Anda di halaman 1dari 76

Daftar Isi

Laporan Penelitian

Perbandingan Mannitol 20%, NaCl 3% dan Natrium Laktat Hipertonik terhadap Osmolaritas
Plasma dan Brain Relaxation score pada Pasien Tumor Otak yang menjalani Kraniotomi
Pengangkatan Tumor
Dear Mohtar Wirawijaya, Ruli Herman Sitanggang, Tatang Bisri ...................................................... 1–10

Hubungan antara Volume Residu Gaster dan Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Pasien
Cedera Otak Traumatik Sedang dan Berat
Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri .............................................................................. 11–16

Laporan Kasus

Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan Tumor
Cerebellopontine Angle
Dhania Anindita Santosa, Syafruddin Gaus, Bambang J. Oetoro, Siti Chasnak Saleh ............................. 17–27

Pengelolaan Perioperatif Cedera Medula Spinalis Servikal karena Trauma dengan


Tetraparesis Frankle C Asia
Wahyu S. Basuki, Dewi Yulianti Bisri, Siti Chasnak Saleh, Himendra Wargahadibrata ..................... 28–35

Tatalaksana Perioperatif Pasien dengan Reseksi Arteriovenous Malformation Intrakranial


Endah Permatasari, Syafruddin Gaus, Bambang J. Oetoro .................................................................. 36–43

Tatalaksana Cerebral Venous Sinus Thrombosis dengan Alkoholik dan Perdarahan


Intraserebral
Fitri Sepviyanti Sumardi, Rose Mafiana, Eri Surahman ...................................................................... 44–53

Tinjauan Pustaka

Manajemen Anestesi Stroke Perioperatif


Endah Permatasari, Dewi Yulianti Bisri, Siti Chasnak Saleh, Himendra Wargahadibrata ................... 54–61

Tata Kelola Edem Paru Neurogenik


Riyadh Firdaus, Syafruddin Gaus, Bambang J. Oetoro, Tatang Bisri ................................................... 62–70
Perbandingan Mannitol 20%, NaCl 3% dan Natrium Laktat Hipertonik terhadap
Osmolaritas dan Brain Relaxation Score Pasien Tumor Otak yang menjalani Kraniotomi
Pengangkatan Tumor

Dear Mohtar Wirawijaya, Ruli Herman Sitanggang, Tatang Bisri


Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Latar Belakang dan Tujuan: Mannitol membuat relaksasi otak, namun memiliki efek samping berkurangnya
volume intravaskuler, peningkatan kembali tekanan intrakranial (rebound) dan gagal ginjal. Penggunaan NaCl 3%
dan natrium laktat hipertonik dapat memberikan relaksasi otak yang baik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
peningkatan osmolaritas dan brain relaxation score (BRS) pada pasien yang menjalani kraniotomi pengangkatan
tumor dengan menggunakan mannitol 20%, NaCl 3%, dan matrium laktat hipertonik.
Subjek dan Metode: Penelitian merupakan uji klinik terkontrol secara acak terhadap 39 pasien tumor otak yang
masing-masing mendapatkan 2,5cc/kgBB mannitol 20%, NaCl 3%, dan natrium laktat hipertonik.
Hasil: Tidak ada perbedaan peningkatan osmolaritas yang signifikan antara ketiga kelompok 1 jam setelah
pemberian osmoterapi dan saat durameter dibuka (p>0,05). BRS pada ketiga kelompok memiliki nilai median
yang sama besar (2,00), artinya tidak ada perbedaan BRS yang bermakna (p>0,05). Terdapat peningkatan diuresis
yang signifikan pada pemberian mannitol 20%, peningkatan klorida pada NaCl 3% dan peningkatan glukosa
signifikan pada natrium laktat hipertonik.
Simpulan: Mannitol 20%, NaCl 3%, dan natrium laktat hipertonik memberikan relaksasi otak yang sama dan
tidak mengakibatkan perbedaan osmolaritas yang signifikan.

Kata kunci: Brain relaxation score, kraniotomi, mannitol, NaCl 3%, natrium laktat hipertonik, osmolaritas

JNI 2018;7 (1): 1‒10

Comparison Between 20% Mannitol, 3% NaCl and Hypertonic Sodium Lactate on


Osmolarity and Brain Relaxation Score Brain Tumor Patient underwent Craniotomy
Tumor Removal

Abstract

Background and Objective: Mannitol produce brain relaxation but associated with several side effects such
as reduced intravascular volume, rebound in intracranial pressure and kidney failure. The use of 3% NaCl and
hypertonic sodium lactate (HSL) may provide brain relaxation. Aim of this study is to examine increased osmolarity
and brain relaxation score (BRS) in patient underwent craniotomy using 20% mannitol, 3% NaCl, and hypertonic
sodium lactate.
Subject and Method: This is a randomized control study of 39 brain tumor patients divided into three groups each
obtained 2.5cc/kg 20% mannitol, 3% NaCl, and HSL.
Result: there is no significant difference of osmolarity between the three groups 1 hour after administration of
osmotherapy and during the opening of durameter (p>0,05). BRS between the three groups have an equivalent
median score (2,00), it means no significant difference in BRS (p>0,05). A significantly increased diuresis in the
administration of 20% mannitol, increased chloride to 3% NaCl and significant glucose increase in HSL.
Conclusion: Administration of 20% mannitol, 3% NaCl and HSL produce the same brain relaxation and resulted
in insignificant osmolarity differences.

Key words: Brain relaxation score, craniotomy, hypertonic sodium lactate, 20% mannitol, 3% NaCl, osmolarity

JNI 2018;7 (1): 1‒10

1
2 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan darah serebral dan oksigenasi serebral. Efek


samping penggunaan NaCl 3% diantaranya
Otak yang relaks saat pembedahan merupakan adalah peningkatan kembali TIK (rebound),
hal penting untuk memudahkan manipulasi hipokalemia, myelinolisis pontin sentral,
bedah, meminimalisir kerusakan jaringan otak kelebihan cairan akut, gagal ginjal, gagal jantung
yang sehat saat operasi serta meningkatkan atau edema paru.2 Adanya anion klorida yang
luaran neurologik pasien. Peningkatan tekanan tidak dimetabolisme pada penggunaan NaCl
intrakranial dapat mengakibatkan otak yang hipertonik dapat menimbulkan hal yang tidak
tegang intraoperatif. Penatalaksanaan edema diinginkan seperti penurunan strong ion difference
serebral dan peningkatan tekanan intrakranial (SID) dan meningkatkan derajat disosiasi air dan
dengan osmoterapi merupakan komponen menimbulkan asidosis metabolik.7
penting dalam manajemen perioperatif dalam
bedah saraf.1 Berbagai penelitian telah dilakukan untuk
membandingkan penggunaan mannitol dan NaCl
Pemberian osmoterapi saat kraniotomi sebelum 3%. Kedua osmoterapi tersebut telah dibuktikan
duramater dibuka adalah intervensi yang efektif untuk mengontrol TIK melalui mekanisme
dilakukan untuk membuat relaksasi otak pada yang berbeda; dehidrasi osmotik interstitium
operasi intrakranial. Osmolaritas merupakan serebral, penurunan viskositas darah, peningkatan
penentu utama perpindahan air melalui sawar sel darah merah, dan perbaikan mikrosirkulasi.
darah otak yang intak. Bila kita meningkatkan Penelitian prospektif dengan randomisasi buta
osmolaritas serum, jaringan otak normal akan ganda di India dan Amerika terhadap pasien yang
mengalami dehidrasi sehingga volume otak dan menjalani operasi kraniotomi elektif menunjukkan
tekanan intrakranial (TIK) akan menurun.1,2 NaCl 3% memberikan efek relaksasi otak yang
Mannitol telah menjadi pilihan utama osmoterapi sama dibanding dengan mannitol dan mempunyai
pada peningkatan TIK. Mannitol bekerja efek diuresis yang lebih sedikit.8, 9
dengan membuat perbedaan tekanan osmotik,
autoregulasi, viskositas darah menjadi lebih encer Penggunaan cairan hipertonis lain untuk
sehingga pengeluaran CO2 menjadi lebih baik, osmoterapi yang digunakan saat ini adalah atrium
dan mengurangi volume cairan serebrospinal. laktat hipertonik. Laktat dikenal sebagai kunci
Walaupun demikian, mannitol dapat berhubungan metabolit interseluler atau interorgan antara
dengan efek samping yang berat, seperti glikolisis dan fosforilasi oksidatif yang dapat
berkurangnya volume intravaskular (hingga diproduksi dan digunakan oleh otak dalam kondisi
syok), peningkatan kembali TIK (rebound), patologis. Penelitian pada hewan dan manusia
hipokalemia, hemolisis, hiperosmolaritas dan menunjukkan bahwa laktat dapat mencegah
gagal ginjal.l-4 efek neurologis hipoglikemia, mengindikasikan
Selain mannitol, NaCl 3% dapat menurunkan bahwa laktat sistemik dapat dimetabolisme
TIK dan meningkatkan tekanan perfusi serebral oleh otak. Sebuah data eksperimental pada
dengan efektifitas yang sama seperti mannitol.5,6 hipokampus tikus yang mengalami reperfusi
NaCl 3% memiliki keuntungan dibanding dengan iskemia menunjukkan bahwa laktat merupakan
mannitol pada pasien yang hipovolemik atau substrat yang lebih baik dari glukosa. Natrium
hipotensif, atau pada situasi lain seperti gagal laktat hipertonik juga memberikan fungsi
ginjal, osmolaritas serum >320 mOsm/l. Efek ini kognitif yang lebih baik secara signifikan pada
didapatkan bukan hanya karena efek osmotiknya tikus 10–15 hari setelah cedera otak traumatik
yang menurunkan cairan intraserebral namun dibandingkan dengan NaCl hipertonik.7, 8
memiliki komponen hemodinamik yang
menguntungkan (seperti pada pasien cedera otak Sebuah penelitian yang dilakukan di Makasar
traumatik dengan syok), yaitu meningkatkan terhadap pasien yang menjalani kraniotomi
cairan ekstraseluler, curah jantung, dan tekanan pada tahun 2012 membandingkan efektivitas
arteri rerata yang akan meningkatkan aliran Na laktat hipertonik dan mannitol terhadap
Perbandingan Mannitol 20%, NaCl 3% dan Natrium Laktat Hipertonik terhadap Osmolaritas 3
dan Brain Relaxation Score Pasien Tumor Otak yang menjalani Kraniotomi Pengangkatan
Tumor

relaksasi otak dan kadar glukosa. Penelitian sampel minimal untuk masing-masing kelompok
tersebut menunjukkan bahwa Na laktat adalah 13 orang. Total sampel untuk 3 kelompok
hipertonik memberikan relaksasi otak yang sama adalah 39 orang. Pemilihan subjek penelitian
dibanding dengan mannitol namun dengan profil berdasarkan consecutive sampling, yaitu urutan
hemodinamik yang lebih stabil tetapi disertai datang pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan
peningkatan kadar glukosa yang signifikan.7 tidak termasuk kriteria ekslusi serta besar sampel
minimal. Alokasi subjek ke dalam perlakuan
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan berdasarkan permutasi blok.
pengaruh mannitol 20%, NaCl 3%, dan Na laktat
hipertonik terhadap peningkatan osmolaritas Subjek penelitian sebanyak 39 subjek dibagi
plasma dan Brain Relaxation Score (BRS) menjadi 3 kelompok yang dilakukan secara acak
pada pasien tumor otak yang menjalani operasi menggunakan blok permutasi, yaitu kelompok
kraniotomi pengangkatan tumor. Sampai saat A mendapatkan mannitol 20% dosis 2,5 mL/
ini belum ada penelitian yang membandingkan kgBB intravena terdiri atas 13 subjek, kelompok
ketiga osmoterapi tersebut secara bersamaan B mendapatkan NaCl 3% dosis 2,5 mL/kgBB
untuk meningkatkan osmolaritas plasma dan intravena terdiri atas 13 subjek dan kelompok C
pada operasi kraniotomi pengangkatan tumor. mendapatkan natrium laktat hipertonik dosis 2,5
mL/kgBB intravena terdiri atas 13 subjek. Setelah
II. Subjek dan Metode mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
Penelitian ini merupakan penelitian randomized Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung,
controlled trial (RCT) dengan randomisasi dilakukan informed consent kepada pasien
permutasi blok mengenai peningkatan osmolaritas mengenai pembedahan dan penelitian yang akan
plasma dan BRS pada kraniotomi pengangkatan dilaksanakan. Pasien yang sesuai kriteria dan
tumor. Subjek penelitian adalah pasien tumor telah menandatangani informed consent dijadikan
otak yang menjalani kraniotomi pengangkatan sebagai subjek penelitian. Semua pasien yang
tumor di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. ikut serta dalam penelitian ini diinfus dengan
Penelitian dilakukan dari bulan Februari 2017 Ringerfundin 2 mL/kg/jam sebelum masuk ke
sampai dengan Mei 2017. Kriteria inklusi kamar operasi. Setelah masuk ke kamar operasi,
subjek penelitian ini adalah pasien dengan tumor dipasang alat–alat untuk memantau tekanan
intrakranial yang menjalani operasi kranotomi darah non invasif, elektrokardiogram, saturasi
pengangkatan tumor, status fisik berdasarkan oksigen, dan suhu. Pemasangan akses vena
American Society of Anesthesiologist (ASA) sentral dan jalur arteri dilakukan sesuai dengan
dalam kategori I dan II, usia pasien antara indikasi. Preoksigenasi dilakukan selama 5 menit
18 sampai dengan 65 tahun, Glasgow Coma dengan oksigen 100% sebelum induksi dimulai.
Scale >13, pasien tidak memiliki gangguan Induksi dilakukan dengan lidokain 1,5 mg/kgBB,
ginjal dan kardiovaskular sebelumnya. Subjek fentanil 3 mcg/kgBB, thiopental 5 mg/kgBB,
penelitian dieksklusi pada pasien dengan riwayat dan rokuronium 1 mg/kgBB, setelah itu volatil
alergi terhadap obat–obatan yang digunakan isofluran/sevofluran dibuka 1 MAC. Intubasi
dalam penelitian, riwayat operasi intrakranial dilakukan dengan laringoskopi direk. Setelah
sebelumnya, hiponatremia atau hipernatremia intubasi, dipasang monitor EtCO2 dan dilakukan
sebelumnya, dan riwayat penggunaan terapi pengambilan sampel darah untuk menghitung
hiperosmolar kurang dari 24 jam. Pada penelitian osmolaritas plasma. Dengan menggunakan 3
ini desain yang digunakan adalah analitis amplop, pasien akan mendapatkan salah satu
kategorik numerik tidak berpasangan. Penentuan dari osmoterapi yang diberikan setelah induksi
besar sampel dilakukan berdasarkan perhitungan dengan dosis 2,5 mL/kgBB dalam waktu 15–
statistik, dengan menetapkan taraf kepercayaan 30 mnt. Rumatan anestesi diberikan dengan
95% dan kuasa uji (power test) 80%; dianggap volatil isofluran atau sevofluran 1 MAC dengan
bermakna bila nilai p<0,05. Perhitungan jumlah O2 dan udara, ditambah dengan thiopental
4 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

kontinu dengan dosis 1–3 mg/kgBB/jam serta 4=Cembung (parenkim otak menonjol ke luar
rokuronium kontinu 10 mcg/kgBB/menit. duramater). Bila ketegangan otak mengganggu
Pemantauan hemodinamik dilakukan setiap 5 manipulasi surgikal diberikan furosemid 20 mg
menit. Setelah induksi dilakukan pemasangan intravena atau ekstra manitol 20% sebanyak
kateter urine untuk memantau diuresis dan balans 0,25 g/kgBB sebagai rescue. Pengambilan darah
cairan. Rumatan cairan diberikan 1,5 cc/kgBB/ untuk pemeriksaan osmolaritas plasma dilakukan
jam. Selama operasi EtCO2 dipertahankan 25–30 sebelum pemberian osmoterapi, 1 jam setelah
mmHg dan Saturasi O2 dipertahankan 98–99%. pemberian osmoterapi, dan saat duramater
Tekanan arteri rerata dipertahankan 20% dari dibuka. Semua data yang diperoleh dicatat dalam
nilai dasar. Episode hipotensi (penurunan tekanan formulir khusus dan dianalisis secara statistika.
arteri rerata 20% dari nilai dasar atau sistolik <
90 mmHg) diterapi dengan 5–10 mg ephedrine. Karakteristik umum, peningkatan osmolaritas
Relaksasi otak dilihat oleh operator yang telah plasma, BRS dan hasil temuan lain dideskripsikan
dilakukan evaluasi tentang tatacara penilaian dalam bentuk tabel distribusi frekuensi yang
BRS agar terdapat penilaian yang sama terhadap menampilkan jumlah (n), rerata, standar deviasi
BRS. Penilaian BRS dengan skala 4 poin, yaitu: (SD), dan persentase (%). Untuk data numerik
1=Relaks sempurna (parenkim otak tidak melekat nilai p diuji dengan One Way Anova apabila data
pada duramater); 2=Cukup relaks (parenkim otak terdistribusi normal dan alternatif uji Kruskal
melekat pada duramater namun masih relaks); Wallis apabila data tidak terdistribusi normal.
3=Tegang (parenkim otak sedikit menonjol); Data kategorik nilai p dihitung berdasarkan uji

Tabel 1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian


Kelompok
Mannitol 20% NaCl 3% Natrium Laktat
Variabel N=13 N=13 Hipertonik Nilai p
N=13
Umur (th)
Mean±Std 39,53±9,896 44,61±9,421 42,30±8,547 0, 389
Jenis kelamin
Laki-laki 2/13 1/13 2/13 0, 795
Perempuan 11/13 12/13 11/13
Lokasi Tumor
Supratentorial 12/13 12/13 11/13 0, 757
Infratentorial 1/13 1/13 2/13
Diagnosis Klinis
Astrositoma 1/13 0/13 0/13 0,628
Glioma 3/13 2/13 2/13
Meningioma 9/13 10/13 9/13
Schwannoma 0/13 1/13 2/13
Rerata MAP
(mmHg)
Mean±Std 84,75±3,453 83,94±4,849 86,82±4,177 0, 213
Keterangan: MAP, Mean arterial pressure; untuk data numerik nilai p diuji dengan uji One Way
Anova apabila data berdsitribusi normal, dengan alternatif uji Kruskal Wallis apabila data tidak
berdistribusi normal. Data kategorik nilai p dihitung berdasarkan uji Chi-Square dengan alternatif
uji Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari Chi-Square tidak terpenuhi. Nilai
kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau
bermakna secara statistik.
Perbandingan Mannitol 20%, NaCl 3% dan Natrium Laktat Hipertonik terhadap Osmolaritas 5
dan Brain Relaxation Score Pasien Tumor Otak yang menjalani Kraniotomi Pengangkatan
Tumor

Tabel 2. Perbandingan Osmolaritas Plasma pada Ketiga Kelompok Osmoterapi


Kelompok
Mannitol 20% NaCl 3% Natrium Laktat
Osmolaritas Nilai p
N=13 N=13 Hipertonik
N=13

Sebelum pemberian
Osmoterapi (mOsm/L)
Mean±Std 291,27±4,332 288,86±3,828 290,01±4,894 0,381
1 Jam setelah pemberian
Osmoterapi (mOsm/L)
Mean±Std 291,73±4,879 293,876±4,151 293,33±6,302 0,556
Saat Duramater Dibuka
(mOsm/L)
Mean±Std 295,34±6,944 297,77±3,895 296,40±7,752 0,629
Keterangan: untuk data numerik nilai p diuji dengan uji One Way Anova apabila data berdsitribusi normal,
dengan alternatif uji Kruskal Wallis apabila data tidak berdistribusi normal. Data kategorik nilai p dihitung
berdasarkan uji Chi-Square dengan alternatif uji Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari
Chi-Square tidak terpenuhi. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda* menunjukkan nilai p<0,05
artinya signifkan atau bermakna secara statistik.

Tabel 3. Perbandingan Brain Relaxation Score pada Ketiga Kelompok Osmoterapi


Kelompok
Mannitol 20% NaCl 3% Natrium Laktat
Variabel N=13 N=13 Hipertonik Nilai p
N=13

Brain Relaxation
score
Median 2,00 2,00 2,00 0,224
Range (min- 1,00-3,00 1,00-3,00 1,00-4,00
max)
Keterangan: untuk data numerik nilai p diuji dengan uji One Way Anova apabila data berdsitribusi normal,
dengan alternatif uji Kruskal Wallis apabila data tidak berdistribusi normal. Data kategorik nilai p dihitung
berdasarkan uji Chi-Square dengan alternatif uji Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari
Chi-Square tidak terpenuhi. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda* menunjukkan nilai p<0,05
artinya signifkan atau bermakna secara statistik

Chi-Square dengan alternatif uji Kolmogorov II. Hasil


Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari
Chi-Square tidak terpenuhi. Nilai kemaknaan Penelitian dilakukan terhadap 39 pasien tumor
berdasarkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau otak yang menjalani kraniotomi pengangkatan
bermakna secara statistik. Data yang diperoleh tumor di Central Operating Theatre (COT) RSUP
dicatat dalam formulir khusus kemudian diolah Dr. Hasan Sadikin Bandung. Hasil analisis statistik
dengan program Stastitical Product and Service (Tabel 1) menunjukkan bahwa karakteristik umum
Solutions (SPSS) versi 21.0 for Windows. subjek penelitian, yaitu usia, jenis kelamin, lokasi
tumor, diagnosis klinis dan rerata Mean arterial
6 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

pressure (MAP) pada ketiga kelompok tidak osmolaritas plasma sebelum pemberian
terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05). osmoterapi, 1 jam setelah pemberian osmoterapi,
Pada ketiga kelompok tidak terdapat perbedaan dan saat durameter dibuka (p>0,05; Tabel 2).
rerata yang signifikan secara statistika antara Penilaian BRS pada mannitol 20%, NaCl 3%, dan

Tabel 4. Perbandingan Nilai Klorida pada Ketiga Kelompok Osmoterapi


Kelompok
Mannitol 20% NaCl 3% Natrium Laktat
Klorida N=13 N=13 Hipertonik Nilai p
N=13

Sebelum
pemberian
Osmoterapi
(meq/L)
Mean±Std 103,00±4,082 104,92±3,303 102,69±3,351 0, 179
1 Jam setelah
pemberian
Osmoterapi
(meq/L)
Mean±Std 103,07±4,071 107,69±3,923 102,53±3,799 0,003**
Saat Duramater
Dibuka (meq/L)
Mean±Std 102,38±2,328 109,07±3,904 103.07±3,662 0,000**
Keterangan: untuk data numerik nilai p diuji dengan uji One Way Anova apabila data berdsitribusi normal, dengan
alternatif uji Kruskal Wallis apabila data tidak berdistribusi normal. Data kategorik nilai p dihitung berdasarkan
uji Chi-Square dengan alternative uji Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari Chi-Square tidak
terpenuhi. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau
bermakna secara statistik.

Tabel 5. Perbandingan Nilai Glukosa Darah pada Ketiga Kelompok Osmoterapi


Glukosa Darah (mg/dL) Kelompok
Mannitol 20% NaCl 3% Natrium Laktat Nilai p
N=13 N=13 Hipertonik
N=13

sebelum pemberian Osmoterapi


Mean±Std 106,69±25,965 109,23±22,023 109,46±21,838 0, 945
1 jam setelah pemberian
osmoterapi
Mean±Std 116,92±17,380 123,46±18,025 131,15±26,981 0,269
Saat Duramater Dibuka
Mean±Std 134,00±29,586 126,23±21,506 166,53±30,231 0,001**
Keterangan: untuk data numerik nilai p diuji dengan uji One Way Anova apabila data berdsitribusi normal,
dengan alternatif uji Kruskal Wallis apabila data tidak berdistribusi normal. Data kategorik nilai p dihitung
berdasarkan uji Chi-Square dengan alternatif uji Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari
Chi-Square tidak terpenuhi. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda* menunjukkan nilai p<0,05
artinya signifkan atau bermakna secara statistik.
Perbandingan Mannitol 20%, NaCl 3% dan Natrium Laktat Hipertonik terhadap Osmolaritas 7
dan Brain Relaxation Score Pasien Tumor Otak yang menjalani Kraniotomi Pengangkatan
Tumor

Natrium laktat hipertonik memiliki nilai median yang menjalani operasi kraniotomi pengangkatan
yang sama besar (2,00; Tabel 3), menggambarkan tumor elektif di Rumah Sakit Umum Pusat Dr.
tidak adanya perbedaan BRS yang signifikan Hasan Sadikin. Hasil penelitian didapatkan
antara ketiga kelompok perlakuan. Terdapat osmolaritas plasma sebelum osmoterapi, 1
perbedaan yang signifikan pada nilai klorida dari jam setelah pemberian osmoterapi, dan saat
ketiga kelompok osmoterapi pada 1 jam setelah duramater dibuka tidak didapatkan perbedaan
pemberian osmoterapi dan saat duramater dibuka peningkatan osmolaritas yang signifikan antara
(p<0,05). Pada hasil uji statistika dari kelompok kelompok mannitol 20%, NaCl 3%, dan natrium
NaCl 3% terdapat peningkatan nilai klorida laktat hipertonik. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang berbeda secara signifikan disbanding yang dilakukan di Amerika pada tahun 2007
dengan kelompok mannitol 20% dan natrium membandingkan efek serebral mannitol 20%
laktat hipertonik (p<0,05; Tabel 4). Berdasarkan dan NaCl 3% membuktikan bahwa terjadi
analisis statistika terdapat perbedaan peningkatan peningkatan osmolaritas plasma yang sama pada
nilai glukosa darah yang bermakna pada saat kedua kelompok dan tidak didapatkan perbedaan
duramater dibuka antara ketiga kelompok. pada penurunan TIK antara kedua kelompok.
Peningkatan kadar glukosa darah yang signifikan Perbedaan osmolaritas yang tidak bermakna
terjadi saat duramater dibuka pada kelompok disebabkan oleh osmolaritas yang tidak berbeda
natrium laktat hipertonik (p<0,05; Tabel 5). secara signifikan antara mannitol, NaCl 3% dan
natrium laktat hipertonik, yaitu 1100 mOsm/L,
Hasil uji statistika pada perbandingan rerata 1026 mOsm/L, dan 1020 mOsm/L.8,10
urin terdapat perbedaan yang signifikan antara Hal lain yang dinilai pada penelitian ini adalah
ketiga kelompok osmoterapi (p<0,05). Urin Brain relaxation score (BRS). BRS adalah
terbanyak didapatkan pada kelompok mannitol penilaian relaksasi otak yang dilakukan oleh
20% dibanding dengan NaCl 3%, dan natrium pembedah segera setelah membuka duramater
laktat hipertonik dengan rata-rata sebesar yang memiliki 4 skor, yaitu: 1 (Relaks sempurna
1984,61±393,374 cc, 788,46±173,390 cc dan yang ditandai dengan parenkim otak tidak
800,00±156,790 cc (p=0,000). melekat pada duramater), 2 (Cukup relaks yaitu
parenkim otak melekat pada duramater namun
III. Pembahasan masih relaks, 3 (Tegang atau parenkim otak
sedikit menonjol) dan 4 (Cembung di mana
Otak yang relaks untuk pembedah merupakan parenkim otak menonjol ke luar duramater).
salah satu tujuan penting pada manajemen Nilai BRS pada ketiga kelompok penelitian
anestesi pada pasien yang menjalani kraniotomi. ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan.
Otak yang relaks memudahkan manipulasi Hal ini menggambarkan relaksasi otak yang
surgikal sehingga kerusakan jaringan otak sehat baik dengan pemberian ketiga jenis osmoterapi
lebih sedikit dan luaran neurologi pasien lebih tersebut. Hasil penelitian ini sejalan dengan
baik. Peningkatan tekanan intrakranial dapat penelitian sebelumnya yang membandingkan
mengakibatkan otak yang tegang intraoperatif. mannitol 20% dan NaCL 3% serta penelitian
Penatalaksanaan medikal edema serebral yang membandingkan mannitol 20% dan natrium
dan peningkatan tekanan intrakranial dengan laktat hipertonik.2,11-13
osmoterapi merupakan komponen penting Penelitian sebelumnya yang dilakukan pada
dalam manajemen perioperatif dalam bedah tahun 2007 pada 40 pasien di Amerika Serikat
saraf. Tujuan osmoterapi adalah untuk menjaga yang menjalani operasi kraniotomi karena
normovolemia atau sedikit hipervolemia dengan berbagai penyebab neurologis membandingkan
osmolaritas antara 300 dan 320 mOsm/L sehingga penggunaan mannitol dan NaCl hipertonik
membutuhkan monitoring selama terapi.1-3 terhadap relaksasi otak dan balans elektrolit.
Pada penelitian ini dilakukan pemberian cairan Penelitian tersebut menyatakan bahwa mannitol
hiperosmolar, yaitu mannitol 20%, NaCl 3%, dan NaCl hipertonik memberikan efek yang sama
dan natrium laktat hipertonik pada 39 pasien terhadap relaksasi otak yang dinyatakan dengan
8 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

BRS.10 Penelitian yang dilakukan di Makassar natrium laktat hipertonik rerata nilai klorida yaitu
terhadap 42 pasien dengan COT sedang pada 102,38 ± 2,328, 109,07 ± 3,904, 103,07 ± 3,662
tahun 2012 membandingkan efektivitas Na laktat (p=0,000). Hal ini menggambarkan terjadinya
dan Mannitol terhadap relaksasi otak dan kadar peningkatan klorida yang signifikan pada
glukosa, menunjukkan bahwa natrium laktat kelompok NaCl 3% yaitu 107,69 ± 3,923 (1 jam
hipertonik memberikan relaksasi otak yang sama setelah pemberian osmoterapi), dan 109,07 ± 3,904
dibanding dengan mannitol 20% namun dengan (saat duramater dibuka). Sebuah studi prospektif
profil hemodinamik yang lebih stabil. Walaupun di Brazil tahun 2009 yang dilakukan selama
demikian, peningkatan kadar glukosa yang 5 bulan mengevaluasi kejadian hiperkloremia
signifikan juga terjadi pada kelompok pasien pascaoperasi pada 393 pasien yang dilakukan
yang diberikan natrium laktat hipertonik.7 operasi dan pada kelompok pasien dengan kadar
klorida>114 meq/L memiliki insidensi asidosis
Namun pada beberapa penelitian lain, metabolik yang lebih tinggi dan angka mortalitas
mengungkapkan bahwa NaCl 3% dan natrium yang lebih tinggi dengan p=0,001. Pada penelitian
laktat hipertonik memberikan relaksasi otak yang ini meskipun terdapat peningkatan nilai klorida
lebih baik, yaitu pada penelitian di India tahun 2014 yang signifikan pada kelompok NaCl 3% (109,07
terhadap 114 pasien yang menjalani kraniotomi ± 3,904) namun tidak mengakibatkan gangguan
tumor supratentorial elektif menyatakan bahwa klinis yang bermakna. Peningkatan nilai klorida
NaCl 3% hipertonik memberikan relaksasi otak yang signifikan pada kelompok pemberian NaCl
yang lebih baik dibanding dengan mannitol yang 3% disebabkan pada larutan ini terapat jumlah
diukur dengan BRS dan penelitian prospektif klorida yang tinggi yaitu Cl- 513 mEq/L.7,13,15
dengan randomisasi dan buta ganda (double Pemberian natrium laktat hipertonik sebagai
blind) di Taiwan terhadap 106 pasien yang osmoterapi dapat memberikan efek samping
menjalani operasi kraniotomi elektif karena peningkatan glukosa darah. Hal ini ditemukan
tumor otak supratentorial membandingkan efek pada penelitian yang dilakukan di Perancis dan
mannitol dan NaCl 3% terhadap relaksasi otak Makasar sebelumnya dimana terjadi peningkatan
menunjukkan hal yang sama.1,14 Hal ini dapat gula darah yang signifikan setelah pemberian
disebabkan oleh jumlah subjek penelitian yang natrium laktat hipertonik disbanding dengan
lebih sedikit pada penelitian ini. Pada penelitian kadar gula darah pada pemberian mannitol 20%.
di India, penelitian dilakukan pada 114 pasien Hiperglikemia dipercaya dapat memperburuk
yang menjalani operasi tumor otak supratentorial, luaran neurologis pasien, namun mekanisme
begitu juga pada penelitian di Taiwan dimana tersebut belum jelas. Sebuah hipotesis menyatakan
jumlah sampel penelitian berjumlah 106 pasien.1,9 bahwa penumpukan glukosa di sistem saraf
pusat mengakibatkan substrat tambahan untuk
Pemberian NaCl 3% dapat mengakibatkan memproduksi asam laktat saat periode iskemik
peningkatan nilai klorida. Tingginya klorida dan peningkatan laktat intraseluler memiliki
dalam darah dapat mengakibatkan asidosis efek neurotoksik yang menyebabkan kematian
hiperkloremik dan dapat berpengaruh terhadap neuron. Pada studi klinis, hiperglikemia yang
luaran pasien. Pengukuran nilai klorida dilakukan berhubungan dengan penurunan luaran neurologis
pada penelitian ini yaitu sebelum dan 1 jam setelah setelah cedera otak traumatik, stroke iskemia
pemberian osmoterapi serta saat duramater akut, dan perdarahan subarakhnoid adalah bila
dibuka. Nilai klorida sebelum osmoterapi tidak glukosa <200mg/dl. 8-10
ada perbedaan bermakna antara ketiga kelompok Glukosa darah pada penelitian ini diukur
(p>0,05). Setelah 1 jam pemberian osmoterapi sebelum pemberian osmoterapi, 1 jam setelah
perbandingan antara nilai klorida pada kelompok pemberian osmoterapi, dan saat duramater
mannitol 20%, NaCl 3% dan natrium laktat dibuka. Glukosa darah sebelum pemberian
hipertonik yaitu 103,07 ± 4,071, 107,69 ± 3,923, osmoterapi didapatkan tidak ada perbedaan yang
102,53 ± 3,799 (p=0,003). Saat duramater dibuka signifikan (p>0,05). Glukosa darah setelah 1
pada kelompok mannitol 20%, NaCl 3% dan jam pemberian osmoterapi kelompok mannitol
Perbandingan Mannitol 20%, NaCl 3% dan Natrium Laktat Hipertonik terhadap Osmolaritas 9
dan Brain Relaxation Score Pasien Tumor Otak yang menjalani Kraniotomi Pengangkatan
Tumor

