Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN KASUS

Oleh
Ardi Perkasa
122011101011

Pembimbing

dr. Sugeng Budi Rahardjo, Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2017

0
LAPORAN KASUS

disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


SMF/Lab. Ilmu Penyakit Dalam RSD dr. Soebandi Jember

Oleh
Ardi Perkasa
122011101011

Pembimbing

dr. Sugeng Budi Rahardjo, Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2017

1
BAB 1
PENDAHULUAN

Salah satu masalah utama kesehatan di dunia adalah kanker. Diagnosis


kanker yang paling sering ditemukan di masyarakat antara lain ialah kanker paru,
payudara dan kolorektal, sedangkan kanker yang paling sering menimbulkan
kematian ialah kanker paru, gaster, dan hati (Jemal et al., 2011). Insidensi kanker
hati atau karsinoma hepatoselular (HCC) terus mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Di Indonesia, khususnya Jakarta, HCC paling banyak ditemukan pada
pasien berusia 50 hingga 60 tahun, dengan predominasi pada laki-laki, dimana
perbandingan rasio kejadian HCC pria : wanita ialah 4 : 1 (Jones & Baylin, 2011).
Lebih dari 80% pasien hepatoma menderita sirosis hati. Hepatoma biasa
dan sering terjadi pada pasien dengan sirosis hati yang merupakan komplikasi
hepatitis virus kronik. Hepatitis virus kronik adalah faktor risiko penting
hepatoma, virus penyebabnya adalah virus hepatitis B dan C.Komplikasi yang
sering terjadi pada sirosis adalah asites, perdarahan saluran cerna bagian atas,
ensefalopati hepatika, dan sindrom hepatorenal. Asites adalah komplikasi sirosis
yang paling sering yang menunjukkan adanya tahap dekompensasi tahap.

2
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Penderita


Nama : Tn. KS
Umur : 47 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Mangli, Jember
Status : Menikah
Pendidikan Terakhir : SD
Suku : Madura
Agama : Islam
Status Pelayanan : BPJS PBI
No. RM : 106298
Tanggal MRS : 30 Agustus 2017
Tanggal Px : 6 September 2017
Tanggal KRS : 7 September 2017

2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan heteroanamnesis dilakukan kepada pasien dan istri
pasien pada tanggal 6 September 2017 di Ruang Anturium RSD dr. Soebandi
Jember.

2.2.1 Keluhan Utama


Nyeri perut

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri perut dan perut yang
makin membesar. Pasien merasakan nyeri perut sejak 3 bulan yang lalu
yang memberat sejak 2 minggu yang lalu Pasien menyatakan bahwa pada
awalnya perutnya tidak besar, namun ketika ditekan terasa keras dan nyeri.

3
Nyeri terasa di seluruh perut dan memberat jika ditekan. Pasien sering
merasa tidak bisa makan karena mual serta rasanya seperti sudah penuh
walaupun baru makan beberapa sendok, pasien mengatakan tidak mampu
lagi bekerja karena sering sakit perut yang pada akhirnya memberat dalam
2 minggu terakhir ditambah perutnya yang membesar sehingga akhirnya
datang ke IGD. Istri pasien juga menyatakan pasien terlihat kuning sejak 1
bulan yang lalu. Kedua kaki pasien juga bengkak sejak 2 minggu yang
lalu. Pasien tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Pasien
sedikit demam ketika datang. Pasien dapat BAK dan BAB dengan baik.
Pasien mengaku fesesnya agak cair, warna coklat kekuningan pada saat
awal datang serta kencingnya keruh warna kuning.

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah memiliki riwayat kuning, perut membesar sebelumnya

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa dengan pasien.

2.2.5 Riwayat Pengobatan


Pernah tidak pernah dibawa berobat ke tenaga kesehatan

2.2.6 Riwayat Sosial Lingkungan Ekonomi


Pasien adalah kepala keluarga dari seorang istri dan 2 orang anak.
1 anaknya sudah bekerja dan anak bungsunya saat ini duduk di kelas 2
SMK. Pasien tinggal dengan istri dan anaknya. Dari riwayat lingkungan,
pasien tinggal di sebuah rumah berdinding tembok dan berlantai tanah
yang terdiri dari 2 kamar tidur dengan ventilasi kurang, 1 kamar mandi dan
dapur. Pasien tidur di kasur ranjang. Sumber air berasal dari sumur. Pasien
bekerja sebagai sopir bis dengan penghasilan perbulan tidak menentu. Istri
pasien sebagai ibu rumah tangga.
Kesan : Riwayat sosial lingkungan ekonomi bawah.

4
2.2.7 Riwayat Sanitasi Lingkungan
Pasien dan keluarga menggunakan air sumur untuk kebutuhan mandi dan
mencuci dan sebagai sumber air untuk dikonsumsi. Air minum sehari-hari
yang berasal dari sumur selalu dimasak hingga mendidih sebelum
dikonsumsi. Untuk kebutuhan kakus, pasien dan keluarga menggunakan
kamar mandi sendiri. Kamar mandi menggunakan jamban cemplung yang
terletak di bagian belakang rumah dengan lantai tanah.
Kesan : Riwayat sanitasi lingkungan kurang.

2.2.8 Riwayat Gizi


Sehari pasien makan 2-3 kali. Rata-rata menu setiap harinya adalah
nasi, tempe, tahu, sayur, umbi-umbian, terkadang ikan dan ayam namun
karena nyeri perutnya, pasien tidak bernafsu makan sejak 1 bulan yang
lalu.
BB :60kg
TB :160 cm
BMI = Berat Badan (kg) = 60
Tinggi Badan(m)2 (1,6)2
BMI = 23,44 (baik)
Kesan : Riwayat gizi baik

2.2.9 Anamnesis Sistem


- Sistem serebrospinal : penurunan kesadaran (-), demam (+),
kejang (-),nyeri kepala (-), pusing (+)
- Sistem kardiovaskular : palpitasi (-), nyeri dada (-)
- Sistem pernapasan : sesak (-), batuk (-), pilek (-)
- Sistem gastrointestinal : mual (+), muntah (-), diare (-), nafsu
makan menurun (+), nyeri perut (+) perut
membesar (+)
- Sistem urogenital : BAK (+) keruh, warna kuning.

5
- Sistem integumentum : turgor kulit normal, sianosis (-), ikterik (+
), ruam (-)
- Sistem muskuloskeletal : kelemahan pada kedua kaki kanan dan kiri
(-), edema (-), atrofi (+), deformitas (-)
Kesan : terdapat gangguan sistem gastrointestinal

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1 Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum :Lemah
Kesadaran :Composmentis, GCS 4-5-6
Vital Sign : TD : 120/90 mmHg
Nadi : 72x/menit
RR : 18x/menit
Suhu : 36,0oC
Pernapasan : sesak (-), batuk (-), pilek (-),
Kulit : turgor kulit normal, sianosis (-), ikterik (+), nyeri
perut (+), perut distended (+)
Kelenjar limfe : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Otot : edema (-), atrofi (+)
Tulang : deformitas (-)
Status gizi : BB : 60 kg
TB : 160cm
BMI : 23, 44
Kesan :Terdapat tanda gangguan sistem gastrointestinal

2.3.2 Pemeriksaan Fisik Khusus


a. Kepala
- Bentuk : simetris
- Rambut : hitam, lurus
- Mata : konjungtiva anemis : -/-
sklera ikterus : +/+

6
edema palpebra : -/-
refleks cahaya : +/+
- Hidung : sekret (-), bau (-), pernapasan cuping hidung (-)
- Telinga : sekret (-), bau (-), perdarahan (-)
- Mulut : sianosis (-), bau (-), plak berwana putih di lidah (-)
b. Leher
- KGB : tidak ada pembesaran
- Tiroid : tidak membesar
- JVP : tidak meningkat
c. Thorax
1. Cor :
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : redup di ICS IV PSL D s/d ICS V MCL S
- Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, suara tambahan (-)
2. Pulmo:
Ventral Dorsal
Inspeksi: Inspeksi:
Bentuk thoraks normal Bentuk thoraks normal
Simetris Simetris
Retraksi -/- Retraksi -/-
Ketinggalan gerak -/- Ketinggalan gerak -/-
Deviasi trakea -

7
Palpasi: P: Palpasi:
Letak trakea dan iktus kordis normal Nyeri tekan
Ruang antar iga dalam batas normal Ruang antar iga dalam
Nyeri tekan batas normal
Ekspansi dada Ekspansi dada
N N N N
N N N N
N N N N
Fremitus raba Fremitus raba
N N N N
N N N N
N N N N
Perkusi : Perkusi :
S S S S
S S S S
S S S S S S S S
S S S S

8
Ventral Dorsal
Auskultasi : Auskultasi :
Suara nafas dasar: Suara nafas dasar:
ves ves ves ves
ves ves ves ves
ves ves ves ves

Suara nafas tambahan: Suara nafas tambahan:


Rhonki Rhonki
- - - -
- - - -
- - - -

Wheezing Wheezing
- - - -
- - - -
- - - -
d. Abdomen
- Inspeksi : flat, distended
- Auskultasi : bising usus (+)normal
- Palpasi : soepel, hepar palpasi keras, nyeri tekan (+), nyeri ketok ginjal
(-), lien dbn
- Perkusi : batas hepar melebar, shifting dullness (+), undulasi (+)
e. Ekstremitas
- Superior : akral hangat +/+, edema-/-,
- Inferior : akral hangat +/+, edema -/-

9
2.4 Pemeriksaan Penunjang
a. 30 Agustus 2017 (H1MRS)
1. Pemeriksaan laboratoriun

Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Normal Satuan


HEMATOLOGI
HEMATOLOGI
LENGKAP (DL)
Hemoglobin 13.7 13.5-17.5 gr/dL
Leukosit 19.3 4.5-11.0 109/L
Hematokrit 39.8 45-53 %
Trombosit 240 150-450 109/L

FAAL HATI
SGOT 230 10-35 U/L(37oC)
SGPT 160 9-43 U/L(37oC)
Albumin 3.2 3.4-4.8 gr/dL

