Anda di halaman 1dari 23

REFLEKSI KASUS

MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN DENGAN CHF

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Anestesi di RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh :

Disusun Oleh :

Disusun oleh :
Alfan Al Ghifari Sudarmanto (20204010020)

Pembimbing:
dr. Dedy Hartono, Sp.An

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2021

1
HALAMAN PENGESAHAN
REFLEKSI KASUS

MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN DENGAN HIPERTENSI

Disusun Oleh :
Alfan Al Ghifari Sudarmanto (20204010020)

Telah disetujui dan dipresentasikan pada

Hari, tanggal: Jumat, 3 September 2021

Disahkan oleh:
Dokter pembimbing,

dr. Dedy Hartono, Sp.An

2
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny M
Umur : 88 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Batikan, Trirenggo, Bantul
Pekerjaan : Pensiunan
Agama : Katolik
No. RM : 42-09-90
Tanggal Masuk : 21 Agustus 2021
Ruang : Nusa Indah I

B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama
Nyeri pada paha kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Seorang perempuan datang ke poliklinik orthopedi rujukan dari RS Elizabeth dengan
keluhan nyeri pada paha kanan setelah terjatuh saat berjalan cakram motor 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Pusing (-), mual (-), muntah (-), nyeri kepala (-), demam
(-), sesak (-), batuk (-) dan pilek (-). BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien
merupakan pasien gagal jantung kongestif dengan pengobatan rutin ke dokter spesialis
jantung selama 4 tahun terakhir.
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
 Alergi (-)
 Hipertensi (-)
 Diabetes mellitus (-)
 Jantung (+)
4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)

3
 Hipertensi (-)
 Asma (-)
 Jantung (-)
 Obesitas (-), Dislipidemia (-), DM (-)
5. Evaluasi Pre Anestesi

Ya Tidak
Hilang gigi V
Masalah mobilisasi leher V
Leher pendek V
Batuk V
Sesak napas V
Nyeri dada V
Denyut jantung tidak normal V
Kejang V
Merokok V
Alergi V
Stroke V
Pingsan V
Muntah V
Susah kencing V
Obesitas V
Hipertensi V
Gigi palsu V
Diabetes melitus V

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis

4
2. Vital Sign
TD : 152/53 mmHg
Suhu : 36,3 oC
Nadi : 77 kali/menit (regular)
Respirasi : 22 kali/menit
VAS :3
SpO2 : 99%
 Kepala : Normosefal
 Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), ptosis (-)
 Hidung : Deviasi septum (-), discharge (-), pendarahan (-)
 Telinga : Simetris kanan kiri
 Mulut : Sianosis (-), mukosa bibir lembab (+)
 Thorax
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tampak pada SIC IV
- Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V, kuat angkat
- Perkusi : Redup
- Auskultasi : S1 dan S2 reguler, suara tambahan (+) murmur (-), gallop (+)
Paru-paru
- Inspeksi : Simetris, retraksi dada (-), deformitas (-)
- Palpasi : Ketertinggalan napas (-/-)
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru (+/+)
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi basah basal (+/+), wheezing
(-/-)
Abdomen
- Inspeksi : Deformitas (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) dalam batas normal
- Palpasi : Supel, hepar tidak teraba, lien tidak teraba
- Perkusi : Timpani
Ekstremitas
- Superior : Akral hangat (+/+), edema (-/-), CRT < 2 detik

5
- Inferior : Akral hangat (+/+), edema (-/-), CRT < 2 detik
Pemeriksaan khusus
- Tinggi badan : 153 cm
- Berat badan : 45 kg
- Buka mulut : 3 jari
- Jarak thyromental : >6 cm
- Mallapati :I
- Gerakan leher : Bebas
Status lokalis : femur dextra krepitasi (-), deformitas (+), nyeri tekan (+), ROM terbatas
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan laboratorium tanggal 29 Agustus 2021
Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 11.9 14.0 - 18.0 g/dl
Lekosit 14.14 4.00 - 11.00 10^3/uL
Eritrosit 4.27 4.50 - 5.50 10^6/uL
Trombosit 327 150 – 450 10^3/uL
Hematokrit 32.9 42.0 - 52.0 vol%
HITUNG JENIS
Eosinofil 3 2-4 %
Basofil 0 0-1 %
Batang 0 2-5 %
Segmen 67 51-67 %
Limfosit 27 20-35 %
Monosit 3 4-8 %
GOL DARAH
Golongan Darah AB
HEMOSTASIS
PPT 12.9 12.00-16.0 Detik
APTT 32.7 28.0-38.0 Detik
Control PPT 13.2 11.0-16.0 Detik
Control APTT 1.5 28.0-36.5 Detik

