Anda di halaman 1dari 26

Case Based Discussion

SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID

Oleh:
dr. Agrifina Helga Pratiwi
(Tahapan Junior Divisi Nefrologi Periode Juli 2023)

Pembimbing:
dr. Hertanti Indah Lestari, Sp.A (K)
dr. Eka Intan Fitriana, Sp.A (K), M.Kes

KSM KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT MOHAMMAD HOESIN
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2023
LAPORAN KASUS

I. DATA DASAR
IDENTIFIKASI
Seorang anak laki-laki bernama A, berusia 5 tahun 3 bulan, berat badan 18 kg
dengan tinggi badan 105 cm, beralamat di Kabupaten Banyuasin. Kec Talang
Kelapa datang ke IGD RSMH pada tanggal 7 Juli 2023.

II. ANAMNESIS (Aloanamnesis Ibu Kandung Pasien)


 Keluhan utama: bengkak
 Keluhan tambahan: batuk
 Riwayat perjalanan penyakit:
Lima hari SMRS, Ibu pasien merasa anaknya mengalami bengkak,
tetapi hanya di bagian kelopak mata. Keluhan lain batuk (+) dahak (-),
demam (-). Bengkak tidak berkurang selama beberapa hari. Sehari
sebelum masuk rumah sakit, Ibu pasien merasa, anak tampak semakin
bengkak. Bengkak tampak pada kelopak mata, wajah, dan kemaluan. Ibu
pasien juga merasa urin anaknya berkurang dari biasa, kurang lebih 300 ml
selama 24 jam. Urin berwarna kekuningan biasa, darah (-).Pasien lalu
dibawa ke IGD RSMH untuk berobat.
Pasien sebelumnya telah didiagnosis Sindroma Nefrotik sejak
Desember 2022. Pasien rutin kontrol dan minum obat methyprednisolon
full dose secara teratur. Hasil pemeriksaan urinalisis sejak Januari-Mei
2023 menunjukkan proteinuria (-) sehingga pasien tidak lagi
mengonsumsi obat steroid. Satu bulan SMRS pasien datang untuk kontrol
rutin, hasil urinalisa menunjukkan protein +++. Pasien disarankan untuk
rawat inap namun saat itu pasien menolak untuk MRS.

1
 Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada

 Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat bengkak atau penyakit ginjal pada orang tua atau keluarga
disangkal

 Riwayat Persalinan
 Pasien lahir dari ibu G2P1A0, hamil cukup bulan, lahir spontan,
BB lahir 2700 gram

 Riwayat Nutrisi
 Pola makan pasien 2x atau 1x sehari dengan nasi, lauk (ikan / ayam
/ tahu / tempe) dan sayuran
 Pola minum pasien biasanya mengonsumsi air putih dan kadang-
kadang minum susu. Minuman kemasan lain hanya sesekali

 Riwayat Imunisasi
 Pasien diimunisasi di Puskesmas, dilakukan sesuai jadwal dan
tepat waktu
 BCG (+) scar (+), Polio 5 kali, DPT 4 kali, Hepatitis B 3 kali
campak (+)
 Kesan: Imunisasi dasar lengkap

 Riwayat Sosial Ekonomi


 Pendidikan ayah S1. Saat ini Ayah bekerja sebagai pegawai swasta
Ibu pasien Ibu rumah tangga. Pasien berobat menggunakan
asuransi kesehatan BPJS Kelas 1.
 Kesan: Sosial ekonomi menengah keatas

2
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Kesadaran: compos mentis, TD 110/80 mmHg (P95), frekuensi nadi 90
kali/menit (reguler, isi dan tegangan cukup), frekuensi pernafasan 26
kali/menit, suhu 36.8oC.
Status Gizi
Berat Badan : 18 kg
Berat Badan Kering : 15.4 kg
Tinggi Badan : 105 cm
BB/U : 0SD < Z < +2SD
TB/U : 0SD < Z < + 2SD
BB/TB : -1SD < Z < -0SD
Lila : 19 CM
Kesan : Gizi baik perawakan normal