FAAL GINJAL
Kreatinin Serum 2.2 0,6-1,3 mg/dL
BUN 37 6-20 mg/dL
Urea 80 12-43 mg/dL

ELEKTROLIT
Na 126.7 135-155 mmol/L
K 5.12 3,5-5,0 mmol/L
Cl 100.2 90-110 mmol/L

Kesan : Leukositosis, Hipoalbumin, peningkatan LFT, Peningkatan RFT dan


hiponatremia

10
b. Lab : 1 September 2017
1. Serologi Imunologi
Hbs Ag kualitatif (-)
Anti HCV kualitatif (-)
c. Lab: 4 September 2017
1. USG Abdomen

Interpretasi:
Hepar membesar bernodul dan segmen
Cairan di cavum douglas
Kesan: Hepatoma dan asites

11
d. Lab: 5 September 2017
1. Pemeriksaan Laboratorium

Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Normal Satuan


HEMATOLOGI
HEMATOLOGI
LENGKAP (DL)
Hemoglobin 12.5 13.5-17.5 gr/dL
Leukosit 23.7 4.5-11.0 109/L
Hematokrit 35.5 45-53 %
Trombosit 162 150-450 109/L

FAAL HATI
Albumin 2.9 3.4-4.8 gr/dL

ELEKTROLIT
Na 127.4 135-155 mmol/L
K 5.7 3,5-5,0 mmol/L
Cl 97.8 90-110 mmol/L
Ca 2.32 2.15-2.57 mmol/L
Mg 1.24 0.73-1.06 mmol/L
Fos 2.41 0.85-1.60 mmol/L

2.5 Resume
Anamnesis:
Pasien datang ke IGD pada 30 Agustus 2017 dengan keluhan nyeri
perut dan perut yang makin membesar. Pasien merasakan nyeri perut sejak
3 bulan yang lalu yang memberat dua minggu terakhir. Nyeri terasa di
seluruh perut dan memberat jika ditekan. Pasien mual dan perut terasa
penuh. Pasien terlihat kuning sejak 1 bulan yang lalu. Kaki pasien juga
mengalami pembengkakan sejak 2 minggu yang lalu. Pasien tidak pernah
mengalami hal seperti ini sebelumnya. Pasien sedikit demam ketika
datang. Pasien mengaku fesesnya agak cair, warna coklat kekuningan pada
saat awal datang serta kencingnya keruh warna kuning.

12
Pemeriksaan Fisik:
Pada pemeriksaan fisik umum, didapatkan keadaan umum pasien
lemah, kesadaran compos mentis, nyeri perut dan perut distended dan
adanya tanda-tanda gangguan gastrointestinal. Pemeriksaan fisik khusus
menunjukkan adanya kelainan abdomen, yaitu: asites dengan tes undulasi
dan shifting dullness positif, pada perabaan hepar terasa keras, dan pada
palpasi terdapat nyeri tekan. Pasien juga ditemukan ikterus pada sklera dan
jaundice pada kulit.

Pemeriksaan Penunjang:
Darah Lengkap : leukositosis
Faal Hati : Peningkatan LFT, Hipoalbumin
Serum Elektrolit : Hiponatremi, Hiperkalemi
Thorax Foto : Cor dan Pulmo dalam batas normal
BOF : Asites
USG Abdomen : Suspect hepatoma multinoduler dengan asites
2.6 Diagnosis
Hepatoma multinoduler + Acites

2.7Diagnosis Banding
Sirosis hepatis

2.8.Planning
2.8.2 Planning Monitoring
Vital Sign
Foto toraks PA dan lateral
Pemeriksaan darah lengkap

2.8.3 Planinng Terapi


O2 nasal 3 lpm
Inf. PZ 7 tpm

13
Inj. Ceftriaxone 2x1
Inj. Omepraazole 2x1
Inj. Antrain 3x1
Lasix Pump 5 amp kecepatan 10 cc/jam
P.o Spironolactone 100 mg 1-0-0

2.8.4 Planning Edukasi


Istirahat yang cukup
Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien kepada keluarga
(penyebab, perjalanan penyakit, perawatan, prognosis, komplikasi serta
usaha pencegahan komplikasi)
Menjaga kondisi lingkungan sekitar pasien agar mendukung perbaikan
kondisi pasien

2.9. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam
Quo ad functionam : Dubia ad malam

2.10 Follow up
Rabu, 6 September 2017 Jumat, 8 September 2017
S KU: Pasien nyeri perut dan perut KU: Nyeri perut masih ada namun
membesar berkurang dan perut tidak terlalu besar
O KU: Lemah KU: Cukup
Kes: compos mentis Kes: compos mentis
TD: 120/90mmHg TD: 100/60mmHg
N: 72x/mnt N: 100x/mnt
RR: 18x/mnt RR: 20x/mnt
Tax: 36,0oC Tax: 36,5oC
K/L:a/i/c/d:-/+/-/- K/L:a/i/c/d:-/+/-/-
Thorax: c/dbn Thorax: c/dbn

14
p/ I : simetri +/+, retraksi -/- p/ I : simetri +/+, retraksi -/-
P: fr raba melemah -/- P: fr raba melemah -/-
P : sonor/sonor P : sonor/sonor
A : ves +/+ , rh -/- wh -/- A : ves +/+ , rh -/+, wh -/-
Abd: cembung, BU (+) normal, undulasi Abd: cembung, BU (+) normal, undulasi
(+),shifting dullness (+), distended (+),shifting dullness (+), distended
Ext: AH di keempat akral, edema -/- menurun
Ext: AH di keempat akral, edema -/-
A Hepatoma multinoduler + Acites Hepatoma multinoduler + Acites

P O2 nasal 3 lpm O2 nasal 3 lpm


Inf. PZ 7 tpm Inf. PZ 7 tpm
Inj. Ceftriaxone 2x1 Inj. Ceftriaxone 2x1
Inj. Omepraazole 2x1 Inj. Omepraazole 2x1
Inj. Antrain 3x1 Inj. Antrain 3x1
Lasix Pump 5 amp kecepatan 10 Lasix Pump 5 amp kecepatan 10
cc/jam cc/jam
P.o Spironolactone 100 mg 1-0-0 P.o Spironolactone 100 mg 1-0-
0
KRS

15
BAB 3
PEMBAHASAN

Textbook Pasien
Hepatoma Cell Carcinoma
Anamnesis
Cachexia +
Nyeri perut +
Kelemahan +

Abdominall fullnes +

Asites +

Ikterus +
+
Mual
Pemeriksaan fisik
+
Hepatomegali
_
Bruit
+
Splenomegali
+
Dilatasi vena abdomen
+
Eritema palmar
_
Edema perifer
_
Ginekomasti
USG
Lesi fokal
+

Asites
Anamnesis
Sesak
+
Abdominall fullnes +
Nyeri perut +
Pemeriksaan fisik

16
Shifting dullness +
Pemeriksaan penunjang
BOF (kesuraman organ abdomen) +

3.1 Hepatoma
3.1.1 Definisi
HCC (Hepatocellular Cell Carcinoma/ Karsinoma Hepatoselular)
merupakan keganasan pada hati yang berasal dari sel hepatosit. Karsinoma
hepatoseluler (HCC) adalah tumor primer yang paling umum pada hepar dan salah
satu kanker paling umum di seluruh dunia. HCC merupakan keganasan
hepatoseluler asal primer. (2) Hati terbentuk dari tipe-tipe sel yang berbeda
(contohnya, pembuluh-pembuluh empedu, pembuluh-pembuluh darah, dan sel-sel
penyimpan lemak). Bagaimanapun, sel-sel hati (hepatocytes) membentuk sampai
80% dari jaringan hati. Jadi, mayoritas dari kanker-kanker hati primer (lebih dari
90 sampai 95%) timbul dari sel-sel hati dan disebut kanker hepatoselular
(hepatocellular cancer) atau karsinoma (carcinoma) (Jones & Baylin, 2011).

3.1.2 Prevalensi
Karsinoma hepatoseluler (hepatocelluler carcinoma=HCC) adalah salah satu
keganasan yang paling umum di seluruh dunia. Insiden global setiap tahunnya
ialah sekitar 1 juta kasus, dengan perbandingan laki-laki dan wanita sekitar 4:1.
Tingkat kejadian sama dengan tingkat kematian. (1) Di Indonesia (khususnya
Jakarta) HCC ditemukan antara 50 dan 60 tahun, dengan predominasi pada laki-
laki. Rasio antara kasus laki-laki dan perempuan berkisar antara 2-6 : 1 (Runyon,
2012).

3.1.3 Etiologi
Dewasa ini hepatoma dianggap terjadi dari hasil interaksi sinergis
multifaktor dan multifasik, melalui inisiasi, akselerasi dan transformasi dan proses
banyak tahapan, serta peran serta banyak onkogen dan gen terkait, mutasi
multigenetik. Etiologi hepatoma belum jelas, menurut data yang ada, virus

17
hepatitis, aflatoksin dan pencemaran air minum merupakan 3 faktor utama yang
terkait dengan timbulnya hepatoma (Jones & Baylin, 2011).
1.Virus hepatitis
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya hepatoma terbukti
kuat, baik secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental. Karsinogenisitas
HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan
proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktifitas
protein spesifik-HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan
hepatosit dari kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi
menentukan tingkat karsinogenesis hati.
Infeksi HCV berperan penting dalam patogenesis hepatoma pada pasien
yang bukan pengidap HBV. Pada kelompok pasien penyakit hati akibat transfusi
darah dengan anti-HCV positif, interval antara saat transfusi hingga terjadinya
HCC dapat mencapai 29 tahun. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga
melalui aktifitas nekroinfiamasi kronik dan sirosis hati.
2. Aflatoksin
Aflatoksin Bl (AFB1) merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh jamur
Aspergillus. Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen
utama dari kelompok aflatoksin yang mampu membentuk ikatan dengan DNA
maupun RNA. Salah satu mekanisme hepatokarsinogenesisnya ialah kemampuan
AFB 1 menginduksi mutasi pada kodon 249 dari gen supresor tumor p53.
3.Pencemaran air minum
Dari hasil survei epidemiologi di China ditemukan pencemaran air minum
dan kejadian hepatoma berkaitan erat, di area insiden tinggi hepatoma seperti
kecamatan Qidong dan Haimen di propinsi Jiangshu, Fuhuan di Guangxi, Shunde
di Guangdong dll. menunjukkan peminum air saluran perumahan, air kolam
memiliki mortalitas hepatoma secara jelas lebih tinggi dari peminum air sumur
dalam. Dengan beralih ke minum air sumur dalam, mortalitas hepatoma penduduk
cenderung menurun. Algae biru hijau dalam air saluran perumahan dan air kolam
dianggap sebagai salah satu karsinogen utama (Jones & Baylin, 2011).

