Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

PENURUNAN TEKANAN DARAH SAAT OPERASI


KISTECTOMI DENGAN SPINAL ANESTESI

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti


Ujian Program Pendidikan Profesi Pendidikan Kedokteran
Di Bagian Ilmu Anestesi dan Reanimasi
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soehadi Prijonegoro Sragen

Oleh:
Nova Suryani 10711015
Onyxa Kusoriyono 11711024
Ika Mustikasari 11711002

PEMBIMBING

dr. IGL. Sukamto, Sp.An


dr. Hanifa Agung, Sp.An

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Kista ovarii adalah kantung yang berisi material liquid atau semiliqiud
yang berasal dari ovarium. Penemuan kista terhadap seorang wanita dapat
menyebabkan kekhawatiran karena ketakutan akan menjadi keganasan,
namun sebagian besar kista ovarii bersifat jinak (Wiknjosastro, 2005).
Kista ovarii paling banyak terjadi pada usia tua, rata-rata terjadi pada
usia pertengahan. Pada sebagian kista ovarii merupakan penyebab angka
mortalitas yang tinggi dari seluruh tumor pada ginekologi. Angka mortalitas
yang tinggi ini disebabkan karena penyakit ini awalnya bersifat asimtomatik
dan baru menimbulkan keluhan apabila sudah pada stadium akhir
(Wiknjosastro, 2005).
Klasifikasi dari kista apakah jinak atau ganas dapat ditentukan dari
pencitraan ultrasonografi (USG), jika sebuah masa dengan dindingnya yang
tipis tanpa adanya septa dan terisi cairan, kemungkinan kista tersebut adalah
jinak. Sebagian besar dari kista ovarii bersifat jinak dan dapat mengalami
resolusi sendiri, jika ada kecurigaan keganasan atau ada komplikasi dari kista
seperti, harus segera direncanakan tindakan bedah. Pembedahan yang
digunakan dalam penanganan kista ovarii yaitu dengan dilakukan tindakan
pengambilan kista atau kistektomi (Cunningham, 2009).
Operasi kistektomi dapat menggunakan anestesi umum ataupun anestesi
regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang
reversible akibat pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit
seluruh tubuh secara sentral. Perbedaan dengan anestesi regional adalah
anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan
kesadaran. Namun sekarang ini anestesi regional semakin berkembang dan
meluas pemakaiannya dibandingkan anestesi umum. Karena anestesi umum
bekerja hanya menekan aksis hipotalamus pituitari adrenal, sementara
anestesi regional bekerja menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf

2
otonom eferen ke adrenal. Hal ini juga di pengaruhi oleh berbagai keuntungan
yang ada di antaranya relatif murah, pengaruh sistemik minimal,
menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan mencegah respon stres
secara lebih sempurna. Salah satu teknik anestesi regional yang pada
umumnya dianggap sebagai salah satu teknik yang paling dapat diandalkan
adalah anestesi spinal. Anestesi spinal diindikasikan untuk bedah ekstremitas
inferior, bedah panggul, tindakan sekitar rektum-perineum, bedah obstetri-
ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, dan semakin banyak
penggunaannya untuk operasi ortopedi ekstremitas inferior (Mangku dan
Tjokorda, 2010).
Salah satu komplikasi anestesi spinal yang sering terjadi adalah
penurunan tekanan darah (hipotensi). Hipotensi merupakan tekanan darah
yang rendah sehingga menimbulkan gangguan perfusi dan oksigenasi pada
jaringan. Insiden terjadinya hipotensi pada anestesi spinal cukup signifikan.
Pada beberapa penelitian menyebutkan insidensinya mencapai 8 – 33 %.
Faktor-faktor pada anestesi spinal yang dapat mempengaruhi terjadinya
hipotensi yaitu ketinggian blok simpatis, posisi pasien, dan faktor agent
anestesi spinal (Latief,2008).
Mekanisme yang mendasari terjadinya hipotensi pada anestesi spinal
terutama akibat paralise serabut preganglionik saraf simpatis yang
mentransmisikan implus motorik ke otot polos pembuluh darah perifer yang
akan menyebabkan arteri dan arteriol mengalami dilatasi pada daerah yang
mengalami denervasi simpatis sehingga terjadi resistensi vaskuler perifer total
dan tekanan darah arteri rata-rata turun. Selanjutnya akan terdapat dilatasi
vena dan venula perifer dengan pooling darah dan dapat menurunkan curah
balik ke jantung sehingga dapat menyebabkan penurunan curah jantung dan
tekanan darah.
Penurunan tekanan darah tidak hanya dapat disebabkan oleh anestesi
spinal. Namun juga dapat disebabkan oleh pengangkatan kista ovarii.
Pengangkatan kista ovarii ini menyebabkan penurunan tekanan intraabdomen
dan terjadi perubahan tekanan pada vena cava inferior. Penurunan tekanan
darah ini dapat dikompensasi oleh saraf simpatis. Namun ketika terjadi

3
hambatan pada saraf simpatis, maka kompensasi ini akan terganggu dan dapat
menyebabkan hipotensi. Hipotensi ini bila berlangsung lama dan tidak
diterapi akan menyebabkan hipoksia jaringan dan organ (Onal, 2015).
Bila keadaan ini berlanjut terus akan mengakibatkan keadaan syok
hingga kematian. Hipotensi dapat dicegah dengan pemberian preload cairan
tepat sebelum dilakukan anestesi atau dengan vasopresor. Pada kasus ini kami
akan membahas mengenai penurunan tekanan darah yang disebabkan oleh
pengangkatan kista ovarii atau akibat dari spinal anestesi yang dilakukan.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anestesi dan Reanimasi


2.1.1. Definisi
Anestesi terdiri dari 2 kata yaitu ‘an’ yang berarti tidak dan ‘aestesi’ yang
berarti rasa. Reanimasi juga terdiri dari 2 kata yaitu ‘re’ yang berarti
kembali dan ‘animasi’ yang berarti gerak atau hidup. Ilmu anestesi
merupakan suatu cabang ilmu kedokteran yang mempelajari
penatalaksanaan untuk mematikan rasa, baik rasa nyeri, takut, ataupun rasa
tidak nyaman lainnya agar membuat pasien nyaman dan ilmu yang
mempelajari penatalaksaan untuk menjaga atau mempertahankan hidup dan
kehidupan pasien selama operasi yang disebabkan oleh obat-obat anestesia
dan mengembalikan kondisi pasien seperti kondisi semula (Mangku dan
Tjokorda, 2010).

2.1.2. Ruang Lingkup

Ilmu anestesi dan reanimasi digunakan untuk menanggulangi nyeri akut


maupun nyeri kronik, kegawatdaruratan, dan perioperatif. Terdapat 3 jenis
teknik anestesi dalam menanggulangi hal-hal tersebut, yaitu anestesi umum,
anestesi lokal, dan anestesi regional. Anestesi umum adalah suatu anestesi
yang menyebabkan ketidak sadaran sementara yang diikuti dengan
hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh pasien dengan pemberian obat anestesi
yang bersifat reversible. Anestesi lokal adalah anestesi yang dilakukan
dengan menyuntikkan obat anestesi secara lokal pada daerah atau di sekitar
lokasi pembedahan. Anestesi regional adalah tindakan anestesi yang
dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal saraf yang
menginervasi regio tertentu dengan menghambat konduks impuls aferen
yang bersifat temporer. Anestesi regional yang sering disebut juga dengan
anestesi neuroaxial dapat dibagi menjadi 3 jenis teknik yaitu anestesi spinal,

5
anestesi epidural, dan anestesi kaudal (Mangku dan Tjokorda, 2010). Dalam
tulisan ini akan lebih ditekankan pada anestesi spinal.

2.1.3. Anestesi Spinal

Anestesi spinal adalah anestesi regional yang dilakukan dengan cara


menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang sub arakhnoid melalui
pungsi lumbal (Mangku dan Tjokorda, 2010).

Anestesi spinal memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan


teknik anestesi lainnya. Anestesi ini memberikan relaksasi yang sempurna
pada area abdomen bawah dan ekstremitas inferior. Pada pasien yang
diberikan anestesi spinal akan lebih terkontrol kesadarannya selama operasi
berlangsung dan tidak diperlukan kontrol ketat jalan nafas pasien. Dari segi
ekonomis akan lebih murah karena menggunakan lebih sedikit obat anestesi.
Anestesi ini lebih sedikit menimbulkan perdarahan dibdandingkan dengan
anestesi umum karena terjadi penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi
(Ankcorn dan William, 2010).