20% memiliki rata-rata sebesar 116,92 ± 17,380, osmoterapi dapat disesuaikan dengan keadaan
kelompok NaCl 3% sebesar 123,46 ± 18,025 klinis pasien karena efek samping yang berbeda
dan kelompok Natrium laktat hipertonik sebesar pada setiap pemberian osmoterapi (hiperkloremia
131,15 ± 26,981 (p=0,269). Glukosa Darah saat pada pemberian NaCl 3%, hiperglikemia pada
durameter dibuka pada kelompok Mannitol 20%, pemberian natrium laktat hipertonik, dan diuresis
NaCl 3% dan natrium laktat hipertonik, yaitu yang banyak pada pemberian mannitol 20%).
134,00 ± 29,586, 126,23 ± 21,506, dan 166,53 mannitol 20% masih merupakan pilihan pertama
± 30,231 (p=0,001). Peningkatan glukosa darah dari pemberian terapi osmoterapi karena efek
secara signifikan pada pemberian Natrium laktat samping yang lebih ringan disbanding dengan
hipertonik dengan nilai rerata 166,53±30,231 NaCl 3% dan natrium laktat hipertonik.
mg/dL yaitu saat duramater dibuka. Meskipun
terjadi peningkatan, nilai glukosa pada pasien Daftar Pustaka
yang diberikan natrium laktat hipertonik masih
di bawah 200 mg/dL. natrium laktat hipertonik 1. Malik ZA, Mir SA, Naqash IA, Sofi KP, Wani
adalah larutan natrium dan laktat yang didesain AA. A prospective, randomized, double blind
secara spesifik agar memiliki osmolaritas yang study to compare the effects of equiosmolar
sama dengan mannitol 20%. Peningkatan nilai solutions of 3% hypertonic saline and 20%
glukosa darah yang signifikan pada kelompok mannitol on reduction of brain bulk during
dengan pemberian natrium laktat hipertonik elective craniotomy for supratentorial
dikarenakan larutan ini mempunyai kandungan brain tumor resection. Anesth Essays Res.
laktat 504.1 mmol/L. Laktat dikenal sebagai 2014;8(3):388–92.
kunci metabolit interseluler atau interorgan antara
glikolisis dan fosforilasi oksidatif yang dapat 2. Sankhyan N, Raju KNV, Sharma S, Gulati S.
diproduksi dan digunakan oleh otak dalam kondisi Management of raised intracranial pressure.
patologis. Penelitian pada hewan dan manusia Indian J Pediatr. 2010;77:1409–16.
menunjukkan bahwa laktat dapat mencegah
efek neurologis hipoglikemia, mengindikasikan 3. Forster N, Engelhard K. Managing elevated
bahwa laktat sistemik dapat dimetabolisme oleh intracranial pressure. Curr Opin Anaesthesiol.
otak.9,16,17 2004;17:371–6.
Pada penelitian sebelumnya yang membandingkan
pemberian mannitol 20% dan NaCl 3% ataupun 4. Bisri T. Pengelolaan hipertensi intrakranial.
natrium laktat hipertonik mengemukakan bahwa Seri Buku Literasi Anestesiologi Dasar -
pada kelompok mannitol didapatkan diuresis yang Dasar Neuroanestesi. Edisi. Bandung: Saga;
lebih banyak.1, 9,18 Diuresis yang banyak dapat 2011; 60.
mengakibatkan hipovolemia durante operasi dan
menyebabkan gangguan elektrolit pascaoperasi. 5. Bisri T. Pengelolaan hipertensi intrakranial.
Perbandingan urin antara kelompok Mannitol Penanganan Neuroanestesia dan Critical
20%, NaCl 3%, dan natrium laktat hipertonik Care Cedera Otak Traumatik. Edisi.
dengan rata-rata sebesar 1984,61 ± 393,374 Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas
cc, 788,46 ± 173,390 cc dan 800,00 ± 156,790 Padjadjaran; 2012;187.
cc (p=0,000). Urin terbanyak didapatkan pada
kelompok mannitol 20%. 6. Torre-Healy A, Marko NF, Weil RJ.
Hyperosmolar therapy for intracranial
IV. Simpulan hypertension. Neurocrit Care. 2012;17:117–
30.
Pemberian osmoterapi mannitol 20%, NaCl 3%,
dan natrium laktat hipertonik dengan dosis 2,5mL/ 7. Silva JM, Neves EF, Santana TC, Ferreira
kgBB memberikan peningkatan osmolaritas UP, Marti YN, Silva JMC. The importance
plasma dan relaksasi otak yang sama. Pemilihan of intraoperative hyperchloremia. Rev Bras
10 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Anestesiol. 2009;59(3):304–13. measured and calculated serum osmolality


during mannitol or hypertonic saline infusion
8. Rozet I, Tontisirin N, Muangman S, Vavilala in patients after craniotomy: a study protocol
MS, Souter MJ, Lee LA, dkk. Effect of and statistical analysis plan for a randomized
equiosmolar solutions of mannitol versus controlled trial. BMJ open. 2014;4;e004921.
hypertonic saline on intraoperative brain
relaxation and electrolyte balance. Anesth. 14. Matsumoto M, Sakabe T. Intracranial
2007;107:697–704. pressure monitoring. Dalam: Cottrell JE,
Patel P, penyunting. Cottrell and Patel's
9. Raghava A, Bidkar PU, Prakash S, Neuroanesthesia. Edisi ke-6: Mosby Elsevier;
Hemavathy B. Comparison of equiosmolar 2017;74–9.
concentrations of hypertonic saline and
mannitol for intraoperative lax brain in 15. Sharma RM, Setlur R, Swamy MN. Evaluation
patients undergoing craniotomy. Surg Neurol of mannitol as an osmotherapeutic agent in
Int. 2015;6:73–9. traumatic brain injuries by measuring serum
osmolality. MJAFI. 2011; 67:230–33.
10. Rusa R, Zornow MH. Fluid management
during craniotomy. Dalam: Cottrell JE, 16. Ichai C, Armando G, Orban J-C, Berthier
Young WL, penyunting. Cottrell and Young's F, Rami L, Samat-Long C, dkk. Sodium
Neuroanesthesia. Edisi ke-5. Philadelphia: lactate versus mannitol in the treatment of
Mosby Elsevier; 2010; 147–52. intracranial hypertensive episodes in severe
traumatic brain-injured patients. Intensive
11. Mortazavi MM, Romeo AK, Deep A, Care Med. 2008;35(3):471–9.
Griessenauer CJ, Shoja MM, Tubbs RS,
dkk. Hypertonic saline for treating raised 17. Ahmad MR, Hanna. Effect of equiosmolar
intracranial pressure: literature review with solutions of hypertonic sodium lactate
meta-analysis. J Neurosurg. 2012;116:210– versus mannitol in craniectomy patients
21. with moderate traumatic brain injury. Med J
Indonesian. 2014;23(1):30–6.
12. Bisri T. Dasar - Dasar Neuroanestesi. Seri
Buku Literasi Anestesiologi Dasar - Dasar 18. Llorente G, Mejia MCNd. Mannitol
Neuroanestesi. Edisi. Bandung: Saga; versus hypertonic saline solution in
2011;1–11. neuroanaesthesia. Rev Colomb Anestesiol.
2015;43(Suppl 1):29–39.
13. Lu Q, Xu M, Zhou JX. Correlation of
Hubungan antara Volume Residu Gaster dan Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada
Pasien Cedera Otak Traumatik Sedang dan Berat

Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri


Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Latar Belakang dan Tujuan: Cedera Otak Traumatik (COT) berhubungan dengan disfungsi gastrointestinal
berupa perlambatan pengosongan lambung. Belum jelas adakah hubungan antara skor Glasgow Coma Scale
(GCS) dan derajat gangguan pengosongan lambung yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan
volume residu gaster pada pasien COT sedang dan berat serta mengkaji hubungan antara skor GCS dan volume
residu gaster pada pasien COT.
Subjek dan Metode: Penelitian observasional analitik cross-sectional ini dilakukan pada 42 pasien COT sedang
dan berat yang dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin dari bulan Desember 2016 hingga Juni 2017. Pengukuran
volume residu gaster, skor GCS, dan tanda vital dilakukan tiap 6 jam selama 48 jam. Data hasil penelitian diuji
dengan uji t tidak berpasangan, Chi Square, dan uji korelasi Pearson.
Hasil: Hasil penelitian menyatakan bahwa rerata volume residu gaster pada kelompok COT sedang dan berat
adalah 10,83 ± 8,15 ml dan 50,59 ± 18,23 ml (p 0,000). Korelasi antara skor GCS dan volume residu gaster
menunjukkan adanya korelasi negatif yang bermakna dan sangat kuat (r=-0,745 hingga -,974;p=0,000).
Simpulan: Volume residu gaster pada COT berat lebih banyak dari COT sedang dan terdapat hubungan antara skor
GCS dan volume residu gaster pada pasien COT.

Kata kunci: cedera otak traumatik sedang, cedera otak traumatik berat, glasgow coma scale, volume residu gaster

JNI 2018;7 (1): 11‒6

Correlation between Gastric Residual Volume and Glasgow Coma Scale (GCS) Score in
Patient with Moderate and Severe Traumatic Brain Injury

Abstract

Background and Objective: Traumatic Brain Injury (TBI) is associated with gastrointestinal dysfunction in the
form of delayed gastric emptying. It is not clear whether there is a relationship between Glasgow Coma Scale
(GCS) score and the degree of gastric emptying that occurs. This study aimed to compare gastric residual volume
in moderate and severe TBI patients and to examine the relationship between GCS score and gastric residual
volume in TBI patients.
Subject and Methods: This cross-sectional analytical observational study was conducted on 42 moderate and
severe TBI patients who were admitted to Dr. Hasan Sadikin from December 2016 to June 2017. Measurement
of gastric residual volume, GCS score, and vital signs were performed every 6 hours for 48 hours. The result data
were tested with unpaired t-test, Chi Square, and Pearson correlation test.
Results: The results showed that the mean gastric residual volume in moderate and severe TBI groups was 10.83 ±
8.15 ml and 50.59 ± 18.23 ml (p 0.000). The correlation between GCS and gastric residual volume showed a very
strong negative correlation (r=-0,745 to -,974;p=0,000).
Conclusion: Gastric residual volume in patient with severe TBI is more than gastric residual volume in moderate
TBI and there was a relationship between GCS score and gastric residual volume in TBI patients.

Key words: moderate traumatic brain injury, severe traumatic brain injury, glasgow coma scale, gastric residual
volume
JNI 2018;7 (1): 11‒6

11
12 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan pengobatan yang memengaruhi pengosongan


lambung (metoklopramid, atropin, inhibitor
Cedera otak traumatik (COT) berhubungan dengan pompa proton, kortikosteroid, opioid kontinu).
disfungsi gastrointestinal berupa perlambatan Pasien dikeluarkan dari penelitian bila pasien
pengosongan lambung dan peningkatan refluks meninggal dalam rentang waktu pengambilan
yang mengakibatkan intoleransi pemberian data. Jumlah sampel dihitung sesuai dengan
nutrisi enteral.1-4 Pada 50% pasien dengan tujuan dan tipe penelitian dengan taraf
COT derajat berat terjadi intoleransi pemberian kepercayaan 95% dan power test 90% dan
nutrisi enteral hingga 15 hari setelah kejadian.5 didapatkan jumlah seluruh sampel adalah 42
Mekanisme disfungsi gastrointestinal pada pasien orang. Pemilihan subjek penelitian berdasarkan
dengan COT berhubungan dengan peningkatan consecutive sampling, yaitu mengambil setiap
katekolamin yang menurunkan aliran darah subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi
ke gaster sehingga mengakibatkan iskemi dan eksklusi berdasarkan urutan kedatangan
mukosa gastrointestinal, gangguan motilitas pasien. Subjek penelitian dibagi berdasar atas
gastrointestinal, gangguan integritas barier usus GCS menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok COT
akibat peningkatan permeabilitas gastrointestinal, sedang (GCS 9–12) dan berat (GCS 3 ̶8) masing-
dan perubahan mukosa intestinal yang masing berjumlah 21 orang. Setelah mendapatkan
mengakibatkan penurunan fungsi absorpsi.3,6,7 persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung/Fakultas
Skor Glasgow Coma Scale (GCS) yang rendah Kedokteran Universitas Padjadjaran, pasien
berhubungan dengan makin meningkatnya yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
kadar katekolamin yang dilepaskan. dipasang pipa nasogastrik, cairan lambung
Pada beberapa penelitian, hiperaktivitas diaspirasi dengan spuit 50 ml (catheter tip), dan
simpatis terjadi setelah COT berat.8,9 diukur secara berkala setiap 6 jam hingga 48 jam.
Semakin tinggi katekolamin yang dilepaskan, Selain volume residu gaster, GCS dan tanda vital
semakin rendah perfusi pada sistem pasien juga dicatat. Semua pasien pada penelitian
gastrointestinal sehingga terjadi disfungsi ini diberikan analgetik Paracetamol 3 x 1 gram
gastrointestinal.10 Disfungsi gastrointestinal intravena untuk analgetika.
mengakibatkan peningkatan jumlah volume
residu gaster.11,12 Tujuan penelitian ini adalah Data yang diperoleh dicatat dalam formulir
untuk membandingkan volume residu gaster khusus kemudian diolah dengan program
pada pasien COT sedang dan berat serta mengkaji Statistical Product & Service Solution (SPSS)
hubungan antara skor GCS dan volume residu versi 21.0 for Windows. Uji kemaknaan untuk
gaster pada pasien COT. membandingkan karakteristik dua kelompok
penelitian digunakan uji Mann Whitney. Analisis
II. Subjek dan Metode Penelitian statistik untuk data kategorik diuji dengan uji
chi-square. Uji korelasi dilakukan dengan uji
Penelitian ini bersifat observasional analitik Spearman dan Eta. Interpretasi hasil uji hipotesis
cross-sectional. Subjek penelitian adalah 42 berdasarkan kekuatan korelasi, arah korelasi, dan
pasien COT yang dirawat konservatif di RSUP nilai p berdasarkan kriteria Guillford yaitu : 0,0–
Dr. Hasan Sadikin. Penelitian ini dilakukan <0,2= sangat lemah; 0,2–<0,4= lemah; 0,4–<0,7=
dari bulan Desember 2016–Juni 2017. Kriteria sedang; 0,7–<0,9= kuat; 0,9–1,0= sangat kuat.
inklusi meliputi GCS 3–12, usia 18–60 tahun,
waktu makan terakhir minimal 6 jam sebelum III. Hasil
dibawa ke rumah sakit, body mass index (BMI)
18,5–25 kg/m2. Kriteria eksklusi adalah trauma Kedua kelompok penelitian tidak memiliki
di tempat lain, riwayat penyakit gastrointestinal perbedaan karakteristik usia, jenis kelamin,
dan penyakit sistemik lain (diabetes mellitus, BMI, dan diagnosis yang bermakna berdasarkan
hipertensi, dan lain-lain), serta mendapatkan statistika (p>0,05; Tabel 1). Volume residu gaster
Hubungan antara Volume Residu Gaster dan Skor Glasgow Coma Scale (GCS) 13
pada Pasien Cedera Otak Traumatik Sedang dan Berat

pada pasien COT berat lebih banyak secara COT sedang dan berat mengalami gangguan
signifikan dari waktu ke waktu dan menunjukkan pengosongan lambung yang ditandai dengan
hubungan yang sangat kuat antara skor GCS dan peningkatan volume residu gaster.4,5
volume residu gaster (Gambar 1 dan Tabel 2).
Penelitian pada tahun 1991 terhadap 12 pasien
IV. Pembahasan COT sedang dan berat (GCS 4–10) menyatakan
bahwa dalam 2 minggu pertama terjadi gangguan
Pemberian nutrisi pada pasien COT terutama COT pengosongan lambung dan intoleransi pemberian
berat memberikan tantangan tersendiri karena nutrisi enteral.5 Penelitian lain dilakukan dengan
44–100% pasien dengan COT berat mengalami membandingkan waktu pengosongan lambung
disfungsi gastrointestinal yang ditandai dengan pada 35 pasien usia 25–52 tahun antara COT
peningkatan volume residu gaster.13 Sampai saat sedang dan berat (GCS 3–12) dan orang normal.
ini belum ada penelitian yang secara langsung Pengosongan lambung pada pasien dengan COT
mengukur dan membandingkan volume residu sedang dan berat memanjang secara signifikan.4
gaster pada pasien COT namun beberapa
penelitian menyatakan bahwa pada pasien dengan Volume residu gaster rerata pada pasien penelitian

Tabel 1 Karakteristik Subjek Penelitian

Kelompok
Variabel COT Sedang COT Berat Nilai P
N=21 N=21

Usia (tahun)
Mean±Std 39,95±17,220 38,23±15,648 0, 772

Jenis kelamin
Laki-laki 13(61,9%) 13(61,9%) 1,000
Perempuan 8(38,1%) 8(38,1%)

BMI
Mean±Std 21.42±1.426 21.31±1.554 0,052
Median 21.069 21.093
Range (min-max) 18.55-23.88 18.37-24.22

Diagnosis
Contusio serebri 12(57,1%) 10(47,6%) 1,000
SAB dan contusio 5(23,8%) 6(28,6%)
serebri
SAH dan contusio 4(19,0%) 5(23,8%)
serebri
Keterangan: Untuk data numerik nilai p diuji dengan uji T tidak berpasangan apabila data
berdsitribusi normal dengan alternatif uji Mann Whitney apabila data tidak berdistribusi
normal. Data kategorik nilai p dihitung berdasarkan uji Chi-Square dengan alternatif uji
Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari Chi-Square tidak terpenuhi.
Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05.Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya
signifkan atau bermakna secara statistik.
14 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Tabel 2 Hubungan antara GCS dan Volume Residu


Gaster pada Pasien COT Sedang dan Berat

Hubungan
antara GCS R
dan Volume
Residu Gaster
Jam ke

COT COT Nilai P


Sedang Berat
6 -0,974 -0,930 0,000
12 -0,971 -0,923 0,000
Gambar 1 Grafik Volume Residu Gaster pada
Pasien COT Sedang dan Berat 18 -0.977 -0,938 0,000
24 -0,931 -0,918 0,000
30 -0,919 -0,858 0,000
ini adalah 30,71+13,19 mL tanpa diberikan
nutrisi. Secara normal, gaster memproduksi 36 -0,890 -0,823 0,000
sekitar 2 liter sekret setiap hari, namun saat puasa 42 -0,777 -0,834 0,000
(periode interdigestif), hanya sedikit (beberapa 48 -0,745 -0,955 0,000
mililiter) atau bahkan tidak ada sekret yang
diproduksi.14,15 Sebuah penelitian tentang volume
residu gaster saat puasa dilakukan di Afrika mungkin saja pasien mengkonsumsi obat-
Selatan terhadap 430 pasien usia 10–90 tahun obatan yang meningkatkan sekresi lambung
dengan hasil volume residu gaster rerata pada ataupun memperlambat pengosongan lambung.
pasien normal, esofagitis/gastritis, ulkus gaster, Perbedaan metode pengukuran volume residu
dan ulkus duodenum yaitu 55,2+3,2 cc, 53,2+8,2 gaster pada kedua penelitian sebelumnya berbeda
ml, 70+7,4 ml, dan 78,5+4,0 ml.16 dengan penelitian ini. Penelitian di Afrika
menggunakan suction kontinu pada tekanan 200
Penelitian kohort retrospektif di Belgia dilakukan mmH2O dan diaugmentasi tiap 5 menit dengan
pada 583 pasien yang akan dilakukan pembedahan tangan hingga dirasa lambung kosong dan
elektif dan dipuasakan sesuai dengan panduan penelitian di Belgia menggunakan ultrasonografi.
puasa didapatkan volume residu gaster 18,8+18,7 Hasil penelitian ini menyatakan bahwa volume
ml pada 351 orang, 65,3+30,2 ml pada 125 orang residu gaster pada pasien COT berat lebih
dan 138,1+33,6 ml pada 27 orang.17 Hasil volume banyak dibanding dengan COT sedang. Hal
residu gaster pada penelitian tersebut lebih ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di
banyak dibanding dengan penelitian ini. Cina pada 35 orang pasien dengan COT sedang
Perbedaan hasil ini dapat disebabkan oleh faktor dan berat yang menyatakan pemanjangan waktu
pasien dan faktor peneliti. Pada penelitian di pengosongan lambung lebih banyak terjadi pada
Afrika, terdapat perbedaan populasi dengan pasien wanita, pasien dengan usia lebih tua, dan
usia 10–90 tahun tanpa memperhitungkan pasien dengan GCS lebih rendah.4 Perubahan
penyakit penyerta lain selain penyakit saluran volume residu gaster terjadi karena peningkatan
pencernaan, sedangkan pasien di Belgia sekresi dan perlambatan pengosongan lambung.
merupakan pasien operasi elektif dalam keadaan Sekresi lambung dapat meningkat karena adanya
sadar, yang mungkin saja mengalami stress stimulasi vagal, peningkatan histamin, distensi
sebelum pembedahan sehingga mengakibatkan atau regangan pada lambung.14,15 Sedangkan
peningkatan volume residu gaster, selain itu faktor yang dapat memperlambat pengosongan
obat-obatan yang didapatkan pada kedua lambung yaitu stimulasi simpatis, makanan yang
penelitian tersebut tidak dicantumkan, karena banyak mengandung H+, lemak, dan protein,
Hubungan antara Volume Residu Gaster dan Skor Glasgow Coma Scale (GCS) 15
pada Pasien Cedera Otak Traumatik Sedang dan Berat

nyeri, kecemasan, stress, penggunaan obat-obatan lebih banyak dibandingkan dengan pasien COT
antimuskarinik, opioid, penggunaan alkohol sedang dan terdapat hubungan antara skor GCS
sebelumnya, stenosis pilorik, obstruksi intestinal dan volume residu gaster pada pasien COT. Hasil
dan riwayat vagotomi sebelumnya.14 penelitian ini diharapkan dapat memberikan
Subjek penelitian ini adalah pasien COT sedang informasi mengenai hubungan volume residu
dan berat yang tidak memiliki penyakit penyerta lambung dan GCS pada pasien dengan COT serta
lain dan tidak mendapatkan obat-obatan yang dapat digunakan untuk data penelitian selanjutnya
memperlambat pengosongan lambung sehingga dengan metode pengukuran lain seperti USG
hal-hal yang memengaruhi volume residu gaster pada antrum lambung.
pada penelitian ini hanya pada sistem aksis
otak–gastrointestinal beserta berbagai mediator Daftar Pustaka
inflamasi yang dilepaskan akibat terjadinya
trauma. Peningkatan katekolamin mengakibatkan 1. Stutz HR, Charchaflieh J. Postoperative and
vasokonstriksi dan penurunan aliran darah intensive care including head injury and
saluran cerna.10,18 Semakin tinggi katekolamin multisystem sequelae. Dalam: Cottrell JE,
yang dilepaskan, semakin rendah perfusi pada Young WL, penyunting. Cottrell and Young's
sistem gastrointestinal sehingga volume residu Neuroanesthesia. Edisi. Philadelphia: Mosby
gaster akan meningkat. Hal ini mengakibatkan Elsevier; 2010, 407–8.
perubahan motilitas, mukosa, dan perlambatan
pengosongan lambung yang lebih signifikan 2. Olsen A, Heitz R, Xue H, Aroom K, Bhattarai
dibandingkan pada pasien COT sedang sehingga D, Johnson E, dkk. Effects of traumatic
pada pasien dengan COT berat masih terdapat brain injury on intestinal contractility.
volume residu lambung hingga jam ke-48. Neurogastroenterol Motil. 2013;25:593–
e463.
Berdasarkan uji Spearman antara variabel
GCS dan volume residu lambung didapatkan 3. Lucena AFd, Tiburcio RV, Vasconcelos
koefisien korelasi (r) antara -0,754 sampai -0,974 GC, Ximenes JDA, Filho GC, Graca
dengan p < 0,05. Hal ini menunjukkan korelasi RVd. Influence of acute brain injuries
signifikan dengan arah negatif yang kuat antara on gut motility. Rev Bras Ter Intensiva.
GCS dengan volume residu gaster. Arah korelasi 2011;23(1):96–103.
negatif menyatakan hubungan yang terbalik, yaitu
makin rendah GCS maka semakin tinggi volume 4. Kao C-H, Lai S-PC, Chieng P-U, Yen T-C.
residu gaster yang didapatkan. Keterbatasan Gastric emptying in head-injured patients.
pada penelitian ini adalah metode pengukuran Am J Gastroenterol. 1991;93(7):1108–12.
volume residu gaster. Beberapa faktor yang
memengaruhi hasil penelitian yaitu posisi ujung 5. Ott L, Young B, Phillips R, McClain MC,
pipa nasogastrik terhadap cairan lambung. Adams L, Dempsey R, dkk. Altered gastric
Konfirmasi posisi ujung pipa nasogastrik dengan emptying in the head-injured patient:
ultrasonografi diperlukan namun pada penelitian relationship to feeding intolerance. J
ini tidak memungkinkan karena keterbatasan Neurosurg. 1999;74:738–41.
alat dan kemampuan peneliti. Standar baku yang
dilakukan untuk mengukur volume residu gaster 6. Singh S. Neurogastroenterology:
adalah dengan pemeriksaan magnetic resonance gastrointestinal dysfunction from the
imaging (MRI). Namun, hal tersebut tidak dapat window of acute brain injury. Int J Stud Res.
dilakukan karena keterbatasan biaya dan fasilitas. 2013;3:1–4.

V. Simpulan 7. Bansal V, Constantini T, Kroll L, Peterson C,


Loomis W, Eliceiri B, dkk. Traumatic brain
Volume residu gaster pada pasien COT berat injury and intestinal dysfunction : uncovering
16 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

the neuro-enteric axis. J Neurotrauma. 14. Jolliffe DM. Practical gastric physiology.
2009;26:1353–9. Contin educ anaesth crit care pain.
2009;9(6):173–7.
8. Choi HA, Jeon S-B, Samuel S, Allison T, Lee
K. Paroxysmal sympathetic hyperactivity 15. Guyton AC, Hall JE. Secretory Function
after acute brain injury. Curr Neurol Neurosci of Alimentary Tract. Textbook of Medical
Rep. 2013;13:370–80. Physiology. Edisi ke-11. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2006, 91–807.
9. Fernandez-Ortega JF, Baguley IJ, Gates
TA, Garcia-Caballero M, Quesada-Garcia 16. Utne JB, Moshal M, Downing J, Spitaels
JG, Prieto-Palomino MA. Catecholamines J, Stiebel R. Fasting volume and acidity
and paroxysmal sympathetic hyperactivity of stomach contents associated with
after traumatic brain injury. J Neurotrauma. gastrointestinal symptoms. Anaesth.
2017;34:109–14. 1977;32:749–52.

10. Takala J. Determinants of splanchnic blood 17. Putte PVd, Vernieuwe L, Jerjir A, Verschueren
flow. Br J. Anaesth. 1997;77:50–8. L, Tacken M, Perlas A. When fasted is not
empty: a retrospective cohort study of gastric
11. Blaser AR, Malbrain MLNG, Starkopf J, content in fasted surgical patient. Br. J.
Fruhwald S, Jakob SM, Waele JD, dkk. Anaesth. 2017;118(3):363–71.
Gastrointestinal function in intensive
care patients: terminology, definition, and 18. Gelman S, Mushlin PS. Catecholamine-
management. Recommendation of the induced changes in the splanchnic circulation
ESICM Working Group on Abdominal affecting systemic hemodynamics. Anesth.
Problems. J Intensive Care Med. 2012. 2004;100:434–9.

12. Hurt RT, McClave SA. Gastric residual 19. Hang C-H, Shi J-X, Li J-S, Wu W, Li W-Q,
volumes in critical illness: what do they really Yin H-X. Levels of vasoactive intestinal
mean? Crit Care Clin. 2010;26:481–90. peptide, cholecystokinin and calcitonin
gene-related peptide in plasma and jejunum
13. Krakau K, Omne-Pontén M, Karlsson T, of rats following traumatic brain injury and
Borg J. Metabolism and nutrition in patients underlying significance in gastrointestinal
with moderate and severe traumatic brain dysfunction. World J Gastroenterol.
injury: a systematic review. Brain Injury. 2004;10(6):875–80.
2006;20(4):345–67.
Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan Tumor
Cerebellopontine Angle

Dhania Anindita Santosa*), Syafruddin Gaus**), Bambang J. Oetoro***), Siti Chasnak Saleh*)
Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo
*)

Surabaya, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin-RSUP
Dr. Wahidin Makassar, ***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Mayapada Jakarta

Abstrak

Prevalensi penyakit diabetes mellitus (DM) meningkat sangat cepat pada abad ke-21, terutama karena obesitas,
penuaan dan kurangnya aktivitas fisik. International Diabetes Federation (IDF) menyatakan diperkirakan
penderita DM menjadi 380 juta pada tahun 2025. Pasien dengan DM yang menjalani pembedahan mungkin sudah
disertai dengan penyakit lain akibat DM. Episode hipoglikemia, hiperglikemia dan variabilitas kadar gula darah
yang tinggi perioperatif memberikan risiko tingginya komplikasi perioperatif pada pasien. Seorang ahli anestesi
memegang peranan penting dalam pengelolaan perioperatif pasien-pasien seperti ini, terutama pasien bedah saraf
di mana otak sangat bergantung pada glukosa sebagai bahan bakar. Seorang wanita usia 46 tahun dengan DM
dan tumor cerebellopontine angle (CPA) menjalani pembedahan elektif eksisi tumor. Pembedahan dilakukan
dengan anestesi umum intubasi endotrakeal dan berjalan kurang lebih sembilan jam. Tantangan selama periode
perioperatif adalah menjaga kadar gula darah tetap dalam rentang target yang diinginkan untuk meminimalisir
cedera sekunder pada otak yang dapat mempengaruhi luaran kognitif serta komplikasi perioperatif yang mungkin
terjadi. Pascabedah pasien dirawat di ICU dengan bantuan ventilator dan dilakukan ekstubasi tiga jam pascabedah
dengan kadar gula darah stabil dan tanpa sequelae.

Kata kunci: pengelolaan kadar gula darah, perioperatif, diabetes, tumor


JNI 2018;7 (1): 17‒27

Perioperative Glucose Control in Diabetic Patients with Cerebellopontine Angle Tumor

Abstract

Prevalence of patients with diabetes mellitus (DM) increases rapidly in the 21st century, mainly due to obesity,
aging and lack of physical activity. International Diabetes Federation (IDF) predicted that by the year of 2025, 380
million people will suffer from DM. Diabetic patients undergoing surgery might have other diseases caused by
DM. Episodes of hypoglycemia, hyperglycemia and high perioperative glucose level put the patients into higher
perioperative risks. Anesthesiologists play a key role in perioperative management in these patients, moreover in
neurosurgery pastients, as brain is very glucose-dependent. A 46 year old diabetic woman with cerebellopontine
angle (CPA) tumor underwent elective surgery of tumor removal. Surgery was done under general endotracheal
anesthesia and lasted for nine hours. Challenges during perioperative period are to maintain glucose level within
target range to minimize secondary injury to the brain which may influence cognitive outcome and other possible
perioperative complications. Patient was taken care at the ICU post operatively with ventilator. Patient was weaned
and extubated three hours later with stable glucose control and no sequelae.

