Anda di halaman 1dari 21

Laporan Kasus

Divisi Nefrologi

GANGGUAN GINJAL AKUT AKIBAT KETOASIDOSIS DIABETIK

Rahmawati

Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas


Hasanuddin/ RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

PENDAHULUAN

Gangguan ginjal akut (GnGA) merupakan istilah pengganti dari gagal


ginjal akut, didefinisikan sebagai penurunan mendadak dari fungsi ginjal
(laju filtrasi glomerulus/LFG) yang bersifat sementara, ditandai dengan
peningkatan kadar kreatinin serum dan hasil metabolisme nitrogen serum
lainnya, serta adanya ketidakmampuan ginjal untuk mengatur homeostasis
cairan dan elektrolit. Perubahan istilah GnGA merupakan akibat adanya
perubahan paradigma yang dikaitkan dengan klasifikasi dan
ketidakmampuan dalam mengenal gejala dini serta prognosis dimasa yang
akan datang. 1,2,3
Angka kejadian yang tepat berdasarkan kriteria pRIFLE belum
diketahui, akhir-akhir ini terjadi peningkatan kejadian GnGA pada anak
yang dirawat di rumah sakit. Pada penelitian di beberapa fasilitas
kesehatan, terdapat 227 anak yang mendapat dialisis selama interval 8
tahun dengan insidensi sekitar 0,8/10.000 total populasi, dan penyebab
utama dari GnGA yaitu pre-renal sekitar 21 % dan nekrosis tubular akut
sekitar 45%. 1,4
Ketoasidosis diabetik (KAD) terjadi pada 10-70% anak-anak dengan
diabetes mellitus tipe 1 (DM1) dan memiliki risiko mortalitas yang cukup
tinggi, sebagian besar karena edema serebri dan komplikasi potensial
lainnya seperti gangguan ginjal akut.

1
Gangguan ginjal akut termasuk jarang terjadi pada anak dengan
ketoasidosis diabetik, tetapi sekitar 50% anak dengan ketoasidosis diabetik
yang mengalami gangguan ginjal akut memiliki prognosis buruk. Kondisi ini
merupakan kegawatdarutan medis yang perlu penanganan segera karena
mortalitasnya yang tinggi, namun di sisi lain penanganan yang cepat dan
tepat pada GnGA tertentu dapat membuat fungsi ginjal kembali normal.
Karena itu kemampuan mengenali GnGA dan memberikan tata laksana
yang tepat sangat penting. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
keputusan untuk melakukan terapi pengganti ginjal, anjuran yang
berkembang saat ini lebih pada kondisi klinis kelebihan cairan yang sulit
teratasi dengan obat, karena terdapat bukti bahwa hal ini akan memperbaiki
prognosis.5,6,7,8
Kami melaporkan suatu kasus ketoasidosis diabetik dengan
komplikasi gangguan ginjal akut yang dilakukan hemodialisis.
LAPORAN KASUS
IDENTITAS KASUS
Nama / No. Rekam medik : Rizki Ayu / 793517
Tanggal lahir : 2 Agustus 1999
Umur : 16 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Masuk RS tanggal : 15-03-2017
Alamat : Maros
ANAMNESA
Keluhan utama : kesadaran menurun
Anamnesa terpimpin
Pasien dirujuk dari masuk rumah sakit M pada tanggal 15 Maret 2017
dengan diagnosis koma hiperglikemia dengan GDS 589 mg/dl.
Kesadaran menurun dialami sejak 3 jam sebelum masuk rumah
sakit. Demam dialami sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, terus
menerus, ada riwayat kejang dirumah 1 kali bersifat umum selama 5 menit
,setelah kejang anak tidak sadar. Tidak ada batuk maupun muntah. Buang
air besar biasa kuning, buang air kecil lancar,kuning. Ada riwayat sering-

2
sering haus, sering lapar, sering terbangun untuk BAK yang diperhatikan
sejak 6 bulan terakhir, ada riwayat penurunan berat badan diperhatikan
sejak 6 bulan ini. Ada riwayat keluarga yang menderita diabetes mellitus
yaitu nenek dan tante dari ayah penderita. Riwayat keluarga dengan
penyakit ginjal tidak ada. Riwayat pasien dirawat di RS Salewangang maros
selama 4 jam kemudian dirujuk ke RS Wahidin Makassar.
Pemeriksaan Fisis (Objektif)
a. Status present
- Keadaan umum : Lemah
- Kesadaran : GCS 8 (E2M4V2)
- Tekanan darah : 100/70 mmHg
- Nadi : 110 kali/menit
- Respirasi : 38 kali/menit
- Suhu : 38C
- Saturasi oksigen: 94%
b. Status generalis
- Kepala Mesosefal, normosefal.
- Rambut Hitam, lurus, tidak mudah dicabut.
- Wajah Simetris kiri dan kanan, tidak tampak dismorfik, tidak ada
edema
- Mata Konjungtiva tidak pucat dan tidak ada injeksi konjungtiva,
sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter 2 mm, refleks
cahaya +/+ kesan normal, tidak ada edema palpebra
- Hidung Tampak pernapasan cuping hidung, tidak tampak sekret.
- Telinga Tidak terdapat sekret, membran timpani intak.
- Mulut Tidak ada sianosis dimulut, bibir tampak kering, tonsil
ukuran T1-T1, tidak hiperemis. Faring tidak hiperemis.
- Leher Tidak teraba pembesaran kelenjar servikal dan
submandibula, tidak teraba kelenjar tiroid, tidak ada kaku
kuduk, tidak ada rangsang meningeal.
- Dada Bentuk dan pergerakan simetris.
- Paru Terdapat retraksi suprasternal dan subkostal, bunyi

