Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan bakteri


Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ terutama
paru-paru. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit
tuberkulosis, sedangkan 20% sisanya merupakan tuberkulosis ekstra paru.
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang terjadi pada organ selain paru,
seperti pleura, kelenjar limfe, abdomen, sistem urinarius, kulit, sendi, selaput otak
dan tulang. Pleuritis tuberkulosis (TB) merupakan salah satu manifestasi tersering
TB ekstraparu yang muncul dengan manifestasi berupa efusi pleura, yaitu
akumulasi cairan yang berlebihan di ruang pleura.
World Health Organization (WHO) menyatakan TB sebagai suatu masalah
kesehatan masyarakat yang sangat penting dan serius di seluruh dunia dan
merupakan penyakit yang menyebabkan kedaruratan global (Global Emergency).
Penyakit ini dapat menyerang siapa saja terutama orang dengan imunitas rendah,
usia tua, pengguna obat-obatan immunosuppressive dan orang dengan Human
immunodeficiency virus (HIV)
Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TB (8,8-12
juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara dengan
insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan.
Di Indonesia pada tahun 2017, ditemukan sebanyak 420.994 kasus (data per
17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TB tahun 2017 pada
laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan perempuan.
Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi
TB dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per 100.000
penduduk berumur 15 tahun ke atas dan prevalensi TB BTA positif sebesar 257
per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas. Hasil Survey Riskesdas 2013
menyatakan semakin bertambah usia, maka prevalensinya semakin tinggi, yang
disebabkan kemungkinan karena re-aktivasi TB dan durasi paparan TB lebih lama
dibandingkan kelompok umur di bawahnya.

1
Pleuritis TB merupakan salah satu jenis TB ekstra paru yang terjadi akibat
infeksi Mycobacterium tuberculosis pada pleura. Persentase pasien TB dengan
efusi pleura bervariasi di masing-masing negara. Data di Afrika selatan ditemukan
kurang lebih 20% dan di Amerika 3-5% yang mengalami pleuritis TB. Namun, di
Indonesia, data pleuritis TB masih belum tersedia. Pasien dengan infeksi HIV dan
TB memiliki insiden efusi pleura lebih tinggi. Tuberkulosis merupakan penyebab
efusi pleura masif kedua (12%) setelah keganasan (55%).
Tanpa tatalaksana, pleuritis TB biasanya membaik spontan, tetapi sering
juga berkembang menjadi TB aktif di kemudian hari dan menimbulkan
komplikasi berupa fibrosis paru dan penebalan pleura residual. Oleh sebab itu,
laporan kasus ini dibuat agar menambah pemahaman mengenai Efusi Pleura ec
TB agar dapat mendiagnosis secara dini, menatalaksana dengan segera dan
mampu mencegah terjadinya komplikasi.

2
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 IDENTIFIKASI
Nama : Tn. HM
Usia : 48 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Buruh
Alamat : Jl. Sentosa, Plaju, Palembang
No. RM : 110900

2.2 Anamnesis (Autoanamnesis tanggal 1 Desember 2019, Pukul 14.00


WIB)
Keluhan Utama
Sesak memberat sejak ± 1 hari SMRS

Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak ± 2 bulan SMRS, pasien mengeluh batuk berdahak, dahak
berwarna putih, konsistensi dahak kental dan jumlahnya kira-kira ¼ sendok
makan sekali batuk. Pasien juga mengeluhkan adanya sesak yang hilang
timbul dan tidak dipengaruhi aktivitas, cuaca dan emosi. Sesak tidak disertai
dengan suara mengi dan dirasakan berkurang dengan istirahat. Batuk
berdarah disangkal, nyeri dada disangkal, demam ada namun tidak terlalu
tinggi yang hilang timbul, menggigil disangkal, sering berkeringat pada
malam hari walau tanpa aktivitas ada, mual ada, muntah disangkal,
penurunan nafsu makan ada, penurunan berat badan disangkal, BAB dan
BAK biasa. Kaki bengkak (-). Riwayat trauma dada (-). Pasien lalu berobat
ke puskesmas terdekat diberikan 2 obat (pasien lupa nama obat) namun
tidak ada perubahan.