Key words: perioperative glucose control, perioperative, diabetes, tumor

JNI 2018;7 (1): 17‒27

17
18 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan Ahli anestesi harus memberi perhatian bukan


hanya pada efektivitas dan risiko terapi insulin
Prevalensi penyakit diabetes mellitus (DM) selama periode perioperatif pada pasien bedah
meningkat sangat cepat pada abad ke-21, saraf yang diabetes, tetapi juga pada efek obat
terutama karena obesitas, penuaan dan kurangnya anestesi pada keseimbangan glukosa.1 Ahli
aktivitas fisik.1 International Diabetes Federation anestesi memegang peran yang sangat penting
(IDF) menyatakan bahwa 246 juta orang dewasa selama periode perioperatif pada pasien bedah
menderita diabetes mellitus di seluruh dunia saraf dengan diabetes. Metabolisme glukosa
pada tahun 2008 dan diperkirakan menjadi 380 sistemik dan otak pada pasien bedah saraf yang
juta pada tahun 2025.1 Pasien dengan diabetes diabetes harus diukur selama pembedahan dan
yang akan menjalani pembedahan, menghadapi kemudian diikuti. Protokol kontrol gula darah
banyak kesulitan. Pasien-pasien ini mungkin yang baik harus dilakukan agar prognosis pasien
mempunyai penyakit pembuluh darah, ginjal lebih baik.1
atau saraf sebagai konsekuensi DM yang sudah
ada dan lebih rentan terhadap infeksi luka. II. Kasus
Tindakan mempertahankan kadar gula darah
normal telah dibuktikan menurunkan mortalitas Seorang wanita berusia 46 tahun, berat badan
dan morbiditas perioperatif, meskipun data 60 kg, tinggi badan 150 cm dengan tumor di
banyak didapatkan dari pembedahan jantung.1 cerebellopontine angle (CPA) kiri, diabetes
Hiperglikemia dikaitkan dengan pemanjangan mellitus dan hipertensi, dilakukan kraniotomi dan
masa perawatan di rumah sakit, morbiditas, eksisi tumor.
mortalitas setelah pembedahan non-jantung
pada pasien diabetes dan non-diabetes. Dengan Anamnesis
makin besarnya populasi pasien diabetes di Pasien mengeluh nyeri kepala disertai dengan
seluruh dunia, ahli anestesi akan makin banyak penurunan pendengaran sejak 4 bulan yang
terpapar dengan pasien DM pada penanganan lalu. Pasien juga mengeluh nyeri pada wajah
periode perioperatif. Pasien non-diabetes dapat sebelah kiri. Pasien tidak mengalami kejang
mengalami hiperglikemia sebagai akibat dari maupun mual dan muntah. Selain itu pasien
kombinasi resistensi insulin pada jaringan juga menderita hipertensi dengan pengobatan di
dan penurunan sekresi insulin pada periode antaranya amlodipin 10 mg 1 kali sehari pagi hari
perioperatif. Sedangkan pada pasien diabetes, dan valsartan 80 mg 1 kali sehari malam hari.
pembedahan dan trauma dikaitkan dengan Pasien juga menderita diabetes mellitus dengan
peningkatan sekresi hormon katabolik pada terapi insulin novorapid 3 x 12 IU dan levemir 13
kondisi defisiensi insulin relatif. Oleh karenanya, IU malam hari. Pasien juga mendapatkan terapi
tujuan dari penanganan metabolik perioperatif carbamazepine 2 x 200 mg.
harus ditujukan pada menghindari hiperglikemia
berlebih, hipoglikemia dan hilangnya elektrolit Pemeriksaan Fisik
seperti kalium, magnesium dan fosfat.1 Pada pemeriksaan prabedah didapatkan pasien
dengan kondisi jalan napas bebas, dengan
Hanya sedikit yang diketahui mengenai pernapasan spontan 20 kali per menit, gerak
hubungan antara anestesia dan kadar gula darah dada simetris, suara napas vesikuler kanan dan
pra bedah pada pasien bedah saraf dengan kiri, tidak terdapat suara napas tambahan. Pulse
diabetes. Keberhasilan penanganan bedah saraf, oximetry terbaca 97% dengan O2 udara bebas
khususnya pada kasus ini adalah tumor, dengan (FiO2 21%). Pada perabaan didapatkan perfusi
diabetes melitus memerlukan pemahaman yang hangat, kering dan merah, dengan capillary
baik akan hubungan ini sehingga ahli anestesi refill time kurang dari 2 detik. Tekanan darah
dapat mengidentifikasi pasien dengan risiko 140/80 dan MAP 100 mmHg dan nadi 108
tinggi dan dengan demikian dapat menerapkan kali per menit, nadi radialis teraba teratur dan
strategi penanganan pascabedah. kuat angkat. Skor GCS E4V5M6, pupil bulat
Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan 19
Tumor Cerebellopontine Angle

Gambar 1. MRI Kepala dengan Kontras menggambarkan Homogenous Enhancing Solid Mass
Berukuran 2,7 x 1,9 x 2,2 cm di Cerebellopontine Angle Kiri

isokor dengan refleks cahaya positif kanan carbamazepine tetap diberikan sesuai jadwal.
dan kiri. Selain dari penurunan pendengaran, Selain itu direncanakan untuk diperiksa gula darah
tidak didapatkan defisit neurologis lainnya. basal. Selain persiapan darah, juga dipersiapkan
Pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal. cairan infus D5 dan insulin di kamar bedah.
Pada pemeriksaan gula darah basal didapatkan
Pemeriksaan Penunjang hasil 131 mg/dL dan kemudian diberikan
Hemoglobin 13,9 g/dL, Hematokrit 42,9%, novorapid 12 IU subkutan dan direncanakan
Leukosit 10.500/mm3, Trombosit 379.500 μL. untuk periksa gula darah setelah induksi anestesi.
PPT 9,6 (kontrol 9-12), aPTT 27,1 (kontrol 23- Kondisi pasien sebelum induksi anestesi adalah:
33). Natrium 145 mEq/L, Kalium 3,9 mEq/L, tekanan darah 146/91, MAP 109 mmHg dengan
Chlorida 102 mEq/L, gula darah puasa 121 mg/ nadi 110 kali per menit reguler kuat angkat di
dL, gula darah 2 jam post prandial 178 mg/ arteri radialis. Skor GCS E4V5M6 dengan pupil
dL dan HbA1c 6,9%. BUN 5 mg/dL, kreatinin bulat isokor diameter 3 mm mata kanan dan
serum 0,82 mg/dL, SGOT 27 μ/L, SGPT 25 μ/L. kiri. Pasien tanpa distress napas dengan pulse
Dari pemeriksaan foto toraks didapatkan paru dan oximetry 99% tanpa suplemen oksigen.
jantung dalam batas normal, dengan EKG irama Induksi dilakukan dengan obat-obatan anestesi
sinus 100 kali per menit. Dari pemeriksaan MRI sebagai berikut: midazolam 2 mg, fentanyl 100
kepala dengan kontras didapatkan homogenous mcg, thiopental 250 mg dan rocuronium 50 mg.
enhancing solid mass berukuran 2,7 x 1,9 x Intubasi dilakukan dengan pipa endotrakea no.
2,2 cm dengan dural tail di cerebellopontine 7,0 dan dilakukan fiksasi pada 19 cm di tepi bibir.
angle kiri, mendapat feeding dari dural arteries, Dipasang kateter intra-arterial untuk monitor
mendesak nervus V, VII dan VIII yang tampak tekanan darah. Selama pembedahan dilakukan
pada fast imaging employing steady state dengan rumatan anestesi inhalasi isoflurane, O2
acquisition (FIESTA), merupakan meningioma dan air, kontrol ventilasi dengan FiO2 30 % dan
di cerebellopontine angle kiri. diberikan fentanyl secara kontinu. Setelah induksi
dilakukan pemeriksaan gula darah dan didapatkan
Pengelolaan Anestesi hasil 108 mg/dL. Gula darah kemudian diperiksa
Selama persiapan untuk pembedahan elektif, tiap jam dengan target antara 70–160 mg/dL.
pasien diberikan cairan infus berupa NaCl 0,9% Hasil analisa gas darah adalah sebagai berikut:
70 mL/jam. Insulin malam hari sebelum operasi pH 7,33 pCO2 36,7 pO2 91,4 HCO3 22,6 BE
tetap diberikan sedangkan insulin pada pagi hari –3,6 SaO2 98,5% dengan ETCO2 terbaca 34 saat
operasi tidak diberikan. Obat anti hipertensi dan diambil sampel darah.
20 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Gambar 2. Kondisi Hemodinamik dan Kadar Gula Darah Pasien selama Pembedahan

Selama pembedahan ditemukan tumor pada Tabel 1. Penyebab Hipoglikemia pada Pasien
CPA dan dilakukan eksisi tumor secara piece Neurocritical Care6
meal dan identifikasi n. V, VII dan VIII dengan (i) Kelaparan
bantuan Intraoperative Monitoring (IOM). Perawatan lama
Tumor tereksisi 99%. Tekanan darah berkisar 92–
Kehamilan
141/65–91 mmHg dengan MAP 57–110 mmHg
(ii) Dipicu oleh obat
selama pembedahan. Nadi berkisar antara 98-
110 kali per menit dan pulse oximetry 99–100%. Insulin (terapi insulin intensif)
Pada pemeriksaan gula darah pk 17.00 (8 jam Obat hipoglikemia
pembedahan berlangsung) didapatkan hasil 186 Alkohol
mg/dL sehingga diberikan insulin 4 IU iv dan Etomidate
dilanjutkan dengan pemberian secara kontinu Beta Blocker
sebesar 0,3 IU/jam. Satu jam kemudian didapatkan Cyprofloxacin
hasil gula darah 189 mg/dL sehingga pemberian
Salisilat
insulin kontinu dinaikkan menjadi 0,4 IU/jam.
Pembedahan berlangsung kurang lebih selama Enalapril
9 jam dengan keseimbangan cairan yaitu input Warfarin
NaCl 0,9% 1000 mL, koloid gelatin 500 mL, Asetaminofen
whole blood 700 mL dan mannitol 20% 200 mL. (iii) Sepsis
Estimasi perdarahan 1100 mL dan produksi urine (iv) Gangguan ginjal
selama pembedahan 975mL. (v) Gangguan liver
(vi) Endokrin
Pascabedah
Pascabedah pasien diobservasi di ICU dengan Hipopituitarisme
kondisi jalan napas bebas dengan pipa endotrakea Insufisiensi adrenal
dengan bantuan ventilator PSIMV rate 10 PC 8 Hipotiroidisme
PS 8 Trigger 2 I:E 1:2 PEEP 6 FiO2 30% dengan Hiperinsulinemia: nutrisi parenteral
luaran rate 20 kali per menit, volume tidal 405– (vii) Idiopatik
461 mL, ventilasi semenit 7,2–7,9, SpO2 100%, (viii) Iatrogenik
suara napas vesikuler pada kedua lapang paru
tanpa suara napas tambahan. Perfusi hangat kering Dikutip dari Godoy DA, Di Napoli M, Biestro A, Lenhardt
R. Perioperative glucose control in neurosurgical patients.
merah dengan tekanan darah 142/83, MAP 103
Anesthesiology Research and Practice 2012; 1-13.
mmHg. Nadi 107 kali per menit suhu timpanik
Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan 21
Tumor Cerebellopontine Angle

Tabel 8. Pemberian Insulin Kontinu Prabedah Tiga jam pascabedah dilakukan pemeriksaan
untuk Pembedahan Terencana11 gula darah stik dan didapatkan hasil 176 mg/dL,
Mulai infus insulin 0.5-1.0 IU/jam pasien kemudian diekstubasi. Hasil pemeriksaan
Kadar Glukosa Algoritme infus laboratorium pascabedah di antaranya Hb 12,9 g/
dL, Hematokrit 39,2%, Leukosit 14.040/mm3,
<80 mg/dL Hentikan insulin selama 30
menit, berikan 25 mL D50
Trombosit 326.000 μL. Natrium 147 mEq/L,
Kalium 3,6 mEq/L, Chlorida 110 mEq/L, gula
Cek ulang kadar gula darah
darah acak 126 mg/dL, Albumin 3,46 g/dL.
dalam 30 menit
81-120 mg/dL Turunkan infus insulin sebesar
Pemeriksaan gula darah dilakukan per 3 jam
0,3 IU/jam
setelahnya dengan hasil berturut-turut 171, 167
120-180 mg/dL Tidak ada perubahan infus
dan 152 mg/dL pada pk. 06.00 hari pertama
181-240 mg/dL Naikkan infus insulin sebesar pascabedah, masih dengan insulin 0,4 IU/jam iv
0,3 IU/jam kontinu. Pada hari pertama pascabedah, kondisi
> 240 mg/dL Naikkan infus insulin sebesar pasien adalah sebagai berikut: jalan napas bebas
0,5 IU/jam dengan pernapasan spontan 18–20 kali per menit,
Dikutip dari Hirsch IB, McGill JB, Cryer PE, White PF. suara nafas vesikuler kedua lapang paru tanpa
Perioperative Management of Surgical Patients with
Diabetes Mellitus. Anesthesiology 1991;74(2):346-359 suara napas tambahan, pulse oximetry terbaca
96–98% dengan suplementasi O2 21%. Tekanan
darah 136/81 mmHg dengan MAP 99 mmHg.
36,7°C. Kesadaran masih dalam pengaruh obat Nadi 98 kali per menit, teraba reguler dan kuat
anestesi yaitu propofol dan fentanyl kontinu. angkat pada arteri radialis. Suhu timpanik 36,8°C.
Produksi urine 70–100 mL/jam warna kuning Kondisi kesadaran pasien dengan GCS E4 V5
jernih. Pasien direncanakan untuk weaning dan M6 dengan pupil bulat isokor 3 mm mata kanan
sementara itu diberikan terapi di antaranya posisi dan kiri dan refleks cahaya positif. Produksi urine
head up elevasi 30°, NaCl 0,9% 80 mL/jam, injeksi 80–110 mL per jam dengan warna kuning jernih.
ceftriaxone 2 x 1 gram iv, ranitidine 2 x 50 mg iv, Pasien kemudian dipindahkan ke High Care
ondansetron 2 x 4 mg iv, fentanyl 30 mcg/jam iv Unit pada hari pertama pascabedah dengan tetap
kontinu, metamizol 3 x 1 gram iv, dexamethasone dilakukan observasi kadar gula darah per tiga
3 x 5 mg iv dan insulin 0,4 IU/jam iv kontinu. jam.

Gambar 2. Target kadar gula darah pada pasien cedera otak akut/bedah saraf. Di mana L/P: Laktat/
Piruvat dan BBB: Blood Brain Barrier. Dikutip dari Godoy DA, Di Napoli M, Biestro A, Lenhardt R.
Perioperative glucose control in neurosurgical patients. Anesthesiology Research and Practice 2012; 1-13
22 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

III. Pembahasan memerlukan pengaturan terapi antidiabetik.3


Untuk meminimalisir komplikasi pembedahan
Seorang wanita berusia 46 tahun, berat badan karena perubahan metabolik dan efek pembedahan
60 kg, tinggi badan 150 cm dengan tumor di terhadap pengendalian kadar glukosa, ada
cerebellopontine angle (CPA) kiri, diabetes beberapa hal yang perlu diperhatikan di antaranya
mellitus dan hipertensi, dilakukan kraniotomi tingkat pengendalian kadar glukosa darah, regimen
dan eksisi tumor. terapi sebelum perawatan, adanya komplikasi,
Prevalensi diabetes mellitus (DM) meningkat prosedur pembedahan, respons glukosa selama
sangat cepat pada abad ke-21 karena obesitas, perawatan dan jenis anestesia yang diberikan.
penuaan dan kurangnya aktivitas. Pasien dengan Pasien dengan diabetes umumnya memiliki
diabetes yang akan menjalani pembedahan lebih banyak komorbiditas dibandingkan dengan
berhadapan dengan banyak kesulitan. Pasien- populasi umum, seperti obesitas, hipertensi,
pasien ini mungkin mengalami penyakit pembuluh aterosklerosis yang tidak terdeteksi (koroner,
darah, ginjal atau saraf sebagai konsekuensi DM cerebral, perifer) dan gangguan fungsi ginjal.
dan lebih rentan mengalami infeksi luka. Neuropati otonom diabetik (neuropati otonom
lanjut pada jantung, respirasi dan gastrointestinal)
DM merupakan faktor risiko untuk luaran menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik,
perioperatif yang kurang optimal pada pasien motilitas usus dan kadar glukosa yang tidak
yang menjalani bedah saraf.1 Pasien dengan DM normal. Sebagai tambahan, kontrol kadar glukosa
dikaitkan dengan komplikasi baik mayor (infeksi yang tidak adekuat menyebabkan peningkatan
luka, lesi akar saraf perifer, aritmia jantung, risiko komplikasi infeksi.3
gagal ginjal akut, kejadian serebrovaskular)
dan minor (infeksi traktus urinarius, ileus Di sisi lain, terdapat beberapa keuntungan dari
paralitik, defisiensi elektrolit).1 Pengaturan kontrol kadar gula darah setelah pembedahan
kadar gula darah perioperatif yang tidak optimal saraf di antaranya angka kejadian infeksi luka
berkontribusi terhadap kenaikan morbiditas, kraniotomi yang lebih kecil, memendeknya lama
mortalitas dan memperparah sakit yang sudah perawatan dan menurunnya biaya rumah sakit.3
ada sebelumnya. Tantangan bagi tim perawatan Penurunan infeksi aliran darah dan nosokomial,
pasien bedah saraf dengan diabetes mellitus gagal ginjal akut, dukungan ventilator, transfusi
adalah meminimalisir efek gangguan metabolik darah, polineuropati pada sakit kritis dan
pada luaran pembedahan, mengurangi gejolak lama perawatan di neurocritical ICU juga
kadar glukosa dan mencegah hipoglikemia. merupakan keuntungan tambahan. Hipoglikemia
Paradigma kunci dalam perawatan pasien dengan didefinisikan sebagai kadar gula darah kurang
cedera otak dan medulla spinalis akut adalah dari 70 mg/dL.4 Hipoglikemia adalah kejadian
pencegahan abnormalitas fisiologi yang mungkin yang sifatnya multifaktorial, sering terjadi namun
berkontribusi terhadap kerusakan neurologis sebenarnya dapat dihindari. Hipoglikemia dapat
sekunder, dalam hal ini adalah khususnya terjadi dalam banyak kondisi, meskipun populasi
adalah menjaga stabilitas gula darah pasien. pasien dengan DM adalah yang paling rentan
Memperbaiki pengendalian kadar glukosa darah mengalami. Belum ada data spesifik mengenai
pada masa perioperatif dapat mengurangi banyak angka kejadian hipoglikemia pada pasien bedah
konsekuensi merugikan dari hiperglikemia.2 Pada saraf, tetapi seperti yang sudah diketahui,
pasien diabetes, beberapa kondisi yang menyertai kejadian hipoglikemia akan memperburuk
seperti hipertensi, gangguan ginjal dan penyakit prognosis.5 Risiko terkait hipoglikemia ini lebih
jantung koroner dapat meningkatkan risiko besar selama periode perioperatif, di mana
perioperatif.3 anestesi umum dapat mengaburkan gejala yang
timbul. Tabel 1 menunjukkan penyebab paling
Pembedahan adalah sebuah episode yang sering hipoglikemia pada pasien-pasien ini.
penuh stres yang dapat menyebabkan gangguan
sementara pada asupan oral dan seringkali Hipoglikemia saja tanpa kondisi yang lain
Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan 23
Tumor Cerebellopontine Angle

dapat menyebabkan kerusakan otak yang Diabetes Association adalah kadar glukosa darah
ireversibel karena pasien saraf yang sakit kritis yang lebih dari 140 mg/dLpada dua atau lebih sampel
bergantung pada glukosa yang cukup sebagai darah. Hiperglikemia bersama dengan iskemia
sumber energi untuk sistem saraf pusat (SSP), otak dikaitkan dengan sequelae klinis yang buruk
sehingga perlu didagnosis dini dan diterapi pada beberapa pasien bedah saraf. Di antaranya
dengan baik untuk mencegah kerusakan neuron perawatan di ICU lebih lama, kepulihan fungsi
yang ireversibel dan lebih jauh.7 Bahkan neurologis yang kurang baik, vasospasme otak
pengurangan sedang pada kadar gula darah dapat simtomatik dan pembesaran ukuran infark otak.1
menyebabkan neuroglikopenia yang jelas.7 Di Pada pasien bedah saraf, hiperglikemia pasca
lain sisi, beberapa penelitian baik observasional bedah secara umum terjadi karena stres,
maupun intervensional menunjukkan bahwa resistensi insulin dan hiperglikolisis. Selain
hiperglikemia pada pasien bedah saraf yang itu juga sebagai konsekuensi dari pemberian
diabetes maupun tidak dikaitkan dengan luaran kortikosteroid untuk mengendalikan edema otak.1
yang tidak diinginkan, seperti peningkatan Untuk kondisi hiperglikemia selama prosedur
terjadinya komplikasi, memanjangnya masa bedah saraf paling baik ditangani dengan
perawatan rumah sakit dan bahkan angka pemberian insulin iv kontinu. Pemberian insulin
mortalitas yang tinggi. iv kontinu ini bisa diberikan dengan konsentrasi
1 U/mL. Insulin dapat dimulai secara empiris
Selain itu, ada efek merugikan dari defisit dengan kecepatan 0,02 U/kg/jam, dan dititrasi
glukosa terhadap metabolisme otak. Pasien kemudian untuk mencapai target kadar gula
dengan hiperglikemia yang sebelumnya darah yang diinginkan. Pemberian kontinu ini
tidak diketahui, memiliki risiko lebih tinggi sebaiknya dimulai sebelum prosedur (2 sampai
dibandingkan pasien yang sebelumnya telah 3 jam sebelumnya) untuk memungkinkan
menderita diabetes mellitus (DM).4 Bukti-bukti dilakukannya titrasi. Pemeriksaan kadar gula
yang ada menunjukkan bahwa hiperglikemia darah dilakukan tiap jam selama pembedahan
memberikan konsekuensi negatif pada organ dengan kecepatan insulin diatur untuk
secara keseluruhan, termasuk otak. DM yang mencapai kadar gula sesuai rentang target.
tidak terdiagnosa dan hiperglikemia yang
terjadi di rumah sakit meningkatkan komplikasi Terapi Insulin Intensif memperbaiki luaran
pascabedah, biaya dan lama perawatan.3 pasien ICU neurologis dan bedah saraf,
Hiperglikemia terkait erat dengan prognosis berdasarkan Glasgow Outcome Scale (GOS).8
pada skenario cedera otak yang berbeda-beda.2 Hiperglikemia sendiri menyebabkan cedera
Namun demikian, belum ada konsensus yang otak sekunder dan terkait dengan peningkatan
menjelaskan apakah hiperglikemia secara mortalitas dan morbiditas. Kerusakan neuron
langsung bertanggungjawab terhadap luaran tampaknya tidak secara langsung berhubungan
yang buruk ataukah sebenarnya hanya fenomena dengan tingkat hiperglikemia. Di lain pihak,
yang terjadi bersamaan dengan kerusakan otak.2 TII berisiko menyebabkan pasien mengalami
Oleh karena itu, telah dihipotesiskan bahwa hipoglikemia yang terkadang menyebabkan
pengendalian kadar glukosa darah yang ketat deteriorasi neurologis yang halus yang mungkin
mungkin akan berdampak baik terhadap luaran sulit untuk dideteksi, khususnya dengan alat
pasien. Sebagai konsekuensinya, pengendalian ukur yang relatif tumpul (misal GOS) yang
kadar glukosa darah secara ketat menggunakan digunakan pada pasien sakit kritis.8 Pada meta
terapi insulin intensif (TII) banyak digunakan analisis oleh Ooi dkk8 ini efek merugikan
pada pasien neuro yang sakit kritis. Pengendalian hipoglikemia yang terdokumentasi jauh lebih
glukosa darah ketat didefinisikan sebagai menjaga ringan, hipoglikemia yang tidak terkontrol adalah
kadar glukosa dalam kisaran 80 sampai 110 mg/ komplikasi yang harus dihindari, karena pasien
dL. Bagaimanapun, data terkini menunjukkan saraf dan bedah saraf yang sakit kritis berisiko
efek merugikan TII pada jaringan otak. mengalami perburukan luaran neurologis karena
Hiperglikemia menurut konsensus American hipoglikemia. Sebuah keseimbangan yang baik
24 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

harus dicapai dalam menangani hiperglikemia tanpa gejala. Pasien dengan neuropati otonom
dan menghindari hipoglikemia berat. Stimulus perifer atau jantung berisiko terjadi hipotensi
pembedahan merupakan penyebab poten yang selama pembedahan, aritmia perioperatif,
mungkin mempengaruhi respons pasien terhadap gastroparesis, tidak sadar akibat hipoglikemia dan
stres dan mempengaruhi sistem metabolik dan hilangnya counterregulation glukosa.3 Adanya
endokrin, yang pada akhirnya mengarah pada takikardia saat istirahat, hipotensi ortostatik dan
ketidakseimbangan elektrolit dan penurunan hilangnya variabilitas nadi menandakan masalah
kadar insulin dalam darah yang kemudian yang potensial terjadi saat pembedahan. Kreatinin
menyebabkan gangguan respons imun dan serum mungkin bukan merupakan indikator
peningkatan kadar gula darah.1 sensitif untuk fungsi ginjal sesungguhnya pada
pasien tua dengan DM. Urin tampung 24 jam
Stres pembedahan mengaktifkan respons mungkin perlu dilakukan pada pasien dengan
neuroendokrin yang mungkin berfungsi melawan kreatinin serum meningkat, proteinuria atau
kerja insulin. Stres juga menyebabkan terjadinya hipertensi lama atau tidak terkontrol. Kerja
resistensi insulin yang dapat disebabkan karena insulin memanjang pada gangguan ginjal dan
sitokin proinflamasi dan faktor-faktor lain seperti dapat menyebabkan kadar gula darah yang sulit
beberapa obat. Hiperglikemia yang dipicu oleh diprediksi dan hipoglikemia. Hal yang harus
stres dapat menyebabkan disfungsi endotel, defek diingat adalah pasien dengan DM tipe II rentan
pada fungsi imun, peningkatan stres oksidatif, mengalami variabilitas kadar gula darah yang
perubahan protrombotik, efek kardiovaskuler dan mungkin disebabkan resistensi insulin yang
cedera pada daerah otak spesifik atau kerusakan/ mungkin memberat karena stres pembedahan.
iritasi hipotalamus langsung pada pusat regulasi
gula.1 Respons stres dapat dicegah dengan Pasien ini memiliki riwayat penyakit dahulu
kedalaman anestesia yang cukup. Maka dari berupa diabetes mellitus dengan terapi insulin
itu, ahli anestesi mempunyai peran yang sangat dengan dosis yang cukup besar. Walaupun
penting dalam memanipulasi kadar gula darah demikian, dilihat dari hasil pemeriksaan kadar
pada pasien diabetes selama pembedahan saraf. gula darah puasa, post prandial maupun HbA1C
Agar dapat mengatur kadar gula darah dengan masih dalam batas yang dapat diterima, sesuai
lebih baik, ahli anestesi harus menguasai cara rekomendasi American Diabetes Association.
kerja setiap obat anestesi. Pada pemeriksaan pra bedah, pada pasien ini tidak
didapatkan tanda-tanda penyakit penyerta lainnya
Evaluasi prabedah pada pasien dengan yang mungkin menyertai pasien dengan DM.
DM penting untuk mengetahui komplikasi Pada malam hari sebelum operasi pada pasien
yang mungkin dapat terjadi dan menangani ini tetap diberikan insulin levemir sebesar 13 IU,
komorbiditas.3 Untuk pembedahan elektif, penting sedangkan insulin pada pagi hari operasi tidak
untuk melakukan persiapan secara multidisiplin. diberikan. Keputusan ini tepat mengingat insulin
Sebelum pembedahan yang direncanakan, kadar long acting yang diberikan malam sebelumnya
gula darah pasien harus sedekat mungkin dengan adalah untuk memenuhi kebutuhan insulin
rekomendasi American Diabetes Association.3 basal pasien tersebut, sedangkan insulin pagi
Target yang ingin dicapai di antaranya HbA1C < harinya merupakan insulin yang diberikan bila
7%, rerata kadar gula darah puasa 90–130 mg/dL pasien tersebut mendapatkan asupan makanan
dan rerata kadar gula darah pasca prandial < 180 (tidak puasa). Hal ini dibuktikan dengan hasil
mg/dL.4 Prosedur pembedahan elektif sebaiknya pemeriksaan kadar gula darah yang sesuai
dijadwalkan pada pagi hari pada pasien dengan dengan harapan, dalam hal ini 131 mg/dL.
DM.3 Pembedahan elektif dapat ditunda sampai Belum ada penelitian spesifik mengenai
dengan kadar glukosa yang diinginkan sudah penanganan kadar glukosa perioperatif pada
tercapai. Pada pasien dengan DM, penyakit pasien dengan massa intrakranial. Kebanyakan
kardiovaskular dapat bermanifestasi secara tidak pasien yang akan menjalani reseksi tumor,
khas, terjadi pada usia relatif muda dan bahkan menerima terapi kortikosteroid perioperatif.
Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan 25
Tumor Cerebellopontine Angle

Terapi ini berhubungan dengan peningkatan kadar hipoglikemia.10 Benzodiazepine menurunkan


gula dalam darah dan penurunan penggunaan konsumsi metabolik otak secara global,
glukosa oleh otak.9 Sebuah penelitian retrospektif menjaganya seiring dengan CBF, sesuai dosis.10
menunjukkan hubungan antara hiperglikemia Selain itu, pemberian midazolam kontinu
pasca bedah persisten dan mortalitas pada pasien menyebabkan penurunan sekresi kortisol dan
yang menjalani reseksi tumor. insulin dan peningkatan sekresi Growth Hormone
(GH).1 Obat-obat anestesi ini secara efektif
Obat anestesi mempengaruhi metabolisme menghambat seluruh sistem saraf simpatis dan
sistemik dan otak. Walaupun kebanyakan obat aksis hipotalamus-hipofisis. Hambatan respons
ini memiliki efek menekan konsumsi oksigen hormon katabolik terhadap pembedahan mungkin
dan glukosa oleh otak, mekanisme kerjanya membawa keuntungan, terutama pada pasien
berbeda satu dengan yang lainnya. Obat anestesi diabetes. Sampai dengan saat ini, tetap tidak jelas
atau sedativa dapat mempengaruhi homeostasis obat anestesi mana yang memfasilitasi kontrol
glukosa pada periode perioperatif pada pasien gula darah adekuat dan stabilitas hemodinamik
yang menjalani pembedahan, dengan menurunkan selama periode perioperatif.1
sekresi hormon katabolik secara tidak langsung,
atau dengan mengubah sekresi insulin secara Di ruang premedikasi, pasien diberikan insulin
langsung. Mekanisme yang kedua hanya relevan subkutan 12 IU dan kemudian dibawa masuk
untuk pasien yang masih ada sisa sekresi insulin ke dalam kamar operasi. Tambahan insulin ini
(pasien dengan diabetes tipe 2).1 Isoflurane diberikan untuk mengantisipasi kenaikan kadar
mengurangi metabolisme otak, menghemat fosfat gula darah yang dapat terjadi selama induksi dan
kaya energi dan menyebabkan kenaikan glukosa anestesia. Pada pasien ini dilakukan induksi dan
ekstraseluler.10 Lebih jauh lagi, isoflurane rumatan anestesi sesuai dengan strategi anestesi
menurunkan sekresi insulin yang menyebabkan pada pasien tumor yang akan dilakukan operasi.
pasien berisiko terjadi hiperglikemia. Pada Sekalipun beberapa obat anestesi mungkin
sebuah penelitian eksperimental obat anestesi mempengaruhi kadar gula darah pasien, namun
berhalogen seperti halothane atau sevoflurane demikian kedalaman anestesi yang tepat, penting
menyebabkan efek inotropik negatif yang lebih agar tidak memberikan stres tambahan terhadap
besar pada pasien diabetes dibanding dengan tubuh pasien. Hal ini tercermin dari kadar gula
yang non-diabetes, kemungkinan karena darah pasca induksi yaitu 108 mg/dL.
diabetes memicu perubahan akibat anestesia Selama pembedahan, tingkat kedalaman anestesi
pada aktivitas kompleks troponin-tropomiosin. dipastikan tetap adekuat, dengan pemberian
Barbiturat menekan metabolisme global tanpa analgetik yang cukup serta terapi cairan rumatan
menyebabkan akumulasi laktat. Barbiturat tidak dan pengganti perdarahan yang sesuai. Selain
memberikan efek relevan terhadap pengaturan itu ventilasi selama pembedahan juga dijaga
kadar gula sistemik.10 Propofol menyebabkan agar dalam kondisi hipokarbia ringan sampai
kenaikan minimal pada kadar gula ekstraseluler.10 dengan normokarbia untuk mendukung kondisi
Tidak seperti isoflurane, propofol merangsang pembedahan yang baik. Kesemuanya ini
sekresi insulin dan oleh karenanya lebih kecil ditujukan untuk memberikan kondisi optimal
kemungkinannya menyebabkan hiperglikemia. bagi tubuh pasien sehingga tidak memicu
Ketamine menyebabkan peningkatan ringan terjadinya peningkatan kadar gula darah selama
sampai sedang pada konsumsi oksigen dan pembedahan.
glukosa otak. Ketamine juga menyebabkan
kenaikan sedang pada kadar laktat otak.10 Opioid Selama pembedahan, kadar gula darah dimonitor
tidak memberikan efek besar pada metabolisme setiap 3 jam sekali dengan target kadar gula darah
glukosa. Etomidate menghambat sekresi 70–160 mg/dL. Pemeriksaan kadar gula darah
ACTH dan oleh karenanya dapat menyebabkan berkala dilakukan dengan tujuan agar tidak terjadi
penurunan pada respons glikemik terhadap episode hipoglikemia, hiperglikemia maupun
pembedahan dan pada akhirnya menyebabkan variabilitas kadar gula darah yang berlebihan.
26 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Selama pembedahan gula darah terpantau pada dan infeksi traktus urinarius dan menurunkan
kadar 91–186 mg/dL. Kurang lebih setelah 8 jam risiko pasien mendapatkan 2 atau lebih infeksi.8
pembedahan berjalan, kadar gula mulai tampak Pengurangan ini berkorelasi dengan batas target
meningkat dengan hasil pengukuran 186 mg/ kontrol gula darah. Efek menguntungkan pada
dL. Pada saat ini diberikan terapi insulin 4 IU infeksi ini menghilang sepenuhnya bila kadar
IV dan dilanjutkan dengan pemberian kontinu gula darah mencapai 170 mg/dL, yang pada
0,3 IU/jam. Pemeriksaan kadar gula darah 1 jam akhirnya menyarankan konsentrasi gula darah
sebelumnya menghasilkan 189 mg/dL sehingga yang lebih rendah lebih terpilih bahkan dengan
pemberian kontinu dinaikkan menjadi 0,4 IU/ target gula darah yang lebih longgar.
jam sampai dengan akhir pembedahan. Bila gula Meskipun ada risiko hipoglikemia pada kontrol
darah teregulasi sampai dengan di bawah 180 gula darah ketat dan TII, luaran neurologis pada 6
mg/dL direncanakan dilakukan ekstubasi. dan 12 bulan lebih baik pada pasien yang diterapi
dengan kontrol gula darah ketat dibanding yang
Tiga jam pascabedah di ICU pasien ini dengan diterapi gula darahnya secara konvensional.8
kadar gula darah 176 mg/dL dengan terapi Gambar 2 menunjukkan di rentang mana kadar
insulin 0,4 IU/jam. Pada saat ini pasien dilakukan gula darah harus dijaga pada pasien dengan
penyapihan dan kemudian diekstubasi. Kadar gula cedera otak akut.
darah kemudian direncanakan untuk diperiksa
tiap 3 jam dengan target 140–180 mg/dL. Pada akhirnya, kontrol gula darah pada pasien
Setelah penyapihan dan ekstubasi, kadar gula dengan cedera otak merupakan tantangan
darah terkontrol dengan tiap 3 jamnya masing- penanganan yang unik. Secara umum, terjadinya
masing sebesar 171, 167 dan 152 mg/dL, masih hipoglikemia, hiperglikemia dan variabilitas gula
dengan insulin 0,4 IU/jam. Pasien kemudian darah relatif sering terjadi pada populasi pasien
dipindahkan ke ruangan perawatan biasa ini, dan tampaknya lebih tinggi kejadiannya
dengan kondisi sadar baik dan tanpa sequelae. pada pasien yang sudah punya riwayat DM
Rentang optimal kadar gula darah pada pasien sebelumnya dan penggunaan TII. Semakin
bedah saraf dan pasien saraf yang sakit kritis sering episode ketiga kejadian ini, khususnya
belum ditentukan dan masih merupakan untuk variabilitas gula darah atau hiperglikemia,
kontroversi. Belum ada konsensus yang mengatur dikaitkan dengan risiko mortalitas lebih
target kadar gula darah pada periode perioperatif. tinggi dan pemanjangan waktu perawatan.
Pertanyaan berapa sebenarnya target kadar gula Ada berbagai macam regimen atau cara untuk
darah optimal belum dapat dijawab dengan pasti, memberikan insulin untuk mengelola kadar gula
terutama pada pasien saraf yang sakit kritis.5 darah dengan baik. Pada pasien ini, hasil akhir
Otak sangat rentan terhadap variasi kadar gula daripada kadar gula darah per 3 jamnya dalam
darah yang ekstrem. Krisis energi bahkan dapat rentang target yang diinginkan. Penanganan
terjadi pada kadar gula darah yang dalam rentang kadar gula darah perioperatif pada pasien
normal. Terdapat sedikit perbedaan pendapat ini cukup berhasil dengan baik tanpa pernah
mengenai rentang kadar gula darah optimal didapatkan kondisi hipoglikemia maupun
untuk pasien saraf yang sakit kritis, yaitu antara hiperglikemia yang ekstrem dan juga variabilitias
80 dan 180 mg/dL.12 Namun demikian karena kadar gula darah yang relatif tidak besar. Hal
beberapa hasil penelitian acak menunjukkan ini tidak hanya penting bagi luaran fungsional
relatif tingginya angka kejadian hipoglikemia yang lebih baik bagi pasien namun juga penting
ketika klinisi berusaha mempertahankan kadar untuk menghindarkan pasien dari komplilkasi
gula darah antara 80–110 mg/dL, diusulkan perioperatif yang tidak diinginkan.
pendekatan yang lebih konservatif, seperti
misalnya antara 110-180 mg/dL.12 Kontrol gula IV. Simpulan
darah ketat menurunkan kejadian empat kategori
mayor infeksi yang sering terjadi pada ICU saraf/ Baik hipoglikemia dan hiperglikemia memiliki
bedah saraf – pneumonia, sepsis, infeksi luka efek samping serius pada pasien dengan cedera
Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan 27
Tumor Cerebellopontine Angle

otak yang berlanjut dan menerima perawatan sakit closer? Current Opinion in Anaesthesiology
kritis. Kondisi hipoglikemia dan hiperglikemia 2010;23(5):539–43.
dapat memperluas cedera saraf dan berkontribusi
terhadap terjadinya infeksi dan perburukan 6. Godoy DA, Di Napoli M, Biestro A,
luaran jangka panjang. Pada pasien-pasien seperti Lenhardt R. Perioperative glucose control
ini, bukti yang saat ini ada menggarisbawahi in neurosurgical patients. Anesthesiology
pentingnya monitor ketat kadar gula darah. Research and Practice 2012; 1–13.
Untuk meminimalisir risiko hipoglikemia dan
mencegah perburukan kerusakan neuron terkait 7. Bilotta F, Giovannini F, Caramia R, Rosa G.
hiperglikemia, direkomendasikan untuk menjaga Glycemia management in neurocritical care
target gula darah antara 110–180 mg/dL. patients. J NeurosurgAnesthesiol 2009;21:2–9

Daftar Pustaka 8. Ooi YC, Dagi TF, Maltenfort M, Rincon F,


Vibbert M, Jabbour P, dkk. Tight glycemic
1. Tao J, Youtan L. Impact of anesteshesia on control reduces infection and improves
systemic and cerebral glucose metabolism in neurological outcome in critically ill
diabetes patients undergoing neurosurgery neurosurgical and neurological patients.
- updates of diabetes and neurosurgical Neurosurgery 2012;71(3):692–702.
anesthesia. J Diabetes Metab 2013;4(8):1–5.
9. Atkins JH, Smith DS. A review of
2. Godoy DA, Di Napoli M, Rabinstein AA. perioperative glucose control in the
Treating hyperglycemia in neurocritical neurosurgical population. Journal of Diabetes
patients: benefits and perils. Neurocritical Science and Technology 2009;3(6):1352–64.
Care 2010;13(3):425–38.
10. Horn T, Klein J. Lactate levels in the brain are
3. Girard M, Schricker T. Perioperative glucose elevated upon exposure to volatile anesthetics:
control: living in uncertain times-continuiung a microdialysis study. Neurochemistry
professional development. Canadian Journal International 2010;57(8):940–47.
of Anesthesia 2011;58(3):312–29.
11. Hirsch IB, McGill JB, Cryer PE, White PF.
4. Moghissi ES, Korytkowski MT, DiNardo Perioperative management of surgical patients
M, Einhorn D, Hellman R, Hirsch IB with diabetes mellitus. Anesthesiology
dkk. American association of clinical 1991;74(2):346–59.
endocrinologists and American diabetes
association consensus statement on 12. Kramer AH, Roberts DJ, Zygun DA.
inpatient glycemic control. Diabetes Care Optimal glycemic control in neurocritical
2009;32(6):1119–31. care patients: a systematic review and meta-
analysis. Critical Care 2012;16:R203.
5. Bilotta F, Rosa G. Glucose management in
the neurosurgical patient: are we yet any
Pengelolaan Perioperatif Cedera Medula Spinalis Servikal karena Trauma dengan
Tetraparesis Frankle C Asia

Wahyu Sunaryo Basuki*), Dewi Yulianti Bisri**), Siti Chasnak Saleh***), Himendra Wargahadibrata**)
Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif RSAD Brawijaya Surabaya, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung***)Departemen Anestesiologi dan
Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Abstrak

Cedera medula spinalis akut relatif jarang namun menjadi salah satu kejadian trauma yang berakibat fatal.
Kejadian ini sering terjadi pada laki-laki dewasa muda. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama dari
kejadian ini, disusul oleh kejadian trauma di rumah, industri dan olahraga. Tujuan utama dari pengelolaan cedera
medula spinalis akut adalah mencegah medula spinalis dari cedera sekunder dan memperbaiki fungsi neurologis,
mencegah perubahan alignment dan menjaga stabilitas columna vertebralis untuk mendapatkan hasil pemulihan
neurologis dan rehabilitasi yang maksimal. Ahli anestesi berperan besar mulai awal pengelolaan secara optimal
cedera medula spinalis akut ini. Seorang laki-laki, 57 tahun, dibawa kerumah sakit karena kecelakaan sepeda
motor. Pada pemeriksaan fisis, didapatkan laju nafas 24x/menit, nadi 70x/menit, tekanan darah 110/61 mmHg,
perfusi baik, GCS 15, dan tetraparesis. Dalam perawatan selanjutnya, terjadi bradikardia (nadi 50-61 x/menit) dan
hipotensi (tekanan darah 80-90/40-60 mmHg). Dilakukan laminoplasti dekompresi stabilisasi segera.