Indikasi anestesi spinal adalah tindakan pembedahan yang dilakukan


pada daerah abdominal bawah, inguinal, anorektal, genitalia, dan
ekstremitas bawah. Tindakan bedah yang paling sering menggunakan
anestesi spinal adalah bedah obstetrik ginekologi, urologi, dan ekstremitas
bawah (Latief, 2008).

Kontraindikasi anestesi spinal terdiri dari kontraidikasi absolut dan


kontraindikasi relatif. Kontraindikasi absolut terdiri dari pasien menolak,
infeksi pada tempat penyuntikan (lumbal), kelainan tulang belakang,
anemia, dehidrasi, syok (hipovolemik berat), koagulopati ataupun
mendapatkan terapi antikoagulan, stenosis aorta berat, stenosis mitral berat,
peningkatan tekanan intrakranial, fasilitas resusitasi minimal, dan kurangnya
pengalaman atau tanpa didampingi konsultan anestesi. Kontraindikasi relatif
terdiri dari pasien tidak kooperatif, infeksi sistemik, infeksi sekitar tempat
penyuntikan, kelainan neurologis, kelainan psikis, pembedahan yang lama

6
atau tidak diketahui durasinya, hipovolemik ringan, nyeri punggung kronis,
kelainan anatomi spinal yang berat (Press, 2015).

Komplikasi yang dapat terjadi pada anestesi spinal antara lain :

 Hipotensi.

Hipotensi sering terjadi selama anestesi spinal, terutama akibat


kehilangan kompensasi vasokonstriksi eketremitas bawah, menurunnya
curah jantung, berkurangnya tonus arteriole sedikit kontribusinya
terhadap terjadinya hipotensi, kecuali tahanan pembuluh darah perifer
meningkat sebelum anestesi spinal. Terapi hipotensi dimulai dengan
tindakan yang cepat seperti koreksi posisi kepala, pemberian cairan
intravena dan pemberian vasopressor sesuai kebutuhan. Jika cairan yang
diberikan tidak dapat mengoreksi bradikardi atau kontraktilitas
melemah, terapi yang disukai untuk spinal hipotensi adalah kombinasi
cairan untuk mengoreksi hipovolemi dengan alfa dan beta adrenergik
agonis (seperti efedrin) dan atropin (untuk bradikardi) tergantung pada
situasi (Latief,2008).

 Anestesi spinal tinggi dan Blokade total spinal

Pasien dengan tingkat anestesi yang tinggi dapat mengalami kesulitan


dalam pernapasaan . Harus dibedakan secara hati-hati apa penyebabnya
untuk memberikan terapi yang tepat. Hampir semua dispnea tidak
disertai paralysis otot pernapasan tetapi adalah kehilangan sensasi
proprioseptif tersebut mengakibatkan dyspnea walaupun fungsi otot
pernapasan dan pertukaran gas adekuat (Latief,2008).

 Henti jantung yang tiba-tiba.

Henti jantung yang tiba-tiba telah dilaporkan pada pasien yang


mendapatkan spinal anestesi. Pasien yang mendapat sedatif dan
hipotensi sampai tejadinya henti jantung yang tiba-tiba terbukti sulit
untuk diterapi. Respon kardiovaskuler terhadap hiperkarbia dan hipoksia
karena sedatif dan narkotik mengakibatkan pasien tidak mempunyai

7
respon terhadap hipoksemia yang progresif, asidosis dan hiperkarbia
(Latief,2008).

 Mual dan Muntah

Mual selama anestesi spinal biasa terjadi oleh karena hipoperfusi


serebral atau tidak terhalanginya stimulus vagus usus. Biasanya mual
adalah tanda awal hipotensi. Bahkan blok simpatis mengakibatkan tak
terhalangnya tonus parasimpatis yang berlebihan pada traktus
gastrointestinal (Latief,2008).

 Paresthesia.

Paresthesia dapat terjadi selama penusukan jarum spinal atau saat


menginjeksikan obat anestetik. Pasien mengeluh sakit atau terkejut
singkat pada ektremitas bawah, hal ini disebabkan jarum spinal mungkin
mengenai akar saraf. Jika pasien merasakan adanya parestesia persiten
atau paresthesia saat menginjeksikan anesthetik local, jarum harus
digerakkan kembali dan ditempatkan pada interspace yang lain untuk
mengcegah kerusakan yang permanen. Ada atau tidaknya paresthesia
dicatat pada status anesthesia (Latief,2008).

2.1.4. Pelaksanaan Anestesi


- Pre Operasi
Penatalaksanaan pre operasi merupakan langkah penting yang harus
dilakukan sebelum dilakukan tindakan anestesi dan operasi.
Penatalaksaan ini meliputi persiapan pasien dan persiapan alat.
Persiapan pasien perlu diketahui riwayat penyakit pasien, pemeriksaan
fisik, dan hasil pemeriksaan penunjang. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui adanya kontraindikasi atau kemungkinan penyulit dalam
dilakukan anestesi spinal pada pasien (Aga, 2014). Selain itu dapat juga
mengetahui status fisik pasien yang dapat diklasifikasikan sesuai dengan
American Society Anesthesiologists (ASA), 2014.

8
Tabel 1. Klasifikasi American Society Anesthesiologists (ASA), 2014

Klasifikasi Definisi

Pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik


ASA 1
selain penyakit yang akan dioperasi.

Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang selain


penyakit yang dioperasi. Perokok, alkoholik berat,
ASA 2
kehamilan, obesitas (30<BMI<40), DM terkontrol,
hipertensi terkontrol, penyakit paru ringan

Pasien dengan kelainan sistemik berat selain penyakit yang


dioperasi, tetapi belum mengancam jiwa. Terdapat satu atau
ASA 3 lebih penyakit yang berat. DM tak terkontrol, hipertensi tak
terkontrol, COPD, obesitas (BMI≥40), hepatitis, alkoholik
berat, bayi prematur, infark miokard (>3 bulan), TIA.

Pasien dengan kelainan sistemik berat selain penyakit yang


dioperasi dan mengancam jiwa. Asma bronkial berat, gagal
ASA 4
jantung kongestif. Infark miokard (<3 bulan), disfungsi
katup jantung, DIC.

Pasien dalam kondisi jelek dimana tindakan anestesi


ASA 5 mungkin saja dapat menyelamatkan tapi resiko kematian
jauh lebih besar. Ruptur aneurisma, perdarahan intrakranial,

Pasien yang telah dinyatakan mati batang otak dan organnya


ASA 6
akan diangkat untuk didonorkan bagi yang dibutuhkan.

Pasien dianjurkan untuk puasa sebelum operasi. Pasien dewasa


dianjurkan puasa selama 6-8 jam sebelum operasi. Pasien anak
dianjurkan puasa 4-6 jam sebelum operasi. Pasien bayi dianjurkan puasa
3-4 jam sebelum operasi.
Persiapan alat yang diperlukan obat anestesi meliputi obat
premedikasi dan obat induksi. Obat premedikasi secara umum
digunakan untuk meredakan kecemasan, memperlancar induksi,

9
mengurangi sekresi, meminimalkan pemakaian obat anestetik,
mengurangi mual dan muntah pasca operasi, mengurangi isi lambung
dan cairan pH lambung. Obat premedikasi yang sering digunakan untuk
anestesi spinal adalah ondansentron HCL. Obat ini berguna untuk
mengurangi mual dan muntah sebagai efek dari anestesi spinal. Obat ini
bekerja sebagai antagonis selektif dan bersifat kompetitif serotonin pada
reseptor 5HT3, dengan menghambat aktivitas aferen-aferen vagal
sehingga dapat menekan terjadinya refleks muntah.
Obat induksi yang sering digunakan adalah bupivacaine 0,5%.
Obat ini merupakan obat anestetik lokal golongan amida amino yang
memiliki cara kerja menghambat pembentukan dan penjalaran impuls
saraf dengan meningkatkan ambang eksitasi elektrik dalam saraf,
memperlambat penyebaran impuls saraf, dan mengurangi kecepatan
bangkitan potensial aksi. Dosis maksimum bupivacaine yang
direkomendasikan adalah 90 mg. Kecepatan absorbsi obat ini tergantung
dari dosis total, konsentrasi obat yang diberikan, dan vaskularisasi
tempat pemberian. Kadar puncak bupicacaine dalam darah dicapai
dalam 30-45 menit dan diikuti penurunan kadar sampai kadar tidak
bermakna selama 3-6 jam. Obat ini bereaksi dengan cepat dan bertahan
lama. Durasi kerja bupivacaine lebih panjang dibadingkan dengan obat
lainnya. Obat ini memiliki periode analgetik yang tetap bertahan setelah
sensasi sensori pulih. Metabolisme bupivacaine terjadi di hati melalui
konjugasi dengan asam glukoronat dan metabolit utamanya adalah 2,6
pipecoloxilidine. Ekskresi utamanya adalah melalui ginjal. Efek
samping sistemiknya biasanya berkaitan dengan kardiovaskular seperti
hipoventilasi atau apnue, bradikardi, hipotensi, dan henti jantung. Pada
SSP dapat menyebabkan gelisah, anxietas, pusing, tinitus, penglihatan
kabur, mual, muntah, dan tremor (Press, 2015).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyebaran larutan
bupivakain pada Anestesi spinal (Wijaya, 2013), antara lain:
 Gravitasi :

10
Cairan serebrospinal pada suhu 37°C mempunyai BJ 1,003-1,008. Jika
larutan hiperbarik yang diberikan kedalam cairan serebrospinal akan
bergerak oleh gaya gravitasi ke tempat yang lebih rendah, sedangkan
larutan hipobarik akan bergerak berlawanan arah dengan gravitasi
seperti menggantung dan jika larutan isobarik akan tetap dan sesuai
dengan tempat injeksi.

