Anda di halaman 1dari 48

Refleksi Kasus November 2018

MANAJEMEN ANESTESI REGIONAL SPINAL


PADA OPERASI SECTIO CAESARIA DENGAN
INDIKASI EKLAMPSIA

Disusun Oleh:
ELFIRA MADBA
N 111 17 066

Pembimbing Klinik:
dr. Imtihanah Amri, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Elfira Madba


No. Stambuk : N111 17 066
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Universitas Tadulako
Judul Laporan Kasus : Manajemen Anestesi Regional Spinal Pada Operasi Sectio
Caesaria dengan Indikasi Eklampsia

Bagian Anestesiologi
RSUD UNDATA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, November 2018


Pembimbing Mahasiswa

dr. Imtihanah Amri, Sp. An Elfira Madba

2
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Anestesi secara umum adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh. Namun obat-obat anestesi tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan
tetapi juga menghilangkan kesadaran. Selain itu, juga diperlukan relaksasi otot yang
optimal agar operasi dapat berjalan dengan lancar.1
Anestesi umum adalah tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara
menghilangkan nyeri secara sentral, disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih
kembali atau reversibel. Pada anestesi umum harus memenuhi beberapa hal ini yaitu
hipnotik, analgesi, relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot
sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan, stabilisasi otonom.1
Beberapa istilah yang dipakai seringkali memusingkan karena mempunyai
penafsiran banyak, akibat perbedaan latar belakang, dan mungkin berbeda dari
penafsirannya secara umum.1
Anestesi adalah istilah yang di turunkan dari dua kata Yunani yaitu "an” dan
"esthesia", dan bersama-sama berarti "hilangnya rasa atau hilangnya sensasi”. Para
ahli saraf memberikan makna pada istilah tersebut sebagai kehilangan rasa secara
patologis bagian tubuh tertentu. Istilah anestesi dikemukakan pertama kali Oliver
Wendell Holmes 1809-1894) untuk proses "eterisasi" Morton (1846), untuk
menggambarkan keadaan pengurangan nyeri sewaktu pembedahan. Pada saat ini, bila
digunakan kata tunggal anestesi berarti anestesi umum. Anestesi umum adalah
keadaan tak sadar tanpa nyeri (dengan reflek otonomik minimal) yang reversible
akibat pemberian obat-obatan. Anestesi inhalasi, anestesi intravena, anestesi
intravaskular, anestesi perrektal adalah sub bagian dari anestesi umum, dan kata
"menerangkan" menunjukkan jalur masuknya obat ke dalam tubuh untuk
menghasilkan anestesi umum. Anestesi lokal (atau mungkin lebih tepat analgesi

3
lokal) menunjukkan anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa
kehilangan kesadaran kecuali digunakan teknik anestesi gabungan anestesi umum dan
anestesi lokal atau digunakan sedasi. Anestesi regional (atau mungkin lebih tepat
analgesi regional) seringkali digunakan sebagai sinonim anestesi lokal, lebih
menunjukkan akibat blokade saraf pleksus, medulla spinalis yang jauh dari daerah
yang di buat tidak peka.1
Analgesi adalah kata yang berarti hilangnya atau bebas dari nyeri. Istilah ini
pada masa kini menunjukkan makna ganda. Pertama, untuk menunjukkan proses
penderita bebas dari nyeri tanpa kehilangan kesadaran. Kedua, dipergunakan oleh
beberapa pakar dalam kaitannya dengan istilah anestesi untuk menunjukkan anestesi
lokal atau regional obat analgesi dibagi ke dalam dua kelompok yakni golongan
NSAID dan golongan opioid, yang bekerja di perifer atau sentral, sedangkan obat
untuk melakukan analgesi lokal adalah kelompok obat analgesi lokal, seperti prokain,
lidokain dan bupivakain.1
Hipnosis mempunyai makna kata berupa keadaan menjadi tidur. Seringkali
hipnosis diartikan sebagai komponen pertama trias anestesi. keadaan tak sadar, tidur
secara farmakologik yang tetap bereaksi terhadap nyeri dengan reflek penarikan diri
atau reflek otonomik, jika penderita tidak cukup di berikan analgetik. Hipnosis adalah
istilah yang ditimbulkan oleh hipnotism, yakni penurunan sifat kritis seseorang akibat
hipnotism.1
Narkosis, seringkali diartikan sebagai komponen pertama trias anestesi,
keadaan tak sadar, tidur secara farmakologi oleh obat anestesi umum. Istilah ini
mungkin lebih tepat dibandingkan hipnosis, tetapi narkosis seringkali diartikan
sebagai akibat pemberian obat narkotik (opioid).1
Sectio Caesaria adalah suatu tindakan pembedahan dengan melakukan irisan
pada dinding abdomen dan uterus yang bertujuan untuk melahirkan bayi. Proses
persalinan dengan cara sectio caesarea dapat menggunakan anestesi umum dan
regional. Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang aman, terutama pada
operasi di daerah umbilikus ke bawah. Teknik anestesi ini memiliki kelebihan dari

4
anestesi umum, yaitu kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek
samping yang minimal pada biokimia darah, pasien tetap sadar dan jalan nafas
terjaga, serta penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.2
Subarachnoid Spinal Block, sebuah prosedur anestesi yang efektif dan bisa
digunakan sebagai alternatif dari anestesi umum. Umumnya digunakan pada operasi
bagian bawah tubuh seperti ekstremitas bawah, perineum, atau abdomen bawah.3,4
Pada laporan ini akan membahas tentang pemberian anestesi pada pasien yang
dilakukan tindakan sectio caesarea.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perubahan Fisiologis Ibu Hamil


Pada masa kehamilan ada beberapa perubahan pada hampir semua sistem
organ pada maternal. Perubahan ini diawali dengan adanya sekresi hormon dari
korpus luteum dan plasenta. Efek mekanis pada pembesaran uterus dan kompresi dari
struktur sekitar uterus memegang peranan penting pada trimester kedua dan ketiga.
Perubahan fisiologis seperti ini memiliki implikasi yang relevan bagi dokter anestesi
untuk memberikan perawatan bagi pasien hamil. Perubahan yang relevan meliputi
perubahan fungsi hematologi, kardiovaskular, ventilasi, metabolik, dan
gastrointestinal.1
2.1.1. Berat Badan dan Komposisi
Berat badan (BB) rata-rata meningkat selama kehamilan kira-kira 17% dari
BB sebelum hamil atau kira-kira 12 kg. Penambahan berat badan adalah akibat dari
peningkatan ukuran uterus dan isi uterus (uterus 1 kg, cairan amnion 1 kg, fetus dan
plasenta 4 kg), peningkatan volume darah dan cairan interstitial (masing-masing 2
kg), dan lemak serta protein baru kira-kira 4 kg. Penambahan BB normal selama
trimester pertama adalah 1-2 kg dan masing-masing 5-6 kg pada trimester 2 dan 3.
Implikasi Klinisnya:
Konsumsi oksigen meningkat sehingga harus diberikan oksigen sebelum
induksi anestesi umum. Penusukan spinal atau epidural anestesi menjadi lebih sulit.
Karena penambahan berat badan dan penambahan besar buah dada kemungkinan
menimbulkan kesulitan intubasi.
2.1.2. Perubahan Kardiovaskular
Sistem kardiovaskular beradaptasi selama masa kehamilan terhadapbeberapa
perubahan yang terjadi. Meskipun perubahan sistem kardiovaskular terlihat pada awal
trimester pertama, perubahan pada sistem kardiovaskular berlanjut ke trimester kedua
dan ketiga, ketika cardiac output meningkat kurang lebih sebanyak 40 % daripada

