OLEH :
MUHAMMAD KHALIQ
2014301138
A. Latar Belakang
Evaluasi pra anestesi adalah langkah awal dari rangkaian tindakan anestesi yang
dilakukan terhadap pasien bertujuan untuk mengetahui status fisik American Society Of
Anestesiologist (ASA) pasien pra operatif, menganalisis jenis operasi, memilih jenis
dan teknik anestesi, memprediksi penyulit yang mungkin terjadi, mempersiapkan obat
dan alat anestesi. Pada bedah elektif evaluasi pra anestesi dilakukan beberapa hari
sebelum operasi, kemudian sehari sebelum operasi, selanjutnya pagi hari menjelang
pasien dikirim ke kamar operasi dan terakhir dilakukan di kamar persiapan instalasi
bedah sentral (IBS) untuk menentukan status fisik American Society Of Anestesiologist
(Mangku, 2010).
anastesia yang diberikan kepada pasien yang menjalani pembedahan yaitu: umur, jenis
kelamin, status fisik (ASA), jenis operasi (lokasi operasi, posisi operasi, manipulasi
perut bagian bawah, panggul, atau kaki atau anestesi spinal digunakan dalam operasi ortopedi.
selama blok anestesi tidak mencapai blok yang tinggi, penurunan resiko aspirasi dan
obstruksi jalan nafas, sedikit menimbulkan resiko hipoglikemi saat pasien terbangun,
pasien bisa makan segera setelah operasi serta dapat memberikan relaksasi otot yang
baik untuk operasi abdomen bagian bawah dan ekstrimitas bawah (Klienman, 2009).
Selain keuntungan dan kepuasan yang didapatkan pasien, spinal anestesi juga memiliki
hipotensi, post dural puncture headache (PDPH), gangguan persyarafan, anestesi blok
spinal total, dan kejang yang diinduksi oleh anestetik lokal (Latief, 2009).
Spinal Anastesi dapat berdampak pada sistem syaraf pusat. Efek pada sistem
syaraf pusat termasuk mengantuk, kepala terasa ringan, gangguan visual dan
pendengaran, dan kecemasan. Pada kadar yang lebih tinggi dapat timbul nistagmus dan
menggigil. Akhirnya kejang tonik klonik yang terus menerus diikuti oleh depresi sistem
syaraf pusat dan kematian yang terjadi untuk semua anestesi lokal. Anestesi lokal
sepihak akan muncul. Tingkat transisi eksitasi tak seimbang ini akan diikuti oleh
depresi sistem syaraf pusat, umumnya bila kadar anestesi lokal dalam darah lebih tinggi
lagi (Katzung, 2008). Pasien post anastesi biasanya akan mengalami kecemasan,
disorientasi dan beresiko besar untuk jatuh. Untuk menanganinya dengan pasien
ditempatkan pada tempat tidur yang nyaman dan dipasang side railnya (Finucane,
2007).
menjalani operasi, baik pemulihan fisik maupun psikis. Terhambatnya pemulihan post
anestesi berdampak pada timbulnya komplikasi seperti kecemasan dan depresi sehingga
pasien memerlukan perawatan lebih lama di ruang pemulihan, selain itu pasien tetap
berada di ruang post anestesi care unit sampai pulih sepenuhnya dari pengaruh anastesi,
yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernafasan adekuat, saturasi oksigen minimal 95%
dan tingkat kesadaran yang baik, kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan
kesiapan pasien spinal anestesi dikeluarkan dari ruang post anestesi care unit adalah
Bromage score 2 yaitu kemampuan pasien untuk menggerakkan kedua kaki (Finucane,
2007).
pencapaian skala Bromage score 2 pada pasien ASA I adalah 184,75 menit dan
responden pasien ASA II 207 menit. Penelitian yang dilakukan Ervina (2014)
menunjukkan rerata waktu pulih hambatan motorik pada pasien yang menggunakan
levobupivakain 0,5% 10 mg adalah sebesar 108,7 menit. Sedangkan angka waktu pulih
tercapai pada menit ke 155-195. Terdapat perbedaan lama waktu pencapaian Bromage
Score 2 dengan beda waktu ± 35 menit (lebih cepat pada dosis 15 mg).
