1
BAB I
PENDAHULUAN
2
lokal atau regional obat analgesi dibagi ke dalam dua kelompok yakni golongan
NSAID dan golongan opioid, yang bekerja di perifer atau sentral, sedangkan obat untuk
melakukan analgesi lokal adalah kelompok obat analgesi lokal, seperti prokain,
lidokain dan bupivakain.1
Hipnosis mempunyai makna kata berupa keadaan menjadi tidur. Seringkali
hipnosis diartikan sebagai komponen pertama trias anestesi. keadaan tak sadar, tidur
secara farmakologik yang tetap bereaksi terhadap nyeri dengan reflek penarikan diri
atau reflek otonomik, jika penderita tidak cukup di berikan analgetik. Hipnosis adalah
istilah yang ditimbulkan oleh hipnotism, yakni penurunan sifat kritis seseorang akibat
hipnotism.1
Narkosis, seringkali diartikan sebagai komponen pertama trias anestesi,
keadaan tak sadar, tidur secara farmakologi oleh obat anestesi umum. Istilah ini
mungkin lebih tepat dibandingkan hipnosis, tetapi narkosis seringkali diartikan sebagai
akibat pemberian obat narkotik (opioid).1
Sectio Caesaria adalah suatu tindakan pembedahan dengan melakukan irisan
pada dinding abdomen dan uterus yang bertujuan untuk melahirkan bayi. Proses
persalinan dengan cara sectio caesarea dapat menggunakan anestesi umum dan
regional. Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang aman, terutama pada operasi
di daerah umbilikus ke bawah. Teknik anestesi ini memiliki kelebihan dari anestesi
umum, yaitu kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek samping yang
minimal pada biokimia darah, pasien tetap sadar dan jalan nafas terjaga, serta
penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.2
Subarachnoid Spinal Block, sebuah prosedur anestesi yang efektif dan bisa
digunakan sebagai alternatif dari anestesi umum. Umumnya digunakan pada operasi
bagian bawah tubuh seperti ekstremitas bawah, perineum, atau abdomen bawah.3,4
Pada laporan ini akan membahas tentang pemberian anestesi pada pasien yang
dilakukan tindakan sectio caesarea.
3
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk lebih mengerti dan memahami tentang
manajemen anestesi pada seksio sesarea serta untuk memenuhi persyaratan dalam
mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik di Departemen Anastesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako Palu.
1.3 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan pembaca
khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umum agar dapat
mengetahui dan memahami manajemen anestesi pada seksio sesarea.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
wanita yang tidak hamil. Cardiac output meningkat dari minggu kelima kehamilan dan
mencapai tingkat maksimum sekitar minggu ke-32 kehamilan, setelah itu hanya
mengalami sedikit peningkatan sampai masa persalinan, kelahiran, dan masa post
partum. Sekitar 50% peningkatan dari cardiac output telah terjadi pada masa minggu
kedelapan kehamilan. Meskipun, peningkatan dari cardiac output dikarenakan adanya
peningkatan dari volume sekuncup dan denyut jantung, faktor paling penting adalah
volume sekuncup, dimana meningkat sebanyak 20% sampai 50% lebih banyak
daripada pada wanita tidak hamil. Perubahan denyut jantung sangat sulit untuk
dihitung, tetapi diperkirakan ada peningkatan sekitar 20% yang terlihat pada minggu
keempat kehamilan. Meskipun, angka normal dalam denyut jantung tidak berubah
dalam masa kehamilan, adanya terlihat penurunan komponen simpatis.1
Pada trimester kedua, kompresi aortocava oleh pembesaran uterus menjadi
penting secara progresif, mencapai titik maksimum pada minggu ke- 36 dan 38, setelah
itu dapat menurunkan perpindahan posisi kepala fetal menuju pelvis. Penelitian
mengenai cardiac output, diukur ketika pasien berada pada posisi supine selama
minggu terakhir kehamilan, menunjukkan bahwa ada penurunan dibandingkan pada
wanita yang tidak hamil, penurunan ini tidak diobservasi ketika pasien berada dalam
posisi lateral decubitus. Sindrom hipotensi supine, yang terjadi pada 10 % wanita hamil
dikarenakan adanya oklusi pada vena yang mengakibatkan terjadinya takikardi
maternal, hipotensi arterial, penurunan kesadaran, dan pucat. Kompresi pada aorta
yang dibawah dari posisi ini mengakibatkan penurunan perfusi uteroplasental dan
mengakibatkan terjadinya asfiksia pada fetus. Oleh karena itu, perpindahan posisi
uterus dan perpindahan posisi pelvis ke arah lateral harus dilakukan secara rutin selama
trimester kedua dan ketiga dari kehamilan.1
Naiknya posisi diafragma mengakibatkan perpindahan posisi jantung dalam
dada, sehingga terlihat adanya pembesaran jantung pada gambaran radiologis dan
deviasi aksis kiri dan perubahan gelombang T pada elektrokardiogram (EKG). Pada
pemeriksaan fisik sering ditemukan adanya murmur sistrolik dan suara jantung satu
6
yang terbagi-bagi. Suara jantung tiga juga dapat terdengar. Beberapa pasien juga
terlihat mengalami efusi perikardial kecil dan asimptomatik.1
Implikasi Klinis:
Peningkatan curah jantung mungkin tidak dapat ditoleransi oleh wanita hamil dengan
penyakit katup jantung (misalnya stenosis aorta, stenosis mitral) atau penyakit jantung
koroner. Dekompensasio jantung berat dapat terjadi pada 24 minggu kehamilan,
selama persalinan, dan segera setelah melahirkan.
