Anda di halaman 1dari 32

REFLEKSI KASUS

MANAJEMEN ANESTESI DENGAN PENYULIT

IBU HAMIL DENGAN PREEKLAMPSIA BERAT

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Anestesi di RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh :

Disusun Oleh :

Disusun oleh :
Wilda Fadhilah (20194010072)

Pembimbing:
dr. Dedy Hartono, Sp.An

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2021
HALAMAN PENGESAHAN
REFLEKSI KASUS

MANAJEMEN ANESTESI DENGAN PENYULIT IBU HAMIL


DENGAN PREEKLAMPSIA BERAT

Disusun Oleh :

Wilda Fadhilah

20194010072

Telah disetujui dan dipresentasikan pada

Hari, tanggal: Jumat, 23 April 2021

Disahkan oleh:
Dokter pembimbing,

dr. Dedy Hartono, Sp.An


BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Wukirsari, Imogiri, Bantul
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (IRT)
Agama : Islam
No. RM : 46-18-27
Tanggal Masuk : 17 April 2021
Ruang : Bangsal Alamanda

B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan tensi tinggi dan sesak
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Wanita G4P2A1 usia 45 tahun dengan umur kehamilan 35 minggu datang ke
Poli Obsgyn RS Panembahan Senopati Bantul untuk kontrol rutin kehamilan
dengan keterangan G4P2A1 uk 35 minggu BDP AH 2, PEB dengan TD 174/114
mmHg. Pasien merasa sesak sejak semalam, gerakan janin berkurang, kenceng-
kenceng teratur belum dirasakan, keluarnya air ketuban dan lender darah
disangkal. Pasien mengeluh kakinya bengkak (+/+), pusing (-), pandangan kabur
(-), nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-). Pasien menyatakan tensi pasien
meningkat sejak trimester kedua.
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
 Riwayat Preeklampsia saat kehamilan anak ke-3 (Trisemester 2)
 Riwayat Hipertensi sebelum kehamilan disangkal
 Riwayat DM disangkal
 Riwayat Asma (+)
 Riwayat Maag disangkal
 Riwayat Alergi ikan dan telur
4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
 Riwayat Hipertensi pada keluarga (-)
 Riwayat Diabetes Mellitus pada keluarga disangkal
 Riwayat Asma pada keluarga (+)
1. Riwayat Obstetri Ginekologi

 Pasien melakukan ANC rutin di Puskesmas dan RS


Trimester 1: 3x
Trimester 2: 10x
Trimester 3: 3x
 HPHT : 15/08/2020
 HPL: 22/05/2021
 Anak pertama laki-laki dengan berat lahir 3000 gram persalinan spontan 40
minggu, aterm, di bidan.
 Anak kedua abortus usia kehamilan 19 minggu, kuret di PKU Jogja
 Anak ketiga laki-laki dengan berat lahir 3000 gram persalinan spontan usia
kehamilan 39 minggu, aterm, di RSPS.
 Riwayat kontrasepsi : -
5. Evaluasi Pre Anestesi
Tid
Ya
ak
Hilang gigi V
Masalah mobilisasi leher V
Leher pendek V
Batuk V
Sesak napas V
Nyeri dada V
Denyut jantung tidak normal V
Kejang V
Merokok V
Alergi V
Stroke V
Pingsan V
Muntah V
Susah kencing V
Sedang hamil V
Obesitas V
Hipertensi V
Gigi palsu V
Diabetes melitus V

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
 Keadaan Umum : Sedang
 Kesadaran : Compos mentis
2. Vital Sign
TD : 174/114 mmHg
Suhu : 36,6 oC
Nadi : 112 kali/menit (regular)
Respirasi : 21 kali/menit
VAS :4

 Kepala : Simetris
 Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+/+)
 Hidung : Deviasi (-), discharge (-), pendarahan (-)
 Telinga : Simetris kanan kiri
 Mulut : Sianosis (-),mukosa bibir lembab (+), jumlah gigi lengkap (+)
 Thorax :
Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tampak pada SIC IV
 Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V, kuat angkat
 Perkusi : Redup
 Auskultasi : S1 dan S2 reguler, bising jantung (-)
Paru-paru
 Inspeksi : Simetris, retraksi dada (-), deformitas (-)
 Palpasi : Ketertinggalan nafas (-/-)
 Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru (+/+)
 Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi basah basal (-/-),
wheezing (+/+)
 Abdomen
 Inspeksi : Deformitas (-)

 Auskultasi : Bising usus (+), DJJ (+) 158 kali/menit reguler

 Palpasi :

TFU: 34 cm, janin tunggal

1) Leopold I: pada fundus teraba bokong

2) Leopold II: punggung teraba di sebelah kiri

3) Leopold III: presentasi kepala

4) Leopold IV: bagian terbawah janin belum masuk panggul 5/5

5) His (-)

 Vulva

Vaginal Toucher

Hasil: Vulva dan uretra normal, dinding vagina licin, pembukaan 0 cm,

serviks utuh, STLD (-), air ketuban (-), lender darah (-).

 Ekstremitas
- Superior : Akral hangat (+/+), edema (-/-), CRT < 2 detik
- Inferior : Akral hangat (+/+), edema (+/+), CRT < 2 detik
Pemeriksaan khusus
- Tinggi badan : 153 cm
- Berat badan : 104 kg
- Buka mulut : 3 jari
- Jarak thyromental : >6,5 cm
- Mallapati : II
- Gerakan leher : Bebas
- Keadaan umum : Cukup
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan laboratorium tanggal 17 April 2021
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 11.1 12.0 - 16.0 g/dl
Lekosit 11.58 4.00 - 11.00 10^3/uL
Eritrosit 3.59 4.00 - 5.00 10^6/uL
Trombosit 325 150 – 450 10^3/uL
Hematokrit 31.7 36.0 - 46.0 vol%
HITUNG JENIS
Eosinofil 5 2-4 %
Basofil 0 0-1 %
Batang 0 2-5 %
Segmen 66 51-67 %
Limfosit 23 20-35 %
Monosit 6 4-8 %
HEMOSTASIS
PPT 12.5 12.00-16.0 Detik
APTT 26.5 28.0-38.0 Detik
Control PPT 14.3 11.0-16.0 Detik
Control APTT 34.2 28.0-36.5 Detik
FUNGSI HATI
SGOT - 17-43 U/l
SGPT - 0,90-1,30 U/l
Protein Total - 6.20-8.40 g/dl
Albumin - 3.50-5.50 g/dl
Globulin - 2.80-3.20 g/dl
FUNGSI GINJAL
Ureum 7 17-43 mg/dl
Creatinin 0.7 0.06-1.10 mg/dl
DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu 82 80-200 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 136.8 137.0 – 145.0 mmol/I
Kalium 3.31 3.50-5.10 mmol/I
Klorida 106.5 98.0-107.0 mmol/I
SERO-IMUNOLOGI
HbsAg Negatif Negatif
Antigen SARS Cov-2 Negatif Negatif
URINALISA
Protein +3 Negatif