3
Sejak ±1 minggu SMRS pasien masih mengeluh sesak napas. Sesak
napas tidak dipengaruhi aktivitas, cuaca maupun emosi dan tanpa disertai
mengi. Sesak berkurang apabila pasien berbaring ke arah kiri. Keluhan
batuk berdahak masih ada, dahak berwarna putih, konsistensi kental dan
jumlahnya ± ½ sendok makan sekali batuk. Batuk darah disangkal, nyeri
dada disangkal, badan lemas ada, demam tidak terlalu tinggi yang hilang
timbul masih dirasakan, menggigil disangkal, sering berkeringat pada
malam hari walau tanpa aktivitas ada, mual ada, muntah disangkal,
penurunan nafsu makan ada, penurunan berat badan ada dalam 3 minggu ±
7 kg, BAB dan BAK biasa. Kaki bengkak tidak ada. Riwayat trauma dada
(-).
Sejak ±1 hari SMRS pasien mengeluh sesak dirasa semakin memberat
dan tidak hilang saat istirahat. Sesak berkurang apabila pasien berbaring ke
arah kiri. Keluhan batuk berdahak masih ada, dahak berwarna putih,
konsistensi kental dan jumlahnya ± 1 sendok makan sekali batuk. Pasien
kemudian berobat ke IGD RS Pertamina Plaju.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat darah tinggi disangkal
 Riwayat kencing manis disangkal
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat sakit ginjal disangkal
 Riwayat minum obat yang membuat BAK merah (obat paru/ paket)
selama 6 bulan disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan Sekitar


 Riwayat adik kandung pasien yang tinggal serumah ada keluhan batuk
lama >3 minggu dan sedang dalam pengobatan OAT 1 bulan

4
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan
Pasien merupakan buruh yang mempunyai 2 orang anak. Pasien
tinggal dengan istri, dua orang anaknya yang masih bersekolah dan adik
laki-laki pasien. Istri pasien sebagai ibu rumah tangga. Rata-rata
penghasilan pasien dalam satu bulan sebesar Rp.1.000.000,00. Pasien
merupakan perokok aktif sejak 15 tahun yang lalu dengan rata-rata 1
bungkus rokok perhari.

2.3 Pemeriksaan Fisik (tanggal 1 Desember 2019, pukul 14.00 WIB)


Keadaan Umum
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 128 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Napas : 38 x/menit
Suhu : 37,9°C
Berat badan : 52 kg
Tinggi badan : 169 cm
IMT : 18,24 (Underweight)

Keadaan Spesifik
Kepala Normocephali, warna rambut hitam, tidak mudah
dicabut, alopesia (-)
Mata Konjunctiva palbebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, RC (+/+)
Hidung Sekret (-)
Telinga Meatus akustikus eksternus lapang, nyeri tekan tragus
(-), nyeri tarik aurikula (-), sekret (-), pendengaran baik
Mulut Bibir sianosis (-), cheilitis (-)
Tenggorokan Arcus faring simetris, uvula di tengah, Tonsil T1-T1
tenang, dinding posterior faring hiperemis
Leher JVP (5-2) cm H20, pembesaran KGB (-)
Paru
Inspeksi Sela iga melebar (-), retraksi dinding dada (+), asimetris

5
statis dinamis (hemithorax kiri tertinggal dari kanan)
Palpasi Stem fremitus kiri melemah dibanding kanan
Perkusi Redup pada lapang paru kiri mulai ICS III ke bawah
Auskultasi Vesikuler kiri (+) menurun mulai dari ICS III ke bawah,
rhonki (+), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis tidak teraba, thrill (-), nyeri tekan (-)
Perkusi Batas jantung sulit dinilai
Auskultasi HR 128 x/menit, BJ I-II reguler, murmur (-), gallop(-)
Abdomen
Inspeksi Datar, venektasi (-), scar (-)
Palpasi Lemas, nyeri tekan (-), defans muskuler (-), ballotement
ginjal (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi Timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)
Auskultasi Bising usus normal
Ekstremitas Akral hangat (+/+), edema pretibial (-/-), krepitasi (-/-),
clubbing finger (-), palmar eritema (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium (1 Desember 2019)
PARAMETER HASIL RUJUKAN
HEMATOLOGI
Hb 13,9 g/dl 14-18
Leukosit 10900 5000-10000
Diff Count
Basofil 0,4 0-2
Eosinofil 1,3 0-7

6
Neutrofil 68,3 50-70
Limfosit 12,4 20-60
Monosit 17,6 2-15
Trombosit 455000 150000-450000
Ht 39% 40-54
GLUKOSA DARAH
GDS 115 mg/dl <200
FAAL GINJAL
Ureum 1,0 mg/dl 0,9-1,3
Kreatinin 28 mg/dl 15-39
Asam Urat 3,5 mg/dl 3,5-7,2
ELEKTROLIT
Na 136,4 mmol/l 136-145
K 4,16 mmol/l 3,5-5,1