3
Tabel persentil tekanan darah
Sys Dia
P50 91 51
P90 106 62
P95 109 68
P99+5 121 78

Keadaan Spesifik
Kepala : Pupil bulat isokor Ø 3mm/3mm, edema palpebra +/+, refleks cahaya
+/+ normal, conjunktiva anemis -/-, napas cuping hidung (-), faring
hiperemis (-), tidak ada sekret dari hidung, tidak ada sekret yang
keluar dari telinga
Toraks : Simetris, retraksi (-)
Paru : Vesikuler kanan dan kiri normal, rhonki (-), wheezing (-)
Jantung : Bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Cembung, lemas, bising usus (+) normal, shifting dullness (-), hepar
dan lien tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat (+), CRT< 3 detik, edema pretibial (+)
Genitalia : Edema pada skrotum (+)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
04/02/2023
Hematologi
Hemoglobin : 13,5 g/dL LED : 12 mm/jam
Eritrosit : 6,93 /µl DC : 0/0/78/20/2
Leukosit : 7,53 /µl Kolesterol total : 422 g/dL
Trombosit : 651.000 /µl Albumin : 1,8 g/dL
MCV : 60,9 fL Ureum : 30 mg/dL
MCH : 20 pg Kreatinin : 0,36 mg/dL
MCHC : 32 g/dL Calsium : 7,1 (8.9) mg/dL

4
Natrium : 135 mEq/dL Clorida : 121
Kalium : 4.8 mmol/L
mEq/dL hsCRP : 0.4 mg/L

Urinalisa
Warna/Kejernihan : Jernih
BJ : 1.030
pH : 6.0
Protein : +++
As. Ascorbic : Negatif
Glucosa : Negatif
Keton : Negatif
Darah : ++
Bilirubin : Negatif
Urobilinogen :1
Nitrit : Negatif
Leukosit esterase : Negatif
Epitel : Negatif
Leukosit : 34-36
Eritosit sedimen : 680-685
Silinder : Negatif
Kristal : Negatif
Bakteri : Negatif
Mukus : Negatif
Jamur : Negatif

5
IV. MASALAH AWAL
1. Edema
2. Proteinuria
3. Hipoalbuminemia

V. DIAGNOSIS KERJA
Edema anasarka ec Sindrom Nefrotik Relaps

VI. RENCANA AWAL


Tata Laksana
1. Rawat inap
2. Tatalaksana:
a. Farmakologi
 Methylpredsinolon full dose 28mg (3-2-2 @4mg)
 Captopril 2x 12.5 mg po
 Furosemid 2x20mg IV
 Amoksisilin 3x200mg po
 Albumin 25% 70cc / 24 jam selama 3 hari (sejak 9/7/2023)

b. Non Farmakologi
 Diet: NB 3x1
 Pasang stopper
 Tirah baring
 Kebutuhan cairan disesuaikan dengan balans dan diuresis.
 Edukasi orang tua untuk memperhatikan urin, makanan dan minum obat
dengan teratur

6
3. Monitoring tekanan darah
4. Balance diuresis/ 6 jam
5. Evaluasi BB dan LP umbilicus, LP max
6. Evaluasi dari analisa urin

