Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot, dan/atau
nyeri sendi yang disertai oleh leukopenia, ruam limfadenopati, trombositopenia, dan diathesis
hemoragic. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan dirongga tubuh. Sindrom Renjatan Dengue
(Dengue Syok Sindrom) adalah demam berdarah dengue yang ditandai dengan
renjatan/syok).1
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Terdapat 4 serotipe virus yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau
demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia deangan DEN-3
merupakan serotipe terbanyak.1
Demam dengue banyak terjangkit di daerah tropis dan subtropis. Asia menempati
urutan pertama dalam jumlah penderita demam dengue tiap tahun. Hal ini mungkin
disebabkan oleh karena curah hujan di Asia yang sangat tinggi terutama di Asia Timur dan
Selatan ditambah dengan sanitasi lingkungan yang tidak bagus.
Indonesia sebagai negara tropis dengan angka kejadian Dengue yang tinggi, memang
memiliki potensi tinggi untuk terjadinya penyebaran wabah Dengue di masyarakat. Di
Indonesia infeksi virus dengue pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968. Pada saat
ini DBD sudah endemis di banyak kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah
terjangkit di pedesaan.1

1
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. D
Umur : 18 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Perumahan Garuda 3 RT. 20 Mayang
Ruangan / Kamar : Interne / Kelas I
Tanggal Masuk : 28 Mei 2022
Tanggal pemeriksaan : 28 Mei 2022

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis.
1. Keluhan Utama :
Demam tinggi sejak ±3 hari SMRS
2. Riwayat Penyakit Sekarang
±3 hari SMRS OS mengeluhkan demam tinggi yang muncul secara mendadak
dirasakan naik turun. Suhu badan paling tinggi 39oC. Menggigil (-), berkeringat (-),
Mual (+) Muntah (-). Dengan keluarga OS dibawa berobat ke puskesmas terdekat. OS
sudah minum obat paracetamol, demam tidak turun sampai normal.
±2 hari SMRS OS mengeluhkan nyeri otot. Nyeri dirasakan diseluruh tubuh. Nyeri dan
bengkak pada sendi (-). Keluhan nyeri kepala (+). Bintik-bintik merah di tubuh (-),
mimisan (-), gusi berdarah (-), batuk pilek (-), diare (-), nyeri BAK (-), BAK dan BAB
tidak ada keluhan.
3. Riwayat penyakit dahulu
 Riwayat keluhan yang sama sebelumnya (-)
 Riwayat dirawat di rumah sakit sebelumnya (-)
 Riwayat dioperasi sebelumnya(-)
4. Riwayat penyakit dalam keluarga
 Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga (-)

2
5. Riwayat sosial dan ekonomi
OS seorang pelajar yang tinggal dengan keluarganya. OS mengaku
sebelumnya ada tetangga yang mengalami demam berdarah. OS mengaku suka
mengonsumsi makanan yang pedas, pola makan tidak teratur. OS mengaku menjaga
kebersihan lingkungan serta makanan yang dimakan.

2.3 Pemeriksaan Fisik


VITAL SIGN (KEADAAN UMUM)

A. Suhu : 38,60C Nadi : 90 x/i Tekanan darah : 102/60 mmHg


B. Pernafasan : reguler frekuensi : 22 x/i Jenis : Thorako Abdominal
C. Tinggi Badan : 169 cm Berat badan : 70 kg IMT : 24,5
D. Keadaan umum : Baik Sedang Buruk
E. Keadaan Sakit : Tidak tampak sakit
Ringan Sedang Buruk

F. Sianosis : Tidak ada Dehidrasi : Tidak ada


G. Edema Umum : Tidak ada Bentuk badan : Normal
H. Dugaan umur : 18 tahun
I. Cara berbaring : Berbaring lurus
J. Cara berjalan : (Pasien berbaring)

KULIT Warna : kuning langsat


Keringat : (+)
Ptekie : (-)
Efloresensi : Tidak ada
Pigmentasi : Normal
Turgor : Normal
Jaringan parut : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
Edema : Tidak ada
Lembab kering : Kering

KELENJAR Pembesaran Kel. Submandibula :(-)

3
Submental :(-)
Jugularis Superior :(-)
Jugularis inferior :(-)

KEPALA Ekspresi muka : Lesu (+)


Deformitas : Tidak ada
Simetri muka : Simetris
Rambut : Tidak mudah dicabut
Pembuluh darah temporal : Teraba
Nyeri tekan syaraf : Tidak ada

MATA Exophtalmus/enophtal: Tidak ada Lensa : Jernih


Tekanan bola mata : Normal Fundus : Tidak dilakukan
Kelopak : Normal Visus : Koreksi sama dengan
pemeriksa
Conjungtiva : Anemis(-/-), Lapangan penglihatan : Tidak ada
Injeksi konjungtiva(-) penyempitan
Sklera : Ikterik (-/-) Tanda penyakit gravis : (-)
Gerakan kedua belah mata : Normal tidak ada batasan
Kornea : Xeroftalmus (-), ulkus(-)
Pupil : isokor (+/+) , reflek cahaya (+/+)

TELINGA Tophi : Tidak ada Selaput lendir : Tidak dilakukan


Lubang : Serumen (+/+) minimal Pendengaran : Baik
Cairan : Tidak ada Lain-lain : (-)
Nyeri tekan di proc mastoideus : (-/-)

HIDUNG Bagian luar : Deformitas (-) Septum : deviasi (-)


Penyumbatan : (-) Ingus : Tidak ada
Pendarahan : (-)

MULUT Bibir : Pucat (-), kering (-) Sianosis (-), tebal (-), retak-retak (-),
luka pada sudut mulut (-), ulkus (-), bercak (-).

4
Bau pernafasan : Normal, fetor hepatikum (-), alkohol (-).
Palatum : Menutup dan simetris.
Gusi : Hiperemis (-), bengkak (-).
Selaput Lendir : (-)
Lidah : Kotor (-)
Atrofi (-)
Basah (-), kering (-)
Stomatitis (-)

FARING Tonsil : T1-T1, hiperemis (-), nodul (-), granulasi (-)


Lain-lain : (-)

LEHER
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok : Tidak ada pembesaran.
Tekanan vena jugularis : 5-2 cmH2O ( Normal )
Kaku kuduk : Tidak ada
Pembuluh darah : Arteri karotis teraba normal.