 Pemeriksaan laboratorium tanggal 18 April 2021


Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 10.2 12.0 - 16.0 g/dl
Lekosit 17.39 4.00 - 11.00 10^3/uL
Eritrosit 3.21 4.00 - 5.00 10^6/uL
Trombosit 269 150 – 450 10^3/uL
Hematokrit 27.8 36.0 - 46.0 vol%
HITUNG JENIS
Eosinofil 0 2-4 %
Basofil 0 0-1 %
Batang 1 2-5 %
Segmen 89 51-67 %
Limfosit 8 20-35 %
Monosit 2 4-8 %
HEMOSTASIS
PPT 12 12.00-16.0 Detik
APTT 27.4 28.0-38.0 Detik
Control PPT 14.3 11.0-16.0 Detik
Control APTT 34.2 28.0-36.5 Detik
LEMAK
Kolestrol Total 237 150 - 200 mg/dl
LDL 88 < 115 mg/dl
HDL 40 >50 mg/dl
TG 551 60-150 mg/dl
Protein +1 negatif
FUNGSI GINJAL
Ureum 7 17-43 mg/dl
Creatinin 0.7 0.06-1.10 mg/dl
DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu 82 80-200 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 136.8 137.0 – 145.0 mmol/I
Kalium 3.31 3.50-5.10 mmol/I
Klorida 106.5 98.0-107.0 mmol/I
SERO-IMUNOLOGI
HbsAg Negatif Negatif
Antigen SARS Cov-2 Negatif Negatif
URINALISA
Protein +1 Negatif

 Radiologi
RO Thorax
Gambar 1. Hasil Rontgen Thorax
Kesan :
Cardiomegali dengan edem pulmo awal
Radiologi
USG
Hasil: Tampak janin tunggal, memanjang preskep, DJJ 158x/m, gerak (+)
menurun, placenta dicorpus posterior, AK cukup, TBJ: 2450 gram
 CTG
- FHR Baseline 110 bpm
- Variabilitas >5
- Akselerasi (-)
- Deselerasi (-)
- Gerak (+)
Kesan : Kategori 1

E. DIAGNOSA KERJA
 Diagnosa pra operasi : PEB, G4P2A1 uk 35+3 minggu, BDP, Riw Asma
serangan terakhir 5 tahun yang lalu
 American Sosciety of Anesthesiologist (ASA): II, rencana regional anestesi, SAB

F. PENATALAKSANAAN
 Medikamentosa
a) TS OBSGYN (pre-op)
- Injeksi dexamethasone 5 mg pukul 14.30
- MgSO4 loading dose 4 gram
- MgSO4 maintenance 1gr/jam dalam 24 jam
- Nifedipin 3x10 mg pukul 14.05
- Metildopa 2x250 mg pukul 14.05
- Injeksi Furosemide 20mg pukul 19.00
- Metilprednisolon 3 x 12,5 pukul 19.00
- Rencana SC Emergency besok pagi
TS PARU
- Nebu Combivent pulmicort 1:1 pukul 19.00/8jam
TS OBSGYN (post-op)
- Nifedipin 3x 10 mg
- Metildopa 3x500 mg
- Injeksi Furosemid 20 mg/8 jam
- Injeksi MgS04 4 gram loading dose
- Cek Hb 6 jam post SC
- Terapi Intesif di HCU
b) TS ANASTESI
- Injeksi Ondancetron 4 mg/8 jam post op
- Injeksi Paracetamol 500 mg/6 jam jam post op
- Etanyl 400 mcg post op
 Pra anestesi
Intruksi pra anestesi
a) Melengkapi lembar informed consent anestesi.
b) Puasa 8 jam sebelum operasi (mulai tanggal 17 April pukul 00.00 WIB)
c) Pasang IV line dan 3 way, pastikan tetesan lancar.
 Anestesi
 Diagnosa pra bedah : PEB G4P2A1 uk 35+3 minggu, BDP, Riw Asma
Serangan terakhir 5 tahun yll
Diagnosa pasca bedah : P4A1Ah3 Post SC+MOW a/I PEB, Riw asma serangan 5
tahun yll
Jenis pembedahan : Sectio caesarea
Premedikasi :-
Induksi :-
Jenis anestesi : Regional Anestesia
Teknik anestesi : SAB, Jarum No. 25
Posisi Pemasangan : Duduk
Lokasi Pemasangan : Lumbal 3-4
Obat : Bupivacain 12,5 mg
Pemeliharaan :-
Obat-obat : Injeksi Efedrin 10 mg pukul 09.40
Injeksi Ondancetron 4 mg pukul 09.35
Injeksi Oxytocyn 10 IU pukul 09.50
Injeksi Metylergometrin 0,2 mg pukul 09.55
Injeksi Paracetamol 1000 mg pukul 09.45
Kebutuhan cairan selama operasi
Maintenance Operasi (MO) : 2 cc/KgBB = 2 x 104 Kg = 208 cc
Lama Pengganti Puasa (PP) : 8 jam x MO = 8 x 208 = 1664 cc
Stress Operasi (SO) : 6 x 104 kg = 624 cc (operasi sedang)
Kebutuhan cairan I : (1/2 x 1664) + 208 + 624 = 1664 cc
Kebutuhan cairan II : (1/2 x 1664) + 208/2 + 624/2 = 1248 cc
Perdarahan : ± 200 cc  1: 3  600 cc
Urin output : 50 cc
Total kebutuhan cairan : 1664 cc + 1248 cc + 50 cc + 600 cc= 3562 cc
Jumlah pemberian cairan : Infus RL 500 cc (5 kali)
: Infus Gelofusin 500 cc (2 kali)
Estimation Blood Volume (EBV) : 65 x 104 Kg= 6760 cc
Allowable Blood Loss (ABL) : 20% x 6760 cc= 1352 cc
Lama operasi : 90 menit
 Monitoring Intraoperatif
Mulai anestesi : 09.25
Mulai operasi : 09.30
Selesai operasi : 11.00
Selesai anestesi : 11.05
Durasi operasi : 90 menit
Laporan pemantauan selama anestesi

