Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

PATIENT POSITIONING

Disusun oleh:

Kent Setiawan Jonathan (01073180041)

Dibimbing oleh :

dr. Monika Widiastuti, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI

SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE JUNI 2019 – JULI 2019

TANGERANG
Daftar Isi

BAB I – Pendahuluan................................................................................................................1

BAB II – Tinjauan Pustaka........................................................................................................2

2.1. Anatomi dan Fisiologi sistem pernapasan...........................................................................2

2.2. Anatomi dan Fisiologi sistem kardiovaskuler.....................................................................4

2.3. Posisi Supine.......................................................................................................................8

2.4. Posisi Lateral.....................................................................................................................12

2.5. Posisi Prone.......................................................................................................................15

2.6. Posisi Sitting......................................................................................................................17

BAB III – Kesimpulan.............................................................................................................19


BAB I

PENDAHULUAN

Posisi pasien pada saat dilakukannya operasi dalam ruang operasi akan membantu
operator untuk melakukan prosedurnya dengan baik. Tidak semua prosedur operasi dapat
dilakukan pada posisi pasien yang sama, sebagai contoh pada operasi fistulektomi tidak dapat
dilakukan ketika posisi pasien supine sehingga tim anestesi harus memposisikan pasien
dalam posisi litotomi atau frog – leg position.

Terdapat beberapa macam posisi pasien pada saat di ruang operasi, posisi – posisi
tersebut adalah supine, lateral, prone, head – down, dan sitting position. Masing – masing
posisi tersebut memiliki komplikasi yang berbeda – beda dan masing – masing posisi tersebut
juga akan memiliki dampak yang berbeda pada fisiologi tubuh terutama fisiologi
kardiovaskuler dan fisiologi sistem pernapasan.

Sehingga cedera yang diakibatkan posisi pasien masih merupakan morbiditas


perioperatif yang signifikan. Memposisikan pasien juga membutuhkan kerja sama setiap
anggota tim untuk mencegah terjadinya cedera akibat memposisikan pasien sebelum operasi
dimulai.

Oleh karena itu posisi pasien dalam prosedur operasi merupakan hal yang cukup
penting karena dapat memfasilitasi operasi dengan baik sehingga tim anestesi memiliki
peranan yang penting dalam hal memposisikan pasien dalam ruang operasi.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Sistem pernapasan

2.1.1. Anatomi

Saluran pernapasan dapat dibagi menjadi saluran pernapasan atas dan saluran
pernapasan bawah, saluran pernapasan juga dapat dibagi menjadi zona konduksi dan zona
respirasi. Saluran pernapasan atas sendiri dimulai dari nasofaring, orofaring, dan
laringofaring dan saluran pernapasan bawah dimulai dari trakea lalu bercabang menjadi
cabang bronkus utama kanan dan kiri dan bercabang lagi menjadi bronkus lobus dan
bercabang menjadi bronkiolus hingga pada akhirnya menjadi duktus alveolaris.1

Pada trakea hingga bronkiolus terminalis yaitu pada generasi 15-16, saluran napas
hanya menyalurkan udara saja dan tidak terdapat pertukaran gas pada saluran napas ini
sehingga udara yang terdapat pada saluran napas ini disebut dead space volume (150 ml).
Sementara pada bronkiolus respiratori (generasi 17 – 19) mulai terjadi pertukaran udara
karena terkadang terdapat alveolus pada generasi ini, kemudian bronkiolus respiratori akan
bercabang menjadi duktus alveolaris (generasi 20 – 22) akan terselubungi oleh alveoli dimana
pertukaran udara akan terjadi.2

2.1.2. Mekanisme bernapas

Ketika otot inspirasi tidak berkontraksi, tekanan intra-alveolar dan tekanan diatmosfir
sama (760 mmHg) sedangkan intrapleural memiliki tekanan sebesar 756 mmHg karena
rongga pleura terisi dengan cairan sehingga ketika tekanan intra-alveolar meningkat maka
akan mendorong ke dinding paru. Ketika diafragma berkontraksi, maka diafragma akan
mendatar sehingga volume rongga dada akan membesar dan ketika otot interkostal eksterna
berkontraksi, iga dan tulang sternum akan bergerak ke arah kranial dan anterior. Setelah
rongga dada membesar paru – paru juga akan membesar untuk mengisi rongga dada dan
tekanan intra – alveolar akan menjadi 759 mmhg sehingga udara akan masuk ke paru akibat
perbedaan tekanan tersebut dan udara akan terus masuk hingga tidak terjadi perbedaan pada
tekanan.3

Pada akhir proses inspirasi, otot – otot inspirasi akan kembali berelaksasi salah
satunya diafragma. Diafragma akan kembali kepada bentuk awal yaitu menyerupai kubah.

