Laporan Penelitian
Perbandingan Mannitol 20%, NaCl 3% dan Natrium Laktat Hipertonik terhadap Osmolaritas
Plasma dan Brain Relaxation score pada Pasien Tumor Otak yang menjalani Kraniotomi
Pengangkatan Tumor
Dear Mohtar Wirawijaya, Ruli Herman Sitanggang, Tatang Bisri ...................................................... 1–10
Hubungan antara Volume Residu Gaster dan Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Pasien
Cedera Otak Traumatik Sedang dan Berat
Cindy Giovanni, Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri .............................................................................. 11–16
Laporan Kasus
Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan Tumor
Cerebellopontine Angle
Dhania Anindita Santosa, Syafruddin Gaus, Bambang J. Oetoro, Siti Chasnak Saleh ............................. 17–27
Tinjauan Pustaka
Abstrak
Latar Belakang dan Tujuan: Mannitol membuat relaksasi otak, namun memiliki efek samping berkurangnya
volume intravaskuler, peningkatan kembali tekanan intrakranial (rebound) dan gagal ginjal. Penggunaan NaCl 3%
dan natrium laktat hipertonik dapat memberikan relaksasi otak yang baik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
peningkatan osmolaritas dan brain relaxation score (BRS) pada pasien yang menjalani kraniotomi pengangkatan
tumor dengan menggunakan mannitol 20%, NaCl 3%, dan matrium laktat hipertonik.
Subjek dan Metode: Penelitian merupakan uji klinik terkontrol secara acak terhadap 39 pasien tumor otak yang
masing-masing mendapatkan 2,5cc/kgBB mannitol 20%, NaCl 3%, dan natrium laktat hipertonik.
Hasil: Tidak ada perbedaan peningkatan osmolaritas yang signifikan antara ketiga kelompok 1 jam setelah
pemberian osmoterapi dan saat durameter dibuka (p>0,05). BRS pada ketiga kelompok memiliki nilai median
yang sama besar (2,00), artinya tidak ada perbedaan BRS yang bermakna (p>0,05). Terdapat peningkatan diuresis
yang signifikan pada pemberian mannitol 20%, peningkatan klorida pada NaCl 3% dan peningkatan glukosa
signifikan pada natrium laktat hipertonik.
Simpulan: Mannitol 20%, NaCl 3%, dan natrium laktat hipertonik memberikan relaksasi otak yang sama dan
tidak mengakibatkan perbedaan osmolaritas yang signifikan.
Kata kunci: Brain relaxation score, kraniotomi, mannitol, NaCl 3%, natrium laktat hipertonik, osmolaritas
Abstract
Background and Objective: Mannitol produce brain relaxation but associated with several side effects such
as reduced intravascular volume, rebound in intracranial pressure and kidney failure. The use of 3% NaCl and
hypertonic sodium lactate (HSL) may provide brain relaxation. Aim of this study is to examine increased osmolarity
and brain relaxation score (BRS) in patient underwent craniotomy using 20% mannitol, 3% NaCl, and hypertonic
sodium lactate.
Subject and Method: This is a randomized control study of 39 brain tumor patients divided into three groups each
obtained 2.5cc/kg 20% mannitol, 3% NaCl, and HSL.
Result: there is no significant difference of osmolarity between the three groups 1 hour after administration of
osmotherapy and during the opening of durameter (p>0,05). BRS between the three groups have an equivalent
median score (2,00), it means no significant difference in BRS (p>0,05). A significantly increased diuresis in the
administration of 20% mannitol, increased chloride to 3% NaCl and significant glucose increase in HSL.
Conclusion: Administration of 20% mannitol, 3% NaCl and HSL produce the same brain relaxation and resulted
in insignificant osmolarity differences.
Key words: Brain relaxation score, craniotomy, hypertonic sodium lactate, 20% mannitol, 3% NaCl, osmolarity
1
2 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
relaksasi otak dan kadar glukosa. Penelitian sampel minimal untuk masing-masing kelompok
tersebut menunjukkan bahwa Na laktat adalah 13 orang. Total sampel untuk 3 kelompok
hipertonik memberikan relaksasi otak yang sama adalah 39 orang. Pemilihan subjek penelitian
dibanding dengan mannitol namun dengan profil berdasarkan consecutive sampling, yaitu urutan
hemodinamik yang lebih stabil tetapi disertai datang pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan
peningkatan kadar glukosa yang signifikan.7 tidak termasuk kriteria ekslusi serta besar sampel
minimal. Alokasi subjek ke dalam perlakuan
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan berdasarkan permutasi blok.
pengaruh mannitol 20%, NaCl 3%, dan Na laktat
hipertonik terhadap peningkatan osmolaritas Subjek penelitian sebanyak 39 subjek dibagi
plasma dan Brain Relaxation Score (BRS) menjadi 3 kelompok yang dilakukan secara acak
pada pasien tumor otak yang menjalani operasi menggunakan blok permutasi, yaitu kelompok
kraniotomi pengangkatan tumor. Sampai saat A mendapatkan mannitol 20% dosis 2,5 mL/
ini belum ada penelitian yang membandingkan kgBB intravena terdiri atas 13 subjek, kelompok
ketiga osmoterapi tersebut secara bersamaan B mendapatkan NaCl 3% dosis 2,5 mL/kgBB
untuk meningkatkan osmolaritas plasma dan intravena terdiri atas 13 subjek dan kelompok C
pada operasi kraniotomi pengangkatan tumor. mendapatkan natrium laktat hipertonik dosis 2,5
mL/kgBB intravena terdiri atas 13 subjek. Setelah
II. Subjek dan Metode mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
Penelitian ini merupakan penelitian randomized Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung,
controlled trial (RCT) dengan randomisasi dilakukan informed consent kepada pasien
permutasi blok mengenai peningkatan osmolaritas mengenai pembedahan dan penelitian yang akan
plasma dan BRS pada kraniotomi pengangkatan dilaksanakan. Pasien yang sesuai kriteria dan
tumor. Subjek penelitian adalah pasien tumor telah menandatangani informed consent dijadikan
otak yang menjalani kraniotomi pengangkatan sebagai subjek penelitian. Semua pasien yang
tumor di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. ikut serta dalam penelitian ini diinfus dengan
Penelitian dilakukan dari bulan Februari 2017 Ringerfundin 2 mL/kg/jam sebelum masuk ke
sampai dengan Mei 2017. Kriteria inklusi kamar operasi. Setelah masuk ke kamar operasi,
subjek penelitian ini adalah pasien dengan tumor dipasang alat–alat untuk memantau tekanan
intrakranial yang menjalani operasi kranotomi darah non invasif, elektrokardiogram, saturasi
pengangkatan tumor, status fisik berdasarkan oksigen, dan suhu. Pemasangan akses vena
American Society of Anesthesiologist (ASA) sentral dan jalur arteri dilakukan sesuai dengan
dalam kategori I dan II, usia pasien antara indikasi. Preoksigenasi dilakukan selama 5 menit
18 sampai dengan 65 tahun, Glasgow Coma dengan oksigen 100% sebelum induksi dimulai.
Scale >13, pasien tidak memiliki gangguan Induksi dilakukan dengan lidokain 1,5 mg/kgBB,
ginjal dan kardiovaskular sebelumnya. Subjek fentanil 3 mcg/kgBB, thiopental 5 mg/kgBB,
penelitian dieksklusi pada pasien dengan riwayat dan rokuronium 1 mg/kgBB, setelah itu volatil
alergi terhadap obat–obatan yang digunakan isofluran/sevofluran dibuka 1 MAC. Intubasi
dalam penelitian, riwayat operasi intrakranial dilakukan dengan laringoskopi direk. Setelah
sebelumnya, hiponatremia atau hipernatremia intubasi, dipasang monitor EtCO2 dan dilakukan
sebelumnya, dan riwayat penggunaan terapi pengambilan sampel darah untuk menghitung
hiperosmolar kurang dari 24 jam. Pada penelitian osmolaritas plasma. Dengan menggunakan 3
ini desain yang digunakan adalah analitis amplop, pasien akan mendapatkan salah satu
kategorik numerik tidak berpasangan. Penentuan dari osmoterapi yang diberikan setelah induksi
besar sampel dilakukan berdasarkan perhitungan dengan dosis 2,5 mL/kgBB dalam waktu 15–
statistik, dengan menetapkan taraf kepercayaan 30 mnt. Rumatan anestesi diberikan dengan
95% dan kuasa uji (power test) 80%; dianggap volatil isofluran atau sevofluran 1 MAC dengan
bermakna bila nilai p<0,05. Perhitungan jumlah O2 dan udara, ditambah dengan thiopental
4 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
kontinu dengan dosis 1–3 mg/kgBB/jam serta 4=Cembung (parenkim otak menonjol ke luar
rokuronium kontinu 10 mcg/kgBB/menit. duramater). Bila ketegangan otak mengganggu
Pemantauan hemodinamik dilakukan setiap 5 manipulasi surgikal diberikan furosemid 20 mg
menit. Setelah induksi dilakukan pemasangan intravena atau ekstra manitol 20% sebanyak
kateter urine untuk memantau diuresis dan balans 0,25 g/kgBB sebagai rescue. Pengambilan darah
cairan. Rumatan cairan diberikan 1,5 cc/kgBB/ untuk pemeriksaan osmolaritas plasma dilakukan
jam. Selama operasi EtCO2 dipertahankan 25–30 sebelum pemberian osmoterapi, 1 jam setelah
mmHg dan Saturasi O2 dipertahankan 98–99%. pemberian osmoterapi, dan saat duramater
Tekanan arteri rerata dipertahankan 20% dari dibuka. Semua data yang diperoleh dicatat dalam
nilai dasar. Episode hipotensi (penurunan tekanan formulir khusus dan dianalisis secara statistika.
arteri rerata 20% dari nilai dasar atau sistolik <
90 mmHg) diterapi dengan 5–10 mg ephedrine. Karakteristik umum, peningkatan osmolaritas
Relaksasi otak dilihat oleh operator yang telah plasma, BRS dan hasil temuan lain dideskripsikan
dilakukan evaluasi tentang tatacara penilaian dalam bentuk tabel distribusi frekuensi yang
BRS agar terdapat penilaian yang sama terhadap menampilkan jumlah (n), rerata, standar deviasi
BRS. Penilaian BRS dengan skala 4 poin, yaitu: (SD), dan persentase (%). Untuk data numerik
1=Relaks sempurna (parenkim otak tidak melekat nilai p diuji dengan One Way Anova apabila data
pada duramater); 2=Cukup relaks (parenkim otak terdistribusi normal dan alternatif uji Kruskal
melekat pada duramater namun masih relaks); Wallis apabila data tidak terdistribusi normal.
3=Tegang (parenkim otak sedikit menonjol); Data kategorik nilai p dihitung berdasarkan uji
Sebelum pemberian
Osmoterapi (mOsm/L)
Mean±Std 291,27±4,332 288,86±3,828 290,01±4,894 0,381
1 Jam setelah pemberian
Osmoterapi (mOsm/L)
Mean±Std 291,73±4,879 293,876±4,151 293,33±6,302 0,556
Saat Duramater Dibuka
(mOsm/L)
Mean±Std 295,34±6,944 297,77±3,895 296,40±7,752 0,629
Keterangan: untuk data numerik nilai p diuji dengan uji One Way Anova apabila data berdsitribusi normal,
dengan alternatif uji Kruskal Wallis apabila data tidak berdistribusi normal. Data kategorik nilai p dihitung
berdasarkan uji Chi-Square dengan alternatif uji Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari
Chi-Square tidak terpenuhi. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda* menunjukkan nilai p<0,05
artinya signifkan atau bermakna secara statistik.
Brain Relaxation
score
Median 2,00 2,00 2,00 0,224
Range (min- 1,00-3,00 1,00-3,00 1,00-4,00
max)
Keterangan: untuk data numerik nilai p diuji dengan uji One Way Anova apabila data berdsitribusi normal,
dengan alternatif uji Kruskal Wallis apabila data tidak berdistribusi normal. Data kategorik nilai p dihitung
berdasarkan uji Chi-Square dengan alternatif uji Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari
Chi-Square tidak terpenuhi. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda* menunjukkan nilai p<0,05
artinya signifkan atau bermakna secara statistik
pressure (MAP) pada ketiga kelompok tidak osmolaritas plasma sebelum pemberian
terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05). osmoterapi, 1 jam setelah pemberian osmoterapi,
Pada ketiga kelompok tidak terdapat perbedaan dan saat durameter dibuka (p>0,05; Tabel 2).
rerata yang signifikan secara statistika antara Penilaian BRS pada mannitol 20%, NaCl 3%, dan
Sebelum
pemberian
Osmoterapi
(meq/L)
Mean±Std 103,00±4,082 104,92±3,303 102,69±3,351 0, 179
1 Jam setelah
pemberian
Osmoterapi
(meq/L)
Mean±Std 103,07±4,071 107,69±3,923 102,53±3,799 0,003**
Saat Duramater
Dibuka (meq/L)
Mean±Std 102,38±2,328 109,07±3,904 103.07±3,662 0,000**
Keterangan: untuk data numerik nilai p diuji dengan uji One Way Anova apabila data berdsitribusi normal, dengan
alternatif uji Kruskal Wallis apabila data tidak berdistribusi normal. Data kategorik nilai p dihitung berdasarkan
uji Chi-Square dengan alternative uji Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari Chi-Square tidak
terpenuhi. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau
bermakna secara statistik.
Natrium laktat hipertonik memiliki nilai median yang menjalani operasi kraniotomi pengangkatan
yang sama besar (2,00; Tabel 3), menggambarkan tumor elektif di Rumah Sakit Umum Pusat Dr.
tidak adanya perbedaan BRS yang signifikan Hasan Sadikin. Hasil penelitian didapatkan
antara ketiga kelompok perlakuan. Terdapat osmolaritas plasma sebelum osmoterapi, 1
perbedaan yang signifikan pada nilai klorida dari jam setelah pemberian osmoterapi, dan saat
ketiga kelompok osmoterapi pada 1 jam setelah duramater dibuka tidak didapatkan perbedaan
pemberian osmoterapi dan saat duramater dibuka peningkatan osmolaritas yang signifikan antara
(p<0,05). Pada hasil uji statistika dari kelompok kelompok mannitol 20%, NaCl 3%, dan natrium
NaCl 3% terdapat peningkatan nilai klorida laktat hipertonik. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang berbeda secara signifikan disbanding yang dilakukan di Amerika pada tahun 2007
dengan kelompok mannitol 20% dan natrium membandingkan efek serebral mannitol 20%
laktat hipertonik (p<0,05; Tabel 4). Berdasarkan dan NaCl 3% membuktikan bahwa terjadi
analisis statistika terdapat perbedaan peningkatan peningkatan osmolaritas plasma yang sama pada
nilai glukosa darah yang bermakna pada saat kedua kelompok dan tidak didapatkan perbedaan
duramater dibuka antara ketiga kelompok. pada penurunan TIK antara kedua kelompok.
Peningkatan kadar glukosa darah yang signifikan Perbedaan osmolaritas yang tidak bermakna
terjadi saat duramater dibuka pada kelompok disebabkan oleh osmolaritas yang tidak berbeda
natrium laktat hipertonik (p<0,05; Tabel 5). secara signifikan antara mannitol, NaCl 3% dan
natrium laktat hipertonik, yaitu 1100 mOsm/L,
Hasil uji statistika pada perbandingan rerata 1026 mOsm/L, dan 1020 mOsm/L.8,10
urin terdapat perbedaan yang signifikan antara Hal lain yang dinilai pada penelitian ini adalah
ketiga kelompok osmoterapi (p<0,05). Urin Brain relaxation score (BRS). BRS adalah
terbanyak didapatkan pada kelompok mannitol penilaian relaksasi otak yang dilakukan oleh
20% dibanding dengan NaCl 3%, dan natrium pembedah segera setelah membuka duramater
laktat hipertonik dengan rata-rata sebesar yang memiliki 4 skor, yaitu: 1 (Relaks sempurna
1984,61±393,374 cc, 788,46±173,390 cc dan yang ditandai dengan parenkim otak tidak
800,00±156,790 cc (p=0,000). melekat pada duramater), 2 (Cukup relaks yaitu
parenkim otak melekat pada duramater namun
III. Pembahasan masih relaks, 3 (Tegang atau parenkim otak
sedikit menonjol) dan 4 (Cembung di mana
Otak yang relaks untuk pembedah merupakan parenkim otak menonjol ke luar duramater).
salah satu tujuan penting pada manajemen Nilai BRS pada ketiga kelompok penelitian
anestesi pada pasien yang menjalani kraniotomi. ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan.
Otak yang relaks memudahkan manipulasi Hal ini menggambarkan relaksasi otak yang
surgikal sehingga kerusakan jaringan otak sehat baik dengan pemberian ketiga jenis osmoterapi
lebih sedikit dan luaran neurologi pasien lebih tersebut. Hasil penelitian ini sejalan dengan
baik. Peningkatan tekanan intrakranial dapat penelitian sebelumnya yang membandingkan
mengakibatkan otak yang tegang intraoperatif. mannitol 20% dan NaCL 3% serta penelitian
Penatalaksanaan medikal edema serebral yang membandingkan mannitol 20% dan natrium
dan peningkatan tekanan intrakranial dengan laktat hipertonik.2,11-13
osmoterapi merupakan komponen penting Penelitian sebelumnya yang dilakukan pada
dalam manajemen perioperatif dalam bedah tahun 2007 pada 40 pasien di Amerika Serikat
saraf. Tujuan osmoterapi adalah untuk menjaga yang menjalani operasi kraniotomi karena
normovolemia atau sedikit hipervolemia dengan berbagai penyebab neurologis membandingkan
osmolaritas antara 300 dan 320 mOsm/L sehingga penggunaan mannitol dan NaCl hipertonik
membutuhkan monitoring selama terapi.1-3 terhadap relaksasi otak dan balans elektrolit.
Pada penelitian ini dilakukan pemberian cairan Penelitian tersebut menyatakan bahwa mannitol
hiperosmolar, yaitu mannitol 20%, NaCl 3%, dan NaCl hipertonik memberikan efek yang sama
dan natrium laktat hipertonik pada 39 pasien terhadap relaksasi otak yang dinyatakan dengan
8 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
BRS.10 Penelitian yang dilakukan di Makassar natrium laktat hipertonik rerata nilai klorida yaitu
terhadap 42 pasien dengan COT sedang pada 102,38 ± 2,328, 109,07 ± 3,904, 103,07 ± 3,662
tahun 2012 membandingkan efektivitas Na laktat (p=0,000). Hal ini menggambarkan terjadinya
dan Mannitol terhadap relaksasi otak dan kadar peningkatan klorida yang signifikan pada
glukosa, menunjukkan bahwa natrium laktat kelompok NaCl 3% yaitu 107,69 ± 3,923 (1 jam
hipertonik memberikan relaksasi otak yang sama setelah pemberian osmoterapi), dan 109,07 ± 3,904
dibanding dengan mannitol 20% namun dengan (saat duramater dibuka). Sebuah studi prospektif
profil hemodinamik yang lebih stabil. Walaupun di Brazil tahun 2009 yang dilakukan selama
demikian, peningkatan kadar glukosa yang 5 bulan mengevaluasi kejadian hiperkloremia
signifikan juga terjadi pada kelompok pasien pascaoperasi pada 393 pasien yang dilakukan
yang diberikan natrium laktat hipertonik.7 operasi dan pada kelompok pasien dengan kadar
klorida>114 meq/L memiliki insidensi asidosis
Namun pada beberapa penelitian lain, metabolik yang lebih tinggi dan angka mortalitas
mengungkapkan bahwa NaCl 3% dan natrium yang lebih tinggi dengan p=0,001. Pada penelitian
laktat hipertonik memberikan relaksasi otak yang ini meskipun terdapat peningkatan nilai klorida
lebih baik, yaitu pada penelitian di India tahun 2014 yang signifikan pada kelompok NaCl 3% (109,07
terhadap 114 pasien yang menjalani kraniotomi ± 3,904) namun tidak mengakibatkan gangguan
tumor supratentorial elektif menyatakan bahwa klinis yang bermakna. Peningkatan nilai klorida
NaCl 3% hipertonik memberikan relaksasi otak yang signifikan pada kelompok pemberian NaCl
yang lebih baik dibanding dengan mannitol yang 3% disebabkan pada larutan ini terapat jumlah
diukur dengan BRS dan penelitian prospektif klorida yang tinggi yaitu Cl- 513 mEq/L.7,13,15
dengan randomisasi dan buta ganda (double Pemberian natrium laktat hipertonik sebagai
blind) di Taiwan terhadap 106 pasien yang osmoterapi dapat memberikan efek samping
menjalani operasi kraniotomi elektif karena peningkatan glukosa darah. Hal ini ditemukan
tumor otak supratentorial membandingkan efek pada penelitian yang dilakukan di Perancis dan
mannitol dan NaCl 3% terhadap relaksasi otak Makasar sebelumnya dimana terjadi peningkatan
menunjukkan hal yang sama.1,14 Hal ini dapat gula darah yang signifikan setelah pemberian
disebabkan oleh jumlah subjek penelitian yang natrium laktat hipertonik disbanding dengan
lebih sedikit pada penelitian ini. Pada penelitian kadar gula darah pada pemberian mannitol 20%.
di India, penelitian dilakukan pada 114 pasien Hiperglikemia dipercaya dapat memperburuk
yang menjalani operasi tumor otak supratentorial, luaran neurologis pasien, namun mekanisme
begitu juga pada penelitian di Taiwan dimana tersebut belum jelas. Sebuah hipotesis menyatakan
jumlah sampel penelitian berjumlah 106 pasien.1,9 bahwa penumpukan glukosa di sistem saraf
pusat mengakibatkan substrat tambahan untuk
Pemberian NaCl 3% dapat mengakibatkan memproduksi asam laktat saat periode iskemik
peningkatan nilai klorida. Tingginya klorida dan peningkatan laktat intraseluler memiliki
dalam darah dapat mengakibatkan asidosis efek neurotoksik yang menyebabkan kematian
hiperkloremik dan dapat berpengaruh terhadap neuron. Pada studi klinis, hiperglikemia yang
luaran pasien. Pengukuran nilai klorida dilakukan berhubungan dengan penurunan luaran neurologis
pada penelitian ini yaitu sebelum dan 1 jam setelah setelah cedera otak traumatik, stroke iskemia
pemberian osmoterapi serta saat duramater akut, dan perdarahan subarakhnoid adalah bila
dibuka. Nilai klorida sebelum osmoterapi tidak glukosa <200mg/dl. 8-10
ada perbedaan bermakna antara ketiga kelompok Glukosa darah pada penelitian ini diukur
(p>0,05). Setelah 1 jam pemberian osmoterapi sebelum pemberian osmoterapi, 1 jam setelah
perbandingan antara nilai klorida pada kelompok pemberian osmoterapi, dan saat duramater
mannitol 20%, NaCl 3% dan natrium laktat dibuka. Glukosa darah sebelum pemberian
hipertonik yaitu 103,07 ± 4,071, 107,69 ± 3,923, osmoterapi didapatkan tidak ada perbedaan yang
102,53 ± 3,799 (p=0,003). Saat duramater dibuka signifikan (p>0,05). Glukosa darah setelah 1
pada kelompok mannitol 20%, NaCl 3% dan jam pemberian osmoterapi kelompok mannitol
Perbandingan Mannitol 20%, NaCl 3% dan Natrium Laktat Hipertonik terhadap Osmolaritas 9
dan Brain Relaxation Score Pasien Tumor Otak yang menjalani Kraniotomi Pengangkatan
Tumor
20% memiliki rata-rata sebesar 116,92 ± 17,380, osmoterapi dapat disesuaikan dengan keadaan
kelompok NaCl 3% sebesar 123,46 ± 18,025 klinis pasien karena efek samping yang berbeda
dan kelompok Natrium laktat hipertonik sebesar pada setiap pemberian osmoterapi (hiperkloremia
131,15 ± 26,981 (p=0,269). Glukosa Darah saat pada pemberian NaCl 3%, hiperglikemia pada
durameter dibuka pada kelompok Mannitol 20%, pemberian natrium laktat hipertonik, dan diuresis
NaCl 3% dan natrium laktat hipertonik, yaitu yang banyak pada pemberian mannitol 20%).