3
pernapasan bronkovesikuler, tidak ada bunyi tambahan.
- Jantung Iktus kordis tidak tampak, bunyi jantung satu dan dua
murni, reguler, tidak ada bising atau irama gallop.
- Abdomen Datar ikut gerak napas, bising usus kesan normal, hepar
tidak teraba
- Ekstremitas Tidak ada edema, kekuatan dan tonus dalam batas
normal, refleks fisiologis kesan normal, refleks patologis
tidak ditemukan.
- Kulit Turgor kulit menurun, tidak ada rash makulopapular di
kulit.
- Kelenjar Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening di aksila
maupun di inguinal
- Punggung Tidak ada gibbus maupun skoliosis

Gambar 1. Pasien saat diperawatan

c. Status antropometri
- Berat badan (BB) : 42 kg (P<3, kurva CDC, 2000)
- Panjang Badan (PB) : 160 cm (P <25-50, kurva CDC, 2000)
- Lingkar kepala : 53 cm (Normosefal menurut kurva Nellhaus)
- BB/TB : 42/49x100% = 85%
- BB/U : 42/56x100%= 75%
- TB/U : 160/163x100%= 98%
Penilaian status gizi berdasarkan kurva NCHS CDC 2000, pasien masuk
dalam kriteria gizi kurang dan berada pada perawakan normal.

4
Pemeriksaan laboratorium
Table 1.Hasil pemeriksaan penunjang
Parameter 15/3/2017 Nilai normal
HB 15,3 12-16 g/dl
MCV 89 80-100 m3
MCH 28,8 27-32 pg
MCHC 32,5 32-36 gr/dl
HCT 47 37-47%
Leukosit 22.200 4000-10.000 mm3
Eritrosit 5.330.000 3.800.000-5.800.000/mm3
Trombosit 325.000 150.000-400.000/mm3
Natrium 145 136-145 mmol/L
Kalium 3,5 3,5-5,1 mmol/L
Klorida 119 97-111 mmol/L
Ureum 106 10-50 mg/dl
Kreatinin 3,06 L(<1,3), P (<1,1)
SGOT 31 <38 U/L
SGPT 29 <41 U/L
GDS 589 140 m3
Albumin 4,2 3,5-5,0 pg

GFR : 28,7 mL/menit/1,73 m2 (penurunan GFR > 75%)

Analisa Gas Darah (15/3/2017)


PH 6,918, pCO2 : 16,7 mmHg, SO2: 98,1%, pO2 : 189,0 mmHg, HCO3 : 2,7
mmol/L, ctO2 21,7 Vol %, ctCO2: 3,2 mmol/L dan Base Excess 31,7.
Kesan: asidosis metabolik terkompensasi sebagian.

Pemeriksaan Urin rutin (15/3/2017)


Warna : kuning Keton :+/15
pH : 5,5 Nitrit :Negatif
BJ :>= 1,030 Blood :+/25

5
Protein :++/100 Leukosit :-
Glukosa :+++/500 Sedimen Leukosit :2
Bilirubin :Negatif Sedimen eritrosit :4
Urobilinogen :Normal

Pedigree
pihak ayah pihak ibu
I

II

III
: penderita
: laki-laki
: perempuan
: anggota keluarga penderita DM

DIAGNOSIS KERJA
- Encefalopati ec ketoasidosis diabetik
- Gangguan Ginjal akut tipe failure
- Gizi kurang

PENATALAKSANAAN AWAL
- Oksigen non rebreathing mask 8 liter/menit
- Infus NaCl 0,9% 30 tetes/menit
- Resusitasi cairan dengan NaCl 0,9% 10-20 ml/kgbb dalam 1 jam
pertama selanjutnya dengan tetesan maintenance
- Drips insulin 0,1 unit/kgbb/jam= 4,2 unit/ jam kecepatan 17,5 ml/jam
- Injeksi ceftazidime 1 gr/12 jam/intravena
- Paracetamol 400mg/8 jam/intravena (bila suhu >38,5 c)
- Stop intake oral