7
Implikasi Klinis:
Peningkatan volume darah mempunyai beberapa fungsi penting yaitu untuk memenuhi
kebutuhan akibat pembesaran uterus dan unit feto-plasenta, mengisi reservoir vena,
melindungi ibu dari perdarahan akibat melahirkan, dan karena ibu menjadi
hipercoagulabel selama proses kehamilan. Keadaan ini berlangsung sampai 8 minggu
setelah melahirkan.
8
perubahan. Pada sebagian ibu hamil, penurunan functional residual capacity tidak
menyebabkan masalah, tetapi bagi mereka yang mengalami perubahan pada closing
volume lebih awal sebagai akibat dari merokok, obesitas, atau skoliosis dapat
mengalami hambatan jalan nafas awal dengan kehamilan lanjut yang menyebabkan
hipoksemia. Manuver tredelenburg dan posisi supin juga dapat mengurangi hubungan
abnormal antara closing volume dan functional residual capacity. Volume residual dan
functional residual capacity kembali normal setelah proses persalinan.3
Implikasi Klinisnya:
1. Penurunan FRC, peningkatan ventilasi semenit, serta adanya penurunan MAC
akan menyebabkan paturien lebih sensitive terhadap anestetika inhalasi
daripada wanita yang tidak hamil.
2. Disebabkan karena peningkatan edema, vaskularisasi, fragilitas membran
mukosa, harus dihindari intubasi nasal, dan digunakan pipa endotrakhea yang
lebih kecil daripada untuk wanita yang tidak hamil.
9
Kadar normal BUN dan kreatinin parturien 40% lebih rendah dari wanita yang tidak
hamil, maka bila BUN dan kreatinin sama seperti wanita yang tidak hamil
menunjukkan adanya fungsi ginjal yang abnormal.
10
Implikasi Klinis:
Wanita hamil harus selalu dianggap lambung penuh tanpa melihat lama puasa
prabedah. Bila mungkin anestesi umum dihindari. Dianjurkan penggunaan rutin
antacid non-partikel. Perubahan gastrointestinal akan kembali dalam 6 minggu
postpartum.
11
terakhir mungkin menjadi predisposisi dalam insidensi lebih tinggi dari punksi dural
dengan anestesi epidural.
Implikasi Klinisnya:
Dosis anestestika lokal harus dikurangi. Peningkatan sensitivitas anestesi lokal yang
digunakan untuk spinal dan epidural analgesia terjadi sampai 36 jam postpartum.
12
maksimal selama masa kehamilan) dan aliran arteri uterin sangat bergantung pada
tekanan darah maternal dan curah jantung. Hasilnya, faktor yang mempengaruhi
perubahan aliran darah melalui uterus dapat memberikan efek berbahaya pada suplai
darah fetus.
Maka uterine blood flow dirumuskan sebagai berikut:
UAP-UVP
UBF=
UVR
UBF = uterine blood flow
UAP = uterine arterial pressure
UVP = uterine venous pressure
UVR = uterine vascular resistance
Aliran darah uterin menurun selama periode hipotensi maternal, dimana hal
tersebut terjadi dikarenakan hipovolemia, perdarahan, dan kompresi aortocaval, dan
blokade simpatis. Hal serupa, kontraksi uterus (kondisi yang meningkatkan frekuensi
atau durasi kontraksi uterus) dan perubahan tonus vaskular uterus yang dapat terlihat
dalam status hipertensi mengakibatkan gangguan pada aliran darah.
Implikasi Klinis:
Perhatikan obat yang menembus sawar darah plasenta.