Kata kunci: Bradikardia, cedera medula spinalis akut, hipotensi, laminoplasti dekompresi stabilisasi

JNI 2018;7 (1): 28–35

Perioperative Management Traumatic Cervical Spinal Cord Injury with Tetraparesis


Frankle C Asia

Abstract

Acute spinalis cord injury (SCI) is relatively rare but can be a fatal trauma event. Young adult men are most
commonly affected. Traffic accident is a frequent cause, followed by accidents at homes, industries, and in sports.
The primary goals of the management of acute SCI are to prevent secondary injury of the spinal cord, improve
neurological functions, prevent disruption in alignment, and maintain the stability of the vertebral columns. These
serve to achieve neurological recovery and maximal rehabilitation. Anesthesiologists play an important role in the
optimal management of acute SCI. A 57-year-old man was brought to the hospital due to a motorcycle accident.
Physical examination revealed respiratory rate 24 x/minutes, heart rate 70 x/minutes, blood pressure 110/61 mmHg,
good perfusion, GCS 15, and tetraparesis. During hospitalization, the patient developed bradycardia (heart rate
50-61 x/minutes) and hypotension (blood pressure 80-90/40-60 mmHg). Immediate decompressive laminoplasty
stabilisation was performed.

Key words: Acute medula spinalis injury, bradycardia, decompressive laminoplasty stabilisation, hypotension.

JNI 2018;7 (1): 28–35

28
Pengelolaan Perioperatif Cedera Medula Spinalis Servikal karena Trauma dengan 29
Tetraparesis Frankle C Asia

I. Pendahuluan stabilitasnya sehingga didapatkan pemulihan dan


rehabilitasi yang maksimal. Pengelolaan anestesi
Cedera medula spinalis akut menyebabkan meliputi pemilihan obat, memberikan oksigen
morbiditas dan mortalitas yang signifikan yang adekuat, menjaga kondisi normokapneu,
terhadap problem sosial dan ekonomi. Cedera normoglikemia serta menjaga perfusi medula
ini menyebabkan problem kesehatan karena spinalis yang adekuat. Hipotensi sistemik
memerlukan perawatan jangka panjang dan akan menyebabkan cedera sekunder, sedang
biaya yang besar. Problem psikososial pasien hipertensi, akan menyebabkan perdarahan dan
dan keluarga juga merupakan beban terhadap edema. Pada fase sekunder dilakukan perawatan
masyarakat dan negara. Lebih dari 50% korban di intensive care unit karena seringkali cedera
cedera ini tidak dapat kembali hidup secara medula spinalis pada trauma terjadi sebagai multi
normal, sedangkan mayoritas dari korban trauma seperti cedera otak dan cedera abdomen
tersebut adalah usia 15–25 tahun yang sehat. Di serta yang lainnya.2,4 Pada cedera medula spinalis
Inggris angka kejadiannya 10–15 orang per satu pada daerah servikal tinggi sering memerlukan
juta populasi pertahun dan 40000 orang hidup perawatan dengan ventilator mekanik di ICU.
dengan cedera medula spinalis. Di Amerika
sekitar 50–55 orang per satu juta populasi per II. Kasus
tahun dengan total biaya rata-rata berkisar empat-
lima milyar dolar. Pada trauma servikal dengan Seorang laki-laki 58 tahun 60 kg dirujuk ke rumah
cedera medula spinalis angka mortalitasnya pada sakit karena kecelakaan lalu lintas sepeda motor
3 bulan adalah 20%–21 %. Sedangkan prediktor dengan sepeda motor. Penderita mengeluh kedua
mortalitas independennya adalah level dari tangan dan kedua kaki lemah, kesemutan dan
cederanya, CGS, usia dan gagal nafas. 1-4 rasa baal, tengkuk terasa nyeri. Dari anamnesa
penderita sempat pingsan dan muntah. Kejadian
Cedera medula spinalis akut menyebabkan 12 jam sebelum masuk rmah sakit. Kelemahan
gangguan yang komplet atau inkomplet dari kedua tangan dan kaki tidak ada sebelum
fungsi motorik, sensorik, autonomik dan reflek. terjadinya kecelakaan.
Mekanisme cederanya terdiri dari cedera primer
dan cedera sekunder. Ahli anetesi berperan Pemeriksaan Fisik
besar pada pengelolaan cedera medula spinalis Penderita dibawa dengan stretcher dan memakai
akut mulai dari tahap awal resusitasi setelah collar neck rigid. Jalan nafas bebas, frekwensi
kejadian sampai tahap pengelolaan jangka nafas 28x/ menit dengan oksigen kanul 3 liter/
panjang.2,4 Cedera pada medula spinalis ini sering menit, SpO2 98%. Hemodinamik perfusi hangat
menyebabkan gangguan atau disfungsi sistim kering merah. Nadi 70x/menit reguler, tekanan
respirasi dan jantung, bahkan dua hal tersebut darah 125/70 mmhg. GCS E4 V5 M Tetraparesis
sering menyebabkan kematian.1, 5, 6 pupil isokor, reflek cahaya +/+. Pada pemeriksaan
neurologis motorik didapatkan sebagai berikut:
Oleh karena itu pada fase primer dilakukan sensorik hipoalgesia setinggi C3 – distal
resusitasi untuk mencegah hal tersebut yaitu dermatom.
melakukan resusitasi airway dengan imobilisasi
servikal spinal, breathing dan circulation
2 2 2 2 3 3 33 22222222
dengan kontrol perdarahan dan pengelolaan
syok neurogenik.2 Selanjutnya dilakukan 33333333 33332222
pengelolaan pada fase sekunder yang meliputi
pemberian anestesi untuk stabilisasi dari
kolumna spinalis serta tindakan pembedahan Reflek BPR ↓│↓TPR ↓│↓ APR ↓│↓KPR ↓│↓
untuk dekompresi atau fusi. Hal ini untuk reflek patologis (–). RT tonus spingter ani (–).
melindungi dan mencegah kerusakan Medula Bising usus + lemah. Ronkhi dan wheezing tidak
spinalis lebih lanjut, menjaga struktur tulang dan ada.
30 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Pemeriksaaan Penunjang MRI Cervical Pre operasi


Pemeriksaan laboratorium Hb 10,7 g/dl, L 15.290/
ul, Ht 34,6 Vol %, Thr 338.000/ul, BT 2 menit,
CT 10 menit, PPT 13,2 detik, kontrol 12,6 detik,
APTT 32,20 detik, kontrol 30,80 detik golongan
darah B Rh positif. SGOT 28 U/l SGPT 13 U/l.
Ureum 37,2 mg/ dl, Sc 1,39 mg/dl. Albumin 3,50
g/dl, GDS 125 mg/dl, Natrium 134 mmol/L,
Kalium 4,1 mmol/L, Klorida 107 mmol/L.
Analisa gas darah pH 7,44 , PCO2 44,2 mmHg,
PO2 140,6 mmHg, HCO3 28,6, O2 saturasi 99,0,
BE 2,3, AADO2 42,8.

Thorax foto pre operasi

Gambar. 3.1 MRI:


Gambaran penyempitan kanalis sentralis, bulging
disc, stenosis

Hematom

Gambar. 1 Thorax foto AP.


Kesan: Foto Thorax dalam batas Normal

Gambaran Hematom

Secara umum terjadi penyempitan central canal


mulai dari C4 s/d C6 dengan diameter rata-
rata 6–7 mm. Posterior osteophytes terutama
di level C4-5 (paramedian kanan dan kiri) dan
C6–7 (Para median kanan dan kiri). Post trauma
tampak hyperindense medula spinalis edema di
level C4–5,6–7 yang secara biomekanik dapat
Gambar 2. CT kepala dijelaskan akibat flexion injury dan trauma akibat
Hasil: Kesan brain parenkim dan intrakranial posterior osteophytes di dua level di atas. discus
lainnya normal tak tampak kelainan intervertebralis: C2–3, C7–Th1: normal, C3–4:
Pengelolaan Perioperatif Cedera Medula Spinalis Servikal karena Trauma dengan 31
Tetraparesis Frankle C Asia

mempertahankan posisi secara manual, colar neck


tidak dilepas. Laringoscope yang dipergunakan
adalah McCintosh. Induksi dengan propofol
2mg/kg dosis titrasi, vecuronium, 0,10 mg/kg
BB, fentanyl 2mg/kgBB. Selama proses intubasi
tekanan darah terpasang stat, tidak ada gejolak
nadi dan tekanan darah selama proses intubasi.
Nadi berkisar 65–80x/menit dan tekanan darah
105–115/55–70 mmHg, Suhu rektal 36,9o C.
Setelah dilakukan pemasangan nasogastrik tube
dan pemasangan tampon hipofaring untuk fiksasi
kemudian dilakukan pemasangan arteri line
dan vena sentral. Kateter urine sudah terpasang
Posisi pasien untuk operasi adalah posisi prone,
Tanda Vital selama Operasi diposisikan setelah dilakukan perlindungan
terhadap daerah mata, wajah, serta setelah vital
sign baik dan stabil. Dilakukan pemeriksaan
bulging disc ke posterior mendesak anterior
thecal sac serta menyebabkan moderate stenosis
foraminal canal bilateral. C4–5, 5–6: protruded 3333 3333 3333 3333
disc disertai osthepyte menyebabkan moderate 5555 5555 5555 5555
stenosis central canal, severe stenosis foraminal
canal kanan dan moderrate kiri. C6–7: Pasien kondisi torak, perut apakah sudah bebas.
dirawat di ruang terapi intensif setelah dilakukan Rumatan anestesi dilakukan dengan propofol
MRI menunggu dilakukan operasi dekompresi 4mg/kg bb/jam, sevoflurane 0,8% -1,5% volume,
laminoplasti stabilisasi. Di pasang monitoring vecuronium 0,03–0,05 mg/kgBB/jam, O2 50%
non invasif untuk tanda vital; nadi, tensi, saturasi dengan O2 / udara dan O2 murni. Fentanyl 1ug/
oksigen, suhu. Diberikan oksigen kanul 3 liter kg bb diberikan sebanyak 3 kali selama operasi.
permenit, cairan infus balan cairan iso osmoler Rumatan cairan yang dipergunakan adalah
100 cc/jam. ringerfundin. Monitoring yang dilakukan selama
operasi berlangsung adalah EKG, ABP, SpO2,
Selama di ICU terjadi nadi bradikardia 52–60x/ EtCO2, suhu rektal, urine.
menit, tekanan darah sistolik turun 80–85 mmHg
dengan MAP 50–55 mmHg. Diberikan cairan Operasi berlangsung selama 5 jam. Selama
infus balan isosmoler 500 cc cepat, sulfasatropin operasi dilakukan rumatan anestesi kontrol
0,5 mg IV sebanyak dua kali dan dopamin 3μg– ventilasi dengan frekuensi 13x/menit, volume
5μg / kgBB. Selanjutnya penderita disiapkan ke tidal 8cc/kg bb sehingga tercapai minute volume
kamar operasi dengan nadi diatas 60x/menit dan 6,2 liter, PEEP 3. Dengan memberikan Dopamin
tekanan darah sistolik diatas 100mmHg, MAP 3–5 microgram/kgBB didapatkan MAP 75–90
mencapai 80–85 mmHg. mmHg, tekanan darah sistolik 105–130 mmHg
dan laju nadi 65–85x per menit. EtCO2 berkisar
3333 3333 3333 2222 antara 32–36, serta suhu rektal 36,6–37,2. Cairan
3333 3333 3333 3333 balans isosmoler yang masuk sebanyak 1200cc
sedang produksi urin sebanyak 500cc dengan
Pengelolaan Anestesi perdarahan 200cc, penderita dirawat di ruang
Transportasi ke kamar operasi dengan tetap ICU dengan ventilator. Obat pasca operasi yang
mempertahankan airway, breathing, circulation diberikan adalah analgetik petidin 50mg 1.m;
(ABC) kontrol spine. Monitor non invasif tetap parasetamol 1gr, Omeprazole 20 mg, odansetron
terpasang. Intubasi dilakukan dengan tetap 4 mg, intravena.
32 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Tabel 1. Indikasi Ventilasi Mekanik


Parameter Indikasi
Ekspirasi maksimal <+20 cmH2O
Inspirasi Maksimal <–20 cmH2O
Kapasitas Vital < 15 mL/Kg
PaO2|FIO2 <250
Thorax foto Atelectasis| Infiltrates
Sumber: G S Umamaheswara Rao: Indian Journal Of
Anaesthesia, February 2008

Hari IV
Tanda-tanda vital baik tidak panas. Mode
Gambaran Fungsi Vital di ICU ventilator CPAP PS 8, respon pernafasan RR 18-
24x/menit. Volume Tidal 500 – 590 cc EtCO2 30
Perawatan di ICU – 33 mmHg, SpO2 98–100%,dengan kemampuan
Hari 1 di ICU batuk kuat dan status neurologis membaik.
penderita dirawat dengan ventilator mode Kesemutan berkurang, baal membaik. Analisis
PSIMV RR 13x, FlO2 40%, PC I2, TV 480- gas darah pH 7,46, PCO2 34,8 mmHg, PO2 190
500 cc, I:E 1 : 2, triger 1, PEEP 3, EtCO2 30–35 mmHg, HCO3 24,8 mmol, BE 2,9 mmol/L,
dengan SpO2 97 – 99%, MAP 80 – 90 mmHg, AaDO2 98.
CVP 8–11 dan suhu rektal 36,8–37,1, nadi 65–
78x/menit irama sinus. Terapi yang diberikan Hari V
balan cairan isosmoler 1500 cc dan NaCl 0,9% Penderita sadar baik, MAP 80–90 mmHg,
500 cc selama 24 jam, serta sonde D5 % 6x50 tekanan darah 105–135/65–72 mmHg, EtCO2 32,
cc, antibiotik, parasetamol 3x 1 gr, omeprazole SpO2 98%, suhu 36,8o C–37,1o C.
20 mg, dopamin 5–8 mikro/kgbb. Pemeriksaan Dilakukan ekstubasi, diberikan oksigen masker
laboratorium Hb 11,8 g/dl, Ht 35,6 vol%, Thr 6 Lt/menit.
18400/ul, Na 136mmol/L, K 3,4mmol/L, NaCl
104 mmol/L, GDS 113 mg/dl, analisa gas dalam Hari ke VIII
pH 7,36, PCO2 44 mmHg, PO2 108 mmHg, Pasca operasi penderita pindah ke ruang
HCO3 28,4 mmol /L, BE 2,1 mmol/L AADO2 80. perawatan, hari ke 30 pulang dengan GCS 15,
Suara nafas tambahan tidak ada, GCS E4 VxM6 status neurologis sensoris hipoalgesia negatif
tetra paresis, bising usus positif perut tidak (normal), reflek fisiologis normal, tonus spingter
kembung. Status neurologi: sensoris hipoalgesi ani baik.
positif, reflek fisiologis menurun dan tonus
spingter ani negatif. III. Pembahasan

Hari II-III Cedera medula spinalis karena trauma banyak


Suport ventilator mulai diturunkan dari PSIMV terjadi dan sering menyebabkan morbiditas
RR 13 x/menit menjadi sampai RR 8 x/menit dan mortalitas. Hal ini terutama karena terjadi
dengan PS 6, FiO2 menjadi 30%. Laju nafas yang disfungsi sistim respirasi dan kardiologik. Cedera
keluar 16–20 x/menit, TV 480-590 cc, minute medula spinalis primer terjadi pada saat terjadinya
volume 7,6–8,6 tanda-tanda vital relatif sama, trauma, sedangkan cedera sekunder berlangsung
bising usus positif, tidak ada retensi lambung beberapa menit maupun beberapa hari setelahnya.
produksi urine cukup. Makanan cair personde Disfungsi respirasi pada akhirnya menyebabkan
diberikan 6x100 cc. hipoksemia sedang disfungsi kardiologik yang
berupa bradikardi, hipotensi sistemik karena syok
Pengelolaan Perioperatif Cedera Medula Spinalis Servikal karena Trauma dengan 33
Tetraparesis Frankle C Asia

spinal atau karena hipovolemi akan menyebabkan mempunyai efek vagolitik dan histamin release
aliran darah spinal menurun sehingga tekanan yang minimal sehingga stabilitas kardiologi
perfusi spinal akan terganggu. Hal itu semua terjaga.7 Pada pasien ini sebelum dilakukan
akan menyebabkan cedera sekunder.2,3,5-7 Cedera posisioning dilakukan pemasangan kateter vena
medula spinalis servikal tinggi menyebabkan sentral dan arteri line, nasogastrik tube, dan
gangguan sistem respirasi, kardiologik, dan tampon hipofaring untuk fiksasi pipa endotrakeal.
fungsi autonom. Gangguan atau disfungsi ini Pelaksanaan pengaturan posisi prone pasien
sering memerlukan perawatan dengan ventilator dilakukan dengan cara log roll menjaga posisi
mekanik dan terapi farmakologik.5-9 Penanganan in line serta menjaga stabilitas hemodinamik
pasien cedera medula spinalis pada fase awal karena disfungsi kardiologik yang terjadi seperti
atau inisial fase resusitasi adalah melakukan terjadinya hipotensi ortostatistik. Dilakukan
ABC control Spine. Mengamankan jalan nafas, perlindungan terhadap mata, mencegah distensi
memberikan oksigen yang adekuat serta menjaga lambung dengan membuka NGT, menjaga
tekanan darah sistolik dan MAP yang mencukupi abdomen yang bebas serta menjaga dari cedera
sehingga tidak terjadi cedera sekunder.2,4,7 syaraf perifer. Pada cedera medula spinalis yang
tinggi seperti servikal 3, servikal 4 atau servikal
Pada pasien ini GCS 15, airway dan kontrol 5 menyebabkan gangguan sistim respirasi
spinenya dijaga dengan memasang colar neck yang terjadi karena kelumpuhan otot inspirasi,
dan meletakkan pasien pada stretcher. Bila tidak ekspirasi, juga diapragma, serta kemampuan
ada colarneck bisa digunakan 2 bantal pasir batuk. Ventilasi mekanik untuk tindakan anestesi
kanan kiri kepala. Untuk oksigenasi diberikan disesuaikan dengan disfungsi yang terjadi yaitu
oksigen kanul 2–3 liter/menit, sedang untuk disfungsi respirasi, kardiologik dan autonom
mencegah hipovolema diberikan koreksi dengan yang terjadi pada pasien ini. Frekuensi nafas
cairan kristaloid balan cairan iso osmoler 500cc yang diberikan 13x|menit dengan tidal volume
cepat dan diberikan pemberian sulfas atropin 0,5 8cc/kg bb, sehingga minute volumenya 6,2 liter.
mg intravena untuk mengatasi bradikardia, serta FiO2 50% dengan oksigen air dan oksigen murni.
pemberian dopamin untuk mengatasi hipotensi Diberikan PEEP untuk menjaga alveoli, dengan
karena syok spinal. Hipoksi dan hipofolemi tetap menjaga hemodinamik. Pemilihan obat
pada pasien ini harus cepat diatasi karena untuk anestesi adalah propofol 4mg/kg/BB/jam dan
mencegah terjadinya cedera sekunder. Induksi sevoflurane 1% volume - 1,5% volume, serta obat
dan intubasi pada pasien cedera medula spinalis vekuronium 3mg/jam. Obat-obat anestesi tersebut
servikal pada trauma memerlukan keterampilan dipilih untuk menjaga stabilitas hemodinamik
dan kehati-hatian, karena trauma mekanik pada serta mempertahankan tekanan medula spinalis
saat suction trakea, tindakan laringoskopi, perfusi dan menurunkan laju metabolisme.10,11
intubasi endotrakea, dapat menyebabkan Dipilih kombinasi propofol dan sevoflurane untuk
bradikardia sampai asistole.4,7,8 menjaga kedalaman anestesi dan menjaga gejolak
Menjaga alignment selama induksi intubasi hemodinamik. Dopamin diberikan sebanyak 3–8
akan mencegah cedera mekanik lanjutan, hal mikro/kgBB selama berlangsungnya operasi
ini memerlukan tehnik dan keterampilan dari tekanan darah pada MAP dipertahankan antara
ahli anestesi. Colar neck tetap dipasang, dan 80–90 mmHg. Pada setiap waktu operasi kondisi
manipulasi pada leher harus dilakukan seminimal normoglikemi normotensi, dan normovolemi
mungkin. Dilakukannya posisi manual in line pada dijaga dengan memberikan cairan rumatan
intubasi ini akan memperkecil terjadinya cedera kristaloid iso osmoler ringerfundin 2cc/kg bb/
pada saat intubasi.7 Untuk menjaga dan mencapai jam. Kondisi normo kapni dipertahankan dengan
MAP 85–90 mmHg dan tekanan sistolik diatas mengatur ventilasi mekanik sehingga tercapai
90 mmHg maka dilakukan pemberian propofol PaCO2 sekitar 35 mmHg dan pada operasi ini
2 mg/kgbb, fentanyl, secara titrasi serta dopamin dipasang monitor EtCO2 30–35. Monitor suhu
tetap diberikan secara kontinyu. Obat relaksasi dipasang di rektal dengan mempertahankan suhu
otot yang diberikan adalah vekuronium karena antara 36,6–37,1oC. Operasi berlangsung selama
34 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

lima jam, dilanjutkan perawatan di ICU dengan tetap baik. Mengatasi disfungsi respirasi dilakukan
ventilator mekanik, karena pada pasien ini terjadi dengan memberikan ventilasi mekanik dan
gangguan saraf motorik, sensorik serta autonom farmakologik. Disfungsi kardiologik, gangguan
karena cederanya. Cedera medula spinalis pada autonom diberikan obat-obat farmakologik.13-15
daerah servikal yang tinggi memerlukan bantuan Obat methyl prednisolon karena tidak diberikan
ventilasi mekanik. Berat ringannya disfungsi karena tidak terbukti membeikan hasil yang
respirasi tergantung dari level lesi spinalnya. baik tetapi menyebabkan infeksi dan gangguan
Lesi dibawah C4 masih ada pengaturan respirasi lambung.16,17
volunter. Gangguan fungsi otot intercostal
menyebabkan gerakan paradoksal keatas dari IV. Simpulan
thorak selama inspirasi; dan ekspansi yang
kurang selama inspirasi serta tidak stabilnya Pengelolaan perioperatif anestesi pada pasien
rongga thorak selama ekspirasi menyebabkan laki-laki 57 Th dengan cedera traumatik medula
retensi sekresi, infeksi paru, edema paru, dan spinalis servikal tinggi Frankle C Asia pada pasien
gagalnya ventilasi alveolar. Indikasi untuk ini dilakukan dengan cepat tepat dan baik yang
melakukan ventilasi mekanik dapat dilakukan sesuai dengan pedoman tahapan fase penanganan
dengan beberapa parameter seperti pada tabel.12 anestesi mulai fase primer sampai fase long term.
Perawatan cedera medula spinalis servikal tinggi
Selama dirawat di ICU dengan ventilator dan pada pasien ini memerlukan ventilator mekanik
dengan monitoring invasif maupun non invasif yang dapat dilakukan weaning relatif cepat dengn
pasien menunjukkan tanda-tanda vital yang baik perbaikan status neurologis disfungsi respirasi,
dan ada perbaikan status neurologis. Fungsi kardiologik dan perbaikan fungsi autonom yang
autonom juga membaik dengan fungsi gaster dan cepat. Hal ini dimungkinkan karena pengelolaan
peristaltik usus yang baik serta tonus sphingster anestesi yang baik cepat dan tepat akan
ani yang mulai timbul meskipun lemah. Penderita memberikan status neurologis bisa berjalan.
mulai dilakukan weaning ventilator untuk
mencegah terjadinya komplikasi dari ventilator Daftar Pustaka
seperti pneumonia, prolong ventilator. Dalam
hal ini weaning perlu hati-hati karena bila 1. Van Middendorp J J, Goss B, Susan U, Atresh
terjadi prematur akstubasi maka harus dilakukan S, Williams RP, Schuetz M. Diagnosis and
reintubasi. Ada beberapa kriteria untuk ekstubasi prognosis of traumatic spinal cord injury.
yaitu: tidak panas, tanda vital baik, VC 15 ml/ Global Spine J 2011; 1: 1–8.
kgBB, inspiratory force >–24 cmH2O, Respirasi
stabil selama 24 jam, PaO2 >75, PCO2 35–45, 2. Wirasinghe V, Grover S Ma D, Vizcaychipi
pH 7.35–7,45, tidak menggunakan PEEP, FiO2 M. Anaesthetic management of patients with
tidak lebih dari 25% dan sekret bisa dikeluarkan, acute spinal injury. The Internet Journal of
kondisi umum baik selama 24 jam, thorax foto Anesthesiology. 2010;30 (1).
baik, secara psikologis baik dan bisa bekerja
sama.12 Kriteria tersebut tidak semua dilakukan 3. Yilmaz T, Turan Y, Keles A. Pathopysiology
seperti pemeriksaan vital capacity. Kondisi of the spinal cord njury. Review article.
pasien yang relatif baik selama pasca operasi Journal of clinical and experimental
dimungkinkan karena pengelolaan perioperatif Investigation.2014;5(1): 131–6.
dan tindakan pembedahan yang segera dilakukan.
Resusitasi ABCs yang dilakukan adalah untuk 4. Elif C, Copuroglu C, Sahin SH, Ciftdemir
mencegah hipoksia dan hipotensi yaitu dengan M. Anaesthesia management in spinal cord
menjaga tensi sistolik diatas 90mmHg dan MAP injury patients. The Journal of Turkish Spinal
mencapai 85–90 mmHg. Surgery. 2015;26(2): 173–6.

Hal itu akan menyebabkan tekanan perfusi spinal 5. Brown R, Anthony DF, Jeanette HD, Eric G.
Pengelolaan Perioperatif Cedera Medula Spinalis Servikal karena Trauma dengan 35
Tetraparesis Frankle C Asia

Respiratory dysfunction and management in 11. Veale P, Lamb J. Anesthesia and acute spinal
spinal cord injury. Respircar. 2006 August; cord injury. Br J Anaesth. 2002; 5(2) 139–43.
51 (8) : 835–87.
12. Berlly M, Shem K. Respiratory management
6. Grigorean VT, Sandu AM, Popescu M, during the first five days after spinal cord
Iacobini MA, Stoian R, Neascu C, Pop F. injury. J spinal Cord Med 2007; 30: 309–18.
Cardiac dysfunctions following spinalcord
injury. Journal of Medicine and Life.2009; 13. Neil D, Armagan D. Anesthetic consideration
2(2): 133–45. in acute spinal cord trauma. Int J Crit ill Inj
Sci. 2011; 1 (1)
7. Stier R, Asgarzadief G, Cole DJ. Neurosurgical
diseases and trauma of spine and spinal cord: 14. Berlowitz DJ, Wadsworth B, Ross J,
anaesthetic considerations. Dalam: Cotrel Respiratory problems and management in
JE, Patel, eds. Cottrel and Piyush Neuro people with spinal cord injury. Breathe 2016;
anesthesia, 6th Ed. Philadelphia. 2017, 351– 12(4):328–40.
409.
15. Michelle D, Mckinlay J. Cervical cord injury
8. Alexander F, Daniel HJ, Spinal cord injury: and critical care. Continuing Education
evidence based medicine, diagnosis, in Anesthesia, Critical Care and Pain.
treatment, and complication. Dalam: Layon 2009;9(3):82–6.
JA, Gabrielli A, William FA. eds. Texbook of
Neuro Intensive Care. 2nd Edition. London: 16. Botelho RV, Daniel RW, Boulosa JLR, Colli
Springerve-Verlag 2013, 619–41. BO, de lucena Farias R, Moraes OJS, et al.
Effectiveness of methyl prednisolone in
9. Ryken TC, Hurlbert RJ, Hadley MN, Aarabi acute spinal cord injury. A systemic review of
B, Dhail SS, Gelb DE. The acute cardio randomized controlled trials. Rev Assoc Med
pulmonary management of patient with Bras 2009; 2010; 56 (6): 729–37.
spinal cord injuries. Neuro surgery. 2013;
72(3):84–92. 17. Hurlbert RJ. Strategies of medical
intervention in the management of acute
10. Rao USG. Anaesthetic and intensive care spinal cord injury. Spine 2006;31(2): 516–21.
management of traumatic cervical spine
injury. Indian Journal of anaesthesia. 2008;
52 (1): 13–22.
Talaksana Perioperatif Pasien dengan Reseksi Arteriovenous Malformation Intrakranial

Endah Permatasari*), Bambang Oetoro**), Syafrudin Gaus***)


Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSU Kabupaten Tangerang, **) Departemen Anestesiologi dan
*)

terapi intensif Rumah Sakit Mayapada ,***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Hasanudin
Makassar

Abstrak

Tindakan pembedahan eksisi arteriovenous malformation (AVM) merupakan salah satu prosedur yang menantang di
bidang neuroanestesia. Diagnosis AVM ditegakkan berdasarkan gejala klinis didukung pemeriksaan neuroradiologis.
Untuk persiapan perioperatif pasien AVM yang optimal, ahli anestesi harus memahami patofisiologi AVM dan
tatalaksananya. Terapi pada pasien AVM sangat tergantung pada ukuran diameter AVM dan lokasinya. Target
utama dari operasi adalah memotong pasokan aliran darah ke AVM. Dengan tindakan reseksi AVM, bila AVM
sudah dapat diidentifikasi maka pasokan aliran darah akan dihentikan dan dilakukan pengangkatan nidus. Pada
kasus ini dilaporkan seorang wanita usia 19 tahun dengan nilai GCS 15, BB 59 kg, datang dengan keluhan sering
sakit kepala semenjak 1 tahun sebelum masuk RS. Hasil angiografi otak menunjukan adanya gambaran AVM di
lobus parietal kanan. Dilakukan tindakan reseksi AVM dan pembedahan berhasil dengan baik. Tidak timbul defisit
neurologis pascabedah. Pascabedah pasien dirawat di ICU dan pindah keperawatan keesokan harinya.

Kata kunci: AVM, tatalaksana perioperatif, reseksi AVM


JNI 2018;7 (1): 36–43

Perioperative Management Patient with Intracranial Arteriovenous Malformation


Resection

Abstract

Arteriovenous malformation (AVM) resection is one of the most challenging procedures in neuroanesthesia.
Right now, cerebrovascular surgery is frequently done. The diagnosis of intracranial AVM is based on clinical
symptoms and is supported by neuroradiological examination. For optimal perioperative management of patients
with intracranial AVM abnormalities, anaesthetist should understand the pathophysiology of the AVM disorder and
its management. Therapy in AVM patients is highly dependent on the size of the AVM diameter and its location.
The main target of surgery is to cut the blood supply to the AVM. In AVM resection, as soon as AVM can be
identified, the blood supply will be stop anf the nidus will be remove. In this case report: a 19 year old woman,
score GCS 15, 59 kg in weight cames with frequent headache since the previous years before entered the hospital.
Brain angiographic results showed intracranial AVM features in the right parietal lobe. The patient underwent the
AVM resection action and the operation was done successfully. No neurological deficit was found. Postoperative
patients were admitted to the ICU and moved to the ward the next day.