VII. Prognosis
Ad vitam : dubia
Ad functionam : dubia
Ad Sationam : dubia

7
TINJAUAN PUSTAKA

Sindrom nefrotik bukan suatu penyakit, tetapi manifestasi penyakit yang menyerang
glomerular. Banyak terjadi pada anak-anak. Sindroma nefrotik dibagi menjadi sindroma
nefrotik primer dan sekunder.
A) Sindroma nefrotik primer/ idiopatik:
Sindrom ini merupakan sekitar 90% nefrosis pada anak. Penyebab sindrom ini tetap
belum diketahui oleh sebab itu dikatakan Sindrom Nefropatik Idiopatik (SNI) .
Kelainan histologis SNI menunjukkan kelainan-kelainan yang tidak jelas atau sangat
sedikit perubahan yang terjadi sehingga disebut Minimal Change Nephrotic
Syndrome atau Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM).
Sindrom nefrotik primer/idiopatik terbagi menjadi 5 bentuk:
1) Sindroma nefrotik lesi minimal (MCNS= Minimum Change Nephrotic Sindrome)
Kondisi ini bertanggung jawab pada 85% kasus sindroma nefrotik pada masa
kanak-kanak. Dicirikan dengan kepekaan terhadap terapi kortikosteroid; tidak
ditemukannya lesi glomerulus yang bermakna pada pemeriksaan mikroskop
cahaya; tidak adanya timbunan globulin imun glomerulus atau komplemen; dan
dengan proteinuria yang sangat selektif.
2) Sindroma nefrotik dengan poliferasi mesangial difus
Pada gambaran patolgi kelompok proliferatif mesangium (5%) ditandai dengan
peningkatan difus sel mesangium dan matriks. Dengan
imunofluoresensi,frekuensi endapan mesangium yang mengandung IgM dan
depresi C3 dalam serum tidak berbeda pada lesi minimal.
3) Sindroma nefrotik glomerulosklerosis fokal
Pada biopsi penderita yang menderita lesi sklerosis setempat (10%), sebagian
besar glomerulus tampak normal atau menunjukkan proliferasi mesangium. Yang
lain, terutama glomerulus yang dekat dengan medula (jukstamedulare),
menunjukkan jaringan parut segmental pada satu atau lebih lobus. Penyakitnya
seringkali progresif, akhirnya melibatkan semua glomerulus dan menyebabkan

8
gagal ginjal stadium akhir pada kebanyakan penderita. Sekitar 20% penderita
demikian berespons terhadap prednison atau terapi sitotoksik atau keduanya.
4) Glomerulonefritis membranoproliferatif (MPGN) tipe I dan II
Glomerulonefritis membranoproliferatif adalah penyebab tersering
glomerulonefritis kronis pada anak yang lebih tua dan dewasa muda.

Patologi dan Patogenesis


Pada awalnya glomerulonefritis membranoproliferatif dibedakan dari bentuk
glomerulonefritis kronis lainnya dengan ditemukannya hipokomplementemia,
pada beberapa penderita akibat adanya antibodi (disebut faktor nefritis C3) yang
mengaktifkan jalur komplemen alternatif. MPGN tipe I adalah bentuk yang paling
lazim; glomerulus menampakkan pola lobuler yang menonjol, karena adanya
pertambahan yang menyeluruh pada sel dan matriks mesangium. Dinding kapiler
glomerulus tampak menebal, dan pada beberapa daerah berduplikasi atau
membelah karena adanya interposisi sitoplasma dan matriks mesangium di antara
sel endotel dan GBM. Bulan sabit mungkin ada; bila terdeteksi pada sebagian
besar glomerulus, penyakit ini menunjukkan prognosis jelek. Pada MPGN yang
tipe II, perubahan mesangium kurang menonjol daripada tipe I. Dinding kapiler
memperlihatkan penebalan seperti pita tidak teratur, karena padatnya endapan.
Jarang adanya pembelahan membran, tetapi sering adanya bulan sabit.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan biopsi ginjal. Indikasi biopsi meliputi terjadinya
sindrom nefrotik pada anak berumur lebih dari 8 tahun atau hematuria
mikroskopis dan proteinuria menetap.

5) Glomerulopati membranosa
Glomerulopati membranosa adalah penyebab sindrom nefrotik tersering pada
orang dewasa, tetapi jarang pada anak-anak dan jarang menyebabkan hematuria.

9
Diagnosa Banding
1. Sindrom Nefrotik Sekunder
SN sekunder adalah SN berhubungan dengan penyakit/kelainan sistemik, atau
disebabkan oleh obat, alergen, maupun toksin.
 Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport, miksedema.
 Infeksi : hepatitis B, malaria, Schistosomiasis mansoni, Lues, Subacute Bacterial
Endocarditis, Cytomegalic Inclusion Disease, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.
 Toksin dan alergen: logam berat (Hg), trimethadion, paramethadion, probenecid,
penisillamin, vaksin polio, tepung sari, racun serangga, bisa ular.
 Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik, purpura
Henoch-Schonlein, sarkoidosis.
 Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, leukemia, tumor gastrointestinal.