18
3.1.4 Patofisiologi
Mekanisme karsinogenesis HCC belum sepenuhnya diketahui. Transformasi
maligna hepatosit dapat terjadi melalui peningkatan turnover sel hati yang
diinduksi oleh cedera (injury) dan regenerasi kronik dalam bentuk inflamasi dan
kerusakan oksidatif DNA. Hal ini dapat menimbulkan perubahan genetik seperti
perubahan kromosom, aktivasi onkogen selular, inaktivasi gen supresor tumor,
aktivasi telomerase, serta induksi faktor-faktor pertumbuhan maupun angiogenik.
Hepatitis virus kronis, alkohol dan penyakit metabolik seperti hemokromatosis
dan defisiensi antitrypsin-alfa 1 berpotensi menginflamasi sel hati kemudian
berkembang menjadi sirosis hati yang pada akhirnya bertransformasi menjadi
HCC (Jones & Baylin, 2011).

19
3.1.5 Diagnosis
Timbulnya HCC sering tidak terduga sampai terjadi penurunan kondisi
pada pasien sirosis yang sebelumnya stabil. (4) Gejala klinis HCC antara lain
cachexia, nyeri perut, penurunan berat badan, kelemahan, abdominal fullness,
asites, penyakit kuning, dan mual seringkali menyebabkan kesalahan diagnosis.
Perut bengkak dan perdarahan intra abdomen menunjukkan adanya
trombosis vena porta akibat tumor atau pendarahan dari tumor nekrotik. Asites
disebabkan oleh penyakit hati kronis yang mendasarinya atau dikarenakan tumor
berkembang dengan pesat. Nekrosis atau perdarahan akut ke dalam rongga
peritoneum dapat menyebabkan kematian. Pada negara yang memiliki program
surveilans aktif, HCC cenderung diidentifikasi sedini mungkin. Ikterus dapat
terjadi karena gangguan pada saluran intrahepatik oleh penyakit hati yang
mendasarinya, sedangkan hematemesis disebabkan oleh adanya varises
oesophagus akibat hipertensi portal. Nyeri tulang terlihat pada 3-12% pasien,
namun pada beberapa pasien mungkin dapat tidak menunjukkan gejala yang
berarti (Jones & Baylin, 2011).
1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya pembesaran hati
(hepatomegali) dengan massa yang dapat di palpasi. Studi epidemiologi di Afrika
menunjukkan presentasi khas pada pasien muda berupa massa yang berkembang
pesat intra abdomen.Hepatomegali adalah tanda dari pemeriksaan fisik yang
paling umum, terjadi pada 50-90% pasien. Bruit ditemukan pada 6-25% pasien
sedangkan asites terjadi pada 30-60% pasien Bruit pada tumor atau friction rub
dapat terdengar melalui auskultasi ketika prosesnya telah meluas ke permukaan
hati. Splenomegali disebabkan karena hipertensi portal. Weight loss dan
penurunan massa otot disebabkan oleh tumor yang tumbuh dengan cepat. Demam
ditemukan pada 10-50% pasien, dari penyebab yang tidak jelas. Tanda-tanda
penyakit hati kronis dapat ditemukan, seperti ikteruss, dilatasi vena abdomen,
eritema palmar, ginekomastia, atrofi testis, dan edema perifer (Jones & Baylin,
2011).

20
HCC yang kecil dapat dideteksi lebih awal dengan pendekatan radiologi
yang akurasinya 70 95% dan melalui tumor marker alphafetoprotein yang
akurasinya 60 70%. (9) Kriteria diagnosa HCC menurut PPHI Perhimpunan
Peneliti Hati Indonesia), yaitu :
1. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri.
2. AFP (Alphafetoprotein) yang meningkat lebih dari 500 mg per ml.
3. Ultrasonography (USG), Nuclear Medicine, Computed Tomography Scann (CT
Scann), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Angiography, ataupun Positron
Emission Tomography (PET) yang menunjukkan adanya HCC.
4. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya HCC.
5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan HCC.
Diagnosa HCC didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria atau
hanya satu yaitu kriteria empat atau lima.

2. Pemeriksaan penunjang
a. Penanda Tumor
Alfa-fetoprotein (AFP) adalah protein serum normal yang disintesis oleh sel
hati fetal, sel yolk sac dan sedikit sekali oleh saluran gastrointestinal fetal.
Rentang normal AFP serum adalah 0-20 ng/ml. Kadar AFP meningkat pada 60% -
70% dari pasien HCC, dan kadar lebih dari 400 ng/ml adalah diagnostik atau
sangat sugestif untuk HCC. Nilai normal juga dapat ditemukan juga pada
kehamilan. Penanda tumor lain untuk HCC adalah des-gamma carboxy
prothrombin (DCP) atau PIVKA-2, yang kadarnya meningkat pada hingga 91%
dari pasien HCC, namun juga dapat meningkat pada defisiensi vitamin K,
hepatitis kronis aktif atau metastasis karsinoma. Ada beberapa lagi penanda HCC,
seperti AFP-L3 (suatu subfraksi AFP), alfa-L-fucosidase serum, dll, tetapi tidak
ada yang memiliki agregat sensitivitas dan spesifitas melebihi AFP, AFP-L3 dan
PIVKA-2 (Jones & Baylin, 2011).

21
b. Gambaran Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG hati merupakan alat skrining yang sangat baik. Dua
karakteristik kelainan vaskular berupa hipervaskularisasi massa tumor
(neovaskularisasi) dan trombosis oleh invasi tumor. (1) Perkembangan yang cepat
dari gray-scale ultrasonografi menjadikan gambaran parenkim hati lebih jelas.
Keuntungan hal ini menyebabkan kualitas struktur echo jaringan hati lebih mudah
dipelajari sehingga identifikasi lesi-lesi lebih jelas, baik merupakan lesi lokal
maupun kelainan parenkim difus. (7) Pada hepatoma/karsinoma hepatoselular
sering diketemukan adanya hepar yang membesar, permukaan yang bergelombang
dan lesi-lesi fokal intrahepatik dengan struktur eko yang berbeda dengan
parenkim hati normal (Jones & Baylin, 2011).

3.1.6 Tatalaksana
Tiga prinsip penting dalam terapi hepatoma adalah terapi dini efektif,
terapi gabungan, dan terapi berulang. Terapi dini efektif. Semakin dini diterapi,
semakin baik hasil terapi terhadap rumor. Untuk hepatoma kecil pasca reseksi 5
tahun survivalnya adalah 50-60%, sedangkan hepatoma besar hanya sekitar 20%.
Terapi efektif menuntut sedapat mungkin memilih cara terapi terbaik sebagai
terapi pertama. Terapi gabungan: Dewasa ini reseksi bedah terbaik pun belum
dapat mencapai hasil yang memuaskan, berbagai metode terapi hepatoma
memiliki kelebihan masing-masing, harus digunakan secara fleksibel sesuai
kondisi setiap pasien, dipadukan untuk saling mengisi kekurangan, agar
semaksimal mungkin membasmi dan mengendalikan tumor, tapi juga semaksimal
mungkin mempertahankan fisik, memperpanjang survival. Terapi berulang.
Terapi satu kali terhadap hepatoma sering kali tidak mencapai hasil ideal, sering
diperlukan terapi ulangan sampai berkali-kali. Misalnya berkali-kali dilakukan
kemoembolisasi perkutan arteri hepatika, injeksi alkohol absolut intratumor
berulang kali, reseksi ulangan pada rekurensi pasca operasi dll (Herzog &
Vincent, 2011).
Terapi HCC berpusat pada eliminasi jaringan kanker dan pencegahan
pertumbuhan sel kanker melalui pembedahan maupun kemoterapi. Aplikasi terapi

22
HCC bergantung pada stadiumnya. Pada stadium satu hingga stadium dua,
dilakukan operasi pengangkatan massa, ablasi lokal, dan transplantasi hati
sedangkan pada stadium tiga hingga empat, terapi yang diberikan ialah
kemoterapi regional maupun sistemik serta terapi paliatif (Jones & Baylin, 2008;
Lu et al., 2008).

3.1.7Prognosis
Hepatoma primer jika tidak diterapi, survival rata-rata alamiah adalah 4,3
bulan. Kausa kematian umumnya adalah kegagalan sistemik, perdarahan saluran
cerna atas, koma hepatik dan ruptur hati. Faktor yang mempengaruhi prognosis
terutama adalah ukuran dan jumlah tumor, ada tidaknya trombus kanker dan
kapsul, derajat sirosis yang menyertai, metode terapi, dll. Data 1465 kasus pasca
reseksi radikal hepatoma dari Institut Riset Hepatoma Univ. Fudan di Shanghai
menunjukkan survival 5 tahun 51,2%. Dari 1389 kasus hepatoma di RS Kanker
Universitas Zhongshan di Guangzhou, pasca hepatektomi survival 5 tahun 37,6%,
untuk hepatoma <5cm survival 57,3%- Tidak sedikit kasus yang pasca reseksi
bertahan hidup lama.Prognosis dari hepatoma lebih dipengaruhi oleh:
1. stadium tumor pada saat diagnosis
2. status kesehatan pasien

23
3. fungsi sintesis hati
4. manfaat terapi
(Jones & Baylin, 2008)

3.2 Asites
Komplikasi yang paling umum pada gagal hati kronis adalah asites.
Pembentukan asites pada pasien sirosis disebabkan oleh rangkaian kejadian
patofisiologis yang kompleks yang melibatkan hipertensi portal dan disfungsi
vaskular progresif. Karena pembentukan asites merupakan ciri khas dalam sejarah
alami kegagalan hati kronis, hal ini diprediksi menimbulkan hasil yang buruk
dengan angka kematian 50% dalam waktu 3 tahun. Pasien dengan asites berisiko
tinggi mengalami komplikasi seperti peritonitis bakteri spontan, hiponatremia dan
kerusakan ginjal progresif. Pengelolaan asites yang cukup dan komplikasinya
memperbaiki dan meningkatkan kelangsungan hidup. Makalah ini merangkum
patofisiologi di balik asites sirosis dan pendekatan diagnostik, serta menguraikan
pilihan pengobatan saat ini. Meskipun manajemen medis asites sudah maju namun
transplantasi hati tetap merupakan perawatanterbaik dan rujukan segera ke unit
hepatologi harus selalu dipertimbangkan [Angeli et al. 2014].