6
FUNGSI HATI
SGOT 14 <37 U/L
SGPT 22 <41 U/I
FUNGSI GINJAL
Ureum 24 17-43 mg/dl
Creatinin 0.55 0.90-1.30 mg/dl
DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu 101 80-200 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 137.1 137.0 – 145.0 mmol/I
Kalium 3.41 3.50-5.10 mmol/I
Klorida 106.6 98.0-107.0 mmol/I
HEPATITIS
HbsAg Negatif Negatif
HIV Screening Non Reaktif Non Reaktif
SERO-IMUNOLOGI
Anti SARS Cov-2 Non-reaktif Non-Reaktif

 Pemeriksaan Radiologis
RO Thorax 21-8-2021

Kesan : Corakan vascular kedua pulmo meningkat


Kedua diafragma licin
Tak tampak penebalan pleural space

7
Cor: CTR > 0,5
Kesan:
Cardiomegali
Corakan vascular pulmo meningkat
RO Femur Dextra Post Op 30-8-2021

Kesan : Post PHR Dextra et Sinistra, posisi baik

8
Echocardiography 22-8-2021
Dimensi ruang jantung normal
Global fungsi sistolik LV dan segmental normal dengan EF 76%
Fungsi sistolik RV normal
Disfungsi diastolic LV tipe relaksasi
AR Moderate

E. DIAGNOSA KERJA
 Diagnosa pra operasi : Closed fracture femur Dextra dengan CHF
 American Society of Anesthesiologist (ASA) : IV, rencana regional anestesi, SAB

E. PENATALAKSANAAN
• Medikamentosa
TS Orthopedi

9
a) pre-op Injeksi cefuroxime 1 gram/12 jam
b) post-op Injeksi Cefuroxime 1 gr/12 jam
TS Kardiologi
a) Injeksi Furosemide 20 mg/12 jam
b) PO Ranipril 1x2,5mg
c) PO Carvedilol 1x3,125mg
TS Anestesi
a) Injeksi Ondancetron 4 mg/8 jam post op
b) Injeksi Paracetamol 500 mg/6 jam jam post op
c) Injeksi Furosemide 20 mg/12 jam post op
d) Injeksi Omeprazole 40mg/12 jam post op
e) Injeksi Ethanyl 400 mcg - 2,5 cc/jam
• Pra anestesi
Intruksi pra anestesi
a) Melengkapi lembar informed consent anestesi.
b) Puasa 8 jam sebelum operasi (mulai tanggal 29 Agustus pukul 01.00 WIB)
c) Pasang IV line dan 3 way, pastikan tetesan lancar.
• Pemantauan Anestesi
Diagnosa pra bedah : Closed Fraktur Collum Femur Dextra
Diagnosa pasca bedah : PO Partial Hip Replacement Femur Dextra
Jenis pembedahan : PHR
Premedikasi :-
Induksi :-
Jenis anestesi : Regional Anestesia
Teknik anestesi : SAB, Jarum No. 25
Posisi Pemasangan : Duduk
Lokasi Pemasangan : Lumbal 3-4
Obat : Bupivacain 5 mg
Pemeliharaan :-
Obat-obat : Injeksi Midazolam 2,5 mg
Injeksi Ondancetron 4 mg

10
Injeksi Paracetamol 1000 mg
Kebutuhan cairan selama operasi
Maintenance Operasi (MO) : 2 cc/KgBB = 2 x 45 Kg = 90 cc
Lama Pengganti Puasa (PP) : 8 jam x MO = 720
Stress Operasi (SO) : 8 x 45 kg = 360 cc (operasi besar)
Kebutuhan cairan I : (1/2 x 90) + 720 + 360 = 1125 cc
Perdarahan : ± 200 cc
Urin output : 50 cc
Total kebutuhan cairan : 1125 cc + 50 cc + 200 cc= 1375 cc
Jumlah pemberian cairan : Infus RL 500 cc (2 kali)
: Infus Asering 500 cc (1 kali)
Sisa kebutuhan : 1500 cc – 1375 cc = 125 cc
Estimation Blood Volume (EBV) : 65 x 45 Kg= 2925 cc
Allowable Blood Loss (ABL) : 20% x 2925 cc= 585 cc
Lama operasi : 1 jam
Monitoring Intraoperatif
Mulai anestesi : 10.10
Mulai operasi : 10.20
Selesai operasi : 11.20
Selesai anestesi : 11.25
Durasi operasi : 1 jam
Laporan pemantauan selama anestesi
Menit ke- Sistole Diastole Pulse SpO2 Obat yang diberikan
(mmHg) (mmHg) (x/menit) (%)
0 (10.10) 100 50 81 100% -
5 (10.15) 85 43 83 100% Injeksi Efedrin 50mg
10 (10.20) 130 63 85 100% Infus Paracetamol 1g,
Ondancentron 4mg
15 (10.25) 108 53 83 100%
20 (10.30) 98 52 84 100%
25 (10.35) 110 53 87 99%