Diastol
Pulse
Sistole e SpO2
Menit ke- (x/meni Obat yang diberikan
(mmHg) (mmHg (%)
t)
)
0 (09.30) 140 85 90 99% -
Injeksi Ondancentron 4
5 (09.35) 140 90 100 100%
mg
10 (09.40) 80 55 89 98% Injeksi Efedrin 10 mg
Injeksi paracetamol 500
15 (09.45) 95 60 82 100%
mg

20 (09.50) 110 70 75 100% Injeksi Oxytocyn 10 IU

Injeksi Metylergometrin
25 (09.55) 115 65 80 99%
0,2 mg
30 (10.00) 130 70 88 99%
35 (10.05) 135 70 84 100%
40 (10.10) 132 75 74 100%
45 (10.15) 140 75 88 100%
50 (10.20) 140 80 85 100%
55 (10.25) 140 75 80 100%
60 (10.30) 130 80 89 100%
65 (10.45) 130 75 82 100%
70 (10.40) 132 75 75 100%
75 (10.45) 130 75 74 99%
80 (10.50) 135 80 78 99%
85 (10.55) 135 75 80 100%
90 (11.00) 135 75 82 100% Selesai Operasi

 Post Anestesi
a. Pemantauan di ruang PACU/RR
1) Tekanan vital
Tekanan darah : 139/81 mmHg
Frekuensi nadi : 101 x/menit
Frekue
nsi napas : 16 x/ menit
Saturasi O2 : 97%
2) Oksigenasi : nasal kanul O2 3 Lpm
3) Score Bromage pasien

Keterangan: pasien boleh pindah ke bangsal jika skor Bromage <2


c. Instruksi pasca operasi
Posisi : Supine
Infus : Ringer laktat 20 tpm
Analgetik : Injeksi Paracetamol 500 mg/6 jam/IV mulai jam 17.00
Injeksi Etanyl 400 mcg (3 - 5 cc)
Anti muntah: Injeksi Ondansetron 4 mg/8 jam/IV mulai jam 19.00
Lain-lain : awasi keadaan umum dan vital sign pasien,
jika sadar penuh, peristaltik (+), mual (-), muntah (-),
coba minum dan makan perlahan. Jika tekanan sistol kurang dari
90 maka berikan injeksi efedrin 10 mg
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANALISIS

Bagaimana manajemen pre-operatif, durante operatif, dan pasca operatif?

PEMBAHASAN TEORI

A. DEFINISI PRE EKLAMPASIA

Preeeklampsia merupkan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan adanya
disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik dengan
aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya
hipertensi spesifik yang disebabkan oleh kehamilan disertai gangguan system organ
lainnya pada usia kehamilan diatas 20 minggu. Preeklampsia, sebelumnya didefinisikan
dengan adanya hipertensi dan proteinuria yang baru terjadi pada kehamilan (new onset
hypertension with proteinuria). Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi definisi
klasik preeklampsia, beberapa wanita lain menunjukan adanya hipertensi disertai
gangguan multisystem lain yang menunukan adnaya kondisi berat dari preeklampsia
meskipun pasien tersebut tidak mengalami proteinuria. Hipertensi adalah tekanan darah
sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolic pada dua kali
pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama. Sedangkan, hipertensi
berat adalah peningkatan tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau
110 mmHg diastolic (POGI, 2016).

B. EPIDEMIOLOGI PREEKLAMPSIA
Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30 %), hipertensi dalam
kehamilan (25 %) dan infeksi (12%). WHO memeprkirakan kasus preeklampsia tujuh
kali lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan negara maju. Kejadian
preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2-6% dari ibu hamil nulipara yang
sehat. Di negara berkembang, kejadian preeklampsia berkisar antara 4-18%. Insidensi
preeklampsia di Indonesia sendiri adalah 128.273 / tahun atau sekitar 5.3 %. Penyakit
preeklampsia ringan terjadi 75% dan preeklampsia berat terjadi 25%. Dari seluruh
kejadian preeklampsia, sekitar 10% kehamilan umurnya kurang dari 34 minggu.
Kejadian preeklampsia meningkat pada wanita dengan riwayat preeklampsia, kehamilan
ganda, hipertensi kronis dan penyakit ginjal. Pada ibu hamil primigravida terutama
dengan usia muda lebih sering menderita preeklampsia dibandingkan dengan
multigravida. Faktor predisposisi lainnya adalah usia ibu hamil dibawah 25 tahun atau
diatas 35 tahun, mola hidatidosa, polihidramnion dan diabetes.
C. KLASIFIKASI PREEKLAMPSIA
Preeklampsia terbagi atas dua yaitu Preeklampsia Ringan dan Preeklampsia
Berat berdasarkan Klasifikasi menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists, yaitu:
1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:
 Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih, atau
kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan dengan
riwayat tekanan darah normal.
 Proteinuria kuantitatif ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau kualitatif 1+ atau 2+
pada urine kateter atau midstream.
2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:
 Tekanan darah 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik pada dua kali
pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama
 Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+.
 Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam/kurang dari 0,5
cc/kgBB/jam.
 Gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
 Terdapat edema paru dan sianosis
 Hemolisis mikroangiopatik
 Trombositopeni (< 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat)
 Gangguan ginjal : kreatinin serum >1.1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar
kreatinin serum pada kondisi dimana tidakk ada kelainan ginjal lainnya.
 Gangguan liver: peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau
adanya nyeri di daerah epigastrik/ regio kanan atas abdomen
 Pertumbuhan janin terhambat yang ,emjadi tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta
: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction , atau didapatkan adanya absent or
reversed end diastolic velocity (ARDV)
 Sindrom HELLP.
D. ETIOLOGI PREEKLAMPSIA
Etiologi preeklampsia sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Banyak
teori dikemukakan, tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban yang
memuaskan.Sedikitnya terdapat empat hipotesis mengenai etiologi preeklampsia
hingga saat ini, yaitu:

