I. PENDAHULUAN
1. TUJUAN
2. DEFINISI
3. MEKANISME NYERI AKUT
4. PRINSIP PENANGANAN NYERI AKUT
II. FARMAKOLOGI
1. ANESTETIK LOKAL
2. ANALGESIK
A. NON-OPIOID
B. OPIOID
1. SISTEMIK
2. INTRASPINAL
3. KOMBINASI OPIOID / ANESTETIK LOKAL
3. SUPLEMEN UNTUK ANALGESIA
1
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
PENDAHULUAN
TUJUAN
DEFINISI
Menurut IASP (International Association of the Study of Pain) nyeri
didefinisikan sebagai “an unpleasant sensory and emotional experience
associated with actual or potential tissue damage or described in term of such
damage”. Nyeri adalah rasa indrawi dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata atau berpotensi rusak
atau tergambarkan seperti itu.
Nyeri akut : Nyeri yang baru-baru terjadi dan lamanya terbatas, biasanya dapat
dilihat adanya hubungan sebab dan jarak waktu yang jelas dengan terjadinya
kerusakan jaringan atau suatu penyakit.
Nyeri kronik : Nyeri yang berlangsung dalam waktu lama, menetap walaupun
penyebab awalnya sudah sembuh dan seringkali tidak ditemukan penyebab
pastinya.
2
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
MEKANISME NYERI
Ciri khas nyeri akut adalah nyeri yang terjadi akibat adanya kerusakan
jaringan yang nyata (actual tissue damage). Prototipe nyeri akut adalah nyeri
pascabedah.
Antara kerusakan jaringan sebagai sumber rangsang, sampai dirasakannya
sebagai persepsi nyeri terdapat serangkaian peristiwa elektrofisiologis yang secara
kolektif disebut sebagai nosiseptif (nociception). Ada 4 proses fisiologis yang jelas
yang terjadi dalam suatu nosisepsi, yakni 1) transduksi; 2) transmisi 3)
modulasi ; 4) persepsi.
3
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat tertutup
atau terbuka dalam menyelurkan asupan nyeri. Proses modulasi ini dipengaruhi
oleh pendidikan, motivasi, pendidikan, status emosional dan kultur dari
seseorang. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi
sangat subyektif orang per orang dan sangat ditentukan oleh makna atau arti
suatu asupan nyeri.
4. Persepsi (perseption), adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks
dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada
gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai
persepsi nyeri.
Nyeri akut berawal dari kerusakan struktur integumen dari suatu organ.
Substansi penyebab nyeri (algogen) dibentuk atau dilepas di sekitarnya dan
merangsang ujung-ujung syaraf (nosiseptor) dari serabut-serabut tipis yang dilapisi
ataupun tidak dilapisi myelin (proses transduksi). Sinyal yang ditimbulkan dibawa
sepanjang serabut nosiseptor ini ke kornu dorsalis dari medula spinalis (atau
nukleus sensorik dalam hal syaraf kranial) (proses transmisi). Disini proses modulasi
(penguatan atau penekanan) bisa terjadi sebelum sinyal diteruskan ke daerah
tertentu di korteks serebri yang memproses nyeri, sehingga timbul berbagai respons
terhadap sinyal nyeri tersebut (proses persepsi). Sepanjang “jalur nyeri” berbagai
refleks yang ditimbulkan bisa menghasilkan respon yang menguntungkan (misal :
menghindari penyebab rangsang noksius) atau merugikan (misal : perubahan
endokrin atau aktivasi simpatis tertentu).
Secara alamiah nyeri akut biasanya berakhir dengan penyembuhan spontan.
Intensitas nyeri paling tinggi adalah pada saat awal timbul. Dengan terjadinya
penyembuhan dan stabilisasi bagian yang luka, jumlah algogen yang dilepaskan
berkurang, sementara sistem modulasi masih terus aktif sehingga nyeri secara
bertahap akan berkurang. Ini berlaku untuk semua jenis nyeri akut “sederhana”
seperti nyeri pasca bedah, trauma atau luka bakar. Selama tahap pemulihan,
aktivasi berbagai jalur reaksi kimia dapat menyebabkan perubahan karakter nyeri.
4
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
Nyeri akut yang tidak diobati dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya nyeri
kronik.
Nyeri akut bisa timbul berulang, misalnya nyeri pada krisis sickle cell anemia
dan beberapa nyeri kanker. Dengan timbul berulang kali, karakter nyeri ini menjadi
mirip dengan nyeri kronis sehingga akan menjadi tantangan tersendiri bagi klinisi
untuk menanganinya.