2
Tulang – tulang iga yang terangkat juga akan menurun karena berelaksasinya otot interkostal
eksterna. Karena tidak adanya tekanan yang mendorong dinding dada, maka paru akan
kembali mengecil dan berkurang dalam jumlah volume sehingga tekanan intra-alveolar akan
kembali naik. Dalam proses ekspirasi ini, tekanan intra-alveolar akan meningkat menjadi 761
mmHg sehingga terjadi perbedaan tekanan antara intra-alveolar dan atmosfir dan udara akan
keluar.3

2.1.3. Volume dan Kapasitas paru – paru

Paru – paru memiliki empat volume dan empat kapasitas, keempat volume paru ini
jika digabungkan merupakan volume maksimal dimana paru dapat mengembang. Empat
volume tersebut adalah volume tidal, volume cadangan inspirasi, volume cadangan ekspirasi
dan volume residual. Volume tidal merupakan volume udara dalam paru – paru pada keadaan
pernapasan normal, sedangkan volume cadangan inspirasi adalah volume udara tambahan
yang dapat dihirup ketika seseorang inspirasi dengan usaha penuh, jumlah volume tersebut
sekitar 3000 mL. Volume cadangan ekspirasi adalah volume udara tambahan yang dapat
dihembuskan dengan ekspirasi maksimal setelah ekspirasi normal dan jumlahnya sekitar
1100 mL dan volume residual adalah volume udara yang masih tersisa di dalam paru setelah
ekspirasi yang paling maksimal, volume ini rata – rata sekitar 1200 mL.4

Gambar 1. Volume dan kapasitas paru ketika selama proses ekspirasi dan inspirasi dan maksimal
inspirasi dan maksimal ekspirasi.4

3
Terdapat empat kapasitas paru yaitu kapasitas inspirasi, kapasitas fungsional residual,
kapasitas vital, dan kapasitas paru total. Kapasitas inspirasi merupakan jumlah dari volume
tidal dengan kapasitas cadangan inspirasi yaitu sekitar 3500 mL. Kapasitas fungsional
residual merupakan jumlah dari volume cadangan ekspirasi dengan volume residual dan
jumlahnya sekitar 2300 mL. Kapasitas vital merupakan jumlah dari volume cadangan
inspirasi ditambah volume tidal dan volume cadangan ekspirasi yaitu sekitar 4600 mL.
Sedangkan Kapasitas total paru merupakan volume maksimal paru yang dapat mengembang
dengan usaha yang maksimal yaitu sekitar 5800 mL.4

2.1.4. Compliance paru – paru

Compliance adalah seberapa besar usaha yang dibutuhkan untuk meregangkan paru.
Compliance paru ini dengan kata lain adalah seberapa besar perubahan pada volume paru
pada suatu perubahan perbedaan tekanan transmural yaitu tekanan yang meregangkan paru.
Pada paru yang memiliki compliance yang tinggi akan mengalami peregangan yang lebih lagi
pada suatu kenaikan perbedaan tekanan. Dengan kata lain, semakin rendah compliance paru
maka semakin besar tekanan transmural yang dibutuhkan selama inspirasi untuk
menghasilkan pengembangan paru yang normal, sehingga semakin rendah compliance paru
maka usaha yang dibutuhkan untuk mengembangkan paru juga akan semakin besar.3

2.2. Anatomi dan Fisiologi sistem kardiovaskuler

2.2.1. Anatomi

Jantung merupakan organ utama dari sistem kardiovaskuler, dan jantung sendiri
dibagi menjadi 2 bagian yaitu jantung kanan dan jantung kiri dan memiliki 4 ruang, ruang
atas dan ruang bawah dalam setiap bagiannya. Ruang atas atau biasa disebut atrium adalah
ruang jantung yang berperan untuk menerima darah yang kembali ke jantung dan
menyalurkannya ke ruang bawah yaitu ventrikel. Ventrikel berperan sebagai pompa yang
memompa darah keluar dari jantung. Jantung kanan dan jantung kiri dibatasi oleh jaringan
otot yang disebut septum, septum ini berperan untuk memisahkan antara darah yang berada di
jantung kanan dan kiri sehingga tidak tercampur antara darah yang kaya akan oksigen dengan
yang tidak kaya akan oksigen.