6
pada wanita yang tidak hamil. Cardiac output meningkat dari minggu kelima
kehamilan dan mencapai tingkat maksimum sekitar minggu ke-32 kehamilan, setelah
itu hanya mengalami sedikit peningkatan sampai masa persalinan, kelahiran, dan
masa post partum. Sekitar 50% peningkatan dari cardiac output telah terjadi pada
masa minggu kedelapan kehamilan. Meskipun, peningkatan dari cardiac output
dikarenakan adanya peningkatan dari volume sekuncup dan denyut jantung, faktor
paling penting adalah volume sekuncup, dimana meningkat sebanyak 20% sampai
50% lebih banyak daripada pada wanita tidak hamil. Perubahan denyut jantung
sangat sulit untuk dihitung, tetapi diperkirakan ada peningkatan sekitar 20% yang
terlihat pada minggu keempat kehamilan. Meskipun, angka normal dalam denyut
jantung tidak berubah dalam masa kehamilan, adanya terlihat penurunan komponen
simpatis.1
Pada trimester kedua, kompresi aortocava oleh pembesaran uterus menjadi
penting secara progresif, mencapai titik maksimum pada minggu ke- 36 dan 38,
setelah itu dapat menurunkan perpindahan posisi kepala fetal menuju pelvis.
Penelitian mengenai cardiac output, diukur ketika pasien berada pada posisi supine
selama minggu terakhir kehamilan, menunjukkan bahwa ada penurunan dibandingkan
pada wanita yang tidak hamil, penurunan ini tidak diobservasi ketika pasien berada
dalam posisi lateral decubitus. Sindrom hipotensi supine, yang terjadi pada 10 %
wanita hamil dikarenakan adanya oklusi pada vena yang mengakibatkan terjadinya
takikardi maternal, hipotensi arterial, penurunan kesadaran, dan pucat. Kompresi pada
aorta yang dibawah dari posisi ini mengakibatkan penurunan perfusi uteroplasental
dan mengakibatkan terjadinya asfiksia pada fetus. Oleh karena itu, perpindahan posisi
uterus dan perpindahan posisi pelvis ke arah lateral harus dilakukan secara rutin
selama trimester kedua dan ketiga dari kehamilan.1
Naiknya posisi diafragma mengakibatkan perpindahan posisi jantung dalam
dada, sehingga terlihat adanya pembesaran jantung pada gambaran radiologis dan
deviasi aksis kiri dan perubahan gelombang T pada elektrokardiogram (EKG). Pada
pemeriksaan fisik sering ditemukan adanya murmur sistrolik dan suara jantung satu

7
yang terbagi-bagi. Suara jantung tiga juga dapat terdengar. Beberapa pasien juga
terlihat mengalami efusi perikardial kecil dan asimptomatik.1
Implikasi Klinis:
Peningkatan curah jantung mungkin tidak dapat ditoleransi oleh wanita hamil
dengan penyakit katup jantung (misalnya stenosis aorta, stenosis mitral) atau penyakit
jantung koroner. Dekompensasio jantung berat dapat terjadi pada 24 minggu
kehamilan, selama persalinan, dan segera setelah melahirkan.
2.1.3. Perubahan Hematologi
Volume darah maternal mulai meningkat pada awal masa kehamilan sebagai
akibat dari perubahan osmoregulasi dan sistem renin- angiotensin, menyebabkan
terjadinya retensi sodium dan peningkatan dari total body water menjadi 8,5 L. Pada
masanya, volume darah meningkat sampai 45 % dimana volume sel darah merah
hanya meningkat sampai 30%. Perbedaan peningkatan ini dapat
menyebabkanterjadinya ”anemia fisiologis” dalam kehamilan dengan hemoglobin
rata rata 11.6 g/dl dan hematokrit 35.5%. Bagaimanapun, transpor oksigen tidak
terganggu oleh anemia relatif ini, karena tubuh sang ibu memberikan kompensasi
dengan cara meningkatkan curah jantung, peningkatan PaO2, dan pergeseran ke
kanan dari kurva disosiasi oxyhemoglobin.1
Kehamilan sering diasosiasikan dengan keadaan hiperkoagulasi yang
memberikan keuntungan dalam membatasi terjadinya kehilangan darah saat proses
persalinan. Konsentrasi fibrinogen dan faktor VII,VIII, IX,X,XII, hanya faktor XI
yang mungkin mengalami penurunan. Fibrinolisis secara cepat dapat diobservasi
kemudian pada trimester ketiga. Sebagai efek dari anemia dilusi, leukositosis dan
penurunan dari jumlah platelet sebanyak 10 % mungkin saja terjadi selama trimester
ketiga. Karena kebutuhan fetus, anemia defisiensi folat dan zat besi mungkin saja
terjadi jika suplementasi dari zat gizi ini tidak terpenuhi. Imunitas sel ditandai
mengalami penurunan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi viral.1
Implikasi Klinis:

8
Peningkatan volume darah mempunyai beberapa fungsi penting yaitu untuk
memenuhi kebutuhan akibat pembesaran uterus dan unit feto-plasenta, mengisi
reservoir vena, melindungi ibu dari perdarahan akibat melahirkan, dan karena ibu
menjadi hipercoagulabel selama proses kehamilan. Keadaan ini berlangsung sampai 8
minggu setelah melahirkan.

2.1.4. Perubahan Sistem Respirasi


Adaptasi respirasi selama kehamilan dirancang untuk mengoptimalkan
oksigenasi ibu dan janin, serta memfasilitasi perpindahan produk sisa CO2 dari janin
ke ibu.1
Konsumsi oksigen dan ventilasi semenit meningkat secara progresif selam
masa kehamilan. Volume tidal dan dalam angka yang lebih kecil, laju pernafasan
meningkat. Pada aterm konsumsi oksigen akan meningkat sekitar 20-50% dan
ventilasi semenit meningkat hingga 50%. PaCO2 menurun sekitar 28-32mm Hg.
Alkalosis respiratorik dihindari melalui mekanisme kompensasi yaitu penurunan
konsentrasi plasma bikarbonat. Hiperventilasi juga dapat meningkatkan PaO2 secara
perlahan. Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat mengurangi efek hiperventilasi dalam
afinitas hemoglobin dengan oksigen. Tekanan parsial oksigen dimana hemoglobin
mencapai setengah saturasi ketika berikatan dengan oksigen meningkat dari 27 ke 30
mm Hg. hubungan antara masa akhir kehamilan dengan peningkatan curah jantung
memicu perfusi jaringan.2
Posisi dari diafragma terdorong ke atas akibat dari pembesaran uterus dan
umumnya diikuti pembesaran dari diameter anteroposterior dan transversal dari
cavum thorax. Mulai bulan ke lima, expiratory reserve volume, residual volume,dan
functional residual capacity menurun, mendekati akhir masa kehamilan menurun
sebanyak 20 % dibandingkan pada wanita yang tidak hamil. Secara umum, ditemukan
peningkatan dari inspiratory reserve volume sehingga kapasitas paru total tidak
mengalami perubahan. Pada sebagian ibu hamil, penurunan functional residual
capacity tidak menyebabkan masalah, tetapi bagi mereka yang mengalami perubahan

9
pada closing volume lebih awal sebagai akibat dari merokok, obesitas, atau skoliosis
dapat mengalami hambatan jalan nafas awal dengan kehamilan lanjut yang
menyebabkan hipoksemia. Manuver tredelenburg dan posisi supin juga dapat
mengurangi hubungan abnormal antara closing volume dan functional residual
capacity. Volume residual dan functional residual capacity kembali normal setelah
proses persalinan.3
Implikasi Klinisnya:
1. Penurunan FRC, peningkatan ventilasi semenit, serta adanya penurunan MAC
akan menyebabkan paturien lebih sensitive terhadap anestetika inhalasi
daripada wanita yang tidak hamil.
2. Disebabkan karena peningkatan edema, vaskularisasi, fragilitas membran
mukosa, harus dihindari intubasi nasal, dan digunakan pipa endotrakhea yang
lebih kecil daripada untuk wanita yang tidak hamil.

2.1.5. Perubahan Sistem Renal


Vasodilatasi renal mengakibatkan peningkatan aliran darah renal pada awal
masa kehamilan tetapi autoregulasi tetap terjaga. Ginjal umumnya membesar.
Peningkatan dari renin dan aldosterone mengakibatkan terjadinya retensi sodium.
Aliran plasma renal dan laju filtrasi glomerulus meningkat sebanyak 50% selama
trimester pertama dan laju filtrasi glomerulus menurun menuju ke batas normal pada
trimester ketiga. Serum kreatinin dan Blood Urea Nitrogen (BUN) mungkin menurun
menjadi 0.5-0.6 mg/dL dan 8-9mg/dL. Penurunan threshold dari tubulus renal untuk
glukosa dan asam amino umum dan sering mengakibatkan glukosuria ringan(1-
10g/dL) atau proteinuria (<300 mg/dL). Osmolalitas plasma menurun sekitar 8-10
mOsm/kg.4
Implikasi Klinis:
Kadar normal BUN dan kreatinin parturien 40% lebih rendah dari wanita yang tidak
hamil, maka bila BUN dan kreatinin sama seperti wanita yang tidak hamil
menunjukkan adanya fungsi ginjal yang abnormal.