 Postur tubuh :

Makin tinggi tubuh seseorang, makin panjang medula spinalisnya dan


volume dari cairan serebrospinal di bawah L2 makin banyak sehingga
penderita yang lebih tinggi memerlukan dosis yang lebih banyak dari
pada yang pendek.

 Tekanan intra abdomen :

Peningkatan tekanan intra abdomen menyebabkan bendungan saluran


pembuluh darah vena abdomen dan juga pelebaran saluran-saluran vena
di ruang epidural bawah, sehingga ruang epidural akan menyempit dan
akhirnya akan menyebabkan penekanan ke ruang subarakhnoid sehingga
cepat terjadi penyebaran obat anestesi lokal ke kranial. Perlu
pengurangan dosis pada keadaan seperti ini.

 Anatomi kolumna vertebralis :

Anatomi kolumna vertebralis akan mempengaruhi lekukan-lekukan


saluran serebrospinal, yang akhirnya akan mempengaruhi tinggi anestesi
spinal pada penggunaan anestesi lokal jenis hiperbarik.

 Tempat penyuntikan :

Makin tinggi tempat penyuntikan, maka analgesia yang dihasilkan


makin tinggi. Penyuntikan pada daerah L2-3 lebih memudahkan
penyebaran obat ke kranial dari pada penyuntikan pada L4-5.

 Manuver valsava :

Setelah obat disuntikkan penyebaran obat akan lebih besar jika tekanan
dalam cairan serebrospinal meningkat yaitu dengan cara mengedan.

11
 Volume obat :

Efek volume larutan bupivakain hiperbarik pada suatu percobaan yang


dilakukan oleh Anellson, 1984, dikatakan bahwa penyebaran maksimal
obat kearah sefalad dibutuhkan waktu kurang lebih 20 menit pada semua
jenis volume obat( 1,5 cc, 2 cc, 3 cc dan 4 cc). Mula kerja untuk
tercapainya blok motorik akan bertambah pendek waktunya dengan
bertambahnya volume. Makin besar volume obat makin tinggi level blok
sensoriknya.

 Konsentrasi obat :
Dengan volume obat yang sama ternyata bupivakain 0,75% hiperbarik
akan menghasilkan penyebaran obat ke arah sefalad lebih tinggi
beberapa segmen dibandingkan dengan bupivakain 0,5% hiperbarik
(WA Chamber, 1981). Lama kerja obat akan lebih panjang secara
bermakna pada penambahan volume bupivakain 0,75%. Demikian pula
perubahan kardiovaskuler akan berbeda bermakna pada bupivakain
0,75% hiperbarik

- Post Operasi
Penatalaksanaan post operasi dilakukan pengawasan terhadap
tanda-tanda vital pada pasien termasuk pengawasan saturasi oksigen di
recovery room. Posisi kepala pasien tetap diposisikan lebih tinggi dari
tubuh, pasien terbaring datar, tenang, dan terhidrasi dengan baikdapat
mencegah timbulnya mual, muntah, dan nyeri kepala post anestesi spinal
(Pramono 2011).
Morgan (2009) menjelaskan bahwa setelah operasi pasien
dipindahkan ke ruang pemulihan dan diobservasi dengan cara menilai
Alderette’s Score yang meliputi :

12
Tabel 2. Alderette’s Score

No. Kriteria Skor

1. Aktivitas Mampu menggerakkan ke-4


Motorik ekstremitas atas perintah atau 2
secara sadar.
Mampu menggerakkan 2
ekstremitas atas perintah atau 1
secara sadar.
Tidak mampu menggerakkan
ekstremitas atas perintah atau 0
secara sadar
2. Respirasi Nafas adekuat dan dapat
2
batuk
Nafas kurang adekuat/
1
distress/ hipoventilasi
Apneu 0

3. Sirkulasi Tekanan darah berbeda ±20%


2
dari semula
Tekanan darah berbeda ±20-
1
50% dari semula
Tekanan darah berbeda >50%
0
dari semula
4. Kesadaran Sadar penuh 2

Bangun jika dipanggil 1

Tidak ada respon atau belum


0
sadar
5. Warna Kulit Kemerahan atau seperti
2
semula
Pucat 1

Sianosis 0

13
Interpretasi Alderette’s Score (Morgan, 2009)
Skor 8-10 : dapat dipindahkan ke ruang perawatan
Skor 5-8 : Observasi secara ketat
Skor ≤5 : dipindahkan ke ICU

- Teknik Anestesi Spinal

Teknik anestesi Spinal umumnya dilakukan langsung di meja operasi.


Pasien dapat diposisikan duduk atau lateral dekubitus. Posisi duduk pasien
sebaiknya dagu pasien menempel pada dada dan lengan bersandar dilutut.
Posisi lateral dekubitus pasien harus tegak lurus dengan tempat tidur dan
pinggang berada di tepi tempat tidur. Setelah memposisikan pasien lalu
menentukan tempat penusukan. Penusukan dilakukan pada regio lumbal.
Pasien dewasa dilakukan di bawah lumbal 1 dan pada anak di bawah lumbal
3 dengan menghindari trauma medulla spinalis. Penusukan dapat dilakukan
di regio lumbal antar vertebra L2-3, L3-4, L4-5. Perpotongan antara garis
yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan vertebra merupakan L4-5
(Gambar 1).

Gambar 1. Anatomi Vertebra

14
Cara penusukan dapat dilakukan secara median atau paramedian (Gambar
2). Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari
luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum
dan duramater. Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta
mengikuti otak sampai medulla spinalis dan melekat pada duramater. Antara
arakhnoid dan piamater terdapat ruang yang disebut ruang sub arakhnoid.
Ruang sub arakhnoid merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang
tulang belakang berisi cairan otak, jaringan lemak, pembuluh darah dan
serabut saraf spinal yang berasal dari medulla spinalis (Latief et al, 2008 dan
Press, 2015).

Gambar 2. Penyuntikan anestesi spinal

15
2.2.Kista Ovarii
2.2.1. Definis
Kista berarti kantung yang berisi cairan. Kista ovarium (atau kista indung
telur) berarti kantung berisi cairan, normalnya berukuran kecil, yang terletak
di indung telur (ovarium). Kista indung telur dapat terbentuk kapan saja, pada
masa pubertas sampai menopause, juga selama masa kehamilan.