Berdasarkan data rekam medik di Instalasi Anestesi RSUD Dr. Doris Sylvanus
Palangkaraya didapatkan hasil bahwa pasien yang menjalani pembedahan dengan spinal
anestesi dalam kurun waktu Januari 2019 sampai dengan April 2019 sebanyak 387
pasien atau rata rata 96 pasien setiap bulan dengan klasifikasi ASA 1 sebanyak 62
(41,61%) dan ASA 2 sebanyak 87 (58,39). Pengamatan yang dilakukan peneliti pada
tanggal 10 Oktober 2020 di RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangkaraya terhadap 5 pasien
pasca spinal anestesi diketahui bahwa 2 pasien dengan status ASA 1, waktu pencapaian
bromage skor 2 selama 178-212 menit sedangkan pada 3 pasien dengan status ASA 2,
pembedahan yaitu: umur, jenis kelamin, status fisik (ASA), jenis operasi (lokasi
operasi, posisi operasi, manipulasi operasi, durasi operasi), keterampilan operator dan
status rumah sakit. Dari data tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengetahui
Score pada Pasien Pasca Anastesi Spinal RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangkaraya
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Adakah Hubungan Status Fisik
American Society Of Anestesiologist (ASA) Dengan Bromage Score Pada Pasien Pasca
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Bromage Score Pada Pasien Pasca Anastesi Spinal RSUD Dr. Doris Sylvanus
Palangkaraya
2. Tujuan Khusus
a.Diketahuinya status fisik (ASA) pada pasien spinal anestesi di ruang pemulihan
score pada pasien spinal anestesi di ruang pemulihan RSUD Dr. Doris Sylvanus
Palangkaraya
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
2. Manfaat Praktis
TINJAUAN PUSTAKA
A. Spinal Anestesi
Anestesi spinal merupakan suatu metode yang lebih bersifat analgetik karena
menghilangkan nyeri dan pasien dapat tetap sadar, oleh sebab itu teknik ini tidak
memenuhi trias anestesi karena hanya menghilangkan persepsi nyeri saja. Jika diberi
tambahan obat hipnotik atau sedasi, disebut sebagai balans anestesi sehingga masuk dalam
Spinal anestesi diketahui juga sebagai central neuraxial blockade (CNB) sebab
penginjeksian obat anestesi lokal ke dalam sumsum tulang belakang (Nagelohout, 2014).
Punggung terdiri dari tulang-tulang vertebra dan jaringan penyambung fibrosa antar
vertebra lumbalis, 5 vertebra sakralis, serta 4-5 vertebra koksigeus menyatu pada orang
terdapat korda spinalis serta ruang epidural. Fungsi utamanya adalah untuk menunjang
menonjol dan disebut juga vertebra prominens. Garis lurus yang menghubungkan kedua
krista iliaka tertinggi akan memotong prosesus spinosus vertebra prominens. Garis lurus
yang menghubungkan kedua krista iliaka tertinggi akan memotong prosesus spinosus
vertebra L4-L5. Medulla spinalis diperdarahi oleh arteri spinalis anterior dan posterior.
Untuk mencapai cairan serebrospinalis, maka jarum spinal akan menembus kulit, subcutis,
Cairan serebrospinal merupakan cairan yang jernih, tidak berwarna, dan mengisi
rongga subarachnoid. Total volume dari liquor cerebrospinalis ini adalah 100-150 cc,
produksi rata-rata 500 ml setiap hari. Sedangkan berat jenis cairan serebrospinalis berkisar
1,003-1,008 pada suhu 370C. Cairan ini diabsorpsi kembali ke dalam darah melalui
pemberian obat anestesi ke dalam cairan serebrospinal dalam ruang subarachnoid, dan
obat akan menyebar sesuai gravitasi, posisi pasien, tekanan cairan serebrospinal (CSF).
Secara anatomis dipilih segmen L2 ke bawah pada penusukan oleh karena ujung bawah
pada medulla spinalis setinggi L2 dan ruang intersegmental lumbal ini relative lebih lebar
dan datar dibandingkan dengan segmen-segmen lainnya. Lokasi interspace ini dicari
dengan cara menghubungkan crista iliaca kiri dan kanan, maka titik pertemuan dengan
segmen lumbal merupakan processus spinosus L4 atau interspace L4-L5 (Morgan, 2013).
Obat analgetik lokal mencegah proses terjadinya depolarisasi membran saraf pada
tempat suntikan obat tersebut, sehingga membran akson tidak dapat bereaksi dengan asetil
kholin sehingga membran akan tetap dalam keadaan semipermeabel dan tidak terjadi
perubahan potensial. Keadaan ini menyebabkan aliran implus yang melewati saraf tersebut
terhenti, sehingga segala macam rangsang atau sensasi tidak sampai ke susunan saraf
pusat. Keadaan ini menyebabkan timbulnya parastesia sampai analgesia, paresis sampai
paralisis, dan vasodilatasi pembuluh darah pada daerah yang terblok (Mangku, 2010).
5. Proses Hilangnya Efek Obat Spinal Anestesi
a. Obat yang berada di luar saraf akan diabsorpsi oleh sistem pembuluh darah
kapiler.
b. Serat saraf akan melepaskan ikatannya dengan obat anestesia lokal. Hal ini
sel.
lain.