2. Sindrom Nefrotik kongenital


Pertama kali dilaporkan di Finlandia, sehingga disebut juga SN tipe Finlandia.
Kelainan ini diturunkan melalui gen resesif autosomal. Biasanya anak lahir
premature (90%), plasenta besar (beratnya kira-kira 40% dari berat badan). Lesi
patognomonik adalah dilatasi kistik pada tubulus proksimal ginjal. Gejala asfiksia
dijumpai pada 75% kasus. Gejala pertama berupa edema, asites, biasanya tampak
pada waktu lahir atau dalam minggu pertama. Pada pemeriksaan laboratorium
dijumpai hipoproteinemia, proteinuria masif dan hipercolestrolemia. Gejala klinik
yang lain berupa kelainan congenital pada muka seperti hidung kecil, jarak kedua
mata lebar, telinga letaknya lebih rendah dari normal. Prognosis jelek dan
meninggal Karena infeksi sekunder atau kegagalan ginjal. Salah satu cara untuk
menemukan kemungkinan kelainan ini secara dini adalah pemeriksaan kadar alfa
feto protein cairan amnion yang  biasanya meninggi.

10
3. Glomerulonefritis Akut

Glomerulonefritis akut juga disebut dengan glomerulonefritis akut post


sterptokokus  (GNAPS) adalah suatu proses radang non-supuratif yang mengenai
glomerulus, sebagai akibat infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus grup A,
tipe nefritogenik di tempat lain. Penyakit ini sering mengenai anak-anak.

Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal


terhadap bakteri atau virus tertentu. Glomerulonefritis merupakan suatu istilah
yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami
proliferasi dan inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme
imunologis.

Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut pasca streptokokus timbul setelah


infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus
beta hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedangkan tipe 2, 49, 55, 56,
57 dan 60 menyebabkan infeksi kulit 8-14 hari setelah infeksi streptokokus,
timbul gejala-gejala klinis.
Kumpulan gambaran klinis yang klasik dari glomerulonefritis akut dikenal
dengan sindrom nefritik akut.
1. Infeksi Streptokokus
Riwayat klasik didahului (10-14 hari) oleh faringitis, tonsilitis atau infeksi
kulit (impetigo).Data-data epidemiologi membuktikan, bahwa prevalensi
glomerulonefritis meningkat mencapai 30% dari suatu epidemi infeksi
saluran nafas.
2. Gejala-gejala umum
Glomerulonefritis akut pasca streptokokus tidak memberikan keluhan dan
ciri khusus. Keluhan-keluhan seperti anoreksia, lemah badan, tidak jarang
disertai panas badan, dapat ditemukan pada setiap penyakit infeksi.
3. Keluhan saluran kemih

11
Hematuria makroskopis (gross) sering ditemukan, hampir 40% dari semua
pasien. Hematuria ini tidak jarang disertai keluhan-keluhan seperti infeksi
saluran kemih bawah walaupun tidak terbukti secara bakteriologis. Oligouria
atau anuria merupakan tanda prognosis buruk pada pasien dewasa.
4. Hipertensi
Hipertensi sistolik dan atau diastolik sering ditemukan hampir pada semua
pasien. Hipertensi biasanya ringan atau sedang, dan kembali normotensi
setelah terdapat diuresis tanpa pemberian obat-obatan antihipertensi.
Hipertensi berat dengan atau tanpa ensefalopati hanya dijumpai pada kira-kira
5-10% dari semua pasien.
5. Edema dan bendungan paru akut
Hampir semua pasien dengan riwayat edema pada kelopak mata atau
pergelangan kaki bawah, timbul pagi hari dan hilang siang hari. Bila
perjalanan penyakit berat dan progresif, edema ini akan menetap atau
persisten, tidak jarang disertai dengan asites dan efusi rongga pleura
Pada penderita glomerulonefritis akut dapat dilakukan pemeriksaan
laboratorium untuk menunjang diagnosis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
adalah sebagai berikut ini:
 Pemeriksaan urinalisis dilihat dari segi makroskopis, mikroskopis dan kimia urin
 pada glomerulonefritis poststreptococcal sering didapatkan hematuria
makroskopis, jumlah urin berkurang, berat jenis urin meninggi, ada proteinuria
(albuminuria +), eritrosit (+), leukosit (+), dan sedimen urin berupa silinder
leukosit, eritorsit, hialin, dan berbutir.
 Leukosit PMN (Polymorphonuclear) dan sel epitel renal biasanya ditemukan
pada pasien glomerulonefritis post streptococcal pada fase awal.
 Penentuan titer ASTO (Antibody Streptolisin Titer O) mungkin kurang
membantu karena titer ini jarang meningkat beberapa hari pasca infeksi
streprococcus, terutama yang kena di kulit (impetigo). Penentuan titer antibodi
tunggal yang paling baik untuk glomerulonefritis post streptococcal adalah