1. Iskemia plasenta, yaitu invasi trofoblas yang tidak normal terhadap arteri spirali
sehingga menyebabkan berkurangnya sirkulasi uteroplasenta yang dapat berkembang
menjadi iskemia plasenta.Implantasi plasenta pada kehamilan normal dan PE
Implantasi plasenta normal yang memperlihatkan proliferasi trofoblas ekstravilus
membentuk satu kolom di bawah vilus penambat. Trofoblas ekstravilus menginvasi
desidua dan berjalan sepanjang bagian dalam arteriol spiralis. Hal ini menyebabkan
endotel dan dinding pembuluh vaskular diganti diikuti oleh pembesaran pembuluh
darah.

2. Peningkatan toksisitas very low density lipoprotein (VLDL).

3. Maladaptasi imunologi, yang menyebabkan gangguan invasi arteri spiralis oleh sel-
sel sinsitiotrofoblas dan disfungsi sel endotel yang diperantarai oleh peningkatan
pelepasan sitokin, enzim proteolitik dan radikal bebas.

4. Genetik.

Teori yang paling diterima saat ini adalah teori iskemia plasenta. Namun, banyak
faktor yang menyebabkan preeklampsia dan di antara faktor-faktor yang ditemukan
tersebut seringkali sukar ditentukan apakah faktor penyebab atau merupakan akibat.
E. PATOFISIOLOGI PREEKLAMPSIA
1. Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan vaskuler
Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang menyebabkan
pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan-bahan vasoaktif (vasopresor),
sehingga pemberian vasoaktif dalam jumlah sedikit saja sudah dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah yang menimbulkan hipertensi. Pada kehamilan normal
kadar angiotensin II cukup tinggi. Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar
prostacyclin dengan akibat meningkatnya thromboksan yang mengakibatkan
menurunnya sintesis angiotensin II sehingga peka terhadap rangsangan bahan vasoaktif
dan akhirnya terjadi hipertensi.
2. Hipovolemia Intravaskuler
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma hingga mencapai 45%,
sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan volume plasma hingga mencapai 30-
40% kehamilan normal. Menurunnya volume plasma menimbulkan hemokonsentrasi
dan peningkatan viskositas darah. Akibatnya perfusi pada jaringan atau organ penting
menjadi menurun (hipoperfusi) sehingga terjadi gangguan pada pertukaran bahan-bahan
metabolik dan oksigenasi jaringan. Penurunan perfusi ke dalam jaringan utero-plasenta
mengakibatkan oksigenasi janin menurun sehingga sering terjadi pertumbuhan janin
yang terhambat (Intrauterine growth retardation), gawat janin, bahkan kematian janin
intrauterin.
3. Vasokonstriksi pembuluh darah
Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap meskipun cardiac output
meningkat, karena terjadinya penurunan tahanan perifer. Pada kehamilan dengan
hipertensi terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasokonstriktor sehingga
keluarnya bahan- bahan vasoaktif dalam tubuh dengan cepat menimbulkan
vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi menyeluruh pada sistem pembuluh darah
arteriole dan pra kapiler pada hakekatnya merupakan suatu sistem kompensasi terhadap
terjadinya hipovolemik. Sebab bila tidak terjadi vasokonstriksi, ibu hamil dengan
hipertensi akan berada dalam syok kronik. Perjalanan klinis dan temuan anatomis
memberikan bukti presumtif bahwa preeklampsi disebabkan oleh sirkulasi suatu zat
beracun dalam darah yang menyebabkan trombosis di banyak pembuluh darah halus,
selanjutnya membuat nekrosis berbagai organ. Gambaran patologis pada fungsi
beberapa organ dan sistem, yang kemungkinan disebabkan oleh vasospasme dan
iskemia, telah ditemukan pada kasus-kasus preeklampsia dan eklampsia berat.
Vasospasme bisa merupakan akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam lapisan
otot polos pembuluh darah, reaksi imunologi, maupun radikal bebas. Semua ini akan
menyebabkan terjadinya kerusakan/jejas endotel yang kemudian akan mengakibatkan
gangguan keseimbangan antara kadar vasokonstriktor (endotelin, tromboksan,
angiotensin, dan lain-lain) dengan vasodilatator (nitritoksida, prostasiklin, dan lain-lain).
Selain itu, jejas endotel juga menyebabkan gangguan pada sistem pembekuan darah
akibat kebocoran endotelial berupa konstituen darah termasuk platelet dan fibrinogen.
Vasokontriksi yang meluas akan menyebabkan terjadinya gangguan pada fungsi
normal berbagai macam organ dan sistem. Gangguan ini dibedakan atas efek terhadap
ibu dan janin, namun pada dasarnya keduanya berlangsung secara simultan. Gangguan
ibu secara garis besar didasarkan pada analisis terhadap perubahan pada sistem
kardiovaskular, hematologi, endokrin dan metabolisme, serta aliran darah regional.
Sedangkan gangguan pada janin terjadi karena penurunan perfusi uteroplasenta.
Gangguan Patofisiologis pada Preeklampsia :
1) Perubahan kardiovaskuler.
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada preeklampsia
dan eklamsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan peningkatan
afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh
berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan atau yang secara iatrogenik
ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid intravena, dan aktivasi endotel
disertai ekstravasasi ke dalam ruang ektravaskular terutama paru.
2) Metabolisme air dan elektrolit
Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklampsia dan eklamsia tidak diketahui
penyebabnya. Jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak pada penderita
preeklampsia dan eklamsia daripada pada wanita hamil biasa atau penderita
dengan hipertensi kronik. Penderita preeklampsia tidak dapat mengeluarkan
dengan sempurna air dan garam yang diberikan. Hal ini disebabkan oleh
filtrasi glomerulus menurun, sedangkan penyerapan kembali tubulus tidak
berubah. Elektrolit, kristaloid, dan protein tidak menunjukkan perubahan yang
nyata pada preeklampsia. Konsentrasi kalium, natrium, dan klorida dalam serum
biasanya dalam batas normal.
3) Mata
Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah. Selain itu dapat
terjadi ablasio retina yang disebabkan oleh edema intra-okuler dan merupakan salah
satu indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan. Gejala lain yang menunjukan tanda
preklamsia berat yang mengarah pada eklamsia adalah adanya skotoma,
diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan preedaran darah
dalam pusat penglihatan dikorteks serebri atau didalam retina.
4) Otak
Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks
serebri, pada keadaan yang berlanjut dapat ditemukan perdarahan.
5) Uterus
Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada plasenta, sehingga
terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin.
Pada preeklampsia dan eklamsia sering terjadi peningkatan tonus rahim dan
kepekaan terhadap rangsangan, sehingga terjadi partus prematur.
6) Paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklamsia biasanya disebabkan oleh edema paru
yang menimbulkan dekompensasi kordis. Bisa juga karena terjadinya aspirasi
pneumonia, atau abses paru.
F. DIAGNOSIS
 Anamnesis
Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diplopia,
penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-muntah. Gejala-
gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan merupakan
petunjuk bahwa eklampsia akan timbul (impending eklampsia). Tekanan darah pun
akan meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria bertambah meningkat.
 Pemeriksaanfisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tekanan sistolik 30 mmHg dan
diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat ≥ 140/90 mmHg pada
preeklampsia ringan dan ≥ 160/110 mmHg pada preeklampsia berat. Selain itu kita
juga akan menemukan takikardia, takipneu, edema paru, perubahan kesadaran,
hipertensi ensefalopati, hiperefleksia, sampai tanda-tanda pendarahan otak.
 Pemeriksaan Penunjang
Penemuan yang paling penting pada pemeriksaan laboratorium penderita
preeklampsia yaitu ditemukannya protein pada urine. Pada penderita preeklampsia
ringan kadarnya secara kuantitatif yaitu ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau secara
kualitatif +1 sampai +2 pada urine kateter atau midstream. Sementara pada
preeklampsia berat kadanya mencapai ≥ 500 mg perliter dalam 24 jam atau secara
kualitatif ≥ +3. Pada pemeriksaan darah, hemoglobin dan hematokrit akan meningkat
akibat hemokonsentrasi. Trombositopenia juga biasanya terjadi. Penurunan produksi
benang fibrin dan faktor koagulasi bisa terdeksi. Asam urat biasanya meningkat
diatas 6 mg/dl. Kreatinin serum biasanya normal tetapi bisa meningkat pada
preeklampsia berat. Alkalin fosfatase meningkat hingga 2-3 kali lipat. Laktat
dehidrogenase bisa sedikit meningkat dikarenakan hemolisis. Glukosa darah dan
elektrolit pada pasien preeklampsia biasanya dalam batas normal.
G. TATALAKSANA PREEKLAMPSIA
1. Perawatan pada preeklampsia ringan
 Manajemen ekspetatif direkomendadikan pada kasus preeklpamsia ringan
atau tanpa gejala berta dengan usia kehamilan < 37 minggu dengan
evaluasi maternal dan janin lebih ketat
