Disusun oleh:
Pembimbing :
dr. Abraham Avicenna, Sp.JP FIHA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
2019
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
Disusun oleh:
Yusril Isra Fhrasetya G4A018048
Akhmad Faizal Aziz G4A018059
Nadia Aliya G4A018062
Puji Margiharsari G4A017038
Fianita Nurlarasati 1910221001
Pandu Dian Wicaksono 1910221027
Telah disetujui
Pada tanggal: November 2019
Mengetahui,
Dokter Pembimbing
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. BP
Umur : 49 tahun
Jenis Kelamin : Laki – Laki
Alamat : Kalierang RT 04/ R2 05, Bumiayu Kab. Brebes
Pekerjaan :
Agama : Islam
No. RM : 02023158
Tgl Masuk RS : 20 Oktober 2019
Tgl Periksa : 24 Oktober 2019
Bangsal : ICCU – Asoka
B. ANAMNESIS (Autoanamnesis)
1. Keluhan utama : Sesak napas
2. Keluhan tambahan : Nyeri dada, keringat dingin, dada berdebar-debar
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSMS tanggal 20 Oktober 2019 pukul 16.13
wib rujukan RSU-AM dengan keluhan sesak napas. Sesak dirasakan sejak
1 hari sebelum masuk rumah sakit, terasa berat hingga sulit untuk berbicara
dan dirasa berkurang saat diberikan oksigen di IGD. Pasien mengatakan
sebelumnya dada terasa nyeri, berdebar-debar dan keluar keringat dingin.
Nyeri dada dirasakan 1 hari sebelum masuk RSMS (sekitar pukul 17.00
wib) kemudian keesokan harinya (pasien masuk IGD RSMS) dada terasa
sangat sesak hingga pasien sulit untuk berbicara dan akhirnya dibawa ke
rumah sakit. Keluhan sesak napas tidak disertai bunyi napas ngik-ngik
ataupun batuk berdahak. Pasien mengatakan pernah mengalami serangan
jantung 2 tahun yang lalu (tahun 2017) dan rutin kontrol di poli jantung
RSMS. Pasien mengaku selama ini mudah lelah dan ngos-ngosan jika
beraktivitas ringan seperti berjalan kaki. Pasien menyangkal riwayat kaki
bengkak.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : diakui (rutin kontrol poli jantung RSMS
dengan dokter Rendy, sp.JP)
Riwayat operasi : diakui (patah tulang belakang tahun 2017,
dioperasi oleh dokter Targib, sp.BS)
Riwayat penyakit jantung : diakui, serangan jantung (sebelum operasi
tulang belakang tahun 2017)
Riwayat stroke : diakui (tahun 2008)
Riwayat DM : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat alergi ` : disangkal
Riwayat sakit kuning : disangkal
Riwayat penyakit paru : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan yang sama : tidak tau
Riwayat hipertensi : diakui
Riwayat penyakit jantung : diakui, penyakit jantung koroner (ayah dan
kakak)
Riwayat diabetes mellitus : tidak tahu
Riwayat stroke ` : disangkal
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang pedagang toko kelontong. Pasien tinggal
dirumah bersama istri dan dua orang anaknya. Biaya pengobatan
ditanggung BPJS (non PBI). Kesan ekonomi cukup. Pasien mengaku
sering makan gorengan dan minuman bersoda. Pasien memiliki riwayat
merokok sejak tahun SMA dengan perhari menghabiskan 1 bungkus rokok
per hari, tetapi pasien mengatakan sudah berhenti merokok sejak terkena
stroke sampai dengan sekarang. Pasien juga mengaku jarang berolahraga
C. PEMERIKSAAN FISIK (BANGSAL ASOKA 24 Oktober 2019)
Keadaan Umum : Tampak sesak
Kesadaran : Compos Mentis
BB : 50 kg
TB : 160 cm
Vital Sign : TD : 130/80 mmhg
N : 87 x/menit
RR : 20 x/menit
S : 37 OC
Status Generalis
1. Pemeriksaan kepala
a. Bentuk kepala : Simetris, mesocephal
b. Rambut : Distribusi merata, warna hitam
c. Venektasi temporal : tidak ada
2. Pemeriksaan mata
a. Konjungtiva : Anemis (+/+)
b. Sklera : Ikterik (-/-)
c. Pupil : Isokor (3mm/3mm).
d. Palpebra : Oedem (-/-)
e. Reflek cahaya langsung/ tidak langsung : (+/+) / (+/+)
3. Pemeriksaan Hidung
a. Discharge : (-)
b. Nafas Cuping Hidung : (-)
4. Pemeriksaan mulut
a. Bibir sianosis : (-)
b. Lidah sianosis : (-)
c. Lidah kotor : (-)
d. Fetor hepaticum : (-)
5. Pemeriksaan leher
Simetris, deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
6. PemeriksaanThorax
Pulmo
Inspeksi
Spider angioma (-), venektasi (-), ginekomasti (-), simetris kanan kiri,
retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
Palpasi
Vokal fremitus lobus superior kanan sama dengan kiri.
Vokal fremitus lobus inferior kanan sama dengan kiri.
Perkusi
Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi
Suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-), RBH (+/+), RBK(-/-)
Jantung
Inspeksi
Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
Ictus cordis teraba di SIC VI 2 jari lateral LMCS, tidak kuat angkat
Perkusi
Batas jantung kanan atas SIC II LPSD
Batas jantung kanan bawah SIC IV 1 jari lateral LPSD
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas jantung kiri bawah SIC VI 2 jari lateral LMCS
Auskultasi
S1>S2, murmur (-), gallop (-)
7. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
Datar, jaringan parut (-),distensi (+), simetris, venectasi (-), caput medusa
(-).
Auskultasi
Bising usus (+) normal, bruit hepar (-).