6
PEMANTAUAN
Hari ke-2 (16/3/2017)
- Keadaan umum lemah, ada demam, ada sesak. Tekanan darah
100/70 mmHg, Frekuensi jantung 100 kali/menit. Pernapasan 44
kali/menit, suhu 38oC, GCS 8 (E2M4V2), SpO2 97 %, ada retraksi
subcostal. Ronkhi tidak ada. Produksi urin 0,3 ml/kg BB/jam.
- Hasil laboratorium
GDS 287 mg/dl, Ureum 129 U/L, Kreatinin 4 U/L, LFG 22
ml/menit/1,73 m2 (penurunan LGF > 75 %), Natrium 145 mmol/l,
Kalium 3,5 mmol/l, Klorida 126 mml/l
Analisa Gas Darah : pH 7,3, PCO2 20,4, SO2 98,1, PO2 114,3 HCO3
11,2, BE -14
Tatalaksana : Drips insulin 0,05 unit/kgbb/jam= 2,1 unit/jam (50,4 IU
/hari) dalam 500 ml nacl 0,9% kecepatan 20,8 ml/jam. Jenis cairan
tergantung gula darah sewaktu
Bila GDS >250 mg/dl : infus NaCl 0,9%
Bila GDS 100-250 mg/dl : infus dextrose 5% : NaCl 0,9%=1:1
Bila GDS <100 mg/dl : infus Dextrosa 5%
Ceftazidime 1 gram/12 jam/intravena
- Konsul divisi nefrologi, rencana Hemodialisa (keluarga pasien
menolak sementara untuk hemodialisa), hasil funduskopi : tidak
ada tanda edema papil

Hari ke 3 (17/3/2017)
- Keadaan umum lemah, tidak ada demam, tidak ada sesak. Tekanan
darah 90/60 mmHg, Frekuensi jantung 100 kali/menit. Pernapasan
24 kali/menit, suhu 37,5oC, GCS 8 (E2M4V2), SpO2 96 %, tidak ada
retraksi subcostal. Produksi urin 0,35 ml/kg BB/jam
- Hasil laboratorim
WBC 14.320/ul, HB 11,2 gr/dl, MCV 88 fl, MCH 29,4 pg, MCHC 33,5
gr/dl, PLT 125.000. GDS 204 mg/dl, Ureum 176 U/L, Kreatinin 5,7
U/L , LFG 15,4 ml/menit/1,73 m2

7
Tatalaksana : Drips insulin 0,05 unit/kgbb/jam= 2,1 unit/jam (50,4 IU
/hari) dalam 500 ml nacl 0,9% kecepatan 20,8 ml/jam, Ceftazidime 1
gram/12 jam/intravena, furosemid 2 mg/kg BB/hari, Rencana
Hemodialisa (keluarga pasien menolak sementara untuk
hemodialisa). Anjuran CT scan kepala

Hari ke 5 (19/3/2017) HD 1
- Keadaan umum lemah , tidak ada demam, tidak ada sesak. Tekanan
darah 100/60 mmHg, Frekuensi jantung 90 kali/menit. Pernapasan
24 kali/menit, suhu 38oC, GCS 9 (E3M4V2), SpO2 100 %, tidak ada
retraksi subcostal. Produksi urin 0,25 ml/kg BB/jam
- Hasil laboratorim
WBC 12.260/ul, HB 11,2 gr/dl, MCV 87 fl, MCH 28,4 pg, MCHC 32,5
gr/dl, PLT 126.000. GDS 205 mg/dl, Ureum 141 U/L, Kreatinin 8,7
U/L , LFG 10,1 ml/menit/1,73 m2, HBA 1c 17,7 %, C peptide 0,1
ng/ml, albumin 3,0 gr/dl/
- Tatalaksana : drips insulin 0,03 IU/kgbb/jam = 28,8 IU/hari dalam
Nacl0,9% kecepatan 12 cc/jam, antibiotik, furosemide injeksi.

Gambar 2. CT scan kepala pasien tampak dalam batas normal

8
Hari ke 7 (21/3/2017) HD ke 2
- Keadaan umum lemah , tidak ada demam, tidak ada sesak. Tekanan
darah 100/60 mmHg, Frekuensi jantung 90 kali/menit. Pernapasan
24 kali/menit, suhu 38oC, GCS 10 (E3M5V2), SpO2 100 %, tidak
ada retraksi subcostal. Produksi urin 0,29 ml/kg BB/jam
- Hasil laboratorim
GDS 227 mg/dl Ureum 125 U/L, Kreatinin 7,20 U/L , LFG 12,2
ml/menit/1,73 m2 ,Natrium 145 mmol/l, Kalium 3,0 mmol/l, Klorida 109
mml/l, albumin 2,8 gr/dl.
- Tatalaksana : drips insulin 0,04 IU/kgbb/jam=1,68 IU/jam dalam
Nacl0,9% kecepatan 16,8 cc/jam, furosemide 40 mg/12 jam/iv,
koreksi kalium.