 Evaluasi ketat yang dilakukan adalah :
- Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh pasien
- Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis
- Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu
- Evalusai USGdan kesejahteraan janin berkala (dianjurkan 2x/minggu)
- Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi
menggunakan doppler velocimetry terhadap arteri umbilikal
(POGI,2016).
2. Perawatan pada preeklampsia berat
Perawatan preeklampsia berat dibagi menjadi dua unsur:
 Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya: yaitu terapi medikamentosa
dengan pemberian obat-obatan untuk penyulitnya
 Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya: yang
tergantung pada umur kehamilannya dibagi 2, yaitu:
1. Ekspektatif; Konservatif : bila umur kehamilan < 37 minggu, artinya:
kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil memberi terapi
medikamentosa
2. Aktif, agresif: bila umur kehamilan > 37 minggu, artinya kehamilan
diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi.
Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi sedativa yang kuat untuk
mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut sudah diatasi,
tindakan selanjutnya adalah cara terbaik untuk menghentikan kehamilan.(2)
Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada
neonatus berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi plasenta
baik akut maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress baik pada saat
kelahiran maupun sesudah kelahiran.(8)
Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,
pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap penyulit
organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan. Pemeriksaan sangat teliti
diikuti dengan observasi harian tentang tanda tanda klinik berupa : nyeri kepala,
gangguan visus, nyeri epigastrium dan kenaikan cepat berat badan. Selain itu perlu
dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran proteinuria, pengukuran tekanan
darah, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan USG dan NST.(8)
Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan preeklampsia
ringan, dibagi menjadi dua unsur yakni sikap terhadap penyakitnya, yaitu pemberian
obat-obat atau terapi medisinalis dan sikap terhadap kehamilannya ialah manajemen
agresif, kehamilan diakhiri (terminasi) setiap saat bila keadaan hemodinamika sudah
stabil.(8)
Medikamentosa
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap
dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada
preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia dan
eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oligouria.
Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat
menentukan terjadinya edema paru dan oligouria ialah hipovolemia, vasospasme,
kerusakan sel endotel, penurunan gradient tekanan onkotik koloid/pulmonary
capillary wedge pressure. Oleh karena itu monitoring input cairan (melalui oral
ataupun infuse) dan output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya
harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan
dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda tanda edema paru, segera dilakukan
tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa a) 5% ringer dextrose atau
cairan garam faal jumlah tetesan:<125cc/jam atau b) infuse dekstrose 5% yang tiap 1
liternya diselingi dengan infuse ringer laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.(8)
Di pasang foley kateter untuk mengukur pengeluaran urin. Oligouria terjadi
bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam. Diberikan
antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat
menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup
protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.(8)
Pemberian obat antikejang(8)
MgSO4
Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibanding
fenitoin, berdasar Cochrane review terhadap enam uji klinik yang melibatkan 897
penderita eklampsia.
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium
sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi
(terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar kalsium
yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat. Magnesium
sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk antikejang pada
preeklampsia atau eklampsia.
Cara pemberian MgSO4
- Loading dose : initial dose 4 gram MgSO 4: intravena, (40 % dalam 10 cc) selama
15 menit
- Maintenance dose : Diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6 jam; atau
diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram im
tiap 4-6 jam
Syarat-syarat pemberian MgSO4
- Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukonas
10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit
- Refleks patella (+) kuat
- Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas
Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah 24 jam
pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian magnesium sulfat
dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 % dari pemberiannya
menimbulkan efek flushes (rasa panas)
Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau
fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin
sodium mempunyai khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk jaringan otak
dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin sodium
diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian intravena 50
mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat. Pengalaman pemakaian
fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit.
Diuretikum
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru,
payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah furosemida.
Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia,
memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, memnimbulkan
dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin.
Antihipertensi
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut off)
tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan cut off
yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmhg dan MAP ≥ 126 mmHg. Tekanan darah
diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan
tekanan darah diturunkan mencapai < 160/105 atau MAP < 125. Jenis antihipertensi
yang diberikan sangat bervariasi. Obat antihipertensi yang harus dihindari secara
mutlak yakni pemberian diazokside, ketanserin dan nimodipin.
Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralazin
(apresoline) injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada arteriole
yang menimbulkan reflex takikardia, peningkatan cardiac output, sehingga
memperbaiki perfusi uteroplasenta. Obat antihipertensi lain adalah labetalol injeksi,
suatu alfa 1 bocker, non selektif beta bloker. Obat-obat antihipertensi yang tersedia
dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah clonidin (catapres). Satu ampul
mengandung 0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan dalam 10 cc larutan garam faal
atau larutan air untuk suntikan.
Antihipertensi lini pertama
- Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg
dalam 24 jam
Antihipertensi lini kedua
- Sodium nitroprussida : 0,25µg iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25µg iv/kg/5
menit.
- Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10 mg/menit/dititrasi.
Kortikosteroid
Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah
jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik (akibat
kerusakan sel endotel pembuluh darah paru). Prognosis preeclampsia berat menjadi
buruk bila edema paru disertai oligouria.
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu.
Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga diberikan pada
sindrom HELLP.
H. MANAJEMEN OPERATIF PADA PREEKLAMPSIA
a. Manajemen pre-operatif
Dengan banyaknya organ yang mengalami perubahan patologis, evaluasi pre
anestesi dilakukan lebih dini karena tindakan pembedahan Caesar pada
preeklampsia/eklampsia dapat dilakukan secara semi elektif atau darurat.
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menentukan
pilihan cara anestesinya. Pemeriksaan laboratorium meliputi platelet, fibrinogen,
PT/APTT, ureum, creatinin, fungsi liver dan konsentrasi Mg, dilakukan setiap 6-
8 jam sampai dengan pasca bedah dini. Monitoring dilakukan terhadap fetus dan
fungsi vital ibu, yaitu tekanan darah, cairan masuk dan keluar, refleks tendon,
pelebaran serviks, dan frekuensi kontraksi uterus. Tekanan darah dan pulsasi
nadi diukur setiap 15 menit selam minimum 4 jam sampai stabil dan seterusnya
setiap 30 menit. Dilakukan pemasangan kateter urin dan urin output diukur
setiap jam disesuaikan dengan pemberian cairan. Terbatasnya waktu pada
persiapan bedah emergensi, persiapan anestesi dan pembedahan harus selengkap
mungkin karena penderita yang dihadapi penuh dengan risiko. Persiapan yang
dilakukan meliputi persiapan alat, penilaian dan persiapan pasien, dan persiapan
obat anestesi yang diperlukan. Penilaian dan persiapan penderita diantaranya
meliputi :