5
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
nyerinya sudah dilakukan. Bisa saja skor nyeri yang dilaporkan oleh pasien
sebenarnya masih cukup tinggi.
Untuk menilai pengaruh terapi, perlu dilakukan pengukuran skala nyeri
sebelum dan sesudahnya.
Pentingnya pencegahan
Istilah “plasticity“ digunakan untuk menerangkan perubahan penanganan
sinyal nyeri pada sistem syaraf sebagai akibat dari proses pengalaman dan
pembelajaran atau respon terhadap rangsang nyeri. Dengan tindakan preemptive,
perubahan “plasticity“ ini dapat dicegah atau dikurangi, misalnya : pemberian
analgetik sebelum tindakan bedah dapat mengurangi nyeri pasca bedah.
Anestesi
Jauh dari daerah Penyakit yang sudah Pastikan diagnosa,
Dimana
operasi ada sebelumnya berikan penangangan,
sakitnya ?
Komplikasi lakukan konsultasi bila
pembedahan perlu
Eksaserbasi nyeri
kronik
“Dimana-mana“ Ansiolisis
Stress
atau “Tidak tahu“ farmakologis / non-
Masalah emosional
farmakologis,
yang sudah ada
berikan simpati
Rasanya Tajam, rasa diiris/ Penyebab organik, Penatalaksanaan
seperti ditarik, kram, berhubungan langsung nyeri akut
apa ? berdenyut, dengan pembedahan
spasme
Penyebab organik, tidak Catat dan evaluasi,
Mati rasa, berhubungan langsung pastikan diagnosa
kesemutan dengan pembedahan sebelum memberi
/parestesi, nyeri (misal: kompresi atau terapi
terus menerus trauma syaraf, iskemi)
6
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
Penyebab non-organik
“Aneh“, “Tidak (cemas, takut, dll.) Catat dan evaluasi,
tahu“ terapi suportif,
ansiolisis bila perlu
Tidak nyeri
Nyeri terparah
7
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
FARMAKOLOGI
ANESTETIK LOKAL
Teknik anestesi regional untuk pembedahan memberikan pengaruh positif
pada sistem respirasi, kardiovaskuler dan neuroendokrin; mengurangi perdarahan
dan komplikasi akibat tromboemboli; dan mempersingkat waktu pemulihan. Berbagai
teknik blok syaraf yang dapat dilanjutkan ke pasca bedah menghasilkan analgesia
yang aman dan efektif. Mulai dari infiltrasi sekitar sayatan bedah menggunakan
anestetik lokal kerja panjang, blok syaraf perifer maupun pleksus, hingga teknik blok
kontinu syaraf perifer maupun aksial.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan, konsentrasi yang dianjurkan
dan dosis maksimum yang ”aman” dapat dilihat pada Tabel 3. Dosis yang
dicantumkan adalah dosis untuk pasien dewasa yang sehat; dosis maksimum harus
diperhitungkan berdasarkan berat badan, terutama pada pasien anak.
8
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
Konsentrasi
Konsentrasi Lama kerja Dosis maks.
Obat Pemberian
(%) (jam) (mg/kg)
kontinu (%)
Lidocaine
Infiltrasi 0,5 – 1 1–2
Epidural 1–2 1–2 7
Pleksus / 0,75 – 1,5 1–3
Syaraf
Bupivacaine
Infiltrasi 0,125 – 0,25 1,5 – 6 ---
Epidural 0,25 – 0,75 1,5 – 5 3,5 0,0625 – 0,125
Pleksus / 0,25 – 0,5 8 – 24+ 0,125 – 0,25
Syaraf 0,25 – 0,5 3 – 10 ?
Interpleural
Catatan :
1. Dosis maksimum yaitu pada orang dewasa sehat dgn penambahan epinefrin
1:200.000
2. Bila tidak digunakan epinefrin, kurangi dosis maksimum 30 – 50%
3. Lidokain mempunyai mula kerja cepat dan menyebabkan blok motorik yang
kuat
4. Pada penggunaan bupivakain perlu diperhatikan :
Hindari penggunaan konsentrasi 0,75 pada pasien kebidanan
Konsentrasi rendah terutama menghasilkan blok sensorik
Dapat terjadi aritmia ventrikel dan henti jantung setelah pemberian IV
cepat
Hindari pemberian intrapleural bila pleura abnormal, misal pada
pneumonia
5. Ropivakain mempunyai profil yang mirip dengan bupivakain
ANALGESIK
A. NON-OPIOID
Analgesik non-opioid dapat digunakan untuk mengatasi nyeri akut yang
berhubungan dengan pembedahan, trauma dan berbagai kondisi medis. Obat-obat
tersebut memiliki sifat memperkuat kerja dari analgesik opioid. Selain sebagai obat
tambahan / kombinasi untuk nyeri setelah pembedahan besar, golongan non-opioid
sangat bermanfaat untuk pasien rawat jalan, pasien bedah gigi dan pasien bedah
minor. Jika memungkinkan, pemberian obat ini sebaiknya dimulai pada saat
sebelum tindakan pembedahan. Berbagai obat golongan analgesik non-opioid yang
paling sering digunakan dapat dilihat pada Tabel 4.