11
30 (10.40) 97 51 89 99%
35 (10.45) 75 42 90 100%
40 (10.50) 85 45 91 100% Injeksi Efedrin 50 mg
45 (10.55) 110 52 92 100%
50 (11.00) 95 44 90 100%
55 (11.05) 92 42 88 100%
60 (11.10) 96 41 86 100%
65 (11.15) 90 43 87 100%
70 (11.20) 92 42 85 100% Selesai Operasi
75 (11.25) 93 44 87 100%

• Pasca Anestesi
Pemantauan di ruang PACU/RR
1. Tekanan vital
Tekanan darah : 105/65 mmHg
Frekuensi nadi : 85 x/menit
Frekuensi napas : 0 x/ menit
Saturasi O2 : 97%
2. Oksigenasi : nasal kanul O2 3 Lpm
3. Score Aldrete pasien

Skor Aldrete Jam I Jam II Jam III Jam IV


Kesadaran 2 2
Sirkulasi 2 2
Pernapasan 2 2
Aktivitas 1 1
Warna Kulit 2 2
Total 9 9

Keterangan: pasien boleh pindah ke bangsal jika skor Aldrete > 8

12
Instruksi pasca operasi
Observasi : Awasi keadaan umum dan vital sign pasien
Posisi : Supine
Infus : Ringer Laktat 20 tpm
Analgetik : Paracetamol 1g/8 jam/IV mulai jam 18.10
Anti muntah : Injeksi Ondansetron 4 mg/8 jam/IV mulai jam 18.10
Lain-lain : Bila peristaltik (+), mual (-), muntah (-), coba makan dan minum
bertahap.

13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. ANALISIS
Bagaimana manajemen pre operatif, durante operatif, dan pasca operatif?

II. PEMBAHASAN TEORI

A. DEFINISI
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung memompa darah dalam jumlah
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrien.
Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung,
sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara
abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung
sisi kiri dan sisi kanan

B. PATOFISIOLOGI
Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu sistem tubuh
melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga jantung tidak mampu
memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung ditandai dengan satu respon
hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal yang nyata serta suatu keadaan patologik berupa
penurunan fungsi jantung. Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan
tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload. Respon terhadap jantung
menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk meningkatkan volume
darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah perifer dan hipertropi otot jantung.
Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa
penimbunan air dan garam oleh ginjal dan aktivasi system saraf adrenergic (Malik et al., 2021).

14
Pada awal gagal jantung akibat CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan
aktivitas saraf simpatis dan sistem renin angiotensin aldosteron, serta pelepasan arginin
vasopressin yang kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan
tekanan darah yang adekuat. Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah
jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan volume darah arteri
yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi neurohumoral. Vasokonstriksi
dan retensi air untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan
preload akan meningkatkan kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini
tidak segera teratasi, peninggian afterload, peninggian preload dan hipertrofi dilatasi jantung
akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi.
Dilatasi ventrikel menyebabkan disfungsi sistolik (penurunan fraksi ejeksi) dan retensi cairan
meningkatkan volume ventrikel (dilatasi).
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas
jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Konsep curah
jantung paling baik dijelaskan dengan persamaan CO= HR X SV dimana curah jantung adalah
fungsi frekuensi jantung X volume sekuncup. Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa
pada setiap kontraksi tergantung pada tiga faktor yaitu:
1) Preload: setara dengan isi diastolik akhir yaitu jumlah darah yang mengisi jantung
berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut
jantung.
2) Kontraktilitas: mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat
sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium.
3) Afterload: mengacu pada besarnya ventrikel yang harus di hasilkan untuk memompa
darah melawan perbedaan tekanan yang di timbulkan oleh tekanan arteriole (LaCombe et al.,
2021).