Perkusi
Timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-)
Palpasi
Supel, Nyeri tekan (-) hipokondria dextra, Undulasi (-)
Hepar : tidak teraba
Limpa : tidak teraba
8. Pemeriksaan Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-)
Inferior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil laboratorium RSU-AM 20 Oktober 2019
Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 11,5 g/dl 13 – 16
Leukosit 8.100 /ul 5.000 – 10.000
Eritrosit 4,21 Jt 4,5 – 5,5
Trombosit 288.000 /ul 200.000 – 500.000
Hematokrit 35,6 % 40 – 48
Basofil 0 % 0–1
Eosinofil 1 % 1–3
Batang 2 % 2–6
Segmen 70 % 50 – 70
Limfosit 23 % 20-40
Monosit 4 % 2–8
2. Hasil laboratorium RSMS 20 Oktober 2019
Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 10,4 (L) g/dl 11,7 – 15,5
Leukosit 7.940 /ul 3.600 – 11000
Hematokrit 31 (L) % 35 – 47
Eritrosit 3,8 106/ul 4.40 – 5.00
Trombosit 245.000 /ul 150.000 – 440.000
MCV 81,8 fL (L) 80 – 100
MCH 27,4 Pg/cell 26 – 34
MCHC 33,4 % 32 – 36
RDW 16,0 (H) % 11,5 – 14,5
MPV 10,4 Fl 9,4 – 12,4
Basofil 0,5 % 0–1
Eosinofil 0,4 (L) % 2–4
Batang 0,4 (L) % 3–5
Segmen 76,7 (H) % 50 – 70
Limfosit 27,0 (L) % 25 – 40
Monosit 5,0 % 2–8
Natrium 138 mEq/L 134 – 146
Kalium 3,9 mEq/L 3.4 – 4.5
Clorida 109 (H) mEq/L 96 - 108
Ureum 48,64 (H) mg/dL 14.98 – 38.52
Kreatinin 0,84 mg/dL 0.7 – 1.3
Gula Darah Sewaktu 91 mg/dL ≤ 200
SGOT 168 (H) U/L 15-37
SGPT 130 (H) U/L 16-63
CK 118 U/L 39-308
CKMB 61 (H) U/L 7-25
Troponin 0,07 (H) nq/mL 0,00-0,02
3. Hasil laboratorium RSMS 21 Oktober 2019
Hasil Satuan Nilai Normal
Kolesterol Total 125 (L) mq/dL Desirable : < 200
Borderline high : 200-239
High : ≥ 240
Hasil :
Corakan vaskuler pulmo meningkat kasar
Tampak opasitas inhomogen dikedua lapang pulmo
Tampak opasitas homogen di hemithorax dextra
Sinus costofrenikus dextra tumpul, sinistra lancip
Cor : CTR 0,61
Sistema tulang intak tak tampak lesi litik maupun sklerotik
Kesan :
Bronkopneumonia
Efusi pleura dextra minimal
Cardiomegali (LVH)
Sistema tulang yang tervisualisasi baik
E. DIAGNOSIS
Edema Pulmo Akut
Old Myocardial Infarct (OMI) Anterior
Community Acquired Pneumonia (CAP)
F. PENATALAKSANAAN (IGD)
- O2 2 lpm nasal kanul
- IVFD RL 10 tpm
- Inj Arixtra 1x2,5 mg SC
- Inj Furosemid 2x1 amp IV
- Miniaspi 1x1 tab
- Brilinta 2x1 tab
- Isosorbid dinitrat 3X5 mg SL
- Atorvastatin 1x20 mg
- Ramipril 1x2,5 mg
- Valsartan 1x160 mg
- Kompolac 0-0-1 cth (15 CC)
- Alprazolam 1x0,5 mg (malam)
- Rawat ICCU
FOLLOW UP PERKEMBANGAN PASIEN
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Infark Miokard didefinisikan sebagai kematian irreversible (nekrosis)
pada sel otot jantung yang disebabkan karena berkurangnya supply oksigen
(iskemia), umumnya disebabkan karena adanya atherosclerosis yang
menyebabkan obstruksi baik itu parsial maupun total pada pembuluh darah
koroner jantung (Zafari, 2019).
Atherosclerosis merupakan kelainan yang terjadi di pembuluh darah
dan disebabkan karena terjadinya pembentukan plak atheroma pada
permukaan dalam dinding pembuluh darah, sehingga menyebabkan
penyempitan bahkan dapat menyumbat aliran darah (Zafari, 2019).
2. Etiologi & Epidemiologi
Old Myocardial Infarction disebabkan karena atherosclerosis yang
mengakibatkan adanya sumbatan total ataupun parsial aliran darah pada
arteri coroner. Faktor risiko yang menjadi pemicu terjadinya Old Myocardial
Infarction adalah :
a. Modifable
1) Gaya Hidup (kebiasaan merokok, pola makan, frekuensi aktivitas
sehari-hari)
2) Tekanan darah tinggi
b. Non-Modifable
1) Usia
Semakin tua usia seseorang, maka semakin besar peluang untuk
terkena serangan penyakit jantung coroner. Menurut data survey
yang dilakukan di UK pada tahun 2013, diketahui bahwa laki-laki
dengan usia diatas 50 tahun dan wanita yang telah mengalami
menopause memiliki faktor risiko tinggi.
2) Jenis Kelamin
Menurut data survey dari UK tahun 2013, kasus infark miokard
pada laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan pada wanita.
3) Ras
Menurut studi, diketahui bahwa insidensi infark miokardial lebih
besar terjadi pada laki-laki ras kulit hitam dengan kelompok usia
75-84 tahun, dibandingkan ras kulit putih.
4) Genetik
Faktor genetic menjadi faktor risiko mendasar yang ada pada
seseorang, namun hal ini dapat dihindari dengan mengendalikan
faktor risiko modifiable.
3. Patofisiologi
Sumber:http://calgaryguide.ucalgary.ca/wpcontent/uploads/image.php?img=2015/04/Complication
s-of-Myocardial-Infarction.jpg
Berdasarkan proses patofisiologi dan derajat keparahan myokard iskemik
dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Stable Angina
Stable angina kronik adalah manifestasi yang dapat diramalkan, nyeri
dada sementara yang terjadi selama kerja berat atau stres emosi.
Umumnya disebabkan oleh plak atheromatosa yang terfiksir dan
obstruktif pada satu atau lebih arteri koroner. Pola nyerinya
berhubungan dengan derajat stenosis. Seperti yang digambarkan saat
atherosclerosos stenosis menyempitkan lumenarteri koroner lebih dari
70% menurunkan kapasitas aliran untuk memenuhi kebutuhan oksigen.
Saat aktivitas fisik berat, aktivitas sistim saraf meningkatkan denyut
jantung, tekanan darah dan kontraktilitas yang meningkatkan
kebutuhan konsumsi oksigen. Selama kebutuhan oksigen tak terpenuhi,
terjadi iskemik miokard diikuti angina pectoris yang mereda bila
keseimbangan oksigen terpenuhi. Sebenarnya oksigen yang inadekuat
selain disebabkan oleh atheroscleosis juga disebabkan oleh kerusakan
endotel namun pada kasus ini vasodilatasi distal dan aliran kolateral
masih berlangsung baik sehingga kebutuhan oksigen masih bisa
diseimbangkan dengan cara beristirahat.
b. Unstable Angina
Pasien dengan unstable angina akan mengalami nyeri dada saat
aktivitas berat namun kemudian masih tetap berlangsung saat istirahat.
Ini adalah tanda akan terjadi infark miokard akut. Unstable angina dan
MI akut merupakan sindrom koroner akut karena ruptur dari
atherosclerotic plak pada pembuluh darah koroner.
c. Infark Miokard
Sumber: https://www.acls.net/images/algo-acs.pdf
a. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
1) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan
medis
2) Segera mengambil tim medis emergensi yang dapat melakukan
tindakan resusitasi
3) Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas
ICU/ICCU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih
4) Melakukan terapi reperfusi
b. Tatalaksana Umum
1) Oksigen
Oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
<90%. Pada semua pasien tanpa komplikasi dapat diberikan
oksigen selama 6 jam pertama.
2) Nitrogliserin
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis
0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit.