12
dengan Tes antideoksiribonuklease B, yakni mengukur titer terhadap antigen
DNAse B.
 Uji Streptozime yang merupakan suatu prosedur agglutination slide yang
mendeteksi antibodi terhadap streptolisin O, DNAse B, hialuronidase,
streptokinase dan NADase.
 Darah lengkap untuk mengetahui kadar protein darah (albumin serum rendah),
kreatinin serum (meninggi), ureum serum, elektroilit (hiperkalemia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia), pH darah (asidosis), eritrosit, leukosit,
trombosit, dan Hb (menurun).
 Kadar LED meninggi.
 Kadar komplemen C3, pada pasien glomerulonefritis pascastreptococcus
didapatkan 90% kadar komplemen C3 rendah. Kadar ini diperiksa sejak 2
minggu pertama sakit.

Epidemiologi
Sindrom nefrotik idiopatik umumnya dialami anak berusia 1-6 tahun. Satu
penelitian berbasis populasi, menemukan angka insiden sebesar 2/100.000 dan prevalensi
16/100.000. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun. Perbandingan anak laki-
laki dan perempuan 2:1.
Negara-negara di Asia tampak memiliki onset rata-rata yang lebih dini, 3,4 tahun,
daripada negara-negara Eropa, yaitu 4.2 tahun. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar
pasien di Poliklinik Khusus Nefrologi. Selain itu, merupakan penyebab tersering gagal
ginjal anak yang dirawat, antara tahun 1995-2000. Dibandingkan populasi lain, anak-
anak keturunan Afrika-Amerika dan Hispanik memiliki angka insiden sindrom nefrotik
yang lebih tinggi dan lebih virulen, dengan prognosis yang lebih buruk dan progresi
penyakit yang lebih cepat menjadi gagal ginjal.

Etiologi

13
Pada etiologi sindrom nefrotik hampir 75-80% belum diketahui atau idiopatik, yang
akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun.

Patofisiologi

Proteinuria dan Hipoalbuminemia

Proteinuria masif merupakan kelainan dasar dari sindrom nefrotik. Proteinuria ini
sebagian besar berasal dari kebocoran glumerulus (proteinuria glumerulus) dan hanya
sebagian kecil yang berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubulus). Pada dasarnya
proteinuria masif ini mengakibatkan dua hal :
 Jumlah serum protein yang difiltrasi glumerulus meningkat sehingga serum
protein tersebut masuk ke dalam lumen tubulus.
 Kapasitas faal tubulus ginjal menurun untuk mereabsorbsi serum protein yang
telah difiltrasi glumerulus.

Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang
biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya
muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar
menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari
proteinuria yang hebat. Dikatakan hipoalbuminemia apabila kadar albumin dalam darah
<2,5 gr/100 ml. Edema muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang
menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi
cairan plasma ke ruang interstitial.

Plasma mengandung banyak macam protein dan sebagian besar akan mengisi ruang
ekstra vaskuler (EV). Plasma atau serum protein terutama terdiri dari IgG, transferin dan
albumin yang mempunyai BM kecil (69.000), sehingga mudah diekskresikan melalui
urin. Oleh karena itu istilah hipoproteinemia identik dengan hipoalbuminemia.
Hipoalbuminemia dapat terjadi bila proteinuria lebih dari 3-5 gram/hari, katabolisme
albumin meningkat, intake protein berkurang karena penderita mengalami anoreksia atau

14
bertambahnya utilisasi (pemakaian) asam amino, kehilangan protein melalui usus atau
protein loosing enteropathy.