134,00 ± 29,586, 126,23 ± 21,506, dan 166,53 mannitol 20% masih merupakan pilihan pertama
± 30,231 (p=0,001). Peningkatan glukosa darah dari pemberian terapi osmoterapi karena efek
secara signifikan pada pemberian Natrium laktat samping yang lebih ringan disbanding dengan
hipertonik dengan nilai rerata 166,53±30,231 NaCl 3% dan natrium laktat hipertonik.
mg/dL yaitu saat duramater dibuka. Meskipun
terjadi peningkatan, nilai glukosa pada pasien Daftar Pustaka
yang diberikan natrium laktat hipertonik masih
di bawah 200 mg/dL. natrium laktat hipertonik 1. Malik ZA, Mir SA, Naqash IA, Sofi KP, Wani
adalah larutan natrium dan laktat yang didesain AA. A prospective, randomized, double blind
secara spesifik agar memiliki osmolaritas yang study to compare the effects of equiosmolar
sama dengan mannitol 20%. Peningkatan nilai solutions of 3% hypertonic saline and 20%
glukosa darah yang signifikan pada kelompok mannitol on reduction of brain bulk during
dengan pemberian natrium laktat hipertonik elective craniotomy for supratentorial
dikarenakan larutan ini mempunyai kandungan brain tumor resection. Anesth Essays Res.
laktat 504.1 mmol/L. Laktat dikenal sebagai 2014;8(3):388–92.
kunci metabolit interseluler atau interorgan antara
glikolisis dan fosforilasi oksidatif yang dapat 2. Sankhyan N, Raju KNV, Sharma S, Gulati S.
diproduksi dan digunakan oleh otak dalam kondisi Management of raised intracranial pressure.
patologis. Penelitian pada hewan dan manusia Indian J Pediatr. 2010;77:1409–16.
menunjukkan bahwa laktat dapat mencegah
efek neurologis hipoglikemia, mengindikasikan 3. Forster N, Engelhard K. Managing elevated
bahwa laktat sistemik dapat dimetabolisme oleh intracranial pressure. Curr Opin Anaesthesiol.
otak.9,16,17 2004;17:371–6.
Pada penelitian sebelumnya yang membandingkan
pemberian mannitol 20% dan NaCl 3% ataupun 4. Bisri T. Pengelolaan hipertensi intrakranial.
natrium laktat hipertonik mengemukakan bahwa Seri Buku Literasi Anestesiologi Dasar -
pada kelompok mannitol didapatkan diuresis yang Dasar Neuroanestesi. Edisi. Bandung: Saga;
lebih banyak.1, 9,18 Diuresis yang banyak dapat 2011; 60.
mengakibatkan hipovolemia durante operasi dan
menyebabkan gangguan elektrolit pascaoperasi. 5. Bisri T. Pengelolaan hipertensi intrakranial.
Perbandingan urin antara kelompok Mannitol Penanganan Neuroanestesia dan Critical
20%, NaCl 3%, dan natrium laktat hipertonik Care Cedera Otak Traumatik. Edisi.
dengan rata-rata sebesar 1984,61 ± 393,374 Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas
cc, 788,46 ± 173,390 cc dan 800,00 ± 156,790 Padjadjaran; 2012;187.
cc (p=0,000). Urin terbanyak didapatkan pada
kelompok mannitol 20%. 6. Torre-Healy A, Marko NF, Weil RJ.
Hyperosmolar therapy for intracranial
IV. Simpulan hypertension. Neurocrit Care. 2012;17:117–
30.
Pemberian osmoterapi mannitol 20%, NaCl 3%,
dan natrium laktat hipertonik dengan dosis 2,5mL/ 7. Silva JM, Neves EF, Santana TC, Ferreira
kgBB memberikan peningkatan osmolaritas UP, Marti YN, Silva JMC. The importance
plasma dan relaksasi otak yang sama. Pemilihan of intraoperative hyperchloremia. Rev Bras
10 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Abstrak
Latar Belakang dan Tujuan: Cedera Otak Traumatik (COT) berhubungan dengan disfungsi gastrointestinal
berupa perlambatan pengosongan lambung. Belum jelas adakah hubungan antara skor Glasgow Coma Scale
(GCS) dan derajat gangguan pengosongan lambung yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan
volume residu gaster pada pasien COT sedang dan berat serta mengkaji hubungan antara skor GCS dan volume
residu gaster pada pasien COT.
Subjek dan Metode: Penelitian observasional analitik cross-sectional ini dilakukan pada 42 pasien COT sedang
dan berat yang dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin dari bulan Desember 2016 hingga Juni 2017. Pengukuran
volume residu gaster, skor GCS, dan tanda vital dilakukan tiap 6 jam selama 48 jam. Data hasil penelitian diuji
dengan uji t tidak berpasangan, Chi Square, dan uji korelasi Pearson.
Hasil: Hasil penelitian menyatakan bahwa rerata volume residu gaster pada kelompok COT sedang dan berat
adalah 10,83 ± 8,15 ml dan 50,59 ± 18,23 ml (p 0,000). Korelasi antara skor GCS dan volume residu gaster
menunjukkan adanya korelasi negatif yang bermakna dan sangat kuat (r=-0,745 hingga -,974;p=0,000).
Simpulan: Volume residu gaster pada COT berat lebih banyak dari COT sedang dan terdapat hubungan antara skor
GCS dan volume residu gaster pada pasien COT.
Kata kunci: cedera otak traumatik sedang, cedera otak traumatik berat, glasgow coma scale, volume residu gaster
Correlation between Gastric Residual Volume and Glasgow Coma Scale (GCS) Score in
Patient with Moderate and Severe Traumatic Brain Injury
Abstract
Background and Objective: Traumatic Brain Injury (TBI) is associated with gastrointestinal dysfunction in the
form of delayed gastric emptying. It is not clear whether there is a relationship between Glasgow Coma Scale
(GCS) score and the degree of gastric emptying that occurs. This study aimed to compare gastric residual volume
in moderate and severe TBI patients and to examine the relationship between GCS score and gastric residual
volume in TBI patients.
Subject and Methods: This cross-sectional analytical observational study was conducted on 42 moderate and
severe TBI patients who were admitted to Dr. Hasan Sadikin from December 2016 to June 2017. Measurement
of gastric residual volume, GCS score, and vital signs were performed every 6 hours for 48 hours. The result data
were tested with unpaired t-test, Chi Square, and Pearson correlation test.
Results: The results showed that the mean gastric residual volume in moderate and severe TBI groups was 10.83 ±
8.15 ml and 50.59 ± 18.23 ml (p 0.000). The correlation between GCS and gastric residual volume showed a very
strong negative correlation (r=-0,745 to -,974;p=0,000).
Conclusion: Gastric residual volume in patient with severe TBI is more than gastric residual volume in moderate
TBI and there was a relationship between GCS score and gastric residual volume in TBI patients.
Key words: moderate traumatic brain injury, severe traumatic brain injury, glasgow coma scale, gastric residual
volume
JNI 2018;7 (1): 11‒6
11
12 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
pada pasien COT berat lebih banyak secara COT sedang dan berat mengalami gangguan
signifikan dari waktu ke waktu dan menunjukkan pengosongan lambung yang ditandai dengan
hubungan yang sangat kuat antara skor GCS dan peningkatan volume residu gaster.4,5
volume residu gaster (Gambar 1 dan Tabel 2).
Penelitian pada tahun 1991 terhadap 12 pasien
IV. Pembahasan COT sedang dan berat (GCS 4–10) menyatakan
bahwa dalam 2 minggu pertama terjadi gangguan
Pemberian nutrisi pada pasien COT terutama COT pengosongan lambung dan intoleransi pemberian
berat memberikan tantangan tersendiri karena nutrisi enteral.5 Penelitian lain dilakukan dengan
44–100% pasien dengan COT berat mengalami membandingkan waktu pengosongan lambung
disfungsi gastrointestinal yang ditandai dengan pada 35 pasien usia 25–52 tahun antara COT
peningkatan volume residu gaster.13 Sampai saat sedang dan berat (GCS 3–12) dan orang normal.
ini belum ada penelitian yang secara langsung Pengosongan lambung pada pasien dengan COT
mengukur dan membandingkan volume residu sedang dan berat memanjang secara signifikan.4
gaster pada pasien COT namun beberapa
penelitian menyatakan bahwa pada pasien dengan Volume residu gaster rerata pada pasien penelitian
Kelompok
Variabel COT Sedang COT Berat Nilai P
N=21 N=21
Usia (tahun)
Mean±Std 39,95±17,220 38,23±15,648 0, 772
Jenis kelamin
Laki-laki 13(61,9%) 13(61,9%) 1,000
Perempuan 8(38,1%) 8(38,1%)
BMI
Mean±Std 21.42±1.426 21.31±1.554 0,052
Median 21.069 21.093
Range (min-max) 18.55-23.88 18.37-24.22
Diagnosis
Contusio serebri 12(57,1%) 10(47,6%) 1,000
SAB dan contusio 5(23,8%) 6(28,6%)
serebri
SAH dan contusio 4(19,0%) 5(23,8%)
serebri
Keterangan: Untuk data numerik nilai p diuji dengan uji T tidak berpasangan apabila data
berdsitribusi normal dengan alternatif uji Mann Whitney apabila data tidak berdistribusi
normal. Data kategorik nilai p dihitung berdasarkan uji Chi-Square dengan alternatif uji
Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari Chi-Square tidak terpenuhi.
Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05.Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya
signifkan atau bermakna secara statistik.
14 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Hubungan
antara GCS R
dan Volume
Residu Gaster
Jam ke
nyeri, kecemasan, stress, penggunaan obat-obatan lebih banyak dibandingkan dengan pasien COT
antimuskarinik, opioid, penggunaan alkohol sedang dan terdapat hubungan antara skor GCS
sebelumnya, stenosis pilorik, obstruksi intestinal dan volume residu gaster pada pasien COT. Hasil
dan riwayat vagotomi sebelumnya.14 penelitian ini diharapkan dapat memberikan
Subjek penelitian ini adalah pasien COT sedang informasi mengenai hubungan volume residu
dan berat yang tidak memiliki penyakit penyerta lambung dan GCS pada pasien dengan COT serta
lain dan tidak mendapatkan obat-obatan yang dapat digunakan untuk data penelitian selanjutnya
memperlambat pengosongan lambung sehingga dengan metode pengukuran lain seperti USG
hal-hal yang memengaruhi volume residu gaster pada antrum lambung.
pada penelitian ini hanya pada sistem aksis
otak–gastrointestinal beserta berbagai mediator Daftar Pustaka
inflamasi yang dilepaskan akibat terjadinya
trauma. Peningkatan katekolamin mengakibatkan 1. Stutz HR, Charchaflieh J. Postoperative and
vasokonstriksi dan penurunan aliran darah intensive care including head injury and
saluran cerna.10,18 Semakin tinggi katekolamin multisystem sequelae. Dalam: Cottrell JE,
yang dilepaskan, semakin rendah perfusi pada Young WL, penyunting. Cottrell and Young's
sistem gastrointestinal sehingga volume residu Neuroanesthesia. Edisi. Philadelphia: Mosby
gaster akan meningkat. Hal ini mengakibatkan Elsevier; 2010, 407–8.
perubahan motilitas, mukosa, dan perlambatan
pengosongan lambung yang lebih signifikan 2. Olsen A, Heitz R, Xue H, Aroom K, Bhattarai
dibandingkan pada pasien COT sedang sehingga D, Johnson E, dkk. Effects of traumatic
pada pasien dengan COT berat masih terdapat brain injury on intestinal contractility.
volume residu lambung hingga jam ke-48. Neurogastroenterol Motil. 2013;25:593–
e463.
Berdasarkan uji Spearman antara variabel
GCS dan volume residu lambung didapatkan 3. Lucena AFd, Tiburcio RV, Vasconcelos
koefisien korelasi (r) antara -0,754 sampai -0,974 GC, Ximenes JDA, Filho GC, Graca
dengan p < 0,05. Hal ini menunjukkan korelasi RVd. Influence of acute brain injuries
signifikan dengan arah negatif yang kuat antara on gut motility. Rev Bras Ter Intensiva.
GCS dengan volume residu gaster. Arah korelasi 2011;23(1):96–103.
negatif menyatakan hubungan yang terbalik, yaitu
makin rendah GCS maka semakin tinggi volume 4. Kao C-H, Lai S-PC, Chieng P-U, Yen T-C.
residu gaster yang didapatkan. Keterbatasan Gastric emptying in head-injured patients.
pada penelitian ini adalah metode pengukuran Am J Gastroenterol. 1991;93(7):1108–12.
volume residu gaster. Beberapa faktor yang
memengaruhi hasil penelitian yaitu posisi ujung 5. Ott L, Young B, Phillips R, McClain MC,
pipa nasogastrik terhadap cairan lambung. Adams L, Dempsey R, dkk. Altered gastric
Konfirmasi posisi ujung pipa nasogastrik dengan emptying in the head-injured patient:
ultrasonografi diperlukan namun pada penelitian relationship to feeding intolerance. J
ini tidak memungkinkan karena keterbatasan Neurosurg. 1999;74:738–41.
alat dan kemampuan peneliti. Standar baku yang
dilakukan untuk mengukur volume residu gaster 6. Singh S. Neurogastroenterology:
adalah dengan pemeriksaan magnetic resonance gastrointestinal dysfunction from the
imaging (MRI). Namun, hal tersebut tidak dapat window of acute brain injury. Int J Stud Res.
dilakukan karena keterbatasan biaya dan fasilitas. 2013;3:1–4.
the neuro-enteric axis. J Neurotrauma. 14. Jolliffe DM. Practical gastric physiology.
2009;26:1353–9. Contin educ anaesth crit care pain.
2009;9(6):173–7.
8. Choi HA, Jeon S-B, Samuel S, Allison T, Lee
K. Paroxysmal sympathetic hyperactivity 15. Guyton AC, Hall JE. Secretory Function
after acute brain injury. Curr Neurol Neurosci of Alimentary Tract. Textbook of Medical
Rep. 2013;13:370–80. Physiology. Edisi ke-11. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2006, 91–807.
9. Fernandez-Ortega JF, Baguley IJ, Gates
TA, Garcia-Caballero M, Quesada-Garcia 16. Utne JB, Moshal M, Downing J, Spitaels
JG, Prieto-Palomino MA. Catecholamines J, Stiebel R. Fasting volume and acidity
and paroxysmal sympathetic hyperactivity of stomach contents associated with
after traumatic brain injury. J Neurotrauma. gastrointestinal symptoms. Anaesth.
2017;34:109–14. 1977;32:749–52.
10. Takala J. Determinants of splanchnic blood 17. Putte PVd, Vernieuwe L, Jerjir A, Verschueren
flow. Br J. Anaesth. 1997;77:50–8. L, Tacken M, Perlas A. When fasted is not
empty: a retrospective cohort study of gastric
11. Blaser AR, Malbrain MLNG, Starkopf J, content in fasted surgical patient. Br. J.
Fruhwald S, Jakob SM, Waele JD, dkk. Anaesth. 2017;118(3):363–71.
Gastrointestinal function in intensive
care patients: terminology, definition, and 18. Gelman S, Mushlin PS. Catecholamine-
management. Recommendation of the induced changes in the splanchnic circulation
ESICM Working Group on Abdominal affecting systemic hemodynamics. Anesth.
Problems. J Intensive Care Med. 2012. 2004;100:434–9.
12. Hurt RT, McClave SA. Gastric residual 19. Hang C-H, Shi J-X, Li J-S, Wu W, Li W-Q,
volumes in critical illness: what do they really Yin H-X. Levels of vasoactive intestinal
mean? Crit Care Clin. 2010;26:481–90. peptide, cholecystokinin and calcitonin
gene-related peptide in plasma and jejunum
13. Krakau K, Omne-Pontén M, Karlsson T, of rats following traumatic brain injury and
Borg J. Metabolism and nutrition in patients underlying significance in gastrointestinal
with moderate and severe traumatic brain dysfunction. World J Gastroenterol.
injury: a systematic review. Brain Injury. 2004;10(6):875–80.
2006;20(4):345–67.
Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan Tumor
Cerebellopontine Angle
Dhania Anindita Santosa*), Syafruddin Gaus**), Bambang J. Oetoro***), Siti Chasnak Saleh*)
Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo
*)
Surabaya, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin-RSUP
Dr. Wahidin Makassar, ***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Mayapada Jakarta
Abstrak
Prevalensi penyakit diabetes mellitus (DM) meningkat sangat cepat pada abad ke-21, terutama karena obesitas,
penuaan dan kurangnya aktivitas fisik. International Diabetes Federation (IDF) menyatakan diperkirakan
penderita DM menjadi 380 juta pada tahun 2025. Pasien dengan DM yang menjalani pembedahan mungkin sudah
disertai dengan penyakit lain akibat DM. Episode hipoglikemia, hiperglikemia dan variabilitas kadar gula darah
yang tinggi perioperatif memberikan risiko tingginya komplikasi perioperatif pada pasien. Seorang ahli anestesi
memegang peranan penting dalam pengelolaan perioperatif pasien-pasien seperti ini, terutama pasien bedah saraf
di mana otak sangat bergantung pada glukosa sebagai bahan bakar. Seorang wanita usia 46 tahun dengan DM
dan tumor cerebellopontine angle (CPA) menjalani pembedahan elektif eksisi tumor. Pembedahan dilakukan
dengan anestesi umum intubasi endotrakeal dan berjalan kurang lebih sembilan jam. Tantangan selama periode
perioperatif adalah menjaga kadar gula darah tetap dalam rentang target yang diinginkan untuk meminimalisir
cedera sekunder pada otak yang dapat mempengaruhi luaran kognitif serta komplikasi perioperatif yang mungkin
terjadi. Pascabedah pasien dirawat di ICU dengan bantuan ventilator dan dilakukan ekstubasi tiga jam pascabedah
dengan kadar gula darah stabil dan tanpa sequelae.
Abstract
Prevalence of patients with diabetes mellitus (DM) increases rapidly in the 21st century, mainly due to obesity,
aging and lack of physical activity. International Diabetes Federation (IDF) predicted that by the year of 2025, 380
million people will suffer from DM. Diabetic patients undergoing surgery might have other diseases caused by
DM. Episodes of hypoglycemia, hyperglycemia and high perioperative glucose level put the patients into higher
perioperative risks. Anesthesiologists play a key role in perioperative management in these patients, moreover in
neurosurgery pastients, as brain is very glucose-dependent. A 46 year old diabetic woman with cerebellopontine
angle (CPA) tumor underwent elective surgery of tumor removal. Surgery was done under general endotracheal
anesthesia and lasted for nine hours. Challenges during perioperative period are to maintain glucose level within
target range to minimize secondary injury to the brain which may influence cognitive outcome and other possible
perioperative complications. Patient was taken care at the ICU post operatively with ventilator. Patient was weaned
and extubated three hours later with stable glucose control and no sequelae.