2.2.2. Etiologi
Kista ovarium merupakan jenis yang paling sering terjadi terutama yang
bersifat non neoplastik, seperti kista retensi yang berasal dari korpus luteum.
Tetapi di samping itu ditemukan pula jenis yang merupakan neoplasma. Oleh
karena itu kista ovarium dibagi dalam 2 golongan:
a. Non-neoplastik (fungsional)
 Kista folikel
Kista ini berasal dari folikel yang menjadi besar semasa proses atresia
foliculi. Setiap bulan, sejumlah besar folikel menjadi mati, disertai
kematian ovum disusul dengan degenerasi dari epitel folikel. Pada
masa ini tampaknya sebagai kista-kista kecil. Tidak jarang ruangan
folikel diisi dengan cairan yang banyak, sehingga terbentuklah kista
yang besar, yang dapat ditemukan pada pemeriksaan klinis. Tidak
jarang terjadi perdarahan yang masuk ke dalam rongga kista,
sehingga terjadi suatu haematoma folikuler.
 Kista lutein
Kista ini dapat terjadi pada kehamilan, lebih jarang di luar kehamilan.
Kista lutein yang sesungguhnya, umumnya berasal dari corpus
luteum haematoma. Perdarahan ke dalam ruang corpus selalu terjadi
pada masa vascularisasi. Bila perdarahan ini sangat banyak
jumlahnya, terjadilah corpus luteum haematoma, yang berdinding
tipis dan berwarna kekuning-kuningan. Secara perlahan-lahan terjadi
reabsorpsi dari unsur-unsur darah, sehingga akhirnya tinggalah cairan
yang jernih atau sedikit bercampur darah. Pada saat yang sama
dibentuklah jaringan fibroblast pada bagian dalam lapisan lutein

16
sehingga pada kista corpus lutein yang tua, sel-sel lutein terbenam
dalam jaringan-jaringan perut.
b. Neoplastik
Yang termasuk golongan ini ada 3 jenis:
 Cystadenoma mucinosum
Jenis ini dapat mencapai ukuran yang besar. Ukuran yang terbesar
yang pernah dilaporkan adalah 328 pound. Tumor ini mempunyai
bentuk bulat, ovoid atau bentuk tidak teratur, dengan permukaan yang
rata dan berwarna putih atau putih kebiru-biruan.
 Cystadenoma serosum
Jenis ini lebih sering terjadi bila dibandingkan dengan mucinosum,
tetapi ukurannya jarang sampai besar sekali. Dinding luarnya dapat
menyerupai kista mucinosum. Pada umumnya kista ini berasal dari
epitel permukaan ovarium (germinal ephitelium).
 Kista dermoid
Tumor ini merupakan bagian dari teratoma ovary bedanya ialah
bahwa tumor ini bersifat kistik, jinak dan elemen yang menonjol ialah
eksodermal. Sel-selnya pada tumor ini sudah matang. Kista ini jarang
mencapai ukuran yang besar. Penyebabnya saat ini belum diketahui
secara pasti. Namun ada kemungkinan faktor resiko yaitu:
- Faktor genetik/ mempunyai riwayat keluarga dengan kanker
ovarium dan payudara.
- Faktor lingkungan (polutan zat radio aktif)
- Gaya hidup yang tidak sehat
- Ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron,
misalnya akibat penggunaan obat-obatan yang merangsang
ovulasi dan obat pelangsing tubuh yang bersifat diuretik.
- Kebiasaan menggunakan bedak tabur di daerah vagina
(Wiknjosastro, 2005).

17
2.2.3. Patofisiologi
Banyak tumor tidak menunjukkan gejala dan tanda, terutama tumor ovarium
yang kecil. Sebagian besar gejala dan tanda yaitu akibat dari pertumbuhan,
aktivitas endokrin dan komplikasi tumor.
a. Akibat pertumbuhan,
Adanya tumor di dalam perut bagian bawah bisa menyebabkan
pembenjolan perut. Tekanan terhadap alat-alat disekitarnya disebabkan
oleh besarnya tumor atau posisinya dalam perut. Apabila tumor
mendesak kandung kemih dan dapat menimbulkan gangguan miksi,
sedangkan kista yang lebih besar tetapi terletak bebas di rongga perut
kadang-kadang hanya menimbulkan rasa berat dalam perut serta dapat
juga mengakibatkan obstipasi edema pada tungkai.
b. Akibat aktivitas hormonal
Tumor ovarium tidak mengubah pola haid kecuali jika tumor itu sendiri
mengeluarkan hormon.
c. Akibat Komplikasi
 Perdarahan ke dalam kista
Biasanya terjadi sedikit-sedikit sehingga berangsur-angsur
menyebabkan pembesaran luka dan hanya menimbulkan gejala-
gejala klinik yang minimal. Akan tetapi kalau perdarahan terjadi
dalam jumlah yang banyak akan menimbulkan nyeri di perut.
 Putaran Tangkai
Terjadi pada tumor bertangkai dengan diameter 5 cm atau lebih.
Adanya putaran tangkai menimbulkan tarikan melalui ligamentum
infundibulopelvikum terhadap peritoneum parietal dan ini
menimbulkan rasa sakit.
 Infeksi pada tumor
Terjadi jika di dekat tumor ada sumber kuman pathogen. Kista
dermoid cenderung mengalami peradangan disusul penanahan.
 Robek dinding Kista
Terjadi pada torsi tangkai, akan tetapi dapat pula sebagai akibat
trauma, seperti jatuh atau pukulan pada perut dan lebih sering pada

18
saat persetubuhan. Jika robekan kista disertai hemoragi yang timbul
secara akut, maka perdarahan bebas berlangsung ke uterus ke dalam
rongga peritoneum dan menimbulkan rasa nyeri terus menerus
disertai tanda – tanda abdomen akut.
 Perubahan keganasan
Setelah tumor diangkat perlu dilakukan pemeriksaan mikroskopis
yang seksama terhadap kemungkinn perubahan keganasan. Adanya
asites dalam hal ini mencurigakan. (Wiknjosastro,2005). Kista
dermoid adalah tumor yang diduga berasal dari bagian ovum yang
normalnya menghilang saat maturasi. Asalnya tidak teridentifikasi
dan terdiri atas sel-sel embrional yang tidak berdiferensiasi. Kista ini
tumbuh dengan lambat dan ditemukan selama pembedahan yang
mengandung material sebasea kental, berwarna kuning, yang timbul
dari lapisan kulit. Kista dermoid hanya merupakan satu tipe lesi yang
dapat terjadi. Banyak tipe lainnya dapat terjadi dan pengobatannya
tergantung pada tipenya. (Smeltzer and Bare, 2001).

2.2.4. Manifestasi Klinis


Kebanyakan wanita yang memiliki kista ovarium tidak memiliki gejala.
Namun kadang-kadang kista dapat menyebabkan beberapa masalah seperti :
a. Bermasalah dalam pengeluaran urin secara komplit
b. Nyeri selama hubungan seksual
c. Masa di perut bagian bawah dan biasanya bagian – bagian organ
tubuh lainnya sudah terkena
d. Nyeri hebat saat menstruasi dan gangguan siklus menstruasi
e. Wanita post monopouse : nyeri pada daerah pelvik, disuria, konstipasi
atau diare, obstruksi usus dan asietas.

19
2.2.5. Pemeriksaan Penunjang
a. Laparaskopi
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengetahui apakah sebuah
tumor berasal dari ovarium atau tidak, dan untuk menentukan sifat-
sifat tumor itu.
b. Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan letak dan batas tumor
apakah tumor berasal dari uterus, ovarium, atau kandung kencing,
apakah tumor kistik atau solid, dan dapatkah dibedakan pula antara
cairan dalam rongga perut yang bebas dan yang tidak.
c. Foto Rontgen
Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan adanya hidrotoraks.
Selanjutnya, pada kista dermoid kadang-kadang dapat dilihat gigi
dalam tumor.
d. Parasentesis
Telah disebut bahwa fungsi pada asites berguna menentukan sebab
asites. Perlu diingatkan bahwa tindakan tersebut dapat mencemari
cavum peritonei dengan isi kista bila dinding kista tertusuk
(Wiknjosastro, 2005).

2.2.6. Penatalaksanaan
a. Pengangkatan kista ovarium yang besar biasanya adalah melalui
tindakan bedah, misal laparatomi, kistektomi atau laparatomi
salpingooforektomi.
b. Kontrasepsi oral dapat digunakan untuk menekan aktivitas
ovarium dan menghilangkan kista.
c. Perawatan pasca operasi setelah pembedahan untuk mengangkat
kista ovarium adalah serupa dengan perawatan setelah
pembedahan abdomen dengan satu pengecualian penurunan
tekanan intra abdomen yang diakibatkan oleh pengangkatan kista
yang besar biasanya mengarah pada distensi abdomen yang berat.

20
Hal ini dapat dicegah dengan memberikan gurita abdomen
sebagai penyangga.
d. Tindakan keperawatan berikut pada pendidikan kepada klien
tentang pilihan pengobatan dan manajemen nyeri dengan
analgetik / tindakan kenyamanan seperti kompres hangat pada
abdomen atau teknik relaksasi napas dalam, informasikan tentang
perubahan yang akan terjadi seperti tanda-tanda infeksi,
perawatan insisi luka operasi ( Lowdermilk.dkk. 2005).