Hati memegang peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan
sejumlah protein, renal maupun ekstra renal. Mekanisme kompensasi untuk
meningkatkan sintesis protein (albumin) terutama untuk mempertahankan komposisi
protein dalam ruangan ekstra vaskuler (EV) dan intravaskuler (IV). Pada sindrom
nefrotik sintesis protein oleh hati biasanya meningkat tetapi mungkin normal atau
menurun. Sintesis protein oleh hati bisa meningkat 2 kali normal tetapi tidak adekuat
untuk mengimbangi kehilangan protein sehingga secara keseluruhan terjadi pengurangan
total protein tubuh termasuk otot-otot, bila mekanisme kompensasi sintesis albumin
dalam hati tidak cukup adekuat sering disertai penurunan albumin (hipoalbuminemia).

Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh


penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-glikoprotein sebagai perangsang
lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun
dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Dikatakan
hiperlipidemia karena bukan hanya kolesterol saja yang meninggi ( kolesterol > 250
mg/100 ml ) tetapi juga beberapa konstituen lemak meninggi dalam darah. Konstituen
lemak itu adalah kolesterol, Low Density Lipoprotein(LDL), Very Low Density
Lipoprotein (VLDL), dan trigliserida (baru meningkat bila plasma albumin < 1gr/100
mL. Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyak-
banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel sel hepar juga akan membuat
VLDL. Dalam keadaan normal VLDL diubah menjadi LDL oleh lipoprotein lipase.
Tetapi, pada SN aktivitas enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan
tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping itu menurunnya aktivitas lipoprotein
lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat
keluarnya protein ke dalam urine.

Klinis edema menunjukkan adanya penimbunan cairan dalam ruang interstisial di


seluruh tubuh.. Mekanisme terjadinya edema dipengaruhi beberapa faktor yaitu dengan

15
meningkatnya permeabilitas kapiler glumerulus, albumin keluar menimbulkan
albuminuria dan hipoalbuminemia, sehingga menyebabkan penurunan tekanan onkotik
plasma intravaskuler dan keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat
melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstitial yang menyebabkan
terbentuknya edema.

Mekanisme renal, penurunan tekanan onkotik plasma protein dalam kapiler


glumerulus menyebabkan penurunan volume darah efektif dan diikuti aktivitas sistem
Renin-Angiotensin-Aldosteron, rangsangan ini menyebabkan kenaikan plasma renin dan
angiotensin untuk sekresi hormon aldosteron. Kenaikan hormon aldosteron ini akan
mempengaruhi sel-sel tubulus proksimal untuk mereabsorbsi ion Na+ sehingga ekskresi
natrium atau natriuresis menurun. Kemudian dapat juga terjadi aktifitas saraf simpatik
dan kenaikan konsentrasi circulating catecholamine, sehingga menyebabkan kenaikan
tahanan atau resistensi vaskuler renal.yang dapat juga menyebabkan penurunan dan
berkurangnya filtrasi garam Na+ dan air. Dari kedua hal diatas akan menyebabkan
kenaikan volume cairan seluler (VCES) dan edema.

Edema mula-mula nampak pada kelopak mata terutama waktu bangun tidur. Edema
yang hebat/anasarca sering disertai edema genitalia eksterna. Edema anasarca terjadi bila
kadar albumin darah < 2 gr/ 100 ml. Selain itu, edema anasarca ini dapat menimbulkan
diare dan hilangnya nafsu makan karena edema mukosa usus.

Gejala Klinis

Secara klinik SNKM ini dapat dibedakan dari SN dengan kelainan histologis tipe lain.
Oleh karena itulah, bila dijumpai kasus SN dengan gejala-gejala diatas dan mengingat
bahwa SNKM terdapat pada 70-80% kasus, maka pada beberapa penelitian tidak
dilakukan biopsi ginjal.

16
Edema
Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah edema, yang tampak
pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali edema timbul secara lambat
sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal edema sering
bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai
resistensi jaringan yang rendah (misalnya daerah periorbita, skrotum atau labia).
Akhirnya edema menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).
Edema berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai edema muka
pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas
bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan
(pitting edema). Pada penderita dengan edema hebat, kulit menjadi lebih tipis. Edema
biasanya tampak lebih hebat karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada
pasien SNKM.