Beberapa karakteristik obat golongan ini adalah :
1. Efek analgesia terbatas sampai dosis tertentu
9
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
Catatan :
Aspirin mempunyai efek samping nyeri / perdarahan lambung dan gangguan fungsi
trombosit permanen
Parasetamol mempunyai efek samping hepatotoksik pada pemakaian dosis tinggi
jangka lama
Semua NSAIDS :
1. Menyebabkan gangguan fungsi trombosit bersifat sementara
2. Dapat menyebabkan nyeri / perdarahan lambung
3. Dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal
4. Dapat menyebabkan gangguan sistem saraf pusat.
B. OPIOID
SISTEMIK
Opioid sistemik dapat diberikan secara oral, transdermal, SC, IM atau IV.
Pada awal terapi, pemberian opioid sistemik harus dimulai dengan dosis awal yang
cukup (loading) agar tercapai konsentrasi analgesik terendah yang efektif (minimum
effective analgesic concentration / MEAC). Setelah itu efek analgesia dapat mudah
dipertahankan dengan menjaga kadar obat dalam darah. Tabel 5. memberikan
pedoman cara pemberian, dosis loading, dosis pemeliharaan dan lama kerja dari
berbagai opioid yang paling sering digunakan.
Catatan :
10
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
11
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
12
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
Contoh :
Seorang pasien kanker memerlukan meperidine 1000 mg IM / 24 jam untuk
mencapai analgesia. Bagaimana cara pemberian morphine sustaine released (MS-
Contin®) agar diperoleh hasil analgesia yang sebanding ?
Meperidine 1000 mg = morphine 125 mg IV (1000 / 8)
Morphine 125 mg IV = MS-Contin® 250 mg (125 / 0,5)
Berikan MS-Contin® 83,3 mg / 8 jam
MS-Contin® tersedia dalam dosis 15, 30, 60 dan 100 mg, jadi bisa digunakan
dosis 75 atau 90 mg setiap 8 jam (karena tablet tidak boleh dibagi)
Patient-controlled analgesia (PCA) memungkinkan pasien melakukan sendiri
pemberian opioid dalam dosis kecil menggunakan alat yang diprogram untuk
membatasi dosis maksimal. PCA diciptakan untuk meminimalkan pengaruh
perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik antar pasien. Bila pasien menekan
tombol pemicu, pompa yang diatur oleh suatu mikroprosesor akan memberikan
dosis yang diprogram. Suatu timer pada pompa akan membatasi pemberian dosis
berikutnya sebelum suatu tenggang waktu (lockout interval) terlewati. Dengan
demikian pasien melakukan sendiri titrasi dosis yang dibutuhkannya dalam batas-
batas aman yang sudah ditentukan sebelumnya. Pemberian opioid menggunakan
PCA juga dapat melalui subkutan atau epidural. Tabel 7. memberikan pedoman PCA
untuk beberapa opioid yang sering digunakan.
Tabel 7. PEDOMAN PEMBERIAN OPIOID PCA IV
Dosis bolus Lockout interval
Obat Konsentrasi
(mg) (menit)
Morphine 1 mg / ml 0,5 – 2,5 5 – 10
Meperidine 10 mg / ml 5 – 25 5 – 10
Fentanyl 0,010 mg / ml 0,010 – 0,020 3 – 10
Sufentanil 0,002 mg / ml 0,002 – 0,005 3 – 10
Nalbuphin 1 mg / ml 1-5 5 - 15
e
Catatan :
1. Kebutuhan opioid setiap pasien sangat bervariasi
2. Untuk pasien usia lanjut atau sakit berat gunakan dosis kecil pada awal
pemberian
INTRASPINAL (INTRATHECAL / EPIDURAL)
13
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
Catatan :
1. Dosis dan lama kerja bisa berbeda pada setiap pasien tergantung pada : usia,
kondisi penyakit, lokasi penyuntikan, jenis nyeri, dan berbagai faktor lain.