Pembuluh darah yang mengalirkan darah menuju jantung disebut vena, sedangkan
pembuluh darah yang mengalirkan darah dari jantung adalah arteri. Jantung juga memiliki 4
katup yang berperan sebagai pintu antara ruang atas dan ruang bawah dan darah pada jantung

4
dan pembuluh darah. Katup – katup tersebut adalah katup mitral yang memisahkan atrium
kiri dengan ventrikel kiri, katup trikuspid yang memisahkan atrium kanan dan ventrikel
kanan. Sedangkan katup semilunaris memisahkan antara jantung dengan aorta dan arteri
pulmonalis.3

Gambar 2. Anatomi dari organ jantung.3

2.2.2. Siklus Jantung

Siklus jantung terdiri dari sistole yang berarti kontraksi dan pengosongan ruang
jantung dan diastol yang berarti relaksasi dan pengisian ruang jantung. Kontraksi otot – oto
jantung berasal dari sebaran eksitasi yang terjadi sepanjang otot jantung tersebut, dimana
relaksasi terjadi akibat adanya repolarisasi dari otot jantung tersebut.3

Sistol dimulai dengan kontraksi isovolumetrik, dimana katup semilunar dan katup
atrioventrikular masih tertutup. Pada kontraksi isovlumetrik ini dapat terdeteksi awal mulai
peningkatan tekanan ventrikular. Kontraksi ini menyebabkan katup atrioventrikular tertutup.
Permukaan mereka akan sedikit menonjol ke arah atrium, akan tetapi tidak dapat membuka
kesana akibat adanya chordae tendinae.5

Saat tekanan ventrikular mencapai dan sedikit melebihi tekanan di arteri pulmoner
dan aorta, maka katup semilunar akan terbuka sehingga ejeksi ventrikel terjadi. Tekanan
intraventrikular dan volum ventrikular akan turun secara drastis.

5
Gambar 3. Siklus jantung terdiri dari sistol dan diastol dimana terjadi kontraksi,
relaksasi dari otot jantung, dan terbuka dan tertutupnya katup – katup pada jantung.

Dengan relaksasi ventrikular dan penurunan tekanan ventrikular, katup aorta akan
menutup dan relaksasi isovlumetrik terjadi. Katup atrioventrikular dan katup semilunar
keduanya dalam keadaan tertutup pada fase ini. Saat tekanan ventrikel kiri jatuh dibawah
tekanan atrial, maka katup mitral dan trikuspid akan terbukan sehingga pengisian ventrikel
secara pasif terjadi.5

2.2.3 Cardiac output

Cardiac output merupakan jumlah darah yang dipompa oleh jantung ke dalam aorta
setiap menitnya. Jumlah darah ini juga merupakan jumlah darah yang mengalir pada sirkulasi
tubuh. Sementara venous return adalah jumlah darah yang mengalir dari vena ke dalam
atrium kanan jantung setiap menitnya. Venous return dan cardiac output harus memiliki
jumlah yang sama kecuali untuk beberapa denyut jantung ketika darah berada pada dalam
jantung dan paru – paru.

Cardiac output dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tingkat metabolisme tubuh,
keadaan tubuh pada saat olahraga atau pada saat beristirahat, usia, dan ukuran dari tubuh itu
sendiri. Nilai cardiac ouput untuk laki – laki sehat berusia muda rata – rata sekitar 5,6 liter
per menit, sedangkan untuk wanita adalah 4,9 liter per menit.4

Cardiac output dapat dirumuskan sebagai CO = SV x HR. Dimana SV merupakan


Stroke volume dan HR merupakan detak jantung. Stroke Volume merupakan volume darah
yang dipompakan oleh jantung pada setiap kontraksi otot jantung.

6
Gambar 4. Hubungan antara tekanan darah dengan faktor yang mempengaruhinya.4

Stroke Volume dipengaruhi oleh beberapa 3 faktor utama yaitu preload, afterload, dan
kontraktilitas. Preload merupakan panjang otot jantung pada saat sebelum kontraksi, dimana
afterload merupakan tahanan yang harus dilakukan oleh otot jantung pada saat berkontraksi.
Kontraktilitas merupakan sifat dari otot yang berhubungan terhadap kekuatan kontraksi dan
tidak dipengaruhi oleh preload dan afterload.4

Sistem saraf mengontrol sirkulasi melalui sistem saraf otonom yaitu simpatetik dan
parasimpatik. Inervasi dari arteri kecil dan arteriol dapat mengaktifkan stimulasi saraf
simpatik dimana akan terjadi peningkatan resistensi terhadap aliran darah sehingga
mengurangi laju aliran darah ke jaringan tubuh. Sementara untuk inervasi pembuluh darah
besar terutama vena, jika saraf simpatik terstimulasi akan mengakibatkan berkurangnya
volume yang berada pada pembuluh darah tersebut. Berkurangnya jumlah darah tersebut akan
mendorong darah ke dalam jantung sehingga penting untuk regulasi pompa jantung. Selain
itu saraf simpatik juga dapat meningkatkan aktivitas jantung dengan cara meningkatkan detak
jantung dan meningkatkan kekuatan dan volume pada saat proses jantung memompa. Saraf
parasimpatis juga berperan dalam sistem kardiovaskuler yaitu mengontrol detak jantung dan
mengurangi kontraktilitas jantung melalui saraf vagus.4