Gangguan gastrointestinal
Gangguan ini sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik. Diare
sering dialami pasien dengan edema masif yang disebabkan edema mukosa usus.
Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya.
Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom
nefrotik yang sedang kambuh karena edema dinding perut atau pembengkakan hati.

Nafsu makan menurun karena edema


Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada
pasien sindrom nefrotik resisten-steroid.
Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2.5 g/dL.
Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya,
berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL
meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-
3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria. Hematuria mikroskopik kadang-kadang
17
terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan
berbagai tipe sindrom nefrotik. Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien
pada saat awal penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan
kreatinin serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan
SNKM.
Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada
pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut
berkorelasi secara langsung dengan derajat udem dan secara tidak langsung dengan kadar
albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat normal
meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan
ekogenisitas yang normal

Penatalaksanaan

Medika Mentosa
Terapi edema:
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat
Furosemide 1-3 mg/kgBB/hari (max 5 mg/kgBB/hari) dapat dikombinasi dengan
spironolakton (2-4 mg/kgBB/hari)
Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada
pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium
dan natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-
25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial
dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak
mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10
tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung.
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada
kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.

18
Terapi Inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid
sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children) adalah
diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari selama 28 hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal
80 mg/hari) dalam 3 dosis/hari. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal
(berat badan terhadap tinggi badan). Kalau 4 minggu tidak remisi berarti sindrom nefrotik
resisten steroid. Bila remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu
kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara
alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi selama 4-12 minggu. Bila tidak
remisi dalam 4 minggu terapi prednisone full dose selama 6 minggu dilanjutkan alternate
dose selama 6 minggu.
Tapering-off: prednison berangsur-angsur diturunkan, tiap minggu: 30mg, 20mg, 10mg
sampai akhirnya dihentikan.
Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom nefrotik.
Remisi Proteinuria negatif, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut.
 
Kambuh Proteinuria 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut, dimana
  sebelumnya pernah mengalami remisi.
Kambuh tidak sering Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12 bulan.
 
Kambuh sering Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau 4 kali kambuh pada
  setiap periode 12 bulan.
Responsif-steroid Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.
Dependen-steroid Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid, atau dalam
  waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan.
Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari
  selama 4 minggu.
Responder lambat Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan terapi
  lain.
Nonresponder awal Resisten-steroid sejak terapi awal.
Nonresponder lambat Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid.

19
Sindrom nefrotik serangan pertama
1.      Perbaiki keadaan umum penderita :
 Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Protein 1-2
gr/kgBB/hari, bila ureum dan kreatinin meningkat diberi protein 0,5-1 gr. Kalori
rata-rata 100 kalori/kgBB/hari. Garam dibatasi bila edema hebat. Bila tanpa
edema, diberi 1-2 mg/hari. Pembatasan cairan bila terdapat gejala-gejala gagal
ginjal. Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada
pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
 Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau
albumin konsentrat.
 Berantas infeksi.
 Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.
 Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka.
Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Metode
yang lebih efektif dan fisiologik untuk mengurangi edema ialah merangsang
diuresis dengan pemberian albumin (salt poor albumin) 0,5-1 mg/kgBB selama
1 jam disusul kemudian oleh furosemid IV 1-2 mg/kbBB/hari. Pengobatan ini
dapat diulang setiap 6 jam kalau perlu. Diuretik yang biasa dipakai ialah diutetik
jangka pendek seperti furosemid atau asam etakrinat. Jika ada hipertensi, dapat
ditambahkan obat antihipertensi.
2.     Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah
diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita
mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi
spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau
kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu
waktu 14 hari.

Sindrom nefrotik kambuh (relapse)

20
A. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse
ditegakkan.
B. Perbaiki keadaan umum penderita.
Cara pemberian pada relapse seperti pada serangan I, hanya CD diberikan sampai
remisi (tidak perlu menunggu sampai 4 minggu)
Sindrom Nefrotik Nonresponder
Tidak ada respons sesudah 8 minggu pengobatan prednisone. Setelah 8 minggu
pengobatan prednisone tidak berhasil, pengobatan selanjutnya dengan gabungan
imunosupresan lain (endoxan secara CD dan prednisone 40 mg/m2/hr secara ID)

Sindrom Nefrotik Frequent Relapser


Iinitial responder yang relaps >= 2 kali dalam waktu 6 bulan pertama.
CD imunosupresan + CD prednisone 0,2 mg/kg/hr
Diberikan kombinasi pengobatan imunosupresan lain dan prednisone 0,2 mg/kgBB/hr,
keduanya secara CD.