Hari ke 9 (23/3/2017) HD ke-3


- Keadaan umum lemah , tidak ada demam, tidak ada sesak. Tekanan
darah 100/60 mmHg, Frekuensi jantung 90 kali/menit. Pernapasan
24 kali/menit, suhu 38oC, GCS 13 (E3M5V5), SpO2 100 %, tidak
ada retraksi subcostal. Produksi urin 0,4 ml/kg BB/jam
- Hasil laboratorim
WBC 8.490 u/l, HB 9,4 gr/dl, PLT 305.000. GDS 221 mg/dl Ureum
120 U/L, Kreatinin 6,20 U/L , ferritin 267 gr/dl, albumin 2,9 gr/dl.
- Tatalaksana : drips insulin 0,04 IU/kgbb/jam=1,68 IU/jam dalam
Nacl0,9% kecepatan 16,8 cc/jam, furosemide 40 mg/12 jam/iv

Hari ke 11 (25/3/2017) HD ke-4


- Keadaan umum lemah , GCS 14 (E4M5V5), tidak ada demam, tidak
ada sesak. Tekanan darah 100/60 mmHg, Frekuensi jantung 90
kali/menit. Pernapasan 24 kali/menit, suhu 38oC, SpO2 100 %, tidak
ada retraksi subcostal. Produksi urin 0,8 ml/kg BB/jam
- Hasil laboratorim
WBC 8.500/ul, HB 10,5 gr/dl, PLT 433.000. GDS 128 mg/dl Ureum
98 U/L, Kreatinin 4,82 U/L

9
- Tatalaksana : drips insulin 0,03 IU/kgbb/jam= 1,26 IU/jam dalam
Nacl0,9% kecepatan 12,6 cc/jam, furosemide 40 mg/12 jam/iv.

Hari ke 14 (28/3/2017) HD ke-5


- Keadaan umum lemah, tidak ada demam, tidak ada sesak. Tekanan
darah 100/60 mmHg, Frekuensi jantung 90 kali/menit. Pernapasan
24 kali/menit, suhu 38oC, , GCS 15 (E4M6V5), SpO2 100 %, tidak
ada retraksi subcostal. Produksi urin 1,1 ml/kg BB/jam
- Hasil laboratorim
WBC 14.700/ul, HB 8,4 gr/dl, PLT 187.000. GDS 149 mg/dl Ureum
56 U/L, Kreatinin 2,55 U/L , Natrium 142 mmol/l, Kalium 3,5 mmol/l,
Klorida 106 mml/l, GDS 228 mg/dl
- Tatalaksana : lantus 18-0-0 (subcutan), novorapid 8-9-8 unit, diet DM
1440 kkal = 360 gram (50% KH), Eritropoietin injeksi 3 kali seminggu

Hari ke 16 (30/3/2017) HD ke-6


- Keadaan umum lemah , GCS 15 (E4M6V5), tidak ada demam tidak
ada sesak. Tekanan darah 90/60 mmHg, Frekuensi jantung 90
kali/menit. Pernapasan 24 kali/menit, suhu 36,6oC, SpO2 100 %,
tidak ada retraksi subcostal, Produksi urin 1,2 ml/kg BB/jam.
- Hasil laboratorim
WBC 5.070/ul, HB 8,6 gr/dl, PLT 182.000. GDS 188 mg/dl Ureum 56
U/L, Kreatinin 1,39 U/L
Urinalisis : Protein neg, Blood +/-, Keton -, lekosit neg, Sedimen
lekosit 1 ,sedimen eritrosit 1.
- Tatalaksana : lantus 18-0-0 (subcutan), novorapid 8-9-8 unit, diet DM
2880 kkal = 360 gram (50% KH), ksr 3x500mg, Eritropoietin injeksi 3
kali seminggu pantau fungsi ginjal selama 1 minggu.

10
Hari ke 18 (1/4/2017)
- Keadaan umum baik , lemah, GCS 15 (E4M6V5), tidak pucat, tidak
ada demam dan sesak. Tekanan darah 100/70 mmHg, Frekuensi
jantung 86 kali/menit. Pernapasan 16 kali/menit, suhu 36,5 oC,
Produksi urin 1,5 cc/kg bb/jam
- Hasil laboratorim
GDS 200 mg/dl, Ureum 44 U/L, Kreatinin 0,76 U/L , Lekosit 4.730
/mm3, Hb 8,4 gr/dl, PLT 187.000/ul, HCT 34 %.
- Tatalaksana : lantus 18-0-0 (subcutan), novorapid 8-9-8 unit, diet DM
2880 kkal = 360 gram (50% KH), Eritropoietin injeksi 3 kali seminggu
tunda hemodialisa dan observasi selama 1 minggu.