3.2.1 Definisi
Asites didefinisikan sebagai akumulasi lebih dari 25 ml cairan di rongga
peritoneum. Di negara-negara Barat, perkembangan asites ada pada 75% kasus
karena sirosis yang mendasari namun etiologi ascites yang kurang umum lainnya
seperti keganasan, gagal jantung kongestif, sindrom Budd Chiari, tuberkulosis dan
pankreatitis harus dipertimbangkan - terutama jika asites adalah gejala pertama
[Asosiasi Eropa untuk Studi tentang Lever, 2010],
Pembentukan Ascites sering terjadi pada pasien sirosis yang mengalami
gagal hati akut-on-kronis (ACLF), yang memburuknya fungsi hati akut karena
peristiwa yang memicu, mis. Infeksi, perdarahan gastrointestinal bagian atas,
gangguan elektrolit. Hipertensi portal merupakan prasyarat untuk terjadinya asites
sirosis [Ripoll et al. 2007]. Kelangsungan hidup sirosis terutama tergantung pada

24
tingkat hipertensi portal, tingkat ketidakcukupan hati dan tingkat disfungsi
peredaran darah [Angeli et al. 2014].
Prinsip di balik perawatan asites meliputi diuretik, paracentesis,
penyisipan pirau portosystemic transjugular intrahepatik (TIPS), serta penanganan
komplikasi pada asites seperti peritonitis bakteri spontan (SBP). Karena asites
menandakan kemunduran fungsi ginjal dan peredaran darah, pasien ini juga
berisiko tinggi terkena hiponatremia dan hepatorenal syndrome (HRS) yang berat,
yang bersama-sama dengan SBP merupakan tantangan klinis dan pengobatan
yang signifikan. HRS dan SBP lebih memperparah risiko hasil yang buruk [Gines
dkk. 1993; Garcia-Tsao, 2001; Gines and Schrier, 2009].

3.2.2 Etiologi
Asites cenderung terjadi pada penyakit menahun (kronik). Paling sering
terjadi pada sirosis, terutama yang diisebabkan oleh alkoholisme. Asites juga bisa
terjadi pada penyakit non-hati, seperti kanker, gagal jantung, gagal ginjal dan
tuberkulosis. Pada penderita penyakit hati, cairan merembes dari permukaan hati
dan usus. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut7:
hipertensi portal
menurunnya kemampuan pembuluh darah untuk menahan cairan
tertahannya cairan oleh ginjal
perubahan dalam berbagai hormon dan bahan kimia yang mengatur cairan
tubuh.
Penyebab asites:
1. Kelainan di hati :
Sirosis, terutama yang disebabkan oleh alkoholisme
Hepatitis alkoholik tanpa sirosis
Hepatitis menahun
Penyumbatan vena hepatik
2. Kelainan diluar hati :
Gagal jantung
Gagal ginjal, terutama sindroma nefrotik

25
Perikarditis konstriktiva
Karsinomatosis, dimana kanker menyebar ke rongga perut
Berkurangnya aktivitas tiroid
Peradangan pancreas
[Angeli et al. 2014]

3.2.3Patofisiologi
Patofisiologi di balik pembentukan asites bersifat kompleks namun ada
tiga faktor kunci yang terlibat: hipertensi portal; vasodilatasi pembuluh darah
splanknic dan perifer; serta aktivasi neurohumoral. Asites terutama berkembang
karena gangguan ekskresi natrium ginjal yang menyebabkan keseimbangan
natrium positif dan oleh karena itu terjadi retensi air, menyebabkan perluasan
volume cairan ekstraselular. Penurunan ekskresi natrium terutama disebabkan
oleh vasodilatasi arteri, yang memicu respons neurohumoral seperti sistem renin-
angiotensin-aldosteron (RAAS) dan sistem saraf simpatis (SNS) - respons yang
menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan retensi natrium, dan karenanya
perkembangan asites dan edema [Bernardi dan Caraceni, 2001; Gentilini dkk.
2002].
1. Peran hipertensi portal
Asites hanya berkembang jika ada hipertensi portal moderat. Dengan
demikian, asites jarang berkembang jika gradien tekanan post sinusoidal di bawah
12 mmHg. Hipertensi portal menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dalam
sinusoid hepatik, menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga peritoneal.
Dengan demikian, jumlah cairan asites yang dihasilkan ditentukan oleh besarnya
tekanan hidrostatik. Dinamika onkotik (konsentrasi albumin plasma) hanya
memainkan peran kecil, jika ada peran mungkin pada kecepatan pembentukan
asites [Henriksen et al. 2001; Moore dkk. 2006].
Hipertensi portal terjadi sebagai konsekuensi perubahan struktural di
dalam hati. Tingkat hipertensi portal ditentukan oleh tingkat resistensi vaskular
hepatik dan aliran masuk vena portal. Resistensi pembuluh darah hepatik
ditentukan oleh kedua perubahan struktural seperti, misalnya nodul fibrosis dan

26
regenerasi dan perubahan dinamis. Dinamika hemodinamika hati berhubungan
sebagian dengan sifat kontraktil dari sel stellata hepatik dan myofibroblast. Sel-sel
ini secara dinamis dapat mengatur tonus sinusoidal, dan akhirnya mengatur juga
tekanan dan aliran portal. Selain itu, data menunjukkan bahwa produksi oksida
oksida (NO) yang tidak baik dan peredaran vasokonstriktor endogen seperti
endothelin-1, angiotensin-II, katekolamin dan leukotrien dapat memperburuk
resistensi vaskular hati lebih lanjut [Bosch et al. 2003; Mller dan Henriksen,
2005; Iwakiri dan Groszmann, 2006].
2. Peran Vasodilatasi Arteri dan Respon Neurohumoral
Salah satu peristiwa penting dalam patogenesis disfungsi ginjal dan retensi
natrium adalah perkembangan vasodilatasi arteri. Namun, hubungan patofisiologis
antara hipertensi portal dan vasodilatasi arteri masih belum terjawab sepenuhnya.
Overproduksi vasodilator karena tekanan pada sirkulasi splanchnic, sinyal
kontraktil yang kurang baik pada sel otot polos sebagai respons terhadap stimulasi
vasokonstriktor (juga disebut 'hipotensi vasokonstriksi') dan sinyal neurohumoral
dari hati ke otak saat ini adalah teori yang dominan. Vasodilatasi sistemik dan
splanchnic yang terlihat pada pasien sirosis menyebabkan penurunan tahanan
vaskular sistemik, penurunan volume darah efektif, dan karenanya menurunkan
tekanan darah arteri. Untuk mempertahankan tekanan darah selama vasodilatasi
sistemik, aktivasi sistem retensi natrium dan vasokonstriksi yang efektif seperti
RAAS dan SNS dimulai. Pelepasan nonosmotik vasopressin juga dimulai
[Bernardi dan Caraceni, 2001; Mller dan Henriksen, 2005].

27
Mekanisme yang disebutkan di atas menyebabkan perubahan
hemodinamik dan menghasilkan sirkulasi hiperdinamik dengan peningkatan
denyut jantung dan peningkatan curah jantung.

3.2.4 Diagnosis
Kecurigaan asites klinis harus dikonfirmasi dengan ultrasound perut.
Selanjutnya, evaluasi awal pasien dengan asites harus mencakup riwayat medis,
pemeriksaan fisik, dan penilaian laboratorium termasuk elektrolit dan biokimia
ginjal dan hati. Berdasarkan temuan ini penyebab asites yang mendasari seringkali
terlihat jelas. Namun, jika ini adalah pertama kalinya pasien hadir dengan asites,
analisis cairan asites harus dilakukan dengan maksud untuk menyingkirkan
penyebab lain pembentukan asites selain sirosis dan meningkirkan komplikasi
seperti SBP [Runyon,2012].

28
Gambar 1. Diferesial Diagnosis Asites

Pemeriksaan fisik shifting dullness memiliki sensitivitas 83% dan


spesifisitas 56% untuk medeteksi asites. Untuk dapat menemukan hasil yang
positif minimal harus terdapat 150ml cairan asites Untuk itu diperlukan
pemeriksaan USG apabila terdapat riwayat dan pemeriksaan fisik yang
mendukung. Derajat Asites dapat ditentukan secara semikuantitatif sebagai
berikut :
Tingkatan 1: bila terdeteksi dengan pemeriksaan fisik yang sangat teliti.
Tingkatan 2: mudah diketahui dengan pemeriksaan fisik biasa tetapi dalam
jumlah cairan yang minimal.
Tingkatan 3: dapat dilihat tanpa pemeriksaan fisik khusus akan tetapi
permukaan abdomen tidak tegang.
Tingkatan 4: asites permagna.

