Anda di halaman 1dari 29

REFARAT APRIL 2019

Pediatric Advanced Life Support


( Bantuan Hidup Lanjut )

Nama : Fiona Febriyanti

No. Stambuk : N 111 18 071

Pembimbing : dr. Amsyar Praja, Sp. A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO

RUMAH SAKIT UMUM UNDATA

PALU

2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

Bantuan hidup lanjut atau Pediatric Advanced Life Support (PALS)


merupakan suatu upaya resusitasi. Resusitasi merupakan upaya yang dilakukan
terhadap penderita atau korban yang berada dalam keadaan gawat atau kritis
untuk mencegah kematian. Gawat adalah keadaan yang berkenaan dengan suatu
penyakit atau kondisi lainnya yang mengancam jiwa, sedangkan darurat adalah
keadaan yang terjadi tiba-tiba dan tidak diperkirakan sebelumnya, suatu
kecelakaan, kebutuhan yang segera atau mendesak.1
Kejadian henti jantung di luar rumah sakit bervariasi antara 2−20 kasus /
100.000 anak setiap tahunnya. Serangan henti jantung di rumah sakit sekitar 5,5%
terjadi pada anak yang paling sering disebabkan oleh asfiksia, dimana 6,7% dari
anak yang dapat bertahan, namun banyak yang mengalami gangguan neurologis.
Faktor yang mempengaruhi kondisi anak yang menjalani resusitasi adalah kondisi
anak sebelumnya, waktu dimulainya resusitasi jantung paru (RJP), awal
terdeteksinya henti jantung, dan kualitas dari proses PBLS dan PALS.1, 2
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resusitasi (CPR)
adalah upaya mengembalikan fungsi nafas dan atau sirkulasi yang berhenti oleh
berbagai sebab dan boleh membantu memulihkan kembali kedua-dua fungsi
jantung dan paru ke keadaan normal. Bantuan hidup dasar (BHD) atau basic life
support (BLS) termasuk mengenali jika terjadinya serangan jantung, aktivasi
respon sistem gawat darurat, dan defibrilasi dengan menggunakan defibrillator.2
Sedangkan pada bantuan hidup lanjut menggunakan alat dan obat resusitasi
sehingga penanganan lebih optimal. Resusitasi Jantung Paru segera dan efektif
berhubungan dengan kembalinya sirkulasi spontan dan kesempurnaan pemulihan
neurologi. Beberapa penelitian menunjukkan angka survival dan keluaran
neurologi lebih baik bila RJP dilakukan sedini mungkin.1
Sebagian besar kasus henti jantung pada anak disebabkan oleh hipoksia,
pada anak jarang dijumpai gangguan primer jantung yang dapat menyebabkan
henti jantung mendadak. Hal ini menyebabkan teknik A-B-C masih banyak

2
dikerjakan pada pasien anak, meskipun proses Airway-Breathing dilakukan dalam
waktu sesingkat mungkin. AHA menyatakan bahwa bila pijat jantung terlambat
dilakukan, angka keberhasilkan resusitasi menjadi lebih kecil.2 Lubrano dkk.
melakukan penelitian perbandingan C-A-B dan A-B-C pada 170 tim resusitasi
dengan hasil bahwa teknik C-A-B membuat pengenalan dan intervensi henti
jantung dan paru lebih cepat secara bermakna meskipun tidak berbeda bagi
gangguan neurologis pasca henti jantung paru.3
Tindakan resusitasi ini dibedakan berdasarkan usia bayi kurang dari satu
tahun di luar neonatus atau lebih dari satu tahun, merupakan suatu teknik yang
digunakan untuk menyelamatkan jiwa yang sangat berguna pada keadaan
emergensi, termasuk henti napas dan henti jantung.2,3
Tujuan akhir RJP adalah kembalinya sirkulasi spontan yang normal atau
disebut return of spontaneous circulation (ROSC) dan tidak adanya gangguan
neurologis pasca henti jantung.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Pediatric Advanced Life Support (PALS) atau bantuan hidup lanjut
(BHL) adalah usaha yang dilakukan setelah usaha hidup dasar, dengan
memberikan obat-obatan atau tindakan yang dapat memperpanjang hidup
pasien.1,2
Bantuan hidup lanjut berhubungan dengan teknik yang ditujukan
untuk memperbaiki ventilasi dan oksigenasi korban dan pada diagnosis
serta terapi gangguan irama utama selama henti jantung.Bantuan hidup
dasar memerlukan peralatan khusus dan penggunaan obat.Harus segera
dimulai bila diagnosis henti jantung atau henti nafas dibuat dan harus
diteruskan sampai bantuan hidup lanjut diberikan. Setelah dilakukan ABD
RJP dan belum timbul denyut jantung spontan, maka resusitasi diteruskan
dengan langkah DEF.3