2. Pada pasien usia lanjut dan pada pemberian di daerah servikal / torakal
diperlukan dosis yang lebih kecil
3. Jika dikombinasikan dengan anestetik lokal, bisa digunakan bupivacaine
0,0625%
4. Lama kerja sangat bervariasi, dosis yang lebih tinggi memberikan lama kerja
lebih panjang.
14
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
Penelitian telah membuktikan bahwa opioid intraspinal dapat secara aman diberikan
di bangsal umum dengan syarat :
Perawat telah mendapat pelatihan yang memadai
Pasien dipilih secara seksama
Pernafasan pasien diawasi secara berkala
Terdapat protokol untuk mengatasi komplikasi dengan segera
Staf medis dapat segera membantu bila diperlukan
SUPLEMEN ANALGESIA
15
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
BENZODIAZEPINE
Obat-obat benzodiazepine telah digunakan secara luas dan terbukti
bermanfaat mengurangi rasa cemas yang disebabkan oleh nyeri akut. Sifat
anxiolytic obat golongan ini mirip satu sama lain, melalui mekanisme potensiasi
inhibisi syaraf yang dimediasi oleh GABA. Lama kerja ditentukan oleh waktu paruh
dan ada tidaknya metabolit aktif. Diazepam paling banyak digunakan, namun karena
waktu paruhnya dan salah satu metabolitnya panjang maka pemulihan setelah
pemberian dosis besar akan sangat lambat. Lorazepam kurang bersifat lipophilic
dan mempunyai mula kerja lambat dan masa pemulihan lebih panjang. Pemberian
dosis sebelum tidur akan memudahkan dan meningkatkan kualitas tidur. Midazolam
larut dalam air dan mempunyai mula kerja cepat serta masa kerja singkat, efek
amnesia yang dihasilkan sangat baik. Midazolam sesuai untuk diberikan secara
infus kontinu karena tidak mempunyai metabolit aktif. Harus diingat bahwa
benzodiazepine dapat meningkatkan depresi pernafasan yang disebabkan oleh
opioid.
KETAMINE
Ketamine asal mulanya diperkenalkan sebagai obat anestesi dissosiatif dan
telah secara luas digunakan, terutama untuk pembedahan pada luka bakar.
Ketamine dalam dosis ”subdissosiatif” berguna juga sebagai suatu analgesik. Dosis
tunggal 0,4 mg/kg IV menghasilkan efek anti nyeri yang sebanding dengan
meperidine 1 mg/kg IV. Dosis ini menghasilkan analgesia yang memuaskan selama
1 jam pada 80% pasien pasca bedah. Penelitian pada pemberian infus kontinu
menunjukkan ketamine menghasilkan analgesia lebih rendah dibanding opioid,
namun fungsi respirasi sama sekali tidak terganggu. Kecepatan pemberian yang
disarankan adalah 3 – 4 mg/kg/jam setelah bolus awal 1 mg/kg. Delirium dan
halusinasi sering ditemukan setelah pemberian dosis anestesi maupun analgesi.
Untuk mengurangi insidensi dan intensitasnya dapat diberikan premedikasi dengan
opioid dan hyoscine, pemberian physostigmine atau dosis kecil barbiturat,
benzodiazepine atau droperidol. Pada pemberian berulang dapat terjadi toleransi
terhadap ketamin.
PERMASALAHAN
Banyak pasien telah menikmati kemajuan pengetahuan, keterampilan dan
teknologi canggih yang diterapkan pada pembedahan dewasa ini. Namun
penatalaksanaan nyeri yang optimal masih sering dilupakan. Meskipun pengetahuan
tentang patofisiologi nyeri dan farmakologi analgesik serta teknik pengendalian nyeri
telah mengalami kemajuan, banyak pasien masih menderita nyeri setelah
pembedahan.
Dokter dan perawat seringkali kurang adekuat menangani nyeri pasca bedah
karena berbagai sebab. Salah satunya adalah karena kurangnya pengetahuan
mengenai rentang dosis efektif dan lama kerja opioid, serta adanya ketakutan yang
16
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
tidak beralasan akan terjadinya depresi pernafasan dan ketergantungan obat pada
pasien yang mendapat terapi opioid.
Dengan menggunakan pengetahuan, obat-obatan dan teknik yang kini
tersedia, semua pasien dengan nyeri pasca bedah seharusnya dapat menikmati
analgesia yang efektif.
Respon fisiologis terhadap luka atau stress bisa berupa gangguan fungsi
pulmonal, kardiovaskuler, gastrointestinal, uriner, metabolisme dan fungsi otot serta
perubahan neuroendokrin dan metabolik.
Pembedahan pada daerah abdomen atas atau toraks menyebabkan
perubahan fungsi paru, yaitu penurunan kapasitas vital, volume tidal, volume
residual, kapasitas residual fungsional dan volume ekspirasi paksa satu detik.