17
18 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Gambar 1. MRI Kepala dengan Kontras menggambarkan Homogenous Enhancing Solid Mass
Berukuran 2,7 x 1,9 x 2,2 cm di Cerebellopontine Angle Kiri
isokor dengan refleks cahaya positif kanan carbamazepine tetap diberikan sesuai jadwal.
dan kiri. Selain dari penurunan pendengaran, Selain itu direncanakan untuk diperiksa gula darah
tidak didapatkan defisit neurologis lainnya. basal. Selain persiapan darah, juga dipersiapkan
Pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal. cairan infus D5 dan insulin di kamar bedah.
Pada pemeriksaan gula darah basal didapatkan
Pemeriksaan Penunjang hasil 131 mg/dL dan kemudian diberikan
Hemoglobin 13,9 g/dL, Hematokrit 42,9%, novorapid 12 IU subkutan dan direncanakan
Leukosit 10.500/mm3, Trombosit 379.500 μL. untuk periksa gula darah setelah induksi anestesi.
PPT 9,6 (kontrol 9-12), aPTT 27,1 (kontrol 23- Kondisi pasien sebelum induksi anestesi adalah:
33). Natrium 145 mEq/L, Kalium 3,9 mEq/L, tekanan darah 146/91, MAP 109 mmHg dengan
Chlorida 102 mEq/L, gula darah puasa 121 mg/ nadi 110 kali per menit reguler kuat angkat di
dL, gula darah 2 jam post prandial 178 mg/ arteri radialis. Skor GCS E4V5M6 dengan pupil
dL dan HbA1c 6,9%. BUN 5 mg/dL, kreatinin bulat isokor diameter 3 mm mata kanan dan
serum 0,82 mg/dL, SGOT 27 μ/L, SGPT 25 μ/L. kiri. Pasien tanpa distress napas dengan pulse
Dari pemeriksaan foto toraks didapatkan paru dan oximetry 99% tanpa suplemen oksigen.
jantung dalam batas normal, dengan EKG irama Induksi dilakukan dengan obat-obatan anestesi
sinus 100 kali per menit. Dari pemeriksaan MRI sebagai berikut: midazolam 2 mg, fentanyl 100
kepala dengan kontras didapatkan homogenous mcg, thiopental 250 mg dan rocuronium 50 mg.
enhancing solid mass berukuran 2,7 x 1,9 x Intubasi dilakukan dengan pipa endotrakea no.
2,2 cm dengan dural tail di cerebellopontine 7,0 dan dilakukan fiksasi pada 19 cm di tepi bibir.
angle kiri, mendapat feeding dari dural arteries, Dipasang kateter intra-arterial untuk monitor
mendesak nervus V, VII dan VIII yang tampak tekanan darah. Selama pembedahan dilakukan
pada fast imaging employing steady state dengan rumatan anestesi inhalasi isoflurane, O2
acquisition (FIESTA), merupakan meningioma dan air, kontrol ventilasi dengan FiO2 30 % dan
di cerebellopontine angle kiri. diberikan fentanyl secara kontinu. Setelah induksi
dilakukan pemeriksaan gula darah dan didapatkan
Pengelolaan Anestesi hasil 108 mg/dL. Gula darah kemudian diperiksa
Selama persiapan untuk pembedahan elektif, tiap jam dengan target antara 70–160 mg/dL.
pasien diberikan cairan infus berupa NaCl 0,9% Hasil analisa gas darah adalah sebagai berikut:
70 mL/jam. Insulin malam hari sebelum operasi pH 7,33 pCO2 36,7 pO2 91,4 HCO3 22,6 BE
tetap diberikan sedangkan insulin pada pagi hari –3,6 SaO2 98,5% dengan ETCO2 terbaca 34 saat
operasi tidak diberikan. Obat anti hipertensi dan diambil sampel darah.
20 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Gambar 2. Kondisi Hemodinamik dan Kadar Gula Darah Pasien selama Pembedahan
Selama pembedahan ditemukan tumor pada Tabel 1. Penyebab Hipoglikemia pada Pasien
CPA dan dilakukan eksisi tumor secara piece Neurocritical Care6
meal dan identifikasi n. V, VII dan VIII dengan (i) Kelaparan
bantuan Intraoperative Monitoring (IOM). Perawatan lama
Tumor tereksisi 99%. Tekanan darah berkisar 92–
Kehamilan
141/65–91 mmHg dengan MAP 57–110 mmHg
(ii) Dipicu oleh obat
selama pembedahan. Nadi berkisar antara 98-
110 kali per menit dan pulse oximetry 99–100%. Insulin (terapi insulin intensif)
Pada pemeriksaan gula darah pk 17.00 (8 jam Obat hipoglikemia
pembedahan berlangsung) didapatkan hasil 186 Alkohol
mg/dL sehingga diberikan insulin 4 IU iv dan Etomidate
dilanjutkan dengan pemberian secara kontinu Beta Blocker
sebesar 0,3 IU/jam. Satu jam kemudian didapatkan Cyprofloxacin
hasil gula darah 189 mg/dL sehingga pemberian
Salisilat
insulin kontinu dinaikkan menjadi 0,4 IU/jam.
Pembedahan berlangsung kurang lebih selama Enalapril
9 jam dengan keseimbangan cairan yaitu input Warfarin
NaCl 0,9% 1000 mL, koloid gelatin 500 mL, Asetaminofen
whole blood 700 mL dan mannitol 20% 200 mL. (iii) Sepsis
Estimasi perdarahan 1100 mL dan produksi urine (iv) Gangguan ginjal
selama pembedahan 975mL. (v) Gangguan liver
(vi) Endokrin
Pascabedah
Pascabedah pasien diobservasi di ICU dengan Hipopituitarisme
kondisi jalan napas bebas dengan pipa endotrakea Insufisiensi adrenal
dengan bantuan ventilator PSIMV rate 10 PC 8 Hipotiroidisme
PS 8 Trigger 2 I:E 1:2 PEEP 6 FiO2 30% dengan Hiperinsulinemia: nutrisi parenteral
luaran rate 20 kali per menit, volume tidal 405– (vii) Idiopatik
461 mL, ventilasi semenit 7,2–7,9, SpO2 100%, (viii) Iatrogenik
suara napas vesikuler pada kedua lapang paru
tanpa suara napas tambahan. Perfusi hangat kering Dikutip dari Godoy DA, Di Napoli M, Biestro A, Lenhardt
R. Perioperative glucose control in neurosurgical patients.
merah dengan tekanan darah 142/83, MAP 103
Anesthesiology Research and Practice 2012; 1-13.
mmHg. Nadi 107 kali per menit suhu timpanik
Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan 21
Tumor Cerebellopontine Angle
Tabel 8. Pemberian Insulin Kontinu Prabedah Tiga jam pascabedah dilakukan pemeriksaan
untuk Pembedahan Terencana11 gula darah stik dan didapatkan hasil 176 mg/dL,
Mulai infus insulin 0.5-1.0 IU/jam pasien kemudian diekstubasi. Hasil pemeriksaan
Kadar Glukosa Algoritme infus laboratorium pascabedah di antaranya Hb 12,9 g/
dL, Hematokrit 39,2%, Leukosit 14.040/mm3,
<80 mg/dL Hentikan insulin selama 30
menit, berikan 25 mL D50
Trombosit 326.000 μL. Natrium 147 mEq/L,
Kalium 3,6 mEq/L, Chlorida 110 mEq/L, gula
Cek ulang kadar gula darah
darah acak 126 mg/dL, Albumin 3,46 g/dL.
dalam 30 menit
81-120 mg/dL Turunkan infus insulin sebesar
Pemeriksaan gula darah dilakukan per 3 jam
0,3 IU/jam
setelahnya dengan hasil berturut-turut 171, 167
120-180 mg/dL Tidak ada perubahan infus
dan 152 mg/dL pada pk. 06.00 hari pertama
181-240 mg/dL Naikkan infus insulin sebesar pascabedah, masih dengan insulin 0,4 IU/jam iv
0,3 IU/jam kontinu. Pada hari pertama pascabedah, kondisi
> 240 mg/dL Naikkan infus insulin sebesar pasien adalah sebagai berikut: jalan napas bebas
0,5 IU/jam dengan pernapasan spontan 18–20 kali per menit,
Dikutip dari Hirsch IB, McGill JB, Cryer PE, White PF. suara nafas vesikuler kedua lapang paru tanpa
Perioperative Management of Surgical Patients with
Diabetes Mellitus. Anesthesiology 1991;74(2):346-359 suara napas tambahan, pulse oximetry terbaca
96–98% dengan suplementasi O2 21%. Tekanan
darah 136/81 mmHg dengan MAP 99 mmHg.
36,7°C. Kesadaran masih dalam pengaruh obat Nadi 98 kali per menit, teraba reguler dan kuat
anestesi yaitu propofol dan fentanyl kontinu. angkat pada arteri radialis. Suhu timpanik 36,8°C.
Produksi urine 70–100 mL/jam warna kuning Kondisi kesadaran pasien dengan GCS E4 V5
jernih. Pasien direncanakan untuk weaning dan M6 dengan pupil bulat isokor 3 mm mata kanan
sementara itu diberikan terapi di antaranya posisi dan kiri dan refleks cahaya positif. Produksi urine
head up elevasi 30°, NaCl 0,9% 80 mL/jam, injeksi 80–110 mL per jam dengan warna kuning jernih.
ceftriaxone 2 x 1 gram iv, ranitidine 2 x 50 mg iv, Pasien kemudian dipindahkan ke High Care
ondansetron 2 x 4 mg iv, fentanyl 30 mcg/jam iv Unit pada hari pertama pascabedah dengan tetap
kontinu, metamizol 3 x 1 gram iv, dexamethasone dilakukan observasi kadar gula darah per tiga
3 x 5 mg iv dan insulin 0,4 IU/jam iv kontinu. jam.
Gambar 2. Target kadar gula darah pada pasien cedera otak akut/bedah saraf. Di mana L/P: Laktat/
Piruvat dan BBB: Blood Brain Barrier. Dikutip dari Godoy DA, Di Napoli M, Biestro A, Lenhardt R.
Perioperative glucose control in neurosurgical patients. Anesthesiology Research and Practice 2012; 1-13
22 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
dapat menyebabkan kerusakan otak yang Diabetes Association adalah kadar glukosa darah
ireversibel karena pasien saraf yang sakit kritis yang lebih dari 140 mg/dLpada dua atau lebih sampel
bergantung pada glukosa yang cukup sebagai darah. Hiperglikemia bersama dengan iskemia
sumber energi untuk sistem saraf pusat (SSP), otak dikaitkan dengan sequelae klinis yang buruk
sehingga perlu didagnosis dini dan diterapi pada beberapa pasien bedah saraf. Di antaranya
dengan baik untuk mencegah kerusakan neuron perawatan di ICU lebih lama, kepulihan fungsi
yang ireversibel dan lebih jauh.7 Bahkan neurologis yang kurang baik, vasospasme otak
pengurangan sedang pada kadar gula darah dapat simtomatik dan pembesaran ukuran infark otak.1
menyebabkan neuroglikopenia yang jelas.7 Di Pada pasien bedah saraf, hiperglikemia pasca
lain sisi, beberapa penelitian baik observasional bedah secara umum terjadi karena stres,
maupun intervensional menunjukkan bahwa resistensi insulin dan hiperglikolisis. Selain
hiperglikemia pada pasien bedah saraf yang itu juga sebagai konsekuensi dari pemberian
diabetes maupun tidak dikaitkan dengan luaran kortikosteroid untuk mengendalikan edema otak.1
yang tidak diinginkan, seperti peningkatan Untuk kondisi hiperglikemia selama prosedur
terjadinya komplikasi, memanjangnya masa bedah saraf paling baik ditangani dengan
perawatan rumah sakit dan bahkan angka pemberian insulin iv kontinu. Pemberian insulin
mortalitas yang tinggi. iv kontinu ini bisa diberikan dengan konsentrasi
1 U/mL. Insulin dapat dimulai secara empiris
Selain itu, ada efek merugikan dari defisit dengan kecepatan 0,02 U/kg/jam, dan dititrasi
glukosa terhadap metabolisme otak. Pasien kemudian untuk mencapai target kadar gula
dengan hiperglikemia yang sebelumnya darah yang diinginkan. Pemberian kontinu ini
tidak diketahui, memiliki risiko lebih tinggi sebaiknya dimulai sebelum prosedur (2 sampai
dibandingkan pasien yang sebelumnya telah 3 jam sebelumnya) untuk memungkinkan
menderita diabetes mellitus (DM).4 Bukti-bukti dilakukannya titrasi. Pemeriksaan kadar gula
yang ada menunjukkan bahwa hiperglikemia darah dilakukan tiap jam selama pembedahan
memberikan konsekuensi negatif pada organ dengan kecepatan insulin diatur untuk
secara keseluruhan, termasuk otak. DM yang mencapai kadar gula sesuai rentang target.
tidak terdiagnosa dan hiperglikemia yang
terjadi di rumah sakit meningkatkan komplikasi Terapi Insulin Intensif memperbaiki luaran
pascabedah, biaya dan lama perawatan.3 pasien ICU neurologis dan bedah saraf,
Hiperglikemia terkait erat dengan prognosis berdasarkan Glasgow Outcome Scale (GOS).8
pada skenario cedera otak yang berbeda-beda.2 Hiperglikemia sendiri menyebabkan cedera
Namun demikian, belum ada konsensus yang otak sekunder dan terkait dengan peningkatan
menjelaskan apakah hiperglikemia secara mortalitas dan morbiditas. Kerusakan neuron
langsung bertanggungjawab terhadap luaran tampaknya tidak secara langsung berhubungan
yang buruk ataukah sebenarnya hanya fenomena dengan tingkat hiperglikemia. Di lain pihak,
yang terjadi bersamaan dengan kerusakan otak.2 TII berisiko menyebabkan pasien mengalami
Oleh karena itu, telah dihipotesiskan bahwa hipoglikemia yang terkadang menyebabkan
pengendalian kadar glukosa darah yang ketat deteriorasi neurologis yang halus yang mungkin
mungkin akan berdampak baik terhadap luaran sulit untuk dideteksi, khususnya dengan alat
pasien. Sebagai konsekuensinya, pengendalian ukur yang relatif tumpul (misal GOS) yang
kadar glukosa darah secara ketat menggunakan digunakan pada pasien sakit kritis.8 Pada meta
terapi insulin intensif (TII) banyak digunakan analisis oleh Ooi dkk8 ini efek merugikan
pada pasien neuro yang sakit kritis. Pengendalian hipoglikemia yang terdokumentasi jauh lebih
glukosa darah ketat didefinisikan sebagai menjaga ringan, hipoglikemia yang tidak terkontrol adalah
kadar glukosa dalam kisaran 80 sampai 110 mg/ komplikasi yang harus dihindari, karena pasien
dL. Bagaimanapun, data terkini menunjukkan saraf dan bedah saraf yang sakit kritis berisiko
efek merugikan TII pada jaringan otak. mengalami perburukan luaran neurologis karena
Hiperglikemia menurut konsensus American hipoglikemia. Sebuah keseimbangan yang baik
24 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
harus dicapai dalam menangani hiperglikemia tanpa gejala. Pasien dengan neuropati otonom
dan menghindari hipoglikemia berat. Stimulus perifer atau jantung berisiko terjadi hipotensi
pembedahan merupakan penyebab poten yang selama pembedahan, aritmia perioperatif,
mungkin mempengaruhi respons pasien terhadap gastroparesis, tidak sadar akibat hipoglikemia dan
stres dan mempengaruhi sistem metabolik dan hilangnya counterregulation glukosa.3 Adanya
endokrin, yang pada akhirnya mengarah pada takikardia saat istirahat, hipotensi ortostatik dan
ketidakseimbangan elektrolit dan penurunan hilangnya variabilitas nadi menandakan masalah
kadar insulin dalam darah yang kemudian yang potensial terjadi saat pembedahan. Kreatinin
menyebabkan gangguan respons imun dan serum mungkin bukan merupakan indikator
peningkatan kadar gula darah.1 sensitif untuk fungsi ginjal sesungguhnya pada
pasien tua dengan DM. Urin tampung 24 jam
Stres pembedahan mengaktifkan respons mungkin perlu dilakukan pada pasien dengan
neuroendokrin yang mungkin berfungsi melawan kreatinin serum meningkat, proteinuria atau
kerja insulin. Stres juga menyebabkan terjadinya hipertensi lama atau tidak terkontrol. Kerja
resistensi insulin yang dapat disebabkan karena insulin memanjang pada gangguan ginjal dan
sitokin proinflamasi dan faktor-faktor lain seperti dapat menyebabkan kadar gula darah yang sulit
beberapa obat. Hiperglikemia yang dipicu oleh diprediksi dan hipoglikemia. Hal yang harus
stres dapat menyebabkan disfungsi endotel, defek diingat adalah pasien dengan DM tipe II rentan
pada fungsi imun, peningkatan stres oksidatif, mengalami variabilitas kadar gula darah yang
perubahan protrombotik, efek kardiovaskuler dan mungkin disebabkan resistensi insulin yang
cedera pada daerah otak spesifik atau kerusakan/ mungkin memberat karena stres pembedahan.
iritasi hipotalamus langsung pada pusat regulasi
gula.1 Respons stres dapat dicegah dengan Pasien ini memiliki riwayat penyakit dahulu
kedalaman anestesia yang cukup. Maka dari berupa diabetes mellitus dengan terapi insulin
itu, ahli anestesi mempunyai peran yang sangat dengan dosis yang cukup besar. Walaupun
penting dalam memanipulasi kadar gula darah demikian, dilihat dari hasil pemeriksaan kadar
pada pasien diabetes selama pembedahan saraf. gula darah puasa, post prandial maupun HbA1C
Agar dapat mengatur kadar gula darah dengan masih dalam batas yang dapat diterima, sesuai
lebih baik, ahli anestesi harus menguasai cara rekomendasi American Diabetes Association.
kerja setiap obat anestesi. Pada pemeriksaan pra bedah, pada pasien ini tidak
didapatkan tanda-tanda penyakit penyerta lainnya
Evaluasi prabedah pada pasien dengan yang mungkin menyertai pasien dengan DM.
DM penting untuk mengetahui komplikasi Pada malam hari sebelum operasi pada pasien
yang mungkin dapat terjadi dan menangani ini tetap diberikan insulin levemir sebesar 13 IU,
komorbiditas.3 Untuk pembedahan elektif, penting sedangkan insulin pada pagi hari operasi tidak
untuk melakukan persiapan secara multidisiplin. diberikan. Keputusan ini tepat mengingat insulin
Sebelum pembedahan yang direncanakan, kadar long acting yang diberikan malam sebelumnya
gula darah pasien harus sedekat mungkin dengan adalah untuk memenuhi kebutuhan insulin
rekomendasi American Diabetes Association.3 basal pasien tersebut, sedangkan insulin pagi
Target yang ingin dicapai di antaranya HbA1C < harinya merupakan insulin yang diberikan bila
7%, rerata kadar gula darah puasa 90–130 mg/dL pasien tersebut mendapatkan asupan makanan
dan rerata kadar gula darah pasca prandial < 180 (tidak puasa). Hal ini dibuktikan dengan hasil
mg/dL.4 Prosedur pembedahan elektif sebaiknya pemeriksaan kadar gula darah yang sesuai
dijadwalkan pada pagi hari pada pasien dengan dengan harapan, dalam hal ini 131 mg/dL.
DM.3 Pembedahan elektif dapat ditunda sampai Belum ada penelitian spesifik mengenai
dengan kadar glukosa yang diinginkan sudah penanganan kadar glukosa perioperatif pada
tercapai. Pada pasien dengan DM, penyakit pasien dengan massa intrakranial. Kebanyakan
kardiovaskular dapat bermanifestasi secara tidak pasien yang akan menjalani reseksi tumor,
khas, terjadi pada usia relatif muda dan bahkan menerima terapi kortikosteroid perioperatif.
Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan 25
Tumor Cerebellopontine Angle
Selama pembedahan gula darah terpantau pada dan infeksi traktus urinarius dan menurunkan
kadar 91–186 mg/dL. Kurang lebih setelah 8 jam risiko pasien mendapatkan 2 atau lebih infeksi.8
pembedahan berjalan, kadar gula mulai tampak Pengurangan ini berkorelasi dengan batas target
meningkat dengan hasil pengukuran 186 mg/ kontrol gula darah. Efek menguntungkan pada
dL. Pada saat ini diberikan terapi insulin 4 IU infeksi ini menghilang sepenuhnya bila kadar
IV dan dilanjutkan dengan pemberian kontinu gula darah mencapai 170 mg/dL, yang pada
0,3 IU/jam. Pemeriksaan kadar gula darah 1 jam akhirnya menyarankan konsentrasi gula darah
sebelumnya menghasilkan 189 mg/dL sehingga yang lebih rendah lebih terpilih bahkan dengan
pemberian kontinu dinaikkan menjadi 0,4 IU/ target gula darah yang lebih longgar.
jam sampai dengan akhir pembedahan. Bila gula Meskipun ada risiko hipoglikemia pada kontrol
darah teregulasi sampai dengan di bawah 180 gula darah ketat dan TII, luaran neurologis pada 6
mg/dL direncanakan dilakukan ekstubasi. dan 12 bulan lebih baik pada pasien yang diterapi
dengan kontrol gula darah ketat dibanding yang
Tiga jam pascabedah di ICU pasien ini dengan diterapi gula darahnya secara konvensional.8
kadar gula darah 176 mg/dL dengan terapi Gambar 2 menunjukkan di rentang mana kadar
insulin 0,4 IU/jam. Pada saat ini pasien dilakukan gula darah harus dijaga pada pasien dengan
penyapihan dan kemudian diekstubasi. Kadar gula cedera otak akut.
darah kemudian direncanakan untuk diperiksa
tiap 3 jam dengan target 140–180 mg/dL. Pada akhirnya, kontrol gula darah pada pasien
Setelah penyapihan dan ekstubasi, kadar gula dengan cedera otak merupakan tantangan
darah terkontrol dengan tiap 3 jamnya masing- penanganan yang unik. Secara umum, terjadinya
masing sebesar 171, 167 dan 152 mg/dL, masih hipoglikemia, hiperglikemia dan variabilitas gula
dengan insulin 0,4 IU/jam. Pasien kemudian darah relatif sering terjadi pada populasi pasien
dipindahkan ke ruangan perawatan biasa ini, dan tampaknya lebih tinggi kejadiannya
dengan kondisi sadar baik dan tanpa sequelae. pada pasien yang sudah punya riwayat DM
Rentang optimal kadar gula darah pada pasien sebelumnya dan penggunaan TII. Semakin
bedah saraf dan pasien saraf yang sakit kritis sering episode ketiga kejadian ini, khususnya
belum ditentukan dan masih merupakan untuk variabilitas gula darah atau hiperglikemia,
kontroversi. Belum ada konsensus yang mengatur dikaitkan dengan risiko mortalitas lebih
target kadar gula darah pada periode perioperatif. tinggi dan pemanjangan waktu perawatan.