Gambar 1. Resusitasi Jantung Paru

4
American Heart Association (AHA) dan European Resuscitation
Council (ERC) mengeluarkan panduan tentang PBLS dan PALS yang
selalu diperbaharui. American Heart Association mengeluarkan panduan
tersebut pada tahun 1995, 2000, 2005, 2010 dan 2015, sedangkan ERC
pada tahun 1994, 1998, 2000, 2005, 2010 dan 2015.1,3 Panduan
dikeluarkan tidak hanya berdasarkan bukti ilmiah dan klinis namun
diharapkan dapat sesederhana mungkin untuk dilakukan, sehingga
pedoman internasional selalu mengalami perubahan dan variasi
infrastruktur dalam panduan BLS dan ALS.4,5
1. Panduan yang dikeluarkan American Heart Association (AHA)
Pembaharuan mengenai PALS pada tahun 2015 menurut AHA
memiliki beberapa poin-poin penting, diantaranya sebagai berikut.2, 4
a. Pada kondisi khusus, saat merawat anak dengan demam,
penggunaan cairan kristaloid isotonic restriktif dapat eningkatakan
angka harapan hidup. Pada anak yang mengalami syok, bolus
cairan awal diberkan 20 mL/kg. Meskipun, untuk anak dengan
penyakit demam pemberian cairan IV bolus sebaiknya dilakukan
dengan sangat hati-hati, karena mungkin sangat membahayakan.
Perlu ditekankan bahwa rencana perawatan sangat
individual. Berdasarkan penelitian sebelumnya dengan
ketersediaan perawatan kritis dengan kondisi sumber daya yang
terbatas dan pemberian cairan yang berlebihan pada anak demam
dapat menimbulkan komplikasi dimana peralatan yang kurang
tepat dan ahli yang tidak diperlukan pada anak tersebut.
b. Penggunaan atropin secara rutin sebagai premedikasi untuk
intubasi secara spesifik untuk mencegah aritmia adalah
kontroversial,tidak ada dosis minimum atropin pada kondisi seperti
ini. Tidak ada bukti yang cukup dalam pengguanaan atropin secra
rutin sebagai premedikasi untuk mencegah terjadinya bradikardi
pada saat intubasi. Beberapa penelitian menggunakan dosis

5
atropine <0,1 mg tanpa terjadinya peningkatan kemungkinan
aritmia. Tidak ada bukti yang mendukung dosis minimal atropine.
c. Pemantauan hemodinamik secara invasive selama RJP.
Saat alat invasif sudah terpasang pada saat henti jantung,
alat tersebut berguna untuk memantau kualitas RJP. Alat invasive
untuk mengukur tekanan darah digunakan agar dapat mencapai
target tekanan darah anak yang mengalami henti jantung.4
Terdapat 2 peneliti uji acak terkonrol pada hewan yang
menunjukkan adanya perbaikan ROSC dan angka harapan hidup
pada akhir pnelitian ketika tekhnik RJP disesuaikan atas dasar
pemantauan hemodinamik secara invasive, namun penilitian ini
belum dicobakan pada manusia.4
d. Amiodaron atau lidocaine adalah agen antiaritmia pada anak
dengan VF dan pVT syok refrakter. Amiadarone direkomendasikan
pada VF syok refrakter atau pVT. Lidocaine dapat diberikan jika
amiodaron tidak tersedia. Penelitian retrospektif melibatkan banyak
institusi pasien anak yang dirawat inapmenunjukkan amiodraone,
lidocaine dikaitkan dengan tingginya angka kejadian ROSC dan
angka kelangsungan hidup dalam 24 jam. Meskipun keduanya
tidak ada hubungan dengan angka kelangsungan hidup dampai
anak pulang dari rumah sakit. 4
e. Epinefrin direkomendasikan sebagai vasopresor pada anak dengan
henti jantung. Dalam rekomendasi sebelumnya pada taahun 2010
epineprin sebagai vasopressor diberikan pada henti jantung.
Terdapat 2 penelitian observasional pada bayi dan 1 penelitian acak
pada orang dewasa yang beraa di luar rumah sakit menemukan
epinefrin berkaitan dengan perbaikan ROSC dan kelangsungan
hidup smpai anak masuk rumah sakit namun tidak sampai keluar
dari rumah sakit.4
f. Anak dengan diagnose penyakit jantung pada keadaan henti
jantung sebaiknya pertimbangkan Extracorporeal cardiopulmonary

6
resuscitation (EPCR). Terdapat suatu penelitian ditemukan hasil
yang lebih baik dengan EPCR pada pasien dengan penyakit
jantung dibandingkan dengan pasien tanpa penyakit jantung.4
g. Penangan suhu sesuai target.
Untuk anak yang koma pada beberapa hari pertama
setelah henti jantung, suhu harus dipantau secara terus menerus
dan demam harus diobati secara agresif. Harus mempertahankan
normotermia selama 5 hari (36°C −37.5°C) atau hipotermia selama
2 hari (32°C − 34°C) diikuti dengan normotermia selama 3 hari
berikutnya. Sebuah penelitian acak prospektif dan multisenter pada
anak menerima terapi hipotermia (32°C − 34°C) dengan
normotermia tidak terdapat perbedaan dalam hasil, tidak ada
satupun variabel yang ditemukan cukup untuk memprediksi
keluaran. 4
h. Setelah ROSC, cairan dan infus vasoaktif sebaiknya
mempertahankan tekanan darah (TD) sistolik >P5 sesuai usia. Pada
beberapa penelitian anak yang dengan hipotensi memiliki angka
harapan hidup lebih buruk dan sampai keluar dari rumah sakitdan
keluaran neurologis yang lebih buruk.
i. Setelah ROSC, normoksemia sebaiknya menjadi target terapi.
Target saturasi oksigen 94%− 99 demi menghindarkan
hipoksemia Hindari terjadinya hiperkapnea atau hipokapnea berat.
Pada suatu penelitian obssevasional pada anak yang telah
mengalami resusitasi henti jantung menemukan bahwa
normoksemia dikaitkan dengan perbaikan angka harapan hidup
sampai pasien keluar dari perwatan intensif anak. Penelitian
lainnamun pada orang dewasa menunjukkan keluaran yang lebih
uruk pada keadaan hipokapnea.