Pemeriksaan Rontgen Thorax (1 Desember 2019)

Kesan: Efusi pleura kiri


Infiltrat di lapangan kedua paru dd/ TB Paru, Pneumonia

Diagnosis Banding
Efusi Pleura Sinistra ec TB + TB Paru
Efusi Pleura Sinistra ec Malignancy + TB Paru
Efusi Pleura Sinistra ec TB + Pneumonia
Efusi Pleura Sinistra ec Malignancy + Pneumonia

7
2.5 Diagnosis
Efusi Pleura Sinistra ec TB + TB Paru

2.6 Tatalaksana
Nonfarmakologis
O2 5 lpm (nasal canule)
Diet TKTP

Farmakologis
IVFD RL gtt xx x/m
Inj Ceftriaxone 2x1 gram
Po Acetylcysteine 3x200mg
Po Paracetamol 3x500 mg
Po Neurodex 1x1
Aspirasi Cairan Pleura : didapatkan ±100 cc

2.7 Rencana Pemeriksaan


Analisis dan BTA Cairan Pleura
Sitologi Cairan Pleura

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

2.9 Follow Up
Tanggal
02/12/19 S/ Sesak berkurang O2 5 lpm (nasal canule)
Diet TKTP

8
O/
Sens: compos mentis IVFD RL gtt xx x/m
TD: 120/70 mmHg Inj Ceftriaxone 2x1 gram
Nadi: 121 x/m (II)
RR: 37 x/m Po Acetylcysteine 3x200mg
Temp: 37,6 ºC Pro TB 4 1x3 tablet hari 1
Pulmo : (sebelum makan)
I : Retraksi dinding dada (+) di Po Paracetamol 500 mg
epigastrium, asimetris statis dinamis Po Neurodex 1x1
(hemithorax kiri tertinggal dari kanan)
P : Stem fremitus kiri melemah dibanding
kanan
P : Redup pada lapang paru kiri mulai ICS
IV ke bawah
A : Vesikuler kiri (+) menurun mulai dari
ICS IV ke bawah, rhonki (+), wheezing(-)

Rontgen Thorax PA

- Efusi pleura kiri


- Infiltrat di lapangan kedua paru dd/ TB
paru dd/ Pneumonia

BTA

- BTA 1  + 1
- BTA II  + 1

A/
Efusi Pleura Sinistra ec TB + TB Paru
dengan infeksi sekunder

P/
Aspirasi cairan pleura (ulang)  cairan
serousxanthocrome ± 800 cc
03/12/19 S/ Sesak berkurang, demam (-),batuk (-) IVFD RL gtt xx x/m
O/ Inj Ceftriaxone 2x1 gram
Sens: compos mentis (III)
TD: 110/70 mmHg Pro TB 4 1x3 tablet
Nadi: 92 x/m hari ke-2 (sebelum makan)
RR: 22 x/m Inj Dexamethasone 2x5 mg
Temp: 36,8 ºC
Pulmo : Rhonki (+) , wheezing (-)

A/
Efusi Pleura Sinistra ec TB + TB Paru
dengan infeksi sekunder
04/12/19 S/ Sesak berkurang Stopper

9
Pro TB 4 1x3 tablet
O/ hari ke-3 (sebelum makan)
Sens: compos mentis Inj Dexamethasone 2x5 mg
TD: 110/70 mmHg R/ Pulang
Nadi: 88 x/m
RR: 21 x/m
Temp: 36,4 ºC

A/
Efusi Pleura Sinistra ec TB + TB Paru
05/12/19 S/ Sesak (-) Pro TB 4 1x3 tablet
O/ hari ke-4 (sebelum makan)
Sens: compos mentis Boleh pulang
TD: 110/70 mmHg - Pro TB 4 1x3 tablet
Nadi: 88 x/m - Metilprednisolon 2x4 mg
RR: 21 x/m - Vit B komplek 1x1 tab
Temp: 36,4 ºC

A/
Efusi Pleura Sinistra ec TB + TB Paru

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Tuberkulosis
3.3.1 Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis.