Terjadi juga peningkatan tonus otot abdomen dan penurunan fungsi diafragma.
Semua ini menyebabkan penurunan komplians paru-paru, splinting otot pernafasan,
kesulitan bernafas dalam atau batuk-batuk kuat, dan pada beberapa kasus berlanjut
menjadi hipoksemia, hiperkarbia, retensi sekret, atelektase dan pneumonia.
Meningkatnya tonus otot juga meningkatkan konsumsi oksigen dan produksi asam
laktat.
Nyeri merangsang neuron simpatis dan mengakibatkan takikardia,
peningkatan stroke volume, kerja jantung dan konsumsi oksigen miokardium
sehingga terjadi peningkatan resiko iskemi otot jantung. Resiko trombosis vena
dalam meningkat bila imobilitas karena nyeri menyebabkan penurunan aktivitas fisik,
bendungan vena dan agregasi platelet.
Setelah pembedahan, ileus, mual-mual dan muntah dapat terjadi karena
berbagai sebab termasuk karena adanya impuls nosiseptif pada struktur viseral atau
somatik. Nyeri dapat juga menyebabkan hipomotilitas uretra dan vesika urinaria
sehingga timbul kesulitan berkemih. Karena efek samping ini pasien menjadi lebih
lama tinggal di rumah sakit.
PENATALAKSANAAN
17
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
paling baru dan canggih namun bila variasi dosis dan interval antar pasien tidak
diperhatikan dan penilaian efektifitas secara berkala tidak dilakukan, hasil yang
dicapai akan kurang optimal.
Dalam memilih teknik yang terbaik perlu dipertimbangkan faktor-faktor : klinis, pasien
dan institusi.
Faktor klinis
Jenis pembedahan tertentu diketahui menyebabkan nyeri yang lebih hebat
dari pembedahan lain, misalnya bedah toraks atau abdomen akan lebih nyeri dari
pembedahan pada tangan atau kaki. Perbedaan ini harus dikenali, demikian juga
berbagai pilihan teknik yang bisa digunakan. Sebagai contoh, PCA akan
menghasilkan analgesia yang lebih baik dari pemberian opioid IM ”bila perlu”, namun
demikian epidural opioid analgesia (EOA) masih lebih unggul. Pada pasien tertentu,
analgesia optimal yang dihasikan oleh EOA mungkin sangat diperlukan seperti pada
nyeri hebat yang menggangu fungsi nafas (fraktur iga, bedah toraks) atau pasien
dengan kondisi medis (obesitas, insufiensi respirasi).
18
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
Faktor institusi
Unit khusus yang memberikan pelayanan penatalaksanaan nyeri akut dapat
didirikan di rumah sakit dengan mengambil model APS (Acute Pain Service) seperti
telah dirintis di beberapa rumah sakit pendidikan di Indonesia. Beberapa persyaratan
yang sebaiknya dipenuhi sebelum menjalankan unit APS ini adalah adanya :
Protokol tentang teknik dan obat-obat standar
Protokol tentang penanganan efek samping dan kegagalan terapi
Instruksi terapi yang jelas, bila perlu menggunakan formulir khusus
Penilaian dan pencatatan skor nyeri secara berkala untuk evaluasi terapi
Pelatihan penatalaksanaan nyeri akut bagi perawat ruangan
Pelayanan tersedia selama 24 jam per hari
Program audit dan evaluasi keberhasilan unit APS
CONTOH KASUS
Kasus 1
Masalah : Laki-laki berusia 41 tahun menjalani operasi hernia elektif dengan
anestesi umum.
19
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
metamizole 1000 mg dalam 500 cc cairan infus diberikan drip untuk 8 jam dan
diulang 3 – 4 kali.
Analisa : Pemberian infiltrasi anestetik lokal menghasilkan kontrol nyeri yang cepat
dan bertahan untuk beberapa jam. Pemberian dosis awal analgetik IV diikuti dengan
dosis pemeliharaan memastikan bahwa kadar dalam darah sudah optimal pada saat
efek anestetik lokal berkurang. Delapan belas jam setelah operasi, pasien
melaporkan skor nyeri istirahat 2/10, skor nyeri pada saat batuk-batuk kuat 4/10 dan
pasien dapat tidur dengan baik pada malam harinya. Analgesia tercapai dengan efek
samping atau komplikasi minimal, dan memerlukan sarana yang biasa ada di rumah
sakit serta ekonomis.