1.      Penilaian klinis penanggulangan keadaan darurat

2.      Informasi penyakit

- Anamnesis/heteroanamnesi kejadian penyakit


- Riwayat alergi, hipertensi, diabetes mellitus, operasi sebelumnya, asma,
komplikasi transfusi darah (apabila pernah mendapatkan transfusi)
- riwayat keluarga (penyakit dan komplikasi anestesia)
- makan minum terakhir (mencegah aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau
muntah pada saat anestesi)

 Persiapan operasi yang tidak kalah penting yaitu informed consent, suatu
persetujuan medis untuk mendapatkan ijin dari pasien sendiri dan keluarga pasien
untuk melakukan tindakan anestesi dan operasi, sebelumnya pasien dan keluarga
pasien diberikan penjelasan mengenai risiko yang mungkin terjadi selama operasi
dan post operasi.
.
b. Manajemen Intraoperatif

Premedikasi jarang diberikan terutama pada penderita dengan keadaan umum yang
buruk, atau karena keterbatasan waktu. Namun pada beberapa kasus dapat diberikan
premedikasi secara intravena atau intramuskular dengan antikolinergik disertai
pemberian antasida, antagonis reseptor H2 atau metoclopramide, walaupun tidak
efektif dan menguntungkan. Pemberian obat anti mual dan muntah ini sangat
diperlukan dalam operasi seksiosesarea cito karena merupakan usaha untuk
mencegah adanya aspirasi dari asam lambung.

Tindakan pemilihan jenis anestesi pada pasien obstetri diperlukan beberapa


pertimbangan. Teknik anestesi disesuaikan dengan keadaan umum pasien, jenis dan
lamanya pembedahan dan bidang kedaruratan. Metode anestesi sebaiknya seminimal
mungkin mendepresi janin, sifat analgesi cukup kuat, tidak menyebabkan trauma
psikis terhadap ibu dan bayi, toksisitas rendah, aman, nyaman, relaksasi otot tercapai
tanpa relaksasi rahim dan memungkinkan ahli obstetri bekerja optimal. Anastesi
umum maupun regional (spinal, epidural combine spinal epidural) dapat dilakukan
pada pasien yang akan dilakukan section caesarea. Anastesi spinal lebih baik
digunakan pada seksio sesarea, karena menguntungkan bagi ibu dan bayi, dimana
tidak adanya induksi yang mempengaruhi sistem sirkulasi darah yang dapat secara
langsung mempengaruhi kondisi janin.