Pertanyaan berapa sebenarnya target kadar gula Ada berbagai macam regimen atau cara untuk
darah optimal belum dapat dijawab dengan pasti, memberikan insulin untuk mengelola kadar gula
terutama pada pasien saraf yang sakit kritis.5 darah dengan baik. Pada pasien ini, hasil akhir
Otak sangat rentan terhadap variasi kadar gula daripada kadar gula darah per 3 jamnya dalam
darah yang ekstrem. Krisis energi bahkan dapat rentang target yang diinginkan. Penanganan
terjadi pada kadar gula darah yang dalam rentang kadar gula darah perioperatif pada pasien
normal. Terdapat sedikit perbedaan pendapat ini cukup berhasil dengan baik tanpa pernah
mengenai rentang kadar gula darah optimal didapatkan kondisi hipoglikemia maupun
untuk pasien saraf yang sakit kritis, yaitu antara hiperglikemia yang ekstrem dan juga variabilitias
80 dan 180 mg/dL.12 Namun demikian karena kadar gula darah yang relatif tidak besar. Hal
beberapa hasil penelitian acak menunjukkan ini tidak hanya penting bagi luaran fungsional
relatif tingginya angka kejadian hipoglikemia yang lebih baik bagi pasien namun juga penting
ketika klinisi berusaha mempertahankan kadar untuk menghindarkan pasien dari komplilkasi
gula darah antara 80–110 mg/dL, diusulkan perioperatif yang tidak diinginkan.
pendekatan yang lebih konservatif, seperti
misalnya antara 110-180 mg/dL.12 Kontrol gula IV. Simpulan
darah ketat menurunkan kejadian empat kategori
mayor infeksi yang sering terjadi pada ICU saraf/ Baik hipoglikemia dan hiperglikemia memiliki
bedah saraf – pneumonia, sepsis, infeksi luka efek samping serius pada pasien dengan cedera
Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan 27
Tumor Cerebellopontine Angle
otak yang berlanjut dan menerima perawatan sakit closer? Current Opinion in Anaesthesiology
kritis. Kondisi hipoglikemia dan hiperglikemia 2010;23(5):539–43.
dapat memperluas cedera saraf dan berkontribusi
terhadap terjadinya infeksi dan perburukan 6. Godoy DA, Di Napoli M, Biestro A,
luaran jangka panjang. Pada pasien-pasien seperti Lenhardt R. Perioperative glucose control
ini, bukti yang saat ini ada menggarisbawahi in neurosurgical patients. Anesthesiology
pentingnya monitor ketat kadar gula darah. Research and Practice 2012; 1–13.
Untuk meminimalisir risiko hipoglikemia dan
mencegah perburukan kerusakan neuron terkait 7. Bilotta F, Giovannini F, Caramia R, Rosa G.
hiperglikemia, direkomendasikan untuk menjaga Glycemia management in neurocritical care
target gula darah antara 110–180 mg/dL. patients. J NeurosurgAnesthesiol 2009;21:2–9
Wahyu Sunaryo Basuki*), Dewi Yulianti Bisri**), Siti Chasnak Saleh***), Himendra Wargahadibrata**)
Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif RSAD Brawijaya Surabaya, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung***)Departemen Anestesiologi dan
Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Abstrak
Cedera medula spinalis akut relatif jarang namun menjadi salah satu kejadian trauma yang berakibat fatal.
Kejadian ini sering terjadi pada laki-laki dewasa muda. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama dari
kejadian ini, disusul oleh kejadian trauma di rumah, industri dan olahraga. Tujuan utama dari pengelolaan cedera
medula spinalis akut adalah mencegah medula spinalis dari cedera sekunder dan memperbaiki fungsi neurologis,
mencegah perubahan alignment dan menjaga stabilitas columna vertebralis untuk mendapatkan hasil pemulihan
neurologis dan rehabilitasi yang maksimal. Ahli anestesi berperan besar mulai awal pengelolaan secara optimal
cedera medula spinalis akut ini. Seorang laki-laki, 57 tahun, dibawa kerumah sakit karena kecelakaan sepeda
motor. Pada pemeriksaan fisis, didapatkan laju nafas 24x/menit, nadi 70x/menit, tekanan darah 110/61 mmHg,
perfusi baik, GCS 15, dan tetraparesis. Dalam perawatan selanjutnya, terjadi bradikardia (nadi 50-61 x/menit) dan
hipotensi (tekanan darah 80-90/40-60 mmHg). Dilakukan laminoplasti dekompresi stabilisasi segera.
Kata kunci: Bradikardia, cedera medula spinalis akut, hipotensi, laminoplasti dekompresi stabilisasi
Abstract
Acute spinalis cord injury (SCI) is relatively rare but can be a fatal trauma event. Young adult men are most
commonly affected. Traffic accident is a frequent cause, followed by accidents at homes, industries, and in sports.
The primary goals of the management of acute SCI are to prevent secondary injury of the spinal cord, improve
neurological functions, prevent disruption in alignment, and maintain the stability of the vertebral columns. These
serve to achieve neurological recovery and maximal rehabilitation. Anesthesiologists play an important role in the
optimal management of acute SCI. A 57-year-old man was brought to the hospital due to a motorcycle accident.
Physical examination revealed respiratory rate 24 x/minutes, heart rate 70 x/minutes, blood pressure 110/61 mmHg,
good perfusion, GCS 15, and tetraparesis. During hospitalization, the patient developed bradycardia (heart rate
50-61 x/minutes) and hypotension (blood pressure 80-90/40-60 mmHg). Immediate decompressive laminoplasty
stabilisation was performed.
Key words: Acute medula spinalis injury, bradycardia, decompressive laminoplasty stabilisation, hypotension.
28
Pengelolaan Perioperatif Cedera Medula Spinalis Servikal karena Trauma dengan 29
Tetraparesis Frankle C Asia
Hematom
Gambaran Hematom
Hari IV
Tanda-tanda vital baik tidak panas. Mode
Gambaran Fungsi Vital di ICU ventilator CPAP PS 8, respon pernafasan RR 18-
24x/menit. Volume Tidal 500 – 590 cc EtCO2 30
Perawatan di ICU – 33 mmHg, SpO2 98–100%,dengan kemampuan
Hari 1 di ICU batuk kuat dan status neurologis membaik.
penderita dirawat dengan ventilator mode Kesemutan berkurang, baal membaik. Analisis
PSIMV RR 13x, FlO2 40%, PC I2, TV 480- gas darah pH 7,46, PCO2 34,8 mmHg, PO2 190
500 cc, I:E 1 : 2, triger 1, PEEP 3, EtCO2 30–35 mmHg, HCO3 24,8 mmol, BE 2,9 mmol/L,
dengan SpO2 97 – 99%, MAP 80 – 90 mmHg, AaDO2 98.
CVP 8–11 dan suhu rektal 36,8–37,1, nadi 65–
78x/menit irama sinus. Terapi yang diberikan Hari V
balan cairan isosmoler 1500 cc dan NaCl 0,9% Penderita sadar baik, MAP 80–90 mmHg,
500 cc selama 24 jam, serta sonde D5 % 6x50 tekanan darah 105–135/65–72 mmHg, EtCO2 32,
cc, antibiotik, parasetamol 3x 1 gr, omeprazole SpO2 98%, suhu 36,8o C–37,1o C.
20 mg, dopamin 5–8 mikro/kgbb. Pemeriksaan Dilakukan ekstubasi, diberikan oksigen masker
laboratorium Hb 11,8 g/dl, Ht 35,6 vol%, Thr 6 Lt/menit.
18400/ul, Na 136mmol/L, K 3,4mmol/L, NaCl
104 mmol/L, GDS 113 mg/dl, analisa gas dalam Hari ke VIII
pH 7,36, PCO2 44 mmHg, PO2 108 mmHg, Pasca operasi penderita pindah ke ruang
HCO3 28,4 mmol /L, BE 2,1 mmol/L AADO2 80. perawatan, hari ke 30 pulang dengan GCS 15,
Suara nafas tambahan tidak ada, GCS E4 VxM6 status neurologis sensoris hipoalgesia negatif
tetra paresis, bising usus positif perut tidak (normal), reflek fisiologis normal, tonus spingter
kembung. Status neurologi: sensoris hipoalgesi ani baik.
positif, reflek fisiologis menurun dan tonus
spingter ani negatif. III. Pembahasan
spinal atau karena hipovolemi akan menyebabkan mempunyai efek vagolitik dan histamin release
aliran darah spinal menurun sehingga tekanan yang minimal sehingga stabilitas kardiologi
perfusi spinal akan terganggu. Hal itu semua terjaga.7 Pada pasien ini sebelum dilakukan
akan menyebabkan cedera sekunder.2,3,5-7 Cedera posisioning dilakukan pemasangan kateter vena
medula spinalis servikal tinggi menyebabkan sentral dan arteri line, nasogastrik tube, dan
gangguan sistem respirasi, kardiologik, dan tampon hipofaring untuk fiksasi pipa endotrakeal.
fungsi autonom. Gangguan atau disfungsi ini Pelaksanaan pengaturan posisi prone pasien
sering memerlukan perawatan dengan ventilator dilakukan dengan cara log roll menjaga posisi
mekanik dan terapi farmakologik.5-9 Penanganan in line serta menjaga stabilitas hemodinamik
pasien cedera medula spinalis pada fase awal karena disfungsi kardiologik yang terjadi seperti
atau inisial fase resusitasi adalah melakukan terjadinya hipotensi ortostatistik. Dilakukan
ABC control Spine. Mengamankan jalan nafas, perlindungan terhadap mata, mencegah distensi
memberikan oksigen yang adekuat serta menjaga lambung dengan membuka NGT, menjaga
tekanan darah sistolik dan MAP yang mencukupi abdomen yang bebas serta menjaga dari cedera
sehingga tidak terjadi cedera sekunder.2,4,7 syaraf perifer. Pada cedera medula spinalis yang
tinggi seperti servikal 3, servikal 4 atau servikal
Pada pasien ini GCS 15, airway dan kontrol 5 menyebabkan gangguan sistim respirasi
spinenya dijaga dengan memasang colar neck yang terjadi karena kelumpuhan otot inspirasi,
dan meletakkan pasien pada stretcher. Bila tidak ekspirasi, juga diapragma, serta kemampuan
ada colarneck bisa digunakan 2 bantal pasir batuk. Ventilasi mekanik untuk tindakan anestesi
kanan kiri kepala. Untuk oksigenasi diberikan disesuaikan dengan disfungsi yang terjadi yaitu
oksigen kanul 2–3 liter/menit, sedang untuk disfungsi respirasi, kardiologik dan autonom
mencegah hipovolema diberikan koreksi dengan yang terjadi pada pasien ini. Frekuensi nafas
cairan kristaloid balan cairan iso osmoler 500cc yang diberikan 13x|menit dengan tidal volume
cepat dan diberikan pemberian sulfas atropin 0,5 8cc/kg bb, sehingga minute volumenya 6,2 liter.
mg intravena untuk mengatasi bradikardia, serta FiO2 50% dengan oksigen air dan oksigen murni.
pemberian dopamin untuk mengatasi hipotensi Diberikan PEEP untuk menjaga alveoli, dengan
karena syok spinal. Hipoksi dan hipofolemi tetap menjaga hemodinamik. Pemilihan obat
pada pasien ini harus cepat diatasi karena untuk anestesi adalah propofol 4mg/kg/BB/jam dan
mencegah terjadinya cedera sekunder. Induksi sevoflurane 1% volume - 1,5% volume, serta obat
dan intubasi pada pasien cedera medula spinalis vekuronium 3mg/jam. Obat-obat anestesi tersebut
servikal pada trauma memerlukan keterampilan dipilih untuk menjaga stabilitas hemodinamik
dan kehati-hatian, karena trauma mekanik pada serta mempertahankan tekanan medula spinalis
saat suction trakea, tindakan laringoskopi, perfusi dan menurunkan laju metabolisme.10,11
intubasi endotrakea, dapat menyebabkan Dipilih kombinasi propofol dan sevoflurane untuk
bradikardia sampai asistole.4,7,8 menjaga kedalaman anestesi dan menjaga gejolak
Menjaga alignment selama induksi intubasi hemodinamik. Dopamin diberikan sebanyak 3–8
akan mencegah cedera mekanik lanjutan, hal mikro/kgBB selama berlangsungnya operasi
ini memerlukan tehnik dan keterampilan dari tekanan darah pada MAP dipertahankan antara
ahli anestesi. Colar neck tetap dipasang, dan 80–90 mmHg. Pada setiap waktu operasi kondisi
manipulasi pada leher harus dilakukan seminimal normoglikemi normotensi, dan normovolemi
mungkin. Dilakukannya posisi manual in line pada dijaga dengan memberikan cairan rumatan
intubasi ini akan memperkecil terjadinya cedera kristaloid iso osmoler ringerfundin 2cc/kg bb/
pada saat intubasi.7 Untuk menjaga dan mencapai jam. Kondisi normo kapni dipertahankan dengan
MAP 85–90 mmHg dan tekanan sistolik diatas mengatur ventilasi mekanik sehingga tercapai
90 mmHg maka dilakukan pemberian propofol PaCO2 sekitar 35 mmHg dan pada operasi ini
2 mg/kgbb, fentanyl, secara titrasi serta dopamin dipasang monitor EtCO2 30–35. Monitor suhu
tetap diberikan secara kontinyu. Obat relaksasi dipasang di rektal dengan mempertahankan suhu
otot yang diberikan adalah vekuronium karena antara 36,6–37,1oC. Operasi berlangsung selama
34 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
lima jam, dilanjutkan perawatan di ICU dengan tetap baik. Mengatasi disfungsi respirasi dilakukan
ventilator mekanik, karena pada pasien ini terjadi dengan memberikan ventilasi mekanik dan
gangguan saraf motorik, sensorik serta autonom farmakologik. Disfungsi kardiologik, gangguan
karena cederanya. Cedera medula spinalis pada autonom diberikan obat-obat farmakologik.13-15
daerah servikal yang tinggi memerlukan bantuan Obat methyl prednisolon karena tidak diberikan
ventilasi mekanik. Berat ringannya disfungsi karena tidak terbukti membeikan hasil yang
respirasi tergantung dari level lesi spinalnya. baik tetapi menyebabkan infeksi dan gangguan
Lesi dibawah C4 masih ada pengaturan respirasi lambung.16,17
volunter. Gangguan fungsi otot intercostal
menyebabkan gerakan paradoksal keatas dari IV. Simpulan
thorak selama inspirasi; dan ekspansi yang
kurang selama inspirasi serta tidak stabilnya Pengelolaan perioperatif anestesi pada pasien
rongga thorak selama ekspirasi menyebabkan laki-laki 57 Th dengan cedera traumatik medula
retensi sekresi, infeksi paru, edema paru, dan spinalis servikal tinggi Frankle C Asia pada pasien
gagalnya ventilasi alveolar. Indikasi untuk ini dilakukan dengan cepat tepat dan baik yang
melakukan ventilasi mekanik dapat dilakukan sesuai dengan pedoman tahapan fase penanganan
dengan beberapa parameter seperti pada tabel.12 anestesi mulai fase primer sampai fase long term.
Perawatan cedera medula spinalis servikal tinggi
Selama dirawat di ICU dengan ventilator dan pada pasien ini memerlukan ventilator mekanik
dengan monitoring invasif maupun non invasif yang dapat dilakukan weaning relatif cepat dengn
pasien menunjukkan tanda-tanda vital yang baik perbaikan status neurologis disfungsi respirasi,
dan ada perbaikan status neurologis. Fungsi kardiologik dan perbaikan fungsi autonom yang
autonom juga membaik dengan fungsi gaster dan cepat. Hal ini dimungkinkan karena pengelolaan
peristaltik usus yang baik serta tonus sphingster anestesi yang baik cepat dan tepat akan
ani yang mulai timbul meskipun lemah. Penderita memberikan status neurologis bisa berjalan.
mulai dilakukan weaning ventilator untuk
mencegah terjadinya komplikasi dari ventilator Daftar Pustaka
seperti pneumonia, prolong ventilator. Dalam
hal ini weaning perlu hati-hati karena bila 1. Van Middendorp J J, Goss B, Susan U, Atresh
terjadi prematur akstubasi maka harus dilakukan S, Williams RP, Schuetz M. Diagnosis and
reintubasi. Ada beberapa kriteria untuk ekstubasi prognosis of traumatic spinal cord injury.
yaitu: tidak panas, tanda vital baik, VC 15 ml/ Global Spine J 2011; 1: 1–8.
kgBB, inspiratory force >–24 cmH2O, Respirasi
stabil selama 24 jam, PaO2 >75, PCO2 35–45, 2. Wirasinghe V, Grover S Ma D, Vizcaychipi
pH 7.35–7,45, tidak menggunakan PEEP, FiO2 M. Anaesthetic management of patients with
tidak lebih dari 25% dan sekret bisa dikeluarkan, acute spinal injury. The Internet Journal of
kondisi umum baik selama 24 jam, thorax foto Anesthesiology. 2010;30 (1).
baik, secara psikologis baik dan bisa bekerja
sama.12 Kriteria tersebut tidak semua dilakukan 3. Yilmaz T, Turan Y, Keles A. Pathopysiology
seperti pemeriksaan vital capacity. Kondisi of the spinal cord njury. Review article.
pasien yang relatif baik selama pasca operasi Journal of clinical and experimental
dimungkinkan karena pengelolaan perioperatif Investigation.2014;5(1): 131–6.
dan tindakan pembedahan yang segera dilakukan.
Resusitasi ABCs yang dilakukan adalah untuk 4. Elif C, Copuroglu C, Sahin SH, Ciftdemir
mencegah hipoksia dan hipotensi yaitu dengan M. Anaesthesia management in spinal cord
menjaga tensi sistolik diatas 90mmHg dan MAP injury patients. The Journal of Turkish Spinal
mencapai 85–90 mmHg. Surgery. 2015;26(2): 173–6.
Hal itu akan menyebabkan tekanan perfusi spinal 5. Brown R, Anthony DF, Jeanette HD, Eric G.
Pengelolaan Perioperatif Cedera Medula Spinalis Servikal karena Trauma dengan 35
Tetraparesis Frankle C Asia
Respiratory dysfunction and management in 11. Veale P, Lamb J. Anesthesia and acute spinal
spinal cord injury. Respircar. 2006 August; cord injury. Br J Anaesth. 2002; 5(2) 139–43.
51 (8) : 835–87.
12. Berlly M, Shem K. Respiratory management
6. Grigorean VT, Sandu AM, Popescu M, during the first five days after spinal cord
Iacobini MA, Stoian R, Neascu C, Pop F. injury. J spinal Cord Med 2007; 30: 309–18.
Cardiac dysfunctions following spinalcord
injury. Journal of Medicine and Life.2009; 13. Neil D, Armagan D. Anesthetic consideration
2(2): 133–45. in acute spinal cord trauma. Int J Crit ill Inj
Sci. 2011; 1 (1)
7. Stier R, Asgarzadief G, Cole DJ. Neurosurgical
diseases and trauma of spine and spinal cord: 14. Berlowitz DJ, Wadsworth B, Ross J,
anaesthetic considerations. Dalam: Cotrel Respiratory problems and management in
JE, Patel, eds. Cottrel and Piyush Neuro people with spinal cord injury. Breathe 2016;
anesthesia, 6th Ed. Philadelphia. 2017, 351– 12(4):328–40.
409.
15. Michelle D, Mckinlay J. Cervical cord injury
8. Alexander F, Daniel HJ, Spinal cord injury: and critical care. Continuing Education
evidence based medicine, diagnosis, in Anesthesia, Critical Care and Pain.
treatment, and complication. Dalam: Layon 2009;9(3):82–6.
JA, Gabrielli A, William FA. eds. Texbook of
Neuro Intensive Care. 2nd Edition. London: 16. Botelho RV, Daniel RW, Boulosa JLR, Colli
Springerve-Verlag 2013, 619–41. BO, de lucena Farias R, Moraes OJS, et al.
Effectiveness of methyl prednisolone in
9. Ryken TC, Hurlbert RJ, Hadley MN, Aarabi acute spinal cord injury. A systemic review of
B, Dhail SS, Gelb DE. The acute cardio randomized controlled trials. Rev Assoc Med
pulmonary management of patient with Bras 2009; 2010; 56 (6): 729–37.
spinal cord injuries. Neuro surgery. 2013;
72(3):84–92. 17. Hurlbert RJ. Strategies of medical
intervention in the management of acute
10. Rao USG. Anaesthetic and intensive care spinal cord injury. Spine 2006;31(2): 516–21.
management of traumatic cervical spine
injury. Indian Journal of anaesthesia. 2008;
52 (1): 13–22.