10
2.1.6. Perubahan pada Sistem Gastrointestinal
Fungsi gastrointestinal dalam masa kehamilan dan selama persalinan menjadi
topik yang kontroversial. Namun, dapat dipastikan bahwa traktus gastrointestinal
mengalami perubahan anatomis dan fisiologis yang meningkatkan resiko terjadinya
aspirasi yang berhubungan dengan anestesi general.5
Refluks gastroesofagus dan esofagitis adalah umum selama masa kehamilan.
Disposisi dari abdomen ke arah atas dan anterior memicu ketidakmampuan dari
sfingter gastroesofagus. Peningkatan kadar progestron menurunkan tonus dari
sfingter gastroesofagus, dimana sekresi gastrin dari plasenta menyebabkan
hipersekresi asam lambung. Faktor tersebut menempatkan wanita yang akan
melahirkan pada resiko tinggi terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal. Tekanan
intragaster tetap tidak mengalami perubahan. Banyak pendapat yang menyatakan
mengenai pengosongan lambung. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
pengosongan lambung normal bertahan sampai masa persalinan. Di samping
itu,hampir semua ibu hamil memiliki pH lambung di bawah 2.5 dan lebih dari 60%
dari mereka memiliki volume lambung lebih dari 25mL. kedua faktor tersbut telah
dihubungkan memiliki resiko terhadap terjadinya aspirasi pneumonitis berat. Opioid
dan antikolinergik menurunkan tekanan sfingter esofagus bawah, dapat memfasilitasi
terjadinya refluks gastroesofagus dan penundaan pengosongan lambung. Efek
fisiologis ini bersamaan dengan ingesti makanan terakhir sebelum proses persalinan
dan penundaan pengosongan lambung mengakibatkan nyeri persalinan dan
merupakan faktor predisposisi pada ibu hamil akan terjadinya muntah dan mual.

Implikasi Klinis:
Wanita hamil harus selalu dianggap lambung penuh tanpa melihat lama puasa
prabedah. Bila mungkin anestesi umum dihindari. Dianjurkan penggunaan rutin
antacid non-partikel. Perubahan gastrointestinal akan kembali dalam 6 minggu
postpartum.

11
2.1.7. Perubahan Sistem Saraf Pusat dan Perifer
Konsentrasi alveolar minimum menurun secara progresif selama masa
kehamilan. Pada masa aterm menurun sekitar 40% untuk semua anestesi general.
Namun, konsentrasi alveolar minimum kembali normal pada hari ketiga pasca
kelahiran. Perubahan kadar hormon maternal dan opioid endogen telah dibuktikan.
Progestron yang memiliki efek sedasi ketika diberikan dalam dosis farmakologis,
meningkat sekitar 20 kali lebih tinggi daripada normal pada masa aterm dan
kemungkinan berefek kecil dalam observasi. Peningkatan secara signifikan kadar
endorfin juga memegang peranan penting dalam masa persalinan dan kelahiran.1
Wanita hamil menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap kedua jenis anestesi
baik regional maupun general. Dari awal periode pemasukan anestesi secara
neuraxial, wanita hamil membutuhkan lebih sedikit anestesi lokal daripada wanit
yang tidak hamil untuk mencapai level dermatom sensorik yang diberikan.4
Minimum local analgesic concentration (MLAC) digunakan dalam anestesi obstetrik
untuk membandingkan potensi relatif dari anestesi lokal dan MLAC didefinisikan
sebagai median dari konsentrasi analgesik efektif dalam 20 ml volume untuk analgesi
epidural dalam periode awal persalinan. Obstruksi dari vena cava inferior karena
pembesaran uterus mengakibatkan distensi dari vena pleksus epidural dan
meningkatkan volume darah epidural. Yang mendekati masa akhir kehamilan
menghasilkan tiga efek mayor: (1) penurunan volume cairan serebrospinal, (2)
penurunan volume potensial dari ruang epidural, (3) peningkatan tekanan ruang
epidural. Dua efek awal memicu penyebaran sefalad dari cairan anestesi lokal selama
anestesi spinal dan epidural, dimana efek yang terakhir mungkin menjadi predisposisi
dalam insidensi lebih tinggi dari punksi dural dengan anestesi epidural.
Implikasi Klinisnya:
Dosis anestestika lokal harus dikurangi. Peningkatan sensitivitas anestesi lokal yang
digunakan untuk spinal dan epidural analgesia terjadi sampai 36 jam postpartum.

12
2.1.8. Perubahan Sistem Muskoloskeletal
Kenaikan kadar relaksin selama masa kehamilan membantu persiapan
kelahiran dengan melemaskan serviks, menghambat kontraksi uterus, dan relaksasi
dari simfisis pubis dan sendi pelvik. Relaksasi ligamen menyebabkan peningkatan
risiko terjadinya cedera punggung. Kemudian dapat berkontribusi dalam insidensi
nyeri punggung dalam kehamilan.
Implikasi Klinis:
Relaksasi ligament dan jaringan kolagen dari columna vertebralis merupakan sebab
utama dari terjadinya lordosis selama kehamilan, yang menyulitkan dilakukan spinal
atau epidural analgesi.

2.1.9. Sirkulasi Uteroplasental


Sirkulasi uteroplasental normal sangat dibutuhkan dalam perkembangan dan
perawatan untuk fetus yang sehat. Insufiensi sirkulasi uteroplasental dapat menjadi
penyebab utama dalam retardasi pertumbuhan fetal intrauterin dan ketika menjadi
parah dapat mengakibatkan kematian fetus. Integrasi dari sirkulasi bergantung pada
aliran darah uterus yang adekuat dan fungsi normal plasenta.11 Aliran darah uterin
meningkat secara progresif selama kehamilan dan mencapai nilai rata rata antara
500ml sampai 700ml di masa aterm.
Aliran darah melalui pembuluh darah uterus sangat tinggi dan memiliki
resistensi rendah. Perubahan dalam resistensi terjadi setelah 20 minggu masa gestasi.
Aliran darah uterus kurang memiliki mekanisme autoregulasi (pembuluh darah
dilatasi maksimal selama masa kehamilan) dan aliran arteri uterin sangat bergantung
pada tekanan darah maternal dan curah jantung. Hasilnya, faktor yang mempengaruhi
perubahan aliran darah melalui uterus dapat memberikan efek berbahaya pada suplai
darah fetus.
Maka uterine blood flow dirumuskan sebagai berikut:
UAP-UVP
UBF=

13
UVR
UBF = uterine blood flow
UAP = uterine arterial pressure
UVP = uterine venous pressure
UVR = uterine vascular resistance
Aliran darah uterin menurun selama periode hipotensi maternal, dimana hal
tersebut terjadi dikarenakan hipovolemia, perdarahan, dan kompresi aortocaval, dan
blokade simpatis. Hal serupa, kontraksi uterus (kondisi yang meningkatkan frekuensi
atau durasi kontraksi uterus) dan perubahan tonus vaskular uterus yang dapat terlihat
dalam status hipertensi mengakibatkan gangguan pada aliran darah.
Implikasi Klinis:
Perhatikan obat yang menembus sawar darah plasenta.

2.2. Seksio Sesarea


2.2.1. Definisi
Seksio sesarea merupakan lahirnya janin melalui insisi dinding abdomen
(laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi). Definisi ini tidak mencakup
pengeluaran janin pada kasus ruptur uteri atau pada kasus kehamilan abdomen.

2.2.2. Indikasi Seksio Sesarea


2.2.2.1 Indikasi Absolut
Menurut Norwitz (2008), indikasi absolut seksio sesarea dibagi atas:
a. Berasal dari ibu
i. Induksi persalinan yang gagal
ii. Proses persalinan tidak maju (distosia persalinan)
iii. Disproporsi sefalopelvik

14
b. Uteroplasenta
i. Bedah uterus sebelumnya (sesar klasik)
ii. Riwayat ruptur uterus
iii. Obstruksi jalan lahir (fibroid)
iv. Plasenta previa, abruptio plasenta berukuran besar
c. Janin
i. Gawat janin/ hasil pemeriksaan janin tidak meyakinkan
ii. Prolaps tali pusat
iii. Malpresentasi janin
2.2.2.2 Indikasi Relatif
Indikasi relatif dalam seksio sesarea terbagi atas :
a. Riwayat ibu
i. bedah sesar elektif berulang
ii. penyakit ibu

b. Uteroplasenta
i. riwayat bedah uterus sebelumnya
ii. presentasi funik pada saat persalinan
c. Janin
i. malpresentasi janin
ii. makrosomia
iii. kelainan janin
2.2.2.3.Kontraindikasi Seksio Sesarea
Kontraindikasi tindakan seksio sesarea meliputi infeksi piogenik dinding
abdomen, janin abnormal yang tidak dapat hidup, janin mati (kecuali untuk
menyelamatkan nyawa ibu) dan kurangnya fasilitas, perlengkapan atau tenaga yang
sesuai.