7
2. Panduan yang dikeluarkan European Resuscitation Council (ERC)
Panduan PALS menurut ERC 2015 lebih membahas pentingnya
interaksi antara petugas emergensi dalam memberikan CPR dan waktu
yang tepat dalam pemberian AED. Urutan penilaian dan intervensi
mengikuti prinsip ABCDE (Airway - Breathing - Circulation –
Disability - Exposure) : 3, 5
 Korban yang tidak respon dan tidak bernapas perlu dilakukan RJP
dan perlu dicurigai adanya bentuk kejang.
 Apabila tidak terdapat tanda syok sepsis, maka anak dengan
demam harus mendapatkan terapi cairan dengan hati-hati dan
dilakukan penilaian ulang. Pada beberapa bentuk syok sepsis,
restriksi cairan dengan kristaloid isotonik dapat lebih
menguntungkan.
 Intervensi pada defibrilasi harus < 5 detik.
 Menjaga bantalan defibrilasi untuk meminimalkan jeda preshock.
Ukuran ideal bantalan tidak diketahui namun harus ada pemisahan
yang baik antara bantalan. Rekomendasi yang disarankan pada
diameter 4,5 cm untuk bayi dan anak dengan berat badan <10 kg
dan 8-12 cm anak berat badan > 10 kg.
 Dosis energi yang ideal untuk defibrillation yang aman dan efektif
tidak diketahui. Dosis awal pada kardioversi 2-4 J/Kg, menurut
ERC dosis awal disamakan dengan 4 J/kg dan maksimal 9 J/Kg.
Untuk kardioversi supraventricular takikardi (SVT), dosis inisial
telah diperbaharui menjadi 1 J/kg.
 Mencegah demam pada anak yang mengalami ROSC , karena
berpengaruh terhadap keluaran status neurologis dalam 1 tahun.
Manajemen target suhu pada anak pasca ROSC harus menjadi
normotermia atau sedikit hipotermia, dimana hipertermia
berpotensi berbahaya.

8
Algoritma PALS menurut AHA Diperbaharui 2015
Sumber: AHA,20156

9
Algoritma PALS menurut ERC tahun 2015
Sumber: ERC, 20155

10
Keterangan algoritme PALS menurut AHA 2015

B. Teknik Pemasangan Alat Bantu Pernapasan


1) Intubasi Endotrakea
Indikasi intubasi endotrakea yang paling jelas adalah keadaan
apnea, namun ada beberapa indikasi lain yang perlu diperhatikan,
yaitu:5,6
 Kontrol system saraf pusat terhadap pernapasan yang tidak
adekuat
 Obstruksi jalan napas, baik fungsional maupun anatomis

11
 Keadaan yang berpotensi kuat menimbulkan obstruksi jalan napas
(misalnya inhalasi asap kebakaran, hematoma pada jalan napas
yang meluas)
 Hilangnya reflex protektif jalan napas
 Usaha napas yang berlebihan, yang bias menyebabkan kelelahan
insufisiensi pernapasan
 Perlunya pemberian udara bertekanan tinggi untuk
mempertahankan pertukaran gas alveolar
 Perlunya pemakaian ventilasi mekanik
 Kemungkinan terjadinya hal-hal yang tersebut di atas selama
pasien dalam transportasi
Prosedur endotrakea memerlukan persiapan peralatan dan
personel, penilaian terhadap pasien dan mengaturan posisi pasien,
penyediaan alat pemantauan, oksigenasi, dan ventilasi.Intubasi
orotrakea biasanya merupakan pilihan pertama karena bisa dilakukan
lebih cepat dan lebih sedikit komplikasinya.Selama upaya intubasi
endotrakea perlu dilakukan pemantauan laju jantung, tekanan darah,
saturasi oksigen, dan, bila memungkinkan, kapnometri end-tidal.
Tenaga medis (intubator) harus menghentikan upaya intubasi dan
segera melakukan oksigenasi dengan bag-mask apabila terjadi
perburukan laju jantung, oksigenasi, dan penampilan klinis pasien.4
Setelah dilakukan premedikasi (bila diperlukan), ventilasi bag-
mask segera dihentikan sementara untuk pemasangan ETT dengan
visualisasi langsung ke trakea.Dilakukan penekanan lidah dan
pengangkatan struktur di daerah supraglotis, dengan menggunakan
laringoskop, untuk melihat glottis. ETT dipasang melalui pita suara.4
Laringoskop berdaun lengkung (curved, Macintosch) biasanya
dipakai untuk anak berumur lebih dari 2 tahun, sedangkan laringoskop
berdaun lurus (straight, Miller) dipakai untuk anak yang lebih muda
atau jalan napas yang sulit. Penolong intubator harus melakukan