Hari ke 24 (8/4/2017)
- Keadaan umum baik, GCS 15 (E4M6V5), tidak ada demam tidak
ada sesak. Tekanan darah 100/70 mmHg, Frekuensi jantung 86
kali/menit. Pernapasan 16 kali/menit, suhu 36,5oC, Produksi urin 1,2
cc/kg bb/jam
- Hasil laboratorium
GDS 106 mg/dl, Ureum 35 U/L, Kreatinin 0,6 U/l, natrium 141 mmol/l,
kalium 4,6 mmol/l, klorida 108 mmol/l, Hb 11,4 gr/dl, PLT 169.000/ul,
HCT 36,4 %.
- Tatalaksana : lantus 18-0-0 (subcutan), novorapid 8-9-8 unit, diet
DM 2880 kkal = 360 gram (50% KH), boleh rawat jalan.

DISKUSI
Fungsi ginjal yang baik dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu aliran
darah ke ginjal yang adekuat, integritas parenkim ginjal dan patensi saluran
kemih. Etiologi Acute kidney injury (AKI) dibagi menjadi tiga kelompok
berdasarkan patogenesis yakni 1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi
ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI pre-
renal,~55%), pre renal acute kidney injury terjadi ketika aliran darah menuju
ginjal berkurang , dihubungkan dengan kontraksi volum intravascular atau

11
penurunan darah efektif; (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan
gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%), (3) penyakit yang
terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pasca-renal,~5%).
Pasien pada kasus ini, seorang anak perempuan berusia 17 tahun
didiagnosis ensefalopati et causa ketoasidosis diabetikum (KAD), DM tipe 1,
acute kidney injury (AKI) stage failure dan gizi kurang. Diagnosis DM tipe 1
berdasarkan gejala kli nis berupa poliuria, polidipsia, polifagia, nokturia
disertai adanya penurunan berat badan, pasien ini juga datang dalam
keadaan penurunan kesadaran yang disertai kejang serta ditemukan
pernafasan yang cepat dan dalam akibat asidosis metabolik. Hasil
laboratorium didapatkan hiperglikemia dengan kadar glukosa darah sewaktu
855 mg/dl, kadar C peptide 0,1 ng/ml dan kadar Hba1c 17,7%. Diagnosis
ketoasidosis diabetik ditegakkan dari adanya hiperglikemia (kadar gula
darah >200 mg/dl), PH darah vena <7,3 dan kadar bikarbonat serum < 15
mmol/l) dan ketonuria.
Pada pasien ini didapatkan Acute kidney Injury stage failure
berdasarkan hasil laboratorium serum kreatinin tertinggi 7,2 mg/dl (normal <
1,1 mg/dl) meningkat 6,4 kali nilai normal, ureum 225 mg/dl, LFG: 28,7
(normal 96,5-136,9) menurun >75% dari nilai normal. Pasien berdasarkan
kriteria RIFLE termasuk stage failure.5 AKI merupakan komplikasi klasik dari
KAD yang sering disebabkan kondisi prerenal oleh karena penurunan
perfusi ginjal. Kondisi penurunan hipoperfusi pada kondisi krisis
hiperglikemia disebabkan oleh karena hipovolemi terkait poliuria osmotik
dan kadang disertai muntah, dan kebanyakan pasien (50%) membaik fungsi
ginjal nya dalam waktu kurang dari 24 jam setelah rehidrasi.14 Namun pada
pasien ini diperlukan tindakan hemodialisa untuk mengatasi AKI stage
failure. Setelah dilakukan 6 kali hemodialisa fungsi ginjal pasien kembali
normal.
KAD dapat disebabkan oleh defisiensi abosolut atau relatif insulin.
Kondisi defisiensi absolut insulin dapat terjadi pada awitan pasien DM tipe-1
yang sebelumnya tidak terdiagnosa atau yang sedang masa pengobatan
namun dengan sengaja tidak menggunakan insulin terutama komponen

