Anda di halaman 1dari 12

REFLEKSI KASUS

“ANEMIA MIKROSITIK HIPOKROMI”

Dosen Pembimbing :
Letnan Kolonel (Kes) dr. R. Triyono Edhi S., Sp.PD

Disusun Oleh :
Jeinzen Sulingallo
42170111

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN UDARA DR. S. HARDJOLUKITO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2018
I. IDENTITAS
Nama : Ny. SW
Umur : 49 th
Alamat : Sitimulyo, Piyungan, Bantul
Pekerjaan : Karyawan Swasta
No. RM : 133488
Masuk RS : 26 Juli 2018

II. ANAMNESIS
Keluhan utama
Nyeri Kepala
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSPAU Dr. S. Hardjolukito dengan keluhan utama
nyeri kepala. Nyeri kepala dirasakan sudah semenjak kemarin. Nyeri kepala
berdenyut diseluruh bagian kepala, nyeri kepala dirasakan seperti ingin jatuh,
demam sejak kemarin, perut terasa sebah di uluhati, gampang kenyang, mual
(-), muntah (-), BAB dbn, BAK dbn, makan dan minum baik, sedang haid hari
ke 6 dan masih belum berhenti.
Riwayat Penyakit Dahulu
Diabetes Melitus, Maag
Riwayat Penyakit Keluarga
Bapak Diabetes Melitus
Riwayat Alergi
Pasien mengaku tidak mempunyai riwayat alergi baik obat maupun makanan
Gaya Hidup
Pasien adalah seorang karyawan swasta sebagai seorang guru. Aktivitas pasien
adalah pagi sampai sore hari di sekolah dan sisanya di rumah. Untuk olah raga jarang
dilakukan, dari segi makan dan minum baik, makan 3x sehari, nasi sayur dan lauk,
minum baik, lebih banyak mengonsumsi air putih dibanding minuman lain.

2
III. PEMERIKSAAN FISIK
Deskripsi Umum
 Keadaan Umum : Sakit Sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 GCS : E4 V5 M6
 Vital sign :
Tekanan darah : 129/63 mmHg
Nadi : 109 x/menit
Pernapasan : 22 kali/menit
Suhu : 38,7C
 Status Lokalis
 Kepala : Normocephali
 Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
 Leher : pembesaran KGB (-)
 Thorax :
o Cor : bunyi S1 dan S2 ireguler, murmur (-)
o Pulmo : Vasikuler (+/+), Wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
 Abdomen : nyeri tekan (+) pada regio epigastrium, supel, Bising
usus (+)
 Ekstrimitas : CRT > 2 detik, akral dingin, edema (-)
 Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium
Pemeriksaan Hasil
Hemoglobin 4,8 g/dl
Leukosit 6.920/mm3
Hematokrit 15,4 %
Eritrosit 1,84 jt/mm3
Trombosit 253.000
MCV 83,5 fL

3
MCH 26,1 pg
MCHC 31,3 g/dl
LED 56 mm/jam
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0%
Eosinofil 0%
Batang 0%
Segmen 81 %
Limfosit 15 %
Monosit 4%
Gol. Darah O
Natrium 129,1 mmol/L
Kalium 4,15 mmoL/L
Clorida 98,2 mmL/L
SGOT 16 U/L
SGPT 14 U/L
Ureum 19 mg/dl
Kreatinin 0,86 mg/dl
GDS 276 mg/dl

V. DIAGNOSIS KLINIS
Anemia Mikrositik Hipokromik ec Menometroragia, DM tipe 2, Cephalgia

VI. PLANNING
Medikamentosa :
- Injeksi Raniitidin 1A
- Injeksi Ketorolac 1A

Terapi lanjutan
- Injeksi Esofer 1A/24jam
- Injeksi Metoklopramid 1A/8jam
- Injeksi vitamin K 1A/24jam

4
- Injeksi Transamin 1A/24jam
- Injeksi Cefotaxim 1g/12jam
- Antasida 3x Cth 2
- Glibenklamid
- Transfusi Fresh Whole Blood, jika tidak ada ganti dengan PRC 2 half/ hari,
setelah 2 hari Hb dicek ulang