Talaksana Perioperatif Pasien dengan Reseksi Arteriovenous Malformation Intrakranial
terapi intensif Rumah Sakit Mayapada ,***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Hasanudin
Makassar
Abstrak
Tindakan pembedahan eksisi arteriovenous malformation (AVM) merupakan salah satu prosedur yang menantang di
bidang neuroanestesia. Diagnosis AVM ditegakkan berdasarkan gejala klinis didukung pemeriksaan neuroradiologis.
Untuk persiapan perioperatif pasien AVM yang optimal, ahli anestesi harus memahami patofisiologi AVM dan
tatalaksananya. Terapi pada pasien AVM sangat tergantung pada ukuran diameter AVM dan lokasinya. Target
utama dari operasi adalah memotong pasokan aliran darah ke AVM. Dengan tindakan reseksi AVM, bila AVM
sudah dapat diidentifikasi maka pasokan aliran darah akan dihentikan dan dilakukan pengangkatan nidus. Pada
kasus ini dilaporkan seorang wanita usia 19 tahun dengan nilai GCS 15, BB 59 kg, datang dengan keluhan sering
sakit kepala semenjak 1 tahun sebelum masuk RS. Hasil angiografi otak menunjukan adanya gambaran AVM di
lobus parietal kanan. Dilakukan tindakan reseksi AVM dan pembedahan berhasil dengan baik. Tidak timbul defisit
neurologis pascabedah. Pascabedah pasien dirawat di ICU dan pindah keperawatan keesokan harinya.
Abstract
Arteriovenous malformation (AVM) resection is one of the most challenging procedures in neuroanesthesia.
Right now, cerebrovascular surgery is frequently done. The diagnosis of intracranial AVM is based on clinical
symptoms and is supported by neuroradiological examination. For optimal perioperative management of patients
with intracranial AVM abnormalities, anaesthetist should understand the pathophysiology of the AVM disorder and
its management. Therapy in AVM patients is highly dependent on the size of the AVM diameter and its location.
The main target of surgery is to cut the blood supply to the AVM. In AVM resection, as soon as AVM can be
identified, the blood supply will be stop anf the nidus will be remove. In this case report: a 19 year old woman,
score GCS 15, 59 kg in weight cames with frequent headache since the previous years before entered the hospital.
Brain angiographic results showed intracranial AVM features in the right parietal lobe. The patient underwent the
AVM resection action and the operation was done successfully. No neurological deficit was found. Postoperative
patients were admitted to the ICU and moved to the ward the next day.
36
Tatalaksana Perioperatif Pasien dengan Reseksi Arteriovenous Malformation 37
Intrakranial
Tabel 1. Skala Spetzler-Martin Grading untuk AVM Kekuatan motorik ekstremitas atas dan bawah
Intrakranial baik.
Karakteristik Nilai
Pemeriksaan Laboratorium
Ukuran AVM
Pemeriksaan penunjang dan tambahan didapatkan
Kecil (< 3 cm) 1 data berikut:
Sedang (3-6 cm) 2
Besar ( > 6 cm) 3 Hasil analisis gas darah: pH 7,356. pCO2 56
Lokasi mmHg. pO2 78 mmHg. Base excess 3,7. Pada
Area non eloquent 0 foto toraks PA tidak ditemukan adanya kelainan.
Area eloquent 1 EKG didapatkan hasil irama sinus, laju jantung
70 x/menit, aksis normal, tidak ditemukan
Pola drainase vena
gangguan konduksi dan perubahan segmen ST.
Area superfisial 0
Dari hasil angiografi otak didapatkan gambaran
Lokasi non superfisial 1 sesuai arteriovenous malformasi di lokasi lobus
Dikutip dari: Sinha PK1 parietal kanan dengan nidus berukuran kira kira
2,9 x 2,5 cm. Feeding arteri A. cerebri media
Anamnesis: kanan segmen 3 dan draining vein pada vena-
Pasien dengan riwayat sering sakit kepala dan vena kortikal lobus parietal kanan dan sinus
kejang berulang semenjak 1 tahun sebelum sagitalis superior.
masuk rumah sakit. Frekwensi kejang sekitar 2-3
kali per bulan. Kejang terakhir satu hari yang lalu Penatalaksanaan Anestesi
setelah dirawat. Setelah kejang pasien tetap sadar. Kesadaran pasien compos mentis saat masuk
Sebelumnya pasien berobat ke dokter neurologi kamar operasi, E4M6V5. Tekanan darah 130/90
dan mendapatkan terapi fenitoin 3 x 100 mg. mmHg, laju nadi 70 x/menit, laju nafas 14 x/menit,
suhu 37 oC. Jalur intravena terpasang di tangan
Pemeriksaan Fisik kanan. Dilakukan pemasangan alat monitor
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran tekanan darah non-invasif, denyut jantung dan
compos mentis. Tekanan darah 130/90 mmHg, saturasi O2. Dilakukan pemasangan akses CVP
frekwensi nadi 70 kali per menit, laju nafas 14 kali dan pipa nasogastrik. Belum ada fasilitas monitor
permenit, suhu 37oC. Auskultasi bunyi jantung end tidal CO2 dan alat pengukur tekanan darah
I,II regular, tidak didapatkan bunyi rhonki dan invasif. Pasien diberikan premedikasi dengan
wheezing di kedua lapang paru. Abdomen lunak, midazolam 2,5 mg dan fentanyl 50 mcg intravena
tidak ada nyeri tekan dan tidak distensi. Pasien (iv). Dilakukan induksi yang lancar untuk proteksi
dengan Mallampatti 1 dan buka mulut maksimal. otak menggunakan propofol 100 mg iv, fentanyl
Tidak ditemukan gangguan nervus kranialis. 150 µg iv, lidokain 80 mg iv dan rocuronium
Gambar 2. Penampakan Langsung AVM sesudah Gambar 3. Kondisi Pasien Pascaoperasi sebelum
Dura dibuka dan sebelum Dilakukan Reseksi Dilakukan Ekstubasi
kgBB/jam dan pelumpuh otot rocuronium 36 mg/ dan stereotactic radiosurgery (gamma knife)
jam. Posisi operasi terlentang. Dilakukan head up untuk mengurangi ukuran AVM dan pasokan
meja operasi sekitar 20o. Pemeliharaan anestesi aliran darah. Tindakan embolisasi endovascular
dilakukan dengan gas O2: udara: sevofluran sebelum tindakan pembedahan dapat mengurangi
=1:1 dengan kombinasi kontinyu fentanyl dan risiko perdarahan intraoperasi dan pascaoperasi.
pelumpuh otot rocuronium. Dengan dilakukannya teknik microsurgical
dikombinasi dengan embolisasi dan didukung
Dilakukan ventilasi kendali selama operasi. dengan kemajuan teknik neuroanestesia telah
Pascainduksi diberikan manitol 20% sebanyak 100 membuat kasus-kasus yang sebelumnya mustahil
cc. Pada saat membuka tulang tampak otak slack, untuk dilakukan tindakan pembedahan dapat
duramater putih dan berdenyut. Pada gambar 2 dilakukan reseksi total. Pada kasus ini di rumah
tampak penampakan AVM secara makroskopis. sakit kami belum tersedia fasilitas tindakan
Selama operasi hemodinamik (tekanan darah embolisasi endovascular dan stereotactic surgery.
dan frekwensi nadi) dan saturasi O2 terpantau Apabila harus dilakukan maka pasien harus
stabil. Pembedahan berjalan selama 6 jam 30 dirujuk ke rumah sakit tipe A dan pasien tidak
menit dengan perdarahan sekitar 200 cc. Cairan bersedia untuk dirujuk. Pasien direncanakan
masuk intraoperasi, kristaloid 1000 cc dan koloid untuk dilakukan terapi bedah. Manajemen
500 c. Cairan keluar intraoperasi urin sebanyak anestesi perioperatif yang optimal dapat dicapai
300 cc. Selama tindakan pembedahan rentang dengan pemahaman target tujuan tatalaksana
hemodinamik relatif stabil. Setelah tindakan AVM dengan patofisiologi yang mendasarinya.1,2,9
pembedahan selesai, pasien tidak diekstubasi dan
dipindahkan ke ICU. Ekstubasi dilakukan setelah AVM intrakranial memiliki tiga komponen,
3 jam pascabedah dengan kondisi kesadaran feeding arteries, nidus dan draining veins.
pasien compos mentis dan hemodinamik stabil. Gambaran makroskopik AVM akan tampak
Keesokan harinya pasien dipindahkan ke ruang koneksi arterio-vena tanpa disertai adanya
perawatan biasa. Pada gambar 3 terlihat kondisi capillary bed. Akibatnya akan terjadi high flow
pasien pascaoperasi sebelum dilakukan ekstubasi shunt-low resistance yang dapat menimbulkan
perubahan struktur feeding arteries dan
III. Pembahasan draining veins timbulah hiperplasia otot polos
pembuluh darah dan jaringan ikat di sekitarnya.
Tidak semua AVM intrakranial dilakukan tindakan Pembuluh darah akan menjadi abnormal dan
pembedahan maupun invasif. Arteriovenous melemah. Seiring waktu dapat terjadi pecah
malformation bisa ditemukan secara tidak AVM intrakranial karena peningkatan tekanan
sengaja pada saat skrining CT-scan penyakit lain. intralumen pembuluh darah. Risiko pecah AVM
Tindakan reseksi pembedahan disertai dengan intrakranial sekitar 1–3 % per tahun. Apabila
kombinasi dengan embolisasi intraoperatif belum terjadi obliterasi AVM sempurna maka
masih merupakan pilihan tatalaksana utama risiko perdarahan tetap ada. Risiko perdarahan
pada AVM. Standar baku untuk menilai hasil juga tetap ada pada embolisasi endovascular yang
tindakan pembedahan adalah angiografi otak hanya parsial. Pada saat dilaksanakan tindakan
pascaoperasi. Keputusan untuk melakukan jenis reseksi AVM, dilakukan eksisi feeding arteri
tindakan dilakukan berdasarkan pertimbangan terlebih dahulu, kemudian nidus dan terakhir eksisi
faktor usia pasien, kondisi secara umum dan draining vein. Target utamanya adalah obliterasi
neurologis serta jenis AVM intrakranial yang total AVM intrakranial. Apabila memungkinkan
terdapat. Pilihan tatalaksana AVM menjadi dilakukan angiografi intraoperasi atau dilakukan
preferensi ahli bedah dan persetujuan pasien. pascaoperasi. Stereotaktic radiosurgery menjadi
Setelah tindakan embolisasi endovascular alternatif terapi selanjutnya apabila tidak
diharapkan AVM intrakranial dapat obliterasi dapat dilakukan obliterasi total. Pada kondisi
sempurna. Embolisasi endovascular dilakukan ini risiko perdarahan tetap ada. Alasan utama
sebagai tindakan awal sebelum terapi bedah untuk melakukan tindakan pembedahan pasien
Tatalaksana Perioperatif Pasien dengan Reseksi Arteriovenous Malformation 41
Intrakranial
dengan AVM adalah untuk mencegah terjadinya anestesi pada saat dilakukan pemeriksaan
perdarahan intrakranial spontan, sebagai neuroradiologis (CT atau angiografi), embolisasi
tatalaksana kejang yang refrakter terhadap terapi endovascular, untuk stereotactic radiosurgery
farmakologis dan mencegah terjadinya defisit atau untuk terapi pembedahan pengangkatan lesi
neurologis akibat AVM. Tindakan reseksi AVM AVM. Pemilihan obat maupun teknik anestesi
dilakukan pada AVM yang letaknya superficial dan harus menganut prinsip dasar neuroanestesi. Pada
tidak dilakukan pada AVM yang letaknya dangat dasarnya manajemen anestesi pada reseksi AVM
dalam. Pada kasus ini pasien dengan keluhan intrakranial sesuai dengan prinsip proteksi otak
sering sakit kepala dan kejang sesuai dengan pada lesi/tumor yang lain. Autoregulasi otak tetap
manifestasi klinis AVM. Kejang tetap terjadi harus dipertahankan sepanjang operasi. Dengan
hingga satu hari menjelang operasi meskipun pilihan regimen anesthesia yang tepat harus
terapi fenitoin sudah diberikan. Tindakan reseksi dicapai brain relaxation, kendali hemodinamik
pembedahan dianjurkan pada kasus dimana AVM dan pemulihan segera pascaanestesi.1,5
terletak pada area otak non-eloquent. Menurut
American Stroke Association rekomendasi waktu Target utama saat induksi anestesi adalah induksi
operasi adalah elektif. Pada kasus ini operasi yang mulus dan menghindari terjadinya lonjakan
dilakukan sesuai dengan rekomendasi. Tindakan hemodinamik yang berlebihan. Risiko pecahnya
dilakukan sebelum timbul suatu defisit neurologis AVM pada saat induksi umumnya sedikit. Namun
dan perdarahan intrakranial spontan. Apabila harus diingat bahwa sebagian pasien dengan
sudah terjadi suatu hematoma intracerebral atau AVM juga dapat memiliki aneurisma intrakranial
jika timbul tanda-tanda yang mengancam nyawa sehingga harus dicegah terjadinya lonjakan
dan juga bila diperlukan pemasangan drainase kardiovaskular pada saat induksi. Rentang
eksternal maka harus segera dilakukan operasi hemodinamik dipertahankan sama dengan kondisi
segera/emergensi untuk mencegah terjadinya pasien sebelum operasi. Dosis opioid yang cukup
herniasi otak.8,9 untuk mencegah respon kardiovaskular yang
berlebihan pada saat laringoskopi dan intubasi.
Pasien dengan AVM bisa datang dengan keluhan Digunakan fentanyl misalnya dengan dosis 3–7
sakit kepala, kejang, hidrosefalus dan perdarahan mcg/kgBB dan lidokain 1–1,5 mg/kgBB. Obat
intrakranial. Perdarahan intrakranial terjadi golongan penghambat beta (esmolol) juga dapat
pada 42–72% penderita AVM intrakranial. digunakan untuk mencegah terjadinya lonjakan
Kejang terjadi pada sekitar 20–25% kasus AVM kardiovaskular. Pada kasus ini digunakan fentanyl
intrakranial. Kejang bisa merupakan suatu kejang dengan dosis 3 mcg/kg BB dan lidokain untuk
fokal atau kejang yang menyeluruh. Sakit kepala mengurangi respon berlebihan pada saat intubasi.
timbul pada 15% kasus. Kelainan ini banyak Di rumah sakit kami belum tersedia sediaan obat
ditemukan pada rentang usia 20 sampai dengan golongan penghambat beta intravena.1,5,8,9
40 tahun. Paling sering pasien datang dengan
perdarahan intrakranial spontan (ICH spontan- Pilihan regimen anestesi yang digunakan akan
spontaneous intracranial hemorrhage). Kejang mempengaruhi keberhasilan operasi. Rumatan
terjadi akibat dari AVM. Pada AVM intrakranial anestesi dapat menggunakan teknik inhalasi atau
terjadi malformasi vascular terkait stealing TIVA. Obat-obatan yang digunakan harus yang
phenomena yang menyebabkan gangguan perfusi bersifat stabil terhadap fungsi kardiovaskuler
di area AVM sehingga timbullah disfungsi dan pulih sadar anestesi yang cepat. Dengan
neurologis. proses pulih sadar yang cepat maka dapat segera
Defisit neurologis juga dapat timbul sebagai dilakukan pemeriksaan neurologis. Kebanyakan
akibat penekanan efek massa dari AVM. Dalam obat anestesi intravena akan menurunkan
suatu penelitian dikatakan bahwa untreated AVM tingkat metabolisme otak. Penurunan ini disertai
intrakranial memiliki risiko jangka panjang untuk dengan peningkatan resistensi pembuluh darah
terjadinya perdarahan, stroke dan kematian.2,3,8 dan penurunan aliran darah otak. Sebaliknya
Pasien dengan AVM memerlukan pengelolaan kebanyakan anestesi inhalasi akan meningkatkan
42 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
aliran darah otak (efek vasodilator) dan sebaiknya di rawat di ruang ICU selama minimal
menurunkan tingkat metabolisme otak. 24 jam. Karena lama operasi yang panjang pada
kasus ini pasien tidak segera dilakukan ekstubasi.
Peningkatan aliran darah otak akan dapat Ekstubasi dilakukan setelah sekitar 3 jam di
menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial. 1,2,8 ICU. Pascabedah kesadaran compos mentis
Terdapat beberapa komplikasi pada masa dan hemodinamik stabil. Tidak timbul kejang
perioperatif yang harus dihindari dan wajib dan tidak diketemukan defisit neurologis baru
dicegah. Perdarahan intrakranial dapat terjadi selama perawatan di ICU. Bila dapat dilakukan
sebelum dilakukan terapi definitif AVM pada pemulihan segera pascabedah (rapid emergence)
unsecured vascular malformation. Stroke maka dapat secepatnya dilakukan pemeriksaan
iskemik dapat terjadi apabila timbul gangguan neurologis. Apabila pascaoperasi ditemukan
perfusi otak intraoperatif. Komplikasi ini baru perubahan tingkat kesadaran atau defisit
dapat disingkirkan apabila pasien sudah tidak neurologis baru maka pikirkan kemungkinan
dalam pengaruh obat-obatan anestesi dan dapat timbulnya perdarahan. Dilakukan pemeriksaan
dilakukan pemeriksaan neurologis. Perburukan neuroradiologis segera dan dikonsultasi teman
dapat terjadi akibat kenaikan dan penurunan sejawat terkait dan bila memang perlu pasien
cepat tekanan intrakranial. Keadaan ini dapat harus dipersiapkan untuk dilakukan tindakan
terjadi karena ketidakstabilan hemodinamik bedah kembali. Pada kasus ini pasien di rawat
kardiovaskular yang terlalu cepat (turun-naik di ICU selama 1 hari sebelum dipindahkan ke
tekanan darah). Diketahui tekanan perfusi otak ruangan. Pascabedah tidak dilakukan pemeriksaan
adalah selisih dari tekanan arteri rerata dan angiografi ulang yang seharusnya secara teori
tekanan intrakranial. Risiko ini dapat dihindari dilakukan untuk menilai keberhasilan tindakan
dengan dilakukannya tatalaksana prinsip proteksi reseksi dan tatalaksana selanjutnya. Pascaoperasi
otak.8,10,11 risiko yang mungkin terjadi adalah sindroma
Normal Perfusion Pressure Breakthrough
Berdasarkan analisa diatas dapat disarikan (NPPB) serta komplikasi hyperemia. Insidennya
tujuan utama untuk mencegah terjadinya hanya kurang dari 5%. Kelainan ini dapat terjadi
komplikasi pada bedah serebrovaskular adalah intraoperasi ataupun pascaoperasi. Berupa
mencegah terjadinya pecah AVM/aneurisma, perdarahan otak multifocal dengan edema otak
mempertahankan tekanan perfusi otak dan yang berat. Peningkatan aliran darah pasca reseksi
aliran darah otak serta mengendalikan tekanan AVM dan hilangnya kemampuan autoregulasi
intrakranial dan mengurangi volume otak (brain diduga berkaitan dengan terjadinya komplikasi
relaxation) untuk visualisasi lapangan operasi NPPB. Diagnosis NPPB merupakan diagnosis
yang optimal. Apabila terjadi pecah AVM eksklusi setelah penyebab edema otak yang dapat
intraoperasi pasien bisa jatuh dalam kondisi shock dikoreksi/diterapi telah dapat disingkirkan.5,8,11
hemoraghik sedangkan manipulasi jaringan
otak selama tindakan akan meningkatkan risiko Pada periode perioperatif anestesi memegang
edema otak pasca operasi. Sebelum operasi peranan penting untuk mencegah terjadinya
dilakukan persiapan darah dan akses intravena kecacatan dan komplikasi. Harus dilakukan
yang memadai. Operasi sebaiknya dijadwalkan prinsip proteksi otak. Untuk mencegah terjadinya
terencana/elektif dan dapat dilakukan tindakan komplikasi perioperatif selama tindakan
embolisasi endovascular terlebih dahulu. Dengan pembedahan serebrovaskular harus dicegah
tindakan bedah sebaiknya dapat dilakukan terjadinya pecahnya AVM dan mempertahankan
pengangkatan keseluruhan feeding artery, nidus tekanan perfusi otak dan aliran darah otak.
dan draining veins secara total.10,11 Sementara tekanan intrakranial harus tetap dapat
dikendalikan dan brain relaxation harus dapat
Kondisi neurologi sebelumnya, lama operasi dan dicapai untuk memberikan lapang pandang yang
manipulasi selama operasi menentukan pasien optimal bagi ahli bedah. Pada periode pascabedah
akan diekstubasi atau tidak. Pascabedah pasien juga harus dicegah terjadinya lonjakan tekanan
Tatalaksana Perioperatif Pasien dengan Reseksi Arteriovenous Malformation 43
Intrakranial
Abstrak
Cerebral venous sinus thrombosis (CVST) adalah suatu sindrom seperti stroke, angka kejadiannya sangat jarang,
sehingga dapat menjadi dilema bagi dokter di instalasi gawat darurat dalam menegakkan diagnosis. Seorang lelaki
25 tahun, 50 kg, tinggi badan 165 cm, mengeluh lemah anggota badan sebelah kanan sejak 12 jam sebelum masuk
rumah sakit. Keluhan disertai dengan sukar berbicara. Satu hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mabuk-mabukan
dan mengalami muntah-muntah ± 3–5 x/hari. Riwayat kejang, konsumsi obat-obatan dan trauma sebelumnya
disangkal. Tidak ada riwayat demam, hipertensi, diabetes mellitus dan penyakit penyerta lainnya. Dilakukan
dekompresi evakuasi perdarahan sebagai tindakan penyelamatan jiwa setelah pasien terehidrasi, operasi dilakukan
dalam anestesi umum. Lama operasi selama 2 jam dan lama pasien teranestesi 2 jam 15 menit. Pasien dirawat
di ICU selama 2 hari, lalu dipindahkan ke ruang HCU. Pada hari ke-5 pascabedah mulai diberikan enoxaparin
sodium 50 mg subcutan selama 6 hari. Lalu pasien dipindahkan ke ruang rawat inap dan pulang ke rumah pada hari
ke-15 perawatan. Target pencapaian utama pada pasien CVST adalah untuk rekanalisasi penyumbatan, menjaga
venous return, mengurangi risiko hipertensi vena, infark serebral dan emboli paru. Algoritma tatalaksana pasien
CVST terkadang harus disesuaikan dengan kondisi klinis pasien saat tiba di rumah sakit. Pemberian low-weight-
moleculer heparin (LWMH) tetap diberikan selama tidak terjadi peningkatan tekanan darah yang bermakna.