Key words: AVM, perioperative management, resection AVM

JNI 2018;7 (1): 36–43

36
Tatalaksana Perioperatif Pasien dengan Reseksi Arteriovenous Malformation 37
Intrakranial

I. Pendahuluan Seiring kemajuan teknologi kedokteran maka


terapiAVM tidak hanya terbatas reseksiAVM tetapi
Arteriovenous malformasi (AVM) adalah suatu meliputi embolisasi endovascular dan stereotactic
kelainan pembuluh darah intrakranial yang radiosurgery. Segera setelah AVM terdeteksi
menghubungkan antara arteri dan vena tanpa sebaiknya segera langsung dilakukan tindakan.
disertai adanya capillary bed di parenkim Tujuan utama terapi adalah menghilangkan
otak. Kelainan ini dapat menyebabkan defisit secara total AVM intrakranial. Dikatakan bahwa
neurologis yang serius sampai dengan kematian. terapi bedah yang parsial atau tidak sempurna
AVM bisa terdapat di area supratentorial (70– menyebabkan risiko perdarahan yang lebih tinggi
97%), infratentorial (3–30%) atau dalam bagian dibandingkan AVM yang tidak dioperasi.1,5,6
otak yang lebih dalam (4–23%). Penyebab
kelainan ini tidak diketahui. Malformasi ini diduga Tindakan pembedahan reseksi AVM intrakranial
merupakan suatu kelainan kongenital karena sebaiknya dilakukan secara terencana sebelum
pembentukan pembuluh darah yang abnormal terjadi komplikasi perdarahan dan kecacatan.
pada masa embrionik. Bukan merupakan suatu Persiapan operasi harus dipersiapkan secara
kelainan herediter. Kelainan ini relatif jarang seksama. Pemeriksaan untuk mencegah
ditemukan namun komplikasi yang ditimbulkan terjadinya risiko timbulnya kesulitan selama
dapat menimbulkan gejala kejang dan perdarahan periode intraoperatif harus dilakukan. Apabila
hingga menimbulkan kematian. Sekitar 10% kondisi pasien belum optimal dan tindakan
AVM terkait dengan aneurisma. Dengan pembedahan direncanakan elektif sebaiknya
kemajuan teknik pemeriksaan neuroradiologi dilakukan perbaikan kondisi umum terlebih
ditemukan lebih banyak kasus AVM yang belum dahulu. Dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi
terjadi perdarahan (AVM pecah/rupture AVM). adanya defisit neurologis praoperatif. Dilakukan
Standar baku diagnostik AVM adalah angiografi pendokumentasian secara lengkap di rekam
serebral.1-3 medik dan konsultasikan ke bagian terkait bila
diperlukan. Pada kasus ini sebelumnya pasien
Arteriovenous malformation sebenarnya tidak berobat ke bagian neurologi, sudah mendapatkan
terlalu banyak angka kejadiannya namun terapi dan belum terjadi suatu defisit neurologis. 2,3
menyebabkan gangguan neurologis dan angka Grading system digunakan sebagai salah satu
kematian yang tinggi. Angka kejadian dan sarana untuk memprediksi tingkat kesulitan
prevalensi AVM sebenarnya tidak diketahui operasi. Spetzler dan Martin pada tahun 1986
secara pasti. Insiden dari AVM diperkirakan 1: memperkenalkan suatu skala penilaian risiko
100.000 pertahun dari populasi. Dari suatu data morbiditas dan mortalitas AVM intrakranial
pemeriksaan otopsi dikatakan bahwa rata-rata (Spetzler-Martin AVM grading system) yang
terdapat sekitar 4,3% dari populasi. Penelitian akan direncanakan terapi surgical. Skala ini
di Belanda antara tahun 1980–1990, ditemukan yang paling sering digunakan. Makin tinggi
insiden dari AVM yang bergejala adalah 1,1 per jumlah nilai keseluruhan maka akan makin tinggi
100.000 penduduk. Arteriovenous malformation risikonya. Dikatakan grade I dan II memiliki
lebih sering ditemukan pada rentang usia 20–45 tingkat kemtian yang lebih rendah. Skala ini
tahun dengan puncaknya pada dekade ke empat berdasarkan lokasi nidus, lokasi lesi terhadap
dan kasusnya tetap dapat ditemukan pada usia cortex eloqouent dan drainase vena. Pada tabel
yang lebih lanjut. Walaupun AVM dianggap 1 dibawah ini akan dijabarkan skala Spetzler –
sebagai suatu kelainan kongenital hanya sekitar Martin Grading Scale untuk AVM intrakranial.2
18–20 % kasus yang bisa terdeteksi sebelum usia
remaja. Tidak ada perbedaan bermakna angka II. Kasus
kejadian AVM pada lelaki dan perempuan. Diduga
AVM adalah penyebab terbanyak perdarahan Seorang wanita berusia 19 tahun dengan berat
intrakranial bukan akibat trauma pada rentang badan 59 kg dengan AVM direncanakan untuk
usia kasus dibawah 35 tahun.4,5 dilakukan kraniotomi reseksi AVM.
38 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Tabel 1. Skala Spetzler-Martin Grading untuk AVM Kekuatan motorik ekstremitas atas dan bawah
Intrakranial baik.
Karakteristik Nilai
Pemeriksaan Laboratorium
Ukuran AVM
Pemeriksaan penunjang dan tambahan didapatkan
Kecil (< 3 cm) 1 data berikut:
Sedang (3-6 cm) 2
Besar ( > 6 cm) 3 Hasil analisis gas darah: pH 7,356. pCO2 56
Lokasi mmHg. pO2 78 mmHg. Base excess 3,7. Pada
Area non eloquent 0 foto toraks PA tidak ditemukan adanya kelainan.
Area eloquent 1 EKG didapatkan hasil irama sinus, laju jantung
70 x/menit, aksis normal, tidak ditemukan
Pola drainase vena
gangguan konduksi dan perubahan segmen ST.
Area superfisial 0
Dari hasil angiografi otak didapatkan gambaran
Lokasi non superfisial 1 sesuai arteriovenous malformasi di lokasi lobus
Dikutip dari: Sinha PK1 parietal kanan dengan nidus berukuran kira kira
2,9 x 2,5 cm. Feeding arteri A. cerebri media
Anamnesis: kanan segmen 3 dan draining vein pada vena-
Pasien dengan riwayat sering sakit kepala dan vena kortikal lobus parietal kanan dan sinus
kejang berulang semenjak 1 tahun sebelum sagitalis superior.
masuk rumah sakit. Frekwensi kejang sekitar 2-3
kali per bulan. Kejang terakhir satu hari yang lalu Penatalaksanaan Anestesi
setelah dirawat. Setelah kejang pasien tetap sadar. Kesadaran pasien compos mentis saat masuk
Sebelumnya pasien berobat ke dokter neurologi kamar operasi, E4M6V5. Tekanan darah 130/90
dan mendapatkan terapi fenitoin 3 x 100 mg. mmHg, laju nadi 70 x/menit, laju nafas 14 x/menit,
suhu 37 oC. Jalur intravena terpasang di tangan
Pemeriksaan Fisik kanan. Dilakukan pemasangan alat monitor
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran tekanan darah non-invasif, denyut jantung dan
compos mentis. Tekanan darah 130/90 mmHg, saturasi O2. Dilakukan pemasangan akses CVP
frekwensi nadi 70 kali per menit, laju nafas 14 kali dan pipa nasogastrik. Belum ada fasilitas monitor
permenit, suhu 37oC. Auskultasi bunyi jantung end tidal CO2 dan alat pengukur tekanan darah
I,II regular, tidak didapatkan bunyi rhonki dan invasif. Pasien diberikan premedikasi dengan
wheezing di kedua lapang paru. Abdomen lunak, midazolam 2,5 mg dan fentanyl 50 mcg intravena
tidak ada nyeri tekan dan tidak distensi. Pasien (iv). Dilakukan induksi yang lancar untuk proteksi
dengan Mallampatti 1 dan buka mulut maksimal. otak menggunakan propofol 100 mg iv, fentanyl
Tidak ditemukan gangguan nervus kranialis. 150 µg iv, lidokain 80 mg iv dan rocuronium

Tabel 2. Hasil Laboratorium


Pemeriksaan Keterangan Pemeriksaan Keterangan
Hemoglobin 11 g/dl SGOT 16 µ/L
Hematokrit 33% SGPT 18 µ/L
Leukosit 8000 /mm3 PT 13,9 dengan nilai kontrol 15,5
Trombosit 220.000 / aPTT 27,8 dengan nilai kontrol 35,1
mm3
Natrium 140 mEq/L GDS 101 µ/L
Kalium 4,2 mEq/L
Clorida 107 mEq/L
Tatalaksana Perioperatif Pasien dengan Reseksi Arteriovenous Malformation 39
Intrakranial

Gambar 1. Angiografi Otak tampak AVM di lokasi Lobus Parietal Kanan

Gambar 2. Penampakan Langsung AVM sesudah Gambar 3. Kondisi Pasien Pascaoperasi sebelum
Dura dibuka dan sebelum Dilakukan Reseksi Dilakukan Ekstubasi

30 mg. Diberikan preoksigenasi dengan O2


100% 5 menit sebelum intubasi. Dilakukan
penambahan propofol kembali 50 mg iv 30 detik
sebelum intubasi. Intubasi dilakukan dengan pipa
endotrakheal no 7.5 kedalaman 19 cm pada tepi
bibir. Dilakukan kontrol ventilasi. Lima belas
menit pasca induksi hemodinamik stabil, tekanan
darah sistolik berkisar antara 115–125 mmHg dan
diastolik berkisar antara 70–85 mmHg. Tekanan
arteri rata-rata dipertahankan dalam rentang 85
–98 mmHg. Nadi berkisar sekitar 60–80 kali
permenit. Kondisi hemodinamik ditampilkan
Tabel 3. Pemantauan Hemodinamik selama dalam bentuk grafik di tabel 3. Setelah induksi
Operasi dilanjutkan dengan pemberian fentanyl 1–2 µg/
40 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

kgBB/jam dan pelumpuh otot rocuronium 36 mg/ dan stereotactic radiosurgery (gamma knife)
jam. Posisi operasi terlentang. Dilakukan head up untuk mengurangi ukuran AVM dan pasokan
meja operasi sekitar 20o. Pemeliharaan anestesi aliran darah. Tindakan embolisasi endovascular
dilakukan dengan gas O2: udara: sevofluran sebelum tindakan pembedahan dapat mengurangi
=1:1 dengan kombinasi kontinyu fentanyl dan risiko perdarahan intraoperasi dan pascaoperasi.
pelumpuh otot rocuronium. Dengan dilakukannya teknik microsurgical
dikombinasi dengan embolisasi dan didukung
Dilakukan ventilasi kendali selama operasi. dengan kemajuan teknik neuroanestesia telah
Pascainduksi diberikan manitol 20% sebanyak 100 membuat kasus-kasus yang sebelumnya mustahil
cc. Pada saat membuka tulang tampak otak slack, untuk dilakukan tindakan pembedahan dapat
duramater putih dan berdenyut. Pada gambar 2 dilakukan reseksi total. Pada kasus ini di rumah
tampak penampakan AVM secara makroskopis. sakit kami belum tersedia fasilitas tindakan
Selama operasi hemodinamik (tekanan darah embolisasi endovascular dan stereotactic surgery.
dan frekwensi nadi) dan saturasi O2 terpantau Apabila harus dilakukan maka pasien harus
stabil. Pembedahan berjalan selama 6 jam 30 dirujuk ke rumah sakit tipe A dan pasien tidak
menit dengan perdarahan sekitar 200 cc. Cairan bersedia untuk dirujuk. Pasien direncanakan
masuk intraoperasi, kristaloid 1000 cc dan koloid untuk dilakukan terapi bedah. Manajemen
500 c. Cairan keluar intraoperasi urin sebanyak anestesi perioperatif yang optimal dapat dicapai
300 cc. Selama tindakan pembedahan rentang dengan pemahaman target tujuan tatalaksana
hemodinamik relatif stabil. Setelah tindakan AVM dengan patofisiologi yang mendasarinya.1,2,9
pembedahan selesai, pasien tidak diekstubasi dan
dipindahkan ke ICU. Ekstubasi dilakukan setelah AVM intrakranial memiliki tiga komponen,
3 jam pascabedah dengan kondisi kesadaran feeding arteries, nidus dan draining veins.
pasien compos mentis dan hemodinamik stabil. Gambaran makroskopik AVM akan tampak
Keesokan harinya pasien dipindahkan ke ruang koneksi arterio-vena tanpa disertai adanya
perawatan biasa. Pada gambar 3 terlihat kondisi capillary bed. Akibatnya akan terjadi high flow
pasien pascaoperasi sebelum dilakukan ekstubasi shunt-low resistance yang dapat menimbulkan
perubahan struktur feeding arteries dan
III. Pembahasan draining veins timbulah hiperplasia otot polos
pembuluh darah dan jaringan ikat di sekitarnya.
Tidak semua AVM intrakranial dilakukan tindakan Pembuluh darah akan menjadi abnormal dan
pembedahan maupun invasif. Arteriovenous melemah. Seiring waktu dapat terjadi pecah
malformation bisa ditemukan secara tidak AVM intrakranial karena peningkatan tekanan
sengaja pada saat skrining CT-scan penyakit lain. intralumen pembuluh darah. Risiko pecah AVM
Tindakan reseksi pembedahan disertai dengan intrakranial sekitar 1–3 % per tahun. Apabila
kombinasi dengan embolisasi intraoperatif belum terjadi obliterasi AVM sempurna maka
masih merupakan pilihan tatalaksana utama risiko perdarahan tetap ada. Risiko perdarahan
pada AVM. Standar baku untuk menilai hasil juga tetap ada pada embolisasi endovascular yang
tindakan pembedahan adalah angiografi otak hanya parsial. Pada saat dilaksanakan tindakan
pascaoperasi. Keputusan untuk melakukan jenis reseksi AVM, dilakukan eksisi feeding arteri
tindakan dilakukan berdasarkan pertimbangan terlebih dahulu, kemudian nidus dan terakhir eksisi
faktor usia pasien, kondisi secara umum dan draining vein. Target utamanya adalah obliterasi
neurologis serta jenis AVM intrakranial yang total AVM intrakranial. Apabila memungkinkan
terdapat. Pilihan tatalaksana AVM menjadi dilakukan angiografi intraoperasi atau dilakukan
preferensi ahli bedah dan persetujuan pasien. pascaoperasi. Stereotaktic radiosurgery menjadi
Setelah tindakan embolisasi endovascular alternatif terapi selanjutnya apabila tidak
diharapkan AVM intrakranial dapat obliterasi dapat dilakukan obliterasi total. Pada kondisi
sempurna. Embolisasi endovascular dilakukan ini risiko perdarahan tetap ada. Alasan utama
sebagai tindakan awal sebelum terapi bedah untuk melakukan tindakan pembedahan pasien
Tatalaksana Perioperatif Pasien dengan Reseksi Arteriovenous Malformation 41
Intrakranial

dengan AVM adalah untuk mencegah terjadinya anestesi pada saat dilakukan pemeriksaan
perdarahan intrakranial spontan, sebagai neuroradiologis (CT atau angiografi), embolisasi
tatalaksana kejang yang refrakter terhadap terapi endovascular, untuk stereotactic radiosurgery
farmakologis dan mencegah terjadinya defisit atau untuk terapi pembedahan pengangkatan lesi
neurologis akibat AVM. Tindakan reseksi AVM AVM. Pemilihan obat maupun teknik anestesi
dilakukan pada AVM yang letaknya superficial dan harus menganut prinsip dasar neuroanestesi. Pada
tidak dilakukan pada AVM yang letaknya dangat dasarnya manajemen anestesi pada reseksi AVM
dalam. Pada kasus ini pasien dengan keluhan intrakranial sesuai dengan prinsip proteksi otak
sering sakit kepala dan kejang sesuai dengan pada lesi/tumor yang lain. Autoregulasi otak tetap
manifestasi klinis AVM. Kejang tetap terjadi harus dipertahankan sepanjang operasi. Dengan
hingga satu hari menjelang operasi meskipun pilihan regimen anesthesia yang tepat harus
terapi fenitoin sudah diberikan. Tindakan reseksi dicapai brain relaxation, kendali hemodinamik
pembedahan dianjurkan pada kasus dimana AVM dan pemulihan segera pascaanestesi.1,5
terletak pada area otak non-eloquent. Menurut
American Stroke Association rekomendasi waktu Target utama saat induksi anestesi adalah induksi
operasi adalah elektif. Pada kasus ini operasi yang mulus dan menghindari terjadinya lonjakan
dilakukan sesuai dengan rekomendasi. Tindakan hemodinamik yang berlebihan. Risiko pecahnya
dilakukan sebelum timbul suatu defisit neurologis AVM pada saat induksi umumnya sedikit. Namun
dan perdarahan intrakranial spontan. Apabila harus diingat bahwa sebagian pasien dengan
sudah terjadi suatu hematoma intracerebral atau AVM juga dapat memiliki aneurisma intrakranial
jika timbul tanda-tanda yang mengancam nyawa sehingga harus dicegah terjadinya lonjakan
dan juga bila diperlukan pemasangan drainase kardiovaskular pada saat induksi. Rentang
eksternal maka harus segera dilakukan operasi hemodinamik dipertahankan sama dengan kondisi
segera/emergensi untuk mencegah terjadinya pasien sebelum operasi. Dosis opioid yang cukup
herniasi otak.8,9 untuk mencegah respon kardiovaskular yang
berlebihan pada saat laringoskopi dan intubasi.
Pasien dengan AVM bisa datang dengan keluhan Digunakan fentanyl misalnya dengan dosis 3–7
sakit kepala, kejang, hidrosefalus dan perdarahan mcg/kgBB dan lidokain 1–1,5 mg/kgBB. Obat
intrakranial. Perdarahan intrakranial terjadi golongan penghambat beta (esmolol) juga dapat
pada 42–72% penderita AVM intrakranial. digunakan untuk mencegah terjadinya lonjakan
Kejang terjadi pada sekitar 20–25% kasus AVM kardiovaskular. Pada kasus ini digunakan fentanyl
intrakranial. Kejang bisa merupakan suatu kejang dengan dosis 3 mcg/kg BB dan lidokain untuk
fokal atau kejang yang menyeluruh. Sakit kepala mengurangi respon berlebihan pada saat intubasi.
timbul pada 15% kasus. Kelainan ini banyak Di rumah sakit kami belum tersedia sediaan obat
ditemukan pada rentang usia 20 sampai dengan golongan penghambat beta intravena.1,5,8,9
40 tahun. Paling sering pasien datang dengan
perdarahan intrakranial spontan (ICH spontan- Pilihan regimen anestesi yang digunakan akan
spontaneous intracranial hemorrhage). Kejang mempengaruhi keberhasilan operasi. Rumatan
terjadi akibat dari AVM. Pada AVM intrakranial anestesi dapat menggunakan teknik inhalasi atau
terjadi malformasi vascular terkait stealing TIVA. Obat-obatan yang digunakan harus yang
phenomena yang menyebabkan gangguan perfusi bersifat stabil terhadap fungsi kardiovaskuler
di area AVM sehingga timbullah disfungsi dan pulih sadar anestesi yang cepat. Dengan
neurologis. proses pulih sadar yang cepat maka dapat segera
Defisit neurologis juga dapat timbul sebagai dilakukan pemeriksaan neurologis. Kebanyakan
akibat penekanan efek massa dari AVM. Dalam obat anestesi intravena akan menurunkan
suatu penelitian dikatakan bahwa untreated AVM tingkat metabolisme otak. Penurunan ini disertai
intrakranial memiliki risiko jangka panjang untuk dengan peningkatan resistensi pembuluh darah
terjadinya perdarahan, stroke dan kematian.2,3,8 dan penurunan aliran darah otak. Sebaliknya
Pasien dengan AVM memerlukan pengelolaan kebanyakan anestesi inhalasi akan meningkatkan
42 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

aliran darah otak (efek vasodilator) dan sebaiknya di rawat di ruang ICU selama minimal
menurunkan tingkat metabolisme otak. 24 jam. Karena lama operasi yang panjang pada
kasus ini pasien tidak segera dilakukan ekstubasi.
Peningkatan aliran darah otak akan dapat Ekstubasi dilakukan setelah sekitar 3 jam di
menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial. 1,2,8 ICU. Pascabedah kesadaran compos mentis
Terdapat beberapa komplikasi pada masa dan hemodinamik stabil. Tidak timbul kejang
perioperatif yang harus dihindari dan wajib dan tidak diketemukan defisit neurologis baru
dicegah. Perdarahan intrakranial dapat terjadi selama perawatan di ICU. Bila dapat dilakukan
sebelum dilakukan terapi definitif AVM pada pemulihan segera pascabedah (rapid emergence)
unsecured vascular malformation. Stroke maka dapat secepatnya dilakukan pemeriksaan
iskemik dapat terjadi apabila timbul gangguan neurologis. Apabila pascaoperasi ditemukan
perfusi otak intraoperatif. Komplikasi ini baru perubahan tingkat kesadaran atau defisit
dapat disingkirkan apabila pasien sudah tidak neurologis baru maka pikirkan kemungkinan
dalam pengaruh obat-obatan anestesi dan dapat timbulnya perdarahan. Dilakukan pemeriksaan
dilakukan pemeriksaan neurologis. Perburukan neuroradiologis segera dan dikonsultasi teman
dapat terjadi akibat kenaikan dan penurunan sejawat terkait dan bila memang perlu pasien
cepat tekanan intrakranial. Keadaan ini dapat harus dipersiapkan untuk dilakukan tindakan
terjadi karena ketidakstabilan hemodinamik bedah kembali. Pada kasus ini pasien di rawat
kardiovaskular yang terlalu cepat (turun-naik di ICU selama 1 hari sebelum dipindahkan ke
tekanan darah). Diketahui tekanan perfusi otak ruangan. Pascabedah tidak dilakukan pemeriksaan
adalah selisih dari tekanan arteri rerata dan angiografi ulang yang seharusnya secara teori
tekanan intrakranial. Risiko ini dapat dihindari dilakukan untuk menilai keberhasilan tindakan
dengan dilakukannya tatalaksana prinsip proteksi reseksi dan tatalaksana selanjutnya. Pascaoperasi
otak.8,10,11 risiko yang mungkin terjadi adalah sindroma
Normal Perfusion Pressure Breakthrough
Berdasarkan analisa diatas dapat disarikan (NPPB) serta komplikasi hyperemia. Insidennya
tujuan utama untuk mencegah terjadinya hanya kurang dari 5%. Kelainan ini dapat terjadi
komplikasi pada bedah serebrovaskular adalah intraoperasi ataupun pascaoperasi. Berupa
mencegah terjadinya pecah AVM/aneurisma, perdarahan otak multifocal dengan edema otak
mempertahankan tekanan perfusi otak dan yang berat. Peningkatan aliran darah pasca reseksi
aliran darah otak serta mengendalikan tekanan AVM dan hilangnya kemampuan autoregulasi
intrakranial dan mengurangi volume otak (brain diduga berkaitan dengan terjadinya komplikasi
relaxation) untuk visualisasi lapangan operasi NPPB. Diagnosis NPPB merupakan diagnosis
yang optimal. Apabila terjadi pecah AVM eksklusi setelah penyebab edema otak yang dapat
intraoperasi pasien bisa jatuh dalam kondisi shock dikoreksi/diterapi telah dapat disingkirkan.5,8,11
hemoraghik sedangkan manipulasi jaringan
otak selama tindakan akan meningkatkan risiko Pada periode perioperatif anestesi memegang
edema otak pasca operasi. Sebelum operasi peranan penting untuk mencegah terjadinya
dilakukan persiapan darah dan akses intravena kecacatan dan komplikasi. Harus dilakukan
yang memadai. Operasi sebaiknya dijadwalkan prinsip proteksi otak. Untuk mencegah terjadinya
terencana/elektif dan dapat dilakukan tindakan komplikasi perioperatif selama tindakan
embolisasi endovascular terlebih dahulu. Dengan pembedahan serebrovaskular harus dicegah
tindakan bedah sebaiknya dapat dilakukan terjadinya pecahnya AVM dan mempertahankan
pengangkatan keseluruhan feeding artery, nidus tekanan perfusi otak dan aliran darah otak.
dan draining veins secara total.10,11 Sementara tekanan intrakranial harus tetap dapat
dikendalikan dan brain relaxation harus dapat
Kondisi neurologi sebelumnya, lama operasi dan dicapai untuk memberikan lapang pandang yang
manipulasi selama operasi menentukan pasien optimal bagi ahli bedah. Pada periode pascabedah
akan diekstubasi atau tidak. Pascabedah pasien juga harus dicegah terjadinya lonjakan tekanan
Tatalaksana Perioperatif Pasien dengan Reseksi Arteriovenous Malformation 43
Intrakranial

darah. Tekanan darah yang tidak stabil akan 2014;95: 1175–86.


meningkatkan risiko terjadinya perdarahan
pascaoperasi. Pengendalian tekanan darah 5. Lee CZ, Talke PO, Lawton MT. Anesthetic
yang agresif akan mengurangi risiko hematoma considerations for surgical resection of
pascaoperasi dan edema otak. Risiko hematoma brain arteriovenous malformations. Dalam:
terjadi terutamaa pada periode pulih bangun dari Cottrell JE, Young WL (Eds). Cottrell and
anestesi sampai dengan 48 jam sesudahnya.5,8,9,10 Young’s Neuoanesthesia. USA: Mosby
Elsevier; 2017: 263–73.
IV. Simpulan
6. Starke RM, Komotar RC. Hwang BY,
Telah dilakukan tindakan reseksi pengangkatan Fischer LE, Garret MC, Otten ML, Connolly
AVM intrakranial pada seorang wanita usia 19 ES. Treatment guidelines for cerebral
tahun dengan keluhan utama sakit kepala dan arteriovenous malformation microsurgery.
kejang. Tindakan pembedahan dan anestesi British Journal of Neurosurg. 2009; 23(4):
berhasil dengan baik. Pascaoperasi tidak 376–86.
timbul defisit neurologis baru dan tidak terjadi
komplikasi. Anestesi memegang peranan 7. Hashimoto T, Young WL. Anesthesia related
penting untuk mencegah terjadinya kecacatan considerations for cerebral arteriovenous
dan komplikasi pada tindakan pembedahan malformations. Neurosurg.Focus. 2001;5:
pengangkatan AVM intrakranial. 1–5.

Daftar Pustaka 8. Fields JD, Liu KC, Brambrink AM.


Perioperative challenges during
1. Sinha PK, Neema PK, Rathod SC. Anesthesia cerebrovascular surgery. Dalam: Brambrink
and intracranial arteriovenous malformation. AM, Kirch JR (Eds). Essentials of
Neurol India. 2004;52(2): 163–170. Neurosurgical Anesthesia and Critical Care.
London: Springer; 235–45.
2. Ajiboye N, Chalouhi N, Starke RM,
Zanaty M, Bell R. Cerebral arteriovenous 9. Arteriovenous malformations and AV istulas.
malformations: evaluation and management. http://www.med.nyu.edu/neurosurgery.
http://dx.doi.org/10.1155/2014/649036. Diakses pada 12 Maret 2017.
Diakses pada tanggal 24 Maret 2017.
10. Crawford PM, West CR. Anesthesiaa-related
3. Hamid RKA, Hamid NA, Newfield P, Bendo consideration for cerebral malformations.
AA. Anesthetic management of cerebral www.aiimsnets.org>specialities>vaskular.
aneurysms and arteriovenous malformations. Diakses pada 12 Maret 2017.
Dalam : Newfield P, Cottrell JE, Giannotta S
(Eds). Handbook of neuroanesthesia. USA: 11. Saleh O, Baluch A, Kaye AJ, Kaye A.
Lippincot Williams & Wilkins ; 2012: 148–77. Arteriovenous malformation, complications
and perioperative anesthetic management.
4. Barreau X, Marnat G, Gariel F, Dousset V. M.E.J.Anesth. 2008; 19(4) : 737–52.
Intracranial arteriovenous malformations.
Diagnostic and interventional imaging.
Tatalaksana Cerebral Venous Sinus Thrombosis dengan Alkoholik dan Perdarahan
Intraserebral

Fitri Sepviyanti S*), Rose Mafiana**), Eri Surahman***)


*)
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Nobel Medical Collage Teaching Hospital, **)Departemen
Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya-Rumah Sakit M. Hoesin Palembang,
***)
Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP. Dr. Hasan
Sadikin Bandung

Abstrak

Cerebral venous sinus thrombosis (CVST) adalah suatu sindrom seperti stroke, angka kejadiannya sangat jarang,
sehingga dapat menjadi dilema bagi dokter di instalasi gawat darurat dalam menegakkan diagnosis. Seorang lelaki
25 tahun, 50 kg, tinggi badan 165 cm, mengeluh lemah anggota badan sebelah kanan sejak 12 jam sebelum masuk
rumah sakit. Keluhan disertai dengan sukar berbicara. Satu hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mabuk-mabukan
dan mengalami muntah-muntah ± 3–5 x/hari. Riwayat kejang, konsumsi obat-obatan dan trauma sebelumnya
disangkal. Tidak ada riwayat demam, hipertensi, diabetes mellitus dan penyakit penyerta lainnya. Dilakukan
dekompresi evakuasi perdarahan sebagai tindakan penyelamatan jiwa setelah pasien terehidrasi, operasi dilakukan
dalam anestesi umum. Lama operasi selama 2 jam dan lama pasien teranestesi 2 jam 15 menit. Pasien dirawat
di ICU selama 2 hari, lalu dipindahkan ke ruang HCU. Pada hari ke-5 pascabedah mulai diberikan enoxaparin
sodium 50 mg subcutan selama 6 hari. Lalu pasien dipindahkan ke ruang rawat inap dan pulang ke rumah pada hari
ke-15 perawatan. Target pencapaian utama pada pasien CVST adalah untuk rekanalisasi penyumbatan, menjaga
venous return, mengurangi risiko hipertensi vena, infark serebral dan emboli paru. Algoritma tatalaksana pasien
CVST terkadang harus disesuaikan dengan kondisi klinis pasien saat tiba di rumah sakit. Pemberian low-weight-
moleculer heparin (LWMH) tetap diberikan selama tidak terjadi peningkatan tekanan darah yang bermakna.

Kata kunci: alkoholik, CVST, dekompresi evakuasi perdarahan, LWMH


JNI 2018;7 (1): 44–53

Cerebral Venous Sinus Thrombosis Management with Alkoholic and Intracerebral


Hemorrhage

Abstract

Cerebral venous sinus thrombosis (CVST) is a syndrome similar a stroke, the incidence is very rare, so it can be a
dilemma for doctors at emergency departments to make the diagnosis. A 25 year old male weighing 50 kg and height
165 cm. Patients complained of right limb wekness since 12 hours before admission. Complaints are accompanied
by difficulty speaking. One day before entering the hospital, the patient got drunk and experienced vomiting ±
3–5 times a day. History of seizures, previous consumption of drugs and trauma was denied. No history of fever,
hypertension, diabetes mellitus and other comorbidities. Decompression by hematoma evacuation was performed
as a life-saving action after the patient was hydrated, surgery was performed under general anesthesia. Operation
duration was 2 hours and anesthesia duration was 2 hours 15 minutes. The patient was admitted to the ICU for 2
days, then transferred to the HCU room. On the 5th day post-surgery patient got 50 mg subcutaneous enoxaparin
for 6 days. Then the patient was transferred to the ward and returned home on the 15th day of treatment. The main
achievement targets in CVST patients were for clotting recanalization, maintaining venous return, reducing the risk
of venous hypertension, cerebral infarction and pulmonary embolism. The CVST patient management algorithm
sometimes has to be adjusted to the patient's clinical condition upon arrival at the hospital. Provision of LWMH is
still given as long as the blood pressure does not increase significantly.

Key words: alcoholic,CVST, decompressive evacuation hematoma, LWMH


JNI 2018;7 (1): 44–53

44
Tatalaksana Cerebral Venous Sinus Thrombosis dengan Alkoholik 45
dan Perdarahan Intraserebral

I. Pendahuluan andalan untuk CVST dan direkomendasikan


oleh pedoman internasional. Rekomendasi ini
Cerebral venous sinus thrombosis (CVST) adalah didasarkan pada data dua penelitian secara
kelainan pembuluh darah otak yang jarang dan acak dalam skala kecil. Pasien yang diterapi
mempunyai gejala klinis yang sangat bervariasi.1 dengan heparin memiliki hasil klinis yang lebih
Terjadi pada 0,5%–3% dari seluruh kasus stroke, baik, walaupun perbedaannya tidak signifikan
dengan angka kejadian sekitar 0,00035%, secara statistik dalam meta-analisis (risiko
terutama mempengaruhi orang muda dan anak- kematian relatif 0,33, 95% CI 0,08–1,21).11 Hal
anak tertentu sekitar 0,0007%.2 Infark perdarahan terpenting, tidak ada hubungan antara pemberian
tampak pada 40% pasien yang menjalani CT- heparin dengan komplikasi perdarahan, yang
scan dan transformasi perdarahan kadang- merupakan kontraindikasi antikoagulan. Sebuah
kadang menyebabkan perdarahan intraserebral penelitian menunjukkan justru pasien yang diberi
atau perdarahan subarachnoid (subarachnoid heparin dibandingkan dengan plasebo, tidak
hemorrhage/SAH),4 namun SAH adalah terjadi emboli paru, yang merupakan penyebab
presentasi klinis yang jarang terjadi. Keragaman utama kematian pada pasien dengan CVST.11-12
manifestasi klinis meningkatkan kesulitan Biasanya heparin dengan berat molekul rendah/
diagnosis CVST dan menyebabkan tatalaksana low-weight-moleculer heparin (LWMH) yang
yang buruk pada pasien CVST dengan SAH digunakan sebagai terapi, karena pertimbangan
akut. Hal ini disebabkan karena kurangnya faktor keamanan, lebih sering digunakan dalam
penelitian tentang hubungan antara SAH akut tatalaksana konservatif daripada heparin yang
dengan CVST di masa lalu.5-6 Sampai sekarang, tidak terfragmentasi, kecuali pada pasien yang
hanya penelitian yang dipublikasikan tahun dilakukan tindakan neurointervensi.13
2016 yang melaporkan 22 pasien CVST dengan II. Kasus
SAH, di mana mereka mengevaluasi kejadian
dan karakteristik radiologis SAH terkait CVST.7 Anamnesis
Penelitian retrospektif lanjutan yang dilakukan Seorang lelaki 25 tahun dengan diagnosis
telah dipublikasikan tahun 2017 melibatkan 11 cerebral venous sinus thrombosis haemorrhagic
pasien CVST dengan SAH akut dari bulan Maret conversion, berat badan 50 Kg dan tinggi badan
2008 sampai Maret 2015 mengenai gejala klinis 167 cm datang ke Nobel Medical Collage and
yang sesuai karakteristik, strategi terapi dan Teaching Hospital. Pasien mengeluh lemah
prognosis.8 anggota badan sebelah kanan sejak 12 jam
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai
Pecandu alkohol cenderung mengalami gangguan dengan sukar berbicara dan menjadi rero. Satu
pembuluh darah otak. Hubungan antara pengaruh hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mabuk-
alkohol dengan stroke belum diketahui secara mabukan dan mengalami muntah-muntah ± 3–5
pasti.9 Gejala seperti sakit kepala, mual dan kali/hari. Riwayat kejang, konsumsi obat-obatan
mengantuk setelah minum minuman keras dan trauma sebelumnya disangkal. Tidak ada
biasanya disebabkan oleh veisalgia.10 Diagnosis riwayat demam, hipertensi, diabetes mellitus dan
CVST mungkin terlewatkan dalam kasus seperti penyakit penyerta lainnya.
itu karena gejala yang tidak spesifik, kecuali
seorang dokter mempunyai kecurigaan yang Pemeriksaan Fisik
tinggi dan pengalaman akan hal ini. Peranan Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan
CT-scan sangat penting dalam diagnosis awal pasien: glassglow coma scale (GCS) 9–10
CVST dan membantu mencegah komplikasi (E3V2M4-5), pupil bulat isokor, reflex cahaya
neurologis lebih lanjut. Oleh karena itu, +/+, hemiparesis anggota badan kanan motorik
sangatlah penting untuk dilakukan pemeriksaan 4/5, tekanan darah 123/78 mmHg, laju nadi 109
CT-scan pada pasien-pasien yang mengalami x/menit, laju napas 20–22 x/menit, suhu 36,5o C.
penurunan kesadaran atau kelainan neurologis Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal.
lain setelah mabuk.9-10 Heparin adalah terapi
46 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan
Hb 12,9 g/dL; Ht 41,2 %; Leukosit 10300 /
µL; Trombosit 210 ribu/µL; BUN 39 mg/dL;
Kreatinin 1,2 mg/dL; GDS 139 mg/dL; Natrium
142 mmol/L; Kalium 4,0 mmol/L; PT 13,6 detik;
INR 0,76; APTT 31,9 detik; BT 3,3 menit; CT
7,3 menit; D-Dimer 0,1. Pada pemeriksaan CT-
scan: Transversus sinus, vein of labbe thombosis.
Tampak edema lokal disertai daerah infark di
sekitar perdarahan. Tampak sedikit pergeseran
midline shift.
Gambar 2. Keadaan Hemodinamik Pasien saat
Penatalaksanaan Anestesi
Operasi
Pasien dibawa ke kamar operasi, pasien diposisikan
head up 30o dan diberi O2 3 L/menit melalui nasal
kanul, kemudian dipasang tensimeter, chest piece campuran: fentanyl 300 µg + midazolam 20
EKG, pulse oxymetri dan IoC. Dilakukan induksi mg + vecurronium 20 mg dijalankan 6 ml/jam.
anestesi umum dengan pasien dilakukan induksi Dilakukan operasi evakuasi perdarahan, sebelum
dengan prinsip proteksi otak melalui kombinasi dura dibuka diberikan manitol 20% 0,5 gr/KgBB.
pemberian fentanyl 100 µg titrasi, propofol 100 Untuk analgetik pascabedah diberikan morfin 9
mg dan paracetamol 1 gr intravena. Total cairan
yang masuk NS 0,9% 2500 cc dan ringerasetat
500 cc, perdarahan ± 300 cc, jumlah urin yang
keluar 600 cc. Lama operasi 2 jam dan lama
pasien teranestesi 2 jam 15 menit. Tekanan darah
selama operasi 99/65–135/9 mmHg dan laju
nadi 78–108 x/menit. Penilaian status neurologis
pascabedah menunjukkan peningkatan dibanding
sebelum pembedahan.