VII. REFLEKSI KASUS


 Diagnosa Medis
Secara kinis Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau hemoglobin
(protein pembawa O2) dari nilai normal dalam darah sehingga tidak dapat memenuhi
fungsinya untuk membawa O2 dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer sehingga
pengiriman O2 ke jaringan menurun.
Secara fisiologi, harga normal hemoglobin bervariasi tergantung umur, jenis kelamin,
kehamilan, dan ketinggian tempat tinggal. Oleh karena itu, perlu ditentukan batasan kadar
hemoglobin pada anemia.
KELOMPOK HEMOGLOBIN
UMUR
( gr/dl )
6 bulan – 6 tahun <11
ANAK
6 tahun – 14 tahun <12
Wanita dewasa <12
DEWASA Laki-laki dewasa <13
Ibu hamil <11

 Faktor Lifestyle
Pasien adalah seorang karyawan swasta sebagai seorang guru. Aktivitas pasien adalah
pagi sampai sore hari di sekolah dan sisanya di rumah. Untuk olah raga jarang dilakukan, dari
segi makan dan minum baik, makan 3x sehari, nasi sayur dan lauk, minum baik, lebih banyak
mengonsumsi air putih dibanding minuman lain. Sebelum masuk rumah sakit pasien sedang
sibuk dikarenakan ada banyak kegiatan di Sekolah sehingga membuat waktu istirahat
berkurang. Selain itu pasien juga sedang mengalami Haid, dan haidnya pada hari ke 3
mengalami pendarahan yang banyak. Pada saat masuk rumah sakit pasien masih haid , haid
hari ke 6.

5
Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
1) Gangguan pembentukan eritrosit
Gangguan pembentukan eritrosit terjadi apabila terdapat defisiensi substansi
tertentu seperti mineral (besi, tembaga), vitamin (B12, asam folat), asam amino, serta
gangguan pada sumsum tulang.
2) Perdarahan
Perdarahan baik akut maupun kronis mengakibatkan penurunan total sel darah
merah dalam sirkulasi.
3) Hemolisis
Hemolisis adalah proses penghancuran eritrosit.

Dilihat dari atas, Pada pasien keadaan pendarahan adalah penyebab utama pasien
mengalami anemia. Pasien juga mengatakan bahwa baru kali ini mengalami haid yang
panjang dan pendarahan yang banyak.
 Refleksi Kasus
Anemia merupakan masalah kesehatan utama berkaitan dengan gizi yang terjadi pada
wanita. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya anemia pada wanita adalah asupan gizi
(energi, protein dan zat besi) yang kurang, menstruasi setiap bulan, dan aktifitas fisik yang
berat.
Anemia umum terjadi pada orang dewasa tua yang akan terus meningkat kejadiannya
seiring dengan usia oleh berbagai penyebab. Menurut laporan The National Health and
Nutrition Examination Survey III (NHANES III) terhadap individu berusia ≥ 65 tahun
ditemukan kasus anemia akibat penyakit kronik sebanyak 19,7%, anemia defisiensi besi
16,6%, anemia akibat penyakit ginjal kronik 8,2%, dan anemia defisiensi vitamin B12
sebanyak 5,9%. Sedangkan kejadian anemia di Indonesia menurut hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan 19,7% diderita oleh perempuan dewasa
perkotaan, 13,1% laki-laki dewasa, dan 9,8% anak-anak. Anemia pada perempuan masih
banyak ditemukan di 17 provinsi di Indonesia meliputi Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Riau, Lampung, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, dan Maluku Utara.

6
Berdasarkan gambaran morfologik, anemia diklasifikasikan menjadi tiga jenis
anemia:
1. Anemia normositik normokrom.
Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena perdarahan akut,
hemolisis, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang. Terjadi
penurunan jumlah eritrosit tidak disertai dengan perubahan konsentrasi hemoglobin
(Indeks eritrosit normal pada anak: MCV 73 – 101 fl, MCH 23 – 31 pg , MCHC 26 –
35 %), bentuk dan ukuran eritrosit.

2. Anemia makrositik hiperkrom


Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan hiperkrom
karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. (Indeks eritrosit pada anak
MCV > 73 fl, MCH = > 31 pg, MCHC = > 35 %). Ditemukan pada anemia
megaloblastik (defisiensi vitamin B12, asam folat), serta anemia makrositik non-
megaloblastik (penyakit hati, dan myelodisplasia)

3. Anemia mikrositik hipokrom


Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan mengandung
konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal. (Indeks eritrosit : MCV < 73 fl,
MCH < 23 pg, MCHC 26 - 35 %).
Penyebab anemia mikrositik hipokrom:
1) Berkurangnya zat besi: Anemia Defisiensi Besi.
2) Berkurangnya sintesis globin: Thalasemia dan Hemoglobinopati.
3) Berkurangnya sintesis heme: Anemia Sideroblastik.