Abstract
Cerebral venous sinus thrombosis (CVST) is a syndrome similar a stroke, the incidence is very rare, so it can be a
dilemma for doctors at emergency departments to make the diagnosis. A 25 year old male weighing 50 kg and height
165 cm. Patients complained of right limb wekness since 12 hours before admission. Complaints are accompanied
by difficulty speaking. One day before entering the hospital, the patient got drunk and experienced vomiting ±
3–5 times a day. History of seizures, previous consumption of drugs and trauma was denied. No history of fever,
hypertension, diabetes mellitus and other comorbidities. Decompression by hematoma evacuation was performed
as a life-saving action after the patient was hydrated, surgery was performed under general anesthesia. Operation
duration was 2 hours and anesthesia duration was 2 hours 15 minutes. The patient was admitted to the ICU for 2
days, then transferred to the HCU room. On the 5th day post-surgery patient got 50 mg subcutaneous enoxaparin
for 6 days. Then the patient was transferred to the ward and returned home on the 15th day of treatment. The main
achievement targets in CVST patients were for clotting recanalization, maintaining venous return, reducing the risk
of venous hypertension, cerebral infarction and pulmonary embolism. The CVST patient management algorithm
sometimes has to be adjusted to the patient's clinical condition upon arrival at the hospital. Provision of LWMH is
still given as long as the blood pressure does not increase significantly.
44
Tatalaksana Cerebral Venous Sinus Thrombosis dengan Alkoholik 45
dan Perdarahan Intraserebral
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan
Hb 12,9 g/dL; Ht 41,2 %; Leukosit 10300 /
µL; Trombosit 210 ribu/µL; BUN 39 mg/dL;
Kreatinin 1,2 mg/dL; GDS 139 mg/dL; Natrium
142 mmol/L; Kalium 4,0 mmol/L; PT 13,6 detik;
INR 0,76; APTT 31,9 detik; BT 3,3 menit; CT
7,3 menit; D-Dimer 0,1. Pada pemeriksaan CT-
scan: Transversus sinus, vein of labbe thombosis.
Tampak edema lokal disertai daerah infark di
sekitar perdarahan. Tampak sedikit pergeseran
midline shift.
Gambar 2. Keadaan Hemodinamik Pasien saat
Penatalaksanaan Anestesi
Operasi
Pasien dibawa ke kamar operasi, pasien diposisikan
head up 30o dan diberi O2 3 L/menit melalui nasal
kanul, kemudian dipasang tensimeter, chest piece campuran: fentanyl 300 µg + midazolam 20
EKG, pulse oxymetri dan IoC. Dilakukan induksi mg + vecurronium 20 mg dijalankan 6 ml/jam.
anestesi umum dengan pasien dilakukan induksi Dilakukan operasi evakuasi perdarahan, sebelum
dengan prinsip proteksi otak melalui kombinasi dura dibuka diberikan manitol 20% 0,5 gr/KgBB.
pemberian fentanyl 100 µg titrasi, propofol 100 Untuk analgetik pascabedah diberikan morfin 9
mg dan paracetamol 1 gr intravena. Total cairan
yang masuk NS 0,9% 2500 cc dan ringerasetat
500 cc, perdarahan ± 300 cc, jumlah urin yang
keluar 600 cc. Lama operasi 2 jam dan lama
pasien teranestesi 2 jam 15 menit. Tekanan darah
selama operasi 99/65–135/9 mmHg dan laju
nadi 78–108 x/menit. Penilaian status neurologis
pascabedah menunjukkan peningkatan dibanding
sebelum pembedahan.
vena kolateral memainkan peran penting dalam diduga berbagai mekanisme seperti gangguan
fase awal CVST, karena dapat mengkompensasi induksi irama jantung dan kelainan gerak dinding
perubahan tekanan intrakranial. Peningkatan jantung, hipertensi, peningkatan agregasi platelet
tekanan vena dan kapiler menyebabkan gangguan serta aktivasi kaskade pembekuan. Hal-hal ini
pada sawar darah otak sehingga menyebabkan yang menyebabkan aliran darah otak menurun
edema vasogenik, karena kebocoran plasma kerena gangguan stimulasi kontraksi otot polos
darah ke dalam ruang interstisial.15 otak.9-10 Pada pasien dengan konsumsi alkohol
berat tanpa disertai faktor predisposisi lain,
Karena tekanan intravena yang terus meningkat, mekanisme CVST mungkin dapat dijelaskan
perubahan parenkim ringan, edema otak berat lebih spesifik. Beberapa menelitian menunjukkan
dan perdarahan vena dapat terjadi karena ruptur bahwa hal ini terjadi karena dehidrasi dan
vena atau kapiler. Tekanan intravena yang hiperviskositas darah, sehingga terjadi trombus.9-10
meningkat dapat menyebabkan peningkatan Kondisi predisposisi yang biasa untuk CVST
tekanan intravaskular dan penurunan tekanan adalah penggunaan kontrasepsi oral, kehamilan,
perfusi otak. Hal ini mengakibatkan penurunan pasca melahirkan, gangguan pada faktor waktu
aliran darah otak dan kegagalan metabolisme prothrombotin, penyakit infeksi (khususnya
energi. Hal ini mengakibatkan masuknya air telinga-hidung-tenggorokan, susunan saraf
intraselular kerena kegagalan pompa Na + / K + pusat), gangguan sistem saraf pusat, kanker,
ATP-ase, sehingga terjadi edema sitotoksik.14-15 vaskulitis dan penyakit sistemik lainnya.1-14
Manifestasi klinis CVST pada pasien dengan
Alkoholik dan Cerebral Venous Sinus Thrombosis konsumsi alkohol berat yang tidak spesifik
Hubungan antara konsumsi alkohol berat dengan merupakan tantangan diagnostik untuk para ahli
peningkatan risiko stroke sangat erat. Hasil dari penyakit saraf dan bedah saraf. Gejala seperti
35 penelitian meta-analisis tahun publikasi 2003 sakit kepala, mual, muntah dan kantuk sering
menunjukkan risiko stroke yang lebih rendah terjadi pada veisalgia (istilah medis untuk
pada peminum yang mengkonsumsi alkohol ≤ mabuk) dan CVST.9-10 Hal ini menyebabkan
12 g alkohol per hari dibandingkan dengan orang diagnosis CVST sering terlewatkan pada pasien
yang bukan pecandu alkohol. Pecandu alkohol alkoholik. Para ahli harus lebih meningkatkan
ringan memiliki risiko stroke perdarahan sebesar kecurigaan pada pasien pecandu alkohol ke arah
17% lebih rendah dan 20% resiko stroke iskemik diagnosis CVST, bila timbulnya tanda dan gejala
lebih rendah dibandingkan dengan bukan pecandu klinis baru, seperti: penurunan kesadaran, kejang,
alkohol. Peminum moderat (12–23 g/ hari) juga gangguan sensorik, defisit neurologis fokal, atau
memiliki risiko stroke iskemik 25% lebih rendah paresis.9-10
dibandingkan dengan bukan pecandu alkohol.9
Pemeriksaan Penunjang pada Pasien CVST
Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 Pasien dengan dugaan CVST, pemeriksaan
menunjukkan bahwa angka kejadian kecacatan darah rutin terdiri dari pemeriksaan darah
dan kematian meningkat pada pecandu alkohol. lengkap, panel kimia, prothrombin time (PT), dan
Penelitian ini mempunyai ‘benang merah’/ activated partial thromboplastin time (APTT)
hubungan dengan penelitian yang dipublikasikan harus dilakukan. Skrining untuk kondisi kelainan
tahun 2003 tersebut bahwa terdapat korelasi hematolgik pada pasien dengan resiko tinggi
antara pecandu alkohol dengan stroke permanen CVST (Tabel 1) dianjurkan dilakukan
perdarahan.9-10 Penelitian yang dipublikasikan sejak pemeriksaan klinis awal.14 Nilai normal
tahun 2013 masih belum bisa membuktikan D-dimer sesuai dengan immunoassay sensitif atau
secara pasti mengenai hubungan antara konsumsi enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
alkohol ringan dengan stroke perdarahan, menunjukkan kemungkinan probabilitas CVST
sehingga masih diperlukan penelitian lebih sangat kecil. Jika ada kecurigaan secara gejala
lanjut dalam skala besar.10 Patofisiologi konsumsi klinis CVST yang kuat, nilai D-dimer normal
alkohol yang menyebabkan stroke belum jelas, seharusnya tidak menjadi tolak ukur untuk
50 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
dilakukan pemerikan pencitraan otak.14-15 pada akhirnya.14-16 Angka kematian pada CVST <
10%, tetapi seringnya penyebab kematian pasien
Computed tomography scan (CT-scan) dan MRI adalah penyakit yang mendasarinya, bukan
adalah pemeriksaan penunjang yang sangat kerena perdarahan intrakranial atau CVST. Hasil
berguna dalam membuat diagnosis CVST awal luaran fungsi neurologis pasien pada umumnya
dan spesifik. Pemeriksaan CT-scan menunjukkan bagus, angka kecacatan pada kasus CVST juga
hiperdensitas, sedangkan pada MRI tampak kecil. Sebuah penelitian retrospektif terhadap
hiperintensitas pada urutan T1W pada sinus 102 pasien dengan CVST dan 43 pasien disertai
trombosis akut.4,7 Magnetic resonance venography perdarahan intrakranial. Di antara 27 pasien CVST
(MRV) adalah pemeriksaan penunjang non- yang disertai perdarahan intrakranial (63%) yang
invasive pilihan untuk mendiagnosis CVST. diterapi dengan heparin intravena dosis anjuran,
Pada keadaan gejala klinis akut, MRV non- 4 pasien meninggal (15%), dan 14 pasien (52%)
kontras cukup akurat untuk diagnosis CVST. sembuh total. Dari 13 pasien yang tidak diterapi
Kontras MRV diperlukan untuk mengatasi heparin, angka kematian lebih tinggi (69%)
beberapa keterbatasan diagnostic MRV non- dengan perbaikan hasil luaran fungsi neurologis
kontras yang mungkin timbul pada kasus varian yang lebih rendah (hanya 3 pasien yang sembuh
anatomis, variabilitas sinyal trombus dan artefak total).12-14
pencitraan.4,5,8,11-14
Studi terbesar sejauh ini adalah International Study
Tatalaksana Pasien CVST on Cerebral Vein and Dural Sinus Thrombosis
Target pencapaian utama pada pasien CVST (ISCVST), yang melibatkan 624 pasien di 89
adalah untuk rekanalisasi penyumbatan, menjaga pusat di 21 negara. Hampir semua pasien diterapi
venous return, mengurangi risiko hipertensi vena, dengan antikoagulan sejak awal. Hasil dari
infark serebral dan emboli paru.15 Tatalaksana ISCVST melaporkan bahwa angka kematian 8,3%
CVST (Gambar 5). Algoritma ini tidak selama 16 bulan; 79% mengalami pemulihan
komprehensif, atau berlaku untuk semua skenario yang sempurna (dinilai dengan modified-Rankin
klinis dan pengelolaan pasien harus disesuaikan Scale (mRS) 0 sampai 1), 10,4% memiliki
dengan keadaan klinis. Terapi antikoagulan kecacatan ringan sampai sedang (skor mRS 2–3)
awal (TA) memiliki 3 tujuan dalam CVST: a) dan 2,2% tetap sangat cacat (skor mRS 4–5).10
untuk mencegah pertumbuhan trombus, b) untuk Data dari penelitian observasional menunjukkan
memfasilitasi rekanalisasi, dan c) mencegah resiko terjadinya komplikasi perdarahan
deep vein thrombosis (DVT) atau emboli paru.14 intrakranial setelah terapi antikoagulan < 5,4%.14
Ada kontroversi dalam pertimbangan untuk Penelitian lain melibatkan 57 wanita (dengan
rekomendasi mengenai terapi antikoagulan, CVST pasca melahirkan yang dikonfirmasi
karena infark serebral yang disertai perdarahan hanya dengan CT-scan) dengan kriteria eksklusi
intrakranial biasanya ada pada saat diagnosis pasien yang mengalami pendarahan intrakranial
CVST, sehingga hal ini menjadi dilemma dalam di CT-scan. Tatalaksana pasien dengan heparin
pengelolaan pasien.11-16 5000 IU per 6 jam, dosis disesuaikan dengan
pemeriksaan PT yang tidak meningkat 1,5 dari
Sejumlah penelitian observasional baik baseline setidaknya 30 hari setelah persalinan.
prospektif maupun retrospektif telah banyak Tiga pasien dalam kelompok kontrol meninggal
dilakukan. Tidak semua penelitian dilaporkan atau mengalami kecacatan dibandingkan
secara khusus mengenai hasil pengelolaan dengan kelompok terapi heparin. Dalam situasi
pasien dengan antikoagulan, karena sebagian khusus CVST dengan pendarahan intrakranial
besar pasien di kebanyakan penelitian diterapi dihubungkan dengan hasil luaran yang buruk
dengan unfractionated heparin (UFH) intravena dengan atau tanpa terapi heparin.12-16 Pada
atau heparin dengan berat molekul rendah (low- kasus yang kami tangani juga tidak sepenuhnya
molecular-wieght-heparin/LMWH) pada saat sesuai dengan algoritma tatalaksana yang sudah
diagnosis dan menggunakan antagonis vitamin K direkomendasikan. Hal ini disesuaikan dengan
Tatalaksana Cerebral Venous Sinus Thrombosis dengan Alkoholik 51
dan Perdarahan Intraserebral
kondisi klinis pasien saat tiba di rumah sakit. Pasien induksi anestesi dapat terjadi ketika vecuronium
datang dengan GCS 9–10 disertai perdarahan dikombinasi dengan golongan narkotik dalam
intrakranial, ada riwayat muntah sebelumnya dan dosis besar. Vecuronium tidak mengubah tekanan
defisit neurologis. Pada pemeriksaan CT-scan intrakranial atau aliran cairan serebrospinal. Hal-
terdapat perdarahan intrakranial disertai dengan hal inilah yang menjadikan vecuronium sangat
edema lokal dan sedikit pergeseran midline shift. popular digunakan dalam neuroanestesi.17-19
Hal ini menunjukkan bahwa sudah kemungkinan Sebagai analgetik pascabedah kami mengunakan
sudah terjadi peningkatan tekanan intrakranial. morfin dan paracetamol. Morfin merupakan
Ahli bedah saraf memutuskan untuk melakukan analgetik kuat dan tidak mempengaruhi sistem
dekompresi evakuasi perdarahan terlebih dahulu saraf pusat. Morfin biasa digunakan sebagai
sebagai tindakan penyelamatan jiwa. analgetik pascabedah saraf. Hipotensi yang
terjadi setelah pemberian morfin disebabkan
Tatalaksana anestesi pada prinsipnya sama dengan karena pelepasan dari histamin. Paracetamol
dasar-dasar neuroanestesi dan pengelolaan digunakan sebagai analgetik perifer, karena
pasien yang dilakukan tindakan operasi tidak mempengaruhi sistem saraf pusat. Selain
dekompresi evakuasi perdarahan. Untuk induksi itu paracetamol mempunyai efek antipiretik dan
kami menggunakan fentanyl, propofol dan antiinflamasi yang sangat bermanfaat pada pasien
vecuronium. Obat-obatan anestesi rumatan yang pascabedah saraf.19
digunakan: fentanyl, midazolam dan vecuronium
yang dicampur dalam satu syringe pump. Selain Pemberian cairan rehidrasi dan rumatan selama
itu, kami menggunakan isoflurane, O2 dan udara. pembedahan sesuai dengan aturan umum pada
Pemberian fentanyl pada aliran darah otak pasien bedah saraf lainnya yaitu menghindari
sulit dijelaskan dengan tepat kerena data penggunaan cairan yang hiperosmolar dan
eksperimen yang berbeda.17 Fentanyl termasuk cairan yang mengandung glukosa. Pemberian
golongan opioid, yang dapat memberikan efek NaCL 0,9%: RL, setiap pemberian NaCL 0,9%
sedasi, analgesia dan menyebabkan terjadinya sebanyak 3 botol, diberikan RL 1 botol (3:1).
penurunan pelepasan neurotransmitter otak, Jumlah cairan pemeliharaan 1–1,5 ml/KgBB/jam
sehingga autoregulasi, reaktivitas terhadap CO2 atau diganti 2/3 dari jumlah diuresis. Pemberian
dan hemodinamik tetap stabil. Akan tetapi, dosis manitol dosis kecil 0,25–0,5 mg/KgBB pada
kecil narkotik memberikan sedikit pengaruh kasus ini dinilai masih dalam batas aman sebagai
pada aliran darah otak dan CMRO2, sedangkan terapi edema lokal dengan memperhatikan secara
dosis besar menurunkan aliran darah otak dan ketat volume intravaskular.18 Untuk pemberian
CMRO2.17-19 terapi antikoagulan, kami tetap memberikan
pascabedah. Hal ini dengan pertimbangan untuk
Propofol mempunyai efek terhadap tekanan mecegah terjadinya komplikasi CVST lainnya.
perfusi otak disebabkan oleh menurunnya Kami menggunakan UFH 50 mg subcutan selama
tekanan darah, tetapi efek hemodinamik yang 6 hari, dengan target pemeriksaan PT dan INR
tidak menguntungkan ini dapat dicegah dengan tidak terjadi kenaikan > 1,5–2 x dari baseline.16
menghindari efek konsentrasi puncak, hal ini yang Pada pemeriksaan akhir PT 18,4 detik dan INR 1,5.
menjadi pertimbangan kami untuk menggunakan
midazolam. Midazolam menyebabkan penurunan IV. Simpulan
aliran darah otak dan CMRO2 secara paralel
sampai 40%. Dibandingkan dengan pentotal, Angka kejadian CVST pada seorang pasien
efek penekanan metabolisme otak lebih sedikit. alkoholik cukup tinggi. Hal ini disebabkan
Pemberian midazolam dosis kecil pun tidak karena terjadinya dehidrasi yang merubah aliran
terlalu mempengaruhi tekanan intrakranial. darah, struktur dinding vena dan komposisi
Keuntungan vecuronium adalah dapat menjaga dari darah. Algoritma tatalaksana pasien CVST
hemodinamik tetap stabil, walaupun dalam terkadang harus disesuaikan dengan kondisi
jumlah dosis besar. Bradikardia pada saat klinis pasien saat tiba di rumah sakit. Operasi
52 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
3. Stam J. Thrombosis of the cerebral veins and 12. Ferro JM, BousserM.-G., Canhão P, Coutinho
sinuses. N Engl J Med 2005; 352: 1791–1798. JM, Cassard I, Dentali F, et al. European
Stroke Organization guideline for the
4. Fischer C, Goldstein J, Edlow J. Cerebral diagnosis and treatment of cerebral venous
venous sinus thrombosis in the emergency thrombosis - endorsed by the European
department: retrospective analysis of 17 Academy of Neurology. European Stroke
cases and review of the literature. J Emerg Journal 2017; 2 (3): 195–221.
Med 2010; 38: 140–147.
13. Einhäupl K, Stam J, Bousser MG, De Bruijn
5. Guenther G, Arauz A. Cerebral venous SF, Ferro JM, Martineli I, Mashur F. EFNS
thrombosis: a diagnostic and treatment guideline on the treatment of cerebral venous
update. Neurologia 2011; 26: 488–498. and sinus thrombosis in adult patients. Eur J
Neurol 2010; 17: 1229–1235.
6. Oppenheim C, Domigo V, Gauvrit JY, Lamy
C, Mackowiak-Cordoliani MA, Pruvo JP, et 14. Saposnik G, Barinagarrementeria F, Brown
al. Subarachnoid hemorrhage as the initial RD Jr, Busnell CD, Cucchiara B, Cushman
presentation of dural sinus thrombosis. AJNR M, et al. Diagnosis and management of
Am J Neuroradiol 2005; 26: 614–617. cerebral venous thrombosis: a statement for
healthcare professionals from the American
7. Boukobza M, Crassard I, Bousser MG, Heart Association/American Stroke
Chabriat H. Radiological findings in Association. Stroke 2011; 42: 1158–92.
cerebral venous thrombosis presenting as
subarachnoid hemorrhage: a series of 22 15. Coutinho JM. Cerebral venous Thrombosis.
cases. Neuroradiology 2016; 58: 11–16. J Thromb Haemost 2015; 13 (1): S238–S44.
thrombosis. Curr Treat Options Neuro I 2014; Neuroanestesia Klinik, edisi ke-2, Surabaya:
16: 299–310. Zifatama; 2013, 49–60.