13
2.2.2. Indikasi Seksio Sesarea
2.2.2.1 Indikasi Absolut
Menurut Norwitz (2008), indikasi absolut seksio sesarea dibagi atas:
a. Berasal dari ibu
i. Induksi persalinan yang gagal
ii. Proses persalinan tidak maju (distosia persalinan)
iii. Disproporsi sefalopelvik
b. Uteroplasenta
i. Bedah uterus sebelumnya (sesar klasik)
ii. Riwayat ruptur uterus
iii. Obstruksi jalan lahir (fibroid)
iv. Plasenta previa, abruptio plasenta berukuran besar
c. Janin
i. Gawat janin/ hasil pemeriksaan janin tidak meyakinkan
ii. Prolaps tali pusat
iii. Malpresentasi janin
2.2.2.2 Indikasi Relatif
Indikasi relatif dalam seksio sesarea terbagi atas :
a. Riwayat ibu
i. bedah sesar elektif berulang
ii. penyakit ibu
b. Uteroplasenta
i. riwayat bedah uterus sebelumnya
ii. presentasi funik pada saat persalinan
c. Janin
i. malpresentasi janin
ii. makrosomia
iii. kelainan janin
14
2.2.2.3.Kontraindikasi Seksio Sesarea
Kontraindikasi tindakan seksio sesarea meliputi infeksi piogenik dinding
abdomen, janin abnormal yang tidak dapat hidup, janin mati (kecuali untuk
menyelamatkan nyawa ibu) dan kurangnya fasilitas, perlengkapan atau tenaga yang
sesuai.
2.2.3. Teknik Seksio Sesarea
2.2.3.1Insisi Abdominal
Umumnya digunakan insisi abdomen secara midline vertikal atau transversal
suprapubik. Hanya dalam keadaan tertentu insisi paramedian atau midtransversum
digunakan.13
15
parietal diinsisi pada linea mediana. Insisi Maylard hampir serupa dengan metode
Pfannen stiel namun muskulus rektus dipotong secara transversal menggunakan pisau
bedah. Insisi ini menjadi pilihan ketika dijumpai adanya perlengketan akibat insisi
Pfannenstiel pada operasi sebelumnya. Insisi Joel-Cohen meliputi insisi transversal
yang lurus setinggi 3 cm di atas tulang simfisis dan diperdalam lapis demi lapis secara
tumpul,bila perlu digunakan gunting bukan pisau. Kemudian plica vesicouterina
digunting dan disisihkan, kemudian dibuat insisi pada segmen bawah uterus di bawah
insisi plica yang kemudian dilebarkan secara tumpul dengan arah horizontal. Insisi
Joel-Cohen berhubungan dengan waktu operasi yang singkat serta berkurangnya febris
post operatif.
16
diserap. Tutuplah dua lapisan yang lebih dalam dengan jahitan terputus atau
bersambung menggunakan benang 0 atau 00 dan lapisan yang lebih atas dengan jahitan
bersambung(atau baseball) menggunakan benang 00 atau 000.
17
2.3. Anestesi Regional untuk Seksio Sesarea
2.3.1. Anestesi Spinal
Disebut juga spinal analgesia atau subarachnoid nerve block, terjadi karena
deposit obat anestesi lokal di dalam ruangan subarachnoid. Terjadi blok saraf yang
spinalis yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris, motoris dan otonom.
Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf medula spinalis misalnya temperatur,
sakit, aktivitas otonom, rabaan, tekanan, lokalisasi rabaan, fungsi motoris dan
proprioseptif. Secara umum fungsi-fungsi tersebut dibawa oleh serabut saraf yang
berbeda dalam ketahanannya terhadap obat anestesi lokal. Oleh sebab itu ada obat
anestesi lokal yang lebih mempengaruhi sensoris daripada motoris. Blokade dari
medulla spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik ke arah sephalad.Serabut saraf
yang bermielin tebal (fungsi motoris dan propioseptif) paling resisten dan kembalinya
fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan konsentrasi tinggi obat anestesi lokal
untuk memblokade saraf tersebut.Level blokade otonom 2 atau lebih dermatom ke arah
sephalik daripada level analgesi kulit, sedangkan blokade motoris 2 sampai 3 segmen
ke arah kaudal dari level analgesi.6
18
2.3.1.2 Kontra Indikasi Absolut
Beberapa kontraindikasi absolut dari pemberian anestesi spinal.6
1. Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal menusuk pembuluh
darah, terjadi perdarahan hebat dan darah akan menekan medulla spinalis.
2. Sepsis, karena bisa terjadi meningitis.
3. Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi pergeseran otak bila terjadi
kehilangan cairan serebrospinal.
4. Bila pasien menolak.
5. Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan ditusuk jarum spinal.
6. Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia pernisiosa,
neurosyphilys, dan porphiria.
7. Hipotensi.
2.3.1.4 Anatomi
Terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral
dan 4 coccygeal. Medulla spinalis berakhir di vertebra L2, karena ditakutkan menusuk
medulla spinalis saat penyuntikan, maka spinal anestesi umumnya dilakukan setinggi
L4-L5, L3-L4, L2-L3. Ruangan epidural berakhir di vertebra S2.6.
19
Ligamen-ligamen yang memegang kolumna vertebralis dan melindungi
medulla spinalis, dari luar ke dalam adalah sebagai berikut7:
1. Ligamentum supraspinosum.
2. Ligamentum interspinosum.
3. Ligamentum flavum.
4. Ligamentum longitudinale posterior.
5. Ligamentum longitudinale anterior.
20
seorang asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan
terutama bila diinginkan sadle block.
c) Posisi Prone
Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah menginginkan posisi Jack
Knife atau prone.
3. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol, kemudian
kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.
4. Cara penusukan.
Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum,
semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi komplikasi sakit
kepala (PSH=post spinal headache), dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stylet
dari jarum spinal akan menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan
subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan spinal analgesi dibatalkan.
Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter sampai yang keluar adalah likuor
yang jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu ditunggu 1 menit, bila
jernih, masukkan obat anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan tempat
tusukan. Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat
anestesi lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).
21
2.3.1.7 Pengaturan Level Analgesia
Level anestesia yang terlihat dengan spinal anestesi adalah sebagai berikut :
level segmental untuk paralisis motoris adalah 2-3 segmen di bawah level analgesia
kulit, sedangkan blokade otonom adalah 2-6 segmen sephalik dari zone sensoris. Untuk
keperluan klinik, level anestesi dibagi atas :
1. Sadle block anesthesia : zona sensoris anestesi kulit pada segmen lumbal
bawah dan sakral.
2. Low spinal anesthesia : level anestesi kulit sekitar umbilikus (T10) dan
termasuk segmen torakal bawah, lumbal dan sakral.
3. Mid spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T6 dan zona anestesi termasuk
segmen torakal, lumbal, dan sacral.
4. High spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T4 dan zona anestesi termasuk
segmen torakal 4-12, lumbal, dan sacral.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motoris dan
hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi.7
Level anestesi tergantung dari volume obat, konsentrasi obat, barbotase,
kecepatan suntikan, valsava, tempat suntikan, peningkatan tekanan intra-abdomen,
tinggi pasien, dan gravitas larutan. Makin besar volume obat, akan semakin besar
penyebarannya, dan level anestesi juga akan semakin tinggi. Barbotase adalah
pengulangan aspirasi dari suntikan obat anestesi lokal. Bila kita mengaspirasi 0,1ml
likuor sebelum menyuntikkan obat; dan mengaspirasi 0,1ml setelah semua obat
anestesi lokal disuntikkan, akan menjamin bahwa ujung jarum masih ada di ruangan
subarakhnoid. Penyuntikan yang lambat akan mengurangi penyebaran obat sehingga
akan menghasilkan low spinal anesthesia, sedangkan suntikan yang terlalu cepat akan
menyebabkan turbulensi dalam liquor dan menghasilkan level anestesi yang lebih
tinggi. Kecepatan yang dianjurkan adalah 1ml per 3 detik.3
Berdasarkan berat jenis obat anestesi lokal yang dibandingkan dengan berat
jenis likuor, maka dibedakan 3 jenis obat anestesi lokal, yaitu hiperbarik, isobarik dan
22
hipobarik. Berat jenis liquor cerebrospinal adalah 1,003-1,006. Larutan hiperbarik :
1,023-1,035, sedangkan hipobarik 1,001- 1,002.3
Perawatan Selama pembedahan4
1. Posisi yang enak untuk pasien.
2. Kalau perlu berikan obat penenang.
3. Operator harus tenang, manipulasi tidak kasar.
4. Ukur tekanan darah, frekuensi nadi dan respirasi.
5. Perhatikan kesulitan penderita dalam pernafasan, adanya mual dan pusing.
6. Berikan oksigen per nasal.
Perawatan Pascabedah4
1. Posisi terlentang, jangan bangun / duduk sampai 24 jam pascabedah.
2. Minum banyak, 3 lt/hari.
3. Cegah trauma pada daerah analgesi.
4. Periksa kembalinya aktifitas motorik.
5. Yakinkan bahwa perasaan yang hilang dan kaki yang berat akan pulih.
6. Cegah sakit kepala, mual-muntah.
7.Perhatikan tekanan darah dan frekuensi nadi karena ada kemungkinan
penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi.
23
b) Penurunan Tekanan Sistolik dan Tekanan Arteri Rerata
Penurunan tekanan darah tergantung dari tingginya blokade simfatis. Bila
tekanan darah turun rendah sekali, terjadi risiko penurunan aliran darah otak. Bila
terjadi iskemia medulla oblongata terlihat adanya gejala mual-muntah. Tekanan darah
jarang turun > 15 mmHg dari tekanan darah asal. Tekanan darah dapat dipertahankan
dengan pemberian cairan dan atau obat vasokonstriktor. Duapuluh menit sebelum
dilakukan spinal anestesi diberikan cairan RL atau NaCl 10-15 ml/kgBB.
Vasokonstriktor yang biasa digunakan adalah efedrin. Dosis efedrin 25-50 mg i.m. atau
15-20 mg i.v. Mula kerja-nya 2-4 menit pada pemberian intravena, dan 10-20menit
pada pemberian intramuskuler. Lama kerja-nya 1 jam.
c) Penurunan denyut jantung.