Selain mengurangi nyeri dada nitrogliserin juga dapat menurunkan
kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi
pembuluh darah koroner yang terkena infark atau pembuluh
kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan
nitrogliserin intravena. Nitrogliserin intravena juga diberikan
untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru. Terapi nitrat
harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90
mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel
kanan. Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan
phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya
karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.
3) Morfin
Morfin sangat efektif untuk mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada. Morfin diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai
pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar
melalui penurunan simpatis sehingga terjadi pooling vena yang
akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek
hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada
kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan iv dengan NaCl
0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang
menyebabkan bradikardi atau blok jantung derajat tinggi, terutama
pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi
dengan pemberian atropin 0,5 mg IV.
4) Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi
cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis
160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral
dengan dosis 75-162 mg.
5) Beta Blocker
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian Beta
Blocker, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa
diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3
dosis, dengan syarat frekuensi jantung <60 menit, tekanan darah
sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronki tidak lebih
dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg
tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
6) Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan
mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi
pump failure atau takiaritmia ventrikuler yang maligna. Sasaran
terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle time
untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau
door-to-balloon time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
7) ACE Inhibitor
ACE Inhibitor menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat
terhadap mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan
penyekat beta. Mekanisme yang melibatkan penurunan
remodelling ventrikel pasca infark dengan penurunan remodelling
ventrikel pasca infark dengan penurunan risiko gagal jantung.
Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang
mendapat inhibitor menahun pasca infark. Inhibitor ACE harus
diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEMI
1. Definisi
Edema paru dapat didefinisikan secara luas sebagai akumulasi cairan
yang berlebihan di dalam sel, ruang antar sel, dan rongga alveoli pada paru.
Penyebabnya beragam, tetapi memiliki hasil akhir yang sama, yaitu jumlah
air yang berlebihan di dalam paru (Larsen et al., 2003)
Edema paru dapat diklasifikasikan sebagai edema paru kardiogenik
dan edema paru non-kardiogenik. Edema paru kardiogenik disebabkan oleh
peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru yang dapat terjadi akibat
perfusi berlebihan baik dari infus darah maupun produk darah dan cairan
lainnya, sedangkan edema paru non-kardiogenik disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas kapiler paru antara lain pada pasca transplantasi
paru dan reekspansi edema paru, termasuk cedera iskemia-reperfusi-
dimediasi (Mattu, 2005).
Walaupun penyebab edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik
berbeda, namun keduanya memiliki penampilan klinis yang serupa
sehingga menyulitkan dalam menegakkan diagnosisnya.6 Terapi yang tepat
dibutuhkan untuk menyelamatkan pasien dari kerusakan lanjut akibat
gangguan keseimbangan cairan di paru (Mattu, 2005).
2. Etiologi Klinis
Edema paru biasanya diakibatkan oleh peningkatan tekanan pembuluh
kapiler paru dan permeabilitas kapiler alveolar. Edema paru akibat
peningkatan permeabilitas kapiler paru sering disebut acute respiratory
distress syndrome (ARDS) (Huldani, 2014).
Pada keadaan normal terdapat keseimbangan tekanan onkotik
(osmotik) dan hidrostatik antara kapiler paru dan alveoli. Tekanan
hidrostatik yang meningkat pada gagal jantung menyebabkan edema paru,
sedangkan pada gagal ginjal terjadi retensi cairan yang menyebabkan
volume overload dan diikuti edema paru. Hipoalbuminemia pada sindrom
nefrotik atau malnutrisi menyebabkan tekanan onkotik menurun sehingga
terjadi edema paru. Pada tahap awal edema paru terdapat peningkatan
kandungan cairan di jaringan interstisial antara kapiler dan alveoli. Pada
edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru perlu dipikirkan
bahwa kaskade inflamasi timbul beberapa jam kemudian yang berasal dari
suatu fokus kerusakan jaringan tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan
beragregasi dan melekat pada sel endotel yang kemudian menyebabkan
pelepasan berbagai toksin, radikal bebas, dan mediator inflamasi seperti
asam arakidonat, kinin, dan histamin. Proses kompleks ini dapat diinisiasi
oleh berbagai macam keadaan atau penyakit dengan hasil akhir kerusakan
endotel yang berakibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Alveoli
menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan banyak
mengandung neutrofil dan sel-sel inflamasi sehingga terbentuk membran
hialin (Huldani, 2014). Karakteristik edema paru akibat peningkatan
permeabilitas kapiler paru ialah tidak adanya peningkatan tekanan pulmonal
(hipertensi pulmonal). Penyebab edema paru kardiogenik ialah (Nieminen
et al., 2005):
a. Gagal jantung kiri, yang dapat diakibatkan oleh: infark miokard,
penyakit katup aorta dan mitral, kardiomiopati, aritmia, hipertensi
krisis, kelainan jantung bawaan (paten duktus arteriosus, ventrikel
septal defek)
b. Volume overload
c. Obstruksi mekanik aliran kiri
d. Insufisiensi limfatik, yang terjadi sebagai akibat lanjut transplantasi
paru, karsinomatosis limfangi-ektasis, atau limfangitis fibrosis
3. Patofisiologi
Dalam keadaan normal di dalam paru terjadi aliran yang kontinyu dari
cairan dan protein intravaskular ke jaringan interstisial dan kembali ke
sistem aliran darah melalui saluran limfatik (Nendrastuti, 2010).
Edema paru terjadi bila cairan yang difiltrasi oleh dinding
mikrovaskuler lebih banyak daripada yang bisa dikeluarkan yang berakibat
alveoli penuh terisi cairan sehingga tidak memungkinkan terjadinya
pertukaran gas. Faktor-faktor penentu yang berperan disini yaitu perbedaan
tekanan hidrostatik dan onkotik dalam lumen kapiler dan interstisial, serta
permeabilitas sel endotel terhadap air, larutan, dan molekul besar seperti
protein plasma. Adanya ketidakseimbangan dari satu atau lebih dari faktor-
faktor diatas akan menimbulkan terjadinya edema paru (Murray, 2011).
Pada edema paru kardiogenik (volume overload edema) terjadinya
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru menyebabkan
peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Bila tekanan interstisial paru lebih
besar daripada tekanan intrapleural maka cairan bergerak menuju pleura
viseral yang menyebabkan efusi pleura. Bila permeabilitas kapiler endotel
tetap normal, maka cairan edema yang meninggalkan sirkulasi memiliki
kandungan protein rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik ka-piler paru
biasanya disebabkan oleh meningkatnya tekanan di vena pulmonalis yang
terjadi akibat meningkatnya tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan
tekanan atrium kiri (>25 mmHg). Dalam keadaan normal tekanan kapiler
paru berkisar 8-12 mmHg dan tekanan osmotik koloid plasma 28 mmHg
(Murray, 2011).
Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus
memburuk oleh proses-proses sebagai berikut (Murray, 2011) :
a. Meningkatnya kongesti paru menye-babkan desaturasi dan
menurunnya pasokan oksigen miokard memperburuk fungsi jantung.
b. Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan
vasokonstriksi pul-monal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel
kanan yang melalui mekanisme interdependensi ventrikel akan semakin
menurunkan fungsi ventrikel kiri.
c. Insufisiensi sirkulasi menyebabkan asidosis sehingga memperburuk
fungsi jantung.
Keluarnya cairan edema dari alveoli paru tergantung pada transpor
aktif ion Na+ dan Cl- melintasi barier epitel yang terdapat pada membran
apikal sel epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran napas distal. Ion
Na+ secara aktif ditranspor keluar ke ruang insterstisial oleh kerja Na/K-
ATPase yang terletak pada membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif
mengikuti, kemungkinan melalui aquaporins yang merupakan saluran air
pada sel tipe I (Soemantri, 2011)
Edema paru kardiogenik dapat terjadi akibat dekompensasi akut pada
gagal jantung kronik maupun akibat gagal jantung akut pada infark miokard
dimana terjadinya bendungan dan peningkatan tekanan di jantung dan paru
akibat melemahnya pompa jantung (Soemantri, 2011). Kenaikan tekanan
hidrostatik kapiler paru menyebabkan transudasi cairan ke dalam ruang
interstisial paru, dimana tekanan hidrostatik kapiler paru lebih tinggi dari
tekanan osmotik koloid plasma. Pada tingkat kritis, ketika ruang interstitial
dan perivaskular sudah terisi, maka peningkatan tekanan hidrostatik
menyebabkan penetrasi cairan ke dalam ruang alveoli (Soemantri, 2011)
4. Diagnosis
Gambaran klinis edema paru yaitu dari anamnesis ditemukan adanya
sesak napas yang bersifat tiba-tiba yang dihubungkan dengan riwayat nyeri
dada dan riwayat sakit jantung. Perkembangan edema paru bisa berangsur-
angsur atau tiba-tiba seperti pada kasus edema paru akut. Selain itu, sputum
dalam jumlah banyak, berbusa dan berwarna merah jambu. Gejala-gejala
umum lain yang mungkin ditemukan ialah: mudah lelah, lebih cepat merasa
sesak napas dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas cepat
(takipnea), pening, atau kelemahan. Tingkat oksigenasi darah yang rendah
(hipoksia) mungkin terdeteksi pada pasien dengan edema paru. Pada
auskultasi dapat didengar suara-suara paru yang abnormal, seperti ronki
atau crakle (Mattu, 2005).
Manifestasi klinis edema paru baik kardiogenik maupun non-
kardiogenik bisa serupa, oleh sebab itu sangat penting untuk menetapkan
gejala yang dominan dari kedua jenis tersebut sebagai pedoman
pengobatan.1 Tabel 1 memperlihatkan perbedaan edema paru kardiogenik
dan non-kardiogenik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang (Mattu, 2005).
Secara klinis dapat timbul gejala sesak napas, retraksi interkostal pada
saat inspirasi, dan perubahan berat badan. Suara merintih dapat dijumpai,
yang terjadi akibat usaha untuk mencegah kolaps paru. Temuan-temuan
spesifik edema paru pada pemeriksaan fisik bervariasi menurut beratnya
distres pernapasan dan penyebab dasar dari edema. Secara umum, beberapa
derajat distres pernapasan bermanifestasi dalam bentuk peningkatan laju
pernapasan, retraksi interkostal, dan penggunaan otot-otot bantu
pernapasan. Sianosis dapat terlihat, dan mungkin terdengar hantaran pada
auskultasi, khususnya pada lapangan paru yang terkena. Peningkatan suara
S3 dan “aliran” bising mungkin terdengar bersamaan dengan distensi vena
jugularis dan hepatomegali. Sputum yang sangat berbuih dan berwarna
merah muda terlihat hampir pada semua edema paru berat (Wake, 2006).
Krepitasi tidak selalu ditemukan, kecuali bila sudah terjadi
perpindahan cairan dari alveoli ke bronkiolus terminal. Bila penumpukan
cairan sudah sampai ke saluran respiratorik besar, maka ronki dan mengi
dapat didengar. Apakah ronki dan mengi terjadi akibat edema dinding
bronkus dan spasme bronkus, belum dapat dibuktikan (Wake, 2006).
Gejala-gejala iskemi miokardial yang berhubungan dengan tanda-
tanda kegagalan ventrikel kiri mengarah kepada diagnosis edema paru
hidrostatik, sedangkan riwayat aspirasi cairan lambung dan respons
kardiovaskular hiperdinamik mengarah kepada diagnosis edema paru
permeabilitas (Wake, 2006).
5. Terapi
Terapi awal yang paling penting adalah pemberian oksigen, jika perlu
dengan ventilasi mekanik. Pemberian ventilasi mekanik bertujuan tidak
hanya untuk mengurangi kerja pernapasan saja, tetapi juga meningkatkan
oksigenasi dengan mencegah kolaps alveoli memakai positive end-
expiratory pressure (PEEP). Peningkatan oksigenasi menyebabkan cairan
keluar ke intersitisial sehingga tidak mengganggu pertukaran gas (Uejima,
2001).
Jika edema paru disebabkan oleh gagal jantung dengan peningkatan
tekanan mikrovaskular pulmonal, maka dapat dilakukan terapi untuk
perbaikan fungsi jantung. Perbaikan fungsi jantung dapat dicapai dengan
berbagai cara, oksigen dan digitalis diberikan untuk meningkatkan volume
semenit, pemberian morfin dapat membantu mengurangi preload dan
afterload karena mengurangi ansietas. Penurunan afterload ventrikel kiri
akan memungkinkan peningkatan fraksi ejeksi tanpa meningkatkan kerja
miokardial. Aminofilin dapat diberikan, karena selain mengurangi
afterload, efek lainnya dapat memperbaiki kontraktilitas dan menyebabkan
bronkodilatasi. Perbaikan kontraktilitas miokardium dadrenergik dengan
obat-obat inotropik seperti dopamin, dobutamin, atau isoproterenol dengan
meningkatkan curah jantung dan menurunkan tekanan pengisian ventrikel.
Preload juga dapat dikurangi dengan posisi duduk, juga dengan pemberian
ventilasi tekanan positif. Sebagai tambahan, perlu juga diberikan terapi
suportif, seperti merencanakan pemberian cairan dengan cermat, dengan
memberikan sejumlah cairan pengganti dehidrasi, sambil melakukan
koreksi asam basa, dan kemudian memberikan cairan pemeliharaan
(Uejima, 2001).
Diuretik diberikan dengan tujuan mengurangi volume plasma dan
pengisian atrium kiri, juga untuk meningkatkan tekanan koloid osmotik.
Mekanisme kerja diuretik dalam mengatasi edema paru adalah dengan
meningkatkan kapasitas vena, dan meningkatkan eksresi garam dan air
sehingga mengurangi pengeluaran cairan dari mikrovaskular paru (Uejima,
2001).