12
manipulasi terhadap laring dari luar yang dikenal sebagai BURP guna
membantu intubator memvisualisasi glottis.5
Cara memastikan bahwa ETT telah dipasang dengan benar,
dengan memeriksa kedalaman ETT dengan melihat angka penunjuk di
ETT sesuai perhitungan, adanya pergerakan dinding dada yang
simetris, lakukan auskultasi untuk mendengarkan bunyi napas yang
simetris, amati adanya distensi daerah abdomen untuk mendeteksi
ETT yang salah, ukur kadar end-tidal CO2 dengan menggunakan
detector kolorimetrik, dan konfirmasi letak ETT dengan foto toraks.5

Gambar 2. Insersi Laringoskop

2) Laryngeal Mask Airways (LMA)


Laryngeal Mask Airway (LMA) dirancang untuk diletakkan di
daerah orofaring dengan ujung sungkupnya (mask) di hipofaring dan
dasar sungkupnya di epiglottis. Apabila sungkup dikembangkan
dengan memompakan udara ke dalamnya, maka alat ini akan dapat
dilalui udara langsung ke trakea.6
Laryngeal mask airway dapat digunakan untuk memberikan
ventilasi tekanan positif pada pasien yang bernapas spontan, atau

13
sebagai pemandu untuk pemasangan alat yang lain seperti ETT, stilet
berlampu, atau bronkoskopi. Pemakaian LMA pada pasien yang sadar
harus disertai sedasi untuk menghilangkan refleks jalan napas.5,6
Laryngeal mask airway relative mudah dipasang dan
komplikasinya sedikit, sehingga alat ini bisa dipakai pada keadaan
jalan napas yang sulit.Namun karena letaknya di daerah supraglotis,
maka alat ini tidak efektif bila dipakai pada pasien dengan kelainan
daerah glottis atau subglotis.Pemasangan pada anak yang lebih muda
sering mengalami malposisi yang justru menyebabkan obstruksi jalan
napas dan biasanya pemasangannya lebih sulit. Trauma jalan napas
dan gangguan hemodinamik lebih jarang terjadi pada pemasangan
LMA dibanding pada intubasi endotrakea.6
Prosedur pemasangan LMA:
 Sungkup dikempiskan total atau sebagian
 Oleskan lubrikasi larut air di permukaan belakang sungkup dan
pipanya
 Posisikan pasien pada sniffing position
 Pergunakan jempol atau jari telunjuk untuk menyisirkan sungkup
sepanjang alut palatofaringeal menuju hipofaring dan menutup
glotis
 Lanjutkan sisiran hingga ke hipofaring hingga terasa ada tahanan
 Kembangkan sungkup sepenuhnya. Laryngeal mask airway ahak
terdorong keluar saat sungkup mengembang penuh

14
Gambar 3. Teknik Insersi LMA
Keterbatasan pemakaian LMA:
 Pemasangan LMA merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
reflex protektif jalan napas
 Tidak dapat mencegah aspirasi akibat refluks isi lambung
 Tidak dapat dipakai untuk memberikan obat-obat resusitasi
 Lebih sulit difiksasi dibanding ETT. Perlu kecermatan untuk
memastikan posisi LMA pada tempatnya.6
3) Krikotirotomi
Krikotirotomi dilakukan pada pasien dengan luka yang meluas
di wajah atau jalan napas atas, atau pada keadaan ketika usaha
intubasi orotrakea gagal.Tidak direkomendasikan untuk anak di
bawah umur 10 tahun.Komplikasi dari tindakan ini cukup tinggi.
Pada keadaan yang ekstrim, krikotirotomi dapat dilakukan
dengan 2 cara: perkutaneus dan dengan pembedahan. Krikotirotomi
perkutaneus dilakukan dengan memposisikan leher pasien menjadi
hiperekstensi, kemudian dilakukan penentuan lokasi membrane
krikotiroid yang terletak di antara tulang rawan tiroid dan krikoid
secara palpasi.Dilakukan desinfeksi di daerah tersebut dan penusukan

15
membrane dengan kateter intravena ke dalam trakea.Tindakan berhasil
apabila terasa adanya aliran aspirasi udara melalui kateter. Jarum
ditarik keluar dan kateter dimasukkan lebih dalam untuk kemudian
disambungkan pada oksigen bertekanan tinggi.7

Gambar 4. Teknik Krikotirotomi Perkutaneus

C. Cairan dan obat-obatan resusitasi


Gunakan cairan kristaloid isotonik (misalnya, Ringer laktat atau
NaCl fisiologis) untuk menanggulangi syok. Terapi bolus dengan glukosa
digunakan untuk menangani hipoglikemi.7
Obat-obatan yang digunakan selama resusitasi adalah sebagai
berikut:
1) Amiodaron
Obat ini digunakan untuk kasus supraventikular takikardia, fibrilasi
ventrikel, atau takikardia ventrikel tanpa nadi.Amiodaron
memperlambat konduksi AV, memperpanjang periode refrakter AV
dan interval QT, dan memperlambat konduksi ventricular (melebarkan
QRS). Monitor tekanan darah dan berikan secara pelan-pelan untuk
menderita dengan denyut nadi tetapi mungkin saja diberikan cepat
kepada penderita dengan henti jantung atau ventricular fibrilasi (VF).
Amiodaron menyebabkan hipotensi. Monitor EKG karena komplikasi
dapat meliputi bradikardi, blok hati jantung, dan torsades de pointes.
Berikan perhatian terutama bila diberikan bersama dengan obat lain
yang menyebabkan perpanjangan QT seperti procainamid. Efek