C. DIAGNOSIS
Pemeriksaan laboratorium pada pasien gagal jantung harus mencakup evaluasi awal pada
jumlah darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum (termasuk pemeriksaan kalsium, magnesium),
blood urea nitrogen (BUN), kreatinin serum, glukosa, profil lipid puasa, tes fungsi ginjal dan
hati, x-ray dada, elektrokardiogram (EKG) dan thyroid-stimulating hormone. Pasien yang

15
dicurigai mengalami gagal jantung, dapat pula dilakukan pemeriksaan kadar serum natrium
peptida (Chen & Burnett, 2000).
Pendekatan pada pasien dengan kecurigaan kegagalan jantung meliputi Riwayat dan
pemeriksaan fisik, foto toraks, dan serangkaian tes yang harus dijalani. Riwayat penyakit sendiri
kurang dapat dipakai dalam menegakkan diagnosa kegagalan jantung, tapi sering kali dapat
memberi petunjuk penyebab dari kegagalan jantung, faktor yang memperberat, dan keparahan
dari penyakit. Gejala gagal jantung dapat dihubungkan dengan penurunan cardiac output (mudah
lelah, dan kelemahan) atau retensi cairan (dyspnea, orthopnea, dan ”cardiac wheezing”). Pada
kasus dengan kegagalan pada jantung kanan dapat menyebabkan terjadinya kongetif hepar.
Retensi cairan juga menyebabkan edema perifer dan asites. Kegagalan pada jantung kiri dapt
menyebabkan gejala berupa munculnya dyspnea on effort. Pulmonary congestion (dengan
crackles dan wheezing) dominan muncul terutama pada keadaan akut maupun subakut
(Vyshedskiy & Murphy, 2012). Diagnosis gagal jantung juga dapat menggunakan kriteria
Framingham.

D. PENATALAKSANAAN
1. Dasar penatalaksanaan pasien gagal jantung adalah:
1) Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung.
2) Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan bahan-bahan
farmakologis.

16
3) Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebihan dengan terapi diuretik diet dan
istirahat.
2. Terapi Farmakologi
a) Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACE-I)
ACE-I harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel
kiri ≤ 40%. ACE-I terkadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi
simtomatik, batuk, dan angioedema (jarang). Oleh sebab itu, ACE-I hanya diberikan pada pasien
dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
Indikasi pemberian ACE-I :
• Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala kontraindikasi pemberian
ACE-I
• Fraksi ejeksi ventrikel kiri > 40 % dengan tanda dan gejala gagal jantung
Kontraindikasi pemberian ACE –I :
• Riwayat angioedema
• Stenosis renal bilateral
• Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
• Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
• Stenosis aorta berat
b) Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACE-I dan β blocker dosis optimal, kecuali
juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB
direkomendasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACE-I. Pada pasien ini, ARB
mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular. Indikasi pemberian ARB :
• Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
• Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACE-I
• ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi
simtomatik sama sepert ACE-I, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk Kontraindikasi pemberian
ARB

17
• Sama seperti ACE-I, kecuali angioedema
• Pasien yang diterapi ACE-I dan antagonis aldosteron bersamaan
• Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACE-I
c) Mineralokortikoid Reseptor Antagonis (MRA)
MRA bekerja dengan cara memblok efek aldosteron, sehingga dapat disebut sebagai antagonis
aldosteron. Penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus dipertimbangkan pada
semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional
III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan
kelangsungan hidup. Indikasi pemberian antagonis aldosteron:
• Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
• Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
• Dosis optimal penyekat β dan ACE-I atau ARB (tetapi tidak ACE-I dan ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron:
• Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
• Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
• Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
• Kombinasi ACEI dan ARB
d) β blocker
β blocker harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel
kiri ≤ 40 %. Β blocker memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup serta mengurangi
perburukan gagal jantung. Indikasi pemberian penyekat β:
• Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
• Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
• ACE-I / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
• Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada kebutuhan
inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat) Kontraindikasi pemberian penyekat β
• Asma
• Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung
permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit)