Pada edema berat, furosemid dapat diberikan secara intravena dengan
dosis 1−2 mg/kgBB. Dosis ini biasanya menghasilkan diuresis nyata yang
menurunkan tekanan mikrovaskular paru dan meningkatkan konsentrasi
protein di dalam plasma. Dua perubahan ini menghambat filtrasi cairan ke
dalam paru dan mempercepat masuknya air ke dalam mikrosirkulasi paru
dari interstisial. Terapi berkelanjutan dengan furosemid, kadangkala disertai
dengan penggunaan diuretik lain seperti spironolakton dan tiazid,
digunakan untuk membantu mengendalikan edema paru. Pada terapi jangka
panjang dengan diuretik sering terjadi kehilangan sejumlah besar kalium
klorida. Deplesi elektrolit ini biasanya dapat dicegah dengan menggunakan
suplementasi kalium klorida, 3−5 mEq/kgBB setiap hari (Uejima, 2001).
Jika terdapat hipotensi, zat inotropik seperti dopamin dan dobutamin
juga mempunyai efek terhadap pembuluh darah paru. Jika terdapat
resistensi vaskular yang tinggi, maka dobutamin lebih efektif karena dapat
meningkatkan volume jantung semenit tanpa meningkatkan resistensi
vaskular sistemik, bahkan menyebabkan vasodilatasi sistemik (Uejima,
2001).
Pemberian albumin intravena bermanfaat jika edema paru disebabkan
oleh penurunan tekanan koloid osmotik. Untuk mencegah efek penumpukan
cairan sementara akibat albumin, maka pemberiannya harus lambat dan
disertai diuretik. Pada bayi, serta anak-anak dengan edema paru berat, infus
albumin atau plasma biasanya tidak memberikan keuntungan. Pemberian
tersebut cenderung meningkatkan tekanan mikrovaskular paru, sebagai
usaha mengimbangi efek peningkatan tekanan osmotik protein
intravaskular. Selanjutnya, protein yang diberikan dapat bocor ke interstisial
paru, sehingga menambah beratnya edema (Uejima, 2001).
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis,
yaitu (Wake, 2006) :
Pemeriksaan foto toraks menunjukkan kardiomegali (pada pasien
dengan CHF) dan adanya edema alveolar disertai efusi pleura dan infiltrasi
bilateral dengan pola butterfly, gambaran vaskular paru dan hilus yang
berkabut serta adanya garis-garis Kerley b di interlobularis. Gambaran lain
yang berhubungan dengan penyakit jantung berupa pembesaran ventrikel
kiri sering dijumpai. Efusi pleura unilateral juga sering dijumpai dan
berhubungan dengan gagal jantung kiri.
a. EKG menunjukan gangguan pada jantung seperti pembesaran atrium
kiri, pembesaran ventrikel kiri, aritmia, miokard iskemik maupun
infark.
b. Ekokardiografi dilakukan untuk mengetahui apakah ada penurunan
fungsi dari ventrikel kiri dan adanya kelainan katup-katup jantung.
c. Pemeriksaan laboratorium enzim jantung perlu dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis infark miokard. Peningkatan kadar
brain natriuretic peptide (BNP) di dalam darah sebagai respon terhadap
peningkatan tekanan di ventikel; kadar BNP >500 pg/ml dapat
membantu menegakkan diagnosis edema paru kardiogenik.
d. Analisis gas darah (AGDA) dapat memperlihatkan penurunan PO2 dan
PCO2 pada keadaan awal tetapi pada perkembangan penyakit
selanjutnya PO2 semakin menurun sedangkan PCO2 meningkat. Pada
kasus yang berat biasanya dijumpai hiperkapnia dan asidosis
respiratorik.
e. Kateterisasi jantung kanan: Pengukuran P pw (pulmonary capillary
wedge pressure) melalui kateterisasi jantung kanan merupakan baku
emas untuk pasien edema paru kardiogenik yaitu berkisar 25-35 mmHg
sedangkan pada pasien ARDS P pw 0-18 mmHg.
f. Kadar protein cairan edema: Pengukuran rasio konsentrasi protein
cairan edema dibandingkan protein plasma dapat digunakan untuk
membedakan edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik.
1. Definisi
Pneumonia secara klinis didefinisikan sebagai peradangan paru akibat
infeksi mikroorganisme seperti jamur, bakteri, virus, dan parasit, kecuali
infeksi bakteri M. tuberculosis. Pneumonia komunitas atau yang dikenal
dengan nama Community Acquired Pneumonia (CAP) didefinisikan sebagai
pneumonia yang didapatkan bukan dari rumah sakit, fasilitas kesehatan
jangka panjang, atau kontak terbaru dengan penyedia layanan kesehatan
(Watkins & Lemonovich, 2011). Pneumonia komunitas adalah infeksi akut
dari parenkim paru dengan gejala-gejala infeksi akut, ditambah dengan
adanya infiltrat pada pemeriksaan radiografi atau suara paru abnormal pada
pemeriksaan auskultasi pada pasien yang tidak sedang dalam perawatan
rumah sakit ataupun panti perawatan dalam kurun waktu 14 hari sebelum
timbulnya gejala (Metlay et al., 2019).
2. Epidemiologi
Pneumonia komunitas atau CAP merupakan penyakit penyebab
kematian nomor tiga secara global, dan merupakan penyakit dengan tingkat
morbiditas dan disabilitas terbesar di antara penyakit pada sistem
pernapasan. Di Amerika Serikat, insidensi CAP diperkirakan sebanyak
1.600 kasus per 100.000 populasi. Angka kejadian CAP di Eropa yaitu
sebanyak 1.100-1.600 kasus per 100.000 populasi. Angka CAP yang harus
dirawat inap diperkirakan sebanyak 250 kasus per 100.000 populasi dan
terdapat peningkatan insidensi CAP dengan patogen yang resisten terhadap
obat (WHO, 2016).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013,
period prevalence atau prevalensi periode seluruh pneumonia di Indonesia
secara nasional adalah 1,8% dimana prevalensi tahun 2013 adalah 4,5%.
Prevalensi periode paling tinggi pada kelompok umur 1-4 tahun dan
meningkat pada kelompok umur 45-54 tahun. Dilaporkan terdapat 988
kasus CAP pada tiap 100.000 pasien yang telah keluar dari perawatan inap
rumah sakit di Indonesia, dengan rata-rata masa rawat inap atau length of
stay adalah 6,1 hari (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
3. Etiologi
Studi di Australia mengidentifikasi patogen penyebab CAP terbanyak
adalah Streptococcus pneumoniae (42 %) diikuti virus respiratori (18%),
Haemophilus influenzae (9%), Mycoplasma pneumoniae dan bakteri gram
negatif enterik (masing-masing 8%), Chlamydia psittaci (5%),
Staphylococcus aureus, Legionella species dan Mycobacterium
tuberculosis (masing masing 3%). Ras, lokasi geografis, gaya hidup dan
negara asal mempengaruhi prediksi etiologi dari CAP. Apabila pasien
dengan CAP membutuhkan perawatan ICU, maka Streptococcus
pneumoniae, patogen atipikal (terutama Legionella) dan kuman enterik
gram negatif dapat dicurigai sebagai organisme penyebab infeksi tersebut
(Charles et al., 2008).