Metabolisme obat spinal anestesi dimulai dengan sebagian besar obat akan
meninggalkan ruang subarachnoid dan akan mengikuti aliran darah vena dan
efek stabilisasi yang sama pada sel-sel neuron diotak. Pada umumnya neuron
c. Terhadap kardiovaskuler
Pada jantung, obat anesetsi lokal memiliki efek stabilisasi jaringan konduksi
karena itu, obat ini bermanfaat untuk mengobati disritmia ventrikuler. Pada
pembuluh darah, obat anestesi lokal mempunyai efek langsung pada arteriole
Pada dosis kecil akan merangsang pusat nafas, sehingga frekuensi nafas
depresi sistem pusat nafas sehingga terjadi penurunan frekuensi nafas dan
volume tidal sampai henti nafas. Obat anestesia lokal juga mempunyai efek
belakang, panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan
khusus seperti bedah endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang
pasien tidak kooperatif, defisit neurologis, lesi stenosis katup aorta, kelainan
bradikardi, hipoventilasi sampai henti nafas, blok spinal total, menggigil, pasien tidak
kooperatif, mual dan muntah, intoksikasi obat, kegagalan blok, nyeri kepala (PDPH),
sequel neurologis. Penyebabnya adalah trauma langsung oleh jarum spinal. Keluhan yang
dirasakan pasien berupa parastesia yang lama, sampai beberapa bulan post spinal anestesi.
Dapat juga timbul arachnoiditis adhesive, komplikasi yang serius karena dapat
menimbulkan kerusakan pada medulla spinalis yang permanen. Hal ini terjadi karena
B. Bromage Score
pasca operasi dengan spinal anestesi dan normalnya tercapai 2-3 jam post spinal
(Nuriyadi, 2012). Bromage score selain menjadi standar baku untuk mengukur
menjadi indikator apakah pasien paska spinal anestesi sudah dapat kembali ke
bangsal.
menentukan kesiapan pasien spinal anestesi dikeluarkan dari ruang post anestesi care
unit adalah nilai Bromage score ≤ 2, yang didefinisikan kemampuan pasien untuk
melakukan gerakan geser pada kaki namun tidak mampu memflexikan lutut.
Pada bromage score, intensitas blok motorik dinilai pada kemampuan pasien
Hanya Dapat
2. Menggerakkan Telapak 2
Kaki
Hanya Dapat
3. 1
Menggerakkan Lutut
Sumb
( Nuriyadi 2012)
obat spinal anestesi berkisar 1,5-3 jam (Latif, 2010). Menurut Finunace dalam
penurunan peristaltik dengan kontisipasi dan impaksi (Potter & Perry, 2013).
spinal anestesi di ruang pemulihan antaranya status fisik (ASA), dan umur.
Elektif di Ruang Pulih Bedah Pusat Terpadu RSUD Dr. Soetomo, Pencapaian
nilai kriteria pindah bromage score dipengaruhi oleh lama anestesi dan
operasi, jumlah perdarahan dan cairan selama operasi, serta teknik anestesi
dan pembedahan
Setiap pasien menurut Pramono (2016) harus dinilai status fisiknya untuk
Status fisik pra anestesi atau ASA, sistem klasifikasi fisik adalah suatu
fisik yaitu:
1. ASA 1, seorang pasien normal dan sehat atau tidak ada penyakit organ.
5. ASA 5, seorang pasien yang hampir mati tidak ada harapan hidup dalam
diikuti dengan “E” (untuk darurat) misalnya “3E” . Status ASA ditentukan
oleh semakin tinggi status ASA pasien maka gangguan sistemik pasien
tersebut akan semakin berat. Hal ini karena status ASA dapat menyebabkan
respon organ-organ tubuh terhadap obat atau agen anestesi tersebut semakin
lambat, sehingga berdampak pada semakin lama pulih sadar pasien (Setiawan,
2010)
D. Penelitian Terkait
Penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh
peneliti lain yaitru terdapat 2 penelitian lain yang mendukung penelitian ini.
1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Razak, 2020) dengan judul
dalam penelitian ini yaitu semua pasien yang di lakukan anastesi spinal
penelitian ini sebanyak 44 orang. Uji analisa data yang digunakan adalah
uji chi square. Hasil uji analisis diperoleh nilai p value 0,003 lebih kecil
dari nilai α 0,05 yang artinya H0 ditolak dan Ha diterima atau terdapat
kesehatan pada pasien pre dan post operasi tentang pentingnya pola hidup
sehat.
spinal anastesi.