7
2.3. Posisi Supine

Pada posisi supine horizontal, pasien akan berbaring dengan bantal kecil yang berada
pada kepalanya. Kedua tangan pasien tersebut dapat diberikan alas yang bersifat empuk
(padded) dan diikat disamping badan atau kedua tangan tersebut diletakkan dengan posisi
abduksi pada penyangga lengan yang telah dilapisi oleh kain. Tangan yang terabduksi
disarankan untuk tidak melebihi 90o untuk menghindari terjadinya cedera pada pleksus
brakialis akibat dari kepala dari tulang humerus yang mendorong ke dalam aksila. Tulang
belakang bagian lumbar juga harus diberikan bantalan yang empuk untuk mengurangi nyeri
punggung pada saat paska operatif. Titik – titik penonjolan tulang seperti siku, dan mata kaki
harus diberikan bantalan yang cukup empuk. Meskipun posisi ini merupakan posisi yang
digunakan pada kebanyakan prosedur operasi, posisi ini tidak cocok untuk operasi dengan
durasi waktu yang lama pada pasien yang terimobilisasi dan sadar karena pada posisi ini tidak
menempatkan sendi panggul dan sendi lutut pada posisi netral.6,7 Terdapat beberapa variasi
posisi supine yaitu lawn-chair position, frog-leg position, posisi Trendelenburg, dan posisi
litothomy.

Lawn-chair position

Pada posisi lawn-chair atau posisi contoured, kedua panggul dan lutut akan terfleksi
sedikit sehingga mengurangi stress pada punggung, panggul, dan lutut. Posisi supine ini lebih
dapat ditoleransi pada pasien yang sadar. Beberapa benda dapat digunakan untuk menjaga
agar kedua lutut pasien tetap terfleksi, benda tersebut dapat berupa selimut, bantal, dan
handuk yang tergulung. Pada posisi ini juga terjadi perubahan fisiologis sistem
kardiovaskuler karena ketika kedua kaki diposisikan sedikit lebih tinggi dibandingkan posisi
jantung, maka posisi tersebut akan membantu drainase vena yang berasal dari ekstremitas
bawah. Selain itu, ketika jarak xiphoid dan pubis berkurang, maka tegangan pada otot perut
juga akan berkurang.6,7

Gambar 5. Posisi Lawn-chair atau contoured.6,7

8
Frog-leg position

Variasi yang selanjutnya adalah frog-leg position dimana kedua panggul dan lutut
akan terfleksi dan terotasi eksternal dengan kedua telapak kaki berhadapan satu sama lainnya.
Melalui posisi ini, prosedur yang berhubungan dengan perineum, selangkangan, genitalia,
dan rektum akan terfasilitasi dengan baik. Sama halnya dengan posisi contoured, kedua lutut
harus ditopang untuk mengurangi stress atau dislokasi dari panggul.7

Gambar 6. Frog – leg position.13

Trendelenburg position

Posisi Trendelenburg merupakan posisi supine dimana kepala pasien diposisikan


kebawah dengan simfisis pubis merupakan titik tertinggi dari tubuh. Posisi ini sering
digunakan pada saat pasien mengalami hipotensi karena pada posisi ini jumlah venous return
akan meningkat sehingga dapat meningkatkan cardiac output dan tekanan darah. Selain itu
posisi ini juga dapat meningkatkan paparan pada operasi laparoskopik dan mencegah
terjadinya emboli udara pada saat pemasangan central line. Selain berpengaruh terhadap
sistem kardiovaskuler, posisi ini juga berpengaruh terhadap fungsi sistem pernapasan karena
pada posisi ini organ – organ yang berada pada abdomen akan mendorong ke arah diafragma,
dimana akan mengurangi kapasitas residual fungsional (FRC) dan juga mengurangi
compliance dari paru – paru sehingga membutuhkan tekanan udara pada saat ventilasi.
Tekanan intraokuler dan intrakranial juga dapat meningkat. Hal yang perlu diperhatikan
lainnya adalah intubasi endotrakeal sangat disarankan karena dapat mengurangi risiko
terjadinya aspirasi dari isi lambung.6 Pengaruh lainnya adalah pembengkakan dari wajah,
laring, dan lidah akibat perubahan gravitasi dari tubuh sehingga meningkatkan risiko
terjadinya sumbatan jalan napas paska operasi. Perubahan gravitasi juga akan menyebabkan

9
pasien bergeser ke arah bawah sehingga diperlukan penyangga bahu dan perlu juga
diperhatikan agar tidak terjadi cedera kompresi pada pleksus brakialis.8