Gambar 1. Pemeriksaan shifting dullness untuk memeriksa asites

29
Praktik klinis meliputi penentuan serum albumin ascites gradient (SAAG)
yang dapat membantu membedakan antara asites yang berasal dari hipertensi
portal dan asites karena penyebab lainnya. Jika SAAG adalah 1,1 g / dl
merupaka asites karena hipertensi portal, dengan akurasi 97%.Pasien yang
memiliki hipertensi portal ditambah penyebab kedua untuk pembentukan asites
juga memiliki SAAG lebih besar dari atau sama dengan 1.1g / dL. SAAG tetap
akurat meskipun sudah dilakukan infus cairan dan penggunaan diuretik.Secara
umum, analisis cairan asites harus selalu dilakukan baik dengan diagnosa
paracentesis atau, jika tenseasites hadir, dikombinasikan dengan paracentesis
volume terapeutik besar (Large Volume Paracentesis/ LVP). Semua pasien harus
diskrining untuk mengetahui SBP dan pemeriksaan cairan asites setidaknya harus
mencakup jumlah sel neutrofil, konsentrasi albumin / protein dan inokulasi cairan
asites dalam botol kultur darah [Gines et al. 2010].
Jumlah sel neutrofil asites 250 (0,25 109 / l) adalah diagnostik SBP dan
ditemukan pada sekitar 15% dari semua pasien dengan asites sirosis yang dirawat
di rumah sakit [Caly dan Strauss, 1993; Tandon dan Garcia-Tsao, 2008].
Konsentrasi albumin ascitic <15 g / l pada pasien tanpa episode SBP sebelumnya
dikaitkan dengan peningkatan risiko pengembangan SBP dan pasien ini harus
menerima antibiotik profilaksis untuk mengurangi risiko episode SBP [Rimola et
al. 2000; Asosiasi Eropa untuk Studi Hati, 2010].
Jika kecurigaan klinis terhadap penyebab asites lain, pemeriksaan sitologi
(kecurigaan kanker), konsentrasi amilase asites dan darah (penyakit pankreas),
polymerase chain reaction (PCR) dan kultur untuk mycobacteria (tuberkulosis)
harus dilakukan.Jika asites yang terkait dengan keganasan dicurigai, hasil analisis
sitologis positif dari cairan asites dapat diperoleh pada pasien dengan
karsinomatosis peritoneal, namun tidak pada orang dengan metastasis hati atau
hepatoma [Runyon et al. 1988].

30
Gambar 1. Pemeriksaan Cairan Asites

3.2.5 Tatalaksana
1.Pengobatan Asites Tanpa Komplikasi
Tidak ada bukti untuk pengobatan pasien dengan asites ringan (grade 1).
Pasien dengan asites grade 2 seringkali tidak harus rawat inap dan dapat diobati di
klinik rawat jalan [Asosiasi Eropa untuk Studi Hati, 2010]. Perlakuan asites dan
keseluruhan strategi pengobatan digambarkan pada Tabel 1.

Grade Definition Treatment

Mild ascites, only detectable by No treatment


1
ultrasound

Moderate ascites evident by Restriction of sodium intake and


2 moderate symmetrical diuretics
distention of the abdomen

Large ascites with marked Large volume paracentesis followed by


3 abdominal distension restriction of sodium intake and diuretics
(unless refractory ascites)

a. Batasan Garam Diet, Pembatasan Asupan Cairan


Umumnya pasien disarankan untuk mengikuti diet asupan natrium rendah
untuk menciptakan keseimbangan natrium negatif dan karenanya meningkatkan
mobilisasi retensi cairan. Dari sudut pandang klinis, pembatasan asupan natrium
harian sampai 80-120 mmol (sesuai dengan 4,6-6,9 gram garam/ hari)
dimungkinkan melalui 'tidak menambahkan garam meja' dan menghindari bahan

31
makanan cepat saji . Batasan garam yang lebih ketat sering tidak dapat ditolerir
pada pasien dan juga dapat membahayakan status gizi buruk yang sering terlihat
pada pasien ini.
Ekskresi natrium dua puluh empat jam dapat diukur untuk menilai
kecukupan kehilangan cairan dan pembatasan sodium diet. Kelengkapan koleksi
24 jam diperkirakan dengan pengukuran kreatinin kencing 24 jam untuk
mengantisipasi berapa kehilangan massa tubuh dalam pengaturan sirosis, ekskresi
kreatinin harian harus melebihi 15 mg/ kg berat badan pada pria dan 10 mg/ kg
berat badan pada wanita. Tujuan pengobatan adalah untuk meningkatkan ekskresi
natrium urin harian dengan nilai di atas 78 mmol per hari, sehingga bersamaan
ekskresi natrium setiap hari harus melebihi asupan natrium harian yang
diperbolehkan. Konsentrasi natrium urin secara acak tidak berguna karena
terdapat banyak variabel ekskresi natrium dan volume urin total sepanjang hari,
namun rasio natrium / potasium spot "acak" berkorelasi dengan ekskresi natrium
natrium 24 jam, dengan rasio yang lebih tinggi menunjukkan ekskresi urin yang
lebih besar. Dengan demikian, rasio yang lebih besar dari satu merupakan hal
yang diinginkan. Pasien yang mengeluarkan cukup banyak sodium urin (natrium
kencing 24 jam lebih besar dari 78 mmol per hari atau rasio natrium / potassium
urin spot lebih besar dari satu) namun tidak menurun berat badannyamungkin
masih mengkonsumsi lebih dari 2000 mg sodium setiap hari. Hal ini perlu
diedukasikan dan konseling kepatuhan pada pasien [Runyon, 2012]
Pembatasan asupan cairan pada umumnya dianggap sebagai pengobatan
yang sudah usang pada pasien dengan asites yang tidak rumit. Namun,
pembatasan air pada pasien asites dan hiponatremia telah menjadi praktik klinis
standar di banyak pusat, walaupun hal ini tetap menjadi kontroversi apakah
sebaiknya dilakukan atau tidak. Asupan cairan jarang dapat dibatasi pada <1 l /
hari, yaitu jumlah aman yang tidak cukup menyebabkan kehilangan cairan [Gines
dkk. 2008] dan selanjutnya khasiat pembatasan air mungkin bergantung pada
tingkat hiponatremia [Moore dan Aithal, 2006]. Dengan demikian, diperlukan
lebih banyak penelitian untuk menemukan pendekatan terbaik dan, sampai saat
itu, pembatasan air hanya boleh digunakan pada beberapa pasien saja.

32
Tingkat hiponatremia dimana pengobatan diuretik harus dihentikan adalah
kontroversial. Secara umum disepakati bahwa diuretik harus dihentikan sementara
bila natrium serum <120-125 mmol. Konsentrasi natrium serum rendah adalah
prediktor independen mortalitas pada pasien dengan sirosis. Pembatasan cairan
tidak diperlukan kecuali natrium serum kurang dari 125 mmol / L. (Kelas III,
Tingkat C). Mengingat bahwa total sodium tubuh biasanya tidak menurun pada
pasien asites dan hiponatremia (pengenceran hiponatremia = hypervolemic
hyponatremia) maka dalam hal ini dilakukan pembatasan cairan dianjurkan. Infus
albumin dapat dianggap sebagai pengobatan untuk hiponatremia pada sirosis.
Hiponatremia hipervolemik harus dibedakan dari hiponatremia hipovolemik,
kondisi sirosis yang kurang umum dimana hipovolemia diakibatkan oleh
kehilangan natrium yang berkepanjangan. Dalam kondisi ini, jika hiponatremia
simtomatik, koreksi lambat diindikasikan. Tingkat kenaikan natrium yang
diinginkan 6-8 mEq / l dalam 24 jam, 12-14 mEq / l dalam 48 jam, dan 14-16
mEq / l dalam 72 jam. Koreksi natrium serum yang lebih cepat tidak dianjurkan,
karena risiko komplikasi berat, terutama mielinolisis pontin l [Runyon, 2012].
b. Diuretik
Diuretik tetap merupakan perawatan standar asites sirosis. Efek diuretik
harus dinilai mulai awal pengobatan dengan pengendalian berat badan harian dan
pemantauan ketat kreatinin dan elektrolit untuk menghindari gangguan elektrolit
yang serius dan untuk mengurangi risiko gagal ginjal diuretik[Runyon, 2012].
Perlakuan diuretik harus selalu dimulai dengan pemberian spironolakton,
antagonis reseptor aldosteron. Spironolakton menangkal efek kadar aldosteron
yang tinggi bersirkulasi, yang memfasilitasi peningkatan reabsorpsi natrium di
tubulus distal ginjal. Dengan demikian, spironolakton mempercepat natriuresis
dan lebih efektif daripada diuretik loop pada pasien sirosis. Dosis awal harus
dimulai pada 100 mg/ hari secara bertahap meningkat 100 mg/ minggu sampai
natriuresis yang memadai tercapai. Efek spironolakton terlihat setelah 3-5 hari
pengobatan dan dosis maksimum spironolakton adalah 400 mg / hari [Runyon,
2012].

33
Pasien dengan episode pertama asites kelas 2 pada awalnya hanya akan
diobati dengan antagonis aldosteron. Namun, seringkali perlu menambahkan
diuretik loop (misalnya furosemid) untuk melawan efek hemat
kaliumspironolakton yang mengakibatkan hiperkalemia.Juga, jika terjadi respons
yang tidak memadai (didefinisikan dengan pengurangan berat badan <2 kg/
minggu) menggunakan spironolakton saja, diuretik loop harus ditambahkan secara
bertahap setiap 2-3 hari sampai maksimum 160 mg / hari [Santos et al. 2003;
Bernardi, 2010].
Terdapat beberapa cara lain pemberian diuretik. Cara pertama ('perawatan
diuretik sekuensial') terdiri dari pemberian peningkatan dosis spironolakton. Jika
respon terhadap 200 mg spironolakton tidak mencukupi dalam 2 minggu pertama,
furosemid ditambahkan pada dosis awal 20-40 mg / hari. Jika perlu, dosis
spironolakton dapat ditingkatkan secara bertahap sampai maksimum 400 mg /
hari, dan dosis furosemid dapat ditingkatkan hingga maksimum 160 mg / hari.
Cara kedua ('pengobatan diuretik gabungan') melibatkan pemberian secara
simultan antagonis aldosteron dan diuretik loop dari awal pengobatan, dan dosis
kedua diuretik dapat ditingkatkan jika tidak ada respons yang tercapai. Skema
yang ditetapkan untuk terapi kombinasi awal adalah 100 mg spironolakton dan 40
mg furosemid per hari, diberikan di pagi hari. Jika dosis ini tidak mencukupi,
peningkatan bertahap, dengan rasio spironolakton: furosemid konstan (misalnya
200 mg spironolakton: 80 mg furosemid). Rasio kurang dari 100 mg: 40 mg
Spironolakton dan furosemid dapat digunakan untuk pasien dengan penyakit
ginjal parenkim dengan kekhawatiran akan hiperkalemia. Dalam sebuah studi oleh
Angeli dan rekannya [Angeli dkk. 2010], efek samping (38% versus 20%; p
<0,05), khususnya hiperkalemia (18% versus 4%; p <0,05), lebih sering terjadi
pada pasien yang mendapat terapi dengan cara pertama, dan persentase pasien
yang asitesnya terpecahkan tanpa harus mengubah dosisefektif diuretik lebih
banyak menggunakan cara kedua yaitu dengan kombinasi diuretik (56%
berbanding 76%; p <0,05). Kombinasi pembatasan natrium, spironolakton, dan
furosemid adalah terapi yang cukup untuk asites pada 90% pasien dengan sirosis
hati [Becker, 2011].