DADA
Bentuk : Simetris, diameter latero-lateral > anterior-posterior.
Buah dada : Nodul (-), nyeri (-), ginekomastia (-).
Lain-lain : Ptekie (-)

PARU – PARU
Inspeksi :
 Dalam pernafasan : Normal
 Jenis pernafasan : Thorako abdominal
 Kecepatan pernafasan : 20x/menit
 Lain-lain : (-)
Palpasi : (Fremitus)
Kiri : Fremitus taktil normal, nyeri tekan (-/-), krepitasi (-/-)
Kanan : Fremitus taktil normal, nyeri tekan (-/-), krepitasi (-/-)

5
Perkusi
Kiri : Sonor (+)
Kanan : Sonor (+)
Auskultasi : (Bunyi pernafasan, ronkhi)
Kiri : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Kanan : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

JANTUNG
Inspeksi : Impuls apeks (iktus kordis) : tidak terlihat
Palpasi : Impuls apeks (Iktus kordis)
Tempat : 2 jari medial linea midklavikula sinistra ICS V
Luas : ± 2 cm
Kuat angkat : Tidak kuat angkat
Lain-lain : (-)
Perkusi : batas-batas jantung :
 Kiri : 2 jari medial linea midklavikula sinistra ICS V
 Kanan : Linea parasternalis dextra ICS IV
 Atas : Linea patasternalis sinistra ICS II
 Pinggang jantung : Linea parasternal sinistra ICS III
 Lain-lain : (-)
Auskultasi :
Bunyi jantung :
 Irama jantung : BJ I dan BJ II reguler, gallop (-), murmur (-)
 Frekuensi : 90x/menit
 Irama medua : Tidak ada
Bising :
Tempat : Tidak ada Arah menjalar : (-)
Terjelas pada : (-) Pengaruh letak : (-)
Saat : (-) Pengaruh pernafasan : (-)
Derajat : (-)
Pembuluh darah :
A. Temporalis : teraba A. Femoralis : teraba

6
A. Carotis : teraba A. Poplitea : teraba
A. Brachialis : teraba A. Tibialis Posterior : teraba
A. Radialis : teraba A. Dorsalis pedis : teraba

PERUT
Inspeksi : Ptekie (-), striae (-), venektasi (-), caput medusa(-),
peristaltik usus (-), distensi (-), perut membuncit (-),
spider naevi (-).
Palpasi : Soepel (+), nyeri tekan epigastrium (+), turgor cepat kembali
 Hati : Tidak teraba
 Limpa : Tidak teraba
 Ginjal : Tidak teraba
Perkusi:
 Pada seluruh lapangan abdomen timpani
 Shifting dullness : (-)
Auskultasi : BU (+) normal

PUNGGUNG
 Inspeksi : Simetris, tidak ada bagian yang tertinggal, ptekie (-),
jaringan parut (-)
 Palpasi : Nyeri di sekitar vertebra (-), vertebra terletak simetris,
fremitus taktil kanan-kiri normal
 Perkusi : Sonor (+/+) - Nyeri ketok CVA : (-/-)
 Lain-lain :-

LENGAN DAN TANGAN


Warna : Ptekie (-), Sianosis (-)
Tremor : Tidak ada
Kuku : Pucat (-) Lain-lain : Articulatio cubiti
Nyeri(-/-)
Eritem(-/-)
Bengkak(-/-)

7
TUNGKAI DAN KAKI :
Luka : (-) Varices : tidak ada
Otot : Normal
Sendi : Nyeri lutut (-) Gerakan : normal
Kekuatan : 5/5 Suhu raba : febris
Edema : (-) Lain-lain : Articulatio genu
Nyeri(-/-)
Eritem(-/-)
Bengkak(-/-)

REKLEKS
Fisiologik : Normal Kiri : Normal Kanan : Normal
Patologik : tidak ada kiri : tidak ada Kanan : tidak ada
SENSIBILITAS :
Pemeriksaan halus : Sensibilitas sakit (+)
Sensibilitas raba (+)
Sensibilitas suhu : Tidak dilakukan.

RUMPLE LEED TEST : (-)

2.4 Pemeriksaan Laboratorium


Darah Rutin (28/5/2022)
Jenis Pemeriksaan Hasil Unit Normal
WBC 3,4 109/L 4-10
RBC 5,59 1012/L 3,5-5,5
HGB 13,9 g/dL 11-16
MCV 75,8 fL 80-100
MCH 24,9 Pg 27-34
MCHC 328 g/L 320-360
HCT 42,4 % 35-50
PLT 54 109/L 100-300
Kesan: Leukopenia dan trombositopenia.

2.5 Diagnosis Kerja


Dengue Fever

8
2.6 Diagnosis Banding
1. Dengue Hemorrhagic Fever Grade I
2. Chikungunya
2.7 Pemeriksaan yang Dianjurkan
1. NS1
2. Tes serologi IgG-IgM antidengue
2.8 Tatalaksana
1. Non-medikamentosa
 Istirahat
 Diet Makan lunak
 Tingkatkan asupan cairan oral
 Cek darah rutin tiap 24 jam
 Pantau tanda vital, tanda tanda syok, perdarahan, terutama pada transisi fase
febris (hari 4-6)
2. Medikamentosa
IVFD RL 30 tetes/menit
Simtomatis: Inj. Omeprazole 2x40 mg
Paracetamol tablet 3x500 mg
Infus Paracetamol 1 gr, jika T >39oC
2.9 Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam` : Bonam

2.10 Follow Up

9
Tanggal Pemeriksaan
29 Mei 2022 S : Demam naik turun(+), sakit kepala(-), mual(+), muntah(-), lemas(+)
berkurang, tanda perdarahan (-)
O : TD: 93/69 mmHg, N: 97x/i, RR: 22x/i, T: 38,20C
Ptekie(-), nyeri tekan epigastrium(+)
Darah rutin:
Jenis Pemeriksaan Hasil Unit Normal
WBC 2,9 109/L 4-10
RBC 6,04 1012/L 3,5-5,5
HGB 14,6 g/dL 11-16
MCV 76.2 fL 80-100
MCH 29,2 pg 27-34
MCHC 327 g/L 320-360
HCT 46,2 % 35-50
PLT 10 109/L 100-300
Kesan: Leukopenia dan trombositopenia
A : Febris H-4 ec Demam Dengue
P : IVFD RL 30 tetes/menit
Paracetamol tablet 3x500 mg
Inj. Omeprazole 2x40 mg
Observasi tanda vital dan pantau tanda perdarahan
30 Mei 2022 S : Demam (-), mual(+), muntah(+) 1 kali, lemas(+), gusi berdarah (+)
O : TD: 110/70 mmHg, N: 70 x/i, RR: 20x/i, T: 36,80C
Ptekie(-), nyeri tekan epigastrium(+)
Darah rutin:
Jenis Pemeriksaan Hasil Unit Normal
WBC 7,2 109/L 4-10
RBC 6,92 1012/L 3,5-5,5
HGB 17,3 g/dL 11-16
MCV 74,9 fL 80-100
MCH 24,9 pg 27-34
MCHC 333 g/L 320-360
HCT 51,9 % 35-50
PLT 13 109/L 100-300
Kesan: Polisitemia dan trombositopenia
A : Febris H-5 ec Demam Dengue
P : IVFD RL 500 cc/6 jam
Paracetamol tablet 3x500 mg
Inj. Omeprazole 2x40 mg
Inj. Ondansentron 2x8 mg