16
kurang baik mungkin saja berkepanjangan karena waktu-paruhnya
sampai dengan 40 hari. Dosis pemberian 5 mg/kgBB iv/io.8
2) Atropin
Atropin sulfat adalah satu obat parasimpatolitik yang
mengakselerasi pacu jantung sinus atau atrial dan meningkatkan
konduksi AV. Obat ini dapat digunakan untuk bradikardi simtomatik,
keracunan organofosfat atau karbamat, atau digunakan pada saat
melakukan tindakan rapid sequence intubation. Dosis pemberian 0,02
mg/kgBB iv/io, dosis minimal 0,1 mg, dosis maksimal 0,5 mg. Dosis
yang lebih besar direkomendasikan dalam keadaan khusus (misalnya
keracunan organofosfat atau terpapar gas yang meracuni saraf).8
3) Kalsium
Obat ini digunakan untuk hipokalsemia, hiperkalemia,
hipermagnesemia, atau overdosis calcium channel blocker.Pemberian
rutin kalsium tidak memperbaiki hasil pada henti jantung.Pada anak-
anak sakit kritis, kalsium klorida memiliki bioavailabilitas lebih baik
dibandingkan kalsium glukonat.Pemberian kalsium klorida melalui
kateter vena sentral lebih disukai karena adanya risiko sklerosis atau
infiltrasi pada pemberian melalui vena perifer. Dosis pemberian 0,2
mL/kgBB i.v/io perlahan-lahan.7
4) Epinefrin
Obat ini diberikan pada keadaan henti jantung bradikardia
simtomatik yang tidak berespons terhadap bantuan ventilasi,
pemberian O2, dam hipotensi yang tidak berhubungan dengan deplesi
volume cairan. Efek vasokontriksi epinefrin melalui α-adrenergik
meningkatkan tekanan diastole dan selanjutnya tekanan perfusi
koroner.Efek β-adrenergik meningkatkan kontraktilitas miokardium
dan denyut jantung.Pemberian lebih disukai melalui sirkulasi sentral,
sehubungan dengan kemungkinan dapat terjadi iskemik local, trauma
jaringan, dan ulserasi akibat filtrasi ke jaringan.Jangan dicampur
dengan natrium bikarbonat karena larutan alkali dapat menyebabkan

17
inaktivasi.Epinefrin dapat menyebabkan takikardi, ektopi ventrikuler,
takiaritmia, hipertensi dan vasokontriksi. Dosis/kgBB (0,1 mL/kgBB
larutan 1:10.000) iv/io. Bila diberikan melalui ETT 0,1 mg/kgBB
(0,1mL/kgBB larutan 1:1.000).8
5) Norepinefrin
Obat ini ditujukan untuk meningkatkan tekanan darah pada
hipotensi yang tidak berespons terhadap resusitasi cairan, mempunyai
efek α dan β adrenergik (dominan β1 adrenergik). Dosis
0,05μg/kgBB/menit ditingkatkan bertahap tiap 15 menit sampai 0,15
μg/kgBB/menit iv kontinu.9
6) Dopamin
Berfungsi sebagai obat inotropik untuk mengatasi curah jantung
rendah persisten yang refrakter terhadap cairan.Dapat digunakan
untuk hipotensi dengan perfusi perifer yang buruk, atau syok.Efek
samping yang mungkin timbul adalah takiaritmia. Dosis pemberian 2-
20 μg/kgBB/menit iv kontinu.10
7) Dobutamin
Merupakan obat inotropic dengan efek minimal terhadap denyut
jantung dan vasokonstriksi perifer.Obat ini juga dapat menyebabkan
takiaritmia. Dosis pemberian 5-20 μg/kgBB/menit iv kontinu.9,10
8) Glukosa
Bayi mempunyai kebutuhan glukosa yang tinggi dan penyimpanan
glukosa yang rendah, sehingga dapat berkembang menjadi
hipoglikemia ketika kebutuhan energy meningkat. Pemantauan kadar
gula darah selama dan setelah henti jantung dan mengatasi
hipoglikemi dengan segera. Dosis pemberian 0,5 g/kgBB Dekstrose
25% (D25% 2 mL/kgBB) atau 5 mL/kgBB Dekstrose 10% iv/io.11
9) Lidokain 2%
Obat ini berguna untuk fibrilasi/takikardia ventrikel
simtomatik.Lidokain mengurangi dan mensupresi aritmia
ventrikel.Toksisitas lidokain termasuk depresi miokard dan sirkulasi,