2.3. Tekanan Darah


2.3.1. Definisi
Tekanan darah berarti daya yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap
satuan luas dinding pembuluh darah yang hampir selalu dinyatakan dalam
milimeter air raksa.
2.3.2. Fisiologi Tekanan Darah
Tekanan darah merupakan faktor yang amat penting pada sistem
sirkulasi. Peningkatan atau penurunan tekanan darah akan mempengaruhi
homeostasis di dalam tubuh. Tekanan darah selalu diperlukan untuk daya
dorong mengalirnya darah di dalam arteri, arteriola, kapiler dan sistem vena,
sehingga terbentuklah suatu aliran darah yang menetap. Tekanan darah diatur
melalui beberapa mekanisme fisiologis untuk menjamin aliran darah ke
jaringan yang memadai. Tekanan darah ditentukan oleh curah jantung
(cardiac output, CO) dan resistensi pembuluh darah terhadap darah. Curah
jantung adalah volume darah yang dipompa melalui jantung per menit, yaitu
isi sekuncup (stroke volume, SV) x laju denyut jantung (heart rate, HR).
Resistensi diproduksi terutama di arteriol dan dikenal sebagai resistensi
vaskular sistemik. Resistensi merupakan hambatan aliran darah dalam
pembuluh, tetapi tidak dapat diukur secara langsung dengan cara apapun.
Resistensi harus dihitung dari pengukuran aliran darah dan perbedaan
tekanan antara dua titik di dalam pembuluh. Resistensi bergantung pada tiga
faktor, yaitu viskositas (kekentalan) darah, panjang pembuluh, dan jari-jari
pembuluh. Aliran darah yang mengalir di sirkulasi dalam periode waktu

21
tertentu, secara keseluruhan adalah 5000 ml/menit pada sirkulasi total orang
dewasa dalam keadaan istirahat. Aliran darah ini disebut curah jantung
karena merupakan jumlah darah yang dipompa ke aorta oleh jantung setiap
menitnya. Kecepatan aliran darah yang melalui seluruh sistem sirkulasi sama
dengan kecepatan pompa darah oleh jantung ─ yakni, sama dengan curah
jantung. Isi sekuncup jantung dipengaruhi oleh tekanan pengisian (preload),
kekuatan yang dihasilkan oleh otot jantung, dan tekanan yang harus dilawan
oleh jantung saat memompa (afterload). Normalnya, afterload berhubungan
dengan tekanan aorta untuk ventrikel kiri, dan tekanan arteri untuk ventrikel
kanan.Afterload meningkat bila tekanan darah meningkat, atau bila terdapat
stenosis (penyempitan) katup arteri keluar. Peningkatan afterload akan
menurunkan curah jantung jika kekuatan jantung tidak meningkat. Baik laju
denyut jantung maupun pembentukan kekuatan, diatur oleh sistem saraf
otonom (SSO/autonomic nervous system, ANS). Hubungan antara tekanan,
resistensi, dan aliran darah dalam sistem kardiovaskular dikenal dengan
hemodinamika. Sifat aliran ini sangat kompleks, namun secara garis besar
dapat diperoleh dari hukum fisika untuk sistem kardiovaskular :

Gambar 3. Hukum fisika sistem hemodinamika


Dengan CO adalah curah jantung (cardiac output), MABP adalah
tekanan darah arteri rata-rata (mean arterial blood pressure), TPR adalah
resistensi perifer total (total peripheral resistance), dan CVP adalah tekanan
vena sentral (central venous pressure). Karena CVP biasanya mendekati nol,
maka MABP sama dengan CO x TPR. MABP adalah nilai rata-rata dari
tekanan arteri yang diukur milidetik per milidetik selama periode waktu
tertentu. Secara konstan MABP dipantau oleh baroreseptor yang
diperantarai secara otonom dan mempengaruhi jantung serta pembuluh
darah untuk menyesuaikan curah jantung dan resistensi perifer total sebagai
usaha memulihkan tekanan darah ke normal. Reseptor terpenting yang

22
berperan dalam pengaturan terus-menerus yaitu sinus karotikus dan
baroreseptor lengkung aorta.Tekanan darah rata-rata menurun secara
progresif di sepanjang sistem arteri. Penurunan biasanya tajam pada arteri
terkecil dan arteriol (diameter <100 μm), karena pembuluh memberikan
resistensi terbesar terhadap aliran. Peranan arteriol dalam mengatur
resistensi vaskular memiliki beberapa implikasi penting, yaitu : (1)
Konstriksi atau dilatasi semua atau sebagian besar arteriol dalam tubuh akan
memengaruhi TPR dan tekanan darah (2) Konstriksi arteriol pada satu organ
atau regio tersebut, sementara itu dilatasi memiliki efek yang berlawanan.
Perubahan resistensi arteriolar pada suatu regio memengaruhi tekanan
hidrostatik ‘downstream’ dalam landas kapiler (capillary bed) dan vena pada
regio tersebut. Jantung memompa darah secara kontinyu ke dalam aorta,
sehingga tekanan rata-rata di aorta menjadi tinggi, rata-rata sekitar 100
mmHg. Demikian 10 juga, karena pemompaan oleh jantung bersifat pulsatil,
sebagai akibat pengosongan ritmik ventrikel kiri, tekanan arteri berganti-
ganti antara nilai tekanan sistolik 120 mmHg dan nilai tekanan diastolik 80
mmHg. Pada orang dewasa sehat, tekanan pada puncak setiap pulsasi, yang
disebut tekanan sistolik, adalah sekitar 120 mmHg. Pada titik terendah
setiap pulsasi, yang disebut tekanan diastolik, nilainya sekitar 80 mmHg.
Perbedaan nilai antara kedua tekanan ini sekitar 40 mmHg, yang disebut
tekanan nadi. Dua faktor utama yang memengaruhi tekanan nadi :curah isi
sekuncup dari jantung, dan komplians (distensibilitas total) dari
percabangan arteri. Tekanan nadi pada orang lanjut usia kadang-kadang
meningkat sampai dua kali nilai normal, karena arteri menjadi lebih kaku
akibat arteriosklerosis dan karenanya, arteri relatif tidak lentur. Faktor-
faktor yang berpengaruh pada pengendalian tekanan darah adalah sebagai
berikut:

2.3.3. Faktor-faktor yang berpengaruh pada pengendalian darah


Faktor-faktor di atas berperan dalam pengendalian tekanan darah yang
memengaruhi rumus dasar Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan
Perifer.

23
Beberapa pusat yang mengawasi dan mengatur perubahan tekanan darah,
yaitu :
1. Sistem syaraf yang terdiri dari pusat-pusat yang terdapat di batang otak,
misalnya pusat vasomotor dan diluar susunan syaraf pusat, misalnya
baroreseptor dan kemoreseptor.
2. Sistem humoral atau kimia yang dapat berlangsung lokal atau sistemik,
misalnya renin-angiotensin, vasopressin, epinefrin, norepinefrin,
asetilkolin, serotonin, adenosin dan kalsium, magnesium, hidrogen,
kalium, dan sebagainya.
3. Sistem hemodinamik yang lebih banyak dipengaruhi oleh volume darah,
susunan kapiler, serta perubahan tekanan osmotik dan hidrostatik di bagian
dalam dan di luar sistem vaskuler.

2.3.4. Mekanisme Pemeliharaan Tekanan Darah


Tekanan darah dikontrol oleh otak, sistem saraf otonom, ginjal, beberapa
kelenjar endokrin, arteri dan jantung. Otak adalah pusat pengontrol tekanan
darah di dalam tubuh. Serabut saraf adalah bagian sistem saraf otonom yang
membawa isyarat dari semua bagian tubuh untuk menginformasikan kepada
otak perihal tekanan darah, volume darah dan kebutuhan khusus semua
organ. Semua informasi ini diproses oleh otak dan keput usan dikirim
melalui saraf menuju organ-organ tubuh termasuk pembuluh darah,
isyaratnya ditandai dengan mengempis atau mengembangnya pembuluh
darah. Saraf-saraf ini dapat berfungsi secara otomatis (Hayens, 2003). Ginjal
adalah organ yang berfungsi mengatur fluida (campuran cairan dan gas) di
dalam tubuh. Ginjal juga memproduksi hormon yang disebut renin. Renin
dari ginjal merangsang pembentukan angiotensin yang menyebabkan
pembuluh darah kontriksi sehingga tekanan darah meningkat. Sedangkan
hormon dari beberapa organ juga dapat mempengaruhi pembuluh darah
seperti kelenjar adrenal pada ginjal yang mensekresikan beberapa hormon
seperti adrenalin dan aldosteron juga ovari yang mensekresikan estrogen
yang dapat meningkatkan tekanan darah. Kelenjar tiroid atau hormon
tiroksin, yang juga berperan penting dalam pengontrolan tekanan darah

24
(Hayens, 2003). Pada akhirnya tekanan darah dikontrol oleh berbagai proses
fisiologis yang bekerja bersamaan. Serangkaian mekanisme inilah yang
memastikan darah mengalir di sirkulasi dan memungkinkan jaringan
mendapatkan nutrisi agar dapat berfungsi dengan baik. Jika salah satu
mekanisme mengalami gangguan, maka dapat terjadi tekanan darah tinggi.