15
2.2.3. Teknik Seksio Sesarea
2.2.3.1Insisi Abdominal
Umumnya digunakan insisi abdomen secara midline vertikal atau transversal
suprapubik. Hanya dalam keadaan tertentu insisi paramedian atau midtransversum
digunakan.13

2.2.3.2 Insisi Abdominal Vertikal


Abdomen biasanya dimasuki melalu insisi vertikal garis tengah yang rendah
meskipun kadang-kadang insisi abdominal transversal dapat digunakan untuk seksio
sesarea klasik. Insisi garis tengah biasanya mengikuti linea nigra dan memanjang dari
umbilikus sampai simfisis pubis. Setelah menginsisi jaringan subkutan, insisilah rafe
garis tengah secara tajam dan masuki peritoneum parietal dengan diseksi tajam.
Umumnya, setelah melakukan insisi vertikal dilakukan penjahitan pada lapisan
peritoneal dengan poliglikolik 00 atau 0. Jaringan fasia ditutup dengan jahitan
terputus menggunakan benang berukuran 0 yang dapat diserap atau tidak dapat
diserap. Setelah jaringan subkutan didekatkan kembali, kulit ditutup.

2.2.3.3 Insisi Abdominal Transversal


Selain metode insisi abdominal pada linea mediana dikenal juga metode insisi
abdominal transversal. Metode Pfannenstiel, Maylard, dan Joel-Cohen , merupakan
metode seksio sesarea yang menggunakan insisi transversal pada dinding abdomen.
Insisi Pfannenstiel meliputi insisi transversal semi lengkung (curved) setinggi 2 jari di
atas tulang simfisis pubis, muskulus rektus dipisahkan secara tumpul dan peritoneum
parietal diinsisi pada linea mediana. Insisi Maylard hampir serupa dengan metode
Pfannen stiel namun muskulus rektus dipotong secara transversal menggunakan pisau
bedah. Insisi ini menjadi pilihan ketika dijumpai adanya perlengketan akibat insisi
Pfannenstiel pada operasi sebelumnya. Insisi Joel-Cohen meliputi insisi transversal
yang lurus setinggi 3 cm di atas tulang simfisis dan diperdalam lapis demi lapis
secara tumpul,bila perlu digunakan gunting bukan pisau. Kemudian plica

16
vesicouterina digunting dan disisihkan, kemudian dibuat insisi pada segmen bawah
uterus di bawah insisi plica yang kemudian dilebarkan secara tumpul dengan arah
horizontal. Insisi Joel-Cohen berhubungan dengan waktu operasi yang singkat serta
berkurangnya febris post operatif.

2.2.3.4 Insisi Uterus


Pada umumnya insisi pada uterus dibuat pada segmen bawah rahim secara
transversal seperti dinyatakan oleh Kerr pada tahun 1921 atau seperti yang dinyatakan
oleh Kronig pada tahun 1912. Segmen bawah uterus relatif kurang vaskular
dibandingkan korpus uteri, sehingga diharapkan perdarahan yang terjadi tidak seberat
dibandingkan pada seksio sesarea secara klasik. Insisi lain yaitu insisi klasik,
merupakan insisi vertikal pada korpus uteri hingga ke fundus dan insisi ini jarang
digunakan. Insisi pada segmen bawah rahim mempunyai keuntungan yaitu hanya
membutuhkan sedikit pembebasan kandung kemih dari myometrium.

2.2.3.5 Seksio Sesarea Klasik


Indikasi seksio sesarea klasik adalah plasenta previa, letak janin melintang
atau oblik dan jika persalinan cepat sangat penting. Seksio sesarea klasik merupakan
tindakan paling sederhana. Buatlah insisi vertikal pada bagian bawah korpus uteri
melalui peritoneum viseral ke dalam miometrium. Setelah masuk ke dalam kavum
uteri , perluaslah insisi ke arah kaudal dan kranial dengan gunting perban. Lahirkan
bayi, plasenta, dan selaput ketuban. Tutuplah insisi dengan tiga lapis jahitan yang
dapat diserap. Tutuplah dua lapisan yang lebih dalam dengan jahitan terputus atau
bersambung menggunakan benang 0 atau 00 dan lapisan yang lebih atas dengan
jahitan bersambung(atau baseball) menggunakan benang 00 atau 000.

17
2.2.4. Komplikasi Seksio Sesarea
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada kasus seksio sesarea.
a. Kematian Ibu.
Angka kematian ibu pada seksio sesarea adalah 40-80/100.000, meningkat
sebanyak 25 kali angka kematian ibu pada persalinan per vaginam.
b. Kesakitan Ibu selama Operasi.
Komplikasi pembedahan selama seksio sesarea berkisar di atas 11% (kira-kira
80% minor dan 20% mayor). Komplikasi mayor meliputi trauma pada kandung
kemih, laserasi sampai serviks atau vagina, laserasi korpus uteri, laserasi melalui
ismus ke ligamentum latum, laserasi pada kedua arteri uterina, trauma usus dan
trauma pada bayi dengan sekuele. Komplikasi minor meliputi transfusi darah, trauma
pada bayi tanpa sekuele, laserasi minor pada isus dan kesulitan melahirkan.
c. Kesakitan Ibu Pascaoperasi
Kesakitan pasca seksio sesarea kira-kira sebesar 15 % dan sekitar 90% di
antaranya disebabkan oleh infeksi (endometitis, infeksi saluran kemih, sepsis karena
luka). Komplikasi lebih banyak terjadi pada kasus seksio darurat kira kira 25%
sedangkan pada kasus elektif hanya 5%. Predisposisi terjadi kesakitan pasca operasi
adalah lamanya pecah selaput ketuban sebelum operasi, lama persalinan sebelum
operasi, anemia dan obesitas. Komplikasi non infeksi pasca bedah yang lazin (< 10%
total komplikasi) meliputi ileus paralitik, perdarahan intraabdominal, paresis kandung
kemih, trombosis dan gangguan paru.

2.3. Anestesi Regional untuk Seksio Sesarea


2.3.1. Anestesi Spinal
Disebut juga spinal analgesia atau subarachnoid nerve block, terjadi karena
deposit obat anestesi lokal di dalam ruangan subarachnoid. Terjadi blok saraf yang
spinalis yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris, motoris dan otonom.
Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf medula spinalis misalnya temperatur,
sakit, aktivitas otonom, rabaan, tekanan, lokalisasi rabaan, fungsi motoris dan

18
proprioseptif. Secara umum fungsi-fungsi tersebut dibawa oleh serabut saraf yang
berbeda dalam ketahanannya terhadap obat anestesi lokal. Oleh sebab itu ada obat
anestesi lokal yang lebih mempengaruhi sensoris daripada motoris. Blokade dari
medulla spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik ke arah sephalad.Serabut saraf
yang bermielin tebal (fungsi motoris dan propioseptif) paling resisten dan kembalinya
fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan konsentrasi tinggi obat anestesi lokal
untuk memblokade saraf tersebut.Level blokade otonom 2 atau lebih dermatom ke
arah sephalik daripada level analgesi kulit, sedangkan blokade motoris 2 sampai 3
segmen ke arah kaudal dari level analgesi.6

2.3.1.1 Indikasi Spinal Anestesi


Beberapa indikasi dari pemberian anestesi spinal.6
1. Operasi ekstrimitas bawah, baik operasi jaringan lunak, tulang atau pembuluh
darah.
2. Operasi di daerah perineal: Anal, rectum bagian bawah, vaginal, dan urologi.
3. Abdomen bagian bawah: Hernia, usus halus bagian distal, appendik, rectosigmoid,
kandung kencing, ureter distal, dan ginekologis
4. Abdomen bagian atas: Kolesistektomi, gaster, kolostomi transversum. Tetapi
spinal anestesi untuk abdomen bagian atas tidak dapat dilakukan pada semua
pasien sebab dapat menimbulkan perubahan fisiologis yang hebat.
5. Seksio Sesarea (Caesarean Section).
6. Prosedur diagnostik yang sakit, misalnya anoskopi, dan sistoskopi.

2.3.1.2 Kontra Indikasi Absolut


Beberapa kontraindikasi absolut dari pemberian anestesi spinal.6
1. Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal menusuk pembuluh
darah, terjadi perdarahan hebat dan darah akan menekan medulla spinalis.
2. Sepsis, karena bisa terjadi meningitis.

19
3. Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi pergeseran otak bila
terjadi kehilangan cairan serebrospinal.
4. Bila pasien menolak.
5. Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan ditusuk jarum
spinal.
6.Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia pernisiosa,
neurosyphilys, dan porphiria.
7. Hipotensi.

2.3.1.3 Kontra Indikasi Relatif


Beberapa kontraindikasi relatif dalam pemberian anestesi spinal.6
1. Pasien dengan perdarahan.
2. Problem di tulang belakang.
3. Anak-anak.
4. Pasien tidak kooperatif, psikosis.
2.3.1.4 Anatomi
Terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5
sakral dan 4 coccygeal. Medulla spinalis berakhir di vertebra L2, karena ditakutkan
menusuk medulla spinalis saat penyuntikan, maka spinal anestesi umumnya
dilakukan setinggi L4-L5, L3-L4, L2-L3. Ruangan epidural berakhir di vertebra S2.6.
Ligamen-ligamen yang memegang kolumna vertebralis dan melindungi
medulla spinalis, dari luar ke dalam adalah sebagai berikut7:
1. Ligamentum supraspinosum.
2. Ligamentum interspinosum.
3. Ligamentum flavum.
4. Ligamentum longitudinale posterior.
5. Ligamentum longitudinale anterior.