17. Bisri T. Penanganan neuroanesthesia dan 19. Wlody DJ, Weems L. Anesthesia for
critical care: cedera otak traumatik. Bandung: neurosurgery in the pregnant patient. Dalam:
Universitas Padjadjaran; 2012. Cottrell JE, Young WL, editor. Cottrell
and Young’s Neuroanesthesia, edisi ke-5,
18. Saleh SC. Cairan untuk tindakan bedah Philadelphia: Mosby; 2010, 416–24.
otak. Dalam: Saleh SC, editor. Sinopsis
Manajemen Anestesi Stroke Perioperatif
Endah Permatasari*), Dewi Yulianti Bisri**), Siti Chasnak Saleh***), Himendra Wargahadibrata**)
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSU Kabupaten Tangerang, **)Departemen Anestesiologi dan
*)
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran – RSUP Dr.Hasan Sadikin-Bandung, ***)Departemen
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD. Dr. Soetomo Surabaya
Abstrak
Stroke perioperatif merupakan suatu kejadian katastropik yang meningkatkan mortalitas dan morbiditas, terutama
pada usia di atas 65 tahun. Stroke perioperatif merupakan suatu momok (kejadian yang tidak diharapkan) bagi
keluarga dan rekan sejawat yang merawat. Stroke perioperatif dapat bersifat iskemik atau hemoragik yang terjadi
selama masa intraoperatif hingga 30 hari pascaoperasi. Faktor risiko terjadinya stroke perioperatif diantaranya
adalah: usia lanjut, riwayat stroke dan Transient Ischemic Attack (TIA) sebelumnya, atrial fibrilasi, kelainan
pembuluh darah dan metabolik. Umumnya stroke perioperatif tidak terjadi selama masa pembedahan atau saat
pulih sadar, tetapi terjadi dalam 24 jam pertama pascabedah. Penanganan stroke perioperatif membutuhkan
manajemen yang menyeluruh dan suatu kerjasama tim yang baik. Walaupun kejadiannya tidak banyak namun
membutuhkan penanganan tepat karena tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi serta mengakibatkan lama
perawatan memanjang. Identifikasi awal pasien dan manajemen terpadu lintas keilmuan harus dilakukan untuk
mencegah luaran yang buruk setelah terjadinya stroke perioperatif.
Abstract
Perioperative stroke can be a catastrophic outcome for surgical patients and is associated with increased morbidity
and mortality, especially in the age above 65. A perioperative stroke is an unexpected event for families and caring
colleagues. A perioperative stroke may be an ischemic or haemorrhagic disorder that occurs intraoperatively or
up to 30 days postoperatively. Risk factors for perioperative stroke include elderly, history of previous stroke and
transient ischemic attack (TIA), atrial fibrillation, vascular and metabolic disorder. Most perioperative stroke
generally does not occur during the intraoperative period or soon after recovering period but within the first 24
hours. Handling perioperative stroke requires a thorough management and a good teamwork. Perioperative stroke
can be devastating, as they not only result in death but also prolong the length of hospital stay, increasing cost and
greater likelihood of discharge to long term care facilities. Although the incidence is not much but this requires
appropriate treatment because of high morbidity and mortality and also result in prolong length of hospital stay.
Early identification and expeditious management involving a multidisciplinary approach is the key to avoid a poor
outcome following perioperative stroke.
54
Manajemen Anestesi Stroke Perioperatif 55
sebagai suatu infark otak yang terjadi karena dari 1000 pasien yang dilakukan pembedahan
iskemia atau hemorragik yang terjadi selama dengan risiko yang minimal pun dapat mengalami
pembedahan sampai dengan 30 hari pascabedah. stroke perioperatif dengan komplikasi mortalitas
Tidak seperti etiologi stroke pada komunitas, dan morbiditas yang bermakna. Angka kejadian
terdapat suatu mekanisme pencetus yang pasti stroke perioperatif berkisar antara 0,08% sampai
pada kejadian stroke perioperatif yaitu intervensi dengan 2.9% namun tindakan pembedahan
pembedahan. Mekanisme stroke perioperatif jantung, pembuluh darah dan otak memiliki angka
antara lain atherothrombosis otak, emboli kejadian stroke yang lebih tinggi, berkisar antara
jantung karena atrial fibrilasi dan hipotensi.4,5,9 2.2 % sampai dengan 5.2%. Pada pasien dengan
riwayat gejala keluhan otak dan pembuluh darah
Angka kejadian stroke perioperatif pada pasien (serebrovaskular) angka kejadian meningkat
yang menjalani tindakan pembedahan jantung mencapai 13%. Apabila terjadi stroke perioperatif
dan pembuluh darah serta neurologi lebih tingkat kematian mencapai 26%.4,7,10,11
tinggi karena adanya penggunaan mesin bypass
jantung-paru, manipulasi langsung jantung, Sebelum dilakukan pembedahan harus dieveluasi
otak dan pembuluh darah. Angkakejadian stroke ada tidaknya faktor risiko sehingga tindakan
perioperatif dapat dipengaruhi jenis dan kesulitan pencegahan dapat dilakukan dan dilakukan
dari tindakan pembedahan. Risiko terjadinya pertimbangan matang untuk evaluasi antara
stroke perioperatif lebih rendah pada anestesi risiko yang mungkin terjadi dengan manfaat yang
umum dan bedah non kardiak, tetapi menjadi bisa dicapai (risk-benefit ratio). Selain persiapan
lebih tinggi pada bedah jantung dan pembuluh perioperatif yang rutin dilakukan, pasien dapat
darah. Selain itu dikatakan stroke perioperatif dikonsultasikan ke teman sejawat neurologi
lebih banyak terjadi pada kasus bedah gawat bila diperlukan. Penanganan stroke perioperatif
darurat dibandingkan pada kasus elektif. Bukti membutuhkan manajemen yang menyeluruh dan
terakhir menunjukkan bahwa setiap satu pasien suatu kerjasama tim yang baik.5,12,13
Manajemen Anestesi Stroke Perioperatif 57
Tabel 2. Angka Kejadian Stroke Pasca Berbagai pembedahan harus dilakukan tindakan proteksi
Tindakan Pembedahan otak. Dokter anestesi memegang peran penting
Prosedur Risiko terjadinya untuk melakukan proteksi otak dan mencegah
stroke(%) terjadinya komplikasi neurologis. Komplikasi
Pembedahan minor 0,08-0,7 neurologis dari iskemia serebral selama
Pembedahan vascular perifer 0,8-3,0 pembedahan dapat berupa koma, kejang, stroke,
delirium dan gangguan neurokognitif.1,4,6,13
Reseksi tumor kepala-leher 4,8
Anestesi dan pembedahan dapat menyebabkan
Karotis endarterektomi 5,5-6,1
perubahan aliran darah otak dan autoregulasi
CABG 1,4-3,8 otak. Ditambah dengan kondisi hiperkoagualasi
Kombinasi CABG dan 4,8-8,8 pascabedah sehingga rentan terjadi iskemia
pembedahan katup jantung otak pascabedah. Berdasar prinsip tersebut
Pembedahan 2/3 katup jantung 9,7 harus dilakukan langkah-langkah pencegahan
Pembedahan repair aorta 8,7 terjadinya stroke perioperatif.4,13
Diambil dari: Selim M.7
Prabedah
Pada fase prabedah lakukan identifikasi faktor
stroke perioperatif dapat lebih lambat diketahui risiko dan optimalisasi penyakit penyerta
karena pasien sudah pindah rawat ke bangsal (komorbiditas). Pasien dengan atrial fibrilasi,
perawatan dan bukan di ICU. Berbeda dengan penyakit jantung koroner (CAD) dan hipertensi
pasien pembedahan jantung, bedah syaraf dan wajib dioptimalisasi terlebih dahulu sebelum
vaskular yang bisa lebih awal diketahui karena tindakan pembedahan untuk mencegah terjadinya
pasien masih dalam perawatan di ICU dan stroke perioperatif. Apabila terdapat kelainan
dilakukan pengawasan ketat.3 Pasien dengan atrial fibrilasi maka sebaiknya irama diupayakan
hipertensi yang tidak terkontrol dan pasien menjadi sinus kembali dengan frekwensi yang
dengan riwayat terapi obat antikoagulan termasuk normal. Pasien dengan diabetes mellitus sebelum
kelompok pasien risiko tinggi terjadinya stroke tindakan pembedahan harus terkendali gula
perioperatif. Etiologi stroke perioperatif termasuk darahnya. Pasien dengan hipertensi yang tidak
diantaranya adalah adanya aneurisma intrakranial terkendali dan pasien dengan riwayat terapi
dan malformasi arteriovena. Pada aneurisma obat antikoagulan termasuk kelompok pasien
intrakranial dan malformasi arteriovena terjadi risiko tinggi mengalami stroke perioperatif.
perubahan struktur pembuluh darah otak yang Kelompok pasien dengan terapi antikoagulan
rentan pecah pada saat terjadinya fluktuasi harus dilakukan pertimbangan matang untuk
tekanan darah mendadak terutama pada saat tetap melanjutkan terapi antikoagulan atau
induksi dan ekstubasi anestesi.1,4 menunda sementara tindakan pembedahan.
Pada masa pembedahan proses koagulasi
IV. Strategi Pencegahan Terjadinya Stroke dapat dipengaruhi oleh manipulasi tindakan
Perioperatif pembedahan, pemberian cairan dan kehilangan
darah. Trauma pembedahan dan cedera jaringan
Langkah awal untuk mencegah terjadinya akan dapat menyebabkan proses inflamasi
stroke perioperatif adalah identifikasi pasien dan hiperkoagulasi. Kondisi hiperkoagulasi
yang berisiko tinggi untuk mengalami stroke pascabedah merupakan kontributor utama stroke
perioperatif dan melakukan optimalisasi perioperatif. Obat-obat antikoagulan banyak
kondisi sebelum dilakukan pembedahan untuk diberikan pada pasien-pasien dengan risiko tinggi
mengurangi komplikasi neurologis. Pada terkena stroke perioperatif untuk mengurangi
kelompok pasien yang sebelumnya memiliki risiko tromboemboli. Pada dekade sebelumnya
riwayat kelainan serebovaskular harus dianggap ahli bedah akan langsung menghentikan
memiliki risiko tinggi mengalami stroke terapi aspirin, clopidogrel dan warfarin untuk
perioperatif. Selama periode anestesi dan menghindari perdarahan selama pembedahan.
Manajemen Anestesi Stroke Perioperatif 59
Namun penghentian obat-obatan ini dapat memicu masih banyak diperdebatkan. Dalam suatu
kondisi hiperkoagulasi dan meningkatkan risiko penelitian disebutkan bahwa pemantauan tekanan
terjadinya miokard infarct dan stroke iskemik. darah selama pembedahan harus diupayakan
Obat antikoagulan harus segera diberikan apabila mendekati tekanan darah sebelum pembedahan.
sudah diperbolehkan.4,5,6,7 Perubahan tekanan darah yang melebihi dari 20
mmHg atau lebih dari 20% dari nilai normal
Menjadi suatu pertimbangan khusus berapa lama prabedah dapat meningkatkan komplikasi
pembedahan harus ditunda pada pasien yang baru perioperatif. Pengendalian tekanan darah selama
mengalami stroke. Pada kondisi infark miokard pembedahan dan pascabedah untuk mendekati
sudah banyak kepustakaan yang menyebutkan rentang nilai prabedah dapat mengurangi
bahwa sebaiknya pembedahan ditunda paling risiko stroke perioperatif dan kematian.4,7,9,13,14
tidak 3 sampai 6 bulan. Namun tidak demikian
pada pasien dengan riwayat stroke sebelumnya. Pemantauan ketat kadar gula darah pada masa
Dalam suatu penelitian disebutkan bahwa tidak perioperatif sangat penting Baik hiperglikemia
ada kaitan bermakna rentang waktu antara ataupun hipoglikemia sama-sama dapat
riwayat stroke sebelumnya dengan kemungkinan mempengaruhi tingkat keberhasilan operasi.
terjadinya stroke perioperatif. Berdasarkan Pencegahan hiperglikemia dan hipoglikemia
konsensus dari SNSCC direkomendasikan untuk wajib dilakukan pada pasien dengan riwayat
menunda operasi sampai dengan tiga bulan diabetes mellitus. Meskipun pengendalian kadar
sesudah kejadian stroke sebelumnya untuk gula darah secara ketat belum dapat dibuktikan
mencegah terjadinya stroke berulang. Apa peran memiliki efek perlindungan terhadap pencegahan
anestesi dan pembedahan pada mekanisme stroke terjadinya stroke perioperatif, hiperglikemia
perioperatif? Anestesi umum dan pembedahan diketahui dapat memperburuk cedera otak (brain
dapat menyebabkan gangguan autoregulasi injury) dan menyebabkan peningkatan mortalitas
otak, perubahan aliran darah otak, dan proses pada kondisi iskemia serebral.
koagulasi pascabedah sehingga meningkatkan
risiko terjadinya stroke perioperatif. Pada Kondisi hiperglikemia sebaiknya ditatalaksana
keadaan ini rentan untuk terjadi hipoperfusi otak apabila sudah lebih dari 150 mg/dl dan kadar
terutama pada pasien-pasien dengan pembiusan gula darah yang tertinggi adalah 180 mg/
umum. Dinamika selama pembedahan dapat dl. Dengan target kadar gula darah antara
terjadi perdarahan, anemia dan hipotensi. 60–150 mg/dl. Untuk mencegah terjadinya
Diketahui stroke dapat mempengaruhi perubahan hipoglikemia, dosis insulin harus dikurangi bila
mekanisme autoregulasi otak yang dapat kadar gula darah mencapai 100 mg/dl. Pada
berlangsung sampai dengan berbulan-bulan semua kasus dengan risiko tinggi terjadi stroke
sehingga meningkatkan risiko terjadinya iskemia periopertif maka kadar gula darah harus selalu
otak. Selain meningkatkan risiko terjadinya dipantau dan lakukan koreksi bila diperlukan.5,13
stroke berulang juga akan meningkatkan risiko Obat anestesi inhalasi diketahui memiliki efek
terjadinya komplikasi kardiovaskular. Namun neuroproteksi terhadap iskemia otak pada
tetap harus dipertimbangkan secara matang penelitian binatang percobaan. Namun belum
manfaat dan risikonya antara penundaan ada penelitian efek neuroproteksi obat anestesi
tindakan pembedahan dan risiko terjadinya inhalasi pada manusia. Gas anestesi inhalasi
stroke perioperatif bila dilaksanakan.1,3-6 secara langsung memiliki efek dilatasi terhadap
pembuluh darah otak sehingga mungkin dapat
Intrabedah memperbaiki perfusi serebral. Kebalikannya
Tindakan proteksi otak pada masa intrabedah obat-obat anestesi intravena seperti propofol
dilakukan dengan pengendalian tekanan darah dan thiopental dapat mengurangi aliran darah
dan memastikan penghantaran oksigen yang otak karena efeknya terhadap penurunan
cukup (optimal oxygen delivery). Rentang metabolisme otak. Pada pasien-pasien yang
tekanan darah yang optimal selama pembedahan sudah dengan autoregulasi terganggu, kondisi
60 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
ini dapat menyebabkan ketidaksesuaian aliran faktor potensial penyebab kejadian komplikasi
oksigen ke otak. Belum dapat dibuktikan apakah serebrovaskular. Terapi antikoagulan harus
anestesi regional lebih baik daripada anestesi segera diberikan apabila sudah diperbolehkan
umum untuk mencegah stroke perioperatif. terutama pada pasien dengan atrial fibrilasi.3,4,6
Namun pada tindakan pembedahan ortopedi Apabila terjadi lambat pulih sadar dari anestesi,
esktremitas bawah (total knee replacement perubahan status mental dan timbul defisit
dan total hip replacement) anestesi regional neurologis baru harus diwaspadai terjadinya
lebih sedikit menyebabkan komplikasi stroke suatu stroke perioperatif. Segera dilakukan
perioperatif dibandingkan anestesi umum.5,7,13 langkah evaluasi untuk menyingkirkan terjadinya
Saat ini masih terbatas data yang menunjukkan stroke perioperatif dan dilakukan pemeriksaan
hubungan PaCO2 selama pembedahan dengan neuroradiologis bila diperlukan. Bila terjadi
insiden stroke perioperatif. Meskipun belum stroke perioperatif maka pasien harus dipantau
ada bukti langsung yang menunjukkan dan diawasi di ruangan neuro critical care atau di
teknik ventilasi selama pembedahan dengan unit perawatan stroke.
risiko terjadinya stroke, hiperventilasi akan
menyebabkan hipokapni yang berujung pada Pasien dikonsultasikan dan dirawat bersama
penurunan aliran darah otak hingga dapat timbul dengan teman sejawat neurologi. Jalan nafas harus
iskemia otak. Hiperventilasi dapat menyebabkan tetap dapat dipertahankan. Apabila nilai GCS
inverse steal phenomenon yang malahan akan dibawah 8 maka dilakukan intubasi untuk proteksi
meredistribusikan aliran darah dari area otak jalan nafas sekaligus untuk pencegahan terjadinya
yang mengalami iskemia. aspirasi lambung. Apabila diperlukan maka
Teknik hiperventilasi selama pembedahan pemeriksaan neuroradiologis harus dilakukan.
memiliki efek yang merugikan seperti penurunan Hypercapnia harus di cegah, tekanan intrakranial
oksigenasi, peningkatan kebutuhan oksigen harus dapat dikendalikan dan tatalaksana bila ada
jantung, disritmia dan penurunan aliran darah edema serebri. SpO2 harus dipertahankan di atas
otak. Sehingga sebaiknya tidak dilakukan 94% dengan pemberian oksigen dan ventilasi
hiperventilasi pada pasien yang dengan riwayat mekanik bila diperlukan. Irama jantung dipantau
stroke sebelumnya karena risiko penurunan aliran dengan monitor EKG kontinyu karena pasien
darah otak dan pertahankan kondisi normokapni stroke rentan untuk mengalami gangguan irama
bila memungkinkan.5,8,9,13 Semakin singkat jantung. Analgesia diberikan bila dianggap ada
lama pembedahan akan makin baik luaran rangsang nyeri karena nyeri dapat menimbulkan
hasil pembedahan dikaitkan dengan timbulnya respon stress dan harus dicegah.2,5,6,13
risiko stroke perioperatif. Makin lama waktu
pembedahan makin tinggi risiko timbulnya stroke V. Simpulan
perioperatif dan morbiditas lain. Manajemen
anestesi yang baik berperan penting untuk Stroke perioperatif walaupun jarang ditemukan
mencegah terjadinya komplikasi serebral.8,9 merupakan komplikasi perioperatif yang berat
yang dapat menyebabkan peningkatan morbiditas
Pascabedah dan mortalitas. Mengenali faktor risiko sangat
Kebanyakan stroke perioperatif terjadi pada masa penting dilakukan untuk mencegah terjadinya
pascabedah. Obat-obatan anestesi dan teknik stroke perioperatif. Karena kebanyakan faktor
anestesi dapat mempengaruhi insiden stroke risiko umumnya tidak dapat dihindari, tindakan
perioperatif. Namun hingga kini belum ada pembedahan elektif pada pasien yang pernah
penelitian prospektif yang ada. Lebih lanjut masih mengalami stroke sebaiknya minimal ditunda
dibutuhkan penelitian berbagai faktor yang dapat hingga 3 bulan sambil menunggu membaiknya
menyebabkan stroke perioperatif. Hipotensi di autoregulasi serebral. Pertimbangan antara
masa pascabedah merupakan salah satu penanda melanjutkan atau menunda tindakan pembedahan
stroke perioperatif dan harus dicegah agar tidak dilakukan dengan seksama.
terjadi. Hiperkoagulasi pascabedah merupakan
Manajemen Anestesi Stroke Perioperatif 61
3. Kim Jarmila, Gelb AW. Predicting 10. Szeder V, Torbey MT. Prevention and
perioperative stroke. Journal of Neurosurgical treatment of perioperative stroke. The
Anesthesiology 1995;3:211–15. Neurologist 2008;14(1):30–36.
4. Kam PCA, Calcroft RM. Peri-operative stroke 11. Brooks DC, Schindler JL. Perioperative
in general surgical patients. Anaesthesia stroke: Risk assessment, prevention and
1997: 52:879–83. treatment. Curr Treat Option Cardiovasc
Med 2014;16(2):282–98.
5. Mashour GA, Moore LE, Lele AV, Robicsek
SA, Gelb AW. Perioperative care of patients 12. Morales-Vidal S, Schneck M, Golombieski
at high risk for stroke during or after non- E. commonly asked questions in the
cardiac, non-neurologic surgery: Consensus management of perioperative stroke. Expert
statement from the Society for Neuroscience Rev Neurother 2013;13(2):167–75.
in Anesthesiology and Critical Care. J
Neurosurg Anesthesiol.2014;26:273–85. 13. Abraham M. Protecting the anaesthetised
brain. J Neuroanaesthesiol Crit Care 2014;
6. Lakshmanan RV, Rajala B, Moore LE. 1:20–39.
Perioperative stroke. Curr Anesthesiol Rep
2016; 6: 202–13. 14. Vlisides P, Mashour GA. Perioperative
stroke. Can J Anaesth 2016;63(2):193–204.