Pada kasus pasien ini sudah dilakukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosa, yaitu pemeriksaan darah rutin.
Pemeriksaan Hasil
Hemoglobin 4,8 g/dl
Leukosit 6.920/mm3
Hematokrit 15,4 %

7
Eritrosit 1,84 jt/mm3
Trombosit 253.000
MCV 83,5 fL
MCH 26,1 pg
MCHC 31,3 g/dl
LED 56 mm/jam
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0%
Eosinofil 0%
Batang 0%
Segmen 81 %
Limfosit 15 %
Monosit 4%
Gol. Darah O
Natrium 129,1 mmol/L
Kalium 4,15 mmoL/L
Clorida 98,2 mmL/L
SGOT 16 U/L
SGPT 14 U/L
Ureum 19 mg/dl
Kreatinin 0,86 mg/dl
GDS 276 mg/dl

Dari hasil lab ditemukan adanya nilai Hemoglobin yang rendah yaitu 4,8 g/dl. Nilai
normal hemoglobin adalah 11,0-15,0 g/dl. Hasil Hb yang rendah ini kemungkinan
disebabkan dari Haid yang panjang dan juga pendarahan yang banyak. Dari hasil
pemeriksaan ini diperkirakan pasien mengalami Anemia Mikrositik Hipokromik.
Bila diagnosis defisiensi besi sudah ditegakkan, pengobatan harus segera dimulai
untuk mencegah berlanjutnya keadaan ini. Pengobatan terdiri atas pemberian preparat besi
secara oral berupa garam fero (sulfat, glukonat, fumarat dan lain-lain), pengobatan ini
tergolong murah dan mudah dibandingkan dengan cara lain. Pada bayi dan anak, terapi besi
elemental diberikan dengan dosis 3-6 mg/kg bb/hari dibagi dalam dua dosis, 30 menit
sebelum sarapan pagi dan makan malam; penyerapan akan lebih sempurna jika diberikan

8
sewaktu perut kosong. Penyerapan akan lebih sempurna lagi bila diberikan bersama asam
askorbat atau asam suksinat. Bila diberikan setelah makan atau sewaktu makan, penyerapan
akan berkurang hingga 40-50%. Namun mengingat efek samping pengobatan besi secara oral
berupa mual, rasa tidak nyaman di ulu hati, dan konstipasi, maka untuk mengurangi efek
samping tersebut preparat besi diberikan segera setelah makan. Penggunaan secara
intramuskular atau intravena berupa besi dextran dapat dipertimbangkan jika respon
pengobatan oral tidak berjalan baik misalnya karena keadaan pasien tidak dapat menerima
secara oral, kehilangan besi terlalu cepat yang tidak dapat dikompensasi dengan pemberian
oral, atau gangguan saluran cerna misalnya malabsorpsi. Cara pemberian parenteral jarang
digunakan karena dapat memberikan efek samping berupa demam, mual, ultikaria, hipotensi,
nyeri kepala, lemas, artralgia, bronkospasme sampai reaksi anafilatik. Respons pengobatan
mula-mula tampak pada perbaikan besi intraselular dalam waktu 12-24 jam. Hiperplasi seri
eritropoitik dalam sumsum tulang terjadi dalam waktu 36-48 jam yang ditandai oleh
retikulositosis di darah tepi dalam waktu 48-72 jam, yang mencapai puncak dalam 5-7 hari.
Dalam 4-30 hari setelah pengobatan didapatkan peningkatan kadar hemoglobin dan cadangan
besi terpenuhi 1-3 bulan setelah pengobatan. Untuk menghindari adanya kelebihan besi maka
jangka waktu terapi tidak boleh lebih dari 5 bulan.4 Transfusi darah hanya diberikan sebagai
pengobatan tambahan bagi pasien ADB dengan Hb 6 g/dl atau kurang karena pada kadar Hb
tersebut risiko untuk terjadinya gagal jantung besar dan dapat terjadi gangguan fisiologis.
Transfusi darah diindikasikan pula pada kasus ADB yang disertai infeksi berat, dehidrasi
berat atau akan menjalani operasi besar/narkose. Pada keadaan ADB yang disertai dengan
gangguan/kelainan organ yang berfungsi dalam mekanisme kompensasi terhadap anemia
yaitu jantung (penyakit arteria koronaria atau penyakit jantung hipertensif ) dan atau paru
(gangguan ventilasi dan difusi gas antara alveoli dan kapiler paru), maka perlu diberikan
transfusi darah. Komponen darah berupa suspensi eritrosit (PRC) diberikan secara bertahap
dengan tetesan lambat.
Telah dikemukakan di atas salah satu penyebab defisiensi besi ialah kurang gizi. Besi
di dalam makanan dapat berbentuk Fe-heme dan non-heme. Besi non-heme yang antara lain
terdapat di dalam beras, bayam, jagung, gandum, kacang kedelai berada dalam bentuk
senyawa ferri yang harus diubah dulu di dalam lambung oleh HCL menjadi bentuk ferro yang
siap untuk diserap di dalam usus. Penyerapan Fe-non heme dapat dipengaruhi oleh komponen
lain di dalam makanan. Fruktosa, asam askorbat (vitamin C), asam klorida dan asam amino
memudahkan absorbsi besi sedangkan tanin (bahan di dalam teh), kalsium dan serat
menghambat penyerapan besi. Berbeda dengan bentuk non-heme, absorpsi besi dalam bentuk