Anastesi spinal adalah suatu metode anestesi dengan menyuntikkan obat analgetic
local kedalam ruang subarachnoid di daerah lumbal. Pada seksio sesarea blockade
sensoris spinal yang lebih tinggi penting karena daerah yang akan dianastesi lebih
luas, diperlukan dosis agen anastesi yang lebih besar dan meningkatkan frekuensi.
Pada tindakan pre-medikasi sekitar 15-30 menit sebelum anestesi, berikan antasida
dan lakukan observasi tanda vital. Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung
pasien dan memakai sarung tanga steril, pungsi lumbal dilakukan dengan
menyuntikan jarum lumbal (biasanya no 23 atau 25) pada bidang median setinggi
vertebral L3-L4 atau L4-5. Jarum lumbal akan menembus berturut turut ligament,
sampai akhirnya menembus duramater-subarachnoid. Setelah stilet dicabut, cairan
serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetic
local ke dalam subarachnoid tersebut. Daerah pungsi ditutup dengan kasa dan plester,
kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi. Biasanya anestesi spinal dilakukan
untuk pembedaha pada daerah diinervasi oleh cabang TH4 (papilla mammae ke
bawah). Obat anastesi spinal yang sering digunakan lidocaine 1-5% dan Bupivacain
HCL 0,25-0,75 %.

c. Manajemen Post operatif


Pemberian cairan pada post partum harus dibatasi dengan memperhatikan diursesis
spontan yang kadang terjadi dalam 36-48 jam setelah persalinan. Total cairan intravena
yang diberikan 80 ml/jam: Ringer Laktat atau yang ekuivalen. Pemberian cairan oral
dapat diberikan secara lebih bebas. Urin output harus dimonitor setiap jam dan tiap 4
jam dijumlahkan dan dicatat. Jika total cairan yang masuk lebih dari 750 ml dari cairan
yang keluar dalam waktu 24 jam, maka diberikan furosemid 20 mg iv. Kemudian dapat
diberikan gelofusine jika sudah terjadi diuresis. Jika total cairan yang masuk kurang
dari 750 ml dari cairan yang keluar dalam waktu 24 jam, maka diberikan 250 ml
gelofusine. Jika urin output masih kurang, maka diberikan furosemide 20 mg iv.
BAB III
PEMBAHASAN