2.3.1.5 Teknik Spinal Anestesi

20
Anestesi spinal dan epidural dapat dilakukan jika peralatan monitor yang
sesuai dan pada tempat dimana peralatan untuk manajemen jalan nafas dan resusitasi
telah tersedia. Sebelum memosisikan pasien, seluruh peralatan untuk blok spinal
harus siap untuk digunakan, sebagai contoh, anestesi lokal telah dicampur dan siap
digunakan, jarum dalam keadaan terbuka, cairan preloading sudah disiapkan.
Persiapan alat akan meminimalisir waktu yang dibutuhkan untuk anestesi blok dan
kemudian meningkatkan kenyamanan pasien.7
Adapun teknik dari anestesi spinal adalah sebagai berikut7:
1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika kita visite
pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya
kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan untuk spinal
anestesi.
2. Posisi pasien
a) Posisi Lateral
Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm, lutut dan paha fleksi
mendekati perut, kepala ke arah dada.
b) Posisi duduk
Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis, tetapi pada pasien-
pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan
seorang asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan
terutama bila diinginkan sadle block.
c) Posisi Prone
Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah menginginkan posisi Jack
Knife atau prone.
3. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol, kemudian
kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.
4. Cara penusukan.
Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum,
semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi komplikasi sakit

21
kepala (PSH=post spinal headache), dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stylet
dari jarum spinal akan menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum ada di
ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan spinal analgesi
dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter sampai yang keluar
adalah likuor yang jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu ditunggu
1 menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan
tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik
obat anestesi lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).

2.3.1.6 Obat-obat yang dipakai


Obat anestesi lokal yang biasa dipakai untuk spinal anestesi adalah lidokain,
bupivakain, levobupivakain, prokain, dan tetrakain. Lidokain adalah suatu obat
anestesi lokal yang poten, yang dapat memblokade otonom, sensoris dan motoris.
Lidokain berupa larutan 5% dalam 7,5% dextrose, merupakan larutan yang
hiperbarik. Mula kerjanya 2 menit dan lama kerjanya 1,5 jam. Dosis rata-rata 40-
50mg untuk persalinan, 75- 100mg untuk operasi ekstrimitas bawah dan abdomen
bagian bawah, 100- 150mg untuk spinal analgesia tinggi. Lama analgesi prokain < 1
jam, lidokain ± 1-1,5 jam, tetrakain 2 jam lebih.7
2.3.1.7 Pengaturan Level Analgesia
Level anestesia yang terlihat dengan spinal anestesi adalah sebagai berikut :
level segmental untuk paralisis motoris adalah 2-3 segmen di bawah level analgesia
kulit, sedangkan blokade otonom adalah 2-6 segmen sephalik dari zone sensoris.
Untuk keperluan klinik, level anestesi dibagi atas :
1. Sadle block anesthesia : zona sensoris anestesi kulit pada segmen lumbal
bawah dan sakral.
2. Low spinal anesthesia : level anestesi kulit sekitar umbilikus (T10) dan
termasuk segmen torakal bawah, lumbal dan sakral.
3. Mid spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T6 dan zona anestesi
termasuk segmen torakal, lumbal, dan sacral.

22
4. High spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T4 dan zona anestesi
termasuk segmen torakal 4-12, lumbal, dan sacral.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motoris dan
hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi.7
Level anestesi tergantung dari volume obat, konsentrasi obat, barbotase,
kecepatan suntikan, valsava, tempat suntikan, peningkatan tekanan intra-abdomen,
tinggi pasien, dan gravitas larutan. Makin besar volume obat, akan semakin besar
penyebarannya, dan level anestesi juga akan semakin tinggi. Barbotase adalah
pengulangan aspirasi dari suntikan obat anestesi lokal. Bila kita mengaspirasi 0,1ml
likuor sebelum menyuntikkan obat; dan mengaspirasi 0,1ml setelah semua obat
anestesi lokal disuntikkan, akan menjamin bahwa ujung jarum masih ada di ruangan
subarakhnoid. Penyuntikan yang lambat akan mengurangi penyebaran obat sehingga
akan menghasilkan low spinal anesthesia, sedangkan suntikan yang terlalu cepat akan
menyebabkan turbulensi dalam liquor dan menghasilkan level anestesi yang lebih
tinggi. Kecepatan yang dianjurkan adalah 1ml per 3 detik.3
Berdasarkan berat jenis obat anestesi lokal yang dibandingkan dengan berat
jenis likuor, maka dibedakan 3 jenis obat anestesi lokal, yaitu hiperbarik, isobarik dan
hipobarik. Berat jenis liquor cerebrospinal adalah 1,003-1,006. Larutan hiperbarik :
1,023-1,035, sedangkan hipobarik 1,001- 1,002.3
Perawatan Selama pembedahan4
1. Posisi yang enak untuk pasien.
2. Kalau perlu berikan obat penenang.
3. Operator harus tenang, manipulasi tidak kasar.
4. Ukur tekanan darah, frekuensi nadi dan respirasi.
5. Perhatikan kesulitan penderita dalam pernafasan, adanya mual dan pusing.
6. Berikan oksigen per nasal.

Perawatan Pascabedah4
1. Posisi terlentang, jangan bangun / duduk sampai 24 jam pascabedah.

23
2. Minum banyak, 3 lt/hari.
3. Cegah trauma pada daerah analgesi.
4. Periksa kembalinya aktifitas motorik.
5. Yakinkan bahwa perasaan yang hilang dan kaki yang berat akan pulih.
6. Cegah sakit kepala, mual-muntah.
7.Perhatikan tekanan darah dan frekuensi nadi karena ada kemungkinan
penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi.

2.3.1.8 Komplikasi / Masalah Anestesi Spinal


Beberapa komplikasi terkait pemberian anestesi spinal.3
1. Sistim Kardiovaskuler
a) Penurunan resistensi perifer
1. Vasodilatasi arteriol dan arteri terjadi pada daerah yang diblokade akibat
penurunan tonus vasokonstriksi simfatis.
2. Venodilatasi akan menyebabkan peningkatan kapasitas vena dan venous return.
3. Proksimal dari daerah yang diblokade akan terjadi mekanisme kompensasi, yakni
terjadinya vasokonstriksi.
b) Penurunan Tekanan Sistolik dan Tekanan Arteri Rerata
Penurunan tekanan darah tergantung dari tingginya blokade simfatis. Bila
tekanan darah turun rendah sekali, terjadi risiko penurunan aliran darah otak. Bila
terjadi iskemia medulla oblongata terlihat adanya gejala mual-muntah. Tekanan darah
jarang turun > 15 mmHg dari tekanan darah asal. Tekanan darah dapat dipertahankan
dengan pemberian cairan dan atau obat vasokonstriktor. Duapuluh menit sebelum
dilakukan spinal anestesi diberikan cairan RL atau NaCl 10-15 ml/kgBB.
Vasokonstriktor yang biasa digunakan adalah efedrin. Dosis efedrin 25-50 mg i.m.
atau 15-20 mg i.v. Mula kerja-nya 2-4 menit pada pemberian intravena, dan 10-
20menit pada pemberian intramuskuler. Lama kerja-nya 1 jam.
c) Penurunan denyut jantung.

24
Bradikardi umumnya terjadi karena penurunan pengisian jantung yang akan
mempengaruhi myocardial chronotropic stretch receptor, blokade anestesi pada
serabut saraf cardiac accelerator simfatis (T1-4). Pemberian sulfas atropin dapat
meningkatkan denyut jantung dan mungkin juga tekanan darah.
2. Sistem Respirasi
Bisa terjadi apnoe yang biasanya disebabkan karena hipotensi yang berat
sehingga terjadi iskemia medula oblongata. Terapinya : berikan ventilasi, cairan dan
vasopressor. Jarang disebabkan karena terjadi blokade motoris yang tinggi (pada
radix n.phrenicus C3-5). Kadang-kadang bisa terjadi batuk-batuk kering, maupun
kesulitan bicara.
3. Sistem Gastrointestinal
Diperlihatkan dengan adanya mual muntah yang disebabkan karena hipotensi,
hipoksia, pasien sangat cemas, pemberian narkotik, over-aktivitas parasimfatis dan
traction reflex (misalnya dokter bedah manipulasi traktus gastrointestinal).
4. Headache (PSH=Post Spinal Headache)
Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena adanya
kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang dipakai, semakin
besar kebocoran yang terjadi, dan semakin tinggi kemungkinan terjadinya sakit
kepala pascaspinal anestesi. Bila duramater terbuka bisa terjadi kebmmocoran cairan
serebrospinal sampai 1- 2minggu. Kehilangan CSF sebanyak 20ml dapat
menimbulkan terjadinya sakit kepala. Post spinal headache (PSH) ini pada 90%
pasien terlihat dalam 3 hari postspinal, dan pada 80% kasus akan menghilang dalam 4
hari.
Supaya tidak terjadi postspinal headache dapat dilakukan pencegahan dengan :
1. Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no. 25,27,29).
2. Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga
jarum tidak merobek dura tetapi menyisihkan duramater.
3. Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3 hari, hal
ini akan menambah produksi CSF sebagai pengganti yang hilang.