2.3.5. Pengaturan Sirkulasi Secara Humoral


Pengaturan sirkulasi secara humoral berarti pengaturan oleh zat-zat yang
disekresi atau yang diabsorbsi ke dalam cairan tubuh seperti hormon dan ion.
Beberapa zat ini dibentuk oleh kelenjar khusus dan dibawa di dalam darah ke
seluruh tubuh. Zat lainnya dibentuk di daerah jaringan setempat dan hanya
menimbulkan pengaruh sirkulasi setempat.
Faktor-faktor humoral terpenting yang memengaruhi fungsi sirkulasi di
antaranya adalah :
a. Zat Vasokonstriktor
 Norepinefrin dan Epinefrin
Norepinefrin merupakan hormon vasokonstriktor yang amat kuat
sedangkan epinefrin tidak begitu kuat. Ketika sistem saraf simpatis
dirangsang di sebagian besar atau seluruh tubuh selama terjadi stres
atau olahraga, ujung saraf simpatis pada masing-masing jaringan akan
melepaskan norepinefrin yang merangsang jantung
dannmengkonstriksi vena serta arteriol. Selain itu, saraf simpatis
untuk medula adrenal juga menyebabkan kelenjar ini menyekresi
norepinefrin dan epinefrin ke dalam darah. Hormon-hormon tersebut
kemudian bersirkulasi ke seluruh tubuh dan menyebabkan efek
perangsangan yang hampir sama dengan perangsangan simpatis
langsung terhadap sirkulasi dengan efek tidak langsung di dalam
darah yang bersirkulasi.
 Angiotensin II
Pengaruh angiotensin II adalah untuk mengkonstriksi arteri kecil
dengan kuat, yang dapat sangat mengurangi aliran darah di suatu area
jaringan yang terisolasi. Kepentingan nyata dari angiotensin II adalah

25
bahwa angiotensin secara normal bekerja secara bersamaan pada
banyak arteriol tubuh untuk meningkatkan tahanan perifer total yang
akan meningkatkan tekanan arteri.
 Vasopressin
Disebut juga hormon antidiuretik karena vasopressin memiliki fungsi
utama meningkatkan reabsorbsi air dari tubulus renal kembali ke
dalam darah, dan karena itu akan membantu mengatur volume cairan
tubuh. Vasopressin lebih kuat daripada angiotensin II sebagai
vasokonstriktor, sehingga menjadikannya salah satu zat
vasokonstriktor terkuat tubuh.
 Endotelin
Endotelin berupa peptida besar yang terdiri atas 21 asam amino. Zat
ini terdapat di sel-sel endotel di seluruh atau sebagian besar pembuluh
darah. Rangsangan yang akan melepaskan zat ini, pada umumnya
adalah adanya kerusakan pada endotel, misalnya kerusakan yang
disebabkan oleh cedera jaringan, atau dengan menyuntikkan zat kimia
yang menimbulkan trauma ke dalam pembuluh darah.
b. Zat Vasodilator
 Bradikinin
Bradikinin menyebabkan dilatasi kuat arteriol dan peningkatan
permeabilitas kapiler.
 Histamin
Histamin memiliki efek vasodilator kuat terhadap arteriol dan, seperti
bradikinin, memiliki kemampuan untuk meningkatkan permeabilitas
kapiler dengan hebat, sehingga timbul kebocoran cairan dan protein
plasma ke dalam jaringan.

26
Gambar 4. Faktor-faktor yang berpengaruh pada pengendalian tekanan darah

27
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas
Nama : Ny. S
Umur : 52 tahun
Alamat : Sidorejo RT23, Sragen Wetan, Sragen
Pekerjaan : Penjual
No. Register : 323095
Diagnosa : Kista Ovarii Permagna
Operasi : Kistektomi
Tanggal Operasi : 29 Februari 2016
3.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 28 Februari 2016 pukul 17.00 WIB di
bangsal Cempaka RS dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.
3.2.1. Keluhan utama
Perut membesar
3.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Dr. Soehadi Prijonegoro dengan keluhan
perut membuncit. Keluhan ini pasien sadari sekitar 1 bulan terakhir. Pasien
tidak mengeluhkan nyeri perut. Mual (-) muntah (-) sesak (-) Pasien
mengeluhkan ketika makan lebih cepat merasa kenyang dan perut sebah
ketika makan. Pasien merasa kondisi perutnya lebih nyaman ketika pasien
tidak makan. Hal ini menyebabkan asupan makanan pasien sehari-hari
pasien sedikit. Keluarga pasien mengeluhkan kondisi tubuh pasien yang
terlihat kurus namun besar di bagian perutnya. BAK dan BAB dirasa tidak
ada keluhan.
Pasien sudah menopause sejak 1 tahun terakhir. Saat masih menstruasi
dulunya pasien tidak pernah memiliki keluhan. Menstruasi teratur dan
tidak pernah merasa nyeri yang berlebihan ketika menstruasi. Pasien
memiliki 3 orang anak. Pasien melahirkan ketiga anaknya secara

28
persalinan normal dan tidak memiliki keluhan selama kehamilan dan
persalinannya.
3.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat Mondok : disangkal
 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
 Riwayat Penyakit DM : disangkal
 Riwayat Penyakit Asma : disangkal
 Riwayat Alergi Obat/makanan : disangkal
 Riwayat Konsumsi Obat Selama Hamil : disangkal
3.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat Mondok : disangkal
 Riwayat Hipertensi saat Kehamilan : disangkal
 Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
 Riwayat Penyakit DM : disangkal
 Riwayat Penyakit Asma : disangkal
 Riwayat Alergi Obat/makanan : disangkal
3.2.5. Riwayat Menstruasi
 Menarche : 13 tahun
 Menopause : 50 tahun
3.2.6. Riwayat Perkawinan
Menikah 1 kali dengan suami sekarang
3.2.7. Riwayat Program Keluarga Berencana
Pasien mengaku tidak pernah menggunakan KB. Pada kelahiran anak
ketiganya, pasien memutuskan untuk melakukan steril (tubektomi).

3.3.Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 28 Februari 2016 di bangsal


Cempaka RS dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.

 GCS : E4V5M6

29
 BB : 47 kg
 Tekanan Darah : 130/90 mmHg
 Nadi : 78 x/menit
 Respirasi : 18 x/menit

Status Generalis :

 Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor
kulit cukup
 Kepala : Mesocephal
 Mata : Konjungtiva anemis (+/+) sklera ikterik (-/-)
 THT : Faring hiperemis (-) Pembesaran tonsil (-)
 Leher : Pembesaran limfonodi (-)
 Thorax : Glandula Mamae dalam batas normal, hiperpigmentasi areola
mamae (+)
Cor:
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Ictus cordis kuat angkat, teraba di SIC 5
midclavikula sinistra
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Dalam batas normal
Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada simetris
Palpasi : Dalam batas normal
Perkusi : Dalam batas normal
Auskultasi : Dalam batas normal

 Abdomen : Inspeksi : Dinding perut > dinding dada


Auskultasi : Bising usus (+)
Perkusi : Pekak
Palpasi : Teraba kenyal. Hepar dan lien tidak teraba
 Ekstremitas:

30
Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, edema, dan sianosis. Akral
teraba hangat

3.4.Pemeriksaan Penunjang
Tabel 2. Hasil laboratorium pasien

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hematologi

Hemoglobin 9,1 g/dl 12,2-18,1 g/dl

Leukosit 6,85 ribu/L 4,5-11,5 ribu/L

Trombosit 260 ribu/L 150-450 ribu/L

Kimia Klinik

SGOT 17 U/L <31 U/L

SGPT 12 U/L <32 U/L

Ureum 24,7 mg/dl 10-50 mg/dl

Kreatinin 0,66 mg/dl 0,60-0,90 mg/dl

GDS 112 <200 mg/dl

Seroimmunologi

HbsAg Negatif Negatif

- Pemeriksaan EKG
Kesan normal

3.5. Kesan Anestesi


ASA I (Pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik selain
penyakit yang akan dioperasi)

3.6. Penatalaksanaan

31
Penatalaksanaan pada pasien yaitu :

a. Pre OP : Intravena fluid Drip (IVFD) RL 20 tpm saat di bangsal, kemudian


diganti dengan cairan koloid Gelafusal 300 tpm saat di ruang operasi
b. Informed Consent Operasi
c. Konsul ke bagian anestesi
d. Informed Consent pembiusan
Pemberian informasi dan permintaan persetujuan kepada pasien dan pihak
keluarga bahwa akan dilakukan anestesi spinal.
3.7.Kesimpulan