Bradikardi umumnya terjadi karena penurunan pengisian jantung yang akan
mempengaruhi myocardial chronotropic stretch receptor, blokade anestesi pada serabut
saraf cardiac accelerator simfatis (T1-4). Pemberian sulfas atropin dapat meningkatkan
denyut jantung dan mungkin juga tekanan darah.
2. Sistim Respirasi
Bisa terjadi apnoe yang biasanya disebabkan karena hipotensi yang berat
sehingga terjadi iskemia medula oblongata. Terapinya : berikan ventilasi, cairan dan
vasopressor. Jarang disebabkan karena terjadi blokade motoris yang tinggi (pada radix
n.phrenicus C3-5). Kadang-kadang bisa terjadi batuk-batuk kering, maupun kesulitan
bicara.
3. Sistim Gastrointestinal
Diperlihatkan dengan adanya mual muntah yang disebabkan karena hipotensi,
hipoksia, pasien sangat cemas, pemberian narkotik, over-aktivitas parasimfatis dan
traction reflex (misalnya dokter bedah manipulasi traktus gastrointestinal).
4. Headache (PSH=Post Spinal Headache)
Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena adanya
kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang dipakai, semakin besar
24
kebocoran yang terjadi, dan semakin tinggi kemungkinan terjadinya sakit kepala
pascaspinal anestesi. Bila duramater terbuka bisa terjadi kebocoran cairan
serebrospinal sampai 1- 2minggu. Kehilangan CSF sebanyak 20ml dapat menimbulkan
terjadinya sakit kepala. Post spinal headache (PSH) ini pada 90% pasien terlihat dalam
3 hari postspinal, dan pada 80% kasus akan menghilang dalam 4 hari.
Supaya tidak terjadi postspinal headache dapat dilakukan pencegahan dengan :
1. Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no. 25,27,29).
2. Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga
jarum tidak merobek dura tetapi menyisihkan duramater.
3. Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3 hari, hal
ini akan menambah produksi CSF sebagai pengganti yang hilang.
Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan:
1. Memakai abdominal binder.
2. Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di ruang
epidural tempat kebocoran.
3. Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari. Kejadian post spinal
headache 10-20% pada umur 20-40 tahun; > 10% bila dipakai jarum besar
(no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai jarum no.22 ke atas. Wanita lebih banyak
yang mengalami sakit kepala daripada laki-laki.
5. Backache
Sakit punggung merupakan masalah setelah suntikan di daerah lumbal untuk
spinal anestesi.
6. Retensio Urinae
Penyebab retensio urine mungkin karena hal-hal-hal sebagai berikut : operasi
di daerah perineum pada struktur genitourinaria, pemberian narkotik di ruang
subarachnoid, setelah anestesi fungsi vesica urinaria merupakan yang terakhir pulih.
7. Komplikasi Neurologis Permanen
25
Jarang sekali terjadi komplikasi neurolois permanen. Hal-hal yang menurunkan
kejadiannya adalah karena : dilakukan sterilisasi panas pada ampul gelas, memakai
syringedan jarum yang disposible, spinal anestesi dihindari pada pasien dengan
penyakit sistemik, serta penerapan teknik antiseptik.
8. Chronic Adhesive Arachnoiditis
Suatu reaksi proliferasi arachnoid yang akan menyebabkan fibrosis, distorsi
serta obliterasi dari ruangan subarachnoid. Biasanya terjadi bila ada benda asing yang
masuk ke ruang subarachnoid.
26
Preoksigenasi dengan oksigen 100% mutlak harus dilakukan sebelum mulai induksi
anestesi.
Induksi yang cepat dengan tekanan Cricoid (Selluck maneuver) diikuti intubasi
endotrakeal adalah metode yang sering dilakukan.
c. Depresi Neonatus
Penyebab depresi neonatus pada anestesi umum:
1. Penyebab fisiologis
- hipoventilasi ibu
- hiperventilasi ibu
- penurunan perfusi uteroplasenta disebabkan kompresi aortocaval
2.Penyebab Farmakologis
- obat-obat induksi: pentotal (dosis 4mg/kgBB)
- pelemas otot: succynilcholine
- rendahnya konsentrasi oksigen
-N2O dosis tinggi (>50%) dan obat anestesi inhalasi lainnya
- efek memanjangnya interval induction-delivery dan uterine incision-delivery
d. Awareness
Masalah utama anestesi umum untuk seksio sesarea adalah kejadian awarnss karena
kita memakai dosis kecil dan kosentrasi rendah obat anestesi untuk mengurangi efek
pada foetus. Kejadian awareness sekitar 17-36%. Penggunaan konsentrasi kecil
volatile anesthetic dapat mencegah awareness dan recall tanpa efek yang jelek pada
neonates atau perdarahan uterus yang banyak.
27
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas
Nama : Ny.VS
Umur : 35 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 65 kg
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
Alamat : Jl. Maleo
No. Rekam Medik : 519800
Tanggal Operasi : 16 Agustus 2018
B. S-O-A-P
1. Subjektif :
1. Keluhan Utama : Nyeri perut
Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke RSU Anutapura dengan
G3P2A0 usia 35 tahun hamil 34-35 minggu, mengeluh nyeri perut bagian
bawah sejak 1 yang lalu. Terdapat bercak darah yang keluar dari vagina dan
sedikit lendir. Pusing (+), mual (+), muntah (-), sakit kepala (+), BAB dan BAK
lancar.