25
Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan:
1. Memakai abdominal binder.
2. Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di ruang
epidural tempat kebocoran.
3. Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari. Kejadian post spinal
headache 10-20% pada umur 20-40 tahun; > 10% bila dipakai jarum besar
(no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai jarum no.22 ke atas. Wanita lebih
banyak yang mengalami sakit kepala daripada laki-laki.
5. Backache
Sakit punggung merupakan masalah setelah suntikan di daerah lumbal untuk
spinal anestesi.
6. Retensio Urinae
Penyebab retensio urine mungkin karena hal-hal-hal sebagai berikut : operasi
di daerah perineum pada struktur genitourinaria, pemberian narkotik di ruang
subarachnoid, setelah anestesi fungsi vesica urinaria merupakan yang terakhir pulih.
7. Komplikasi Neurologis Permanen
Jarang sekali terjadi komplikasi neurolois permanen. Hal-hal yang
menurunkan kejadiannya adalah karena : dilakukan sterilisasi panas pada ampul
gelas, memakai syringedan jarum yang disposible, spinal anestesi dihindari pada
pasien dengan penyakit sistemik, serta penerapan teknik antiseptik.
8. Chronic Adhesive Arachnoiditis
Suatu reaksi proliferasi arachnoid yang akan menyebabkan fibrosis, distorsi
serta obliterasi dari ruangan subarachnoid. Biasanya terjadi bila ada benda asing yang
masuk ke ruang subarachnoid.

26
2.3.2. Anestesi Umum untuk Seksio Sesarea
Keuntungan anestesi umum adalah induksinya cepat, mudah dikendalikan,
kegagalan anestesi tidak ada, dapat menghindari terjadinya hipotensi. Kerugiannya
adalah kemungkinal adanya aspirasi, masalah pengelolaan jalan nafas, bayi terkena
obat-obat narkotik serta ada kemungkinan awareness.
a. Maternal Aspirasi
Aspirasi pneumonia akibat aspirasi cairan lambung disebut sebagai
Mendelson syndrome, maka penting sekali menetralkan asam lambung. Tetapi
pemberian antacid jangan berbentuk partikel. Glycopyrrolate suatu antichlonergic
dapat menurunkan sekresi gaster, tetapi dapat menyebabkan relaksasi sphincter
gastrooesophageal, sehingga meningkatkan resiko regurgitasi dan aspirasi. Cimetidin
dan ranitidine suatu histamib (H2) reseptor antagonis dapat menghambat sekresi asam
lambung dan menurunkan volume gaster. Metoclopramid dapat meningkatkan
motilitas gaster dan karena itu tonus sphincter oesephagus menigkat, sering diberikan
sebelum anestesi umum pada seksio sesarea. Metoclopramide juga berefek anti
emetic sentral yang bekerja di chemoreceptor trigger zone (CTZ).
b. Pengelolaan jalan nafas
Penurunan saturasi O2 pada parturien lebih cepat daripada pasien-pasien yang
tidak hamil. Hal ini dihubungkan dengan penigkatan konsumsi O2 dan penuruan FRC.
Preoksigenasi dengan oksigen 100% mutlak harus dilakukan sebelum mulai induksi
anestesi.
Induksi yang cepat dengan tekanan Cricoid (Selluck maneuver) diikuti
intubasi endotrakeal adalah metode yang sering dilakukan.
c. Depresi Neonatus
Penyebab depresi neonatus pada anestesi umum:
1. Penyebab fisiologis
- hipoventilasi ibu

27
- hiperventilasi ibu
- penurunan perfusi uteroplasenta disebabkan kompresi aortocaval
2.Penyebab Farmakologis
- obat-obat induksi: pentotal (dosis 4mg/kgBB)
- pelemas otot: succynilcholine
- rendahnya konsentrasi oksigen
-N2O dosis tinggi (>50%) dan obat anestesi inhalasi lainnya
- efek memanjangnya interval induction-delivery dan uterine incision-delivery
d. Awareness
Masalah utama anestesi umum untuk seksio sesarea adalah kejadian awarnss karena
kita memakai dosis kecil dan kosentrasi rendah obat anestesi untuk mengurangi efek
pada foetus. Kejadian awareness sekitar 17-36%. Penggunaan konsentrasi kecil
volatile anesthetic dapat mencegah awareness dan recall tanpa efek yang jelek pada
neonates atau perdarahan uterus yang banyak.

28
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Ny. M
Umur : 42 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 65 kg
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Alamat : Donggala
Tanggal Operasi : 06 November 2018

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama : Kejang
Riwayat penyakit sekarang : Pasien rujukan dari RS Kabelota datang ke
RSU Anutapura dengan G3P1A1 usia 42 tahun masuk dengan keluhan kejang
saat perjalanan ke RSU Anutapura. Pasien sebelum mengalami kejang
mengeluhkan sakit kepala hebat, nyeri ulu hati (+), Gangguan Penglihatan (-).
Nyeri perut bagian bawah tembus belakang (-). Pelepasan darah (-), lendir (-),
dan air (-). Pusing (+), mual (+), muntah (-), sakit kepala (+), BAB dan BAK
lancar.
2. Riwayat penyakit dahulu:
 Riwayat penyakit jantung (-)
 Riwayat penyakit hipertensi(-)
 Riwayat penyakit asma (-)
 Riwayat alergi obat dan makanan(-)

29
 Riwayat diabetes melitus (-)
 Riwayat trauma atau kecelakaan (-)
Riwayat penyakit keluarga :
- Riwayat penyakit darah tinggi : tidak ada
- Riwayat penyakit DM : tidak ada
- Riwayat penyakit alergi : tidak ada
- Riwayat penyakit asma : tidak ada

1. Objektif :
 Pemeriksaan Fisik : (B1-B6)
B1 (Breath):Airway :
• Inspeksi : Pengembangan dada simetris, retraksi (-)
• Palpasi : Vokal Fremitus kanan=kiri
• Perkusi : Sonor kiri sama dengan kanan
• Auskultasi :Bunyi napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
• RR : 20 x/menit.

B2 (Blood):
 TD : 170/110 mmHg
 Nadi : 88 x/menit
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi :Ictus cordis teraba pada SIC V linea
midclavicula (S)
 Perkusi : Batas jantung normal
 Auskultasi :S1 dan S2 murni regular, bising (-)
B3 (Brain): Kesadaran : CM ( Compos Mentis )

30
 Mata : Mata cekung (-/-), Conjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil
isokor diameter± 2.5 mm.
 Telinga : Discharge (-)
 Hidung : Discharge (-), epistaksis (-)
 Mulut : Sianosis (-) bibir kering (+), mukosa membran
kering (+), pembesaran tonsil (-), skor
Mallampati 2.
 Pemeriksaan leher : simetris, tidak ada deviasi trakea, pembesaran
kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar
tiroid (-).
B4 (Bladder): BAK via kateter (+), warna :kuning muda

B5 (bowel)
• Inspeksi : Cembung, tidak terdapat jejas
• Auskultasi : bising usus (+)
• Perkusi : Bunyi : Timpani
Asites : (-)
• Palpasi : Nyeri tekan (-), hepatomegali (-),
splenomegali (-).
B6 Back &Bone :tidak ada batasan aktivitas.
Ekstremitas : akral hangat, pucat (-), edema (+/+), turgor < 3 detik, CRT 3
detik.
Mallampati : II
ASA : III

Status Obstetri dan Ginekologi


Pemeriksaan Luar

31
Tinggi Fundus Uteri: 23 cm Lingkar Perut: - cm TBJ: - gram
BJF: 132x/menit
Leopold 1: 23 cm
Leopold 2: punggung kanan
Leopold 3: presentasi kepala
Leopold 4: konvergen
Pitting edema : ada pada ektremitas bawah

 Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Tabel 1. Hasil Laboratorium Darah Lengkap
Hasil Rujukan Satuan
Hemoglobin 13,1 L: 13-17, P: 11-15 g/dl
Leukosit 21 4.000-10.000 /mm3
Eritrosit 4,4 L: 4.5-6.5 P: 3.9-5.6 Juta/ul
Hematokrit 37,5 L: 40-54 P: 35-47 %
Trombosit 131.000 150.000-500.000 /mm3
Waktu
7” 4-12 m.det
pembekuan
Waktu perdarahan 2” 1-4 m.det