34
Pada pasien asites berulang, penelitian telah menyimpulkan bahwa
kombinasi antagonis aldosteron dan diuretik loop adalah rejimen pilihan karena
terapi kombinasi meningkatkan efek natriuretik. Furosemide sendiri tidak
dianjurkan karena khasiat pada pasien sirosis rendah. Amilorida (10-40 mg per
hari) dapat menggantikan spironolakton pada pasien dengan ginekomastia.
Namun, Amilorida lebih mahal dan terbukti kurang efektif daripada metabolit
spironolakton aktifdalam percobaan terkontrol secara acak [Angeli et al. 2010;
Bernardi, 2010].
Untuk menghindari deplesi volume intravaskular dan risiko gangguan
ginjal, ensefalopati hati dan hiponatremia, dosis diuretik harus disesuaikan dengan
penurunan berat badan harian tidak lebih dari 500 g/ hari pada pasien tanpa edema
perifer dan 1 kg / hari pada pasien dengan edema perifer[ Gines dkk. 2004].
Setelah mobilisasi asites, dosis diuretik yang paling efektif harus diupayakan
untuk mengurangi risiko komplikasi akibat diuretik dan untuk meminimalkan efek
samping. Selanjutnya, pantang alkohol total adalah kunci menghindari
kambuhnya asites pada sirosis alkoholik. Komplikasi terapi diuretik meliputi
ensefalopati hati, gagal ginjal, ginekomastia, gangguan elektrolit seperti
hiponatremia dan hipokalemia atau hiperkalemia, dan kram otot. Komplikasi
terapi diuretik paling sering terjadi pada beberapa minggu pertama terapi.
Khususnya, hiponatremia, yang disebabkan oleh gangguan ekskresi air bebas,
sendiri mengurangi efek diuretik loop [Santos et al. 2003].
Pasien dengan asites yang tidak dapat dimobilisasi meskipun perawatan
diuretik intensif dan diet pembatasan natrium disebut 'resisten diuretik' (diuretic-
resistant ascites). Kira-kira, 10% menjadi refrakter terhadap pengobatan diuretik
dan modalitas pengobatan lainnya harus dipertimbangkan [Moore dan Aithal,
2006]. Diuretic-intractable ascites ditandai dengan komplikasi yang diinduksi
diuretik seperti ensefalopati dan hiponatremia yang menghalangi penggunaan
dosis diuretik yang efektif. Lihat Tabel 2 untuk kriteria definisi dan diagnostik
untuk diuretic-resistant ascites dan Diuretic-intractable ascites.[Salerno et al.
2010].

35
Ascites that cannot be mobilized or the early recurrence of
Diuretic-resistant
which cannot be prevented because of lack of response to
ascites
sodium restriction and diuretic treatment.
Ascites that cannot be mobilized or the early recurrence of
Diuretic- which cannot be prevented because of the development of
intractable ascites diuretic-induced complications that preclude the use of an
effective diuretic dosage.
Fundamentals
1. Treatment Patients must be on intensive diuretic therapy (spironolactone
duration 400 mg/day and furosemide 160 mg/day) for at least 1 week
and on a sodium-restricted diet of <90 mmol/day.
2.Lack of Mean weight loss of <0.8 kg over 4 days and urinary sodium
response output less than the sodium intake.
3.Early ascites Reappearance of grade 2 or grade 3 ascites within 4 weeks of
recurrence initial mobilization.
4.Diuretic-induced Diuretic-induced hepatic encephalopathy: the development of
complications encephalopathy in the absence of any other precipitating factor
Diuretic-induced renal impairment: increase in serum
creatinine by >100% to a value of >2 mg/dl (177 mol/l) in
patients with ascites responding to treatment
Diuretic-induced hyponatremia: decrease of serum sodium by
>10 mmol/l to a serum sodium level of <125 mmol/l
Diuretic-induced hypo- or hyperkalemia: change in serum
potassium to <3 mmol/l or >6 mmol/l despite appropriate
measures

c. Terapi Parasintesis
Pada pasien dengan asites kelas 3 atau asites refrakter, LVP dengan cepat
menghilangkan asites yang tegang dan merupakan pengobatan pilihan. Seorang
pasien dengan ascites tegang (tense ascites) terlihat pada Gambar 2. LVP harus

36
selesai dalam satu sesi, dengan jarum sebaiknya dimasukkan ke dalam fosa iliaka
kiri di bawah kondisi steril. LVP bisa dilakukan di klinik rawat jalan [Gines et al.
2010].

Gambar 2. Tense Ascites


Beberapa studi klinis terkontrol telah menunjukkan bahwa LVP dengan
substitusi albumin cepat, aman, dan efektif. Secara umum LVP adalah prosedur
yang berisiko rendah dan komplikasi lokal seperti perdarahan (walaupun
koagulopati sering terlihat) atau perforasi usus jarang [Pache dan Bilodeau, 2005].
Coagulopathy bukan merupakan kontraindikasi untuk LVP dan tidak ada data
yang mendukung penggunaan plasma beku dan platelet prophylactic sebelum atau
selama LVP. Paracentesis dianggap sebagai prosedur yang aman bahkan pada
pasien dengan waktu prothrombin yang tidak normal, dengan tingkat komplikasi
keseluruhan tidak melebihi 1%. Komplikasi yang lebih serius, seperti perforasi
usus atau pendarahan ke rongga perut, terjadi pada kurang dari 1 dari 1000
paracenteses. Data yang mendukung nilai cutoff untuk parameter koagulasi tidak
tersedia; Penggunaan profilaksis segar dari plasma segar atau trombosit sebelum
paracentesis oleh karena itu tidak dianjurkan, namun jika trombositopenia parah
(jumlah trombosit 40.000 / l), kebanyakan klinisi akan memberikan trombosit
untuk mengurangi risiko pendarahan.LVP harus dihindari apabila terdapat
koagulasi intravaskular diseminata atau tanda hiperfibrinolisis. Dalam sebuah

37
penelitian terhadap 1.100 kasus LVP tidak ada komplikasi hemoragik meskipun a)
tidak dilakukan transfusi profilaksis, b) jumlah trombosit serendah 19.000 sel/
mm3(19 x 106/ L) (54% <50.000) dan c) rasio normalisasi internasional untuk
waktu protrombin setinggi 8,7 (75%> 1,5 dan 26,5%> 2,0) [Gines et al. 2010].
Ada beberapa indikasi yang berlaku umum untuk paracentesis perut :
Evaluasi ascites onset baru.
Pengujian cairan asites pada pasien dengan ascites yang sudah ada sebelumnya
yang dirawat di rumah sakit, terlepas dari alasan untuk masuk.
Evaluasi pasien dengan ascites yang memiliki tanda-tanda kerusakan klinis,
seperti demam, sakit perut / nyeri, ensefalopati, leukositosis perifer, penurunan
fungsi ginjal, atau asidosis metabolik.
Namun, ada beberapa kontraindikasi relatif terhadap paracentesis:
Pasien dengan klinis jelas disseminated intravascular coagulation dan mengalir
dari jarum suntik. Paracentesis dapat dilakukan sekali risiko perdarahan
berkurang dengan pemberian trombosit dan, dalam beberapa kasus, fresh frozen
plasma. Begitu juga pasien dengan hipoalbumin, harus mendapat transfusi
albumin terlebih dahulu.
Fibrinolisis primer (yang harus dicurigai pada pasien dengan besar, memar tiga
dimensi). Paracentesis dapat dilakukan sekali risiko perdarahan berkurang
dengan pengobatan .
Pasien dengan kelainan faal hemostasis memiliki risiko perdarahan yang lebih
tinggi sehingga diperlukan pertimbangan yang baik.
Paracentesis tidak boleh dilakukan pada pasien dengan ileus besar dengan
distensi usus kecuali prosedur adalah untuk memastikan bahwa usus tidak
dimasukkan.
Lokasi paracentesis harus diubah pada pasien dengan luka bedah sehingga
jarum dimasukkan beberapa sentimeter dari bekas luka. Bekas luka bedah terkait
dengan penarikan dari usus ke dinding perut, meningkatkan risiko perforasi
usus.
Selain tersebut diatas, ada beberapa kontraindikasi absolut terhadap
paracentesis:

38
Pasien yang mengalami syok sehingga tekanan darahnya rendah. Parasintesis
berisiko menurunkan tekanan darah lebih rendah lagi sehingga bisa berakibat
kematian.
Paracentesis tidak boleh dilakukan pada pasien yang mengalami hematemesis
melena.
Ensefalopati hepatik.
[Fernandez-Esparrach dkk. 1997]
LVP> 5l harus selalu diikuti dengan pemberian albumin intravena untuk
mengurangi risiko terjadinya disfungsi peredaran darah pasca parasintesis
(Postparacentesis Circulatory Dysfunction/ PPCD) karena penurunan volume
darah arteri secara cepat. PPCD dapat menyebabkan munculnya kembali asites
secara cepat, gagal ginjal, dan HRS, hiponatremia dilatasi dan meningkatkan
risiko kematian. Untuk mencegah pengembangan PPCD, infus albumin 20%
direkomendasikan setelah parasintesis dengan dosis 8 g/ l asites yang dibuang
[Runyon, 2009; Asosiasi Eropa untuk Studi Hati, 2010]. Albumin umumnya lebih
disukai daripada ekspander plasma lainnya, karena lebih efektif bila asites asites
lebih dari 5l dikeluarkan [Gines dkk. 1996]. Namun, parasintesis tidak mengatasi
penyebab asites (reabsorbsi natrium dan air ginjal) dan asites akan kembali terjadi
pada 93% pasien jika pengobatan dengan diuretik tidak dilakukan kembali
[Fernandez-Esparrach dkk. 1997].
1. Posisi Pasien dan Lokasi Parasentesis
Prosedurnya biasanya dilakukan dengan pasien terlentang. Pedoman
praktik terbaru dari Asosiasi Amerika untuk Studi Penyakit Hati menyatakan
kuadran kiri bawah perut adalah lokasi yang disukai untuk paracentesis dan lokasi
penyisipan yang tepat harus terletak 2 jari (3 cm) diatas dan 2 jari (3 cm) medial
ke superior iliac spine anterior. [5] Beberapa ahli memilih garis tengah abdomen
di tengah antara pubis dan umbilikus, namun situs ini dianggap kurang disukai
pada pasien obesitas (karena peningkatan pada ketebalan dinding tengah) dan
pada pasien dengan asites volume rendah (kumpulan cairan yang lebih kecil di
garis tengah daripada di kuadran lateral). Kuadran kanan bawah mungkin
dipersulit bekas luka appendectomy. Perawatan ekstrem harus dilakukan untuk

39
menghindari arteri epigastrik inferior (Gambar 6), yang terletak di tengah antara
pubis dan superior iliac superior anterior dan berjalan cephalic di selubung rektus.
Selain itu, kehati-hatian diperlukan pada pasien teraba limpanya, karena bisa
pecah dengan pendekatan kuadran kiri bawah. Jika cairan asites sulit ditemukan
pada pemeriksaan fisik atau jika ada dilatasi usus yang signifikan, ultrasonografi
dapat digunakan untuk membantu menemukan kantong cairan dan
memvisualisasikan limpa dan struktur lainnya untuk memandu prosedur ini. Situs
paracentesis harus dipilih jauh dari bekas luka bedah abdomen atau di bawah
image guiding [Runyon,2012].

Gambar 1. Lokasi Parasentesis


2. Memilih Jarum untuk Penyisipan
Jarum lubang tunggal berukuran 1,0 atau 1,5 inci 21 atau 22 gauge (atau
jarum 3,5 inci 22 gauge untuk pasien obesitas) dapat digunakan untuk
paracentesis diagnostik, sedangkan set jarum dua lubang 15 atau 16 gauge dua
lubang dapat digunakan untuk terapi paracentesis yang melibatkan pemindahan
lebih dari 5 L asites untuk menghilangkan gejala sakit perut, rasa kenyang awal,
dan / atau dyspnea [Runyon,2012].
3. Teknik Preparasi dan Penyisipan
Situs harus dibersihkan dengan larutan yodium atau klorheksidin dan
kulitnya harus diberi anestesi dengan larutan lidokain 1% menggunakan jarum
ukuran 25 atau 27. Sarung tangan steril harus dipakai untuk menghindari
kontaminasi sampel. Setelah 3 sampai 5 mL lidokain digunakan untuk
menganestesi saluran jaringan lunak dengan menggunakan teknik Z-track (kulit
ditarik ke bawah dengan lapisan non-tangan dominan, sambil memasukkan jarum
menggunakan tangan lainnya, untuk mengurangi risiko kebocoran cairan asites.

40
Kulit tidak dilepaskan sampai jarum memasuki rongga peritoneum ditandai oleh
aspirasi cairan asites. Jarum paracentesis dimasukkan sepanjang jalur yang sama
dengan teknik Z-track. Pisau bedah dapat digunakan untuk membuat tanda kulit
untuk memudahkan masuknya jarum gauge yang lebih besar jika diperlukan
perawatan paracentesis terapeutik. Setelah masuk ke peritoneum, sudut dan
kedalaman jarum paracentesis harus distabilkan. Pengisapan yang diterapkan
harus berselang-seling daripada terus menerus untuk menghindari tertariknya
omentum atau usus ke ujung jarum dan menghalangi aliran. Jika aliran cairan
berhenti, pasien dapat dengan perlahan melakukan reposisi dalam usaha untuk
memindah lebih banyak cairan di dekat ujung jarum [Runyon,2012].

Gambar 1. Teknik paracentesis Z dilakukan untuk meminimalkan risiko kebocoran cairan


peritoneal.
Z Teknik terdiri dari menarik kulit ke bawah sekitar 2 sentimeter sebelum memasukkan
dan Memajukan jarum Setelah jarum dimasukkan, kulit dilepaskan. Konsepnya adalah Lubang
tertusuk di kulit, otot, dan facia tidak seluruhnya tumpang tindih jika teknik z digunakan.

d. Pengobatan Asites Refrakter


Asites refrakter didefinisikan sebagai 'asites yang tidak dapat dimobilisasi
atau kekambuhan awal yang (yaitu setelah LVP) tidak dapat dicegah secara
memuaskan dengan terapi medis' [Moore et al. 2003]. Pasien ini terutama dirawat
dengan LVP berulang. Setelah asites menjadi refrakter terhadap diuretik,
prognosis kelangsungan hidupnya jelek - sekitar 50% mati dalam 6 bulan ke
depan. Asites rekuren didefinisikan sebagai sering masuk ke rumah sakit (lebih

41
dari tiga kali penerimaan per tahun) karena reakumulasi asites [Arroyo,
2013].Data yang muncul menunjukkan bahwa penggunaan beta-blocker
nonselektif (pencegahan perdarahan varises esofagus) pada pasien sirosis dengan
asites refrakter dikaitkan dengan hasil yang buruk dan lebih berhati-hati mengenai
indikasi dan dosis pemberiabeta-blocker nonselektif yang mungkin harus
dipertimbangkan secara menyeluruh pada pasien ini [Krag dan Madsen,
2014].Penggunaan inhibitor enzim pengubah angiotensin dan penghambat
reseptor angiotensin seharusnya dihindari pada pasien dengan sirosis, karena
kekhawatiran gagal ginjal dan meningkatkan angka kematian bagi mereka yang
mengalami hipotensi. Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAIDS), termasuk aspirin,
juga harus dihindari karena risiko penurunan ekskresi natrium urin dan gagal
ginjal (azotemia). NSAID hanya dapat diberikan pada pasien dengan risiko
iskemia jantung yang melebihi risiko terjadinya azotemia atau perdarahan
gastrointestinal dapat mengkonsumsi aspirin dosis rendah [Serste,2010].
Paracentesis volume besar (LVP) adalah terapi lini pertama pada pasien
dengan asites refrakter. Pada pasien asites rekuren, penambahan vasopressor
(dengan atau tanpa albumin) atau albumin saja dapat dicoba, sebelum prosedur
invasif seperti parasentesis dicoba. Pada pasien dengan sirosis dan pengaktifan
sistem saraf simpatik, penambahan klonidin pada terapi diuretik menyebabkan
respons diuretik di awal yang ditandai dengan kebutuhan diuretik yang berkurang,
komplikasi yang lebih sedikit, dan insidensi masuk rumah sakit yang lebih rendah
akibat tense ascites berulang. Beberapa mekanisme dapat berkontribusi pada
peningkatan mobilisasi asites yang terkait dengan penggunaan klonidin. Clonidine
menginduksi pengurangan konsentrasi norepinephrine yang meningkatkan filtrasi
glomerulus pada pasien dengan asites refrakter. Dengan meningkatkan laju filtrasi
glomerulus dan menurunkan reabsorpsi natrium natrium, clonidine dapat
meningkatkan penyampaian natrium ke nefron distal, dimana spironolakton yang
awalnya kurang efektif menjadi mampu meningkatkan natriuresis dengan
mengganggu reabsorpsi di natrium distal. Selain itu, clonidine menurunkan
gradien portosystemic, terutama pada pasien dengan sirosis alkoholik
[Runyon,2012].

42
Pasien dengan asites refrakter secara umum harus dipertimbangkan untuk
transplantasi hati. Ini adalah pertanyaan yang sering diajukan apakah diuretik
harus diteruskan pada pasien dengan asites refrakter. Namun, penghentian atau
pengurangan diuretik harus dilakukan pada semua pasien yang memiliki
komplikasi akibat diuretik seperti gangguan elektrolit berat, kerusakan ginjal dan
perkembangan ensefalopati hepatik. Pada pasien lain pengukuran kadar natrium
urin akan menentukan apakah terapi diuretik harus dihentikan. Jika ekskresi
natrium urin dengan terapi diuretik di bawah 30 mmol / hari maka efek natriuretik
tidak cukup dan sebaiknya diuretik dihentikan saja [Moore et al. 2003].
Diagnosis Treatment
Recurrent ascites: frequent Oral clonidine 0.075 mg once to twice daily in
admission due to ascites alcoholic cirrhosis with systolic blood pressure
reaccumulation (more than 135 mm Hg 20 g albumin/week in addition
three per year) to sodium restriction and diuretic treatment
Oral midodrine 75 mg three times daily 20 g
albumin/week in addition to sodium restriction
and diuretic treatment
Intravenous terlipressin 2 mg daily 20 g
albumin /week in addition to sodium restriction
and diuretic treatment
Large-volume paracentesis in nonresponders to
clonidine or midodrine
TIPS in nonresponders to clonidine or
midodrine

Therapy refractory ascites: no Large-volume paracentesis together with the


response to dietary restriction administration of 8 g albumin/l ascitic fluid
and diuretic treatment removed
TIPS in nonresponders to large-volume
paracentesis