ACC ASA I

3.8. Laporan Anestesi


1. Diagnosis Pra Bedah
Kista Ovarii Permagna
2. Diagnosis Pasca Bedah
Kista ovarii permagna dengan perlengketan lemak dinding kista dengan
usus
3. Penatalaksanaan Preoperasi
Infus Gelafusal 500 cc
4. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis Pembedahan : Kistektomi
b. Jenis Anestesi : Regional anestesi
c. Teknik Anestesi : Spinal Anestesi
d. Mulai Anestesi : 29 Februari 2016, pukul 12.05 WIB
e. Mulai Operasi : 29 Februari 2016 , pukul 12.10 WIB
f. Premedikasi : Ondansentron 4 mg
g. Induksi : Decain Spinal 0,5% 20 mg dan fentanil 0,
025 mg
h. Intubasi :-
i. Medikasi tambahan : Ketalar 30 mg dan Miloz 3 mg
j. Maintenance : O2
k. Relaksasi :-

32
l. Respirasi : Spontan respirasi
m. Posisi : Supie
n. Cairan Durante Operasi : Gelafusal 500 ml dan RL 500 ml
o. Pemantauan HR : terlampir
p. Selesai Operasi : 29 Februari 2016, pukul 13.00 WIB

Tanggal 29 Februari 2016 pukul 11.45 WIB, Ny. S umur 52 tahun tiba
di ruang operasi dengan terpasang infus RL 20 tpm kemudian IVFD
diganti dengan cairan koloid Gelafusal 250 tpm. Dilakukan pemasangan
manset dan pemasangan pulse oxymetri dengan tekanan darah tercatat
152/84 mmHg, nadi 85 x/menit dan SpO2 99%. Pukul 12.00 WIB
diberikan premedikasi dengan injeksi Ondansentron 4 mg secara bolus
intravena. Setelah itu dilakukan induksi dengan injeksi Decain spinal 0,5%
20 mg secara intratekal. Selanjutnya dipasang kanul nasal Oksigen untuk
pemeliharaan respirasi selam operasi.
Setelah onset Decain spinal bereaksi, pasien merasakan kesemutan
pada kaki, kaki terasa berat dan tidak dapat digerakkan . Setelah proses
induksi berhasil, maka operasi dapat dimulai. Selama operasi berlangsung,
nadi dan tekanan darah, serta saturasi Oksigen dimonitor setiap 5 menit,
dengan hasil :
- Lima menit 12.00 WIB : TD 152/84 mmHg, nadi 85 x/menit, SpO2 99%
- Lima menit 12.05 WIB : TD 143/81 mmHg, nadi 79 x/menit, SpO2 99%
- Lima menit 12.10 WIB : TD 142/82 mmHg, nadi 81 x/menit, SpO2 98%
- Lima menit 12.15 WIB : TD 121/71 mmHg, nadi 72 x/menit, SpO2 99%
- Lima menit 12.20 WIB : TD 132/71 mmHg, nadi 76 x/menit, SpO2 99%
- Lima menit 12.25 WIB : TD 130/72 mmHg, nadi 92 x/menit, SpO2 99%
- Lima menit 12.30 WIB : TD 126/70 mmHg, nadi 86 x/menit, SpO2 99%
- Lima menit 12.35 WIB : TD 122/70 mmHg, nadi 84 x/menit, SpO2 99%
- Lima menit 12.40 WIB : TD 120/69 mmHg, nadi 89 x/menit, SpO2 99%
- Lima menit 12.45 WIB : TD 116/71mmHg, nadi 85 x/menit, SpO2 99%
- Lima menit 12.50 WIB : TD 119/71 mmHg, nadi 81 x/menit, SpO2 99%
- Lima menit 12.55 WIB : TD 117/72 mmHg, nadi 82 x/menit, SpO2 99%

33
- Lima menit 13.00 WIB : TD 118/72 mmHg, nadi 83 x/menit, SpO2 99%

Perdarahan yang keluar selama operasi berlangsung sekitar +250 cc,


pembedahan berlangsung 50 menit dengan IVFD Gelafusal 300 tpm dan
RL 300 tpm. Setelah operasi selesai pasien dipindahkan dari ruang operasi
ke recovery room. Di dalam recovery room, pasien diberikan oksigen 2
L/menit dan infus RL 20 tpm.

Selain itu, dilakukan penilaian ALDRETE SCORE, yaitu:

1. Respirasi : mampu bernafas dalam dan batuk  2


2. Sirkulasi : TD sistolik +20-50 mmHg pre anestesi  1
3. Kesadaran : Sadar penuh  2
4. Warna kulit : Kulit merah muda  2
5. Aktivitas : Mampu menggerakkan kedua ekstremitas  1

Total ALDRERE SCORE = 8, maka pasien dapat dipindakan dari


recovery room (RR) ke bangsal perawatan. Injeksi ketorolac 30 mg
diberikan per 8 jam. Pemberian pertama diberikan di ruang operai (OK),
dilanjutkan di ruang perawatan/bangsal.

34
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien Ny. S datang ke RSUD dr. Soehadi prijonegoro pada tanggal 27


februari 2016, pasien datang kepoli kandungan, dengan keluhan perut membesar,
kemudian pasien masuk bangsal cempaka dengan diagnosis kista ovarii, dan
dokter Sp.OG merencanakan untuk dilakukan operasi kistektomi, dan operasi
dilakukan pada hari senin pada tanggal 29 februari 2016. Sebelum dilakukan
operasi maka dilakukan pemeriksaan laboratorium dan EKG dan didapatkan hasil
laboratorim hemoglobin 9,6 g/dl kurang dari normal, untuk hasil lab lain dalam
batas normal. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan EKG didapatkan hasil EKG
normal. Pada pasien ini, permasalahan yang timbul adalah penurunan tekanan
darah setelah dilakukannya penyedotan cairan dan pengangkatan kista ovarium.

Penurunan tekanan darah dapat dipengaruhi oleh anestesi spinal atau non
anestesi spinal (dalam kasus ini pengangkatan kista ovarii yang menyebabkan
penurunan tekanan intraabdomen).

Tindakan anestesi spinal yang biasa digunakan untuk operasi elektif perut
bagian bawah memiliki efek samping terjadinya gangguan respon hemodinamik.,
salah satu komplikasi yang sering terjadi adalah hipotensi. Hipotensi bila
berlangsung lama dan tidak diterapi akan menyebabkan hipoksia jaringan dan
organ dan bila keadaan ini berlanjut terus akan mengakibatkan keadaan syok
hingga kematian. Hipotensi dapat dicegah dengan pemberian preload cairan tepat
sebelum dilakukan anestesi atau dengan vasopresor seperti efedrin. Respon ini
terjadi akibat terjadinya blokade simpatis yang mengakibatkan ketidak
seimbangan otonom dimana parasimpatis menjadi lebih dominan. Apabila terjadi
pemblokan simpatis maka otot polos pada arteri akan berdilatasi dan
mengakibatkan hipotensi, penurunan detak jantung dan kontraktilitas jantung.
Selain itu juga menurunnya resistensi vaskuler sistemik dan curah jantung karena
pengaruh blok simpatis saat anestesi spinal sehingga menyebabkan penurunan
tekanan darah (Guyton & hall, 2009).

35
Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, memperlihatkan
perubahan tekanan darah pada menit-menit awal (±5 menit awal ) setelah
pemberian anestesi karena pada menit-menit awal perubahan hemodinamik yang
terjadi masih benar-benar asli tanpa disertai adanya perlakuan perlakuan lain
seperti pemberian efedrin, sehingga untuk membandingkan perbedaan tekanan
darah yang terjadi lebih baik pada menit-menit awal setelah anestesi spinal.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Vercauteren, et.al., mengatakan
bahwa pemberian ephedrine sebelum anestesi spinal juga dapat digunakan sebagai
tindakan preventif terjadinya hipotensi. Dalam penelitiannya dengan pemberian
5mg ephedrine IV (bolus) dapat mengurangi insidensi terjadinya hipotensi
(Guyton & hall, 2009).