Gambar 7. Posisi Trendelenburg dan reverse Trendelenburg.7

Litotomi

Pada posisi standar litotomy, pasien berbaring dengan satu atau kedua tangan
terekstensi kurang dari 90o pada penyangga lengan lalu setiap ekstremitas bawah pasien
dilakukan fleksi pada panggul dan lutut dan kedua tungkai akan dielevasi dan dipisahkan
sehingga perineum dapat diakses oleh operator. Posisi ini sering digunakan pada operasi –
operasi ginekologik dan urologi, dimana kedua paha akan difleksikan sekitar 90o untuk
mempertahankan tungkai bawah sejajar dengan lantai.6

Terdapat beberapa perubahan fisiologis pada posisi ini, diantaranya adalah pada
prosedur yang membutuhkan durasi yang lama akan meningkatkan risiko terjadinya
compartment syndrome pada ekstremitas bawah akibat perfusi yang tidak adekuat. Kompresi
saraf terhadap penyangga tungkai juga dapat terjadi jika tidak diberikan alas yang cukup
empuk. Cedera pada saraf common peroneal merupakan komplikasi yang paling sering
terjadi karena saraf peroneal berada disekitar ujung atas fibula dimana tempat penyangga
tungkai berada. Perubahan hemodinamik juga terjadi karena berkurangnya venous return dan
akan mempengaruhi preload dan cardiac output. Demikian juga pada sistem respirasi
berubah karena terjadinya pergeseran organ – organ abdomen ke arah diafragma sehingga
mengurangi compliance dari paru – paru dan menyebabkan berkurangnya FRC dan volume
tidal.8

10
Gambar 8. Posisi standar litotomy.6

Komplikasi pada posisi supine

Komplikasi yang paling sering terjadi pada posisi supine dan variasinya adalah cedera
saraf akibat kompresi. Cedera saraf ini sendiri dapat berupa cedera pada pleksus brakialis,
saraf median, saraf radialis, dan saraf ulnaris. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya
kompresi dan tekanan pada daerah tersebut. Terdapat 4 mekanisme dari cedera saraf,
diantaranya adalah regangan, kompresi, iskemik, dan perubahan metabolik. Kompresi dan
iskemia merupakan mekanisme yang sering terjadi pada cedera – cedera saraf tersebut.
Contohnya adalah pada neuropati saraf radialis terjadi ketika saraf tersebut terkompresi
terhadap tulang dibawahnya ataupun manset tekanan darah yang berlebihan dan kompresi
terhadap kain yang digunakan untuk menyelipkan lengan juga dapat menyebabkan cedera
pada saraf radialis.6,9

Gambar 9. Mekanisme terjadinya cedera pleksus brakialis.7

11
Selain cedera saraf, terdapat juga komplikasi lainnya seperti nyeri pada punggung atau
bahkan terjadi paraplegia, dan compartment syndrome. Nyeri punggung dapat terjadi ketika
kurvatur lordotik normal pada tingkat lumbar menghilang dan diperberat oleh relaksasi dari
ligamen pada anestesi umum, spinal, atau epidural.6,7 Paraplegia dapat terjadi ketika lumbar
mengalami hiperekstensi dimana angulasi melebihi 10o pada ujung L2-L3 sehingga
menyebabkan iskemia pada saraf spinal. Mekanisme utama terjadinya compartment
syndrome adalah ketika suatu ekstremitas mengalami perfusi yang tidak adekuat maka
iskemia dan edema dapat terjadi sehingga meningkatkan tekanan dalam jaringan didalam
kompartemen fascial dari tungkai bawah dan juga terjadi rhabdomyolisis. Beberapa faktor
yang dapat mendukung terjadinya hal tersebut adalah hipotensi sistemik, sumbatan pada
pembuluh darah utama pada tungkai bawah akibat retraktor, atau fleksi lutut dan panggul
yang berlebihan, dan kompresi eksternal seperti tali pengaman yang terlalu ketat atau berat
dari tungkai tersebut terhadap penyangga kaki.6

2.5. Posisi Lateral

Pada posisi lateral standar, pasien akan dimiringkan ke satu sisi dan distabilisasi
dengan cara memfleksikan bagian bawah paha dan bagian lutut. Kedua tangan akan
diposisikan ekstensi ke arah ventral dan satu lengan akan diposisikan pada arm board dengan
bantalan diantaranya. Pasien juga akan distabilisasikan menggunakan pengikat sepanjang
panggul dan di fiksasikan pada bagian bawah meja operasi.