18
mengantuk, disorientasi, kontraksi otot dan kejang terutama penderita
dengan cardiac output yang buruk dan gagal hati atau gagal ginjal,
sehingga perlu penggunaan yang hati-hati. Dosis 1 mg/kgBB iv/io.8
10) Natrium bikarbonat
Pemberian rutin natrium bikarbonat tidak terbukti meningkatkan
keluaran resusitasi.Setelah melakukan ventilasi efektif dan kompresi
dada serta memberikan epinefrin, dapat dipertimbangkan pemberian
natrium bikarbonat untuk henti jantung yang lama. Pemberian natrium
bikarbonat dapat digunakan untuk penanganan beberapa kasus
keracunan atau pada resusitasi khusus.8
Pemberian natrium bikarbonat berlebihan dapat menghambat
penyampaian oksigen jaringan, menyebabkan hiponatremia dan
hiperosmolaritas, dan memperburuk fungsi jantung. Dosis 0,5
mEq/kgBB iv pada bayi dan 1 mEq/kgBB iv pada anak.12

D. Elektrokardiogram
Jika anak didapatkan tidak berespon dan tidak bernafas, segera minta
pertolongan untuk mendapatkan defibrillator dan mulai melakukan RJP
(sambil diberikan oksigen, bila tersedia).Pasang monitor EKG atau Automated
External Defibrillator/AED) pads segera setelah tersedia. Sambil melakukan
resusitasi, tekanan harus diberikan untuk mendapatkan RJP dengan kualitas
yang baik.13
Ketika RJP diberikan, tentukan irama jantung anak melalui EKG atau
jika menggunakan AED, alat tersebut akan memberitahu apakah iramanya
shockable (Ventrikel Fibrilasi (VF)/Ventrikel Takikardia (VT) tanpa nadi) atau
non-shockable (asistol/Pulseless Electrocardiography Activity = PEA).
Terkadang diperlukan penghentian kompresi dada sementara untuk
menentukan irama jantung anak yang terlihat di EKG. Asistol dan bradikardia
dengan pelebaran komplek QRS sering terlihat pada henti asfiksia.13

19
1) Irama Jantung Shockable (VF/VT tanpa nadi)
Defibrilasi merupakan terapi definitive untuk VF dengan angka
keberhasilan 17-20%.Kemungkinan bertahan hidup lebih baik pada
keadaan VF primer daripada sekunder. Kemungkinan bertahan hidup akan
lebih baik bila dilakukan lebih dini, RJP kualitas baik dengan interupsi
minimal.13,14
Outcome pemberian defibrilasi akan lebih baik jika penolong
meminimalisir waktu antara kompresi terakhir dan pemberian defibrilasi,
jadi penolong harus siap untuk mengkoordinasi dalam mengurangi
interupsi antara kompresi dada dengan pemberian defibrilasi dan harus
kembali kompresi dada secepatnya setelah pemberian defibrilasi.13
Penggabungan antara defibrilasi dengan rangkaian resusitasi:
 Lakukan RJP sampai defibrilator siap untuk dilakukan defibrilasi.
Setelah dilakukan defibrilasi, ulangi RJP, dimulai dengan kompresi
dada. Kompresi dada hanya boleh diinterupsi untuk melakukan
ventilasi, periksa irama jantung, dan berikan defibrilasi. Bila masih
terdapat irama defibrilasi, lanjutkan kompresi dada setelah
memeriksa irama jantung, sambil defibrillator tetap terhubung
dengan listrik.13
 Berikan satu kali defibrilasi (2 J/kg) secepatnya dan segera
melakukan RJP, dimulai dengan kompresi dada. Bila 1 x defibrilasi
gagal untuk mengeliminasi VF, pemberian defibrilasi ulang dosis
rendah tidak akan memberikan manfaat, sehingga tindakan RJP
lanjutan akan memberikan hasil yang lebih baik daripada
pengulangan defibrilasi RJP dapat memperbaiki perfusi coroner,
meningkatkan kemungkinan defibrilasi dengan defibrilasi
selanjutnya. Sangat penting untuk mengurangi jarak waktu antara
kompresi dada dengan pemberian defibrilasi dan antara defibrilasi
dengan kompresi dada selanjutnya.13

20
Gambar 5. Ventrikel Takikardia (VT)

Gambar 6. Ventrikel fibrilasi (VF)


 Lanjutkan RJP selama 2 menit. Setelah RJP selama 2 menit, periksa
kembali irama jantung, isi ulang defibrillator dengan dosis yang
lebih tinggi (4 J/kg)
 Jika timbul irama shockable berikan satu kali defibrilasi lagi (4
J/kg). Jika timbul irama nonshockable, lanjutkan dengan algoritme
asistol/PEA
 Segera lakukan kompresi dada ulang. Lanjutkan RJP selama 2 menit.
Selama RJP berikan epinefrin 0,01 mg/kg (0,1 ml/kg larutan
1:10.000), maksimal 1 mg setiap 3 sampai 5 menit.
 Periksa irama jantung. Bila timbul irama jantung shockable, lakukan
defibrilasi lagi (4 J/kg atau dosis maksimum 10 J/kg) dan segera
lakukan RJP