Sindrom nefrotik kambuh tidak sering (Nifadizin)


merupakan sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali
dalam masa 12 bulan.
Induksi: Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari,
diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
Rumatan: Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m 2/48 jam, diberikan selang
sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, prednison
dihentikan.

Sindrom nefrotik kambuh sering


merupakan sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali
dalam masa 12 bulan.
Induksi: Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari,
diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
21
Rumatan: Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m 2/48 jam, diberikan selang
sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis
prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu, kemudian 30
mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m 2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya
10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison dihentikan.

Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3
mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid
dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien
tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat
indikasi kontra steroid atau untuk biopsi ginjal.

Non Medika Mentosa


Dietetik
Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah
beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi). Bila
diberi diet rendah protein akan terjadi Malnutrisi Energi Protein (MEP) dan
menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal
sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diet
rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema. Kolesterol
dibatasi < 300mg.
Komplikasi
 Infeksi sekunder : mungkin karena kadar immunoglobulin yang rendah akibat
hipoalbuminemia
 Syok : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (<1 gm/100 ml) yang
menyebabkan hipovolemi berat sehingga terjadi syok.

22
 Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan system koagulasi sehingga terjadi
peninggian fibrinogen plasma atau factor V,VII,VIII dan X. Trombus lebih sering
terjadi di system vena apalagi bila disertai pengobatan kortikosteroid.
Komplikasi lain yang bisa timbul ialah malnutrisi atau kegagalan ginjal.

Edukasi
Batasi cairan dan garam karena akan memperburuk edema.
Tampung urin dan ukur minum
Istirahat cukup

Prognosis
Prognosis SN tergantung dari kelainan histopatologiknya. Umumnya SN dengan
kelainan minimal (SNKM) yang sensitif dengan kortikosteroid mempunyai prognosis
yang baik. Kecuali jika megalami hal-hal berikut:
1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5.Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal. Misalnya, pada focal
glomerulosklerosis, membrano proliferative glomerulonephritis mempunyai prognosis
yang kurang baik karena sering mengalami kegagalan ginjal.

23
ANALISIS KASUS

Dari data dasar didapatkan Seorang anak laki-laki, etnis Melayu, berusia 5 tahun 8
bulan, berat badan 18 kg dengan tinggi badan 105 cm, beralamat di Banyuasin datang ke
IGD RSMH pada tanggal 9 Juli 2023.

Hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien


mengarahkan diagnosis kerja pasien tersebut pada Sindrom Nefrotik. Karena sebelumnya
pasien sudah remisi, maka pasien didiagnosis Sindrom Nefrotik Relaps. Tetapi belum
ditentukan relaps jarang atau sering karena relaps saat ini baru yang pertama kali

Tatalaksana terhadap pasien ini dibagi menjadi tatalaksana medika mentosa dan
non medika mentosa. Terapi medikamentosa utama sesuai dengan konsensus Sindroma
Nefrotik Relaps, yakni dengan mengulang terapi steroid full dose selama empat minggu.
Tatalaksana lain adalah obat anti hipertensi karena pasien mengalami hipertensi grade I.
Furosemid diberikan untuk evakuasi cairan agar edema berkurang. Albumin diberikan
untuk memperbaiki tekanan onkotik intravascular agar tidak terjadi perpindahan cairan ke
interstisial.

24
Selama dirawat inap evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema, serta
kepatuhan minum obat dipantau untuk menilai respon terapi. Adapun hasil pemantauan
didapatkan diuresis meningkat, edema berkurang, dan berat badan yang mengalami
penurunan. Pemantauan ini berlanjut hingga pasien mengalami perbaikan. Pasien
kemudian disarankan untuk rawat jalan. Pada kasus ini prognosisnya dubia dikarenakan
dalam perjalanan penyakitnya masih mungkin terjadi relaps.

25

Anda mungkin juga menyukai