18
Pre Operasi
Adanya gagal jantung telah digambarkan sebagai faktor risiko yang paling penting untuk
memprediksi morbiditas dan mortalitas perioperatif.Pada periode perioperatif, semua faktor yang
mempresipitasi gagal jantung harus dicari dan diterapi secara agresif sebelum dilakukan anestesi
dan pembedahan. Pasien dengan gagal jantung biasanya sudah mendapatkan pengobatan yang
dapat mempengaruhi tatalaksana anestesi (Jurnal Komplikasi Anestesi, n.d.). Diuretik biasanya
dapat dihentikan pada hari operasi.
Terapi Beta-Blocker dapat diteruskan karena dalam beberapa penelitian menunjukkan
bahwa Beta– Blocker dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas perioperatif. Akibat
penghambatan pada RAAS (Renin Angiotensin Aldosterone System), ACEIs (Angiotensin-
Converting Enzyme Inhibitor) dapat menyebabkan peningkatan resiko terjadinya hipotensi
intraoperatif. Hipotensi tersebut dapat diterapi dengan obat simpatomimetik seperti ephedrine,
agonis seperti phenylephrine atau vasopressin. Jika ACEIs digunakan untuk mencegah
remodeling ventrikel pada pasien gagal ginjal dan disfungsi ginjal pada pasien diabetes,
penghentian obat tersebut pada saat atau 1 hari sebelum operasi tidak secara signifikan akan
mengubah efek obat tersebut. Namun, jika ACEIs digunakan untuk mengobati hiperentensi,
penghentian obat tersebut pada saat atau 1 hari sebelum operasi akan menyebabkan hipertensi
yang signifikan. Penghambat reseptor angiotensin akan menyebabkan blok RAAS yang berat,
oleh karena itu harus distop sehari sebelum operasi. Terapi digoksin dapat dilanjutkan sampai
hari operasi.
Intra-Operasi
Semua jenis anestesi umum dapat digunakan pada pasien dengan gagal jantung, namun
mungkin memerlukan penyesuaian dosis. Opioid mempunyai efek yang menguntungkan pada
pasien dengan gagal jantung oleh karena efeknya pada delta reseptor yang menghambat aktifasi
adrenergik. Ventilasi tekanan positif dan PEEP mungkin menguntungkan karena dapat
menurunkan bendungan paru dan memperbaiki oksigenasi arteri. Pemasangan alat monitor
hemodinamik disesuaikan dengan kompleksitas operasi. Pemasangan monitor tekanan intra arteri
dilakukan pada pasien yang mengalami operasi besar. Monitoring pengisian ventrikel dan status
cairan penting dilakukan karena kelebihan cairan sewaktu periode perioperatif dapat
memperburuk gagal jantung. Pemasangan kateter arteri pulmonalis intraoperatif dapat membantu
mengevaluasi pengisian cairan yang optimal. Penggunaan TEE (Trans Esophageal

19
Echocardiography) merupakan alternatif yang lebih baik karena tidak hanya dapat memonitor
pengisian ventrikel tetapi juga menilai fungsi katup dan gerakan dinding ventrikel. Anestesi
regional dapat dilakukan pada pasien gagal jantung. Penurunan sedang dari SVR (Systemic
Vascular Resistance), sekunder akibat blok system saraf somatik perifer dapat meningkatkan
cardiac output. Namun, penurunan SVR yang diakibatkan oleh anestesi spinal atau epidural
tidak selalu mudah dikontrol atau diprediksi. Pedoman penggunaan obat inotropik dan
vasopresor pada tatalaksana gagal jantung akut telah dipublikasikan oleh ESC (European Society
of Cardiology).Dalam prakteknya, agonis adrenoseptor masih merupakan pilihan pertama.

Pasca-Operasi
Pasien dengan gagal jantung akut sewaktu operasi harus dirawat di unit perawatan
intensif dan monitoring invasif dapat dilanjutkan postoperatif.Tatalaksana nyeri harus dilakukan
secara agresif karena konsekwensi hemodinamik akibat nyeri dapat memperburuk gagal jantung.
Pasien sesegara mungkin diberikan obat-obatan yang biasanya digunakan.