Posisi fleksi pada lutut dan panggul dapat menyebabkan obstruksi kembalinya vena
kepada vena cava inferior secara parsial hingga total sehingga menurunnya venous return dan
akan mempengaruhi kepada tekanan darah. Hal tersebut dapat terjadi akibat angulasi dari
pembuluh darah tersebut pada ruang poplitea dan ligamen inguinal atau pun kompresi paha
terhadap abdomen pada pasien obesitas. Hal lain yang dapat terjadi juga adalah cedera pada
bagian neurovaskular yang berada pada aksila akibat terganggunya peredaran darah dan
akibat kompresi. Bantalan kecil diletakkan pada bagian caudal dari aksila dapat mengangkat
toraks sehingga mengurangi tekanan yang mengkompresi neurovaskular tersebut. Namun hal
tersebut dapat mengurangi rasa nyaman pada bagian pundak pada paska operasi. Saraf
peroneal komunis pada sisi tersebut akan diberikan bantalan untuk mengurangi cedera akibat
kompresi oleh berat kaki, bantalan juga diberikan diantara kedua tungkai bawah.

12
Gambar 10. Posisi standar lateral6

Semisupine dan semiprone

Posisi semilateral memberikan operator untuk dapat mengakses bagian anterolateral dan
posterolateral dari tubuh. pada posisi semisupine, bagian atas dari lengan harus ditopang baik
agar lengan tersebut tidak hiperekstensi dan tidak terjadi kompresi atau regangan pada
neurovascular bundle yang berada pada daerah aksila. Nadi dari pergelangan tangan yang
terfiksasi juga harus diperiksa untuk memastikan sirkulasi dan perfusi yang cukup pada
lengan dan tangan yang terangkat.

Gambar 11. Posisi semisupine.6

Lateral Jacknife

Posisi lateral jackknife adalah dimana permukaan meja operasi dibengkokkan


sehingga paha difleksikan secara lateral terhadap tubuh. Begitu pasien telah diposisikan
dengan baik dan disangga, maka bagian thorax diluruskan sehingga sejajar dengan lantai.

13
Oleh karena ini, kaki akan berada di bawah ketinggian atrium sehingga darah dapat
berkumpul pada pembuluh-pembuluh kaki. Posisi ini biasa digunakan dengan tujuan untuk
menarik sisi tubuh yang menghadap atas sehingga jarak interkostal melebar dan memudahkan
insisi torakotomi. Akan tetapi kekurangan-kekurangannya, seperti stress di bagian lumbar dan
pengumpulan darah pada ekstremitas bawah, posisi ini dapat menyebabkan gangguan
fisiologis.6

Gambar 12. Posisi jacknife.

Kidney

Posisi ini serupa dengan posisi lateral jacknife namun pada bagian bawah krista iliaka
diposisikan elevasi untuk meningkatkan fleksi lateral dan meningkatkan akses kepada ginjal
bagian atas yang berada dibawah batas tulang iga. Posisi ini perlu dipantau karena perubahan
fisiologis yang disebabkan bisa buruk dan operasi yang dilakukan perlu diselesaikan secepat
mungkin. Sebagai pencegahan, pasien perlu diberikan pengaman agar tidak terjadi pergeseran
pada meja operasi – seperti pergeseran padding yang dapat menyebabkan gangguan ventilasi
ada paru.

14
Gambar 13. Posisi kidney dimana gambar A (flank) dan B (lower costal margin)
menunjukkan posisi penyangga terangkat yang salah. Gambar C menunjukkan posisi yang
benar yaitu elevasi pada krista iliaka.

Komplikasi

Posisi lateral dekubitus dapat merubah fungsi paru – paru dengan cara berkurangnya
compliance paru – paru pada bagian yang terbawah akibat adanya tekanan dari organ
abdomen sehingga mendorong ke arah diafragma. Secara bersamaan, hal tersebut juga
menurunkan aliran darah ke paru – paru yang berada di letak terbawah karena efek gravitasi
sehingga dapat menyebabkan V/Q mismatch dan dapat mempengaruhi ventilasi alveolar dan
pertukaran gas. 7

Jika bahu pasien diposisikan sirkumduksi dapat menyebabkan peregangan pada


nervus supraskapular yang berada pada notch dari skapula dan dapat menyebabkan nyeri
pada bahu. Hal tersebut didiagnosis dengan cara memblok saraf tersebut sehingga
mengurangi rasa nyeri.6 Selain saraf supraskapula, cedera pada pleksus juga dapat terjadi
pada posisi lateral ini. Pleksus brakialis terletak langsung dibawah dari kaput humerus pada
sendi bahu, dan pergerakannya terbatasi oleh kaput humerus tersebut, sehingga jika
dilakukannya traksi pada bahu tersebut maka pleksus brakialis tersebut akan mengalami
kompresi. Cedera pada nervus ulnaris juga dapat terjadi ketika siku sisi medial kontak
langsung terhadap alat untuk memfiksasi dalam waktu yang lama. Hal tersebut dikarenakan
nervus ulnaris terletak pada cubital tunnel yang berada pada bagian epikondilar dari humerus