Kasus 2
Masalah : Wanita usia 69 tahun dengan karsinoma esofagus menjalani operasi
esofago-gastrektomi yang memerlukan insisi abdomen dan toraks. Setelah operasi
yang berlangsung 11 jam, pasien dirawat di ICU dalam keadaan terintubasi untuk
monitoring dan ventilasi mekanik.
Ini adalah contoh penatalaksanaan yang sederhana namun efektif dalam menangani
nyeri pasca pembedahan yang kompleks dengan morbiditas tinggi. Meskipun relatif
lebih mahal, namun analgesia kuat yang dihasilkan telah mempercepat pemulihan,
mengurangi komplikasi dan memperpendek masa tinggal di ICU yang hasil akhirnya
akan mengurangi biaya perawatan.
20
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
NYERI TRAUMA
PRINSIP UMUM
Pada penanganan nyeri karena trauma dapat dibedakan tiga tahap yang
berbeda : tahap emergensi, tahap penyembuhan dan tahap pemulihan. Pada setiap
tahap bisa ditemukan 2 jenis masalah nyeri yaitu :
1. Nyeri kontinu : nyeri yang ada pada saat istirahat atau melakukan aktifitas
sehari-hari
2. Nyeri insidental / sehubungan dengan tindakan (incident pain) : nyeri yang
timbul saat manipulasi / pembersihan luka, ganti balutan, memandikan /
membalik pasien, dsb.
Trauma pada suatu bagian dari sistem syaraf menyebabkan nyeri kontinu
yang seringkali bersifat seperti rasa terbakar. Berbagai istilah digunakan untuk
menggambarkan keadaan ini – nyeri deafferensiasi, nyeri disestesi, nyeri simpatis
(termasuk reflex sympathetic dysthrophy), namun istilah yang paling mencakup
semuanya adalah nyeri neuropatik. Kadangkala nyeri neuropatik timbul segera
setelah trauma terjadi namun seringkali baru muncul setelah beberapa hari atau
beberapa minggu. Nyeri ini harus dibedakan dari nyeri yang disebabkan karena
kerusakan jaringan selain sistem syaraf.
Diagram alur untuk mendiagnosa dan mengobati nyeri neuropatik dapat dilihat pada
Bagan.
Nyeri neuropatik tidak responsif terhadap terapi opioid. Bisa dipertimbangkan
penatalaksanaan menggunakan obat anti depresan, obat anti kejang, membran
stabilisator, atau kombinasi darinya. Berbeda dengan nyeri karena kerusakan
jaringan lain, nyeri neuropatik seringkali menetap dan berkembang menjadi
sindroma nyeri kronik. Nyeri neuropatik adalah salah satu kondisi dimana
penatalaksanaan nyeri akut dan nyeri kronis bertemu dalam satu spektrum.
TAHAP EMERGENSI
Selama tahap ini nyeri sangat hebat dan terutama disebabkan stimulasi
nosiseptif yang berkepanjangan karena adanya kerusakan jaringan. Tujuan utama
pada tahap ini adalah stabilisasi pasien untuk mempertahankan kehidupan dan
fungsi organ. Lama tahap ini bervariasi, tapi biasanya tidak lebih dari 72 jam seperti
pada pasien trauma karena luka bakar. Modalitas penatalaksanaan dipengaruhi
banyak faktor, termasuk kondisi pasien dan ketersediaan dan pengalaman dari
personil yang menangani seperti dirangkum dalam Tabel 9. Pada banyak kasus,
nyeri dapat dikurangi dengan mengatasi trauma yang mendasari, seperti
pemasangan WSD pada pneumotoraks, stabilisasi fraktur iga atau fraktur
ekstremitas. Segera setelah evaluasi bedah atau neurologis dari pasien trauma
dianggap cukup, pemberian analgesia dalam tahap emergensi tidak merupakan
kontra indikasi. Bahkan dengan berkurangnya nyeri dan pasien menjadi kooperatif,
21
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
penanganan selama tahap ini bisa lebih efektif. Pasien luka bakar harus segera
mendapat analgesia yang efektif segera setelah tercapai stabilisasi hemodinamik.
Selama tahap emergensi penatalaksanaan nyeri terutama menggunakan obat
sistemik untuk trauma yang luas dan teknik anestesi / analgesia regional setelah
stabilisasi pasien dengan trauma terbatas.
Bagan berikut memberikan pedoman penanganan nyeri untuk beberapa jenis
trauma yang paling sering terjadi.