21
 Saat melakukan RJP, berikan amiodaron atau lidokain bila
amiodarone tidak tersedia
 Jika timbul irama non-shockable, lanjutkan ke algoritme pulseless
arrest
 Setelah jalur nafas lanjutan terpasang, 2 penolong tidak lagi
memerlukan siklus RJP. Sebagai gantinya, penolong yang
melakukan kompresi memberikan kompresi dada terus menerus
dengan kecepatan 100x per menit tanpa interupsi ventilasi. Penolong
yang memberikan ventilasi memberikan 1x nafas setiap 6-8 detik (8-
10x nafas per menit). Dua atau lebih penolong harus melakukan
rotasi kompresi setiap 2 menit untuk mencegah kualitas kompresi
yang buruk dan mencegah kelelahan
 Jika timbul ROSC (Return of Spontaneous Circulation), periksa
nadi anak untuk menentukan apakah sudah timbul perfusi yang baik.
Bila nadi timbul, dilanjutkan dengan perawatan post resusitasi
2) Irama Jantung Non-shockable (Asistol/PEA)
PEA adalah aktivitas elektrik terorganisasi, biasanya lambat,
dengan pelebaran komplek QRS, tanpa teraba nadi. Meskipun PEA jarang
terjadi, tetapi dapat ditemukan gangguan curah jantung mendadak dengan
irama yang awalnya normal tetapi nadi tidak teraba dan perfusi yang
buruk.14
Langkah algoritme untuk asistol dan PEA:
 Lanjutkan RJP dengan sesedikit mungkin interupsi saat kompresi.
Penolong kedua mencari akses vaskuler dan memberikan epinefrin
0,01 mg/kg (0,1 mL/kg larutan 1:10.000) maksimum 1 mg (10mL
larutan 1:10.000), sementara RJP dilanjutkan. Epinefrin dengan
dosis yang sama diulang tiap 3 sampai 5 menit. Tidak ada manfaat
pemberian epinenfrin dosis tinggi dan mungkin berbahaya terutama
pada asfiksia. Dosis tinggi epinefrin dapat dipertimbangkan pada
keadaan khusus seperti overdosis beta blocker

22
 Bila telah diberikan bantuan jalan nafas lanjut, satu penolong harus
memberikan kompresi dada dengan kecepatan minimal 100x per
menit tanpa terhenti untuk ventilasi. Penolong kedua memberikan
ventilasi dengan kecepatan 1x nafas tiap 6 sampai 8 detik (sekitar 8
sampai 10x nafas per menit). Penolong yang memberikan kompresi
berganti setiap 2 menit untuk mencegah kelelahan dan perburukan
kualitas dan kecepatan kompresi dada. Periksa irama jantung tiap 2
menit dengan meminimalisasi interupsi kompresi dada. Bila irama
nonshockable lanjutkan siklus RJP dan pemberian epinefrin sampai
terbukti terjadi ROSC atau kita memutuskan menghentikan
resusitasi. Bila irama jantung berubah menjadi shockable berikan 1x
defibrilasi dan segera kompresi dada ulang selama 2 menit sebelum
memeriksa kembali irama jantung.
 Mencari penyebab terjadinya gangguan irama jantung.14

23
24
E. Resusitasi Pada Kondisi Khusus
Trauma
Beberapa aspek resusitasi pada trauma memerlukan penekanan
khusus karena tindakan resusitasi yang tidak benar dan adekuat menjadi
penyebab kasus kematian yang dapat dicegah. Kesalahan umum pada
resusitasi trauma pediatrik adalah kegagalan untuk membuka dan
memelihara jalan napas, kegagalan untuk melakukan resusitasi cairan ,dan
kegagalan untuk mengenali serta mengatasi pendarahan internal. Libatkan
dokter bedah berpengalaman sejak awal, dan jika mungkin, mengangkut
anak dengan trauma multisistem ke suatu pusat trauma dengan keahlian
pediatrik. Berikut adalah aspek khusus resusitasi trauma:
- Ketika mekanisme trauma melibatkan tulang belakang, batasi gerakan
servikal tulang belakang dan hindari traksi atau gerakan kepala dan
leher. Buka dan pertahankan jalan napas dengan jaw trush, dan jangan
memiringkan kepala. Oleh karena disproporsional ukuran kepala bayi
dan anak-anak, posisi optimal occiput atau mengangkat batang tubuh
untuk menghindari backboard-induced fleksi cervical .
- Pada kasus trauma kepala, Intentional brief hyperventilation dapat
digunakan sebagai tindakan sementara mengamati tanda herniasi otak
(misalnya, kenaikan tiba-tiba tekanan intrakranial, dilatasi pupil tanpa
reaksi cahaya, bradikardi, hipertensi).
- Kecurigaan trauma dada pada semua thoracoabdominal trauma, bahkan
jika tidak ada luka luar. Tension pneumothorax, hemothorax, atau
memar berkenaan dengan paru-paru dapat mengganggu pernapasan.
- Jika penderita mempunyai trauma maxillofacial atau jika
mencurigai fraktur basal.14

F. Stabilisasi Pasca Resusitasi


Tujuan dari perawatan pasca resusitasi adalah memelihara fungsi otak,
menghindari kerusakan sekunder dari organ lain, mendiagnosis dan mengobati
penyebab penyakit, serta memungkinkan penderita untuk tiba di tempat

25
pelayanan kesehatan anak dalam keadaan fisiologis yang optimal. Perlu
dilakukan penilaian fungsi kardiorespirasi karena keadaan dapat memburuk.2