43
Pemberian oral midodrine dikaitkan dengan peningkatan signifikan pada
hemodinamik sistemik pada pasien nonazotemik dengan sirosis dan asites.
Akibatnya, perfusi ginjal dan ekskresi natrium ginjal juga membaik pada pasien
ini. Dalam percobaan terkontrol secara acak, midodrine dan kombinasi
pengobatan klonidin, midodrin, dan diuretik standar mengendalikan asites secara
signifikan lebih baik daripada pengobatan diuretik standar saja selama periode 1
bulan [Singh et al. 2012]. Dalam percobaan acak yang melibatkan pasien dengan
asites refrakter atau rekuren, midodrine oral dengan dosis 7,5 mg tiga kali sehari
ditunjukkan untuk meningkatkan volume urin, ekskresi natrium urin, tekanan
arterial rata-rata, dan kelangsungan hidup. Oleh karena itu, midodrine dapat
digunakan selain diuretik untuk meningkatkan tekanan darah dan mengubah asites
refrakter menjadi asites yang sensitif terhadap diuretik [Singh et al. 2012].
Dalam sebuah penelitian oleh Krag dan rekan-rekannya [Krag dkk. 2007]
dari 15 pasien dengan asites nonrefractory dan 8 dengan asites refrakter, 2 mg
terlipressin meningkatkan laju filtrasi glomerulus, pembersihan natrium,
pembersihan lithium, pembersihan osmolal, ekskresi natrium urin, dan penurunan
aktivitas renin norepinephrine dan plasma, dibandingkan dengan pemberian
plasebo. Semua parameter tetap tidak berubah setelah pemberian plasebo.
e.TIPS
Dalam kasus asites berulang dan kebutuhan LVP yang sering (> 3/ bulan),
pemasangan TIPS harus dipertimbangkan. TIPS berfungsi sebagai anastomosis
portocaval side-to-side antara sisi vena porta tekanan tinggi dan sisi vena hepatica
tekanan rendah, dan secara efektif mendekompresi sistem portal. Penurunan
hipertensi portal menyebabkan penurunan aktivasi RAAS sekunder, yang
menyebabkan ekskresi natrium meningkat [Rossle et al. 1998]. Gambar 3
menggambarkan TIPS.

44
Gambar 3.
Transjugular intrahepatic portosystemic shunt.
Shunt (stent) dimasukkan antara vena portae dan vena hepatik.
Dibandingkan dengan LVP berulang, TIPS dianggap sebagai pilihan
pengobatan yang lebih efektif untuk mengendalikan asites dan resolusi lengkap
asites terlihat pada hingga 75% pasien. Namun, efek TIPS terhadap kelangsungan
hidup pada pasien dengan asites refrakter belum jelas. Tiga meta-analisis
semuanya gagal menunjukkan perbedaan dalam kelangsungan hidup antara
kelompok TIPS dan LVP; satu metaanalisis menunjukkan kecenderungan
penurunan angka kematian pasien TIPS dan satu menunjukkan peningkatan
kelangsungan hidup kelompok TIPS.Selain itu, TIPS tidak dapat diterapkan pada
beberapa pasien dengan penyakit hati lanjut (Child-Pugh class C), gagal jantung
kongestif, dan / atau hipertensi pulmonal berat karena peningkatan risiko
kematian, atau pada pasien dengan trombosis portal atau anatomi yang tidak
memadai dari pembuluh darah portal dan hati. Mengingat penggunaan TIPS tidak
terkait dengan peningkatan kelangsungan hidup, serial paracentesis dengan
albumin intravena untuk penggantian volume dianggap sebagai pengobatan
pilihan untuk asites refrakter pada sirosis [Rossle dkk. 2000; Gines dkk. 2002].
Kematian pasca-TIPS diprediksi dari indikasi prosedur TIPS; pasien
dengan indikasi asites refrakter mengalami penurunan kelangsungan hidup
dibandingkan dengan kelompok pasien dengan perdarahan varises sebagai
indikasi utama prosedur TIPS. Pada umumnya risiko kematian pasca-TIPS
terutama diprediksi oleh kadar bilirubin yang tinggi (> 3 mg / dl) [D'Amico et al.

45
2005; Gerbes dkk. 2005] dan skor MELD yang tinggi (Model Endstage Liver
Disease) [Angemayr et al. 2003].
Tantanganserius pemasangan TIPS adalah meningkatnya risiko terjadinya
ensefalopati hepatik yang terjadi pada 25-30%, risiko meningkat seiring
bertambahnya usia. Episode ensefalopati hepatik sebelumnya merupakan
kontraindikasi penyisipan TIPS. TIPS dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
asites refrakter dengan> 3 LVPs / bulan, namun penilaian risiko yang tepat
sebelum TIPS sangat penting [Runyon,2012].

3.2.6 Prognosis
Perkembangan asites dikaitkan dengan mortalitas 50% dalam waktu dua
tahun diagnosis. Asites refrakter setelah terapi medis, 50% meninggal dalam
waktu enam bulan. Meskipun memperbaiki manajemen dan kualitas cairan, pasien
hidup sambil menunggu transplantasi hati, perawatan seperti terapi paracentesis
dan TIPS tidak memperbaiki masa bertahan hidup jangka panjang tanpa

46
transplantasi untuk pasien. paling karena itu, ketika setiap pasien dengan sirosis
berkembang menjadi asites, kesesuaian untuk transplantasi hati harus
dipertimbangkan. Perhatian harus diberikan untuk fungsi ginjal pada pasien
dengan asites pra-transplantasi, disfungsi ginjal menyebabkan morbiditas lebih
besar dan pemulihan tertunda setelah transplantasi hati dan berhubungan dengan
tinggal lama di ICU dan rumah sakit [Runyon,2012].

47
DAFTAR PUSTAKA

Angeli P., Fasolato S., Mazza E., Okolicsanyi L., Maresio G., Velo E., et al.
(2010) Combined versus sequential diuretic treatment of ascites in non-
azotaemic patients with cirrhosis: results of an open randomised clinical
trial. Gut59: 98104

Angemayr B., Cejna M., Karnel F., Gschwantler M., Koenig F., Pidlich J., et al.
(2003) Child-pugh versus MELD score in predicting survival in patients
undergoing transjugular intrahepatic portosystemic shunt. Gut52: 879885.

Arroyo V., Terra C., Gines P. (2007) Advances in the pathogenesis and treatment
of type-1 and type-2 hepatorenal syndrome. J Hepatol46: 935946.

Bernardi M., Caraceni P. (2001) Pathogenesis of ascites and hepatorenal


syndrome: altered haemodynamics and neurohumoral systems. In: Gerbes
A., Beuers U., Jngst D., Pape G., Sackmann M., Sauerbruch T., editors.
(eds), Falk Symposium 117. Hepatology 2000. Symposium in Honour of
Gustav Paumgartner, Munich, 68 May 2000 Dordrecht: Kluwer Academic
Publishers, pp. 185203.

Bosch J., Abraldes J., Groszmann R. (2003) Current management of portal


hypertension. J Hepatol38(Suppl. 1): S54S68.

Fernandez-Esparrach G., Guevara M., Sort P., Pardo A., Jimenez W., Gines P., et
al. (1997) Diuretic requirements after therapeutic paracentesis in non-
azotemic patients with cirrhosis. A Randomized double-blind trial of
spironolactone versus placebo. J Hepatol26: 614620.

Gines P., Uriz J., Calahorra B., Garcia-Tsao G., Kamath P., Del Arbol L., et al.
(2002) Transjugular intrahepatic portosystemic shunting versus paracentesis
plus albumin for refractory ascites in cirrhosis. Gastroenterology123: 1839
1847.

Gentilini P., Vizzutti F., Gentilini A., Zipoli M., Foschi M., Romanelli R. (2002)
Update on ascites and hepatorenal syndrome. Dig Liver Dis34: 592605.

Henriksen J., Siemssen O., Krintel J., Malchow-Mller A., Bendtsen F., Ring-
Larsen H. (2001) Dynamics of albumin in plasma and ascitic fluid in
patients with cirrhosis. J Hepatol34: 5360.

Iwakiri Y., Groszmann R. (2006) The hyperdynamic circulation of chronic liver


diseases: from the patient to the molecule. Hepatology43: S121S131.

48
Krag A., Madsen B. (2014) To block or not to block in advanced cirrhosis: that is
the question. Gut. DOI: 10.1136/gutjnl-2014-308424.

Moore K., Aithal G. (2006) Guidelines on the management of ascites in cirrhosis.


Gut55(Suppl. 6): vi1 vi12.

Pache I., Bilodeau M. (2005) Severe haemorrhage following abdominal


paracentesis for ascites in patients with liver disease. Aliment Pharmacol
Ther21: 525529.

Rimola A., Garcia-Tsao G., Navasa M., Piddock L., Planas R., Bernard B., et al.
(2000) Diagnosis, treatment and prophylaxis of spontaneous bacterial
peritonitis: a consensus document. International Ascites Club. J Hepatol32:
142153.

Runyon B., McHutchison J., Antillon M., Akriviadis E., Montano A. (1991)
Short-course versus long-course antibiotic treatment of spontaneous
bacterial peritonitis. A randomized controlled study of 100 patients.
Gastroenterology100: 17371742.

Runyon B. (2009) Management of adult patients with ascites due to cirrhosis: an


update. Hepatology49: 20872107.

Runyon BA; AASLD Practice Guidelines Committee. Management of adult


patients with ascites due to cirrhosis: update 2012.

Rossle M., Siegerstetter V., Huber M., Ochs A. (1998) The first decade of the
transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS): state of the art.
Liver18: 7389.

Salerno F., Guevara M., Bernarid M., Moreau R., Wong F., Angeli P., et al.
(2010) Refractory ascites: pathogenesis, definition and therapy of a severe
complication in patients with cirrhosis. Liver Int30: 937947.

Santos J., Planas R., Pardo A., Durandez R., Cabre E., Morillas R., et al. (2003)
Spironolactone alone or in combination with furosemide in the treatment of
moderate ascites in nonazotemic cirrhosis. A randomized comparative study
of efficacy and safety. J Hepatol 39: 187192.

Singh V, Dhungana SP, Singh B, et al. Midodrine in patients with cirrhosis and
refractory or recurrent ascites: a randomized pilot study. J Hepatol.
2012;56:348-54.

European Association for the Study of the Liver (2010) EASL clinical practice
guidelines on the management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis,
and hepatorenal syndrome in cirrhosis. J Hepatol53: 397417.

49

Anda mungkin juga menyukai