10
Sucralfat syrup 3x1Cth
Observasi tanda vital dan pantau tanda perdarahan
31 Mei 2022 S : Demam(-), mual(+), muntah(-), lemas(-)
O : TD: 101/65 mmHg, N: 88 x/i, RR: 22x/i, T: 36.60C
Ptekie(-), nyeri tekan epigastrium(+)
Darah rutin:
Jenis Pemeriksaan Hasil Unit Normal
WBC 10,1 109/L 4-10
RBC 5,9 1012/L 3,5-5,5
HGB 14,7 g/dL 11-16
MCV 73,7 fL 80-100
MCH 25,0 Pg 27-34
MCHC 338 g/L 320-360
HCT 43,5 % 35-50
PLT 24 109/L 100-300
Kesan: Trombositopenia
A : Febris H-6 ec Demam Dengue
P : IVFD RL 500 cc/6 jam
Paracetamol tablet 3x500 mg
Inj. Omeprazole 2x40 mg
Inj. Ondansentron 2x8 mg
Sucralfat syrup 3x1Cth
Observasi tanda vital dan pantau tanda perdarahan
1 Juni 2022 S : Demam(-), mual(-), muntah(-), lemas(-)
O : TD: 110/70 mmHg, N: 88 x/i, RR: 22x/i, T: 36.60C
Ptekie(-), nyeri tekan epigastrium(-)
Darah rutin:
Jenis Pemeriksaan Hasil Unit Normal
WBC 9,6 109/L 4-10
RBC 5,94 1012/L 3,5-5,5
HGB 14,6 g/dL 11-16
MCV 75,5 fL 80-100
MCH 24,5 pg 27-34
MCHC 325 g/L 320-360
HCT 44,8 % 35-50
PLT 50 109/L 100-300
Kesan: trombositopenia
A : Febris H-7 ec Demam Dengue
P : Boleh pulang
Paracetamol tablet 3x500mg

11
Sucralfat syr 3x500mg
Omeprazole 2x20 mg
Edukasi segera ke fasilitas kesehatan bila ada keluhan

12
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Demam dengue (DF) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau
nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis
hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue
(dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.1

3.2 Etiologi
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus
Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri
dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.1
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia
dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak.1

3.3 Vektor
Vektor DD dan DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor
utama dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder. Spesies tersebut merupakan nyamuk
pemukiman, stadium pradewasanya mempunyai habitat perkembangbiakan di tempat
penampungan air/wadah yang berada di permukiman dengan air yang relatif jernih. Nyamuk
Ae. aegypti lebih banyak ditemukan berkembang biak di tempat-tempat penampungan air
buatan antara lain: bak mandi, ember, vas bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban
bekas dan sejenisnya di dalam rumah meskipun juga ditemukan di luar rumah di wilayah
perkotaan, sedangkan Ae. albopictus lebih banyak ditemukan di penampungan air alami di
luar rumah, seperti axilla daun, lubang pohon, potongan bambu dan sejenisnya terutama di
wilayah pinggiran kota dan pedesaan, namun juga ditemukan di tempat penampungan buatan
di dalam dan di luar rumah. Spesies nyamuk tersebut mempunyai sifat anthropofilik, artinya
lebih memilih menghisap darah manusia, disamping itu juga bersifat multiple feeding artinya
untuk memenuhi kebutuhan darah sampai kenyang dalam satu periode siklus gonotropik

13
biasanya menghisap darah beberapa kali. Sifat tersebut meningkatkan risiko penularan
DB/DBD di wilayah perumahan yang penduduknya lebih padat, satu individu nyamuk yang
infektif dalam satu periode waktu menggigit akan mampu menularkan virus kepada lebih dari
satu orang.2

3.4 Epidemiologi3
Virus dengue menginfeksi manusia di daerah Afrika dan Asia Tenggara sejak 100-
800 tahun yang lalu. Virus dengue berkembang pesat pada perang dunia ke-2 dimana
penyebaran nyamuk terjadi secara massal bersama dengan pengiriman barang yang berperan
dalam penyebaran global DBD.
Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara yang mengalami wabah DBD, namun sekarang
DBD menjadi penyakit endemik pada lebih dari 100 negara, di antaranya adalah Afrika,
Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat memiliki angka tertinggi
kasus DBD. Jumlah kasus di Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat telah melewati 1,2
juta kasus di tahun 2008 dan lebih dari 2,3 juta kasus di 2010. Pada tahun 2013 dilaporkan
terdapat sebanyak 2,35 juta kasus di Amerika, dimana 37.687 kasus merupakan DBD berat.
Saat ini bukan hanya terjadi peningkatan jumlah kasus DBD, tetapi penyebaran di luar
daerah tropis dan subtropis, contohnya di Eropa, transmisi lokal pertama kali dilaporkan di
Perancis dan Kroasia pada tahun 2010. Pada tahun 2012, terjadi lebih dari 2.000 kasus DBD
pada lebih dari 10 negara di Eropa. Setidaknya 500.000 penderita DBD memerlukan rawat
inap setiap tahunnya, dimana proporsi penderita sebagian besar adalah anak-anak dan 2,5% di
antaranya dilaporkan meninggal dunia.
DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di
Indonesia. Seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk, jumlah
penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah. Di Indonesia, demam berdarah
pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang
terinfeksi dan 24 orang di antaranya meninggal dunia, dengan Angka Kematian (AK)
mencapai 41,3%. Sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.
DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia selama 47 tahun
terakhir. Sejak tahun 1968 terjadi peningkatan jumlah provinsi dan kabupaten/kota dari 2
provinsi dan 2 kota, menjadi 34 provinsi dan 436 (85%) kabupaten/kota pada tahun 2015.
Terjadi juga peningkatan kasus DBD dari tahun 1968 yaitu 58 kasus menjadi 126.675 kasus
pada tahun 2015.