G. Penghentian Upaya Resusitasi


Belum ada prediktor yang baik untuk menentukan kapan saatnya
menghentikan upaya resusitasi. Pada kasus terjadi orang yang tidak sadarkan
diri dan dilakukan resusitasi kardiopulmonal maka waktu antara kejadian dan
kedatangan bantuan yang professional meningkatkan keberhasilan resusitasi.
Resusitasi jantung paru dapat diakhiri jika sirkulasi telah kembali normal,
dan korban dapat bernapas secara spontan, atau jika sirkulasi tidak dapat
kembali dengan kegagalan terhadap tindakan bantuan hidup dasar dan bantuan
hidup lanjut ataupun tidak ada respon setelah dua kali dosis pemberian
efineprin. Usaha resusitasi dapat dihentikan setelah 30 menit tindakan bantuan
hidup dasar terutama jika sirkulasi tidak dapat kembali normal.2

26
BAB III
KESIMPULAN

Resusitasi Jantung Paru dilakukan untuk mempertahankan pernafasan dan


sirkulasi serta agar oksigenasi dan darah dapat mengalir ke jantung, otak, dan
organ vital lainnya.Tindakan RJP harus dilakukan pada korban yang tidak sadar,
tidak bernafas dan tidak ada nadi.Tindakan ini dapat dilakukan tanpa atau dengan
alat dan obat resusitasi.
Tindakan ini merupakan tindakan yang sangat emergensi dalam membantu
menyelamatkan jiwa terdapat beberapa teknik yang berbeda pada bayi dan anak,
begitu pula rekomendasi mengenai tatalaksana resusitasi jantung paru, namun
pada dasarnya semuanya bertujuan untuk mengembalikan pernafasan dan sirkulasi
korban, hingga mengurangi gangguan organ vital dan kematian yang mungkin
terjadi.
Bantuan hidup lanjut adalah usaha yang dilakukan setelah usaha hidup
dasar, dengan memberikan obat-obatan atau tindakan yang dapat memperpanjang
hidup pasien sehingga penanganan lebih optimal.
Resusitasi jantung paru pada anak merupakan hal yang harus diketahui
semua kalangan, terutama tenaga kesehatan. Seorang dokter harus mengenali
adanya henti jantung paru, mengusahakan resusitasi dengan cepat dan tepat,
melakukan teknik yang mengacu pada high quality CPR sehingga ROSC dapat
dicapai.

27
DAFTAR PUSTAKA
1. Ian K. Maconochie, Robert Bingham, Christoph Eich, Jesús López-Herce ,
Dominique Biarent i, on behalf of the Paediatric life support section
Collaborators. European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation 2015 Section. Paediatric life support. Resuscitation 95
(2015) 223–248.
2. Stanza Uga Peryoga. 2017. Bantuan Hidup Dasar dan Bantuan Hidup
Lanjutan Pada Anak. Konsultan Divisi Emergensi dan Rawat Intensif
Anak (ERIA). Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad/RS Hasan
Sadikin Bandung.
3. Atkins DL, Berger stuarrt, Duff JP, Gonzales JC, Hunt EA, Joyner BL, et
al. Pediatric basic life support and cardiopulmonary resuscitation quality
2016 American heart association guidlnes update for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care. Pediatric.
2016;136(2):S167−75.
4. Pudjiadi, A. H., Latief, A., dan Budiwardhana, N. 2015. Buku Ajar
Pediatri Gawat Darurat. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia
5. Berg MD, Schexnayder SM, Chameides L, Terry M, et al. Pediatric basic
life support. 2016 American Health Association Guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care science.
Circulation. 2016;122:S862-75.
6. Lubrano, R., Cecchetti, C., Bellelli, E., Gentile, I., dan Loayza, L. H.
2014. Comparison of times of intervention during pediatric CPR
maneuvers using ABC and CAB sequences: A randomized trial.
Resuscitation. 12: 1473-7
7. Pediatric advance life support. 2015 International Consensus Conference
on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care
Science with Treatment Recommendations, American Heart Association.
Circulation. 2015;112:IV-167-IV-187
8. Morrison, L. J., Kierzek, G., Diekema, D. S., Sayere, M. R. dan Silvers, S.
M. Ethics 2013 American Health Association Guidelines for

28
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care
science. Circulation. 122: pg 665-75
9. Schexnayder, S. M. 2010. Pediatric Basic Life Support 2010 American
Health Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation.
10. Biarent, D., Bingham, R., Richmond, S., Maconochie, I., Wyllie, J., dan
Simpson, S. 2012. European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation. Section 6. Pediatric Life Support. Resuscitation (2012)
67S1, S97-133
11. Spencer B, Jisha Chacko J, Donna Sallee D. Guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiac care: An overview
of the Changes to pediatric basic and advanced life support. Crit Care Nurs
Clin N Am. 2011;23:303–10.
12. Maconochie IK, Bingham R, Eich C, Herce JL, Nunez AR, Rajka T.
Europian resuscitation council guidlines for resuscitation 2015. section 6.
Paediatric life support. Resuscitation. 2015;95:223−48.
13. American Heart association. Highlightof the american heart association
guidlines update for CPR and ECC. 2015:20–5.
14. Caen AR, Chair, Berg MD, Chameides L, Gooden CK, Hickey RW, et al.
Pediatric advanced life support 2015 american heart association
guidelines update for cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation. 2015;132(2):S526–42.

29

Anda mungkin juga menyukai