Penatalaksanaan Pascabedah di ICU


Pasien dipindahkan ke ruangan intensive care
unit (ICU) dengan menggunakan O2 10 L/menit
melalui simple mask non-rebreathing (SMRN),
setelah dilakukan ekstubasi di kamar operasi.
Skor GCS 12, tekanan darah 138/91 mmHg, laju
Gambar 1. Foto CT-scan Kepala
nadi 95 x/menit, laju napas 12–16 x/menit, SaO2
100%. Laboratorium pascabedah menunjukkan:
mg titrasi, vecuronium 7 mg, satu menit sebelum 10,1 g/dL; Ht 34 g/dL; Leukosit 10500/µL;
tindakan intubasi diberikan tambahan propofol Trombosit 158 ribu/µL; BUN 32 mg/dL;
30 mg. Preoksigenasi selama 5 menit sebelum Kreatinin 0,8 mg/dL; GDS 107 mg/dL; Natrium
intubasi tanpa hiperventilasi. Intubasi sleep 143 mmol/L; Kalium 3,9 mmol/L. Pasien dirawat
apneu dilakukan menggunakan laryngoscope di ICU selama 2 hari, lalu dipindahkan ke ruang
macintosh dengan endotracheal tube (ETT) HCU. Pada hari ke-5 pascabedah mulai diberikan
non kinking nomor 7,5, kedalaman ETT 19 cm enoxaparin sodium 50 mg Sub cutan selama 6
pada tepi bibir. Pemeliharaan anestesi: diberikan hari. Lalu pasien dipindahkan ke ruang rawat inap
isoflurane 0,8–1 vol% dengan aliran oksigen dan pulang ke rumah pada hari ke-15 perawatan.
dan udara (50:50) kombinasi syringe kontinyu
Tatalaksana Cerebral Venous Sinus Thrombosis dengan Alkoholik 47
dan Perdarahan Intraserebral

Transient Risk Factors Permanent Risk Factors


Infection Inflammatory Diseases
Central nervous system Systemic lupus erytheatosus
Ear, sinus, mouth, face, and neck Behoet disease
Systemic infectious disease Granulomatosis with polyangiitis (Wegener's)
Pregnancy and puerperium Tromboangiitis obliterans
Others disorders Inflammatory bowel disease
Dehydration Sarcoidosis
Mechanical precipitants Malignancy
Head injury Central nervous system
Lumbar puncture Solid tumuor outside central nervous system
Neurosurgical procedures Hematologic
Jugular catheter occlusion Hematologic condition
Drugs Polycythemia, thrombocythemia
Oral contraoeptives Anemia, including paroxymal nocturnal
hemoglobinuria
Hormone replacement therapy Central nervous system disorders
Androgens Dural fistulae
Asparaginase Other disorders
Tamoxifen Congenital heart disease
Glucocoticoids Thyroid disease
Gambar 3. Klasifikasi Kondisi sementara dan Permanen meningkatkan Risiko Vena Serebral Thrombosis

III. Pembahasan (62%) diikuti oleh sinus melintang (41–45%)


(Gambar 3).12
Cerebral venous sinus thrombosis (CVST) Diagnosis CVST masih sering terabaikan atau
adalah suatu kelainan pembuluh darah otak yang tertunda karena spektrum gejala klinis yang luas
sangat jarang, dengan angka kejadian <1% dari dan waktu kejadian sering akut. Sakit kepala
semua kasus stroke.12 Angka kejadiaan pasti adalah gejala CVST yang paling sering terjadi dan
pada orang dewasa belum diketahui secara pasti, terjadi pada hampir 90% dari semua kasus. Sakit
karena kurangnya laporan penelitian berbasis kepala mungkin timbul secara akut dan secara
populasi. Namun berdasarkan data yang ada klinis tidak dapat dibedakan dari sakit kepala
diperkirakan angka kejadian CVST sekitar 5–8 pada pasien dengan perdarahan subarachnoid.
kasus/tahun di beberapa pusat pelayanan tersier. Gejala neurologis fokal (termasuk kejang fokal
Sebuah penelitian di Kanada melaporkan angka atau umum) jauh lebih sering terlihat pada
kejadian CVST sekitar 0,67 kasus per 100.000 CVST daripada pada stroke perdarahan akibat
anak di bawah 18 tahun dan 43% kasus yang pecahnya aneurisma otak dan terjadi sekitar 40%
dilaporkan terlihat pada neonatus.13-14 Puncak usia dari semua pasien dengan angka kejadian yang
berdasarkan angka kejadian pada orang dewasa lebih tinggi (76%) pada CVST pasca melahirkan.
adalah pada dekade ketiga mereka dengan rasio Gejala neurologis fokal lainnya: defisit motor
pria:wanita 1,5–5 per tahun. Faktor risiko utama sentral dan sensorik, aphasia atau hemianopsia
CVST pada orang dewasa dapat dikelompokkan terjadi pada 40–60% dari semua kasus. Diagnosis
dalam dua kelas: sementara atau permanen CVST harus selalu dipertimbangkan pada pasien
(Gambar 3).14 Secara topografi, kejadian CVST dengan defisit fokal yang disertai sakit kepala,
paling sering terjadi pada sinus sagitalis superior kejang atau penurunan kesadaran perubahan.15
48 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Gambar 4. Gambaran Magnetic Resonance


Venography (MRV) Sistem Vena Otak dan Lokasi
Gambar 5. Patogenesis CVST14
CVST yang paling sering.12 Dikutip dari Saposnik G, Barinagarrementeria F, Brown RD
Jr, dkk.14
Sindrom tekanan tinggi intrakranial seperti sakit
kepala, muntah dan penglihatan kabur karena
papilloedema adalah keluhan klinis tersering
pada 20–40% kasus CVST. Keadaan kesadaran
stupor sampai koma ditemukan pada 15–19%
pasien dan biasanya terlihat pada kasus dengan
trombosis ekstensif atau terjadi di sistem vena
dalam yang melibatkan thalamic bilateral. Pasien
CVST dengan keadaan seperti ini mempunyai
prognosis dan hasil luaran yang sangat buruk.
Oleh karena itu, pengetahuan akan patofisiologi
terjadinya CVST sangatlah penting.12-15

Patogenesis Cerebral Venous Sinus Thrombosis


Patogenesis CVST tetap tidak sepenuhnya
dipahami karena variabilitas yang tinggi dalam
anatomi sistem vena dan kurangnya penelitian
pada model hewan CVST. Namun, setidaknya
ada dua mekanisme yang berbeda yang dapat
berkontribusi pada gambaran klinis dari CVST:
a) trombosis vena serebral atau sinus dural yang Gambar 5. Algoritma tatalaksana pasien CVST;
mengarah ke lesi parenkim serebral atau disfungsi; † Perdarahan intraserebral yang terjadi sebagai
b) oklusi sinus dural yang mengakibatkan konsekuensi CVST bukanlah kontraindikasi
penurunan penyerapan cairan serebrospinal dan untuk antikoagulan ‡ Terapi endovaskular dapat
peningkatan tekanan intrakranial. (Gambar 5).14 dipertimbangkan pada pasien dengan absolute
Obstruksi struktur vena dapat menyebabkan kontraindikasi untuk terapi antikoagulan
peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan atau kegagalan dosis terapeutik awal terapi
perfusi kapiler dan peningkatan volume darah antikoagulan.14
otak. Dilatasi vena otak dan peranan sistem Dikutip dari: Saposnik G, Barinagarrementeria F, Brown RD
Jr, dkk.14
Tatalaksana Cerebral Venous Sinus Thrombosis dengan Alkoholik 49
dan Perdarahan Intraserebral

vena kolateral memainkan peran penting dalam diduga berbagai mekanisme seperti gangguan
fase awal CVST, karena dapat mengkompensasi induksi irama jantung dan kelainan gerak dinding
perubahan tekanan intrakranial. Peningkatan jantung, hipertensi, peningkatan agregasi platelet
tekanan vena dan kapiler menyebabkan gangguan serta aktivasi kaskade pembekuan. Hal-hal ini
pada sawar darah otak sehingga menyebabkan yang menyebabkan aliran darah otak menurun
edema vasogenik, karena kebocoran plasma kerena gangguan stimulasi kontraksi otot polos
darah ke dalam ruang interstisial.15 otak.9-10 Pada pasien dengan konsumsi alkohol
berat tanpa disertai faktor predisposisi lain,
Karena tekanan intravena yang terus meningkat, mekanisme CVST mungkin dapat dijelaskan
perubahan parenkim ringan, edema otak berat lebih spesifik. Beberapa menelitian menunjukkan
dan perdarahan vena dapat terjadi karena ruptur bahwa hal ini terjadi karena dehidrasi dan
vena atau kapiler. Tekanan intravena yang hiperviskositas darah, sehingga terjadi trombus.9-10
meningkat dapat menyebabkan peningkatan Kondisi predisposisi yang biasa untuk CVST
tekanan intravaskular dan penurunan tekanan adalah penggunaan kontrasepsi oral, kehamilan,
perfusi otak. Hal ini mengakibatkan penurunan pasca melahirkan, gangguan pada faktor waktu
aliran darah otak dan kegagalan metabolisme prothrombotin, penyakit infeksi (khususnya
energi. Hal ini mengakibatkan masuknya air telinga-hidung-tenggorokan, susunan saraf
intraselular kerena kegagalan pompa Na + / K + pusat), gangguan sistem saraf pusat, kanker,
ATP-ase, sehingga terjadi edema sitotoksik.14-15 vaskulitis dan penyakit sistemik lainnya.1-14
Manifestasi klinis CVST pada pasien dengan
Alkoholik dan Cerebral Venous Sinus Thrombosis konsumsi alkohol berat yang tidak spesifik
Hubungan antara konsumsi alkohol berat dengan merupakan tantangan diagnostik untuk para ahli
peningkatan risiko stroke sangat erat. Hasil dari penyakit saraf dan bedah saraf. Gejala seperti
35 penelitian meta-analisis tahun publikasi 2003 sakit kepala, mual, muntah dan kantuk sering
menunjukkan risiko stroke yang lebih rendah terjadi pada veisalgia (istilah medis untuk
pada peminum yang mengkonsumsi alkohol ≤ mabuk) dan CVST.9-10 Hal ini menyebabkan
12 g alkohol per hari dibandingkan dengan orang diagnosis CVST sering terlewatkan pada pasien
yang bukan pecandu alkohol. Pecandu alkohol alkoholik. Para ahli harus lebih meningkatkan
ringan memiliki risiko stroke perdarahan sebesar kecurigaan pada pasien pecandu alkohol ke arah
17% lebih rendah dan 20% resiko stroke iskemik diagnosis CVST, bila timbulnya tanda dan gejala
lebih rendah dibandingkan dengan bukan pecandu klinis baru, seperti: penurunan kesadaran, kejang,
alkohol. Peminum moderat (12–23 g/ hari) juga gangguan sensorik, defisit neurologis fokal, atau
memiliki risiko stroke iskemik 25% lebih rendah paresis.9-10
dibandingkan dengan bukan pecandu alkohol.9
Pemeriksaan Penunjang pada Pasien CVST
Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 Pasien dengan dugaan CVST, pemeriksaan
menunjukkan bahwa angka kejadian kecacatan darah rutin terdiri dari pemeriksaan darah
dan kematian meningkat pada pecandu alkohol. lengkap, panel kimia, prothrombin time (PT), dan
Penelitian ini mempunyai ‘benang merah’/ activated partial thromboplastin time (APTT)
hubungan dengan penelitian yang dipublikasikan harus dilakukan. Skrining untuk kondisi kelainan
tahun 2003 tersebut bahwa terdapat korelasi hematolgik pada pasien dengan resiko tinggi
antara pecandu alkohol dengan stroke permanen CVST (Tabel 1) dianjurkan dilakukan
perdarahan.9-10 Penelitian yang dipublikasikan sejak pemeriksaan klinis awal.14 Nilai normal
tahun 2013 masih belum bisa membuktikan D-dimer sesuai dengan immunoassay sensitif atau
secara pasti mengenai hubungan antara konsumsi enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
alkohol ringan dengan stroke perdarahan, menunjukkan kemungkinan probabilitas CVST
sehingga masih diperlukan penelitian lebih sangat kecil. Jika ada kecurigaan secara gejala
lanjut dalam skala besar.10 Patofisiologi konsumsi klinis CVST yang kuat, nilai D-dimer normal
alkohol yang menyebabkan stroke belum jelas, seharusnya tidak menjadi tolak ukur untuk
50 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dilakukan pemerikan pencitraan otak.14-15 pada akhirnya.14-16 Angka kematian pada CVST <
10%, tetapi seringnya penyebab kematian pasien
Computed tomography scan (CT-scan) dan MRI adalah penyakit yang mendasarinya, bukan
adalah pemeriksaan penunjang yang sangat kerena perdarahan intrakranial atau CVST. Hasil
berguna dalam membuat diagnosis CVST awal luaran fungsi neurologis pasien pada umumnya
dan spesifik. Pemeriksaan CT-scan menunjukkan bagus, angka kecacatan pada kasus CVST juga
hiperdensitas, sedangkan pada MRI tampak kecil. Sebuah penelitian retrospektif terhadap
hiperintensitas pada urutan T1W pada sinus 102 pasien dengan CVST dan 43 pasien disertai
trombosis akut.4,7 Magnetic resonance venography perdarahan intrakranial. Di antara 27 pasien CVST
(MRV) adalah pemeriksaan penunjang non- yang disertai perdarahan intrakranial (63%) yang
invasive pilihan untuk mendiagnosis CVST. diterapi dengan heparin intravena dosis anjuran,
Pada keadaan gejala klinis akut, MRV non- 4 pasien meninggal (15%), dan 14 pasien (52%)
kontras cukup akurat untuk diagnosis CVST. sembuh total. Dari 13 pasien yang tidak diterapi
Kontras MRV diperlukan untuk mengatasi heparin, angka kematian lebih tinggi (69%)
beberapa keterbatasan diagnostic MRV non- dengan perbaikan hasil luaran fungsi neurologis
kontras yang mungkin timbul pada kasus varian yang lebih rendah (hanya 3 pasien yang sembuh
anatomis, variabilitas sinyal trombus dan artefak total).12-14
pencitraan.4,5,8,11-14
Studi terbesar sejauh ini adalah International Study
Tatalaksana Pasien CVST on Cerebral Vein and Dural Sinus Thrombosis
Target pencapaian utama pada pasien CVST (ISCVST), yang melibatkan 624 pasien di 89
adalah untuk rekanalisasi penyumbatan, menjaga pusat di 21 negara. Hampir semua pasien diterapi
venous return, mengurangi risiko hipertensi vena, dengan antikoagulan sejak awal. Hasil dari
infark serebral dan emboli paru.15 Tatalaksana ISCVST melaporkan bahwa angka kematian 8,3%
CVST (Gambar 5). Algoritma ini tidak selama 16 bulan; 79% mengalami pemulihan
komprehensif, atau berlaku untuk semua skenario yang sempurna (dinilai dengan modified-Rankin
klinis dan pengelolaan pasien harus disesuaikan Scale (mRS) 0 sampai 1), 10,4% memiliki
dengan keadaan klinis. Terapi antikoagulan kecacatan ringan sampai sedang (skor mRS 2–3)
awal (TA) memiliki 3 tujuan dalam CVST: a) dan 2,2% tetap sangat cacat (skor mRS 4–5).10
untuk mencegah pertumbuhan trombus, b) untuk Data dari penelitian observasional menunjukkan
memfasilitasi rekanalisasi, dan c) mencegah resiko terjadinya komplikasi perdarahan
deep vein thrombosis (DVT) atau emboli paru.14 intrakranial setelah terapi antikoagulan < 5,4%.14
Ada kontroversi dalam pertimbangan untuk Penelitian lain melibatkan 57 wanita (dengan
rekomendasi mengenai terapi antikoagulan, CVST pasca melahirkan yang dikonfirmasi
karena infark serebral yang disertai perdarahan hanya dengan CT-scan) dengan kriteria eksklusi
intrakranial biasanya ada pada saat diagnosis pasien yang mengalami pendarahan intrakranial
CVST, sehingga hal ini menjadi dilemma dalam di CT-scan. Tatalaksana pasien dengan heparin
pengelolaan pasien.11-16 5000 IU per 6 jam, dosis disesuaikan dengan
pemeriksaan PT yang tidak meningkat 1,5 dari
Sejumlah penelitian observasional baik baseline setidaknya 30 hari setelah persalinan.
prospektif maupun retrospektif telah banyak Tiga pasien dalam kelompok kontrol meninggal
dilakukan. Tidak semua penelitian dilaporkan atau mengalami kecacatan dibandingkan
secara khusus mengenai hasil pengelolaan dengan kelompok terapi heparin. Dalam situasi
pasien dengan antikoagulan, karena sebagian khusus CVST dengan pendarahan intrakranial
besar pasien di kebanyakan penelitian diterapi dihubungkan dengan hasil luaran yang buruk
dengan unfractionated heparin (UFH) intravena dengan atau tanpa terapi heparin.12-16 Pada
atau heparin dengan berat molekul rendah (low- kasus yang kami tangani juga tidak sepenuhnya
molecular-wieght-heparin/LMWH) pada saat sesuai dengan algoritma tatalaksana yang sudah
diagnosis dan menggunakan antagonis vitamin K direkomendasikan. Hal ini disesuaikan dengan
Tatalaksana Cerebral Venous Sinus Thrombosis dengan Alkoholik 51
dan Perdarahan Intraserebral

kondisi klinis pasien saat tiba di rumah sakit. Pasien induksi anestesi dapat terjadi ketika vecuronium
datang dengan GCS 9–10 disertai perdarahan dikombinasi dengan golongan narkotik dalam
intrakranial, ada riwayat muntah sebelumnya dan dosis besar. Vecuronium tidak mengubah tekanan
defisit neurologis. Pada pemeriksaan CT-scan intrakranial atau aliran cairan serebrospinal. Hal-
terdapat perdarahan intrakranial disertai dengan hal inilah yang menjadikan vecuronium sangat
edema lokal dan sedikit pergeseran midline shift. popular digunakan dalam neuroanestesi.17-19
Hal ini menunjukkan bahwa sudah kemungkinan Sebagai analgetik pascabedah kami mengunakan
sudah terjadi peningkatan tekanan intrakranial. morfin dan paracetamol. Morfin merupakan
Ahli bedah saraf memutuskan untuk melakukan analgetik kuat dan tidak mempengaruhi sistem
dekompresi evakuasi perdarahan terlebih dahulu saraf pusat. Morfin biasa digunakan sebagai
sebagai tindakan penyelamatan jiwa. analgetik pascabedah saraf. Hipotensi yang
terjadi setelah pemberian morfin disebabkan
Tatalaksana anestesi pada prinsipnya sama dengan karena pelepasan dari histamin. Paracetamol
dasar-dasar neuroanestesi dan pengelolaan digunakan sebagai analgetik perifer, karena
pasien yang dilakukan tindakan operasi tidak mempengaruhi sistem saraf pusat. Selain
dekompresi evakuasi perdarahan. Untuk induksi itu paracetamol mempunyai efek antipiretik dan
kami menggunakan fentanyl, propofol dan antiinflamasi yang sangat bermanfaat pada pasien
vecuronium. Obat-obatan anestesi rumatan yang pascabedah saraf.19
digunakan: fentanyl, midazolam dan vecuronium
yang dicampur dalam satu syringe pump. Selain Pemberian cairan rehidrasi dan rumatan selama
itu, kami menggunakan isoflurane, O2 dan udara. pembedahan sesuai dengan aturan umum pada
Pemberian fentanyl pada aliran darah otak pasien bedah saraf lainnya yaitu menghindari
sulit dijelaskan dengan tepat kerena data penggunaan cairan yang hiperosmolar dan
eksperimen yang berbeda.17 Fentanyl termasuk cairan yang mengandung glukosa. Pemberian
golongan opioid, yang dapat memberikan efek NaCL 0,9%: RL, setiap pemberian NaCL 0,9%
sedasi, analgesia dan menyebabkan terjadinya sebanyak 3 botol, diberikan RL 1 botol (3:1).
penurunan pelepasan neurotransmitter otak, Jumlah cairan pemeliharaan 1–1,5 ml/KgBB/jam
sehingga autoregulasi, reaktivitas terhadap CO2 atau diganti 2/3 dari jumlah diuresis. Pemberian
dan hemodinamik tetap stabil. Akan tetapi, dosis manitol dosis kecil 0,25–0,5 mg/KgBB pada
kecil narkotik memberikan sedikit pengaruh kasus ini dinilai masih dalam batas aman sebagai
pada aliran darah otak dan CMRO2, sedangkan terapi edema lokal dengan memperhatikan secara
dosis besar menurunkan aliran darah otak dan ketat volume intravaskular.18 Untuk pemberian
CMRO2.17-19 terapi antikoagulan, kami tetap memberikan
pascabedah. Hal ini dengan pertimbangan untuk
Propofol mempunyai efek terhadap tekanan mecegah terjadinya komplikasi CVST lainnya.
perfusi otak disebabkan oleh menurunnya Kami menggunakan UFH 50 mg subcutan selama
tekanan darah, tetapi efek hemodinamik yang 6 hari, dengan target pemeriksaan PT dan INR
tidak menguntungkan ini dapat dicegah dengan tidak terjadi kenaikan > 1,5–2 x dari baseline.16
menghindari efek konsentrasi puncak, hal ini yang Pada pemeriksaan akhir PT 18,4 detik dan INR 1,5.
menjadi pertimbangan kami untuk menggunakan
midazolam. Midazolam menyebabkan penurunan IV. Simpulan
aliran darah otak dan CMRO2 secara paralel
sampai 40%. Dibandingkan dengan pentotal, Angka kejadian CVST pada seorang pasien
efek penekanan metabolisme otak lebih sedikit. alkoholik cukup tinggi. Hal ini disebabkan
Pemberian midazolam dosis kecil pun tidak karena terjadinya dehidrasi yang merubah aliran
terlalu mempengaruhi tekanan intrakranial. darah, struktur dinding vena dan komposisi
Keuntungan vecuronium adalah dapat menjaga dari darah. Algoritma tatalaksana pasien CVST
hemodinamik tetap stabil, walaupun dalam terkadang harus disesuaikan dengan kondisi
jumlah dosis besar. Bradikardia pada saat klinis pasien saat tiba di rumah sakit. Operasi
52 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dekompresi evakuasi perdarahan dilakukan subarachnoid hemorrhage: a retrospective


bila keadaan kondisi klinis pasien mengancam study on diagnosis, treatment prognosis of 11
jiwanya. Pemberian LWMH tetap diberikan patients. Biomedres 2017; 28 (19): 8496–50.
selama pada pemeriksaan penunjang darah tidak
terjadi peningkatan yang bermakna. Penelitian 9. Singh H, Paulomi T, Ray S, Gupta V. A rare
menunjukkan bahwa penggunaan heparin pada presentation of acute alcohol intoxication,
pasien CVST bersamaan dengan perdarahan subarachnoid haemorrhage and cortical
intrakranial belum terbukti dapat meningkatkan venous thrombosis. J Neurol Res 2012;2:62–4.
ukuran perdarahan. CVST berhubungan dengan
perdarahan intracranial bukan karena pecahnya 10. Canhao P, Bousseur MG, Barinagarrementeria
pembuluh darah. F, Stam J, Ferro JM; The ISCVT Collaborators.
Predisposing conditions for cerebral vein
Daftar Pustaka and dural sinus thrombosis. Available from:
http://www.iscvt.com/index.htm. [Last cited
1. Algahtani HA, Aldarmahi AA. Cerebral on 2013 Dec 20].
venous sinus thrombosis. Neurosciences
(Riyadh) 2014; 19: 11–16. 11. Ntaios G, Bornstein NM, Caso V, Christensen
H, De Keyser D, Diener HC, et al. The
2. Bousser MG, Ferro JM. Cerebral venous European Stroke Organisation Guidelines:
thrombosis: an update. Lancet Neurol 2007; a standard operating procedure. Int J Stroke
6: 162–170. 2015; 10: 128–135.

3. Stam J. Thrombosis of the cerebral veins and 12. Ferro JM, BousserM.-G., Canhão P, Coutinho
sinuses. N Engl J Med 2005; 352: 1791–1798. JM, Cassard I, Dentali F, et al. European
Stroke Organization guideline for the
4. Fischer C, Goldstein J, Edlow J. Cerebral diagnosis and treatment of cerebral venous
venous sinus thrombosis in the emergency thrombosis - endorsed by the European
department: retrospective analysis of 17 Academy of Neurology. European Stroke
cases and review of the literature. J Emerg Journal 2017; 2 (3): 195–221.
Med 2010; 38: 140–147.
13. Einhäupl K, Stam J, Bousser MG, De Bruijn
5. Guenther G, Arauz A. Cerebral venous SF, Ferro JM, Martineli I, Mashur F. EFNS
thrombosis: a diagnostic and treatment guideline on the treatment of cerebral venous
update. Neurologia 2011; 26: 488–498. and sinus thrombosis in adult patients. Eur J
Neurol 2010; 17: 1229–1235.
6. Oppenheim C, Domigo V, Gauvrit JY, Lamy
C, Mackowiak-Cordoliani MA, Pruvo JP, et 14. Saposnik G, Barinagarrementeria F, Brown
al. Subarachnoid hemorrhage as the initial RD Jr, Busnell CD, Cucchiara B, Cushman
presentation of dural sinus thrombosis. AJNR M, et al. Diagnosis and management of
Am J Neuroradiol 2005; 26: 614–617. cerebral venous thrombosis: a statement for
healthcare professionals from the American
7. Boukobza M, Crassard I, Bousser MG, Heart Association/American Stroke
Chabriat H. Radiological findings in Association. Stroke 2011; 42: 1158–92.
cerebral venous thrombosis presenting as
subarachnoid hemorrhage: a series of 22 15. Coutinho JM. Cerebral venous Thrombosis.
cases. Neuroradiology 2016; 58: 11–16. J Thromb Haemost 2015; 13 (1): S238–S44.

8. Gu J, Li B, Chen J, Hong J, Liu H, Wang 16. Coutinho JM, Middeldrop S, Stam J.


S. Cerebral venous thrombosis and acute Advaces in the treatment of cerebral venous
Tatalaksana Cerebral Venous Sinus Thrombosis dengan Alkoholik 53
dan Perdarahan Intraserebral

thrombosis. Curr Treat Options Neuro I 2014; Neuroanestesia Klinik, edisi ke-2, Surabaya:
16: 299–310. Zifatama; 2013, 49–60.

17. Bisri T. Penanganan neuroanesthesia dan 19. Wlody DJ, Weems L. Anesthesia for
critical care: cedera otak traumatik. Bandung: neurosurgery in the pregnant patient. Dalam:
Universitas Padjadjaran; 2012. Cottrell JE, Young WL, editor. Cottrell
and Young’s Neuroanesthesia, edisi ke-5,
18. Saleh SC. Cairan untuk tindakan bedah Philadelphia: Mosby; 2010, 416–24.
otak. Dalam: Saleh SC, editor. Sinopsis
Manajemen Anestesi Stroke Perioperatif

Endah Permatasari*), Dewi Yulianti Bisri**), Siti Chasnak Saleh***), Himendra Wargahadibrata**)
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSU Kabupaten Tangerang, **)Departemen Anestesiologi dan
*)

Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran – RSUP Dr.Hasan Sadikin-Bandung, ***)Departemen
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD. Dr. Soetomo Surabaya

Abstrak

Stroke perioperatif merupakan suatu kejadian katastropik yang meningkatkan mortalitas dan morbiditas, terutama
pada usia di atas 65 tahun. Stroke perioperatif merupakan suatu momok (kejadian yang tidak diharapkan) bagi
keluarga dan rekan sejawat yang merawat. Stroke perioperatif dapat bersifat iskemik atau hemoragik yang terjadi
selama masa intraoperatif hingga 30 hari pascaoperasi. Faktor risiko terjadinya stroke perioperatif diantaranya
adalah: usia lanjut, riwayat stroke dan Transient Ischemic Attack (TIA) sebelumnya, atrial fibrilasi, kelainan
pembuluh darah dan metabolik. Umumnya stroke perioperatif tidak terjadi selama masa pembedahan atau saat
pulih sadar, tetapi terjadi dalam 24 jam pertama pascabedah. Penanganan stroke perioperatif membutuhkan
manajemen yang menyeluruh dan suatu kerjasama tim yang baik. Walaupun kejadiannya tidak banyak namun
membutuhkan penanganan tepat karena tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi serta mengakibatkan lama
perawatan memanjang. Identifikasi awal pasien dan manajemen terpadu lintas keilmuan harus dilakukan untuk
mencegah luaran yang buruk setelah terjadinya stroke perioperatif.

Kata kunci: faktor risiko, stroke perioperatif, anestesi

JNI 2018;7 (1): 54–61

Anesthetic Management of Perioperative Stroke

Abstract

Perioperative stroke can be a catastrophic outcome for surgical patients and is associated with increased morbidity
and mortality, especially in the age above 65. A perioperative stroke is an unexpected event for families and caring
colleagues. A perioperative stroke may be an ischemic or haemorrhagic disorder that occurs intraoperatively or
up to 30 days postoperatively. Risk factors for perioperative stroke include elderly, history of previous stroke and
transient ischemic attack (TIA), atrial fibrillation, vascular and metabolic disorder. Most perioperative stroke
generally does not occur during the intraoperative period or soon after recovering period but within the first 24
hours. Handling perioperative stroke requires a thorough management and a good teamwork. Perioperative stroke
can be devastating, as they not only result in death but also prolong the length of hospital stay, increasing cost and
greater likelihood of discharge to long term care facilities. Although the incidence is not much but this requires
appropriate treatment because of high morbidity and mortality and also result in prolong length of hospital stay.
Early identification and expeditious management involving a multidisciplinary approach is the key to avoid a poor
outcome following perioperative stroke.