15
sehingga neuropati dapat terjadi jika kompresi pada siku sisi medial. Nervus peroneal
komunis terletak pada sisi lateral dari fossa poplitea, dan kulit pada daerah tersebut memiliki
ketebalan yang tipis sehingga mudah terjadinya neuropati akibat kompresi terhadap alat
pengaman.10

2.6. Posisi Prone

Posisi prone atau ventral decubitus sering digunakan terutama pada prosedur yang
menyangkut posterior fossa dari kranium, tulang belakang, daerah gluteal, perirectal, dan
ekstremitas bawah. Jika pasien akan dilakukan anestesi umum, maka intubasi endotrakeal,
akses intravena, kateter urine, dan segala akses yang berhubungan dengan hemodinamik
harus dilakukan pada saat pasien sebelum diposisikan prone.7 Tubuh juga perlu diangkat
sehingga bagian ventral dari abdomen terbebas dari kompresi dan selalu akan menghasilkan
bagian kepala dan ekstremitas bawah berada dibawah tingkat tulang belakang. Membungkus
kaki dengan perban kompresi dapat meminimalisir penumpukan darah pada pembuluh darah
kaki dan membantu meningkatkan venous return.

Gambar 14. A: posisi pronasi dengan kedua tangan terekstensi. B : posisi pronasi dengan kedua
tangan berada disebelah badan. C : meja difleksikan dengan tujuan untuk mengurangi lordosis dari
lumbar.

16
Komplikasi

Ketika posisi kepala lebih rendah daripada posisi jantung, maka terjadi perbedaan
tekanan yang dapat menghasilkan stasis vena dan limfa di dalam kepala, oleh karena itu pada
posisi tersebut dapat terjadi pembengkakan di daerah wajah dan jalan napas sehingga
ekstubasi akan sulit dilakukan terutama pada prosedur yang membutuhkan waktu yang lama.6
Jika bagian abdomen mengalami kompresi maka akan menganggu aliran darah melalui vena
cava inferior sehingga dapat menyebabkan pembesaran pada vena paravertebral dan epidural
dan akan meningkatkan risiko perdarahan pada bagian tulang belakang. Hipotensi juga dapat
terjadi akibat berkurangnya cardiac output pada posisi tersebut dan akan memperburuk
hipoperfusi pada beberapa organ seperti ginjal sehingga dapat menyebabkan gangguan ginjal
akut.11

Perioperative vision loss (POVL) dapat terjadi pada posisi pronasi namun cukup
jarang terjadi dan beberapa hal seperti meningkatnya tekanan intraokular, berkurangnya
perfusi jaringan merupakan dugaan penyebab dari POVL. Ischemic optic neuropathy (ION)
merupakan penyebab tersering pada POVL dimana menurut American Society of
Anesthesiologist sekitar 89% POVL disebabkan oleh ION. ION pada operasi tulang belakang
dengan posisi pronasi dapat terjadi akibat kombinasi dari hipotensi, hilangnya darah, dan
peningkatan tekanan vena pada orbital. Kompresi dari abdomen selama posisi pronasi, posisi
Trendelenburg, dan penempatan kepala dibawah posisi jantung dapat meningkatkan tekanan
intraokular sedangkan posisi reverse Trendelenburg dapat mengurangi tekanan pada orbital.
Peningkatan tekanan vena pada orbital akan memperburuk edema interstitial sehingga dapat
terjadi kompresi pembuluh darah dan mengurangi perfusi pada jaringan tersebut.11

Pembedahan pada posisi pronasi meningkatkan risiko cedera pada tulang servikal dan
pleksus brakialis akibat adanya tekanan pada titik tersebut atau ketegangan pada fleksi atau
ekstensi sehingga terjadi peningkatan tekanan vena intraneural, edema lokal, dan gangguan
transmisi aksoplasmik. Bentuk lesi saraf biasanya dalam bentuk neuropraksia atau
axonotmesis. Abduksi dari lengan yang melebihi 90o akan menempatkan pasien dalam risiko
tinggi untuk terjadinya pleksopati brakial. Hipovolemia, hipotermia, diabetes mellitus,
alkoholisme, dan malnutrisi merupakan faktor risiko.11,12