Tabel 2. Hasil Laboratorium Kimia Darah

Hasil Rujukan Satuan


GDS 77 74 – 100 mg/dl

Tabel 3. Hasil Laboratorium Seroimmunologi

Hasil Rujukan
HbsAg Non-reaktif Non-reaktif

32
Anti HIV Non reaktif Non reaktif

Tabel 4. Hasil Laboratorium Pemeriksaan Urine

Hasil Rujukan
PH 6.0 4.8 – 8.0
BJ 1.025 1.003 – 1.022
Protein +3 Negatif
Reduksi Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Blood +3 Negatif
Leukosit Negatif Negatif
Vitamin C Negatif Negatif
Sedimen
Leukosit 2–3 0–5
Eritrosit TDK TERHITUNG 0–3
Kristal Negatif Negatif
Granula Negatif Negatif
Epitel Sel + Negatif
Hyfa Negatif Negatif
Amoeba Negatif Negatif

33
 Elektrokardiograf
Synus rhythm, Heart rate 88x/menit, gelombang P normal, axis normal, PR
interval 0,16 detik, LVH (-)

2. Assesment
 Status fisik ASA III (E)
 Observasi urin dan TTV
 Acc. Anestesi
 Diagnosis pra-bedah : G3P1A1 Gravid 32-33 minggu, Belum inpartu,
Eklampsia + Calon akseptor kontap
3. Plan
Terapi
 IVFD RL + MgSO4 40% 28 tetes/menit
 Piracetam 3 gr / 8 jam / iv
 Dexamethasone 5mg/IV/6jam
 Nifedipin tab 3x10 mg
 Pro SCTP CITO

Jenis anestesi : Regional Anastesi


Teknik anestesi : SAB (Subarachnoid Block Anastesi)
Jenis pembedahan :Seksio sesarea transperitoneal profunda +
Tubektomi

Laporan Anestesi
a) Diagnosis pra-bedah : G3P1A1 Gravid 32-33 minggu, Belum inpartu,
Eklampsia + Calon akseptor kontap
b) Diagnosis post-bedah : Post tindakan seksio sesarea
c) Jenis pembedahan : Seksio sesarea
d) Persiapan anestesi : Informed consent

34
e) Jenis anestesi : Regional Anastesi
f) Teknik anestesi : SAB
g) Premedikasi anestesi : Ranitidin 50 mg
Ondansentron 4 mg
Bupivacain 0,5% 12,5 mg
h) Medikasi tambahan : Ketorolac 30 mg
Asam traneksamat 250 mg
Oxytosin 20 IU
Dexamethason 5 mg
i) Maintenance : O2 4 lpm. Efedrin saat TD <25%
j) Posisi : Supinasi
k) Respirasi : Spontan
l) Anestesi mulai : 11.15 WITA
m) Operasi mulai : 11.22 WITA
n) Lama operasi : 60 menit
o) Lama anestesi : 1 jam 10 menit

Persiapan pasien preoperatif :


IVFD RL 300 ml
Persiapan di kamar operasi :
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :
 Meja operasi dengan aksesoris yang diperlukan.
 Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.
 Obat-obat anastesia yang diperlukan.
 Obat-obat resusitasi, misalnya ; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
 Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
 Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.

35
 Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse
Oxymeter” dan “Capnograf”.
 Kartu catatan medik anesthesia
 Evaluasi ulang status present pasien :
- Nadi: 90 x/menit
- Respirasi: 20 x/menit

Persiapan Anestesi Spinal


- Pasien masuk diruang operasi dengan terpasang iv line dengan cairan RL 300
cc ditangan sebelah kiri
- Pasien di tidurkan dengan posisi supine dimeja operasi kemudian dipasangkan
monitor ECG, Saturasi oksogen, Nasal Canul, Manset.
- Menyiapkan sarung tangan steril untuk prosedur spinal
- Memposisikan pasien dengan posisi LLD (Lateral Dcubitus) dan identifikasi
interspace Vert. L 3-4, Kemudian Desinfeksi
- Insersi Spinocan no 27 G, LCS (+) Mengalir, darah(-)
- Injeksi Bupivacaine 0,5% 12,5 mg Via Spinocan
- Kembali ke posisi supine dan lakukan tes sensorik
- Setelah selasai dilakukan tes, Pasien siaap di lakukan operasi.
Intra Operatif
Laporan Anestesi Durante Operatif
 Jenis anestesi : Anestesi Regional
 Lama anestesi : 11.15 – 12.25 (1 jam 10 menit)
 Lama operasi : 11.22 – 12.22 (1 jam)
 Anestesiologi : dr. Ajutor Donny Tandiarang, Sp.An
 Ahli Bedah : dr. Abdul Faris, Sp.OG (K)
 Posisi : Supine
 Infus : 1 line di tangan kiri

36
Monitoring Anestesi

180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
Pukul 11,15 11,20 11,25 11,30 11,35 11,40 11,45 11,50 11,55 12,00 12,05
(WITA)

Sistolik Nadi Diastolik

Hasil Monitoring Intraoperatif


Gambar 1. Monitoring Anestesi
Keterangan:
: Mulai anestesi
: Mulai operasi
: Operasi selesai
: Anestesi selesai (sign out)

37
Tabel 5. Pemantauan Tanda-Tanda Vital selama Operasi
Pukul Tekanan Darah Nadi Saturasi Terapi
(WITA) (mmHg) (kali/menit) Oksigen
(SpO2)
11.15 158/105 98 100 % Anestesi regional
SAB spinal dengan
bupivacaine
Hyperbaric 0,5%
12,5mg
Ondansentron 4 mg
Ranitidin 50 mg
11.20 118/68 101 100 %
11.25 115/69 92 100 %
11.30 110/64 102 100 %
11.35 85/60 100 100 % Efedrin 10 mg
11.40 115/68 105 100 % Oksitosin 10 IU
11.45 110/69 102 100 %
11.50 120/72 108 100 % Asam traneksamat
250 mg
11.55 128/75 98 100 %
12.00 125/76 89 100 %
12.05 132/81 97 100 %
12.10 128/82 95 100 %
12.15 126/80 92 100 %
12.20 135/84 104 100 % Ketorolac 30 mg
12.25 138/88 102 100 %

38
Terapi Cairan :
BB : 65 kg
EBV : 65 ml/kgBB x 65 kg =4225 ml
Jumlah perdarahan : ±250 ml
% perdarahan : 250/4225 x 100% = 5.9 %

𝐻𝑐𝑡 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 − 𝐻𝑐𝑡 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟


𝑀𝐴𝐵𝐿 = 𝐸𝐵𝑉 ×
(𝐻𝑐𝑡 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 + 𝐻𝑐𝑡 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 )/ 2
37,5−30 7,5
= 4225 × (37,5+30)/ 2
= 4225 × 33,7
= 940 𝑚𝑙

Pemberian Cairan
 Cairan masuk :
- Pre operatif : Kristaloid RL 300 ml
- Durante operatif:
o Koloid Gelofusin 500 ml
o Kistaloid RL 500 ml
Total input cairan : 1300 ml
 Cairan keluar :
Durante operatif
- Perdarahan ± 250 ml
- Urin ±550 ml
Total output cairan : ± 800 ml
Perhitungan Cairan
a. Input yang diperlukan selama operasi :
1. Cairan maintanance (M) : (4 x 10) + (2 x 10) + (1 x 45) = 40 + 20 +
45 = 105 ml/jam
2. Cairan defisit pengganti puasa (P) : lama puasa x maintenance = 8 x
105 = 840 ml
3. Cairan masuk puasa: jumlah infus (TPM) x lama puasa (menit)/20 =
28 x 480 / 20 = 672ml

39
Cairan defisit puasa – cairan masuk puasa = 840 – 672 = 168 ml
4. Stress Operasi Besar : 8 ml x 65 kg = 520 ml
5. Cairan defisit darah selama operasi = 250 ml x 3 = 750 ml
Untuk mengganti kehilangan darah 250 ml diperlukan 750 ml cairan
kristaloid.
Total kebutuhan cairan selama 1 jam operasi = maintenance + deficit
cairan selama puasa + stress operasi + jumlah perdarahan + urin= 105
+168 +520 + 750 + 550 = 2093 ml
b. Cairan masuk :
Kristaloid : 300+ 500 ml = 800 ml
Koloid : 500 ml
Whole blood : -
Total cairan masuk : 1300 ml

c. Keseimbangan cairan:
Cairan masuk – cairan keluar = 1300 ml – 800 ml = 500 ml
Post Operatif
Pemantauan di Recovery Room :
a. Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik. Pada pasien TD: 150/90 mmHg.
nadi: 76x/menit, respirasi: 20x/menit
b. Berikan antibiotik profilaksis, antiemetic, H2 reseptor bloker dan analgetik
c. Bila Bromage Score ≤ 2 boleh pindah ruangan. Pada pasien didapatkan
skor 2
d. Mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), boleh makan dan minum sedikit –
sedikit.