E. Kerangka Teori
Pembedahan
Spinal Anastesi
Post Operasi
ASA 1, seorang pasien normal dan sehat atau
tidak ada penyakit organ
Konsep adalah abstraksi dan suatu realitas agar dapat dikomunikasikan dan
membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antara variabel (baik variabel
yang diteliti maupun yang tidak diteliti). Kerangkan konsep berisi konsep yang dipakai
sebagai landasan berpikir dalam kegiatan ilmu. Kerangka konsep dan membantu
Kerangka konsep penelitian ini terdiri dari variabel independen dan dependen.
sedangkan variabel dependen adalah Bromage Score Pada Pasien Pasca Anastesi Spinal
B. Hipotesa Penelitian
Berdasarkan kerangka kerja penelitian diatas, maka yang menjadi pernyataan dan
Dengan Bromage Score Pada Pasien Pasca Anastesi Spinal RSUD Dr. Doris
Sylvanus Palangkaraya
Dengan Bromage Score Pada Pasien Pasca Anastesi Spinal RSUD Dr. Doris
Sylvanus Palangkaraya
C. Definisi Operasional
Untuk lebih mudah memahami pengertian dari variabel yang akan diteliti, maka
Variabel Dependen
satu kali pada satu saat dan dalam waktu yang bersamaan (Nursalam, 2011).
1. Populasi
dalam penelitian ini adalah Pasien Pasca Anastesi Spinal RSUD Dr. Doris
di RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangkaraya Januari s/d Juni sebanyak 424
anak.
2. Sampel
N
n=
N . d 2 +1
Keterangan:
n : Ukuran sampel
N : Ukuran populasi
d : Galat pendugaan
N
n=
N . d 2 +1
424
n=
424 (10 %)2+ 1
424
n=
424 (0,1)2 +1
424
n=
424. ( 0,01 )+ 1
424
n=
5,24
n = 80,91
orang.
Sylvanus Palangkaraya.
2. Waktu penelitian
skala guttman
Setelah kuesioner sebagai alat ukur data selesai disusun, belum berarti
Kuesioner yang digunakan sebagai alat ukur penelitian perlu uji validitas dan
rehabilitas, yang bertujuan untuk mendapatkan data yang valid dan hasil yang
dalam kelompok sampel yang sama. Uji coba dilakukan terhadap 10 orang
pada Pasien Pasca Anastesi Spinal RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangkaraya,
yang uji ini dianalisis dengan menggunakan sistem komputerisasi yaitu SPSS
a. Uji validitas
Uji validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu
kuesioner yang kita susun tersebut mampu mengukur apa yang hendak kita
ukur, maka perlu menggunakan uji dengan tehnik korelasi. Tehnik korelasi
10 responden adalah 0,632. Jika nilai dalam angket 0,632 maka angket
b. Uji Reliability
bila fakta atau kenyataan hidup tadi diukur atau diamati berkali-kali
dalam waktu yang berlainan. Alat dan cara mengukur atau mengamati
moment di atas maka nilai reabilitas dapat langsung dihitung dan didapat
angka kritis setiap pernyataan adalah 0,632. Bila hasilnya sama atau
lebih dari angka kritis (0,632) maka alat ukur itu reliabel, tetapi bila
yang sangat penting dalam ilmu kesehatan, karena hampir 90 % subjek yang
sebagai klien.
karena subjek yang digunakan adalah manusia. Jadi secara umum, prinsip
etika dalam penelitian atau pengumpulan data dapat dibedakan menjadi tiga
bagian yaitu:
1. Prinsip Manfaat
determination)
to full disclosure).
dan tujuan dari penelitian ini, jika mereka bersedia maka mereka
lembar kuesioner.
harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity) dan
rahasia (confidentiality)
meliputi:
a. Informed consent
Lembar persetujuan yang akan diberikan responden yang akan diteliti dan
c. Confidential (Kerahasiaan)
berikut :
penelitian ini.
G. Pengolahan Data
(Sulistyaningsih, 2012)
“Tabulasi Editing
2. Coding
Coding adalah pemberian kode pada data yang berskala nominal dan
hanya angka yang dapat diolah secara statistik dengan bantuan program
komputer. Data berskala interval dan ratio tidak perlu koding karena
3. Transfering
Kuesioner yang telah diisi oleh responden serta diberi kode oleh
tabel.
4. Tabulating
H. Analisa Data
1. Analisa Univariat
Tehnik analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisa
univariat tergantung dari jenis datanya. Pada umumnya dalam analisis ini
(Suman, 2014).
Σx
X=
n
Keterangan :
N = jumlah sampel
P = fi x 100%
N
Keterangan :
P = Angka persentase
n = Jumlah sampel
2. Analisa Bivariat
sebagai berikut :
a. Bila pada table 2 x 2 dan tidak ada niali E (harapan) < 5, maka uji
b. Bila pada table 2 x 2 dijumpai nilai E (harapan) < 5, maka uji yang
kesimpulan bila nilai p lebih kecil dari alpha (< 0,05) maka Ho ditolak Ha
bebas.