Anda di halaman 1dari 11

POSISI SPINAL ANESTESI

OLEH
AISYAH RATNA YUNIARTI
19/453455/PKU/18352

Peserta PPDS I Anestesiologi dan Terapi INtensif


Fakultas Kedokteran UGM/RSUP Dr. Sardjito

Pembimbing

Dr. dr. Sudadi, Sp. An, KNA, KAR

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGIDAN TERAPI INTENSIF


FKKMK UGM/ RSUP DR. SARDJITO
YOGYAKARTA
2020
LEMBAR PENGESAHAN

MANAJEMEN POST DURAL PUNCTURE HEADACHE

OLEH
AISYAH RATNA YUNIARTI
19/453455/PKU/18352

Peserta PPDS I Anestesiologi dan Terapi INtensif


Fakultas Kedokteran UGM/RSUP Dr. Sardjito

Pembimbing Moderator

Dr. dr. Sudadi, Sp. An, KNA, KAR dr. Yunita W, Sp. An,, M. Kes, KAP, PhD

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGIDAN TERAPI INTENSIF


FKKMK UGM/ RSUP DR. SARDJITO
YOGYAKARTA
2020
ABSTRACT

Spinal anesthesia is a regional analgesia by blocking nerve cells in the subarachnoid


space by local anesthetic drugs. Factors that influence the spread of local anesthetics include
characteristics of local anesthesia (baricity dose, volume, viscosity), technical (position of the
patient's body, injection site, barbotase, type of spinal needle), patient characteristics (age,
height, body weight, intra-abdominal pressure, anatomy of the spine).

Keywords : position, spinal anesthesia


ABSTRAK

Anestesi spinal adalah analgesi regional dengan menghambat sel saraf di salam ruang
subarachnoid oleh obat anestetik local. Faktor yang mempengaruhi penyebaran anestesi local
antara lain karakteristik anestesi local (barisitas, dosis,volume,viskositas), teknis (posisi tubuh
pasien, tempat penyuntukan, barbotase, jenis jarum spinal), karakteristik pasien (usia, tinggi,
berat badan,tekanan intraabdomen,anatomi tulang belakang).

Kata kunci : posisi, anestesi spinal


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anestesi spinal adalah analgesi regional dengan menghambat sel saraf di salam ruang
subarachnoid oleh obat anestetik local. Teknik anestesi ini dianggap menjadi popular karena
sederhana dan efektif, aman terhadap system saraf, konsentrasi obat daam plasma yang tidak
berbahaya dan mempunyai beberapa keuntungan, antara lain tingkat analgesi cukup kuat,
pasien tetap sadar, pemulihan fungsi saluran cerna lebih cepat. Jenis obat anestesi local yang
ideal adalah obat dengan onset cepat, durasi kerja dan tinggi blockade yang dapat diperkirakan.
Faktor yang mempengaruhi penyebaran anestesi local antara lain karakteristik anestesi local
(barisitas, dosis,volume,viskositas), teknis (posisi tubuh pasien, tempat penyuntukan,
barbotase, jenis jarum spinal), karakteristik pasien (usia, tinggi, berat badan,tekanan
intraabdomen,anatomi tulang belakang).1,3

B. Manfaat
Agar seorang ahli anestesi dapat memanajemen pasien yang akan dilakukan Teknik
anestesi spinal
C. Tujuan
Untuk mengetahui faktor-faktor yang harus diperhatikan terkait teknik anestesi spinal
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANESTESI SPINAL
Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal yang
menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal atau ruang
subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5 untuk menghasilkan onset
anestesi yang cepat dengan derajat keberhasilan yang tinggi. Walaupun teknik ini sederhana,
dengan adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi dari anestesi spinal dan faktor-faktor yang
mempengaruhi distribusi anestesi local diruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan
mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal .1,4
Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik. Pada pemakaian sehari- hari, obat
ini dapat dibagi menjadi golongan amino ester dan golongan amino amida. Ikatan ester
mempunyai sifat mudah dihidrolisis dalam hepar dan oleh plasma esterase, mula kerja lambat,
lama kerja pendek dan hanya sedikit menembus jaringan. Sedangkan ikatan amida mudah
menjadi tidak aktif oleh hepatic amidase, mula kerja cepat, lama kerja lebih lama dan lebih
banyak menembus jaringan. Kelompok ester antara lain procaine, chloroprocaine dan
tetracaine. Kelompok amida antara lain lidocaine, mepivacaine, bupivacaine dan etidocaine. 2,6