Tata Kelola Edem Paru Neurogenik
Abstrak
Edem paru neurogenik merupakan salah satu komplikasi pernafasan yang dapat muncul setelah cedera/trauma
susunan saraf pusat. Bervariasinya laporan epidemiologi dan patofisiologi edem paru neurogenik dapat menyebabkan
misdiagnosis yang dapat memperburuk prognosis pada pasien yang mengalami edem paru neurogenik. Patofisiologi
edem paru neurogenik diduga dimulai dari kerusakan pada persarafan autonom pembuluh darah pulmonal dan
stimulasi berlebihan dari pusat vasomotor susunan saraf pusat, yang kemudian menyebabkan berbagai perubahan
yang terjadi pada pembuluh darah pulmonal hingga disfungsi jantung. Investigasi klinis harus dilakukan hati-
hati karena manifestasi klinis yang dapat menyerupai edem paru kardiogenik dan non-kardiogenik lainnya, hasil
pemeriksaan yang tidak spesifik, dan tidak adanya kriteria diagnosis. Saat ini belum ada pedoman tata kelola edem
paru neurogenik yang dapat diterima secara luas, namun berbagai studi dan literatur menyebutkan tata kelola edem
paru neurogenik berupa tata kelola suportif airway, breathing, circulation, di samping tata kelola penyebab cedera/
trauma susunan saraf pusat memiliki prognosis yang baik, oleh karena itu identifikasi, investigasi, dan tata kelola
edem paru neurogenik harus dilakukan secepatnya. Edem paru neurogenik dapat beresolusi dengan baik dalam
48–72 jam setelah mendapatkan tata kelola yang adekuat.
Kata kunci: edem paru neurogenik, kerusakan susunan saraf pusat, tata kelola
Neurogenic pulmonary edema is one of respiration complication caused by injury of central nervous system.
Due to the vary of neurogenic pulmonary edema epidemiology and pathophysiology leads to misdiagnosed
of neurogenic pulmonary edema, which could worsen the clinical condition patients. The pathophysiology of
neurogenic pulmonary edema is believed caused by lesion on the autonomic central of vascular pulmonary bed
and overactivation of central vasomotor system, which leads to alteration of vascular pulmonary conditions
and cardiac dysfunction. Clinical investigation should be done carefully, because the clinical manifestations of
neurogenic pulmonary edema mimicking the cardiogenic and non-cardiogenic pulmonary edema, non-spesific
diagnostic modalities, and none diagnostic criteria in neurogenic pulmonary edema. Although nowadays none of
management guidelines of neurogenic pulmonary edema accepted widely, many study reported the good outcome
of supportive management of airway, breathing, and circulation besides the primary management of central
nervous system injury. Hence, clinical identifications, investigations, and management of neurogenic pulmonary
edema should be done immediately, because of good clinical outcome in 48 – 72 hours with adequate management.
Key words: neurogenic pulmonary edema, central nervous system damage, management
62
Tata Kelola Edem Paru Neurogenik 63
beredar di sirkulasi vena akan dilepaskan secara sistemik menuju aliran darah arteri dan vena
signifikan setelah cedera/trauma susunan saraf pulmonal. Akibat dari peningkatan volume
pusat memiliki peranan penting dalam kejadian darah pulmonal, tekanan hidrostatik pulmonal
hipertensi pulmonal. Lebih lanjut katekolamin akan meningkat. Semakin tingginya tekanan
akan menyebabkan vasokontriksi sistemik berat, hidrostatik intravaskular pulmonal akan
perpindahan darah dari aliran sistemik menuju menyebabkan kerusakan barotrauma terhadap
aliran paru, yang akan meningkatkan volume membran kapiler-alveolar pulmonal. Keadaan
cairan darah darah pulmonal. Akibat peningkatan edem paru ini akan ditambah melalui edem paru
volume cairan darah pada paru, aliran balik transudatif yang diakibatkan oleh peningkatan
pembuluh vena dan tahanan pembuluh sistemik tekanan vena pulmonal. Edem paru menurut
akan meningkat namun, tekanan diastolik teori blast menjelaskan bahwa kejadian edem
ventrikel kiri jantung dan komplians tekanan paru sebagai hasil akibat dari dua mekanisme
sistolik akan menurun disertai peningkatan yang saling bersinergi, yaitu peningkatan tekanan
volume ventrikel kiri. Peningkatan volume hidrostatik kapiler pulmonal dan kerusakan pada
ventrikel akan meningkatkan tekanan pada fase membran endotelial pulmonal.1,5
akhir pengisian ventrikel kiri dan atrium kiri.
Lebih lanjut, akan mengakibatkan peningkatan Pelepasan katekolamin dalam jumlah besar dapat
tekanan kapiler pulmonal yang disertai dengan menyebabkan peningkatan afterload ventrikel kiri.
kerusakan lapisan endotelial dan kebocoran Peningkatan tekanan end-diastolic ventrikel kiri
cairan menuju interstitial dan alveolus.12 dan atrium kiri secara teori dapat menyebabkan
peningkatan tekanan vena pulmonal dan tekanan
Kerusakan neuronal baik secara langsung hidrostatik pulmonal. Peningkatan ringan tekanan
maupun tidak langsung pada pusat persarafan atrium kiri (18–25 mmHg) akan menyebabkan
autonom pembuluh darah pulmonal dan edem pada rongga interstitial perimikrovaskular
stimulasi berlebihan dari pusat vasomotor dan peribronkovaskular, dan jika peningkatan
susunan saraf pusat menurut literatur dapat tekanan atrium kiri meningkat lebih dari 25
menjelaskan kejadian edem paru neurogenik mmHg maka cairan edem akan menembus epitel
dengan peningkatan tekanan intrakranial. Refleks pulmonal, dan memenuhi alveolus dengan cairan
Hering-Breuer dapat mengakibatkan bradikardi, edem rendah-protein.14
bronkokonstriksi, gangguan ritme pernafasan,
hingga episode henti nafas. Gangguan persarafan Peningkatan Permeabilitas Kapiler Pulmonal
autonom, yang dapat diakibatkan oleh aktifitas (Teori Gangguan Permeabilitas)
berlebihan pada persarafan simpatis atau gangguan Peningkatan permeabilitas kapiler pulmonal dapat
saraf vagal yang diakibatkan oleh vagotomi atau disebabkan oleh aktivasi mekanisme persarafan
kerusakan nukleus vagal di medula oblongata tertentu atau akibat tekanan hidrostatik kapiler
dapat menyebabkan edem paru neurogenik yang pulmonal. Secara teori mekanisme ini lebih dapat
merupakan komplikasi dari berbagai mekanisme menjelaskan kejadian edem paru neurogenik yang
cedera/trauma susunan saraf pusat.13 memiliki kandungan cairan kaya-protein namun
kurang menjelaskan keterkaitan perubahan
Peningkatan Tekanan Hidrostatik Kapiler hemodinamik yang terjadi pada edem paru
Pulmonal (Teori Blast) neurogenik. Dalam hubungannya dengan teori
Edem paru neurogenik sering berkaitan dengan blast, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
kejadian hipertensi pulmonal dan sistemik bahwa kerusakan endotelial pulmonal lebih
yang dapat diakibatkan secara sekunder oleh lanjut dapat menyebabkan perubahan pada
peningkatan tekanan intrakranial ataupun permeabilitas kapiler pulmonal yang akan
adanya pelepasan katekolamin dalam jumlah berakibat pada kebocoran protein plasma menuju
besar. Hipertensi pulmonal dan sistemik akan rongga interstitial dan alveolus. Edem paru akibat
menyebabkan peningkatan volume darah mediasi persarafan dapat terjadi tanpa disertai
pulmonal akibat perpindahan aliran darah peningkatan tekanan arterial pulmonal.7,10
66 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
diakibatkan oleh hipoksi dan hipotensi.1,2 hipoksi susunan saraf pusat dan organ lainnya
lebih lanjut. Tindakan intubasi harus dilakukan
Tata Kelola Hemodinamik secara hati-hati untuk mencegah spasme jalan
Terapi farmakologi dalam hemodinamik edem nafas dan peningkatan tekanan intrakranial lebih
paru neurogenik sangat bergantung pada kondisi lanjut. Intubasi endotrakeal dapat meningkatkan
klinis, cedera penyerta, dan cedera yang mendasari. kejadian iskemi otak terutama pada pasien kritis
Status volume cairan pada pasien dengan cedera/ dengan gangguan perfusi otak, seperti pada stroke
trauma susunan saraf pusat sebaiknya berada pada iskemi atau iskemi otak pada stroke perdarahan.
status euvolemia. Pada pasien dengan instabilitas Mean arterial pressure (MAP) yang rendah dapat
hemodinamik penilaian fungsi jantung dengan menyebabkan penurunan pada tekanan perfusi
kateterisasi arteri pulmonal, ekokardiografi, otak sehingga terjadi iskemi otak. Tindakan
atau Doppler esofagus dapat membantu dalam intubasi endotrakeal sebaiknya dilakukan ketika
menentukan terapi. Kejadian hipotensi memiliki tekanan perfusi otak > 50–60 mmHg, apabila
hubungan dengan buruknya prognosis pada tidak memungkinkan maka vasopressor dapat
pasien dengan cedera/trauma susunan saraf pusat. digunakan untuk mencapai target tekanan perfusi
Oleh karena itu menjaga tekanan darah berada otak. Penggunaan ketamine sangat dianjurkan
di atas autoregulasi aliran darah otak terendah sebagai premedikasi intubasi endotrakeal
sangatlah penting. Salah satu target dalam tata pada pasien dengan instabilitas hemodinamik.
kelola tekanan darah harus mencapai nilai MAP Penggunaan ETCO2 setelah intubasi dapat
yang berkisar 70 mmHg atau tekanan perfusi otak berguna untuk mencegah hiperventilasi.18
60 mmHg, jika tekanan intrakranial berada dalam
batas normal. Hantaran oksigenasi susunan saraf Cedera paru akut dan ARDS dapat terjadi
pusat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan bersamaan pada pasien dengan cedera/trauma
tekanan perfusi otak dan aliran darah otak yang susunan saraf pusat dan memiliki hubungan
memiliki efek menguntungkan juga terhadap dengan prognosis yang buruk. Ventilasi dengan
peningkatan SjO2 dan PbrO2. Normalisasi kadar strategi lung-protective dilakukan untuk
PCO2 dalam darah dan meningkatkan tekanan mencegah cedera paru iatrogenik. Restriksi
perfusi otak melalui reduksi volume intrakranial volume tidal dapat digunakan sebagai tata
(tanpa menggunakan hiperventilasi), ekspansi kelola dalam edem paru neurogenik, dengan
volume pembuluh darah, atau vasopressor penggunaan PEEP untuk menjaga pengembangan
merupakan manuver untuk meningkatkan aliran rongga alveolus. Volume tidal yang rendah ≤ 6
darah otak yang sering digunakan.4 mL/KgBB dan tekanan jalan nafas statik ≤
30 cmH20 dapat menurunkan angka kejadian
Dobutamine dapat memperbaiki cardiac index, mortalitas pada berbagai gangguan pernafasan
left ventricular stroke work index, tekanan akut maupun ARDS.2,5,19 Ekstubasi pada pasien
pulmonal, dan rasio PaO2/FiO2. Rekomendasikan dengan cedera/trauma susunan saraf pusat dan
penggunaan inotropik dengan kombinasi edem paru neurogenik dapat dipertimbangkan
vasodilator perifer sebagai terapi lini pertama sesuai dengan kondisi gagal nafas, setelah tata
dengan kateterisasi arteri pulmonal sebagai kelola fase akut teratasi dan peningkatan tekanan
monitor terapi.4,6 intrakranial tidak lagi menjadi masalah. Penilaian
kemampuan bernafas secara spontan dapat
Tata Kelola Respirasi dilakukan dengan protokol respiratory-care dan
Karena edem paru neurogenik terjadi akibat masalah pada jalan nafas yang diakibatkan oleh
cedera/trauma susunan saraf pusat berat dan perubahan tingkat kesadaran dan refleks jalan
sering terjadi bersamaan dengan penurunan nafas terkait cedera/trauma susunan saraf pusat.19
kesadaran akibat cedera/trauma susunan saraf
pusat, proteksi jalan nafas harus dilakukan Tata Kelola Anestesi
dengan segera untuk menjamin oksigenasi yang Beberapa pendapat menyatakan bahwa anestesi
adekuat, mencegah pneumonia aspirasi dan dengan level yang dalam dapat menginhibisi
68 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
hipotalamus, batang otak, dan pusat simpatis pada trauma otak tidak memiliki efek yang
vasoaktif sehingga dapat menghambat menguntungkan. Secara spesifik beberapa studi
perkembangan edem paru neurogenik. Propofol telah melaporkan penggunaan phentolamine
dan midazolam sering digunakan sebagai sedatif pada kasus edem paru neurogenik dengan luaran
pada pasien dengan cedera/trauma susunan saraf klinis baik yang ditandai dengan peningkatan
pusat akut. Kedua obat ini dapat menurunkan oksigenasi dan perbaikan hemodinamik.5,7,10
aliran darah otak dengan menurunkan laju
metabolik otak, yang kemudian akan menurunkan Prognosis
tekanan intrakranial. Namun penggunaan infus Edem paru neurogenik harus segera dipikirkan
propofol dosis tinggi memiliki hubungan dengan pada pasien dengan cedera/trauma susunan saraf
kolaps sistem kardiovaskular dan kematian pada pusat yang mengalami kejadian sesak nafas.
pasien dengan kerusakan susunan saraf pusat Pasien dengan edem paru neurogenik memiliki
akut.12 angka mortalitas yang tinggi, namun perbaikan
dapat terjadi secara cepat pada pasien dengan
Tata Kelola Neurologi prognosis baik. Prognosis pada edem paru
Tata kelola neurologi harus dapat menjaga aliran neurogenik secara umum sangat bergantung
darah susunan saraf pusat untuk mencegah pada cedera/trauma susunan saraf pusat yang
kerusakan lebih lanjut. Tekanan perfusi susunan mendasari dan cedera miokardium yang terjadi.
saraf pusat yang adekuat dapat dilakukan dengan Angka mortalitas pada edem paru neurogenik
menurunkan peningkatan tekanan intrakranial dilaporkan antara 7–10%. Pada beberapa studi
dan mencegah hipotensi. Selain itu keadaan melaporkan mortalitas edem paru neurogenik
hipoksemi, hiperglikemi, kejang, atau demam mencapai 50% dan lebih tinggi terutama pada
harus diatasi dengan baik. Hiperventilasi pada kasus edem paru neurogenik fatal. Berbagai
cedera/trauma susunan saraf pusat memilki banyak studi dilakukan untuk menilai baik outcome dan
perdebatan.19 Menurunkan volume intrakranial prognosis edem paru neurogenik. Kerusakan
dapat dilakukan dengan terapi cairan osmotik. area hipotalamus pada pasien dengan edem paru
Penggunaan manitol atau saline hipertonik dalam neurogenik memiliki prognosis yang lebih buruk.5
beberapa laporan dapat menunjukkan hasil yang Peningkatan serum laktat yang terjadi dalam 1
baik dalam cedera/trauma susunan saraf pusat. jam setelah onset perdarahan subaraknoid non-
Pada keadaan peningkatan tekanan intrakranial traumatik merupakan faktor independen yang
yang diakibatkan oleh perdarahan, prosedur yang berkaitan dengan edem paru neurogenik
pembedahan dengan evakuasi bekuan perdarahan onset dini.7,20
atau perdarahan harus dilakukan dengan tujuan
mengurangi tekanan intra kranial.19 III. Simpulan
tata kelola cedera/trauma susunan saraf pusat H, et al. The mechanism of neurogenic
yang mendasari dengan salah satu tujuan untuk pulmonary edema in epilepsy. J Physiol Sci.
mengakhiri aktivitas persarafan simpatis yang 2013 Dec 31;64(1):65–72.
memicu kejadian pada paru dan tata kelola suportif
hemodinamik, respirasi, anestesi dan neurologi. 9. Mutoh T, Kazumata K, Mutoh TU, Taki Y,
Pada umumnya dengan tata kelola yang adekuat Ishikawa T. Transpulmonary thermodilution-
respon yang baik dapat dicapai dalam 48–72 based management of neurogenic pulmonary
jam dengan tata kelola yang adekuat. Walaupun edema after subarachnoid hemorrhage. The
demikian penulis berpendapat bahwa, hingga American Journal of the Medical Sciences.
saat ini masih dibutuhkan studi lebih lanjut dalam Elsevier Masson SAS; 2015 Nov 1;350:415–9.
hal epidemiologi, patofisiologi, diagnosis dan
tatakelola edem paru neurogenik karena data studi 10. Toma G, Amcheslavsky V, Zelman V, DeWitt
dan literatur mengenai edem paru neurogenik DS, Prough DS. Neurogenic pulmonary
masih belum dapat digunakan secara luas. edema: pathogenesis, clinical picture, and
clinical management. Semin Anesth. 2003
Daftar Pustaka Dec 31;23(3):221–9.
1. Ridenti FAS. Neurogenic pulmonary edema: 11. Darragh TM, Simon RP. Nucleus tractus
a current literature review. Rev Bras Ter solitarius lesions elevate pulmonary arterial
Intensiva. 2012 Mar;24(1):91–6. pressure and lymph flow. Ann Neurol. 1985
Jun;17(6):565–9.
2. Busl KM, Bleck TP. Neurogenic pulmonary
edema. Critical Care Medicine. 2015 12. Šedý J, Kuneš J, Zicha J. Pathogenetic
Aug;43(8):1710–5. mechanisms of neurogenic pulmonary edema.
Journal of Neurotrauma. 2015;32(15):1135–
45.
3. Šedý J, Urdzíková L, Likavčanová K, Hejcl
A, Jendelová P, Syková E. A new model 13. Onen MR, Yilmaz I, Ramazanoglu L,
of severe neurogenic pulmonary edema in Tanrıverdi O, Aydin MD, Kanat A, et al.
spinal cord injured rat. Neuroscience Letters. Rational roots of sympathetic overactivity
2007 Aug;423(2):167–71. by neurogenic pulmonary edema modeling
arising from sympathyco-vagal imbalance in
4. O'Leary R, McKinlay J. Neurogenic subarachnoid hemorrhage: an experimental
pulmonary oedema. Contin Educ Anaesth study. World Neurosurgery. Elsevier Ltd;
Crit Care Pain. 2011 May 17;11(3):87–92. 2016 Apr 27;:1–24.
5. Davison DL, Terek M, Chawla LS. 14. Ware LB, Matthay MA. Clinical practice.
Neurogenic pulmonary edema. Crit Care. acute pulmonary edema. N Engl J Med. 2005
2012 Dec 12;16(2):212. Dec 29;353(26):2788–96.
6. Baumann A, Audibert G, McDonnell J, Mertes 15. Lee VH, Connolly HM, Fulgham JR, Manno
PM. Neurogenic pulmonary edema. Acta EM, Brown RD, Wijdicks EFM. Tako-tsubo
Anaesthesiol Scand. 2007 Apr;51(4):447–55. cardiomyopathy in aneurysmal subarachnoid
hemorrhage: an underappreciated
7. Šerić V, Roje-Bedeković M, Demarin V. ventricular dysfunction. J Neurosurg. 2006
Neurogenic pulmonary edema. Acta Clin Aug;105(2):264–70.
Croat. 2004;43:389–95.
16. Bahloul M, Chaari AN, Kallel H, Khabir A,
8. Zhao H, Lin G, Shi M, Gao J, Wang Y, Wang Ayadi A, Charfeddine H, et al. Neurogenic
70 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
pulmonary edema due to traumatic brain pulmonary edema: case reports and literature
injury: evidence of cardiac dysfunction. Am review. J Neurosurg Anesthesiol. 2003
J Crit Care. 2006 Sep;15(5):462–70. Apr;15(2):144–50.
17. Lin X, Xu Z, Wang P, Xu Y, Zhang G. Role 19. Deem S. Management of acute brain injury
of PiCCO monitoring for the integrated and associated respiratory issues. Respir
management of neurogenic pulmonary Care. 2006 Apr;51(4):357–67.
edema following traumatic brain injury: A
case report and literature review. Exp Ther 20. Šedý J, Zicha J, Kuneš J, Jendelová P,
Med. 2016 Oct;12(4):2341–7. Syková E. Mechanisms of neurogenic
pulmonary edema development. Physiol Res.
18. Fontes RBV, Aguiar PH, Zanetti MV, Andrade 2008;57(4):499–506.
F, Mandel M, Teixeira MJ. Acute neurogenic
Indeks Penulis
B H
Bambang J. Oetoro, 17, 36, 62 Himendra Wargahadibrata, 28, 54
C R
Cindy Giovanni, 11 Riyadh Firdaus, 62
Rose Mafiana, 44
D Ruli Herman Sitanggang, 1
Dhania Anindita Santosa, 17
Dewi Yulianti Bisri, 11, 28, 54 S
Dear Mohtar Wirajaya, 1 Siti Chasnak Saleh, 17, 28, 54
Syafruddin Gaus, 17, 36, 62
E
Endah Permatasari, 36, 54 T
Eri Surahman, 44 Tatang Bisri, 1, 11, 62
F W
Fitri Sepviyanti Sumardi, 44 Wahyu S. Basuki, 28
Indeks Subjek
C N
Cedera otak traumatik sedang, 11 NaCl 3%, 1
Cedera otak traumatik berat, 11 Natrium laktat hipertonik, 1
Cedera medula spinalis akut, 28
CVST, 44 O
Osmolaritas, 1
D
Diabetes, 17 P
Dekompresi evakuasi perdarahan, 44 Pengelolaan kadar gula darah, 17
Perioperatif, 17
E
Edem paru neurogenik, 62 R
Reseksi AVM, 36
F
Faktor risiko, 54 S
Stroke perioperatif, 54
G
Glasgow coma scale, 11 T
Tumor, 17
H Tatalaksana periperatif, 36
Hipotensi, 28 Tata kelola, 54
K
Kraniotomi, 1
Pedoman Bagi Penulis
Atas kerjasama yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal
Neuroanestesi Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan lebih baik untuk masa yang akan
datang
Redaksi