14
Pada tahun 2015, tercatat terdapat sebanyak 126.675 penderita DBD di 34 provinsi di
Indonesia, dan 1.229 orang di antaranya meninggal dunia. Jumlah tersebut lebih tinggi
dibandingkan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 100.347 penderita DBD dan sebanyak 907
penderita meninggal dunia spada tahun 2014. Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan iklim
dan rendahnya kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungan.

3.5 Patogenesis1
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis
berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue.
Respon imun yang berperan dalam patogenesis DBD adalah:
a. Respon humoral
Berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus,
sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi.
Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada
monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement
(ADE).
b. Limfosit T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8)
Berperan dalam respon imun selular terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper
yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan
TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10.
c. Monosit dan makrofag
Berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses
fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh
makrofag.
d. Aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan
C5a

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection


yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan
tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga
mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain;
menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang
memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di

15
makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-helper
dan T-sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan
mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1,
PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi
sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi
oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme supresi sumsum
tulang dan destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada
fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi megakariosit.
Setelah keadaan nadir tercapai, akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk
megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru
menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai
mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi
melalui peningkatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi virus dengue, konsumsi trombosit
selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi
melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4
yang merupakan petanda degranulasi trombosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan
disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada
demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah
dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga
berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-
inhibitor complex).

3.6 Gambaran Klinis4


Infeksi dengue adalah penyakit sistemik dan dinamis. Infeksi Dengue memiliki
spektrum klinis yang luas yang mencakup manifestasi klinis yang parah dan tidak parah.
Setelah masa inkubasi, penyakit dimulai secara tiba-tiba dan diikuti oleh tiga fase, yaitu
demam, kritis dan pemulihan.

16
Gambar 3.1 Perjalanan penyakit Dengue

2.6.1 Fase Demam


Penderita biasanya mengalami demam tinggi secara tiba-tiba. Fase demam akut ini
biasanya berlangsung 2-7 hari dan sering disertai dengan wajah yang kemerahan, eritema
kulit, sakit tubuh umum, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Beberapa pasien mungkin
mengalami sakit tenggorokan, injeksi konjungtiva dan pharynx. Anoreksia, mual dan muntah
sering terjadi. Sulit membedakan dengue secara klinis dari demam non-dengue pada fase
demam dini. Uji tourniquet positif pada fase ini meningkatkan probabilitas demam berdarah.
Selain itu, ciri klinis tidak dapat dibedakan antara kasus demam berdarah parah dan tidak
parah. Oleh karena itu pemantauan tanda peringatan dan parameter klinis lainnya sangat
penting untuk mengenali kemajuan pada fase kritis.
Manifestasi hemoragik ringan seperti ptekie dan perdarahan mukosa (misalnya hidung
dan gusi) dapat dilihat. Perdarahan vagina yang masif (pada wanita usia subur) dan
pendarahan gastrointestinal dapat terjadi selama fase ini namun tidak umum. Hepar sering
membesar dan lembut setelah beberapa hari demam. Kelainan paling awal dalam hitung
darah lengkap adalah penurunan progresif jumlah total sel darah putih, yang harus
mengingatkan dokter terhadap probabilitas tinggi demam berdarah.
2.6.2 Fase Kritis
Merupakan kisaran waktu defervescence, ketika suhu turun menjadi 37,5-38oC atau
kurang dan tetap di bawah tingkat ini, biasanya pada hari 3-7 dari penyakit, peningkatan

17
permeabilitas kapiler secara paralel dengan peningkatan kadar hematokrit dapat terjadi. Ini
menandai dimulainya fase kritis. Periode kebocoran plasma secara klinis signifikan biasanya
berlangsung 24-48 jam.
Leukopenia progresif diikuti oleh penurunan jumlah trombosit yang cepat biasanya
mendahului kebocoran plasma. Pada titik ini, pasien tanpa peningkatan permeabilitas kapiler
akan membaik, sementara yang memiliki permeabilitas kapiler meningkat menjadi lebih
buruk akibat kehilangan volume plasma. Tingkat kebocoran plasma bervariasi.Efusi pleura
dan asites dapat terdeteksi secara klinis tergantung pada tingkat kebocoran plasma dan
volume terapi cairan. Oleh karena itu x-ray dada dan ultrasonografi perut bisa menjadi alat
yang berguna untuk diagnosis. Tingkat kenaikan di atas hematokrit dasar sering
mencerminkan keparahan kebocoran plasma.
Syok terjadi saat volume kritis plasma hilang melalui kebocoran.Hal ini sering
didahului dengan tanda peringatan.Suhu tubuh mungkin subnormal saat terjadi syok.Dengan
kejutan yang berkepanjangan, efek hipoperfusi organ akibat gangguan organ progresif,
asidosis metabolik dan koagulasi intravaskular diseminata.Hal ini pada gilirannya
menyebabkan perdarahan hebat yang menyebabkan hematokrit menurun pada syok yang
parah. Alih-alih leukopenia biasanya terlihat selama fase demam berdarah ini, jumlah total sel
darah putih dapat meningkat pada pasien dengan perdarahan hebat. Selain itu, kerusakan
organ berat seperti hepatitis, ensefalitis berat atau miokarditis berat dan / atau perdarahan
hebat juga dapat terjadi tanpa adanya kebocoran atau kejutan plasma yang jelas.
Mereka yang membaik setelah tahap defervescence dikatakan memiliki demam non-
severe dengue. Beberapa pasien mengalami fase kritis dari kebocoran plasma tanpa
defervescence dan, pada pasien ini, perubahan perbaikan volume darah penuh harus
dilakukan untuk memandu awitan fase kritis dan kebocoran plasma.
Mereka yang memburuk akan bermanifestasi dengan tanda peringatan. Ini disebut
demam berdarah dengan tanda peringatan. Kasus demam berdarah dengan tanda peringatan
mungkin akan pulih dengan rehidrasi intravena awal. Beberapa kasus akan memburuk pada
demam berdarah parah / severe dengue.
2.6.3 Fase Perbaikan (Recovery Phase)
Jika pasien bertahan pada fase kritis 24-48 jam, reabsorpsi cairan kompartemen
ekstravaskular secara bertahap terjadi dalam 48-72 jam berikut. Kenaikan kesehatan umum,
kembalinya nafsu makan, gejala gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil dan
diuresis terjadi kemudian.Beberapa pasien mungkin mengalami ruam.Beberapa mungkin