B. PERSIAPAN ANESTESI SPINAL

Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan anestesi umum karena untuk
mengantisipasi terjadinya reaksi toksik sistemik yg bisa berakibat fatal, perlu persiapan
resusitasi. Misalnya: obat anestesi spinal/epidural masuk ke pembuluh darah → kolaps
kardiovaskular sampai cardiac arrest. Juga untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan,
sehingga operasi bisa dilanjutkan dg anestesi umum. 4.5
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia umum
yaitu daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan (kelainan
anatomis tulang punggung atau pasien gemuk) .Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah
ini:
1. Informed consent (izin dari pasien serta keluarga)
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hb, Ht, PT (Protrombin Time), PTT (Partial Tromboplastin Time)

Peralatan analgesia spinal


1. Peralatan monitor : tekanan darah, nadi, pulse oximeter,dan EKG
2. Peralatan resusitasi/ anestesia umum
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing/ Quinckebabcock) atau jarum spinal
dengan ujung pinsil (pencil point Whitecare)5,6

C. TEKNIK ANESTESI SPINAL


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah
lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam
30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal
kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien
membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah
duduk.
2. Tentukan Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka
dengan tulang punggung, yaitu L4-L5, lalu lakukan penusukan misal L2-L3, L3-L4,
atau L4-L5. Hati –hati tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap
medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan bupivakain 0.5 % 7,5-15 mg
pada posisi duduk dan 15-20 mg pada posisi horizontal.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat
langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum
spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu
pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari
kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah
resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi
sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum
spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya
likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir)
dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm.6,7

D. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETINGGGIAN BLOK


1. Umur : pada usia tua, penyebabaran obat anestesia lokal lebih ke cephalad akibat ruang
subarachnoid dan epidural menjadi lebih kecil dan terjadi penurunan progresif jumlah
cairan cerebrospinal.3,4

2. Tinggi badan : makin tinggi pasien, makin panjang medula spinalisnya dan volume
cairan serebrospinal di bawah L2 makin banyak sehingga pasien memerlukan dosis
yang lebih besar daripada yang pendek.5
3. Berat badan : pada pasien gemuk terjadi penurunan volume cairan serebrospinal
berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga epidural, sehingga
memengaruhi penyebaran obat anestesia lokal dalam ruang subarachnoid.1,3
4. Jenis kelamin : jenis kelamin tidak berpengaruh langsung terhadap penyebaran obat
anestesi lokal dalam cairan serebrospinal sepanjang semua faktor yang mempengaruhi
adalah tetap.
5. Tekanan intraabdominal : peningkatan tekanan intraabdominal sering dikaitkan
dengan peningkatan penyebaran obat anestesia lokal dalam ruang subarachnoid.
6. Anatomi kolumna vertebralis : lekukan kolumna vertebralis memengaruhi
penyebaran obat anestesi lokal dalam ruang subarachnoid, pada posisi supine obat
anestetik hiperbarik akan banyak berkumpul di T4-T8 (tempat terendah), sedangkan
hipobarik akan berkumpul di L2-L4. Kelainan anatomi seperti skoliosis dan kifosis
akan mempengaruhi penyebaran obat anestetik karena terdapat kelainan pada
kelengkungan kolumna vertebralis.
7. Tempat penyuntikan : penyuntikan obat pada ketinggian L2-L3 atau L3-4
memudahkan penyebaran obat ke arah kranial, sedangkan penyuntikan pada L4-5
karena bentuk vertebra memudahkan obat berkumpul di daerah sakral.
8. Kecepatan penyuntikan : makin cepat penyuntikan obat makin tinggi tingkat
analgesia yang tercapai.
9. Dosis : makin besar dosis makin besar intesitas hambatan dan makin cephalad level
anestesinya.
10. Berat jenis : penyebabaran obat hiperbarik dan hipobarik dalam cairan serebrospinal
dipengaruhi oleh posisi pasien. Penyebaran obat isobarik selama dan sesudah
penyuntikan tidak dipengaruhi oleh posisi pasien.
11. Posisi pasien sebelum dan sesudah penyuntikan : posisi duduk akan menyebabkan
penyebaran dominan ke sakral jika dikombinasikan dengan anestetik hiperbarik
sebaliknya dengan hipobarik. Dengan posisi lateral dekubitus larutan hiperbarik akan
menyebabkan blok unilateral pada sisi bawah sebaliknya pada larutan hipobarik. Posisi
headown dan supine sesudah penyuntikan obat akan menyebabkan penyebaran ke arah
cephalad dengan larutan hiperbarik sebaliknya dengan larutan hipobarik.7,8
12. Konsentrasi larutan : pada umumnya intesitas analgesia meningkat dengan bertambah
pekatnya larutan obat anestesia lokal.8,9
13. Manuver valsava : mengejan akan meninggikan tekanan cairan cerebrospinalis,
sehingga analgesia yang dicapai lebih tinggi, terutama bila dilakukan oleh pasien segera
setelah penyuntikan obat ke dalam ruang subarachnoid.9
BAB III
KESIMPULAN

Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subarakhnoid) ialah pemberian obat


anestetik lokal ke dalam ruang subarackhnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara
menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid.
Faktor yang mempengaruhi penyebaran anestesi local antara lain karakteristik
anestesi local (barisitas, dosis,volume,viskositas), teknis (posisi tubuh pasien, tempat
penyuntukan, barbotase, jenis jarum spinal), karakteristik pasien (usia, tinggi, berat
badan,tekanan intraabdomen,anatomi tulang belakang).
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Kleinman W, Mikhail M. Spinal, epidural & caudal blocks. In: Clinical anesthesiology.
4th ed. Edited by Morgan GE, Mikhail M, Murray MJ: New York, McGraw-Hill. 2005,
pp 290-1.Longnecker DE, Murphy FL. Introduction to anesthesia. 9th ed. Philadelphia,
WB Saunders. 1997, pp 365-76.
2. Brown DL. Spinal, epidural and caudal anesthesia. In: Miller’s Anesthesia. 7th ed.
Edited by Miller RD: Philadelphia, Churchill livingstone. 2010, pp 1625-6.
Dorfman LJ, Bosley TM. Age-related changes in peripheral and central nerve
conduction in man. Neurology 1979; 29: 38-44. Keorochana G, Taghavi CE, Tzeng ST,
Morishita Y, Yoo JH, Lee KB, et al. Magnetic resonance imaging grading of
interspinous ligament degeneration of the lumbar spine and its relation to aging, spinal
degeneration, and segmental motion. J Neurosurg Spine 2010; 13: 494-9.
3. Greene NM. Distribution of local anesthetic solutions within the subarachnoid space.
Anesth Analg 1985; 64: 715-30.
4. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR, Petunjuk Praktis Anestesiologi: Edisi Kedua.
2010. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
5. Soenarto RF, Chandra S, edt. Buku Ajar Anestesiologi 1st edition. 2012. Jakarta :
Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI/RSCM.p.451-78.
6. Robyn Gmyrek, MD, Maurice Dahdah, MD, Regional Anaesthesia, Updated: Aug 7,
2009. Accessed on 20th july 2014 at www.emedicine.com
7. Cianni SD, Rossi M, Casati A. Spinal anesthesia:an evergreen technique. ActaBiomed.
2008;79:9-17
8. Bernard CM. Epidural and Spinal Anesthesia. Barasg PG, Cullen BF, Stoelting
RK.Clinical anesthesia.Philadelphia: Lipppincolt William nd Wilkin;2006

9. McLeod G.A. Density of spinal anesthetic solutions of bupivacaine. Br J Anesth.


2004;92 : 547

Anda mungkin juga menyukai