2. Riwayat penyakit dahulu:
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat penyakit hipertensi (+) saat kehamilan anak pertama dan kedua
Riwayat penyakit asma (-)
Riwayat alergi obat dan makanan(-)
Riwayat diabetes melitus (-)
28
Riwayat trauma atau kecelakaan (-)
2. Objektif :
Pemeriksaan Fisik : (B1-B6)
B1 (Breath):Airway :
• Inspeksi : Pengembangan dada simetris, retraksi (-)
• Palpasi : Vokal Fremitus kanan=kiri
• Perkusi : Sonor kiri sama dengan kanan
• Auskultasi :Bunyi napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
• RR : 20 x/menit.
B2 (Blood):
TD : 150/110 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi :Ictus cordis teraba pada SIC V linea
midclavicula (S)
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi :S1 dan S2 murni regular, bising (-)
29
B3 (Brain): Kesadaran : CM ( Compos Mentis )
Mata : Mata cekung (-/-), Conjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil
isokor diameter± 2.5 mm.
Telinga : Discharge (-)
Hidung : Discharge (-), epistaksis (-)
Mulut : Sianosis (-) bibir kering (+), mukosa membran
kering (+), pembesaran tonsil (-), skor
Mallampati 2.
Pemeriksaan leher : simetris, tidak ada deviasi trakea, pembesaran
kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar
tiroid (-).
B4 (Bladder): BAK via kateter (+), warna :kuning muda
B5 (bowel)
• Inspeksi : Cembung, tidak terdapat jejas
• Auskultasi : bising usus (+)
• Perkusi : Bunyi : Timpani
Asites : (-)
• Palpasi : Nyeri tekan (-), hepatomegali (-),
splenomegali (-).
B6 Back &Bone :tidak ada batasan aktivitas.
Ekstremitas : akral hangat, pucat (-), edema (-), turgor < 3 detik, CRT 3
detik.
30
BJF: 144x/menit
Leopold 1: 3 jari di bawah processus xiphoideus
Leopold 2: punggung kiri
Leopold 3: presentasi kepala
Leopold 4: konvergen
Pitting edema : tidak ada pada ektremitas atas dan bawah
31
Tabel 3. Hasil Laboratorium Seroimmunologi
Hasil Rujukan
HbsAg Non-reaktif Non-reaktif
Anti HIV Non reaktif Non reaktif
32
Hasil Pemeriksaan Penunjang
USG
Gravid tunggal intrauterine, DJ (+) 156x/menit. Letak kepala
Placenta pada copus uteri anterior dengan kalsifikasi
Cairan amnion kurang, AFI 10 cm
Estimasi kasar usia ehamilan 36 – 37 minggu
Estimasi berat janin 3011 gr
Elektrokardiograf
Synus rhythm, Heart rate 80x/menit, gelombang P normal, axis normal, PR
interval 0,16 detik, LVH (-)
3. Assesment
Status fisik ASA III
Observasi urin dan TTV
Acc. Anestesi
Diagnosis pra-bedah : G3P2A0 +Gravid 34-35 minggu + BKS SC 2x
+ KPD + PEB
4. Plan
Terapi
IVFD RL 28 tetes/menit
Pronalges supp/8jam
Dexamethasone 5mg/IV/6jam
Nifedipin tab 10mg/8jam
Hystolan tab 20mg/12jam
Ranitidin 50mg/IV/8jam
33
Jenis anestesi : Regional Anastesi
Teknik anestesi : SAB (Subarachnoid Block Anastesi)
Jenis pembedahan : Seksio sesarea transperitoneal profunda
Laporan Anestesi
a) Diagnosis pra-bedah : G3P2A0 +Gravid 34-35 minggu + BKS SC 2x +
KPD + PEB
b) Diagnosis post-bedah : Post tindakan seksio sesarea
c) Jenis pembedahan : Seksio sesarea
d) Persiapan anestesi : Informed consent
e) Jenis anestesi : Regional Anastesi
f) Teknik anestesi : SAB
g) Premedikasi anestesi : Ranitidin 50 mg
Ondansentron 4 mg
Bupivacain 0,5% 12,5 mg
h) Medikasi tambahan : Ketorolac 30 mg
Asam traneksamat 250 mg
Oxytosin 20 IU
Dexamethason 5 mg
i) Maintenance : O2 4 lpm. Efedrin saat TD <25%
j) Posisi : Supinasi
k) Respirasi : Spontan
l) Anestesi mulai : 09.00 WITA
m) Operasi mulai : 09.05 WITA
n) Lama operasi : 60 menit
o) Lama anestesi : 1 jam 15 menit
34
Persiapan pasien preoperatif :
IVFD RL 300 ml
Persiapan di kamar operasi :
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :
Meja operasi dengan aksesoris yang diperlukan.
Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.
Obat-obat anastesia yang diperlukan.
Obat-obat resusitasi, misalnya ; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.
Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse
Oxymeter” dan “Capnograf”.
Kartu catatan medik anesthesia
Evaluasi ulang status present pasien :
- Nadi: 90 x/menit
- Respirasi: 20 x/menit
Intra Operatif
Laporan Anestesi Durante Operatif
Jenis anestesi : Anestesi Regional
Lama anestesi : 09.00 – 10.15 (1 jam 15 menit)
Lama operasi : 09.05 – 10.05 (1 jam)
Anestesiologi : dr. Ajutor Donny Tandiarang, Sp.An
Ahli Bedah : dr. Djemi, Sp.OG
Posisi : Supine
Infus : 1 line di tangan kiri
35
Hasil Monitoring Intraoperatif
Monitoring Anestesi
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
Keterangan:
: Mulai anestesi
: Mulai operasi
: Operasi selesai
: Anestesi selesai (sign out)
36
Tabel 5. Pemantauan Tanda-Tanda Vital selama Operasi
Pukul Tekanan Darah Nadi Saturasi Terapi
(WITA) (mmHg) (kali/menit) Oksigen
(SpO2)
09.00 150/90 70 100 % Anestesi regional
SAB spinal dengan
bupivacaine
Hyperbaric 0,5%
12,5mg
Ondansentron 4 mg
Ranitidin 50 mg
Ketorolac 30 mg
09.05 156/98 67 100 %
09.10 158/96 68 100 %
09.15 149/88 82 100 % Oksitosin 10 IU
Asam Traneksamat
250mg
Dexamethason 5mg
09.20 155/98 68 100 %
09.25 140/88 62 100 % Oksitosin 10 IU
09.30 138/82 72 100 %
09.35 154/98 68 100 %
09.40 130/82 65 100 %
09.45 140/92 68 100 %
09.50 153/100 69 100 %
09.55 155/100 72 100 %
10.00 158/90 68 100 %
10.05 156/88 70 100 %
37
Pukul Tekanan Darah Nadi Saturasi Terapi
(WITA) (mmHg) (x/menit) Oksigen
(SpO2)
10.10 158/90 70 100 %
10.15 158/92 72 100%
Terapi Cairan :
BB : 65 kg
EBV : 65 ml/kgBB x 65 kg = 4225 ml
Jumlah perdarahan : ±200 ml
% perdarahan : 200/4225 x 100% = 4.7 %
Pemberian Cairan
Cairan masuk :
- Pre operatif : Kristaloid RL 300 ml
- Durante operatif:
o Koloid Gelofusin 500 ml x 3 = 1500 ml
o Kistaloid RL 200 ml
Total input cairan : 2000 ml
Cairan keluar :
Durante operatif
- Perdarahan ± 200 ml
- Urin ± 500 ml
Total output cairan : ± 700 ml
38
Perhitungan Cairan
a. Input yang diperlukan selama operasi :
1. Cairan maintanance (M) : (4 x 10) + (2 x 10) + (1 x 45) = 40 + 20 +
45 = 105 ml/jam
2. Cairan defisit pengganti puasa (P) : lama puasa x maintenance = 8 x
105 = 840 ml
3. Cairan masuk puasa: jumlah infus (TPM) x lama puasa (menit)/20 =
28 x 480 / 20 = 672 ml
Cairan defisit puasa – cairan masuk puasa = 840 – 672 = 168 ml
4. Stress Operasi Besar : 8 ml x 65 kg = 520 ml
5. Cairan defisit darah selama operasi = 200 ml x 3 = 600 ml
Untuk mengganti kehilangan darah 200 ml diperlukan 600 ml cairan
kristaloid.
Total kebutuhan cairan selama 1 jam operasi = maintenance + deficit cairan
selama puasa + stress operasi + jumlah perdarahan + urin= 105 + 168 +
520 + 600 + 500 = 1893 ml
b. Cairan masuk :
Kristaloid : 300 ml +200 ml = 500 ml
Koloid : 500 ml x 3 = 1500 ml
Whole blood : -
Total cairan masuk : 2000 ml
c. Keseimbangan kebutuhan:
Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 2000 ml – 1893 ml = 207 ml
Post Operatif
Pemantauan di Recovery Room :
a. Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik. Pada pasien TD: 150/90 mmHg.
nadi: 76x/menit, respirasi: 20x/menit
b. Berikan antibiotik profilaksis, antiemetic, H2 reseptor bloker dan analgetik
39
c. Bila Bromage Score ≤ 2 boleh pindah ruangan. Pada pasien didapatkan skor
2
d. Mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), boleh makan dan minum sedikit –
sedikit.
40
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien pada kasus ini, dilakukan tindakan bedah berupa Operasi seksio sesaria.