18
mengalami pruritus umum. Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi umum terjadi pada
tahap ini.
Hematokrit stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusional dari reabsorpsi
cairan.Jumlah sel darah putih biasanya mulai meningkat segera setelah defervescence namun
pemulihan jumlah trombosit biasanya lebih tinggi daripada jumlah sel darah putih. Gangguan
pernapasan akibat efusi pleura dan asites yang besar akan terjadi kapan saja jika cairan
intravena berlebihan telah diberikan. Selama fase kritis dan/atau pemulihan, terapi cairan
berlebihan dikaitkan dengan edema paru atau gagal jantung kongestif.
2.6.4 Severe dengue
Severe Dengue/Dengue berat didefinisikan oleh satu atau beberapa hal berikut: (i)
kebocoran plasma yang dapat menyebabkan syok dan/atau akumulasi cairan, dengan atau
tanpa gangguan pernapasan, dan / atau; (ii) pendarahan hebat, dan / atau; (iii) gangguan organ
berat. Seiring berkembangnya permeabilitas vena dengue, hipovolemia memburuk dan
mengakibatkan syok.Biasanya terjadi di sekitar defervescence, biasanya pada hari ke 4 atau 5
(rentang hari 3-7) penyakit, didahului dengan tanda peringatan.Selama tahap awal syok,
mekanisme kompensasi yang mempertahankan tekanan darah sistolik normal juga
menghasilkan takikardia dan vasokonstriksi perifer dengan perfusi kulit berkurang,
mengakibatkan ekstremitas dingin dan waktu pengisian kapiler yang tertunda.Uniknya,
tekanan diastolik meningkat terhadap tekanan sistolik dan tekanan nadi menyempit saat
resistansi vaskular perifer meningkat.Penderita syok demam sering tetap sadar dan
jernih.Dokter yang tidak berpengalaman dapat mengukur tekanan sistolik normal dan salah
menilai keadaan kritis pasien.Akhirnya, ada dekompensasi dan kedua tekanan itu tiba-tiba
hilang. Syok hipotensi dan hipoksia berkepanjangan dapat menyebabkan kegagalan multi
organ dan keadaan klinis yang sangat sulit.
Pasien dianggap syok jika tekanan nadi yaitu perbedaan antara tekanan sistolik dan
diastolik) adalah ≤ 20 mmHg pada anak-anak atau memiliki tanda perfusi kapiler yang buruk
(ekstremitas dingin, pengisian kapiler yang tertunda, atau denyut nadi cepat menilai).Pada
orang dewasa, tekanan nadi ≤ 20 mmHg mungkin mengindikasikan syok yang lebih parah.
Hipotensi biasanya dikaitkan dengan syok yang berkepanjangan yang seringkali dipersulit
oleh perdarahan hebat.
Pasien dengan demam berdarah parah mungkin memiliki kelainan koagulasi, namun
biasanya tidak cukup untuk menyebabkan perdarahan hebat.Ketika perdarahan hebat terjadi,
hampir selalu dikaitkan dengan syok yang mendalam, yang mana dalam kombinasi dengan
trombositopenia, hipoksia dan asidosis, dapat menyebabkan kegagalan organ multipel dan

19
koagulasi intravaskular diseminata. Pendarahan massal dapat terjadi tanpa syok
berkepanjangan saat digunakan asam asetilsalisilat (aspirin), ibuprofen atau kortikosteroid.
Secara keseluruhan, demam berat harus dipertimbangkan jika pasien berasal dari
daerah berisiko demam berdarah dengue (endemik), dengan demam 2-7 hari ditambah
dengan beberapa hal berikut:
 Ada bukti kebocoran plasma, seperti:
- Hematokrit tinggi atau progresif;
- Efusi pleura atau asites;
- Circulatory compromised atau syok peredaran darah (takikardia, ekstremitas dingin
dan berkabut, waktu pengisian kapiler lebih besar dari tiga detik, denyut nadi lemah
atau tidak terdeteksi, tekanan nadi yang sempit atau, pada kejutan akhir, tekanan
darah yang tidak dapat diukur).
 Ada pendarahan yang signifikan.
 Ada tingkat kesadaran yang berubah (lesu, gelisah, koma, kejang).
 Ada keterlibatan gastrointestinal yang parah (muntah terus-menerus, sakit perut
meningkat atau intens, sakit kuning).
 Ada gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut, ensefalopati atau
ensefalitis, atau manifestasi tidak biasa lainnya, kardiomiopati) atau manifestasi tidak
biasa lainnya.
Manifestasi yang tidak biasa, termasuk gagal hati akut dan ensefalopati, mungkin ada,
bahkan jika tidak ada kebocoran atau renjatan plasma yang parah.Kardiomiopati dan
ensefalitis juga dilaporkan terjadi pada beberapa kasus demam berdarah. Namun, kebanyakan
kematian akibat demam berdarah terjadi pada pasien dengan syok yang mendalam.

3.7 Diagnosis
3.7.1 Kriteria diagnostik klinis Demam Berdarah Dengue (DBD) WHO 19975
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
a. Uji bendung positif
b. Ptekie, ekimosis, atau purpura
c. Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau
perdarahan dari tempat lain.
d. Hematemesis atau melena.

20
3. Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000 / ml).
4. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut:
 Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur
dan jenis kelamin.
 Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
 Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, atau
hiponatremia

3.7.2 Derajat keparahan Demam Berdarah Dengue5


 Derajat I : Demam disertai gejala-gejala konstitusional yang tidak spesifik; satu-
satunya manifestasi perdarahan adalah hasil uji torniquet yang positif
 Derajat II : Sebagai tambahan dari manifestasi pasien derajat I, terdapat
perdarahan spontan, biasanya dalam bentuk perdarahan kulit dan/atau perdarahan
lainnya
 Derajat III : Kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang lemah dan cepat,
menyempitnya tekanan nadi (20 mmHg atau kurang) atau hipertensi, serta gelisah
dan kulit teraba dingin
 Derajat IV: Renjatan/syok berat dengan nadi dan tekanan darah yang tidak
terdeteksi

3.7.3 Pemeriksaan Laboratorium6


Pemeriksaan laboratorium pada infeksi virus dengue yaitu pemeriksaan darah lengkap
dan pemeriksaan serologi. Parameter darah lengkap yang dapat diperiksa antara lain:
trombosit, hematokrit, leukosit, hemoglobin, protein albumin, ALT, AST dan hemostatis.
Trombosit pada infeksi virus dengue mengalami penurunan, sampai terjadi trombositopenia
(jumlah trombosit < 100.000). Hematokrit mengalami peningkatan sebesar ≥ 20% dari
hematokrit awal karena terjadi kebocoran plasma biasanya dimulai pada hari ke-3 demam.
Pada protein albumin bisa terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma. Tes fungsi hati
ALT/AST (serum alanin aminotransferse) dapat meningkat pada infeksi virus dengue.
Pemeriksaan hemostatis, dilakukan pemeriksaan PT, APTT, pada keadaan yang dicurigai
terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.