12
long acting dari regimen basal bolus. Defisiensi relatif insulin saat
konsentrasi hormon kontra regulator meningkat akibat respon terhadap
stres pada kondisi seperti sepsis, trauma, atau penyakit saluran pencernaan
dengan diare dan muntah, sehingga menyebabkan dekompensasi metabolik
meskipun pasien masih menggunakan insulin dosis biasanya
Kombinasi defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon
kontra regulator menyebabkan percepatan proses katabolik sehingga terjadi
peningkatan produksi glukosa oleh hati dan ginjal (melalui glikogenolisis dan
glukoneogenesis), dan gangguan penggunaan glukosa perifer, semuanya
bergabung menghasilkan hiperglikemia dan hiperosmolaritas. Defisiensi
insulin dan peningkatan hormon kontra regulator juga meningkatkan lipolisis
dan ketogenesis yang menghasilkan keton, sehingga terjadi ketonemia.
Asetoasetat dan B-hidroksibutirat yang merupakan bagian dari keton,
merupakan asam kuat yang dapat menyebabkan asidosis metabolik. 9
Hiperglikemia yang melebihi ambang ginjal sekitar 180 mg / dL (Kisaran
pada individu normal dan diabetes bervariasi) bersama-sama dengan
hiperketonemia menyebabkan diuresis osmotik, dehidrasi dan kehilangan
elektrolit, hal ini sering diperburuk oleh muntah yang berhubungan dengan
ketosis parah.10
Perubahan ini merangsang lebih lanjut produksi hormon stres, yang
menginduksi resistensi insulin lebih parah dan memburuknya hiperglikemia
dan hyperketonemia. Jika siklus ini tidak dihentikan dengan insulin eksogen
disertai pemberian terapi cairan dan elektrolit, akan terjadi dehidrasi berat
dan asidosis metabolik. Laktat acidosis dari hipoperfusi atau sepsis
berkontribusi juga terjadinya asidosis.7

13
Gambar 4. Patofisiologi KAD 10

Faktor risiko terjadinya KAD pada pasien ini adalah ketidaktahuan


tentang gejala-gejala DM serta penanganan DM yang terlambat. Beberapa
faktor risikonya terjadi KAD pada pasien DM yang baru terdiagnosa adalah
usia lebih muda (< 2 tahun), diagnosa atau penanganan terlambat, status
sosio ekonomi rendah dan negara dengan prevalensi DM tipe-1 yang
rendah. Adapun faktor resiko KAD pada pasien yang sudah diketahui DM
tipe-1 adalah kelalaian insulin, kontrol metabolik yang rendah, riwayat KAD
sebelumnya, gastroenteritis dengan muntah persisten dan dehidrasi,
gangguan psikiatri, mempunyai masalah keluarga dan sosial, gadis fase pra
pubertas dan remaja, dan akses terbatas ke layanan medis.10
Berdasarkan penelitian dan beberapa konsensus, pasien dengan
GGA dapat mengalami gangguan cairan dan elektrolit, termasuk
hiperkalemia, asidosis, dan hiperfosfatemia. 4,11 Pada kasus ini ditemukan
gejala asidosis metabolik.
Penelitian oleh Phoovashagi tahun 2011, dari 130 anak dengan KAD,
15 anak (11,5%) mengalami GGA, Usia kronologis anak-anak berkisar
antara 3-12 tahun dengan rata-rata 9,06 2,68 pertahun. 6 study yang

14
dilakukan oleh fishbein melaporkan prevalensi KAD 4,6-8 per 1000 pasien
anak dengan DM tipe 1 setiap tahunnya dan lebih tinggi pada perempuan.
Pada kasus ini ditemukan pada anak perempuan dengan usia 17 tahun.

Tabel 1. Modifikasi RIFLE pada anak

Gangguan ginjal akut adalah komplikasi yang jarang pada KAD anak,
sebab adanya efek osmotik hiperglikemia yang cenderung mempertahankan
volume intravaskuler. Meskipun GnGA jarang, tetapi komplikasi GnGA
dapat mengancam kehidupan.5,8 Pentingnya diagnosis dini bukan hanya
untuk efek jangka pendek berupa penurunan morbiditas dan mortalitas yang
tinggi, tetapi juga karena efek jangka panjang yaitu gangguan ginjal kronik.
6,7

Etiologi GnGA akibat KAD multifaktorial, kemungkinan besar karena


hipovolemia. Selain itu, peningkatan kadar ureum kreatinin pada KAD juga
disebabkan oleh peningkatan ureagenesis. Peningkatan konversi asam
amino menjadi glukosa menghasilkan hyperaminoacidemia. 8,9

Kebutuhan insulin pada GnGA akibat KAD dapat meningkat karena


resistensi insulin atau menurun karena gangguan clearance insulin. Adanya
variasi sensitifitas insulin menyebabkan anak dengan GnGA akibat KAD
dapat mengalami episode hipoglikemia. Oleh karena itu, kontrol gula darah
setiap jam harus dilakukan dan infus dengan dekstrosa konsentrasi tinggi
.9,10
Pada pasien ini diberikan cairan rehidrasi sesuai dengan klinis
dehidrasi sedang, insulin intravena kontinu, hemodialisa dan koreksi