Key words: perioperative stroke, risk factor, anesthesia

JNI 2018;7 (1): 54–61

54
Manajemen Anestesi Stroke Perioperatif 55

I. Pendahuluan pertambahan usia. Perpaduan atrial fibrilasi dan


kondisi hiperkoagulasi pascabedah menjadi
Stroke perioperatif adalah salah satu komplikasi faktor predisposisi timbulnya stroke perioperatif.
pembedahan yang paling ditakutkan. Stroke Namun belum banyak informasi seputar stroke
perioperatif terkait dengan peningkatan perioperatif yang sudah ada. Penelitian yang ada
morbiditas dan mortalitas. Walaupun angka umumnya bersifat retrospektif sehingga angka
kejadian stroke perioperatif ini jarang, namun kejadian yang sesungguhnya sebenarnya bisa
amat berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien lebih tinggi. Di masa depan, stroke perioperatif
selanjutnya, keluarganya dan bagi dokter anestesi. harus lebih diwaspadai karena meningkatnya
Terkait aspek medikolegal apabila terjadi stroke usia harapan hidup dan meningkatnya populasi
perioperatif maka dokter anestesi harus siap agar usia lanjut.1,3,4 Perpaduan faktor operasi dan
tidak dianggap sebagai suatu kelalaian medik. 1 anestesi merupakan suatu faktor penyebab
Di Australia stroke merupakan penyebab stroke perioperatif. Risiko terkena stroke dapat
kematian ketiga terbanyak, begitu juga di benua meningkat sampai dengan enam kali lipat pada
Amerika. Definisi stroke dari WHO adalah suatu pasien yang dilakukan pembedahan dibandingkan
kelainan yang ditandai dengan gejala fokal populasi pada umumnya. Risiko lain yang
atau global gangguan perfusi serebral dengan penyebab terjadinya stroke perioperatif antara
gejala yang menetap dan lebih lama dari 24 jam lain usia lanjut, riwayat stroke dan Transient
sampai dapat menimbulkan kematian dengan Ischemic Attack (TIA) sebelumnya, atrial
penyebab utamanya kelainan pembuluh darah fibrilasi, kelainan pembuluh darah dan metabolik.
otak. Sedangkan Transient Ischemic Attack Mortalitas stroke perioperatif meningkat sampai
(TIA) merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan dua kali lipat pada pasien dengan riwayat
timbulnya defisit neurologis fokal secara tiba-tiba stroke dan TIA sebelumnya. Hal ini diduga
dan hilang dalam rentang waktu yang tidak lebih karena diagnosis stroke perioperatif yang rancu
dari 24 jam. Sedangkan stroke perioperatif adalah akibat efek obat-obatan anestesi dan akibat
stroke yang terjadi pada masa perioperatif, bisa proses inflamasi pascaoperasi. Dalam tabel 1
selama pembedahan atau sampai dengan 30 hari dan diagram 1 berikut akan dijabarkan faktor
pascabedah.1,2 risiko stroke perioperatif. 5,6,7 Meskipun teknik
pembedahan dan perbaikan kondisi pasien pada
II. Faktor Risiko masa perioperatif sudah berkembang maju,
insiden stroke perioperatif tidak mengalami
Untuk dapat melakukan tindakan pencegahan dan penurunan. Hal ini menggambarkan adanya
tatalaksana, dokter harus memahami berbagai peningkatan jumlah populasi penderita usia lanjut
faktor risiko selama masa perioperatif. Risiko dengan berbagai komorbid yang membutuhkan
untuk terkena stroke perioperatif berbanding lurus tindakan pembedahan. Sekitar 85% penderita
dengan dengan usia lanjut dan risiko tertinggi akan mampu melewati serangan pertamanya.
dijumpai pada pasien dengan usia lebih dari 84 Risiko terjadinya stroke perioperatif lebih
tahun. Pada rentang usia di bawah 65 tahun, angka tinggi pada kelompok masyarakat ini. Stroke
kejadian stroke perioperatif adalah 0,2-0,3%. perioperatif akan menyebabkan lama perawatan
Risiko naik menjadi 0,5% pada rentang usia 65-80 di rumah sakit memanjang, angka kecacatan, fase
tahun. Di atas usia 80 tahun angka kejadian stroke rehabilitasi yang lama dan peningkatan mortalitas
perioperatif meningkat sampai dengan 3,4%. pascabedah. 3,4,7,8
Data ini menunjukkan komplikasi kardiovaskular
yang berkaitan langsung dengan faktor umur. Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, gangguan
Riwayat hipertensi dan aritmia menjadi salah fungsi ginjal (kreatinin lebih dari 2 mg/dl),
satu faktor penentu utama stroke perioperatif merokok, PPOK, penyakit serebrovaskular,
pada usia lanjut. Aritmia yang terbanyak Berdasarkan konsensus dari Society for
adalah atrial fibrilasi. Hal ini menggambarkan Neuroscience in Anesthesiology and Critical Care
penurunan cardiovascular reserve seiring dengan (SNACC), stroke perioperatif dapat didefinisikan
56 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Tabel 1. Faktor risiko stroke perioperatif

Faktor risiko praoperasi (patient related)


Usia lanjut(> 70 tahun)
Jenis kelamin (perempuan)
Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal (kreatinin lebih dari 2 mg/dl), merokok,
PPOK, penyakit serebrovaskular, penyakit jantung (aritmia, CAD, gagal jantung)
Riwayat stroke atau transient ischemic attack
Stenosis karotis
Aterosklerosis aorta asenden
Penghentian tiba-tiba obat antikoagulan sebelum operasi
Faktor risiko intraoperasi (procedure related)
Prosedur operasi yang akan dilakukan
Teknik anestesi yang dilakukan
Waktu operasi yang dibutuhkan
Adanya aritmia, hiperglikemia, hipotensi dan hipertensi intraoperasi
Faktor risiko pascaoperasi
Timbulnya infarct miokard dan aritmia(atrial fibrilasi)
Kondisi dehidrasi dan kehilangan darah
Hiperglikemia
Dikutip dari: Selim M.7

sebagai suatu infark otak yang terjadi karena dari 1000 pasien yang dilakukan pembedahan
iskemia atau hemorragik yang terjadi selama dengan risiko yang minimal pun dapat mengalami
pembedahan sampai dengan 30 hari pascabedah. stroke perioperatif dengan komplikasi mortalitas
Tidak seperti etiologi stroke pada komunitas, dan morbiditas yang bermakna. Angka kejadian
terdapat suatu mekanisme pencetus yang pasti stroke perioperatif berkisar antara 0,08% sampai
pada kejadian stroke perioperatif yaitu intervensi dengan 2.9% namun tindakan pembedahan
pembedahan. Mekanisme stroke perioperatif jantung, pembuluh darah dan otak memiliki angka
antara lain atherothrombosis otak, emboli kejadian stroke yang lebih tinggi, berkisar antara
jantung karena atrial fibrilasi dan hipotensi.4,5,9 2.2 % sampai dengan 5.2%. Pada pasien dengan
riwayat gejala keluhan otak dan pembuluh darah
Angka kejadian stroke perioperatif pada pasien (serebrovaskular) angka kejadian meningkat
yang menjalani tindakan pembedahan jantung mencapai 13%. Apabila terjadi stroke perioperatif
dan pembuluh darah serta neurologi lebih tingkat kematian mencapai 26%.4,7,10,11
tinggi karena adanya penggunaan mesin bypass
jantung-paru, manipulasi langsung jantung, Sebelum dilakukan pembedahan harus dieveluasi
otak dan pembuluh darah. Angkakejadian stroke ada tidaknya faktor risiko sehingga tindakan
perioperatif dapat dipengaruhi jenis dan kesulitan pencegahan dapat dilakukan dan dilakukan
dari tindakan pembedahan. Risiko terjadinya pertimbangan matang untuk evaluasi antara
stroke perioperatif lebih rendah pada anestesi risiko yang mungkin terjadi dengan manfaat yang
umum dan bedah non kardiak, tetapi menjadi bisa dicapai (risk-benefit ratio). Selain persiapan
lebih tinggi pada bedah jantung dan pembuluh perioperatif yang rutin dilakukan, pasien dapat
darah. Selain itu dikatakan stroke perioperatif dikonsultasikan ke teman sejawat neurologi
lebih banyak terjadi pada kasus bedah gawat bila diperlukan. Penanganan stroke perioperatif
darurat dibandingkan pada kasus elektif. Bukti membutuhkan manajemen yang menyeluruh dan
terakhir menunjukkan bahwa setiap satu pasien suatu kerjasama tim yang baik.5,12,13
Manajemen Anestesi Stroke Perioperatif 57

Diagram 1. Faktor Risiko Stroke Perioperatif

Dikutip dari: Lakshmanan RV et al. 2016.6

III. Patofisiologi Stroke Perioperatif jantung-paru (cardiothoracic) disebabkan karena


adanya emboli. Sementara patofisiologi stroke
Setiap tahunnya sekitar 6 juta orang meninggal perioperatif pada pembedahan non kardiak dan
karena stroke di seluruh dunia. Diperkirakan pada syaraf lebih sulit untuk diketahui penyebabnya
tahun 2030 penyakit serebrovaskular menjadi multifaktor.3,12 Faktor risiko yang lazim ditemui
penyebab kematian no.2 di dunia. Sebagian besar pada stroke perioperatif antara lain usia lanjut,
stroke perioperatif adalah stroke iskemik. Angka riwayat penyakit serebrovaskular, penyakit
kejadian stroke hemoragik berkisar hanya 1% dari jantung iskemik, gagal jantung kongestif,
total keseluruhan stroke perioperatif. Sebagian fibrilasi atrium dan gangguan ginjal. Pada sekitar
besar stroke perioperatif terjadi pada hari kedua 30% kasus dengan stroke perioperatif dijumpai
setelah operasi. Dari berbagai penelitian yang adanya atrial fibrilasi. Penyebab stroke yang
melaporkan kejadian stroke perioperatif hanya jarang (tidak lazim) termasuk di antaranya adalah
5,8% dilaporkan terjadi selama pembedahan. emboli udara, emboli lemak, thrombus dan
Hal ini menggambarkan kemungkinan bahwa infark medulla spinalis. Dalam tabel 2 dijabarkan
pascabedah terjadi mekanisme yang lebih angka kejadian stroke setelah berbagai tindakan
penting dibandingkan pada saat selama pembedahan.1 Gejala klinis stroke dapat tidak
pembedahan Faktor lain yang dianggap terkait tampak pada pasien dalam kondisi anestesi
dengan risiko terjadinya stroke perioperatif umum. Akan tetapi kebanyakan stroke terjadi
adalah kondisi hipotensi dan dehidrasi serta pascabedah dimana pasien sudah tidak sedang
status hiperkaoagulasi pascabedah. Tirah baring dalam kondisi pembiusan. Sedasi yang berlebihan
pascabedah dan penghentian terapi antikoagulan pada masa perioperatif dapat menutupi gejala
juga mempengaruhi risiko timbulnya stroke stroke oleh karena itu sebaiknya dihindari. Stroke
perioperatif. Pembedahan darurat juga terkait perioperatif yang terjadi sebagian besar adalah
dengan peningkatan risiko terjadinya stroke stroke iskemik, hanya sebagian kecil saja stroke
perioperatif.3,9,13 Diperkirakan lebih dari 60% hemorrhagik dan umumnya terjadi pascabedah.
stroke perioperatif pada kasus pembedahan Pada pembedahan non kardiak dan bedah syaraf,
58 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Tabel 2. Angka Kejadian Stroke Pasca Berbagai pembedahan harus dilakukan tindakan proteksi
Tindakan Pembedahan otak. Dokter anestesi memegang peran penting
Prosedur Risiko terjadinya untuk melakukan proteksi otak dan mencegah
stroke(%) terjadinya komplikasi neurologis. Komplikasi
Pembedahan minor 0,08-0,7 neurologis dari iskemia serebral selama
Pembedahan vascular perifer 0,8-3,0 pembedahan dapat berupa koma, kejang, stroke,
delirium dan gangguan neurokognitif.1,4,6,13
Reseksi tumor kepala-leher 4,8
Anestesi dan pembedahan dapat menyebabkan
Karotis endarterektomi 5,5-6,1
perubahan aliran darah otak dan autoregulasi
CABG 1,4-3,8 otak. Ditambah dengan kondisi hiperkoagualasi
Kombinasi CABG dan 4,8-8,8 pascabedah sehingga rentan terjadi iskemia
pembedahan katup jantung otak pascabedah. Berdasar prinsip tersebut
Pembedahan 2/3 katup jantung 9,7 harus dilakukan langkah-langkah pencegahan
Pembedahan repair aorta 8,7 terjadinya stroke perioperatif.4,13
Diambil dari: Selim M.7
Prabedah
Pada fase prabedah lakukan identifikasi faktor
stroke perioperatif dapat lebih lambat diketahui risiko dan optimalisasi penyakit penyerta
karena pasien sudah pindah rawat ke bangsal (komorbiditas). Pasien dengan atrial fibrilasi,
perawatan dan bukan di ICU. Berbeda dengan penyakit jantung koroner (CAD) dan hipertensi
pasien pembedahan jantung, bedah syaraf dan wajib dioptimalisasi terlebih dahulu sebelum
vaskular yang bisa lebih awal diketahui karena tindakan pembedahan untuk mencegah terjadinya
pasien masih dalam perawatan di ICU dan stroke perioperatif. Apabila terdapat kelainan
dilakukan pengawasan ketat.3 Pasien dengan atrial fibrilasi maka sebaiknya irama diupayakan
hipertensi yang tidak terkontrol dan pasien menjadi sinus kembali dengan frekwensi yang
dengan riwayat terapi obat antikoagulan termasuk normal. Pasien dengan diabetes mellitus sebelum
kelompok pasien risiko tinggi terjadinya stroke tindakan pembedahan harus terkendali gula
perioperatif. Etiologi stroke perioperatif termasuk darahnya. Pasien dengan hipertensi yang tidak
diantaranya adalah adanya aneurisma intrakranial terkendali dan pasien dengan riwayat terapi
dan malformasi arteriovena. Pada aneurisma obat antikoagulan termasuk kelompok pasien
intrakranial dan malformasi arteriovena terjadi risiko tinggi mengalami stroke perioperatif.
perubahan struktur pembuluh darah otak yang Kelompok pasien dengan terapi antikoagulan
rentan pecah pada saat terjadinya fluktuasi harus dilakukan pertimbangan matang untuk
tekanan darah mendadak terutama pada saat tetap melanjutkan terapi antikoagulan atau
induksi dan ekstubasi anestesi.1,4 menunda sementara tindakan pembedahan.
Pada masa pembedahan proses koagulasi
IV. Strategi Pencegahan Terjadinya Stroke dapat dipengaruhi oleh manipulasi tindakan
Perioperatif pembedahan, pemberian cairan dan kehilangan
darah. Trauma pembedahan dan cedera jaringan
Langkah awal untuk mencegah terjadinya akan dapat menyebabkan proses inflamasi
stroke perioperatif adalah identifikasi pasien dan hiperkoagulasi. Kondisi hiperkoagulasi
yang berisiko tinggi untuk mengalami stroke pascabedah merupakan kontributor utama stroke
perioperatif dan melakukan optimalisasi perioperatif. Obat-obat antikoagulan banyak
kondisi sebelum dilakukan pembedahan untuk diberikan pada pasien-pasien dengan risiko tinggi
mengurangi komplikasi neurologis. Pada terkena stroke perioperatif untuk mengurangi
kelompok pasien yang sebelumnya memiliki risiko tromboemboli. Pada dekade sebelumnya
riwayat kelainan serebovaskular harus dianggap ahli bedah akan langsung menghentikan
memiliki risiko tinggi mengalami stroke terapi aspirin, clopidogrel dan warfarin untuk
perioperatif. Selama periode anestesi dan menghindari perdarahan selama pembedahan.
Manajemen Anestesi Stroke Perioperatif 59

Namun penghentian obat-obatan ini dapat memicu masih banyak diperdebatkan. Dalam suatu
kondisi hiperkoagulasi dan meningkatkan risiko penelitian disebutkan bahwa pemantauan tekanan
terjadinya miokard infarct dan stroke iskemik. darah selama pembedahan harus diupayakan
Obat antikoagulan harus segera diberikan apabila mendekati tekanan darah sebelum pembedahan.
sudah diperbolehkan.4,5,6,7 Perubahan tekanan darah yang melebihi dari 20
mmHg atau lebih dari 20% dari nilai normal
Menjadi suatu pertimbangan khusus berapa lama prabedah dapat meningkatkan komplikasi
pembedahan harus ditunda pada pasien yang baru perioperatif. Pengendalian tekanan darah selama
mengalami stroke. Pada kondisi infark miokard pembedahan dan pascabedah untuk mendekati
sudah banyak kepustakaan yang menyebutkan rentang nilai prabedah dapat mengurangi
bahwa sebaiknya pembedahan ditunda paling risiko stroke perioperatif dan kematian.4,7,9,13,14
tidak 3 sampai 6 bulan. Namun tidak demikian
pada pasien dengan riwayat stroke sebelumnya. Pemantauan ketat kadar gula darah pada masa
Dalam suatu penelitian disebutkan bahwa tidak perioperatif sangat penting Baik hiperglikemia
ada kaitan bermakna rentang waktu antara ataupun hipoglikemia sama-sama dapat
riwayat stroke sebelumnya dengan kemungkinan mempengaruhi tingkat keberhasilan operasi.
terjadinya stroke perioperatif. Berdasarkan Pencegahan hiperglikemia dan hipoglikemia
konsensus dari SNSCC direkomendasikan untuk wajib dilakukan pada pasien dengan riwayat
menunda operasi sampai dengan tiga bulan diabetes mellitus. Meskipun pengendalian kadar
sesudah kejadian stroke sebelumnya untuk gula darah secara ketat belum dapat dibuktikan
mencegah terjadinya stroke berulang. Apa peran memiliki efek perlindungan terhadap pencegahan
anestesi dan pembedahan pada mekanisme stroke terjadinya stroke perioperatif, hiperglikemia
perioperatif? Anestesi umum dan pembedahan diketahui dapat memperburuk cedera otak (brain
dapat menyebabkan gangguan autoregulasi injury) dan menyebabkan peningkatan mortalitas
otak, perubahan aliran darah otak, dan proses pada kondisi iskemia serebral.
koagulasi pascabedah sehingga meningkatkan
risiko terjadinya stroke perioperatif. Pada Kondisi hiperglikemia sebaiknya ditatalaksana
keadaan ini rentan untuk terjadi hipoperfusi otak apabila sudah lebih dari 150 mg/dl dan kadar
terutama pada pasien-pasien dengan pembiusan gula darah yang tertinggi adalah 180 mg/
umum. Dinamika selama pembedahan dapat dl. Dengan target kadar gula darah antara
terjadi perdarahan, anemia dan hipotensi. 60–150 mg/dl. Untuk mencegah terjadinya
Diketahui stroke dapat mempengaruhi perubahan hipoglikemia, dosis insulin harus dikurangi bila
mekanisme autoregulasi otak yang dapat kadar gula darah mencapai 100 mg/dl. Pada
berlangsung sampai dengan berbulan-bulan semua kasus dengan risiko tinggi terjadi stroke
sehingga meningkatkan risiko terjadinya iskemia periopertif maka kadar gula darah harus selalu
otak. Selain meningkatkan risiko terjadinya dipantau dan lakukan koreksi bila diperlukan.5,13
stroke berulang juga akan meningkatkan risiko Obat anestesi inhalasi diketahui memiliki efek
terjadinya komplikasi kardiovaskular. Namun neuroproteksi terhadap iskemia otak pada
tetap harus dipertimbangkan secara matang penelitian binatang percobaan. Namun belum
manfaat dan risikonya antara penundaan ada penelitian efek neuroproteksi obat anestesi
tindakan pembedahan dan risiko terjadinya inhalasi pada manusia. Gas anestesi inhalasi
stroke perioperatif bila dilaksanakan.1,3-6 secara langsung memiliki efek dilatasi terhadap
pembuluh darah otak sehingga mungkin dapat
Intrabedah memperbaiki perfusi serebral. Kebalikannya
Tindakan proteksi otak pada masa intrabedah obat-obat anestesi intravena seperti propofol
dilakukan dengan pengendalian tekanan darah dan thiopental dapat mengurangi aliran darah
dan memastikan penghantaran oksigen yang otak karena efeknya terhadap penurunan
cukup (optimal oxygen delivery). Rentang metabolisme otak. Pada pasien-pasien yang
tekanan darah yang optimal selama pembedahan sudah dengan autoregulasi terganggu, kondisi
60 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

ini dapat menyebabkan ketidaksesuaian aliran faktor potensial penyebab kejadian komplikasi
oksigen ke otak. Belum dapat dibuktikan apakah serebrovaskular. Terapi antikoagulan harus
anestesi regional lebih baik daripada anestesi segera diberikan apabila sudah diperbolehkan
umum untuk mencegah stroke perioperatif. terutama pada pasien dengan atrial fibrilasi.3,4,6
Namun pada tindakan pembedahan ortopedi Apabila terjadi lambat pulih sadar dari anestesi,
esktremitas bawah (total knee replacement perubahan status mental dan timbul defisit
dan total hip replacement) anestesi regional neurologis baru harus diwaspadai terjadinya
lebih sedikit menyebabkan komplikasi stroke suatu stroke perioperatif. Segera dilakukan
perioperatif dibandingkan anestesi umum.5,7,13 langkah evaluasi untuk menyingkirkan terjadinya
Saat ini masih terbatas data yang menunjukkan stroke perioperatif dan dilakukan pemeriksaan
hubungan PaCO2 selama pembedahan dengan neuroradiologis bila diperlukan. Bila terjadi
insiden stroke perioperatif. Meskipun belum stroke perioperatif maka pasien harus dipantau
ada bukti langsung yang menunjukkan dan diawasi di ruangan neuro critical care atau di
teknik ventilasi selama pembedahan dengan unit perawatan stroke.
risiko terjadinya stroke, hiperventilasi akan
menyebabkan hipokapni yang berujung pada Pasien dikonsultasikan dan dirawat bersama
penurunan aliran darah otak hingga dapat timbul dengan teman sejawat neurologi. Jalan nafas harus
iskemia otak. Hiperventilasi dapat menyebabkan tetap dapat dipertahankan. Apabila nilai GCS
inverse steal phenomenon yang malahan akan dibawah 8 maka dilakukan intubasi untuk proteksi
meredistribusikan aliran darah dari area otak jalan nafas sekaligus untuk pencegahan terjadinya
yang mengalami iskemia. aspirasi lambung. Apabila diperlukan maka
Teknik hiperventilasi selama pembedahan pemeriksaan neuroradiologis harus dilakukan.
memiliki efek yang merugikan seperti penurunan Hypercapnia harus di cegah, tekanan intrakranial
oksigenasi, peningkatan kebutuhan oksigen harus dapat dikendalikan dan tatalaksana bila ada
jantung, disritmia dan penurunan aliran darah edema serebri. SpO2 harus dipertahankan di atas
otak. Sehingga sebaiknya tidak dilakukan 94% dengan pemberian oksigen dan ventilasi
hiperventilasi pada pasien yang dengan riwayat mekanik bila diperlukan. Irama jantung dipantau
stroke sebelumnya karena risiko penurunan aliran dengan monitor EKG kontinyu karena pasien
darah otak dan pertahankan kondisi normokapni stroke rentan untuk mengalami gangguan irama
bila memungkinkan.5,8,9,13 Semakin singkat jantung. Analgesia diberikan bila dianggap ada
lama pembedahan akan makin baik luaran rangsang nyeri karena nyeri dapat menimbulkan
hasil pembedahan dikaitkan dengan timbulnya respon stress dan harus dicegah.2,5,6,13
risiko stroke perioperatif. Makin lama waktu
pembedahan makin tinggi risiko timbulnya stroke V. Simpulan
perioperatif dan morbiditas lain. Manajemen
anestesi yang baik berperan penting untuk Stroke perioperatif walaupun jarang ditemukan
mencegah terjadinya komplikasi serebral.8,9 merupakan komplikasi perioperatif yang berat
yang dapat menyebabkan peningkatan morbiditas
Pascabedah dan mortalitas. Mengenali faktor risiko sangat
Kebanyakan stroke perioperatif terjadi pada masa penting dilakukan untuk mencegah terjadinya
pascabedah. Obat-obatan anestesi dan teknik stroke perioperatif. Karena kebanyakan faktor
anestesi dapat mempengaruhi insiden stroke risiko umumnya tidak dapat dihindari, tindakan
perioperatif. Namun hingga kini belum ada pembedahan elektif pada pasien yang pernah
penelitian prospektif yang ada. Lebih lanjut masih mengalami stroke sebaiknya minimal ditunda
dibutuhkan penelitian berbagai faktor yang dapat hingga 3 bulan sambil menunggu membaiknya
menyebabkan stroke perioperatif. Hipotensi di autoregulasi serebral. Pertimbangan antara
masa pascabedah merupakan salah satu penanda melanjutkan atau menunda tindakan pembedahan
stroke perioperatif dan harus dicegah agar tidak dilakukan dengan seksama.
terjadi. Hiperkoagulasi pascabedah merupakan
Manajemen Anestesi Stroke Perioperatif 61

Daftar Pustaka 7. Selim M. Current concepts perioperative


stroke. N Engl J Med 2007;356:706–13.
1. Chiao SS, Zuo ZY. Approach to risk
management of perioperative stroke. J Anesth 8. Gelb AB, Cowie DA. Perioperative stroke
Perioper Med 2015, 2:268–76. prevention. Anes & Analg 2011;92:46–53.

2. Ng JL, Chan MT, Gelb WB. Perioperative 9. Engelhard K. Anaesthetic techniques to


stroke in noncardiac, nonneurosurg surgery. prevent perioperative stroke. Curr Opin
Anesthesiol 2011;115(4):879–90. Anesthesiol 2013;26:368–74.

3. Kim Jarmila, Gelb AW. Predicting 10. Szeder V, Torbey MT. Prevention and
perioperative stroke. Journal of Neurosurgical treatment of perioperative stroke. The
Anesthesiology 1995;3:211–15. Neurologist 2008;14(1):30–36.

4. Kam PCA, Calcroft RM. Peri-operative stroke 11. Brooks DC, Schindler JL. Perioperative
in general surgical patients. Anaesthesia stroke: Risk assessment, prevention and
1997: 52:879–83. treatment. Curr Treat Option Cardiovasc
Med 2014;16(2):282–98.
5. Mashour GA, Moore LE, Lele AV, Robicsek
SA, Gelb AW. Perioperative care of patients 12. Morales-Vidal S, Schneck M, Golombieski
at high risk for stroke during or after non- E. commonly asked questions in the
cardiac, non-neurologic surgery: Consensus management of perioperative stroke. Expert
statement from the Society for Neuroscience Rev Neurother 2013;13(2):167–75.
in Anesthesiology and Critical Care. J
Neurosurg Anesthesiol.2014;26:273–85. 13. Abraham M. Protecting the anaesthetised
brain. J Neuroanaesthesiol Crit Care 2014;
6. Lakshmanan RV, Rajala B, Moore LE. 1:20–39.
Perioperative stroke. Curr Anesthesiol Rep
2016; 6: 202–13. 14. Vlisides P, Mashour GA. Perioperative
stroke. Can J Anaesth 2016;63(2):193–204.
Tata Kelola Edem Paru Neurogenik

Riyadh Firdaus*), Bambang J. Oetoro**), Syafruddin Gaus***), Tatang Bisri****)


Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia–RS. Dr. Cipto
*)

Mangunkusumo-Jakarta, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas


Khatolik Atmajaya-Rumah Sakit Mayapada-Tangerang, ***)Departemen Anestesiologi,Terapi Intensif dan
Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin-Makassar, ****)Departemen Anestesiologi dan
Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, RS Hasan Sadikin, Bandung

Abstrak

Edem paru neurogenik merupakan salah satu komplikasi pernafasan yang dapat muncul setelah cedera/trauma
susunan saraf pusat. Bervariasinya laporan epidemiologi dan patofisiologi edem paru neurogenik dapat menyebabkan
misdiagnosis yang dapat memperburuk prognosis pada pasien yang mengalami edem paru neurogenik. Patofisiologi
edem paru neurogenik diduga dimulai dari kerusakan pada persarafan autonom pembuluh darah pulmonal dan
stimulasi berlebihan dari pusat vasomotor susunan saraf pusat, yang kemudian menyebabkan berbagai perubahan
yang terjadi pada pembuluh darah pulmonal hingga disfungsi jantung. Investigasi klinis harus dilakukan hati-
hati karena manifestasi klinis yang dapat menyerupai edem paru kardiogenik dan non-kardiogenik lainnya, hasil
pemeriksaan yang tidak spesifik, dan tidak adanya kriteria diagnosis. Saat ini belum ada pedoman tata kelola edem
paru neurogenik yang dapat diterima secara luas, namun berbagai studi dan literatur menyebutkan tata kelola edem
paru neurogenik berupa tata kelola suportif airway, breathing, circulation, di samping tata kelola penyebab cedera/
trauma susunan saraf pusat memiliki prognosis yang baik, oleh karena itu identifikasi, investigasi, dan tata kelola
edem paru neurogenik harus dilakukan secepatnya. Edem paru neurogenik dapat beresolusi dengan baik dalam
48–72 jam setelah mendapatkan tata kelola yang adekuat.

Kata kunci: edem paru neurogenik, kerusakan susunan saraf pusat, tata kelola

JNI 2018;7 (1): 62–70

Management of Neurogenic Pulmonary Edema


Abstract

Neurogenic pulmonary edema is one of respiration complication caused by injury of central nervous system.
Due to the vary of neurogenic pulmonary edema epidemiology and pathophysiology leads to misdiagnosed
of neurogenic pulmonary edema, which could worsen the clinical condition patients. The pathophysiology of
neurogenic pulmonary edema is believed caused by lesion on the autonomic central of vascular pulmonary bed
and overactivation of central vasomotor system, which leads to alteration of vascular pulmonary conditions
and cardiac dysfunction. Clinical investigation should be done carefully, because the clinical manifestations of
neurogenic pulmonary edema mimicking the cardiogenic and non-cardiogenic pulmonary edema, non-spesific
diagnostic modalities, and none diagnostic criteria in neurogenic pulmonary edema. Although nowadays none of
management guidelines of neurogenic pulmonary edema accepted widely, many study reported the good outcome
of supportive management of airway, breathing, and circulation besides the primary management of central
nervous system injury. Hence, clinical identifications, investigations, and management of neurogenic pulmonary
edema should be done immediately, because of good clinical outcome in 48 – 72 hours with adequate management.

Key words: neurogenic pulmonary edema, central nervous system damage, management

JNI 2018;7 (1): 62–70

62
Tata Kelola Edem Paru Neurogenik 63

I. Pendahuluan nyawa yang ditandai dengan peningkatan cairan


interstitial dan alveolus paru secara mendadak
Edem paru neurogenik adalah suatu sindrom yang berkaitan dengan cedera/trauma berat pada
klinis yang ditandai dengan peningkatan cairan susunan saraf pusat. Pada praktik klinis, edem
interstitial dan alveolus paru secara mendadak paru neurogenik sering mengalami misdiagnosis
yang tidak dapat dijelaskan oleh faktor atau karena kurangnya perhatian terhadap masalah
kelainan pada sistem kardiovaskular dan/atau paru yang muncul dibandingkan dengan cedera/
paru setelah terjadinya cedera atau trauma trauma pada susunan saraf pusat dan pada
pada susunan saraf pusat. Insidensi edem paru edem paru neurogenik berat kebanyakan pasien
neurogenik di instalasi gawat darurat mencapai akan meninggal sebelum dilakukan intervensi
25%, dengan angka morbiditas mencapai 40 – kegawatdaruratan.2,4
50% dan mortalitas mencapai 7–10%.1 Beberapa
teori yang menjelaskan patofisiologi edem Data epidemiologi secara pasti mengenai edem
paru neurogenik adalah peningkatan tekanan paru neurogenik jarang dilaporkan. Studi literatur
hidrostatik kapiler pulmonal, peningkatan yang ditemukan umumnya berupa laporan kasus
permeabilitas kapiler pulmonal, dan disfungsi dan hasil autopsi pasien yang sedikit dan tidak
jantung.2-3 Belum ada metode yang digunakan memiliki relevansi secara statistik. Pada pasien
secara luas dan khusus untuk menegakkan dengan perdarahan subaraknoid angka insidensi
diagnosis edem paru neurogenik. Pada umumnya edem paru neurogenik dilaporkan bervariasi
penegakkan diagnosis edem paru neurogenik antara 2–42% dengan angka mortalitas mencapai
dilakukan berdasarkan penilaian gejala klinis dan 10%. Angka kejadian edem paru neurogenik
eksklusi terhadap penyebab edem paru lainnya pada cedera kepala berat diperkirakan mencapai
pada pasien dengan cedera atau trauma susunan 20–25% dan mencapai 50% pada pasien
saraf pusat.4,5 cedera kepala traumatik dalam 96 jam setelah
Tata laksana utama edem paru neurogenik adalah kejadian. Insidensi edem paru neurogenik sangat
tatalaksana cedera atau trauma susunan saraf berkaitan dengan usia, keterlambatan operasi,
pusat. Tatalaksana suportif edem paru terletak pada dan presentasi klinis dan radiologi. Pada epilepsi
tata kelola hemodinamik, termasuk di antaranya diperkirakan kejadian edem paru neurogenik
adalah penggunaan obat vasoaktif, diuretik, dan memiliki insidensi mencapai 30% dengan
terapi cairan. Tata kelola respirasi pada edem angka mortalitas mencapai 80–100%. Walaupun
paru neurogenik memiliki tujuan memperbaiki pada laporan insidensi edem paru neurogenik
ventilasi paru untuk mencegah hipoksemi dan relatif tinggi pada kasus tertentu, secara umum,
hiperkapni. Tata kelola neurologi terutama insidensi kejadian edem paru neurogenik masih
terletak pada reduksi tekanan intrakranial. Tata relatif rendah, berkisar antara 2–8%.1
kelola anestesi, walaupun saat ini masih belum
dilaporkan secara luas, namun bertujuan untuk Etiologi
menghambat pusat persarafan simpatik pada Edem paru neurogenik sering terjadi terutama
hipotalamus, batang otak, dan pusat simpatis pada perdarahan subaraknoid, cedera kepala
vasoaktif.4 Identifikasi dan tata kelola edem paru traumatik, kejang epilepsi, stroke non-perdarahan,
neurogenik perlu mendapatkan perhatian khusus tumor, meningoensefalitis, hidrosefalus, sklerosis
karena data epidemiologi dan tata kelola edem multipel, prosedur endovaskular neurologi, dan
paru neurogenik masih kurang dan secara klinis peningkatan tekanan intrakranial karena blokade
bersifat akut dan sangat mengancam nyawa.4,6 VP-shunt tanpa kelainan jantung atau paru yang
  mendasarinya dengan lonjakan kadar katekolamin
II. Tinjauan Pustaka diperkirakan sebagai etio-patogenesis pada
II. Definisi dan Epidemiologi edem paru neurogenik.6-8 Kejang pada epilepsi
merupakan penyebab paling banyak edem
Edem paru neurogenik adalah suatu sindrom paru neurogenik, umumnya edem terjadi pada
klinis yang bersifat akut dan mengancam periode postictal. Edem paru neurogenik sebagai
64 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

komplikasi dari perdarahan subaraknoid atau Patofisiologi Edem Paru Neurogenik


intraserebral dapat terjadi dalam beberapa Pada paru normal, kebocoran cairan dan protein
hari setelah perdarahan dan dapat berulang. terjadi melalui celah antar sel endotelial pembuluh
Pada sebuah studi terhadap 78 kasus kematian kapiler. Cairan dan komponen yang difiltrasi
akibat perdarahan subaraknoid, didapatkan melalui rongga interstitial alveolar berasal dari
kejadian edem paru sebanyak 71% dan bukti sirkulasi menuju rongga interstitial alveolar dan
klinis antemortem edem paru pada 31% pasien. peribronkovaskular dan tidak dapat menembus
Penyebab lainnya adalah sindrom Guillain-Barre, alveolus karena pada lapisan epitelium alveolar
sklerosis multipel dengan keterlibatan medula, memiliki tight junction yang sangat rapat. Gaya
stroke non-perdarahan, poliomielitis bulbar, hidrostatik yang mengakibatkan perpindahan
emboli udara, tumor otak, terapi elektrokonvulsif, cairan menembus mikrosirkulasi paru memiliki
meningitis bakteri, cedera medula spinalis gaya yang sama besar dengan tekanan hidrostatik
servikal, blokade nervus trigeminus, ligasi arteri kapiler paru, yang dipengaruhi oleh perbedaan
vertebra, ruptur malformasi av medula spinalis, tekanan osmotik protein. Melalui aliran pembuluh
general anesthesia, kista kolloidal, hidrosephalus, limfatik, cairan yang berasal dari interstitial
dan sindrom Reye’s.7,8 tersebut akan diresorpsi menuju aliran sistemik.
Pembuluh limfatik merupakan suatu pembuluh
Anatomi Susunan Saraf Pusat Terkait Edem kecil yang dapat berkontraksi saat pergerakan
Paru pernafasan, aliran limfatik yang berasal dari
Dari sudut pandang anatomi, medula oblongata alveolus akan menuju ke hilum dan kelenjar
dan hipotalamus memilki peranan penting getah bening regional. Aliran limfatik akan
terhadap kejadian edem paru melalui respon mengalir keluar dari toraks melalui pembuluh
autonom. Medula oblongata posterior adalah yang terdapat pada mediastinum, kemudian
suatu struktur pada susunan saraf pusat yang menuju ke pembuluh vena besar yang terdapat di
membentuk struktur inferior dasar ventrikel daerah leher bawah.
keempat, mencakup area adrenergik 1 dan 5
dan nukleus traktus solitarius. Serabut saraf Kecepatan filtrasi resorpsi oleh sistem limfatik
yang berasal dari area adrenergik 5 akan ini dapat meningkat sampai beberapa kali,
menuju kolumna intermediolateral medula namun hanya sampai batasan tertentu. Edem
spinalis torakolumbal, yang merupakan area paru akan terjadi saat laju filtrasi cairan ke
persarafan simpatis, sedangkan serabut saraf dalam paru melebihi laju filtrasi resorpsi sistem
yang melalui area adrenergik 1 akan menuju ke limfatik. Patofisiologi edem paru neurogenik
hipotalamus. Serabut saraf pada area adrenergik merupakan salah satu atau kombinasi mekanisme
1 memiliki peranan penting dalam inhibisi (1) peningkatan tekanan hidrostatik kapiler
aktivitas sekresi neuroendokrin vasopressin di pulmonal, (2) perubahan permeabilitas kapiler
nukleus supraoptikus dan paraventrikel melalui pulmonal, dan (3) disfungsi jantung.2,10,12
proyeksi hipotalamus.7,9 Cedera/trauma area Pada cedera/trauma kepala yang disertai/tanpa
hipotalamus preoptik lateral dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan
vasokonstriksi viseral berat melalui serabut perfusi otak akan menyebabkan pelepasan
eferen simpatis, yang berakibat pada akumulasi rangsang simpatis dari beberapa area spesifik
darah ke sirkulasi pulmonal. Lesi pada area susunan saraf pusat. Pelepasan rangsang simpatis
hipotalamus anterior berkaitan dengan kejadian ini terutama berasal dari hipotalamus, medula
edem paru neurogenik berat yang didasari oleh oblongata dan medula spinalis. Pelepasan
proses peningkatan tekanan arterial sistemik. rangsang simpatis ini dapat mengakibatkan edem
Lesi atau stimulasi pada area spesifik dapat paru neurogenik melalui dua mekanisme, yaitu:
merangsang pelepasan katekolamin yang peningkatan tekanan hidrostatik paru (teori blast)
kemudian mengakibatkan peningkatan tekanan dan peningkatan permeabilitas kapiler pulmonal
hidrostatik kapiler pulmonal dan ekstravasasi (teori gangguan permeabiilitas).12
cairan.10,11 Katekolamin, sebuah mediator vasoaktif yang
Tata Kelola Edem Paru Neurogenik 65