21
Pemeriksaan serologi dikerjakan dalam mendeteksi infeksi virus dengue. Ada
beberapa metode pemeriksaan laboratorium yang digunakan yaitu: isolasi virus dalam kultur,
deteksi virus RNA melalui reverse transcription-PCR, antibodi spesifik IgM/IgG,
haemagglutination – inhibition test, dan non-struktural protein 1 (NS1).
Gold standar biasanya kombinasi dari metode ini. Isolasi virus harganya sangat
mahal, dan hanya terdapat di laboratorium yang memiliki infrastruktur untuk kultur sel dan
koloni nyamuk, cara pemeriksaannya yaitu serum sampel dikultur di dalam koloni sel
nyamuk kemudian diinkubasi pada suhu 33ºC selama 10-14 hari, virus dapat di deteksi
dengan menggunakan imunofluoresce. Teknik polymerase chain reaction (PCR) digunakan
untuk mendeteksi jumlah molekul RNA dengue, diantara jutaan molekul RNA lainnya.
Pemeriksaan ini sangat mahal dan jarang dikerjakan oleh dokter dan petugas lab.
Ada beberapa pemeriksaan antibodi spesifik IgG/IgM yaitu: In-house IgM capture
(MAC) ELISA, PanBio Duo IgM and IgG Rapid Cassete, PanBio Duo IgM and IgG Capture
ELISA, Accusen Dengue Virus Rapid Strip Test, United Dengue IgG and IgM Combo Rapid
Test. Kelima test ini dilakukan dengan metode yang cepat dengan waktu antara 30 sampai 45
menit.
Pemeriksaan In-house IgM capture dikembangkan oleh Lam et al (1987). Pada
pemeriksaan ini, 100 µl serum sample ditambahkan dengan anti IgM manusia, diletakkan
pada suatu piringan datar dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37 ºC, setelah dicuci 3x
dengan PBS-Tween 20 (0,05%), kemudian ditambahkan antigen virus dengue kemudian
diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37 ºC. Hasilnya bisa dibaca dengan ELISA plate reader,
jika rasio positif/negatif ≥ 2, dinilai positif dan jika rasio positif/negatif ≤ 2, dinilai negatif.
PanBio Duo IgM and IgG Capture ELISA, pemeriksaan ini digunakan untuk
mendeteksi antibodi IgM dan IgG virus dengue pada serum dan darah lengkap manusia.
Antibodi IgM dan IgG diletakkan pada suatu test kaset yang mempunyai dua garis, kemudian
ditambahkan antigen virus dengue, jika antigen dan antibodi IgG atau IgM pasien berikatan,
akan memperlihatkan garis pink pada test kaset, yang mengindikasikan hasil yang positif.
PanBio Duo IgM and IgG Capture ELISA pemeriksaannya dengan memakai 2
piringan yang berisi dengue virus1- 4 (antigen plate) dan yang lain berisi antibodi IgG dan
IgM (assay plate), 100 µl serum pasien ditambahkan pada antigen plate kemudian diinkubasi
selama 1 jam pada suhu kamar, dan assay plate juga diinkubasi selama 1 jam tetapi pada suhu
37ºC, kemudian serum pada antigen plate ditransfer ke assay plate, kemudian ditambahkan
dengan 100 µl tetramethylbenzidine, setelah 10 menit reaksi dihentikan dengan penambahan

22
100 µl phosphoric acid, jika hasilnya positif akan terlihat kompleks antigen-antibodi.
Stripnya dibaca dengan pembaca piringan mikrotiter.
Accusen Dengue Virus Rapid Strip Test merupakan pemeriksaan imunokromatografi
yang cepat, kualitatif, dan mendeteksi antibodi IgG dan IgM pada serum, plasma dan darah
lengkap manusia. Test ini juga dapat mendeteksi keempat serotipe virus dengue dengan
menggunakan gabungan recominant dengue envelope protein. Accusen Dengue Virus Rapid
Strip Test mempunyai 3 garis yaitu garis “G” untuk garis antibodi IgG virus dengue, garis
“M” untuk garis antibodi IgM virus dengue dan garis “C” untuk garis kontrol, yang terdapat
pada permukaan strip. Jika garis “G” dan “M” berwarna ungu berarti ada antibodi IgG dan
IgM yang terhadap virus dengue pada sample, jika tidak ada antibodi IgG dan IgM, maka
pada strip tidak terlihat adanya garis.
United Dengue IgG and IgM Combo Rapid Test merupakan test untuk mendeteksi
antibodi IgG dan IgM pada serum, plasma dan darah lengkap. Antibodi IgG dan IgM pada
spesimen sample akan bereaksi dengan partikel biru protein virus dengue, jika terdapat virus
dengue akan terlihat garis-garis biru pucat sampai gelap pada stripnya.
Test kaset PanBio dan ELISA dapat mendeteksi IgG dan IgM dan dapat mendeteksi
sample dalam jumlah besar. Walaupun test serologi digunakan untuk mendeteksi infeksi virus
dengue, kelima pemeriksaan serologi diatas tidak bisa mendeteksi adanya antibodi pada
phase serum akut (hari 1-3) pada infeksi primer. Metode pemeriksaan untuk mendeteksi
infeksi virus dengue pada tahap awal yaitu melalui kultur sel, PCR, NS1.
Pemeriksaan MAC-ELISA dapat mengukur peningkatan antibodi IgM spesifik virus
dengue setelah phase akut. Deteksi antibodi IgM positif setelah 4-5 hari munculnya demam,
dan menunjukkan infeksi primer virus dengue. Pemeriksaan ELISA untuk IgG dipengaruhi
oleh reaksi silang dari infeksi flavivirus yang lainnya seperti sebelumnya pernah vaksin
yellow fever dan Japanese encephalitis. Antibodi IgG positif terjadi pada infeksi sekunder
virus dengue disertai dengan antibodi IgM yang bisa positif atau negatif.
Haemagglutination – inhibition (HI) test merupakan tes sederhana, sensitif, dan
mempunyai keuntungan penggunaan reagen yang dipersiapkan secara lokal. Kerugiannya
yaitu serum sampel harus diberikan aseton, atau kaolin untuk memindahkan non-spesific
inhibitor of haemagglutination. HI test didasarkan pada kemampuan antibodi dengue virus
untuk menghambat aglutinasi. Penggunaan optimal HI test memerlukan sepasang serum,
dimana serumnya diambil saat akut, yaitu pada waktu pasien datang ke rumah sakit dan saat
konfalesence yaitu 2-3 minggu dari saat sakit. Respon infeksi virus dengue primer dicirikan
dengan perkembangan yang lambat dari haemagglutination-inhibiting antibody. HI test tidak