Beberapa mikroorganisme yang terbanyak diidentifikasikan sebagai
penyebab CAP adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1. Etiologi CAP menurut IDSA 2007
Tipe Pasien Etiologi
Rawat Jalan S. pneumonia
H. influenza
M.pneumoniae
Chlamydia
Respiratory virus
*Rawat Inap (non ICU) S. pneumonia
H. influenza
M.pneumoniae
Chlamydia
Legionella Sp
Respiratory virus
Aspirasi
Rawat Inap ICU S. pneumoniae
Staphylococcus aureus
Legionella species
Gram-negative bacilli
H. influenza
Sumber: IDSA tahun 2007 (Mandell et al., 2007)
4. Faktor risiko
Terdapat beberapa faktor risiko yang diketahui berpengaruh terhadap
kejadian dan derajat keparahan CAP, yaitu (Sari, Rumende & Harimurti,
2016):
a. Usia
Pasien dengan usia di atas 65 tahun memiliki peningkatan risiko
terjadinya CAP. Rata–rata terjadinya CAP pada usia lanjut diperkirakan
sebanyak 25 – 44 orang tiap 1000 penduduk, lebih tinggi dibandingkan
angka kejadian pada populasi umum yaitu 4,7 – 11,6 tiap 1000 orang.
Frekuensi perawatan rumah sakit akibat CAP berat juga meningkat
nyata sesuai dengan usia. Resiko terjadinya infeksi dengan Drug
Resistant Streptococcus Pneumoniae (DRSP) meningkat pada usia <2
tahun atau > 65 tahun (Sari, Rumende & Harimurti, 2016).
b. Nutrisi
Malnutrisi dapat menyebabkan kerentana pada sistem imunitas tubuh,
seperti penurunan kadar sekresi IgA, suatu kegagalan pengerahan
makrofag, dan perubahan pada imunitas seluler. Sehingga frekuensi
kolonisasi saluran nafas oleh bakteri gram negatif meningkat pada
pasien dengan malnutrisi, dan kejadian pneumonia berat meningkat
(Sari, Rumende & Harimurti, 2016).
c. Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor risiko yang mempengaruhi
transport mukosilier, pertahanan humoral dan seluler, serta fungsi sel
epitel. Merokok meningkatkan perlekatan Streptococcus pneumoniae
dan Haemophylus influenzae kepada epitel orofaring. Selain itu,
merokok merupakan predisposisi terjadinya infeksi yang disebabkan
oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophylus influenzae, dan
Legionella pneumophilla (Sari, Rumende & Harimurti, 2016).
d. Alkoholisme
Konsumsi alkohol berlebih berpengaruh terhadap beberapa sistem
pertahanan dalam saluran pernafasan. Alkohol menyebabkan kolonisasi
bakteri gram negatif pada orofaring, mengganggu refleks batuk,
merubah gerak menelan, dan mengganggu transport mukosiliar.
Alkohol juga mengganggu fungsi limfosit, neutrofil, monosit, dan
makrofag alveolar. Faktor-faktor tersebut menyebabkan penurunan
bersihan bakteri dari jalan nafas pasien. Infeksi pernapasan utamanya
oleh Legionella pneumophila lebih sering terjadi pada pemabuk berat
(Sari, Rumende & Harimurti, 2016).
e. Penyakit komorbid
Insidensi CAP meningkat pada orang dengan penyakit komorbid.
Penyakit-penyakit tersebut diantaranya Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD), diabetes mellitus, insufisiensi renal, Congestive Heart
Failure (CHF), penyakit jantung koroner, keganasan, penyakit
neurologik kronik, penyakit hati kronik. Pada penyakit kardiopulmoner
beresiko terjadinya infeksi oleh bakteri gram negatif. Infeksi
Pseudomonas aeruginosa berisiko terjadi pada penyakit-penyakit paru
strukutral seperti bronkiektasis (Sari, Rumende & Harimurti, 2016).
5. Patomekanisme
Pneumonia disebabkan oleh adanya proliferasi dari mikroorganisme
patogen pada tingkat alveolar dan bagaimana respon individu terhadap
patogen yang berproliferasi tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan 3 faktor
yaitu keadaan individu, utamanya imunitas (humoral dan seluler), jenis
mikroorganisme pathogen yang menyerang pasien, dan lingkungan sekitar
yang berinteraksi satu sama lain. Ketiga faktor tersebut akan menentukan
klasifikasi dan bentuk manifestasi dari pneumonia, berat ringannya
penyakit, diagnosis empirik, rencana terapi secara empiris, serta prognosis
dari pasien (File, 2003).
Mikroorganisme menyerang traktus respiratorius paling banyak
adalah melalui aspirasi sekret orofaringeal. Aspirasi terjadi sering pada saat
tidur, terutama pada lansia, dan pada pasien dengan tingkat kesadaran yang
menurun. Beberapa patogen menyerang melalui inhalasi dalam bentuk
droplet, misal Streptococcus pneumoniae. Pada kasus yang jarang,
pneumonia disebabkan penyebaran infeksi via hematogen, misal tricuspidal
endocarditis atau melalui penyebaran infeksi yang meluas dari infeksi
pleura atau infeksi rongga mediastinum (Price & Wilson, 2002).
Patogenenesis pneumonia secara skematis dapat dilihat pada gambar 2.1
sebagai berikut :
Gambar 2.1. Patogenesis pneumonia (Price & Wilson, 2002).
6. Manifestasi klinis
Gejala khas pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk
(baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir,
purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala
umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada sisi yang sakit
dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan
retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat bernapas, takipneu,
kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak
menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara
pernafasan bronkial, dan pleural friction rub (Crapo et al., 2005).
Tanda dan gejala yang muncul pada pneumonia berkaitan dengan
etiologinya. Beberapa tanda dan gejala khas yaitu :
a. Sindrom pneumonia atipik
Pneumonia ini disebabkan oleh bakteri tipikal seperti
Streptococcus pneumoniae, Haemophylus influenzae, dan
Pseudomonas aeruginosa. Gambaran kliniknya adalah keluhan maupun
tanda kliniknya timbul mendadak. Keluhannya yaitu malaise, demam
tinggi, dan simptom pulmonal yang mencolok (sesak nafas, rasa tidak
enak di dada, nyeri pleuritik, batuk produktif dengan sputum berdarah
atau purulen). Tanda klinik : demam tinggi, takipneu, takikardi,
sianosis, dan kesadaran menurun (bila berat). Kelainan fisik paru yang
terjadi adalah adanya konsolidasi paru (tergantung bagian paru yang
terkena), stem fremitus mengeras, perkusi pekak, ronki basah
(tergantung stadiumnya), dan suara nafas vesikuler diperkeras atau
bronkial (Sharpe & Flanders, 2006).
b. Sindrom pneumonia tipik
Pneumonia yang disebabkan oleh organisme atipikal meliputi
Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Rickettsia,
Legionella sp, dan juga berbagai virus respirasi lain seperti virus
influenza, adenovirus, dan respiratory synctial viruses (RSV). Keluhan
dan tanda kliniknya timbul perlahan, yaitu demam serta batuk non-
produktif. Gejala lain yaitu sakit kepala dan malaise mialgia.