22
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
Opioid sistemik
1. Parenteral (IV, IM, SC) Opioid intraspinal
2. Enteral (sustained (pada tahap awal)
release) TENS
NYERI KONTINU 3. Transdermal (fentanyl) Ketorolac atau NSAID
Non opioid (aspirin, parenteral (pada tahap
parasetamol, NSAID) awal)
Kombinasi opioid dan NSAID oral
NSAID
Farmakologis
= tahap emergensi
NYERI INSIDENTAL
Non-farmakologis
(hipnosis, teknik relaksasi, pengalihan perhatian)
TAHAP REHABILITASI
Lama tahap ini sulit dipastikan, pasien trauma sudah masuk tahap mobilisasi
dan mungkin sudah keluar dari rumah sakit. Pada pasien luka bakar misalnya luka
telah menutup dan dilanjutkan dengan rehabilitasi medik atau rehabiltasi kerja.
Karakter nyeri pada tahap ini digambarkan sebagai nyeri yang dalam dan terus
menerus, mirip dengan misalnya nyeri karena radang sendi. Masalah nyeri jangka
panjang bisa muncul pada tahap ini, sering dijumpai awal dari sindroma nyeri yang
Nyeri seperti terbakar / menjalar /
dimediasi oleh saraf simpatis.disestesia pada trauma / luka bakar ;
Penatalaksanaan nyeri paling
terdapat bukti baik
trauma menggunakan
sistem syaraf NSAID, parasetamol atau
jika perlu pemberian opioid lemah seperti codeine (Tabel 11.). Nyeri insidental
Blok simpatis
selama tahap ini dapat ditangani seperti untukpada
diagnosatahap penyembuhan.
Trauma
Tidak luas Trauma regional
Obat antidepresan (misal:
Opioid amitriptilin Non-opioid
sistemik25-50 mg/hari)
biasanya tidak diperlukan 1. Aspirin
NYERI KONTINU
Non-opioid Nyeri Ya 2. dosis
Sesuaikan Parasetamol
untuk
berkurang
mungkin diperlukan mencapai respon
3. NSAID
optimal
NYERI INSIDENTAL Tidak = tahap penyembuhan
Infus lidokain IV 5 mg/kg
dalam 1 jam untuk diagnosa
Trauma toraks
24
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
Opioid IV PCA
Analgesik Blok syaraf
oral interkostal
Kemungkinan
Kateter Epidural ekstubasi
interpleural torasik
PCA
Trauma abdomen
Trauma neurologis
25
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
Trauma ekstremitas
Analgesia PCA
epidural Perlu untuk memonitor fungsi syaraf ?
Ya Tidak
KASUS KLINIS
KASUS 1
Laki-laki 32 tahun yang sebelumnya sehat dirawat karena luka bakar grade II dan III
seluas 70% mengenai wajah, badan, tangan dan kaki. Pasien diintubasi dan
diventilasi karena gagal nafas akibat inhalasi uap panas. Skor nyeri 10 / 10 dan
pasien tampak sangat gelisah dan kesakitan.
Penatalaksanaan :
Tahap emergensi dan penyembuhan awal
Pilihan 1 : Nyeri dikontrol dengan bolus morphine IV yang dititrasi hingga total
pemberian 60 mg, dilanjutkan dengan infus morphine 10 mg/jam IV. Nyeri insidental
diatasi dengan meningkatkan dosis infus setelah sebelumnya diberikan bolus ekstra
morphine IV. Untuk agitasi diberikan midazolam 1 mg/jam setelah bolus awal 4 mg
IV.
Analisa :
Beberapa hal penting yang harus diingat selama penatalaksanaan pasien ini
adalah :
Pasien mungkin akan terintubasi untuk 3 – 10 hari untuk mengatasi masalah paru-
paru. Ini merupakan tahap emergensi.
26
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
Pasien akan merasakan nyeri ringan hingga sedang sehubungan dengan lukanya
dan aktifitas normal seperti berbaring miring atau bernafas (ini adalah nyeri kontinu)
Pasien akan merasakan nyeri hebat 2 – 3 kali per hari pada saat pembersihan luka /
ganti balutan (ini adalah nyeri insidental).
Pasien mungkin mengalami gangguan kardiovaskuler karena sepsis atau kehilangan
cairan
Beberapa hal dapat mempersulit terapi seperti disorientasi, gangguan tidur.
Pilihan 1 adalah skenario yang umum ditemukan pada unit luka bakar, dan
menunjukkan teknik yang relatif sederhana-memberikan dosis loading diikuti dengan
dosis pemeliharaan. Kebutuhan opioid dan midazolam bisa meningkat tajam pada
hari-hari pertama penatalaksanaan menggunakan teknik ini dan dosis harus sering
diubah sesuai dengan kebutuhan.