23
membedakan isotipe imunoglobulin, dan identifikasi respon antibodi primer berada pada
level yang rendah atau tidak terdeteksi pada phase akut sebelum hari ke-5. Respon infeksi
virus dengue sekunder dicirikan dengan perkembangan yang cepat dari haemagglutination-
inhibiting antibody. HI test positif terjadi 4x atau lebih peningkatan titer antara serum akut
dengan serum waktu konfalesence, dengan titer puncak 1 : 1280 pada infeksi sekunder dan
secara umum dibawah rasio ini pada infeksi primer.
Belakangan ini, deteksi antigen virus dengue non struktural protein 1 (NS1) berguna
untuk mendeteksi infeksi virus dengue. Pemeriksaan ini juga dengan menggunakan serum
dan plasma sample. Hasil pemeriksaan NS1 bisa dibaca antara 15-30 menit, hasilnya bisa
positif atau negatif. Pemeriksaan NS1 dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan IgM/IgG.
Dari pemeriksaan serologi, pasien yang menunjukkan antibodi IgM yang positif
menunjukkan bahwa pasien terkena infeksi virus dengue untuk yang pertama kali atau infeksi
primer. Sedangkan pasien yang menunjukkan antibodi IgG positif menunjukkan bahwa
pasien terkena infeksi sekunder yaitu infeksi untuk yang kedua kalinya oleh virus yang sama
dari serotipe yang berbeda. Pada infeksi sekunder antibodi IgM bisa positif, tetapi tidak
selalu. Pasien yang menunjukkan antibodi IgM dan IgG yang keduanya negatif menunjukkan
bahwa pasien tidak terkena infeksi virus dengue, tetapi disebabkan oleh infeksi yang lain,
meskipun trombosit turun atau mengalami hemokonsentrasi.

3.8 Diagnosis Banding1


Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan
demam tifoid, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis
3.8.1 Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan penyakit sestemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi.S.paratyphi dapat mengakibatkan gejala peyakit
yang lebih ringan daripada S.typhi, dengan predominan dgejala gastrointestinal.Sifat demam
adalah meningkat perlahan – lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam
minggu kedua gejala – gejala menjadi jelas berupa demam, bradikardia relative, lidah yang
berselaput, hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis. Pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering diteui
leucopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal, atau leukositosis walaupun tanpa
disertai infeksi sekunder. Pemeriksaan lain yang rutin adalah uji Widal dan Kultur
mikroorganisme. Dapat menimbulkan komplikasi intestinal ataupun ekstraintestinal.
3.8.2 Malaria

24
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit genus Plasmodium
(P.falsiparum, P.Vivax, P Ovale, P.Malariae, P. Knowlesi) yang hidup dan berkembang biak
dalam sel darah merah manusia (eritrositik) atau jaringan (stadium ekstra eritrositik).
Penyakit ini alami ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Pendekatan
diagnsosis melalui : gejala klinis yaitu demam, menggigil, berkeringat, sakit kepala, mual,
muntahm diarem nyeri otot, penurunan kesadaran, lalu pemeriksaan parasitologi : Sediaan
Apusan Darah Tepi (SADT) tebal dan tipis dijumpai parasit malaria. Tanda dan gejala
malaria tidak spesifik. Secaraklinis memiliki spesifisitas yag sangat rendah dan dapat
berakibat pada tatalaksana yag berlebihan.
3.8.3 Chikungunya
Demam chikungunya merupakan suatu infeksi akut yang disebabkan oleh alfavirus
dan ditularkan melalui gigitan nyamuk A.aegypti dan A.albopictus.Penyakit ini dapat bersifat
akut, subakut, maupun kronis.Fase akut berlangsung 3 – 10 hari, ditandai dengan demam
tinggi mendadak (39-40oC) dan nyeri sendi berat.Pada pasien chikungunya, pemeriksaan
laboratorium melalui pemeriksaan isolasi virus chikungunya (CHIKV).Isolasi CHIKV dapat
diambil dari nyamuk yang didapat dari lapangan atau specimen serum akut yang diambil dari
darah pasien pada minggu pertama demam. Selain itu, untuk mengkonfirmasi recent infection
dapat dengan deteksi RNA CHIKV dengan RT-PCR real time, identifikasi hasil IgM positif
pada pasien gejala akut, diikuti dengan antibodi spesifik CHIKV yang ditentukan oleh PRNT
dengan virus lain yang ada didalam serogroup Semliki Forest Virus (SFV), serta adanya
serokonversi atau kenaikan titer 4x lipat pada PRNT, HI, atau ELISA (sekali lagi, dengan
menggunakan virus lain yang ada didalam serogroup SFV) antara specimen fase akut dan
convalescent.

3.9 Penatalaksanaan1
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi
Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada
pasien dewasa berdasarkan kriteria:
 Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas
indikasi.
 Praktis dalam pelaksanaannya.
 Mempertimbangkan cost effectiveness.

25
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori:
Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa Tanpa Syok

Gambar 3.2 Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa Tanpa Syok5

Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada
penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai
petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb),
hematokrit (Ht), dan trombosit bila:
 Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24
jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, leukosit dan trombosit tiap 24 jam)
atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.
 Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.
 Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.

26
Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat

Gambar 3.3 Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat 5

Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok maka di
ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini:
Volume cairan kristaloid (dalam ml) per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut:

1500 + {20 x (BB dalam kg – 20)}

Setelah pemberian cairan, dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:


 Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000, jumlah pemberian cairan
tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht, trombosit dilakukan tiap 12 jam.
 Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.