Sebelum dilakukan tindakan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang meliputi
anamesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan status fisik
ASA dan risiko operasi. Pada pasien ini termasuk ASA III, karena pasien datang
dengan penyakit sistemik berat yaitu ditemukannya preeklampsia berat dengan tekanan
darah 150/110 mmHg dan memiliki riwayat hipertensi saat kehamilan anak pertama
dan kedua (preeklampsia) yang berarti pasien memiliki penyakit berat yang tidak
terkontrol, score mallapati 2.
Proses persalinan dengan cara sectio caesarea dapat menggunakan anestesi
umum dan regional. Jenis anestesi yang dipilih pada pasien ini adalah regional anestesi
teknik SAB. Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang aman, terutama pada
operasi di daerah umbilikus ke bawah. Teknik anestesi ini memiliki kelebihan dari
anestesi umum, yaitu kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek
samping yang minimal pada biokimia darah, pasien tetap sadar dan jalan nafas terjaga,
serta penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.
41
tidak diketahui, koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-
kasus pseudotumor cerebri. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada
tempat tusukan (misalnya, infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan
lama operasi yang tidak diketahui.Selain itu teknik ini dipilih karena selain lebih murah
juga efek sistemiknya lebih rendah dibanding anestesi umum.
42
Gambar 4. Anestesi Spinal
Persiapan pasien sebelumnya harus dilakukan dengan memberi informasi
tentang tindakan anestesi spinal (informed consent) meliputi pentingnya tindakan ini
dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah
kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi.
Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis.
Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus disiapkan lengkap untuk monitor
pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat
anestesi spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di
dalam lumennya dan ukuran 16G sampai dengan 30G, pada pasien ini digunakan
ukuran 27 G. Obat anestesi lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain,
atau bupivakain. Berat jenis obat anestesi lokal mempengaruhi aliran obat dan
perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari
berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat
gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke
atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat
penyuntikan.
43
Tabel 6. Beberapa Jenis Obat Anestesi Lokal yang dipakai pada Anestesi Spinal
Pada pasien ini obat anestesi yang digunakan adalah bupivakain hyperbaric
0,5% dengan dosis 12,5 mg. Bupivakain bekerja menstabilkan membran neuron
dengan cara menginhibisi perubahan ionik secara terus menerus yang diperlukan dalam
memulai dan menghantarkan impuls. Kemajuan anestesi yang berhubungan dengan
diameter, mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang terkena
menunjukkan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut : otonomik, nyeri, suhu, raba,
propriosepsi, tonus otot skelet. Eliminasi bupivakain terjadi di hati dan melalui
pernafasan (paru-paru).
Obat bupivakain segera setelah penyuntikan subarakhnoid akan mengalami
penurunan konsentrasi dengan secara bertahap karena terjadinya: dilusi dan
pencampuran di liquor serebro spinalis, difusi dan distribusi oleh jaringan saraf, uptake
dan fiksasi oleh jaringan saraf, absorbsi dan eliminasi oleh pembuluh darah. Didalam
ruang subarakhnoid obat akan kontak dengan struktur jaringan saraf dan obat ini akan
memblokade transmisi impuls serabut-serabut saraf. Aktivitas anestesi lokal dalam
ruang subarakhnoid yang penting di akar-akar saraf di medula spinalis (primer),
ganglia dorsalis dan sinap-sinap di kornu anterior dan posterior (sekunder) dan traktus
asenden dan desenden parenkim di medula spinalis.
44
Saat bayi telah dilahirkan dan plasenta diklem diberikan oxytocin 20 IU (2
ampul), 10 UI diberikan secara bolus IV dan 10 IU diberikan per-drip. Pemberian
oksitosin bertujuan untuk mencegah perdarahan dengan merangsang kontraksi uterus
secara ritmik atau untuk mempertahankan tonus uterus post partum, dengan waktu
partus 3-5 menit .
Pada pasien ini berikan cairan infus RL sebagai cairan fisiologis untuk
mengganti cairan dan elektrolit yang hilang. Geosulfin juga diberikan untuk
mempertahankan circulating blood volume. Pasien sudah tidak makan dan minum ±
8jam, maka kebutuhan cairan pada pasien ini :
BB = 65 kg
Cairan defisit pengganti puasa (P) : lama puasa x maintenance = 8 x 105 = 840 ml
Cairan masuk puasa: jumlah infus (TPM) x lama puasa (menit)/20 = 28 x 480 / 20 =
672 ml
45
Untuk mengganti kehilangan darah 200 ml diperlukan 600 ml cairan kristaloid.
Total kebutuhan cairan selama 1 jam operasi = maintenance + deficit cairan selama
puasa + stress operasi + jumlah perdarahan + urin= 105 + 168 + 520 + 600 + 500 =
1893 ml
Pemberian Cairan :
46
DAFTAR PUSTAKA
2. Dobson MB. Penuntun Praktis Anestesi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta:
1988.
47