40
Gambar 2. Skor Bromage
Perintah di ruangan :
a. Awasi tanda vital (tensi, nadi, pernapasan tiap ½ jam)
b. Bila kesakitan beri analgetik.
c. Bila mual atau muntah, beri injeksi Ondansetron 4 mg iv
d. Program cairan : infus RL 20 tetes/menit
e. Program analgetik : injeksi Ketorolac 30 mg iv tiap 8 jam,

41
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien pada kasus ini, dilakukan tindakan bedah berupa Operasi seksio sesaria.
Sebelum dilakukan tindakan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang meliputi
anamesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan status
fisik ASA dan risiko operasi. Pada pasien ini termasuk ASA III, karena pasien datang
dengan penyakit ringan yang di derita, score mallapati 2.
Proses persalinan dengan cara sectio caesarea dapat menggunakan anestesi
umum dan regional. Jenis anestesi yang dipilih pada pasien ini adalah regional
anestesi teknik SAB. Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang aman, terutama
pada operasi di daerah umbilikus ke bawah. Teknik anestesi ini memiliki kelebihan
dari anestesi umum, yaitu kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek
samping yang minimal pada biokimia darah, pasien tetap sadar dan jalan nafas
terjaga, serta penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.

Preoperasi menjelaskan kepada pasien anastesi yang akan di lakukan dan


menjelaskan kepada keluarga resiko resiko dari teknik anastesi, meminta pasien untuk
puasa selama +8 jam sebelum dimulai operasi, meminta pasien untuk tidak memakai
gigi palsu dan memasang kateter, dan memasang cairan infus RL. Kesadaran pasien
compos mentis dan sebelum dilakukan induksi pada pasien disuntikan ondansentron 4
mg dan Ranitidin 50 mg IV dengan tujuan penanganan mual dan muntah selama dan
sesudah operasi.
Pasien pada kasus ini dilakukan tindakan anastesi spinal. Pada anestesi spinal
terdapat kontraindikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi absolut diantaranya
penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis
yang tidak diketahui, koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada
kasus-kasus pseudotumor cerebri. Sedangkan kontra indikasi relative meliputi sepsis
pada tempat tusukan (misalnya, infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih

42
rendah) dan lama operasi yang tidak diketahui.Selain itu teknik ini dipilih karena
selain lebih murah juga efek sistemiknya lebih rendah dibanding anestesi umum.

Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2,


sehingga di bawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub
arakhnoid merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi
cairan otak, jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal
dari medula spinalis. Pada orang dewasa medula spinalis berakhir pada sisi vertebra
lumbal 2. Dengan fleksi tulang belakang medula spinalis berakhir pada sisi bawah
vertebra lumbal.

Gambar 3. Teknik Anestesi Spinal

43
Gambar 4. Anestesi Spinal
Persiapan pasien sebelumnya harus dilakukan dengan memberi informasi
tentang tindakan anestesi spinal (informed consent) meliputi pentingnya tindakan ini
dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah
kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi.
Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis.
Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus disiapkan lengkap untuk monitor
pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat
anestesi spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di
dalam lumennya dan ukuran 16G sampai dengan 30G, pada pasien ini digunakan
ukuran 27 G. Obat anestesi lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain,
atau bupivakain. Berat jenis obat anestesi lokal mempengaruhi aliran obat dan
perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari
berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat
gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke
atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat
penyuntikan.

44
Tabel 6. Beberapa Jenis Obat Anestesi Lokal yang dipakai pada Anestesi Spinal

Pada pasien ini obat anestesi yang digunakan adalah bupivakain hyperbaric
0,5% dengan dosis 12,5 mg. Bupivakain bekerja menstabilkan membran neuron
dengan cara menginhibisi perubahan ionik secara terus menerus yang diperlukan
dalam memulai dan menghantarkan impuls. Kemajuan anestesi yang berhubungan
dengan diameter, mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang terkena
menunjukkan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut : otonomik, nyeri, suhu, raba,
propriosepsi, tonus otot skelet. Eliminasi bupivakain terjadi di hati dan melalui
pernafasan (paru-paru).
Obat bupivakain segera setelah penyuntikan subarakhnoid akan mengalami
penurunan konsentrasi dengan secara bertahap karena terjadinya: dilusi dan
pencampuran di liquor serebro spinalis, difusi dan distribusi oleh jaringan saraf,
uptake dan fiksasi oleh jaringan saraf, absorbsi dan eliminasi oleh pembuluh darah.
Didalam ruang subarakhnoid obat akan kontak dengan struktur jaringan saraf dan
obat ini akan memblokade transmisi impuls serabut-serabut saraf. Aktivitas anestesi
lokal dalam ruang subarakhnoid yang penting di akar-akar saraf di medula spinalis
(primer), ganglia dorsalis dan sinap-sinap di kornu anterior dan posterior (sekunder)
dan traktus asenden dan desenden parenkim di medula spinalis.

45
Saat bayi telah dilahirkan dan plasenta diklem diberikan oxytocin 20 IU (2
ampul), 10 UI diberikan secara bolus IV dan 10 IU diberikan per-drip. Pemberian
oksitosin bertujuan untuk mencegah perdarahan dengan merangsang kontraksi uterus
secara ritmik atau untuk mempertahankan tonus uterus post partum, dengan waktu
partus 3-5 menit .

Asam traneksamat diberikan setelah 5 menit pemberian oxytocin untuk


menghentikan perdarahan, obat Ketorolac 30 mg secara intravena diberikan sesaat
sebelum operasi selesai. Ketorolac adalah golongan NSAID (Non steroidal anti-
inflammatory drug) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin. Ketorolac
diberikan untuk mengatasi nyeri akut jangka pendek post operasi, dengan durasi kerja
8 jam. Tanda vital yang terdapat pada monitor setiap 5 menit dicatat dalam kertas
lembaran anastesi agar kondisi pasien terpantau.

Pada pasien ini berikan cairan infus RL sebagai cairan fisiologis untuk
mengganti cairan dan elektrolit yang hilang. Geosulfin juga diberikan untuk
mempertahankan circulating blood volume. Pasien sudah tidak makan dan minum ±
8jam, maka kebutuhan cairan pada pasien ini :

BB = 65 kg

Cairan maintanance (M) : (4 x 10) + (2 x 10) + (1 x 45) = 40 + 20 + 45 = 105 ml/jam

Cairan defisit pengganti puasa (P) : lama puasa x maintenance = 8 x 105 = 840 ml

Cairan masuk puasa: jumlah infus (TPM) x lama puasa (menit)/20 = 28 x 480 / 20 =
672ml

Cairan defisit puasa – cairan masuk puasa = 840 – 672 = 168 ml

Stress Operasi Besar : 8 ml x 65 kg = 520 ml

Cairan defisit darah selama operasi = 250 ml x 3 = 750 ml

46
Untuk mengganti kehilangan darah 250 ml diperlukan 750 ml cairan kristaloid.

Total kebutuhan cairan selama 1 jam operasi = maintenance + deficit cairan selama
puasa + stress operasi + jumlah perdarahan + urin= 105 + 168 + 520 + 750 + 500 =
2093 ml

Pemberian Cairan :

Kristaloid : 300 ml + 500 ml = 800 ml


Koloid : 500 ml
Total cairan masuk : 1300 ml

Cairan masuk – cairan keluar = 1300 ml – 800 ml = 500 ml


Lama operasi berlangsung 60 menit,anastesi berlangsung selama 1 jam 15
menit, setelah operasi selesai, pasien dibawa ke recovery room dan observasi tanda
vital seperti tekanan darah dan saturasi pernapasan.

47
DAFTAR PUSTAKA

1.Latief. S. A, Suryadi K. A, danDachlan M. R, PetunjukPraktisAnestesiologi, Edisi


II, BagianAnestesiologidanTerapiIntensif FK-UI, Jakarta, Juni, 2001, hal ; 77-83,
161.

2.Dobson MB. Penuntun Praktis Anestesi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta:
1988.

3.Hurford WE. Clinical Anesthesia Procedures Of The Massachussetts General


Hospital. 2002. USA:Lippincott Williams-Wilkins.

4. Barrash PG. Handbook of clinical anesthesiology. 2001. USA: Lippincott


Williams-Wilkins

5.Wargahadibrata AH. Anestesiologi. 2008. Bandung: SAGA

6.Miller RD 2000. Anesthesia 5th Edition. Philadhelphia: Churcill Livingstone

7.Himendra. Teori anestesiologi, Bandung : Yayasan Pustaka Wina. 1994.

48

Anda mungkin juga menyukai