27
Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht > 20%

Gambar 3.4 Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht > 20%5

Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan


sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan
infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam
pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun,
frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus
dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan
bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3
ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat
dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap
tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun

28
< 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi
10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam, tetapi bila
keadaan tidak menunjukkan perbaikan, maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15
ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan
tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindrom syok
dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti
terapi pemberian cairan awal.

Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa

Gambar 3.5 Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa5

Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah:


 Perdarahan hidung/ epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon
hidung
 Perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia)
 Perdarahan saluran kencing (hematuria)
 Perdarahan otak
 Perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam.

Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan
DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernapasan dan jumlah urin
dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosit serta hemostasis

29
harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6
jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-
tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT
yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Tranfusi trombosit hanya
diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit
<100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.

30
Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa

Gambar 3.6 Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa5

Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang
harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian
cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok
dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan
dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan/pengobatan,
penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda
renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain
resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan

31
yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis
gas darah, kadar natrium, kalium, klorida, serta ureum dan kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100
mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali permenit
dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1
ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120
menit kemudian tetap stabil, pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam
setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil dan diuresis cukup,
maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma yang
mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus
diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi.
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama
dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit
masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam
pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah
renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran,
tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan
daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2
ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah trombosit dapat
dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, kemudian dievaluasi
setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit. Bila
nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung, maka pemberian
cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi
perdarahan (internal bleeding), maka penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB
dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan, maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat
cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20
ml/kgBB dan dievalusi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka untuk
memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pemberian
koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 1-1,5 m/hari)
dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH 2O. Bila keadaan tetap belum teratasi, harus

32
diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia,
anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan
target tetapi renjatan tetap belum teratasi, maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor.

3.10 Komplikasi5
Komplikasi demam berdarah dengue dapat berupa renjatan (syok), ensefalopati
dengue, perdarahan saluran cerna, dan KID (koagulasi intravaskular diseminata).

33
BAB IV
ANALISIS KASUS

Tn. D, Laki-Laki, berusia 18 tahun, masuk ke RS pada tanggal 28 Mei 2022 dengan
keluhan utama demam sejak 3 hari SMRS. Pasien didiagnosis dengan demam dengue
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis
didapatkan pasien demam sejak 3 hari SMRS. Demam dirasakan naik turun. Hal ini sesuai
dengan salah kriteria diagnosis Demam Berdarah Dengue (DBD) WHO 1997 yaitu demam
atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik. Dari anamnesis juga diketahui
bahwa pasien mengeluhkan mual tanpa muntah dan nyeri kepala. Keluhan tidak disertai
dengan menggigil, berkeringat, batuk pilek, diare, dan tanda-tanda perdarahan. Selain itu,
diketahui bahwa ada tetangga pasien yang menderita demam berdarah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu tubuh pasien saat masuk 38,6oC, namun tidak
ditemukan adanya kelainan pada pemeriksaan head-to-toe selain nyeri tekan epigastrium.
Dari pemeriksaan darah rutin didapatkan trombositopenia. Hal ini sesuai dengan salah
kriteria diagnosis Demam Berdarah Dengue (DBD) yaitu adanya trombositopenia (jumlah
trombosit <100.000/ml).
Namun, pada pasien tidak ditemukan tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)
berupa peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin atau penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya. Serta tidak ditemukan adanya tanda kebocoran plasma
seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, atau hiponatremia. Hal ini menandakan bahwa
pasien bukan lah mengalami demam berdarah dengue, melainkan hanya demam dengue
dikarenakan tidak ditemukannya tanda kebocoran plasma.
Pemeriksaan yang dianjurkan yaitu pemeriksaan serologi IgG-IgM antidengue dimana
pasien datang ke RS melewati fase akut. Pada pasien ini dilakukan tatalaksana farmakologi
dan nonfarmakologi. Untuk nonfarmakologi, pasien diminta untuk istirahat, makan makanan
lunak, meningkatkan asupan cairan oral, kemudian akan dicek Hb, Ht, Trombosit tiap 24
jam dan dipantau tanda-tanda syok, terutama pada transisi fase febris (hari 4-6). Untuk
farmakologi, pasien diberikan IVFD RL 500cc/6 jam. Cairan yang diberikan yaitu cairan
kristaloid, dimana dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma maka dasar
pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang hilang. Namun kasus ini pasien
tidak mengalami kebocaran plasma sehingga hanya diberikan terapi cairan maintance 2-3

34
mg/kgbb/jam. Kemudian pasien juga diberi obat simtomatis seperti parasetamol tablet
3x500mg, inj. Omeprazole 2x40mg dan inj. Ondancentron 3x4mg.
Prognosis untuk pasien ini, quo ad vitam, functionam, maupun sanationamnya adalah
bonam.

35
BAB V
KESIMPULAN

Demam dengue (DF) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau
nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis
hemoragik. Vektornya adalah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Respon imun
yang berperan dalam patogenesis DBD antara lain respon humoral, Limfosit T-helper (CD4)
dan T-sitotoksik (CD8), monosit dan makrofag, serta Aktivasi komplemen oleh kompleks
imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.
Infeksi Dengue memiliki spektrum klinis yang luas yang mencakup manifestasi klinis
yang parah dan tidak parah. Setelah masa inkubasi, penyakit dimulai secara tiba-tiba dan
diikuti oleh tiga fase, yaitu demam, kritis dan pemulihan. Berdasarkan derajat keparahannya,
DBD diklasifikasikan menjadi 5 derajat. DBD juga ditatalaksana menggunakan 5 protokol.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro,dkk. Demam Berdarah Dengue Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi ke-enam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta
2014 : 539-549
2. Sukowati S. Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Pengendaliannya
di Indonesia.. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi:26-30
3. Kemenkes RI. Epidemiologi info datin DBD. 2016. Diunduh dari
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin
dbd 2016.pdf (diakses tanggal 25 Juni 2022)
4. World Health Organization. Dengue – Guidelines For Diagnosis, Treatment,
Prevention, and Control. New Edition 2009.
5. Alwi I, dkk. Panduan Praktik Klinis. InternaPublishing, Jakarta. 2017.
6. Dewi NLSP dan Warawati IAP. Peranan Pemeriksaan Serologi pada Infeksi Virus
Dengue. Diunduh dari http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=82579&val=970 (diakses tanggal 28 Juni 2022)

37

Anda mungkin juga menyukai