15
elektrolit. Keberhasilan pengobatan KAD tergantung pada koreksi yang
adekuat terhadap dehidrasi, hiperglikemia, ketoasidosis dan defisit
elektrolit.11
Tujuan dari terapi penggantian cairan dan elektrolit untuk
memperbaiki volume sirkulasi, penggantian natrium dan kekurangan cairan
pada cairan ekstraseluler dan intraseluler, pemulihan filtrasi glomerulus
dengan meningkatkan pembersihan glukosa dan keton dari darah, dan
menghindari pemberian cairan berlebihan agar tidak memperburuk risiko
edema serebral.11 Faktor penting dalam pengobatan KAD meliputi
pemantauan ketat pasien terhadap pemberian cairan, koreksi elektrolit, dan
inisiasi terapi insulin setelah terehidrasi.13
Pasien menggunakan insulin intravena melalui syringe pump. Insulin
intravena kontinu hanya dapat diberikan setelah syok teratasi dengan cairan
resusitasi. Insulin yang digunakan adalah jenis short acting dengan dosis
0,05 -1 unit/kgBB/jam. Pemberian insulin secara kontinyu dan pemberian
glukosa tetap diberikan untuk menghentikan ketosis dan merangsang
anabolisme. Kadar glukosa yang diharapkan adalah 150-250 mg/dL. Bila
keadaan umum baik, metabolisme stabil, dan anak dapat menghabiskan
makanan utama maka insulin intravena bisa mulai diganti secara
subkutan.10
Penyebab anemia pada pasien penyakit ginjal adalah karena
produksi eritropoietin yang menurun dan proses inflamasi. Segera setelah
pengembangan rekombinan eritropoietin pada manusia, uji klinis
menunjukkan efikasi jangka pendek eritropoietin untuk mengobati anemia
yang berhubungan dengan penyakit ginjal berat pradialisis dan hemodialisis.
18

Pada umumnya GnGA akibat KAD jika cepat tertangani dengan


hidrasi cairan akan jarang memerlukan terapi pengganti ginjal atau dialisis.
Strategi manajemen untuk GnGA pada KAD meliputi terapi konservatif
seperti balans cairan, pemberian natrium bikarbonat untuk mengatasi
asidosis, atasi hiperkalemia, antibiotik untuk atasi infeksi dengan insulin
dosis rendah (0,05U/kgBB/jam) dengan konsentrasi glukosa yang tinggi

16
dalam cairan infus. Infeksi meningkatkan mortalitas dan morbiditas pada
KAD, maka manajemen yang cepat dan tepat sangat diperlukan. 12
Beberapa penelitian menunjukan bahwa penggunaan diuretik untuk
pencegahan dan tatalaksana GnGA harus dihindari kecuali untuk
pengelolaan volume yang berlebihan. 3,13. Pada kasus ini, telah dilakukan
penatalaksanaan awal dengan hidrasi cairan, pemberian antibiotik, dan
diuretik. Namun tidak menunjukkan perbaikan secara klinis maupun
laboratorium, sehingga diputuskan untuk melakukan tindakan terapi
pengganti ginjal.
Terapi pengganti ginjal berdasarkan penelitian diindikasikan bila
kelebihan beban volume (10-20% kelebihan cairan), asidosis, hiperkalemia,
uremia (biasanya urea darah nitrogen > 100 mg/dl) , dan peningkatan kadar
kreatinin serum yang progresif. Pasien ini memiliki beberapa indikasi
hemodialisa termasuk : asidosis metabolik dan peningkatan signifikan kadar
kreatinin.
Ada beberapa modalitas terapi untuk intervensi dialisis pada pasien
anak dengan GnGA yaitu dengan hemodialisa intermitten (IHD) dan
Continous Replacement Renal Therapy (CRRT) termasuk Peritoneal dialisis
PD. Pilihan modalitas ditentukan oleh berbagai faktor, termasuk
ketersediaan alat, sumber daya yang tersedia, tujuan dialisis, dan
keuntungan serta kekurangan setiap modalitas. 14,15

Pada saat ini tidak ada penelitian acak klinis yang membandingkan
PD, IHD, dan CRRT untuk pengobatan anak-anak dengan GnGA.15
Penggunaan IHD ideal untuk disfungsi ginjal akut atau ketidakseimbangan
elektrolit. Hemodialisis intermitten memiliki keuntungan yang jelas dari
ultrafiltrasi yang cepat bila dibandingkan dengan PD atau CRRT,
Hemodialisis mempunyai keuntungan dapat lebih cepat mengoreksi
kelainan biokimia dalam darah. Kemampuan untuk menyesuaikan
komposisi dialisat untuk mengobati berbagai kelainan elektrolit dengan
cepat (misalnya hiperkalemia, hipernatremia) adalah keuntungan besar
dibandingkan dengan PD atau CRRT.16

17
Penelitian Bunchman et al mempublikasikan 81 % dari 61 anak yang
menerima IHD selamat sedang pada CRRT hanya 40 %. Secara retrospektif
kelangsungan hidup GnGA anak untuk IHD (73-89%) lebih tinggi dari anak
GnGA yang menggunakan CRRT (34-58%). 13,17
Hemodialisis (HD) merupakan salah satu sistem/cara terapi yang
paling sering untuk membersihkan darah. HD merupakan suatu proses
pemisahan zat-zat tertentu (toksin uremik) dari darah melalui membran
semipermeabel didalam ginjal buatan yang disebut dialiser, dan selanjutnya
dibuang melalui cairan dialisis yang disebut dialisat. Dasar fisiologis dialisis
merupakan pemisahan zat-zat terlarut yang terjadi secara difusi dan
ultrafiltrasi.