Ditemukan adanya infiltrat paru berupa ronki basah (halus sampai
sedang), sedangkan tanda fisik lain jarang ditemukan (Sharpe &
Flanders, 2006).
Tabel 2.2. Perbedaan gejala klinis pneumonia atipik dan tipik
Tanda dan gejala Pneumonia atipik Pneumonia tipik
Onset Gradual Akut
Suhu Kurang tinggi Tinggi, menggigil
Batuk Non produktif Produktif
Dahak Mukoid Purulen
Gejala lain Kepala nyeri, mialgia, Jarang
sakit tenggorokan, suara
parau, nyeri telinga
Gejala di luar paru Sering Lebih jarang
Pewarnaan gram Flora normal atau Kokus gram (+)
spesifik atau negatif (-)
Radiologis "Patchy" atau normal Konsolidasi lobar
Laboratorium Leukosit normal kadang Lebih tinggi
rendah
Gangguan fungsi Sering Jarang
hati
Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2014
7. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis pneumonia komunitas, perlu dilakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang menyeluruh. Diagnosis
pasti pneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto toraks terdapat
infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di
bawah ini (Mandell et al., 2007):
a. Batuk-batuk bertambah
b. Perubahan karakteristik dahak / purulen
c. Suhu tubuh > 38ºC (aksila) / riwayat demam
d. Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki.
e. Leukosit > 10.000 atau < 4500
Pada pasien CAP yang didiagnosa dengan adanya infiltrat abnormal
dengan pemeriksaan radiografi, pemeriksaan ini perlu diulang dalam 6
sampai 10 minggu untuk melihat resolusi dari pneumonia dan mengekslusi
adanya keganasan yang menyerupai infiltrat infeksius terutama pada
perokok usia lanjut. Pemeriksaan radiografi lanjutan, CT scan thoraks, atau
keduanya harus dilakukan pada pasien yang tidak menunjukkan tanda-tanda
perbaikan (misalnya kesulitan bernapas atau demam yang persisten) atau
dengan adanya kondisi klinis yang memburuk untuk menyingkirkan adanya
emphyema atau abses. Apabila pada hasil pemeriksaan fisik atau radiografi
tidak menunjukkan adanya faktor risiko untuk terjadinya akibat yang buruk
maka pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien CAP tidak harus
dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan antara lain adalah
hitung sel darah lengkap, elektrolit, pemeriksaan fungsi liver dan ginjal, dan
penilaian saturasi oksigen (Mikasa et al., 2016).
a. Pemeriksaan mikrobiologi
Perlunya melakukan pemeriksaan untuk menentukan patogen
spesifik penyebab CAP adalah terutama bila hasil pemeriksaan tersebut
dapat mengubah terapi antibiotik yang diberikan. Misalnya bila
dilakukan pada pasien yang dicurigai adanya resistensi antibiotik atau
infeksi akibat patogen yang jarang misalnya fungi endemik atau
Mycobacterium tuberculosis yang membutuhkan perubahan terapi
antibiotik (Mikasa et al., 2016).
IDSA merekomendasikan pemeriksaan sputum rutin dengan
pengecatan gram untuk mengoptimalkan terapi antibiotik pada masing-
masing pasien dan memonitor adanya resistensi patogen terhadap obat
(Mandell et al., 2007). Sedangkan ATS tidak merekomendasikan
pengecatan gram pada pemeriksaan sputum (tidak adanya kecurigaan
resistensi obat) karena studi menunjukkan bahwa patogen tidak
teridentifikasi pada 40-50% pasien. Lebih lanjut, tes-tes ini tidak dapat
mendeteksi patogen atipikal yang terjadi pada 3% hingga 40% dari
kasus CAP. Organisme atipikal ini didentifikasi dengan tes serologi
terhadap Mycoplasma sp dan Chlamydia sp, atau dengan antigen pada
urin terhadap Legionella sp (Metlay et al., 2019).
b. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan terpenting dalam
penegakan diagnosis dan managemen CAP. Jika seorang pasien
mengalami tanda dan gejala pneumonia seperti demam, batuk atau
sputum, dan ditemukan adanya gambaran yang konsisten dengan
gambaran radiologi pneumonia, maka diagnosis dapat ditegakkan.
Gambaran radiologi juga dapat membantu menentukan terapi definitif
untuk pneumonia, salah satunya yaitu untuk membedakan pneumonia
dengan penyakit paru-paru lain seperti tuberkulosis (Grossman et al.,
2014).
Pada pemeriksaan radiologi thoraks pada pasien dengan batuk
dan demam selama 2-3 hari akibat pneumonia bakterial, ditemukan
adanya infiltrat pada rongga udara. Temuan ini berbeda dengan
gambaran lesi kavitas paru yang terjadi pada pasien penderita
tuberkulosis. American Thoracic Society (ATS) menganjurkan
radiografi thoraks posteroanterior (dan lateral bila dapat dilakukan)
untuk menegakkan diagnosis pneumonia pada pasien suspek CAP, serta
untuk melihat sejauh mana penyakit menyebar (penyakit multilobar)
serta ada/tidaknya efusi pleura (Metlay et al., 2019).
Gambaran thoraks pada CAP secara umum terbagi menjadi tiga
pola utama, yaitu konsolidasi (pneumonia lobar/alveolar), nodul
peribronkial (bronkopneumonia), serta opasitas ground-glass (Ground-
Glass Opacity/GGO). Terdapat pola keempat yang unik dan tidak biasa,
yaitu nodul random, yang merujuk pada infeksi hematogen pulmoner
atau infeksi granulomatosa (Grossman et al., 2014).
1) Pola predominan konsolidasi (pneumonia lobar/alveolar)
Pneumonia predominan konsolidasi sering disebut sebagai
pneumonia alveolar. Apabila pneumonia mengenai hampir
keseluruhan lobus paru, disebut sebagai pneumonia lobaris.
Konsolidasi ini dianggap terbentuk akibat persebaran inflamasi
melalui pori-pori Kohn atau kanal Lambert di perifer paru.
Gambaran ini biasanya muncul dalam konsolidasi non-segmental
di tahap awal penyakit. Sebagian besar pneumonia bakterial
(etiologi Streptococcus sp. dan Kliebsiella sp.) membentuk pola ini
(Nambu et al., 2014).
Gambar 2.2. Pneumonia e.c Streptococcus pneumoniae menampakkan
gambaran pneumonia alveolar. A. Radiografi dada menunjukkan konsolidasi non-
segmental di paru kanan bagian tengah, ditandai oleh fisura kecil yang menunjukkan
pneumonia lobus superior (tanda panah). B, C: CT-scan potongan tipis (B) dan
gambaran korona (C) menunjukkan konsolidasi non-segmental dengan bronkogram
udara yang merujuk pada pneumonia alveolar (tanda panah) (Nambu et al., 2014).