beredar di sirkulasi vena akan dilepaskan secara sistemik menuju aliran darah arteri dan vena
signifikan setelah cedera/trauma susunan saraf pulmonal. Akibat dari peningkatan volume
pusat memiliki peranan penting dalam kejadian darah pulmonal, tekanan hidrostatik pulmonal
hipertensi pulmonal. Lebih lanjut katekolamin akan meningkat. Semakin tingginya tekanan
akan menyebabkan vasokontriksi sistemik berat, hidrostatik intravaskular pulmonal akan
perpindahan darah dari aliran sistemik menuju menyebabkan kerusakan barotrauma terhadap
aliran paru, yang akan meningkatkan volume membran kapiler-alveolar pulmonal. Keadaan
cairan darah darah pulmonal. Akibat peningkatan edem paru ini akan ditambah melalui edem paru
volume cairan darah pada paru, aliran balik transudatif yang diakibatkan oleh peningkatan
pembuluh vena dan tahanan pembuluh sistemik tekanan vena pulmonal. Edem paru menurut
akan meningkat namun, tekanan diastolik teori blast menjelaskan bahwa kejadian edem
ventrikel kiri jantung dan komplians tekanan paru sebagai hasil akibat dari dua mekanisme
sistolik akan menurun disertai peningkatan yang saling bersinergi, yaitu peningkatan tekanan
volume ventrikel kiri. Peningkatan volume hidrostatik kapiler pulmonal dan kerusakan pada
ventrikel akan meningkatkan tekanan pada fase membran endotelial pulmonal.1,5
akhir pengisian ventrikel kiri dan atrium kiri.
Lebih lanjut, akan mengakibatkan peningkatan Pelepasan katekolamin dalam jumlah besar dapat
tekanan kapiler pulmonal yang disertai dengan menyebabkan peningkatan afterload ventrikel kiri.
kerusakan lapisan endotelial dan kebocoran Peningkatan tekanan end-diastolic ventrikel kiri
cairan menuju interstitial dan alveolus.12 dan atrium kiri secara teori dapat menyebabkan
peningkatan tekanan vena pulmonal dan tekanan
Kerusakan neuronal baik secara langsung hidrostatik pulmonal. Peningkatan ringan tekanan
maupun tidak langsung pada pusat persarafan atrium kiri (18–25 mmHg) akan menyebabkan
autonom pembuluh darah pulmonal dan edem pada rongga interstitial perimikrovaskular
stimulasi berlebihan dari pusat vasomotor dan peribronkovaskular, dan jika peningkatan
susunan saraf pusat menurut literatur dapat tekanan atrium kiri meningkat lebih dari 25
menjelaskan kejadian edem paru neurogenik mmHg maka cairan edem akan menembus epitel
dengan peningkatan tekanan intrakranial. Refleks pulmonal, dan memenuhi alveolus dengan cairan
Hering-Breuer dapat mengakibatkan bradikardi, edem rendah-protein.14
bronkokonstriksi, gangguan ritme pernafasan,
hingga episode henti nafas. Gangguan persarafan Peningkatan Permeabilitas Kapiler Pulmonal
autonom, yang dapat diakibatkan oleh aktifitas (Teori Gangguan Permeabilitas)
berlebihan pada persarafan simpatis atau gangguan Peningkatan permeabilitas kapiler pulmonal dapat
saraf vagal yang diakibatkan oleh vagotomi atau disebabkan oleh aktivasi mekanisme persarafan
kerusakan nukleus vagal di medula oblongata tertentu atau akibat tekanan hidrostatik kapiler
dapat menyebabkan edem paru neurogenik yang pulmonal. Secara teori mekanisme ini lebih dapat
merupakan komplikasi dari berbagai mekanisme menjelaskan kejadian edem paru neurogenik yang
cedera/trauma susunan saraf pusat.13 memiliki kandungan cairan kaya-protein namun
kurang menjelaskan keterkaitan perubahan
Peningkatan Tekanan Hidrostatik Kapiler hemodinamik yang terjadi pada edem paru
Pulmonal (Teori Blast) neurogenik. Dalam hubungannya dengan teori
Edem paru neurogenik sering berkaitan dengan blast, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
kejadian hipertensi pulmonal dan sistemik bahwa kerusakan endotelial pulmonal lebih
yang dapat diakibatkan secara sekunder oleh lanjut dapat menyebabkan perubahan pada
peningkatan tekanan intrakranial ataupun permeabilitas kapiler pulmonal yang akan
adanya pelepasan katekolamin dalam jumlah berakibat pada kebocoran protein plasma menuju
besar. Hipertensi pulmonal dan sistemik akan rongga interstitial dan alveolus. Edem paru akibat
menyebabkan peningkatan volume darah mediasi persarafan dapat terjadi tanpa disertai
pulmonal akibat perpindahan aliran darah peningkatan tekanan arterial pulmonal.7,10
66 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Disfungsi Jantung (GEDVI), intrathoracic blood volume index


Beberapa studi menunjukkan bahwa edem (ITBVI) dan EVLWI melalui teknik termodilusi
paru dan cedera miokardium dapat terjadi transpulmonal. PiCCO dapat menjadi metode
setelah cedera/trauma pada susunan saraf pusat. pemantauan curah jantung yang lebih baik
Pada kardiomiopati Takotsubo akibat cedera/ dibandingkan kateterisasi arteri pulmonal pada
trauma susunan saraf pusat yang berat, dapat berbagai kelompok pasien. Penggunaan PiCCO
menyebabkan edem paru kardiogenik akibat yang dikombinasikan dengan metode lain dapat
disfungsi diastolik, lusitrofi, dan hipokinetik membedakan tipe edem pulmonal yang terjadi
global yang terjadi secara transien.15 Sindrom pada pasien dengan perdarahan subaraknoid.
neurogenic stunned myocardium terjadi akibat Penulis lain mengajukan klasifikasi bukti edem
aktivasi persarafan simpatis, terutama pelepasan paru berdasarkan termodilusi transpulmonal,
katekolamin, ditandai dengan disfungsi ventrikel yaitu: peningkatan volume hidrostatik yang
kiri, bradikardi, disertai perubahan EKG pada diakibatkan oleh reduksi curah jantung akibat
komplek QRS, segmen-ST, gelombang-T, dan disfungsi jantung (edem paru kardiogenik), dan
pemanjangan interval Qtc dapat terjadi hingga hipovolemik intravaskular yang diakibatkan
hingga hari ke-14 setelah cedera/trauma pada oleh peningkatan permeabilitas mikrovaskular
susunan saraf pusat. Perubahan pola EKG pulmonal (edem paru nonkardiogenik).9,17
yang terjadi menyerupai gambaran iskemi
miokardium, namun tanpa gambaran penyakit Diagnosis dan Diagnosis Banding
koroner akut. Walaupun demikian kardiomiopati Belum adanya perangkat yang dapat menegakan
Takotsubo dan neurogenic stunned myocardium diagnosis edem paru neurogenik secara akurat
dapat memiliki gambaran klinis yang sama.5,16 menyebabkan penegakan diagnosis edem paru
neurogenik saat ini hanya berdasarkan eksklusi
Manifestasi Klinis terhadap penyebab edem paru lainnya. Sebuah
Manifestasi klinis edem paru neurogenik dapat kriteria diagnosis yang dapat digunakan untuk
menyerupai acute respiratory distress sindrome penegakan diagnosis edem paru neurogenik:5
(ARDS) dan edem paru kardiogenik, bergantung gambaran infiltrat paru bilateral pada radiologi
pada beratnya cedera/trauma susunan saraf pusat toraks, rasio Pa02 / FiO2 < 200, tidak ada bukti
yang terjadi. Gambaran klinis yang sering terjadi hipertensi atrium kiri, cedera/trauma susunan
adalah episode dispnea akut, takipnea, sianosis, saraf pusat cukup berat (dapat menyebabkan
hipoksi, dan pucat. Pada pemeriksaan auskultasi peningkatan tekanan intrakranial), tidak ada
dapat ditemukan ronki bilateral terutama pada penyebab gangguan pernafasan akut atau ARDS.
kedua basal paru. Pada pipa endotrakeal dapat
ditemukan sputum berbusa dengan warna Investigasi klinis pada edem paru neurogenik
kemerahan.2,14 Beberapa studi dilakukan untuk dapat dilakukan dengan pemeriksaan toraks,
melakukan investigasi terhadap penyebab edem EKG, ekokardiografi transtoraks dan kateterisasi
paru, hidrostatik atau permeabilitas, Merenkov, arteri pulmonal. Kondisi klinis lainnya yang dapat
dkk melaporkan bahwa pemeriksaan bedside menyerupai edem paru neurogenik diantaranya
lung ultrasound dapat mengidentifikasi edem adalah gagal jantung kongestif, pneumonia,
paru yang terjadi, mengeksklusi keterlibatan ARDS, ventilation-induced lung injury, dan
kardiak, dan sebagai panduan pada tata kelola kontusio paru.4,14
cairan. Namun penggunaan bedside lung
ultrasound tidak dapat menentukan secara Tata Kelola Edem Paru Neurogenik
kuantitatif extravascular lung water (EVLWI), Tata kelola edem paru neurogenik memiliki
yang merupakan parameter paling akurat dan strategi tata kelola cedera/trauma susunan saraf
sensitif dalam penilaian terhadap edem paru. pusat yang mendasari dengan salah satu tujuan
Pulse index continous cardiac output (PiCCO) untuk mengakhiri aktivitas persarafan simpatis
adalah sebuah metode yang dikembangkan untuk yang memicu kejadian pada paru, dan mencegah
mendeteksi global end diastolic volume index cedera susunan saraf pusat sekunder yang
Tata Kelola Edem Paru Neurogenik 67

diakibatkan oleh hipoksi dan hipotensi.1,2 hipoksi susunan saraf pusat dan organ lainnya
lebih lanjut. Tindakan intubasi harus dilakukan
Tata Kelola Hemodinamik secara hati-hati untuk mencegah spasme jalan
Terapi farmakologi dalam hemodinamik edem nafas dan peningkatan tekanan intrakranial lebih
paru neurogenik sangat bergantung pada kondisi lanjut. Intubasi endotrakeal dapat meningkatkan
klinis, cedera penyerta, dan cedera yang mendasari. kejadian iskemi otak terutama pada pasien kritis
Status volume cairan pada pasien dengan cedera/ dengan gangguan perfusi otak, seperti pada stroke
trauma susunan saraf pusat sebaiknya berada pada iskemi atau iskemi otak pada stroke perdarahan.
status euvolemia. Pada pasien dengan instabilitas Mean arterial pressure (MAP) yang rendah dapat
hemodinamik penilaian fungsi jantung dengan menyebabkan penurunan pada tekanan perfusi
kateterisasi arteri pulmonal, ekokardiografi, otak sehingga terjadi iskemi otak. Tindakan
atau Doppler esofagus dapat membantu dalam intubasi endotrakeal sebaiknya dilakukan ketika
menentukan terapi. Kejadian hipotensi memiliki tekanan perfusi otak > 50–60 mmHg, apabila
hubungan dengan buruknya prognosis pada tidak memungkinkan maka vasopressor dapat
pasien dengan cedera/trauma susunan saraf pusat. digunakan untuk mencapai target tekanan perfusi
Oleh karena itu menjaga tekanan darah berada otak. Penggunaan ketamine sangat dianjurkan
di atas autoregulasi aliran darah otak terendah sebagai premedikasi intubasi endotrakeal
sangatlah penting. Salah satu target dalam tata pada pasien dengan instabilitas hemodinamik.
kelola tekanan darah harus mencapai nilai MAP Penggunaan ETCO2 setelah intubasi dapat
yang berkisar 70 mmHg atau tekanan perfusi otak berguna untuk mencegah hiperventilasi.18
60 mmHg, jika tekanan intrakranial berada dalam
batas normal. Hantaran oksigenasi susunan saraf Cedera paru akut dan ARDS dapat terjadi
pusat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan bersamaan pada pasien dengan cedera/trauma
tekanan perfusi otak dan aliran darah otak yang susunan saraf pusat dan memiliki hubungan
memiliki efek menguntungkan juga terhadap dengan prognosis yang buruk. Ventilasi dengan
peningkatan SjO2 dan PbrO2. Normalisasi kadar strategi lung-protective dilakukan untuk
PCO2 dalam darah dan meningkatkan tekanan mencegah cedera paru iatrogenik. Restriksi
perfusi otak melalui reduksi volume intrakranial volume tidal dapat digunakan sebagai tata
(tanpa menggunakan hiperventilasi), ekspansi kelola dalam edem paru neurogenik, dengan
volume pembuluh darah, atau vasopressor penggunaan PEEP untuk menjaga pengembangan
merupakan manuver untuk meningkatkan aliran rongga alveolus. Volume tidal yang rendah ≤ 6
darah otak yang sering digunakan.4 mL/KgBB dan tekanan jalan nafas statik ≤
30 cmH20 dapat menurunkan angka kejadian
Dobutamine dapat memperbaiki cardiac index, mortalitas pada berbagai gangguan pernafasan
left ventricular stroke work index, tekanan akut maupun ARDS.2,5,19 Ekstubasi pada pasien
pulmonal, dan rasio PaO2/FiO2. Rekomendasikan dengan cedera/trauma susunan saraf pusat dan
penggunaan inotropik dengan kombinasi edem paru neurogenik dapat dipertimbangkan
vasodilator perifer sebagai terapi lini pertama sesuai dengan kondisi gagal nafas, setelah tata
dengan kateterisasi arteri pulmonal sebagai kelola fase akut teratasi dan peningkatan tekanan
monitor terapi.4,6 intrakranial tidak lagi menjadi masalah. Penilaian
kemampuan bernafas secara spontan dapat
Tata Kelola Respirasi dilakukan dengan protokol respiratory-care dan
Karena edem paru neurogenik terjadi akibat masalah pada jalan nafas yang diakibatkan oleh
cedera/trauma susunan saraf pusat berat dan perubahan tingkat kesadaran dan refleks jalan
sering terjadi bersamaan dengan penurunan nafas terkait cedera/trauma susunan saraf pusat.19
kesadaran akibat cedera/trauma susunan saraf
pusat, proteksi jalan nafas harus dilakukan Tata Kelola Anestesi
dengan segera untuk menjamin oksigenasi yang Beberapa pendapat menyatakan bahwa anestesi
adekuat, mencegah pneumonia aspirasi dan dengan level yang dalam dapat menginhibisi
68 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

hipotalamus, batang otak, dan pusat simpatis pada trauma otak tidak memiliki efek yang
vasoaktif sehingga dapat menghambat menguntungkan. Secara spesifik beberapa studi
perkembangan edem paru neurogenik. Propofol telah melaporkan penggunaan phentolamine
dan midazolam sering digunakan sebagai sedatif pada kasus edem paru neurogenik dengan luaran
pada pasien dengan cedera/trauma susunan saraf klinis baik yang ditandai dengan peningkatan
pusat akut. Kedua obat ini dapat menurunkan oksigenasi dan perbaikan hemodinamik.5,7,10
aliran darah otak dengan menurunkan laju
metabolik otak, yang kemudian akan menurunkan Prognosis
tekanan intrakranial. Namun penggunaan infus Edem paru neurogenik harus segera dipikirkan
propofol dosis tinggi memiliki hubungan dengan pada pasien dengan cedera/trauma susunan saraf
kolaps sistem kardiovaskular dan kematian pada pusat yang mengalami kejadian sesak nafas.
pasien dengan kerusakan susunan saraf pusat Pasien dengan edem paru neurogenik memiliki
akut.12 angka mortalitas yang tinggi, namun perbaikan
dapat terjadi secara cepat pada pasien dengan
Tata Kelola Neurologi prognosis baik. Prognosis pada edem paru
Tata kelola neurologi harus dapat menjaga aliran neurogenik secara umum sangat bergantung
darah susunan saraf pusat untuk mencegah pada cedera/trauma susunan saraf pusat yang
kerusakan lebih lanjut. Tekanan perfusi susunan mendasari dan cedera miokardium yang terjadi.
saraf pusat yang adekuat dapat dilakukan dengan Angka mortalitas pada edem paru neurogenik
menurunkan peningkatan tekanan intrakranial dilaporkan antara 7–10%. Pada beberapa studi
dan mencegah hipotensi. Selain itu keadaan melaporkan mortalitas edem paru neurogenik
hipoksemi, hiperglikemi, kejang, atau demam mencapai 50% dan lebih tinggi terutama pada
harus diatasi dengan baik. Hiperventilasi pada kasus edem paru neurogenik fatal. Berbagai
cedera/trauma susunan saraf pusat memilki banyak studi dilakukan untuk menilai baik outcome dan
perdebatan.19 Menurunkan volume intrakranial prognosis edem paru neurogenik. Kerusakan
dapat dilakukan dengan terapi cairan osmotik. area hipotalamus pada pasien dengan edem paru
Penggunaan manitol atau saline hipertonik dalam neurogenik memiliki prognosis yang lebih buruk.5
beberapa laporan dapat menunjukkan hasil yang Peningkatan serum laktat yang terjadi dalam 1
baik dalam cedera/trauma susunan saraf pusat. jam setelah onset perdarahan subaraknoid non-
Pada keadaan peningkatan tekanan intrakranial traumatik merupakan faktor independen yang
yang diakibatkan oleh perdarahan, prosedur yang berkaitan dengan edem paru neurogenik
pembedahan dengan evakuasi bekuan perdarahan onset dini.7,20
atau perdarahan harus dilakukan dengan tujuan
mengurangi tekanan intra kranial.19 III. Simpulan

Tata Kelola Farmakologi Edem paru neurogenik merupakan suatu sindrom


Terapi farmakologi tidak selalu rutin digunakan klinis bersifat akut dan mengancam nyawa
pada tata kelola edem paru neurogenik. sangat membutuhkan perhatian khusus, karena
Beberapa literatur mengatakan beberapa terapi secara klinis menurut studi dan literatur sering
farmakologi dapat digunakan pada edem paru mengalami misdiagnosis. Di samping kondisi
neurogenik, namun, studi efikasi terapi tersebut klinis dapat menyerupai kondisi klinis edem paru
jarang dilaporkan karena kebanyakan edem paru kardiogenik, hingga saat ini belum ada tools yang
neurogenik bersifat self-limiting. Beberapa terapi dapat digunakan secara luas dalam melakukan
farmakologi yang dapat digunakan pada edem investigasi klinis ataupun menegakkan diagnosis
paru neurogenik adalah antagonis adrenergik-α edem paru neurogenik. Berbagai teori patofisiologi
(phentolamine), dobutamine, dan klorpromazine. yang diajukan dalam edem paru neurogenik dapat
Penggunaan kortikosteroid dapat digunakan digunakan sebagai dasar dalam investigasi klinis
pada beberapa kondisi susunan saraf pusat dan pemilihan terapi yang akan digunakan. Tata
seperti, tumor otak dan sklerosis multipel, namun kelola edem paru neurogenik harus mencakup
Tata Kelola Edem Paru Neurogenik 69

tata kelola cedera/trauma susunan saraf pusat H, et al. The mechanism of neurogenic
yang mendasari dengan salah satu tujuan untuk pulmonary edema in epilepsy. J Physiol Sci.
mengakhiri aktivitas persarafan simpatis yang 2013 Dec 31;64(1):65–72.
memicu kejadian pada paru dan tata kelola suportif
hemodinamik, respirasi, anestesi dan neurologi. 9. Mutoh T, Kazumata K, Mutoh TU, Taki Y,
Pada umumnya dengan tata kelola yang adekuat Ishikawa T. Transpulmonary thermodilution-
respon yang baik dapat dicapai dalam 48–72 based management of neurogenic pulmonary
jam dengan tata kelola yang adekuat. Walaupun edema after subarachnoid hemorrhage. The
demikian penulis berpendapat bahwa, hingga American Journal of the Medical Sciences.
saat ini masih dibutuhkan studi lebih lanjut dalam Elsevier Masson SAS; 2015 Nov 1;350:415–9.
hal epidemiologi, patofisiologi, diagnosis dan
tatakelola edem paru neurogenik karena data studi 10. Toma G, Amcheslavsky V, Zelman V, DeWitt
dan literatur mengenai edem paru neurogenik DS, Prough DS. Neurogenic pulmonary
masih belum dapat digunakan secara luas. edema: pathogenesis, clinical picture, and
clinical management. Semin Anesth. 2003
Daftar Pustaka Dec 31;23(3):221–9.

1. Ridenti FAS. Neurogenic pulmonary edema: 11. Darragh TM, Simon RP. Nucleus tractus
a current literature review. Rev Bras Ter solitarius lesions elevate pulmonary arterial
Intensiva. 2012 Mar;24(1):91–6. pressure and lymph flow. Ann Neurol. 1985
Jun;17(6):565–9.
2. Busl KM, Bleck TP. Neurogenic pulmonary
edema. Critical Care Medicine. 2015 12. Šedý J, Kuneš J, Zicha J. Pathogenetic
Aug;43(8):1710–5. mechanisms of neurogenic pulmonary edema.
Journal of Neurotrauma. 2015;32(15):1135–
45.
3. Šedý J, Urdzíková L, Likavčanová K, Hejcl
A, Jendelová P, Syková E. A new model 13. Onen MR, Yilmaz I, Ramazanoglu L,
of severe neurogenic pulmonary edema in Tanrıverdi O, Aydin MD, Kanat A, et al.
spinal cord injured rat. Neuroscience Letters. Rational roots of sympathetic overactivity
2007 Aug;423(2):167–71. by neurogenic pulmonary edema modeling
arising from sympathyco-vagal imbalance in
4. O'Leary R, McKinlay J. Neurogenic subarachnoid hemorrhage: an experimental
pulmonary oedema. Contin Educ Anaesth study. World Neurosurgery. Elsevier Ltd;
Crit Care Pain. 2011 May 17;11(3):87–92. 2016 Apr 27;:1–24.

5. Davison DL, Terek M, Chawla LS. 14. Ware LB, Matthay MA. Clinical practice.
Neurogenic pulmonary edema. Crit Care. acute pulmonary edema. N Engl J Med. 2005
2012 Dec 12;16(2):212. Dec 29;353(26):2788–96.

6. Baumann A, Audibert G, McDonnell J, Mertes 15. Lee VH, Connolly HM, Fulgham JR, Manno
PM. Neurogenic pulmonary edema. Acta EM, Brown RD, Wijdicks EFM. Tako-tsubo
Anaesthesiol Scand. 2007 Apr;51(4):447–55. cardiomyopathy in aneurysmal subarachnoid
hemorrhage: an underappreciated
7. Šerić V, Roje-Bedeković M, Demarin V. ventricular dysfunction. J Neurosurg. 2006
Neurogenic pulmonary edema. Acta Clin Aug;105(2):264–70.
Croat. 2004;43:389–95.
16. Bahloul M, Chaari AN, Kallel H, Khabir A,
8. Zhao H, Lin G, Shi M, Gao J, Wang Y, Wang Ayadi A, Charfeddine H, et al. Neurogenic
70 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

pulmonary edema due to traumatic brain pulmonary edema: case reports and literature
injury: evidence of cardiac dysfunction. Am review. J Neurosurg Anesthesiol. 2003
J Crit Care. 2006 Sep;15(5):462–70. Apr;15(2):144–50.

17. Lin X, Xu Z, Wang P, Xu Y, Zhang G. Role 19. Deem S. Management of acute brain injury
of PiCCO monitoring for the integrated and associated respiratory issues. Respir
management of neurogenic pulmonary Care. 2006 Apr;51(4):357–67.
edema following traumatic brain injury: A
case report and literature review. Exp Ther 20. Šedý J, Zicha J, Kuneš J, Jendelová P,
Med. 2016 Oct;12(4):2341–7. Syková E. Mechanisms of neurogenic
pulmonary edema development. Physiol Res.
18. Fontes RBV, Aguiar PH, Zanetti MV, Andrade 2008;57(4):499–506.
F, Mandel M, Teixeira MJ. Acute neurogenic
Indeks Penulis

B H
Bambang J. Oetoro, 17, 36, 62 Himendra Wargahadibrata, 28, 54

C R
Cindy Giovanni, 11 Riyadh Firdaus, 62
Rose Mafiana, 44
D Ruli Herman Sitanggang, 1
Dhania Anindita Santosa, 17
Dewi Yulianti Bisri, 11, 28, 54 S
Dear Mohtar Wirajaya, 1 Siti Chasnak Saleh, 17, 28, 54
Syafruddin Gaus, 17, 36, 62
E
Endah Permatasari, 36, 54 T
Eri Surahman, 44 Tatang Bisri, 1, 11, 62

F W
Fitri Sepviyanti Sumardi, 44 Wahyu S. Basuki, 28
Indeks Subjek

A Kerusakan susunan saraf pusat, 62


Anestesi, 58
Alkoholik, 44 L
AVM, 36 Laminoplasti dekompresi stabilisasi, 28
LWMH, 44
B
Brain relaxation score, 1 M
Bradikardia, 28 Mannitol, 1

C N
Cedera otak traumatik sedang, 11 NaCl 3%, 1
Cedera otak traumatik berat, 11 Natrium laktat hipertonik, 1
Cedera medula spinalis akut, 28
CVST, 44 O
Osmolaritas, 1
D
Diabetes, 17 P
Dekompresi evakuasi perdarahan, 44 Pengelolaan kadar gula darah, 17
Perioperatif, 17
E
Edem paru neurogenik, 62 R
Reseksi AVM, 36
F
Faktor risiko, 54 S
Stroke perioperatif, 54
G
Glasgow coma scale, 11 T
Tumor, 17
H Tatalaksana periperatif, 36
Hipotensi, 28 Tata kelola, 54

K
Kraniotomi, 1
Pedoman Bagi Penulis

1. Ketentuan Umum Domain kognitif yang diukur adalah atensi dan


memori. Faktor yang diduga mempengaruhi
Redaksi majalah Jurnal Neuroanestesia kejadian DKPO dalam penelitian ini adalah
Indonesia menerima tulisan Neurosains dalam usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi.
bentuk Laporan Penelitian, Laporan Kasus, Hasil: Tujuh hari pascaoperasi 30% sampel
Tinjauan Pustaka, serta surat ke editor. Naskah mengalami gangguan atensi, 36% sampel
yang dipertimbangkan dapat dimuat adalah mengalami gangguan memori dan 52% sampel
naskah lengkap yang belum dipublikasikan mengalami disfungsi kognitif pascaoperasi.
dalam majalah nasional lainnya. Naskah yang Pemeriksaan kognitif yang mengalami
telah dimuat dalam proceeding pertemuan penurunan bermakna adalah digit repetition
ilmiah masih dapat diterima asalkan mendapat test, immediate recall, dan paired associate
izin tertulis dari panitia penyelenggara. learning. Analisa logistik regresi variabel usia
(p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan
2. Judul durasi operasi (p=0,811) terhadap kejadian
DKPO menunjukkan hubungan yang tidak
Bahasa Indonesia tidak melebihi 12 kata, bermakna. Namun bila dianalisa pada masing
judul bahasa Inggris tidak melebihi10 kata. masing kelompok usia tampak bahwa persentase
pasien yang mengalami DKPO konsisten lebih
3. Abstrak
tinggi pada usia ≥50 tahun, tingkat pendidikan
Ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa ≤6 tahun dan durasi operasi ≥180 menit
Indonesia serta tidak boleh lebih dari 250 kata. Simpulan: Kejadian disfungsi kognitif pada
pasien yang menjalani operasi elektif di
Abstrak Penelitian: GBPT RSU dr. Sutomo cukup tinggi. Faktor
usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi
Terdiri dari IMRAD (Introduction, Method, tampaknya mempengaruhi kejadian DKPO
Result, and Discussion). Dalam introduction meskipun secara statistik tidak signifikan.
mengandung latar belakang dan tujuan penelitian.
Dalam Discussion diakhiri oleh Simpulan. Kata kunci: anestesi umum, atensi, kognitif
pascaoperasi, memori
Contoh Penulisan Abstrak Penelitian:
Abstrak Laporan Kasus:
Latar Belakang dan Tujuan: Disfungsi
kognitif pascaoperasi (DKPO) sering terjadi Terdiri dari Pendahuluan, Kasus, Pembahasan,
dan menjadi masalah serius karena dapat simpulan
menurunkan kualitas hidup pasien yang
menjalani pembedahan dan meningkatkan beban Contoh Penulisan Abstrak Laporan Kasus:
pembiayaan kesehatan. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui angka kejadian DKPO Abstrack
pada pasien yang menjalani operasi elektif
di GBPT RSU dr. Sutomo dan menganalisa Meningoencephaloceles are very rare congenital
faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. malformations in the world that have a high
Subjek dan Metode: Penelitian ini melibatkan incidence in the population of Southeast Asia,
50 orang sampel berusia 40 tahun atau lebih include in Indonesia. Children with anterior
yang menjalani pembedahan lebih dari dua meningoencephaloceles should have surgical
jam. Dilakukan serangkaian pemeriksaan fungsi correction as early as possible because of the facial
kognitif praoperasi dan tujuh hari pascaoperasi. dysmorphia, impairment of binocular vision,
increasing size of the meningoencephalocele pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan
caused by increasing brainprolapse, and risk nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologik
of infection of the central nervous system. In dan kebutuhan pemantauan tekanan intrakranial
the report, we presented a case of a 9 months- atau drainase ventrikel atau keduanya.
old baby girl with naso-frontal encephalocele
and hydrocepahalus non communicant, posted Kata kunci: perdarahan intrakranial, stroke
for VP shunt (ventriculo-peritoneal shunt) perdarahan
and cele excision. Becaused of the mass,
nasofrontal or frontoethmoidal and occipital Diakhir abstrak dibuat kata kunci yang
meningoencephalocele leads the anaesthetist to ditulis berurutan secara alphabet, 3–5 buah.
problems since the anaesthesia during the operation
until post operative care. Anaesthetic challenges 4. Cara Penulisan Makalah
in management of meningoencephalocele, Penulisan Daftar Pustaka:
which most of the patients are children, include
securing the airway with intubation with the • Nomor Kepustakaan berdasarkan urutan
mass in nasofrontal or nasoethmoidal with its datang” di dalam teks, Vancouver style.
associated complications and accurate assessment • Jumlah kepustakaan minimal 8 dan maksimal
of blood loss and prevention of hypothermia 20 buah.

Key words: Anaesthesia, difficult Contoh cara penulisannya:


ventilation, difficult intubation, naso-frontal,
Dari Jurnal:
meningoencephalocele, padiatrics
1. Powers WJ. Intracerebral haemorrhage and
Abstrak Tinjauan Pustaka:
head trauma. Common effect and common
mechanism of injury. Stroke 2010;41(suppl
Terdiri dari Pendahuluan, Isi, dan Simpulan
1):S107–S110.
2. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer
Abstrak
HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneus
intracerebral haemorrhage. N Engl J Med
Stroke hemoragik merupakan penyakit yang
2001,344(19):1450–58.
mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup
dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum Dari Buku:
dari perdarahan intrakranial adalah subarachnoid
haemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan 1. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial
dari arteriovenous malformation (AVM), hemorrhage: Intensive care management.
atau perdarahan intraserebral. Perdarahan Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials
intraserebral sering dihubungkan dengan of Neuroanesthesia and Neurointensive Care.
hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 229–
lainnya, kecanduan obat dan alcohol, neoplasma, 36.
atau angiopati amyloid. Mortalitas dalam 30 hari 2. Rost N, Rosand J. Intracerebral Hemorrhage.
sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical
lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke Care. New York: Cambridge University
iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%. Press;2010,143–56.
Stroke hemoragik khas dengan danya sakit kepala,
mual muntah, kejang dan defisit neurologic fokal Materi Elektronik
yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan
letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologik Artikel Jurnal dalam Format Elektronik Lipton B,
dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai Fosha D. Attachment as a transformative process
koma. Pengelolaan dini difokuskan pada: 1) in AEDP: operationalizing the intersection of
Penanggungjawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Neuroanestesi Indonesia
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang tulus
kepada mitra bebestari:

Prof. Siti Chasnak Saleh, dr., SpAnKIC,KNA


(Universitas Airlangga ‒ Surabaya)
Prof. Dr. Tatang Bisri, dr., SpAnKNA, KAO
(Universitas Padjadjaran – Bandung)
Dr. Sri Rahardjo, dr., SpAnKNA, KAO
(Universitas Gadjah Mada – Yogyakarta)
Dr. Bambang J. Oetoro, dr., SpAnKNA
(Universitas Khatolik Atmajaya‒ Jakarta)
Dr. M. Sofyan Harahap, dr., SpAnKNA
(Universitas Diponegoro ‒ Semarang)
Dr. Sudadi, dr., SpAnKNA
(Universitas Gadjah Mada –Yogyakarta)
Dr. I Putu Pramana Suarjaya, dr., SpAnKNA, KMN, M.Kes
(Universitas Udayana – Bali)
Dr. Zafrullah Kany Jasa, dr., SpAnKNA
(Universitas Syiah Kuala – Banda Aceh)
Dr. Iwan Fuadi, dr., SpAnKNA, M.Kes
(Universitas Padjadjaran – Bandung)
Dr. M.M. Rudi Prihatno, dr., SpAnKNA, M.Si
Universitas Jenderal Soedirman – Purwokerto)
Dr. Kenanga Marwan, dr., SpAnKNA
(Universitas Lambung Mangkurat – Banjarmasin)

Atas kerjasama yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal
Neuroanestesi Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan lebih baik untuk masa yang akan
datang

Redaksi

Anda mungkin juga menyukai