9
heme yang antara lain terdapat di dalam ikan, hati, daging sapi, lebih mudah diserap. Disini
tampak bahwa bukan hanya jumlah yang penting tetapi dalam bentuk apa besi itu diberikan.
Anak yang sudah menunjukkan gejala ADB telah masuk ke dalam lingkaran penyakit, yaitu
ADB mempermudah terjadinya infeksi sedangkan infeksi mempermudah terjadinya ADB.
Oleh karena itu antisipasi sudah harus dilakukan pada waktu anak masih berada di dalam
stadium I & II. Bahkan di Inggris, pada bayi dan anak yang berasal dari keluarga dengan
sosial ekonomi yang rendah dianjurkan untuk diberikan suplementasi besi di dalam susu
formula.

10
DAFTAR PUSTAKA

Dallman PR, Yip R, Oski FA. Iron deficiency and related nutritional anemia. Dalam: Nathan
DG, Oski FA, penyunting. Hematology of infancy and childhood. Edisi ke-4.
Philadelphia: WB Saunders, 1993. h. 413-41.
M. Abdulsalam. Prevalensi defisiensi besi pada anak di RSCM, Jakarta. Diajukan pada
KONAS PHTDI, Bandung 1980. Aspek klinis dan pencegahan anemia defisiensi.
Dalam: Nasar SS, Agoesman S, penyunting. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak FKUI XIX. 8-9 Sept. 1989. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 1989. h. 111-9.
Windiastuti E; Abdulsalam M,; Timan IS.; Susanti FS.; Wahyuni S.; Widyastuti: Anemia in
Primary School Children in Cibubur. (in press).
Jandl JH. The hypochromic anemia and other disorders of iron metabolism. Blood Text book
of Hematology. Edisi ke-I. Boston/Toronto: Little, Brown, 1987. h. 181-91.
Lee RG. Iron deficiency and iron-deficiency anemia. Dalam: Foerster J, Lukens J, Paraskevas
F, Greer JP, Rodgers GM, penyunting. Wintrobe’s Clinical Hematology. Edisi ke-10.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 1999. h. 977-1004.
Markum HA. Diagnostik dan penanggulangan anemia defisiensi. Dalam: Naskah Lengkap
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak FKUI I; 1982, Jakarta:
IKA FKUI, 1982. h. 5-13.
Schwartz E. Iron deficiency anemia. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-16. Philadhelphia: WB Saunders,
2000. h. 1460-71.
Dallman PR. Nutritional anemia in childhood: iron, folat and vitamin B12. Dalam Suskind
MR, Suskind LL, penyunting. Textbook of Pediatric Nutrition. Edisi ke- 2. New
York: Raven Press, 1993. h. 91-105.
Suisher SN, Petz LD. Transfusion Therapy of Clinic Anemic States. Dalam: Petz, LD,
Suisher SN, penyunting. Clinical Practice of Transfusion Medicine. Edisi ke 2. New
York: Churchill Livingstone, 1989. h. 531-48.
Booth IW, Aukett MA. Iron deficiency anemia in infancy and early childhood. J. Arch Dis
Child 1997; 76:549-54

11
12

Anda mungkin juga menyukai