Setelah dilakukan rangkaian pemeriksaan diagnostik di RSUD Panembahan Senopati


Bantul pada pasien didapatkan G4P2A1 uk 35+3 minggu dengan PEB, BDP, Riw asma
5 tahun yll. Sehingga dilakukan tindakan penatalakasanaan berupa Sectio cesaria. Pada
pasien telah dilakukan penatalaksanaan di bangsal berupa pemberian nifedipine 3x10
mg, metildopa 3x500 mg, injeksi dexamethasone 5mg dan injeksi furosemide 20 mg.
Pasien sudah dikonsultasikan ke bagian anestesi dan obsgyn untuk dilakukan pro SC
emergency dan MOW. Sebelum dilakukan tindakan anestesi didapatkan hasil
pemeriksaan nadi pre anastesi 130x/m tekanan darah 150/80 mmHg dan frekuensi
pernafasan 21x/menit dan penentuan status operasi yaitu ASA II.
Pada pasien ini dikatakan PEB karena telah memenuhi beberapa kriteria PEB
dengan tekanan darah >160 mmHg sistolik dan 110 mmHg diastolic, proteinuria
kualitatif +1 dan terdapat gambaran awal edem pulmo. Faktor resiko preeklampsia berat
pada pasien ini adalah terdapat riwayat preeklampsia sebelumnya, usia 45 tahun,
obesitas klas III karena IMT 44.4 (>40.00). Pasien dalam kasus ini masuk dalam
golongan ASA II, yaitu penyakit sistemik sedang ringan yang disebabkan karena
kondisi operatif atau kondisi penyakit lain yang terkontrol. Mortalitas ASA II mencapai
0.27-0.4% karena pasien adalah ibu hamil. Untuk meminimalkan resiko aspirasi isi
lambung ke jalan nafas selama anestesi, pasien ini telah menjalani puasa selama 8 jam
sebelum operasi di lakukan. Lama puasa pada pasien ini telah sesuai dengan Fasting
Guidline Pre-operatif-American Society of Anesthesiology yakni konsumsi cairan
maksimal 2 jam preoperasi, makanan rendah lemak 6 jam preoperasi dan makanan
tinggi lemak 8 jam preoperasi, dimana pasien telah berpuasa sejak pukul 01.00 WIB.
Pada kasus ini pasien direncanakan untuk dilakukan bedah caesar dan pasien
telah menyetujui untuk dilakukan operasi sehingga dapat dilakukan persiapan anestesi.
Perencanaan section caesaria harus senantiasa memperhatikan keselamatan ibu maupun
anak. Anastesi umum maupun regional (spinal, epidural combine spinal epidural) dapat
dilakukan pada pasien yang akan dilakukan section caesarea. Anastesi spinal lebih baik
digunakan pada seksio sesarea, karena menguntungkan bagi ibu dan bayi, dimana tidak
adanya induksi yang mempengaruhi sistem sirkulasi darah yang dapat secara langsung
mempengaruhi kondisi janin. Pada pasien ini dilakukan Regional Anastesi (RA) dengan
Sub Arakhnoid Block (SAB), yaitu pemberian obat anestesi lokal ke ruang
subarakhnoid, sehingga pada pasien dipastikan tidak terdapat tanda-tanda hipovolemia.
Teknik ini sederhana, cukup efektif. Obat anastesi regional yang digunakan adalah
Bupivacaine HCL 12,5 mg yang merupakan anestesi lokal golongan amida. Obat
anestesi regional bekerja dengan menghilangkan rasa asakit atau sensasi pada daerah
tertentu dari tubuh. Cara kerjanya yaitu memblok proses konduksi syaraf perifer
jaringan tubuh, bersifat reversibel. Mula kerja lambat dibandmg lidokain, tetapi lama
kerja 8 jam. Setelah itu posisi pasien dalam keadaan terlentang (supine).
Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan kepala
menunduk hingga prossesus spinosus mudah teraba. Dicari perpotongan garis yang
menghubungkan kedua crista illiaca dengan tulang punggung yaitu antara vertebra
lumbal 3-4, lalu ditentukan tempat tusukan pada garis tengah. Kemudian disterilkan
tempat tusukan dengan alkohol dan betadin. Jarum spinal nomor 25 ditusukkan dengan
arah median, barbutase positif dengan keluarnya LCS (jernih) kemudian dipasang spuit
yang berisi obat anestesi dan dimasukkan secara perlahan-lahan. Monitor tekanan darah
setiap 5 menit sekali untuk mengetahui penurunan tekanan darah yang bermakna.
Hipotensi terjadi bila penuruann tekanan darah sebesar 20-30% atau sistol kurang dari
100 mmHg. Hipotensi merupakan salah satu efek dari pemberian obat anestesi spinal
karena penurunan kerja syaraf simpatis.
Paracetamol 1000 mg secara intravena diberikan sesaaat sebelum operasi,
parasetamol merupakan obat analgesic non narkotik yang bekerja menghambat sintesis
prostaglandin terutama di sistem saraf pusat. Bertujuan untuk mengatasi nyeri akut
jangka pendek post operasi, dengan durasi kerja 6-8 jam. Ondancentron 4 mg diberikan
secara intravena, ondancentron merupakan antiemetic antagonis reseptor serotonin 5
HT3 yang efektif untuk Post Operative Nausea and Vomitting (PONV) yakni perasaan
mual-muntah yang dirasakan dalam 24 jam setelah prosedur anestesi dan pembedahan.
Pemberian anti mual-muntah sangat diperlukan dalam operasi section caesaria
emergensi dimana merupakan usaha untuk mencegah adanya aspirasi asam lambung.
Pada pasien ini berikan cairan infus RL (ringer laktat) sebagai cairan fisiologis untuk
mengganti cairan dan elektrolit yang hilang karena cairan kristaloid mengandung
elektrolit dengan BM rendah (<8000 dalton) dengan atau tanpa glukosa karena tekanan
onkotik rendah maka cepat terdistribusi keseluruh ruang extravaskuler. Sesudah RL
habis lalu diganti gelofusin (gelatin) sebagai cairan koloid karena mempunyai berat
molekul tinggi dengan aktivitas osmotic yang menyebabkan cairan cenderung lebih
lama di dalam ruang intravaskuler. Indikasi gelatin ialah penggantian volume primer
pada hipovolemia, stabilisasi sirkulasi perioperative.
Sesaat setelah bayi lahir dan plasenta diklem diberikan oxytocin 10 IU (1
ampul) per drip , 10 UI diberikan secara bolus IV. Pemberian oksitosin bertujuan untuk
mencegah perdarahan dengan merangsang kontraksi uterus secara ritmik atau untuk
mempertahankan tonus uterus post partum, dengan waktu partus 3-5 menit. Lalu
diberikan metylergometrin 0,2 mg yang bertujuan untuk menghentikan perdarahan
dengan mempertahankan kontraksi rahim. Pada pasien ini lahir bayi berjenis kelamin
laki-laki, BBL 2400 gram, PB 47 cm. LK 31 cm, LD 32 cm, air ketuban jernih dan
APGAR score 7/9 . Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke HCU dengan posisi
berbaring dan kepala lebih tinggi untuk mencegah spinal headache, dikarenakan efek
obat anastesi masih ada. Observasi post section caesaria dilakukan 2 jam dan dilakukan
pemantauan secara ketat (tekanan darah, nadi, suhu dan respiratory rate) dan
memperlihatkan banyaknya darah yang keluar dari jalan lahir. Oksigen tetap diberikan 3
liter/menit.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG. Hipertensi dalam kehamilan. Dalam Obstetri Williams. Edisi


ke-18. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995. pp. 773-819.
2. Cunningham FG. Hypertensive disorders in pregnancy. In Williams Obstetri.
22nd Ed. New York: Medical Publishing Division; 2005. pp. 762-74.
3. Rachma N. Eklampsia: preventif dan rehabilitasi medik pre dan post partum. In
Holistic and Comprehensive Management Eclampsia. Surakarta: FK UNS; 2008.
pp. 99.
4. Wibowo B, Rachimhadi T. Preeklampsia dan eklampsia. Dalam: Ilmu
Kebidanan. Edisi ke-3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
2006. pp. 281-99.
5. College Of Obstetricians And Gynaecologists. Consensus statement on the
management of pre-eclampsia. Singapore; 2006.
6. Perkumpulan Obstetri Ginekologi (POGI) & Himpunan Kedokteran Feto
Maternal (HKFM). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK): Ketuban
Pecah Dini.
7. Indonesia: POGI & HKFM. 2016; 1-17/ http:/www.alumniobgynunpad.com
8. Prasetyorini N. Penanganan preeklampsia dan eklampsia. Seminar POGI
Cabang Malang. Malang: Divisi Kedokteran Feto Maternal - FKUB/RSSA;
2009.
9. Morgan HA. Anesthesia for pediatric surgery. In: Devison JK, Eckhardt III WF,
Perese DA (Eds.). Clinical anesthesia procedures of the Massachussets General
Hospital. 4th ed. Little Brown and Company; 1993.
10. Miller RD. Millers Anesthesia: Anesthesia for obstetrics. 7th edition.
11. Balestrieri PJ. Preeclampsia. 2001. Available from:
http://www.gasnet.anesthesiology.com
12. Wijayanto N, Leksana E, Budiono U. Pengaruh anestesi regional dan general
pada sectio cesaria padad ibu dengan pre eklampsia berat terhadap Apgar score.
Jurnal Anestesiologi Indonesia. 2012;4(2):115-26.

Anda mungkin juga menyukai