17
2.7. Posisi Sitting

Posisi sitting atau posisi duduk ini biasanya digunakan untuk operasi yang
berhubungan dengan tulang servikal dan prosedur bedah saraf lainnya seperti pada posterior
fossa. Selain prosedur bedah saraf, posisi ini juga terkadang dapat digunakan untuk operasi
pada bahu seperti prosedur artroskopi namun dilakukan sedikit modifikasi yaitu menjadi
beach – chair position. Ketika pasien diposisikan duduk, kepala harus terfiksasi secara
adekuat. Hal tersebut dapat dicapai menggunakan head strap, tape, atau fiksasi kaku. Kedua
lengan pasien harus ditopang dan diberikan bantalan dan kedua lutut harus sedikit difleksikan
untuk keseimbangan dan mengurangi regangan pada saraf siatika dan kedua kaki juga harus
ditopang dan diberikan bantalan.7

Gambar 15. Posisi Sitting

Komplikasi

Komplikasi terpenting dan paling membahayakan dari posisi ini adalah dapat
terjadinya emboli udara pada vena. Hal tersebut dapat terjadi pada prosedur intrakranial,
dimana udara dapat masuk melalui sinus venosus dan tekanan vena yang rendah pada saat
operasi akan menciptakan gradien untuk udara masuk ke dalam sistem vena. Emboli kecil
hanya dapat dideteksi menggunakan transesophageal echocardiography (TEE). Emboli
dengan ukuran sedang, dapat dilihat dari menurunnya karbon dioksida end-tidal, peningkatan
pada denyut jantung, dan peningkatan tekanan darah. Emboli yang besar dapat menyebabkan
takikardia, aritmia, gagal jantung kanan, dan henti jantung.7

18
BAB III
KESIMPULAN

Setiap posisi yang digunakan untuk operasi atau prosedur bertujuan untuk
memberikan akses ke tempat dilakukannya prosedur tersebut. Beberapa posisi tersebut
memiliki komplikasi – komplikasi yang cukup merugikan untuk pasien, sehingga sangat
perlu diperhatikan untuk memposisikan pasien sebelum dilakukannya tindakan karena
sebagian besar komplikasi dari posisi – posisi tersebut dapat dicegah dengan memposisikan
dengan cara yang benar dan memperhatikan setiap pressure point agar dapat diberikan
bantalan untuk mencegah terjadinya komplikasi tersebut.

Selain komplikasi yang dapat terjadi paska operasi, tim anestesi juga harus
memperhatikan segala perubahan fisiologis terutama perubahan hemodinamika pada saat
berlangsungnya operasi, seperti terjadinya hipotensi pada posisi reverse Trendelenburg. Perlu
diperhatikan juga jika komplikasi pada intra operasi yang tidak ditangani cepat maka akan
berdampak pada komplikasi paska operasi seperti terjadinya gagal ginjal akut akibat
hipotensi yang terlalu lama.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Michiels C. Physiological and Pathological Responses to Hypoxia. The American


Journal of Pathology. 2004;164(6):1875–82.
2. Patwa A, Shah A. Anatomy and physiology of respiratory system relevant to
anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia. 2015;59(9):533.
3. Sherwood L, Ward C. Human physiology: from cells to systems. 9th ed. Toronto,
Ontario: Nelson; 2016.
4. Hall JE. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology: Enhanced E-book. 13E
ed. London: Elsevier Health Sciences; 2016.
5. McCance KL, Huether SE. Pathophysiology: The Biologic Basis for Disease in Adults and
Children. Missouri: Mosby; 2014.
6. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, Cahalan MK. Clinical Anesthesia. 8th ed. Phila:
Wolters Kluwer; 2017.
7. Pardo M, Miller RD. Basics of Anesthesia . 7th ed. Elsevier; 2017.
8. Armstrong M. Anatomy, Patient Positioning [Internet]. StatPearls [Internet]. U.S.
National Library of Medicine; 2019 [cited 2019Jul1]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513320/
9. Knight DJW. Patient positioning in anaesthesia | BJA Education ... [Internet]. 2004
[cited 2019Jul1].
10. Sasajima H, Goto Y, Taniyama I, Aita K, Owada K, Tatsuzawa K, et al. Strategies to
Prevent Positioning-Related Complications Associated with the Lateral Suboccipital
Approach. Journal of Neurological Surgery Part B: Skull Base. 2013;75(01):035–40.
11. Depasse JM. Complications associated with prone positioning in elective spinal
surgery. World Journal of Orthopedics. 2015;6(3):351.
12. Kwee MM, Ho Y-H, Rozen WM. The Prone Position During Surgery and its
Complications: A Systematic Review and Evidence-Based Guidelines. International
Surgery. 2015;100(2):292–303.
13. Kim SJ, Barlog JS, Akhavan A. Robotic-Assisted Urologic Surgery in Infants:
Positioning, Trocar Placement, and Physiological Considerations. Frontiers in
Pediatrics. 2019;6.

20
21

Anda mungkin juga menyukai