20
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien Ny. M (88 tahun) dengan diagnosa closed fraktur collum femur dextra distal digiti
dengan CHF direncanakan untuk PHR. Pasien termasuk ke dalam ASA IV, yaitu pasien dengan
penyakit sistemik yang mengancam nyawa secara konstan dengan tingkat mortalitas 7,8-23%
(Congestive Heart Failure - StatPearls - NCBI Bookshelf, n.d.).
Untuk pengobatan rutin CHF yang dikonsumsi oleh pasien menggunakan obat
furosemide per oral 20 mg, carvedilol 3,125 mg, dan ramipril sebanyak 2,5 mg. Terapi ini sudah
sesuai dengan derajat terapi pada pasien yang termasuk dalam kategori NYHA grade II yang
merasakan gejala ringan CHF saat beraktivitas normal . Furosemide berperan sebagai loop
diuretic untuk mengeluarkan kelebihan cairan, carvedilol adalah obat beta blocker nonselektif
yang bertunjuan untuk menghambat reseptor beta untuk menurunkan kontraktilitas jantung dan
meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri. Sedangkan ramipril digunakan untuk menghambat
ACE. ACE adalah peptidyl dipeptidase yang mengkatalis konversi angiotensin I menjadi zat
vasokonstriktor, angiotensin II.Angiotensin II menstimulasi sekresi aldosteron oleh korteks
adrenal. Inhibisi dari ACE menyebabkan penurunan angiotensin II plasma, yang menyebabkan
berkurangnya aktivitas vasopressor dan menurunkan sekresi aldosteron. Hilangnya umpan balik
negatif angiotensin II pada sekresi renin menyebabkan peningkatan aktivitas renin plasma.
Peningkatan aktivitas renin plasma dan berkurangnya aldosteron menyebabkan vasodilatasi,
sehingga memberikan efek hipotensif dan efek yang menguntungkan pada gagal jantung.
Untuk meminimalkan resiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama anestesi, pasien
ini telah menjalani puasa selama 8 jam sebelum operasi di lakukan. Lama puasa pada pasien
ini telah sesuai dengan Fasting Guidline Pre-operatif-American Society of Anesthesiology yakni

21
konsumsi cairan maksimal 2 jam preoperasi, makanan rendah lemak 6 jam preoperasi dan
makanan tinggi lemak 8 jam preoperasi, dimana pasien telah berpuasa sejak pukul 01.00 WIB.
Pada pasien dilakukan jenis anastesi yaitu regional anestesi dengan teknik
Subarachnoid Block dimana Bupivacain 0,5% 20 mg disuntikan pada L3-L4. Dengan teknik
pembiusan ini dapat mempertahankan ventilasi spontan sehingga menghindari risiko gangguan
pemulihan pernapasan saat akhir pembedahan (Mulugeta et al., 2020).
Post operative Nausea and Vomiting (PONV) juga dapat terjadi pada sekitar 20-30%
individu yang melakukan pembedahan. Salah satu obat antiemetic yang diugunakan yaitu
adalah ondansetron sebagai anti-emetik. Ondansetron diberikan pada akhir operasi. Dosis
Ondansetron untuk mencegah PONV hingga 2 jam post operasi adalah 4mg/IV
Paracetamol adalah golongan NSAID untuk manajemen nyeri <5 hari (jangka pendek).
Pada pasien ini NSAID yang diberikan adalah Paracetamol 1 gram dengan dosis pemeliharaan
500mg setiap 6 jam.

22
DAFTAR PUSTAKA

Chen, H. H., & Burnett, J. C. (2000). Natriuretic peptides in the pathophysiology of congestive heart

failure. Current Cardiology Reports, 2(3), 198–205. https://doi.org/10.1007/s11886-000-0069-3

Congestive Heart Failure—StatPearls—NCBI Bookshelf. (n.d.). Retrieved September 1, 2021, from

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430873/

Jurnal Komplikasi Anestesi. (n.d.). Retrieved September 1, 2021, from

http://anestesi.fk.ugm.ac.id/jka.ugm/detail-jurnal-33-Tatalaksana-Gagal-Jantung-Perioperatif-

Management-.html

LaCombe, P., Tariq, M. A., & Lappin, S. L. (2021). Physiology, Afterload Reduction. In StatPearls.

StatPearls Publishing. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493174/

Malik, A., Brito, D., & Chhabra, L. (2021). Congestive Heart Failure. In StatPearls. StatPearls

Publishing. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430873/

Mulugeta, H., Zemedkun, A., & Getachew, H. (2020). Selective Spinal Anesthesia in a Patient with Low

Ejection Fraction Who Underwent Emergent Below-Knee Amputation in a Resource-Constrained

Setting. Local and Regional Anesthesia, 13, 135–140. https://doi.org/10.2147/LRA.S277152

Vyshedskiy, A., & Murphy, R. (2012). Crackle Pitch Rises Progressively during Inspiration in

Pneumonia, CHF, and IPF Patients. Pulmonary Medicine, 2012, 240160.

https://doi.org/10.1155/2012/240160

23

Anda mungkin juga menyukai