Nyeri insidental memerlukan pendekatan lain. Bolus tambahan morphine perlu waktu
sebelum bekerja, pada pasien ini dapat diberikan fentanyl 1 – 5 mcg/kg yang dititrasi
untuk mengatasi nyeri selama penggantian balutan.
Pilihan 2 dapat dilakukan bila pasien tetap sadar, kooperatif dan responsif meskipun
terintubasi dan mendapat ventilasi mekanik. Dengan teknik ini dapat dicegah
terjadinya disorientasi dan oversedasi yang biasanya terjadi bila morphine IV
diberikan oleh orang lain.
Segera setalah pasien dapat menggunakan rute enteral, dapat diberikan morphine
slow release dengan lama kerja panjang. Dosis yang diperlukan dapat dihitung
menggunakan metode dan tabel yang telah diberikan pada bab Farmakologi.
KASUS 2
Laki-laki 25 tahun mengalami kecelakaan lalu-lintas dan menderita fraktur iga
bilateral multipel dengan flail chest, pneumotoraks kanan dan kontusio paru kanan.
Dipasang WSD kanan, namun intubasi belum dipandang perlu segera dilakukan.
Pasien melaporkan skor nyeri 4 / 10 bila berbaring tenang, skor 8 / 10 bila bergerak
atau menarik nafas dalam dan skor 10 / 10 bila batuk-batuk.
Penatalaksanaan :
Pilihan 1 : Dipasang epidural torasik pada level T7-8. Bolus awal bupivacaine 0,25%
5 ml diikuti dengan infus bupivacaine 0,125% dengan kecepatan 8 ml/jam.
Pilihan 3 : Dipasang kateter interpleural pada masing-masing sisi toraks. Bolus awal
bupivacaine 0,125% 25 ml diberikan pada setiap sisi dan dilanjutkan dengan injeksi
ulang setiap ± 5 jam bila perlu untuk mempertahankan analgesia.
27
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar
Analisa
Analgesia yang efektif sangat penting untuk memungkinkan pasien bisa bernafas
dalam, batuk-batuk atau menjalani fisioterapi. Bila analgesia tidak memadai dapat
terjadi penurunan volume paru-paru dan hambatan pengeluaran sekresi yang
selanjutnya mengakibatkan atelektase, oksigenasi jelek dan pneumonia. Pasien
mengalami tahap emergensi yang relatif singkat, namun dalam 48 jam pertama
terdapat resiko tinggi gagal nafas terutama karena adanya kontusio paru.
Penatalaksanaan yang agresif dari nyeri toraks dapat membantu mencegah
terjadinya masalah ini.
Blok epidural dengan anestetik lokal kontinu dapat menghasilkan analgesia yang
prima sehingga fungsi paru membaik dan respon stres dari neuroendokrin menurun.
Pemasangan pada daerah toraks membutuhkan keterampilan lebih tinggi dibanding
pemasangan pada lumbar. Disini prinsip loading seperti pada pemberian sistemik
juga harus diterapkan. Bisa digunakan bupivacaine 0,25% atau lidocaine 1%
dilanjutkan dengan infus kontinu bupivacaine 0,125% atau lidocaine 0,5% sampai
tercapai blok segmental di daerah yang diinginkan.
Sebelum pemberian harus dipastikan bahwa hipovolemia sudah dikoreksi dan
setelah pemberian perlu dilakukan pengawasan terhadap resiko hipotensi.
Kombinasi opioid dengan anestetik lokal telah terbukti mampu meningkatkan
functional residual capacity dan compliance paru. Bisa digunakan fentanyl 10 – 20
mcg/jam dikombinasi dengan bupivacaine 0,06%.
Seorang anestesiologis yang terampil dengan pemasangan epidural torasik
diperlukan untuk dapat menggunakan pilihan 1 di atas. Jika personil yang ada lebih
terbiasa dengan pemasangan epiural lumbar, morphine dosis 4 – 6 mg akan
memberikan analgesia torasik yang baik, namun mula kerja akan lebih lambat. Bila
morphine dengan epidural lumbar gagal memberikan analgesia yang baik, posisi
kateter akan kurang ideal untuk menghasilkan analgesia torasik yang memadai bila
sebagai gantinya digunakan anestetik lokal.
Pada pilihan 2, analgesia sistemik memberikan analgesia yang memadai pada saat
istirahat namun kurang kuat untuk nyeri insidental sehingga perlu diberikan
analgesia tambahan. Ketorolac ditambahkan untuk meghasilkan analgesia melalui
mekanisme perifer dan memperkuat kerja opioid. Jika NSAID parenteral tidak
tersedia dan pasien belum bisa menggunakan rute enteral, dapat digunakan sediaan
NSAID rektal.
28