Obat yang digunakan selama anestesi, meliputi premedikasi pada kasus ini
adalah ondancetron 4 mg, ondancetron adalah antiemetik yang poten dimana efek
antiemetiknya dicapai melalui kerja antagonis pada reseptor 5-hydroxitryptamine
(5-HT3). Premedikasi ini diberikan untuk menggurangi timbulnya efek samping
yang ditimbulkan dari anestesi spinal seperti mual dan muntah. Post-Operative
Nausea dan Vomiting (PONV) atau perasaan mual muntah yang dapat dirasakan
dalam 24 jam pasca prosedur anestesi dan pembedahan. Apabila tidak diatasi,
muntah dapat menyebabkan dehidrasi, gangguan elektrolit, jahitan luka operasi
menjadi tegang, dan lain-lain. Terdapat tiga kelompok molekul yang mempunyai
sifat antiemetik yaitu steroid (deksametason), antagonis reseptor serotonin 5HT3
(Ondansentron), dan antagonis reseptor dopamin D2 (droperidol). Penelitian
multisenter di Eropa menunjukkan bahwa deksametason 4 mg merupakan dosis
efektif untuk mencegah PONV dan lebih efektif diberikan saat induksi anestesi.
Sedangkan pemberian kelompok antagonis reseptor serotonin (ondansetron) lebih
efektif mencegah PONV jika diberikan di akhir pembedahan. Namun pada
penelitian yang dilakukan oleh Tewu (2015), didapatkan bahwa tidak ada
perbedaan bermakna antara pemberian ondansetron dan deksametason untuk
mencegah PONV. Pada pasien pemberian antiemetik sudah tepat untuk mencegah
efek mual muntah setelah pemberian anestesi spinal.

Sedangkan untuk induksi yang digunakan pada pasien ini adalah


bupivakain 20 mg. Bupivakain merupakan anestesi lokal jenis amida kerja

36
panjang dan menyebabkan blokade reversibel pada perambatan impuls sepanjang
serabut saraf dengan cara mecegah pergerakan ke dalam ion-ion natrium melalui
membran saraf. Efek yang dihasilkan adalah blokade motorik pada otot abdominal
dan relaksasi otot yang dihasilkan bekerja pada ekstremitas bawah selama 2-3
jam. Pada pasien obat induksi ditambahkan dengan fentanil 0,025 mg. Hal ini
dapat meningkatkan durasi dari efek anestesi bupivakain.

Efek bupivakain dalam darah terhadap sistem saraf otonom adalah


antiaritmia, disebabkan oleh blok reseptor α-adrenergik. Tidak ditemukan efek
samping yang serius dari bupivakain dengan dosis klinis. Efek hipotensi dan
bradikardia tidak lebih besar dibandingkan mepivakain atau lidokain. Menggigil
lebih sering ditemukan pada bupivakain daripada obat analgetika lokal lainnya.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyebaran bupivakain pada


anestesi spinal antara lain gravitasi, postur tubuh, tekanan intraabdomen, anatomi
kolumna vertebralis, tempat penyuntikan, manuver valsava, volume obat, dan
konsentrasi obat (Wijaya, 2013).

Sedangkan untuk maintenance atau pemeliharaan anestesi pada pasien ini


diberikan aliran gas oksigen melalu kanul nasal prong, pada pasien ini tidak
diberikan gas inhalasi anestetik karena pada pasien menggunkan anestesi spinal
dimana kesadaran pasien masih baik. Aliran gas oksigen ini diberikan dengan
tujuan untuk menjaga saturasi oksigen pada pasien.

Selain itu, kebutuhan cairan selama operasi diganti dengan pemberian


cairan kristaloid 500cc dan koloid 500cc. Terapi cairan pada orang dewas
berdasarkan jenis operasi adalah:

1. Operasi besar : 6-8 ml/kgBB/jam


2. Operasi sedang : 4-6 ml/kgBB/jam
3. Operasi kecil : 2-4 ml/kgBB/jam

Operasi yang dilakukan termasuk operasi besar sehingga rumus yang digunakan
adalah 8 ml/kgBB/jam.

Berbagai mekanisme yang berperan dalam tekanan darah salah satunya


ditentukan oleh curah jantung atau cardiac output dan resistensi pembuluh darah

37
terhadap darah. Curah jantung adalah volume darah yang dipompa melalui
jantung per menit, yaitu isi sekuncup (stroke volume, SV) x laju denyut jantung
(heart rate, HR). Resistensi diproduksi terutama di arteriol dan dikenal sebagai
resistensi vaskular sistemik. Resistensi merupakan hambatan aliran darah dalam
pembuluh, tetapi tidak dapat diukur secara langsung dengan cara apapun.
Resistensi harus dihitung dari pengukuran aliran darah dan perbedaan tekanan
antara dua titik di dalam pembuluh. Resistensi bergantung pada tiga faktor, yaitu
viskositas (kekentalan) darah, panjang pembuluh, dan jari-jari pembuluh. Pada
kasus ini pasien diberikan cairan intravena secara cepat dengan menggunakan
larutan koloid dan kristaloid. Larutan koloid mengandung molekul dengan berat
molekul tinggi (lebih besar dari 35.000 dalton) yang tidak mudah menembus
membrane kapiler sehingga berada lebih lama dalam intravascular dibandingkan
dengan kristaloid dan dibutuhkan dalam jumlah lebih sedikit. Koloid dikenal
sebagai ekspander plasma sebab mengekspansikan volume plasma lebih besar dari
volume yang diinfuskan karena menarik cairan kedalam ruang intravascular.
Pemberian preload cairan koloid yang memiliki berat molekul yang besar
diharapkan dapat membuat viskositas darah menjadi lebih kental dan
meningkatkan resistensi pada pembuluh darah lebih besar sehingga mampu
mengurangi efek penurunan tekanan darah yang dikarenakan blok saraf simpatis.
Selain cairan koloid, pemberian preload cairan kristaloid juga diharapkan mampu
untuk menambah volume darah dan cardiac output sebagai kompensasi blok
simpatis yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah.

Penurunan tekanan darah yang terjadi pada kasus ini juga dapat
disebabkan oleh operasi kistektomi itu sendiri. Onal (2015) menjelaskan bahwa
sindrom hipotensi telah dilaporkan pada wanita hamil dan pasien dengan
peningkatan tekanan intra abdomen (massa abdome raksasa). Hal ini berhubungan
dengan perubahan tekanan yang terjadi pada vena cava inferior. Pada kasus ini
terjadi penurunan tekanan intra abdomen karena pengangkatan kista. Sehingga
dapat terjadi perubahan tekanan pada vena cafa inferior. Penurunan tekanan darah
ini terkadang dapat dikompensasi oleh volume dan mekanisme homeostatik
intravaskular melalui sistem simpatis. Kompensasi ini akan menyeimbangkan
antara tekanan darah, curah jantung, dan vasokonstriksi perifer. Namun ketika

38
kompensasi ini terganggu, seperti pada anestesi spinal yang menghambat sistem
simpatis, kompensasi ini juga akan ikut terganggu yang ditandai dengan
penurunan aliran balik vena dan dapat menyebabkan hipotensi berat.

Namun dalam beberapa kasus juga telah dilaporkan adanya penggunaan


anestesi spinal yang digunakan dalam dekompresi kista tanpa menyebabkan
depresi sirkulasi. Maka setiap kasus harus dievaluasi secara ketat baik pra operasi,
durante operasi, dan post operasi.

39
BAB V KESIMPULAN

40
DAFTAR PUSTAKA

Mangku, G., Tjokorda G.A.S., 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi.
Jakarta : Indeks

Press, C., 2015. Subarachnoid Spinal block. Medscape.


http://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview#a3

Butterworth, J., et al , 2013. Morgan & Mikhails’s Clinical Anesthesiology (5th


ed). Philadelphia: Mcgraw-Hill-Companies

Latief, S.A., et al., 2008. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta : Bagian


anestesiologi dan terapi intensif FK UI.

Guyton A, Hall J. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC


Onal, O., Gumus, I., Sekmenli, T., Aslanlar, E., Celik, J.B., Anesthetic Approach
to Giant Ovary Cyst in the Adolescent. MOJ Surg 2015, 2(3) : 00019

Kumar, P., Clark, M., 2012. Cardiovascular Disease In : Clinical Medicine 8th
ed. London : Elsevier

Sudoyo, A.W., et al., 2009. Hipertensi esensial Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
5th ed. Jilid II. Jakarta : Interna Publishing

Junaidi, S., 2010. Hipertensi. Jakarta : Bhuana Almu Popular

Tewu, Havriray., dkk. Perbandingan Mual – Muntah Pada Premedikasi Dengan


Pemberian Ondansetron Dan Dengan Deksametason Pasca Operasi Sectio
Caesarea Dengan Anestesi Regional. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 3, Nomor
3, September-Desember 2015
Ayu D., Penentuan Dosis Efektif Bupivacaine Hiperbarik 0,5% Berdasarkan
TinggiBadan Untuk Bedah Sesar Dengan Blok Subarakhnoid. Jurnal
Anestesiologi Indonesia. Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014

41

Anda mungkin juga menyukai