mnt 100%

D. Pengkajian Pasca Anestesi


Masuk ICU : Pukul 07.25 WIB
Kesadaran : Belum sadar
Aldrete Score : 6, 10, 10
Skala morse

Tabel Monitoring Paasca Anestesi


No. Tindakan Waktu TD HR SpO2
1. Monitoring hemodinamik 12.50 125/80 mmHg 85x/mnt 99%
2. Monitoring hemodinamik 13.00 120/75 mmHg 80x/mnt 95%
3. Monitoring hemodinamik 13.10 125/82 mmHg 80x/mnt 99%
4. Monitoring hemodinamik 13.15 120/75 mmHg 80x/mnt 100%
5. Transfer pasien ke ICU 13.20 120/80 mmHg 80x/mnt 100%

30
E. Analisa Data

PRE ANESTESI

DS : Gangguan perfusi Hipertensi


- Pasien mengatakan mengeluh sakit kepala serebral
DO :
- Tekanan darah 158/96 mmHg

INTRA ANESTESI

DS : - Risiko gangguan Eklampsi


hemodinamik dan
DO : pertukaran gas O2
- Interval tekanan darah systole (140-167 mmHg)
diastole ( 92-100 mmHg)
- Pasien mengalami eklampsia sebelum diberikan
obat pramedikasi di ruang operasi
PASCA ANESTESI

DS : - Resiko gangguan jalan Transfer pasien ke


DO :
nafas ruang ICU
- Pasien terpasang endotracheal tube saat
dipindahkan ke ruang ICU

31
F. Diagnosa Keperawatan dan Prioritas Masalah
1. Pre Anestesi
a. Sakit kepala berhubungan dengan gangguan perfusi serebral dan
hipertensi.
2. Intra Anestesi
a. Resiko gangguan hemodinamik dan pertukaran gas O2
berhubungan dengan eklampsi.
3. Pasca Anestesi
a. Resiko gangguan jalan napas berhubungan dengan transfer
pasien ke ruang ICU.

32
G. Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi
DIAGNOSA TUJUAN RENCANA IMPLEMENTASI EVALUASI
KEPERAWATAN TINDAKAN
PRE ANESTESI
Sakit Kamis, 11 November 2021,
kepala Kamis, 11 November Kamis, 11 November 2021, Kamis, 11 November
berhubungan Pukul:06.10 WIB 2021, Pukul:06.10 Pukul:06.10 WIB 2021,
1. Memberikan oksigen 2
dengan Dilakukan tindakan keperawatan selama WIB
gangguan Pukul:06.15WIB
L/menit
perfusi serebral dan 5 menit dan dapat teratasi dengan 1. Berikan O2 2 S : Pasien mengatakan
hipertensi kriteria hasil: L/menit sakit kepala sudah
DS : 1. Pasien sudah tidak mengalami 2. Ajarkan Teknik berkurang
sakit kepala
- Pasien mengatakan relaksasi nafas O : Tekanan darah 140/90
sakit kepala dalam mmHg
3. Kolaborasi
A: Risiko perfusi serebral
DO : dengan pemberian
teratasi sebagian
Tekanan darah 158/96 paracetamol
P : Berkolaborasi
mmHg
untuk pemberian
paracetamol infus

33
INTRA ANESTESI
Resiko Kamis, 11 November 2021,
gangguan Kamis, 11 November Kamis, 11 November2021, Kamis, 11 November
hemodinamik Pukul:06.15 WIB
dan 2021, Pukul:06.15 Pukul:06.15 WIB 2021, Pukul:07.00
Dilakukan tindakan keperawatan dapat WIB
pertukaran gas O2 WIB
1. Memberikan O2 2L/menit
berhubungan teratasi dengan kriteria hasil: 1. Memberikan O2 S: -
2. Memberikan cairan ringr laktat
dengan eklampsi 1. Tekanan darah pasien 2L/menit 500 ml O: Tekanan darah pasien
DS : - menurun 2. Cukupi 3. Memonitor tanda-tanda vital 140/90 mmHg
DO : kebutuhan Nadi pasien 105 x/menit
-Tekanan darah 167/100 cairan SpO2 pasien 99%
mmHg
3. Monitor tanda- A: Resiko gangguan
- Nadi pasien 120 hemodinamik dan
tanda vital
pertukaran gas O2
x/menit
teratasi sebagian
-SpO2 pasien 97%
P: Monitor tanda-
tanda vital pasien

PASCA ANESTESI

34
Resiko gangguan jalan Kamis, 11 November 2021, pukul Kamis, 11 November Kamis, 11 November, pukul Kamis, 11 November
napas berhubungan07.20 WIB 2021, pukul 07.20 07.20 WIB 2021, pukul 07.25
1. Gunakan Jackson rees
dengan transfer Dilakukan tindakan keperawatan selama WIB WIB
2. Memberikan oksigen
pasien ke ruang ICU 5 menit dan dapat teratasi dengan 1. Gunakan S: -
2L/menit
DS :- kriteria hasil: jackson rees O:
Posisi endotracheal tube
DO : 1. Jalan nafas adekuat 2. Berikan oksigen
terjaga
- Pada mulut 2. SpO2 pasien meningkat 2L/menit
SpO2 pasien 100%
asien terpasang
A : Resiko gangguan jalan
endotracheal
napas berhubungan
tube dengan transfer pasien
ke ruang ICU teratasi
- SpO2 pasien sebagian
98%
P: Pertahankan jalan nafas
adekuat

35
BAB IV
KESIMPULAN

Setelah dilakukan Asuhan kepenataan Intra dan Pasca Anestesi pada Ny. N
didapatkan masalah keperawatan yang muncul, antara lain:
1. Pre Anestesi

a. Sakit kepala berhubungan dengan gangguan perfusi serebral dan


hipertensi.
2. Intra Anestesi

a. Resiko gangguan hemodinamik dan pertukaran gas O2 berhubungan


dengan eklampsi.
3. Pasca Anestesi

a. Resiko gangguan jalan napas berhubungan dengan transfer


pasien ke ruang ICU.

Untuk masalah Keperawatan perianestesi yang masih teratasi Sebagian diperlukan


implentasi lanjutan sesuai dengan rencana keperawatan yang telah direncanakan.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Astuti Dwi. 2015. Hubungan Pengetahuan Tentang Sectio Caesarea dengan


Kecemasan Ibu Pre Operasi di Ruang Catleya Rumah Sakit Panti Waluyo.Skripsi.
Surakarta: Sekolah Ilmu Kesehatan Kusuma Husada Surakarta.

2. Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia.

3. Munro, P. T. (2000). Management of eclampsia in the accident and emergency


department. Journal of Accident and Emergency Medicine, 17(1), 7–11.
https://doi.org/10.1136/emj.17.1.7

4. Astuti Dwi. 2015. Hubungan Pengetahuan Tentang Sectio Caesarea dengan


Kecemasan Ibu Pre Operasi di Ruang Catleya Rumah Sakit Panti Waluyo.Skripsi.
Surakarta: Sekolah Ilmu Kesehatan Kusuma Husada Surakarta.

5. Amila Hanifa, (2017) Hubungan Hiptermia Dengan Waktu Pulih Sadar Pasca


General Anestesi Di Ruang Pemulihan RSUD Wates. skripsi thesis, Politeknik
Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta.

37

Anda mungkin juga menyukai