Gambar 2.1. Aplikasi CURB-65 dalam tatalaksana CAP (Zhang et al., 2016)
10. Tata laksana
Tata laksana untuk pneumonia komuniti adalah dengan terapi
antibiotik. Tujuan pemberian terapi antibiotik adalah untuk mengeradikasi
patogen penyebab infeksi. Terapi antibiotik yang diberikan pada
penatalaksanaan awal adalah terapi empirik karena patogen penyebab sulit
untuk didiagnosis secara pasti pada kebanyakan pasien CAP. Pemberian
terapi empirik sebagai penatalaksanaan awal tidak akan berubah sampai
metode pemeriksaan yang akurat dan cepat tersedia yang dapat
mengidentifikasi penyebab pasti CAP. Pemberian terapi berdasarkan
patogen penyebab ataupun terapi empirik pada pasien CAP terdapat
perbedaan yang tidak signifikan pada angka mortalitas maupun lamanya
rawat inap. Disarankan bahwa terapi antibiotik diberikan sedini mungkin
setelah diagnosis pneumonia yang dapat menurunkan angka kematian
(Watkins & Lemonovich, 2011).
Tabel 2.7. Terapi antibiotik empirik pada pasien CAP
Outpatients Sebelumnya sehat
Macrolide atau doxycycline
(rawat tanpa riwayat
jalan) penggunaan
antibiotik selama 3
bulan terakhir
Dengan penyakit - Florokuinolon respirasi
komorbid (jantung, (levofloxacin, gemifloxacin, atau
paru, ginjal, dst) atau moxifloxacin)
riwayat penggunaan - Antibiotik β-lactam (amoksisilin
antibiotik selama 3 dosis tinggi, amoksisilin/klavunalat,
bulan terakhir. atau cefpodoksim) + makrolide
Inpatients Non-ICU Florokuinolon respiratori, atau
(rawat antibiotik β-lactam + macrolide
inap) ICU Antibiotik β-lactam (cefotaxime,
ceftriaxone, atau ampicillin-
sulbactam) ditambah azithromycin
atau florokuinolon respiratori
atau
atau
Adams, Robert, et al. 2009. Heart Diseases and Stroke Statistics. Journal Of The
Amerikan Heart Association, https://www.ahajournals.org /doi/pdf/10.1161/
CIRCULATIONAHA.108.191259 (diakses, 1 November 2019)
Charles, P.G., Whitby, M., Fuller, A.J., Stirling, R., Wright, A.A., et al. 2008. "The
etiology of community-acquired pneumonia in Australia: why penicillin plus
doxycycline or a macrolide is the most appropriate therapy". Clinical
Infectious Diseases. Vol. 46(10): 1513-1521.
Crapo, J.D., Glassroth, J., Karlinsky, King Jr. T.E. 2005. Baum's Textbook of
Pulmonary Disease. Seventh Ed. Philadelphia: Lippincot Williams and
Wilkins.
Grossman, R.F., Hsueh, P., Gillespie, S.H. & Blasi, F. 2014. "Community-acquired
pneumonia and tuberculosis: differential diagnosis and the use of
fluoroquinolones". International Journal of Infectious Diseases. Vol. 18: 14-
21.
Larsen LG, Accursa JF, Halbower CA, dkk. Pulmonary edema. Dalam: Hay WW,
Hayward RA, Levin JM, 2003. Current pediatric diagnosis and treatment.
Edisi ke-16. Boston: Mc Graw Hill. h. 533.
Lily, S. L., 2011, Pathophysiology of Heart Disease 5th Edition, Wolters Kluwer
Lippincot Williams and Wilkins.
Lim, W.S., Baudouin, S.V., George, R.C., Hill, A.T., Jamieson, C., Jeune, I.L., et
al. 2009. "BTS guidelines for the management of community acquired
pneumonia in adults: update 2009". BMJ Journals. Vol. 64: 1-55.
Mandell, L.A., Wunderink, R.G., Anzueto, A., Bartlett, J.G., Campbell, G.D.,
Dean, N.C, et al. 2007. "Infectious diseases society of America/American
Thoracic Society consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults". Clinical Infectious Diseases. Vol. 44(2): S27-
S72.
Metlay, J.P., Waterer, G.W, Long, A.C., Anzueto, A., Brozek, J., Crothers, K., et
al. 2019. "Diagnosis and treatment of adults with community-acquired
pneumonia–An official clinical practice guideline of the American Thoracic
Society and Infectious Diseases Society of America". American Thoracic
Society Documents. Vol. 200(7): 45-67.
Mikasa, K., Aoki, N., Aoki, Y., Abe, S., Iwata, S., Ouchi, K., et al. "JAID/JSC
guidelines for the treatment of respiratory infectious diseases: The Japanese
association for infectious diseases/japanese society of chemotherapy – The
JAID/JSC guide to clinical management of infectious disease/guideline-
preparing committee respiratory infectious disease WG". Journal of Infection
and Chemotherapy. Vol. 22(7): 1-65.
Murray JF. 2011. Pulmonary edema: pathophysiology and diagnosis. Int J Tuberc
Lung Dis.;15(2):155-160.
Nambu, A., Ozawa, K., Kobayashi, N. & Tago, M. 2014. "Imaging of community-
acquired pneumonia: Roles of imaging examinations, imaging diagnosis of
specific pathogens and discrimination from noninfectious diseases". World
Journal of Radiology. Vol. 6(10): 779-793.
Nieminen MS, Bohm M, Cowie MR, Drexler H, Filippatos GS, Jondeau G, et al.
2005. Executive summary of the guidelines on the diagnosis and treatment of
acute heart failure. Eur Heart J;26:384-416.
Price, S.A. & Wilson, L.M. 2002. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Cetakan 2012. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sari, M.A., Raveinal & Noverial. "derajat keparahan pneumonia komunitas pada
geriatri berdasarkan skor CURB-65 di bangsal penyakit dalam RS. Dr. M.
Djamil Padang tahun 2016". Jurnal Kesehatan Andalas. Vol. 7(1): 102-107.
Surjanto, E., Yusup, S.S., Reviono, Harsini, & Dwi, I. 2013. "Perbandingan tiga
metode prediksi secara restrospektif dalam menilai derajat pneumonia
komunitas pada pasien lanjut usia di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta".
Jurnal Respirologi Indonesia. Vol. 33(1): 34-9.
Wake LB, Matthay AM. 2006. Acute pulmonary edema. N Engl J Med;353:2788–
92.
Zhang, Z.X, Weidong, Z., Ping, L., Yong, Y., Tan, W.C., Ng, H.S. & Fong, K.Y.
2016 "Prognostic value of pneumonia severity index, CURB-65, CRB-65,
and procalcitonin in community-acquired pneumonia in Singapore". Journal
Proceedings of Singapore Healthcare. Vol. 25(3):139-47.