Gambar . Alur darah ketika pasien menjalani hemodialisis

Penerapan terapinya sangat tergantung pada kondisi klinik penderita,


namun secara umum HD dilakukan 4 s/d 6 jam setiap kali pemakaian. Alat
HD memompa darah melalui akses pembuluh darah dari pasien menuju alat
HD. Didalam alat dialisis, sampah metabolik dipisahkan dari darah. Alat
dialisis berfungsi sebagai filter dan terbagi menjadi 2 bagian yang
dipisahkan oleh membran semipermeabel. Pada satu sisi darah pasien
dipompa dan dibagian yang lain cairan dialisat di pompa juga. Selama terapi
mesin dialisis memantau melalui monitor sirkulasi darah penderita selama

18
berada diluar tubuh penderita, memompa darahnya, dan
menyaring/memisahkan sistem sirkulasinya dan memonitor komposisi dan
balans volume. Pompa heparin juga merupakan salah satu bagian penting
pada mesin dialisis untuk menghindari penggumpalan darah.12,13,14
Banyak penelitian menunjukkan bahwa tingginya mortalitas anak-
anak dengan GnGA akibat ketoasidosis diabetik.6 Penelitian di Iran
menunjukkan bahwa tingginya mortalitas berkaitan dengan rendahnya kadar
GFR pada awal masuk rumah sakit dan tinginya skor pRIFLE. Berdasarkan
bukti penelitian dan pendapat ahli, literatur terbaru melaporkan bahwa anak-
anak yang sakit kritis setelah episode GnGA mengalami peningkatan risiko
penyakit ginjal kronis dikemudian hari. Tindak lanjut tatalaksana jangka
panjang dari pasien ini sangat penting. 8 Prognosis qua ad vitam dan qua ad
sanationem pada kasus ini dubia.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Wolsdorf J. The ISPAD Guidelines for management of Diabetic


Ketoacidosis : Do the guidelines need to be modified?.Ped Diab
J.2014 : 15 : 277 286
2. Lamb W. Pediatric Diabetic Ketoacidosis : Practice Essential.
Medscape Reference.2014
3. Rustana S,Suhardja d,Ontario C, Prita Yati N, Satriono, Harjantien.
Ketoasidosis Diabetik dalam Buku Ajar Endokrinologi Anak. 2010 :
Ed.2: 169 - 176
4. Global IDF/ISPAD Guideline for Diabetes in Childhood and
Adolescent: Diabetic Ketoacidosis. 2009
5. Andreoli SP. Acute kidney Injury in children. PediatrNephrol (2009)
24:253-263
6. Rosenbloom AL. The management of diabetic ketoacidosis in
children. Diabetes Ther. 2011;1z103-20.
7. Kitabchi AE, Nyenwe EA. Hyperglycemic Crise's in Diabetes Mellitus:
Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar State.
Endocrinol Metab Clin North Am. 2006;35:725-51.
8. Wolfsdorf J, Glaser N, Sperling MA. Diabetic Ketoacidosis in Infants,
Children, and Adolescents: A consensus statement from the
American Diabetes Association. Diabetes Care. 2006;29:1150-9.
9. Cardella F. Insulin therapy during diabetic ketoacidosis in children.
Acta Biomed. 2005;76; Suppl. 3:49-54.
10. Sherry NA, Levitsky LL. Management of diabetic ketoacidosis in
children and adolescents. Paediatr drugs. 2008; 1 02209-1 5.
11. Lopes JA, Jorge S. The RIFLE and AKIN classifications for acute
kidney injury: a critical and comprehensive review. Clin Kidney J.
2013;6z8-14.
12. Stover CM, Orban J-C, Maiziere E-M, Ghaddab A, Van Obberghen E,
Ichai C. Incidence and Characteristics of Acute Kidney injury in
Severe Diabetic Ketoacidosis. PLoS One. 2014;92e110925.

20
13. Craig ME, Jefferies C, Dabelea D, Balde N, Seth A, Donaghue KC.
Definition, epidemiology, and classification of diabetes in children and
adolescents. Pediatr Diabetes. 2014;15:4-17.
14. Atkinson MA. The Pathogenesis and Natural History of Type 1
Diabetes. Cold Spring Harbor Perspectives in Medicine.
2012;2:a007641-a.
15. Cooke DW, Plotnick L. Type 1 diabetes mellitus in pediatrics. Pediatr
Rev. 2008;29:374-84.
16. Unit Kerja Kelompok Endokrino'logi Anak dan Remaja. Konsensus
nasional pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2015:85-96.

21

Anda mungkin juga menyukai