3.3.2 Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, yaitu
kuman berbentuk batang lurus bewarna merah, tidak berspora dan tidak
berkapsul. Bakteri ini berukuran panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 -0,6
mikron. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lipid
cukup tinggi (60%). Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri
tersebut adalah polisakarida. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut
menyebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis bersifat tahan asam,
yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya
penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam dan tahan terhadap
trauma kimia dan fisik.
Mycobacterium tuberculosis ini tahan terhadap suhu rendah sehingga
dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama pada suhu antara 4°C
sampai minus 70°C. Kuman juga sangat peka terhadap panas, sinar
matahari dan sinar ultra violet. Paparan langsung terhada sinar ultra violet,
sebagian besar kuman akan mati dalam waktu beberapa menit.
Kuman dapat bersifat dorman, dari sifat dormant ini kuman dapat
bangkit kembali dan menjadikan tuberculosis aktif lagi. Di dalam jaringan,
kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma
makrofag. Magrofag yang semula memfagositasi malah kemudian
disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah
aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan
yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada

11
bagian apikal paru-paru lebih tinggi daripada bagian lain, sehingga bagian
apikal ini merupakan tempat predileksi Mycobacterium tuberculosis.

3.3.3 Jenis TB
a. Berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:
- TB Paru
Merupakan TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB
dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru
- TB Ekstra Paru
Merupakan TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura,
kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan
tulang.

b. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


1) Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan
TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1
bulan (˂ dari 28 dosis).
2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini
selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,
yaitu:
a. Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan
hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar
kambuh atau karena reinfeksi).
b. Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang
pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):
adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up
(klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah
putus berobat /default).

12
d. Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui

c. Berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan


a. Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja
b. Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
c. Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
d. Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus
juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin,
Kapreomisin dan Amikasin)
e. Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan
atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan
metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).

3.3.4 Diagnosis
Diagnosis TB didapat dari anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan
labotarorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Anamnesis
Gejala utama : batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk
dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,
demam meriang lebih dari satu bulan.
2. Pemeriksaan Laboratorium
A. Pemeriksaan Bakteriologi

13
- Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
dilakukan dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang
dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP)
- Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB dengan
metode Xpert MTB/RIF.
- Pemeriksaan Biakan
dilakukan dengan media padat (Lowenstein-Jensen) dan media cair
(Mycobacteria Growth Indicator Tube) untuk identifikasi M.Tb.
B. Penunjang lainnya (Rontgen thorax)

3.3.5 Tatalaksana
Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase:
1. Fase intensif
Pengobatan diberikan setiap hari selama 2 bulan, efektif dalam
menurunkan jumlah kuman dan meminimalisir pengaruh dari sebagian
kecil kuman yang mungkin sudah resistan
2. Tahap Lanjutan
Pengobatan bertujuan membunuh sisa sisa kuman yang masih ada dalam
tubuh, khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan

Obat Anti Tuberkulosis dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa


keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
1. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan risiko terjadinya
resistensi obat
2. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.

14
Tabel 1. Jenis Obat Antituberkulosis (OAT) Lini Pertama dan Efek Samping
Nama Obat Sifat Efek samping
Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer, gangguan fungsi hati
Rifampisin (R) Bakterisidal Flu like syndrome, gangguan
gastrointestinal, BAK merah, gangguan
fungsi hati, trombositopenia, skin rash,
anemia hemolitik
Pirazinamid (Z) Bakterisidal gangguan gastrointestinal, gangguan
fungsi hati, gout artritis
Streptomisin (S) Bakterisidal Nyeri di tempat suntikan, gangguan
keseimbangan dan pendengaran, renjatan
anafilaktik
Ethambutol (E) Bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna

Tabel 2. Kisaran Dosis OAT lini pertama pasien dewasa


Obat Dosis Rekomendasi
Harian 3x per minggu
Dosis Dosis max Dosis Dosis max
(mg/kgbb) (mg) (mg/kgbb) (mg)
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampisin (R) 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pirazinamid (Z) 25 (20-30) 35 (30-40)
Etambuthol (E) 15 (15-20) 30 (25-35)
Streptomisin (S) 15 (12-18) 15 (12-18)

Tabel 3. Dosis Panduan OAT KDT Kategori 1 = (2(HRZE)/4(HR))3


Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Setiap hari selama 56 hari 3x seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT
38-54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT
55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT
≥70 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2 KDT

Kategori-1: Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: a) Pasien TB paru
terkonfirmasi bakteriologis. b) Pasien TB paru terdiagnosis klinis. c) Pasien TB ekstra
paru.

Tabel 4. Dosis Panduan OAT KDT Kategori 2 = (2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

15
Berat Tahap Intensif (Setiap hari) Tahap Lanjutan
Badan RHZE (150/75/400/275) + S (3x seminggu)
RH (150/150) + E (400)
56 hari 28 hari 20 minggu

30-37 kg 2 tab 4KDT + 500 mg 2 tab 4KDT 2 tab 2 KDT + 2 tab


streptomisin inj etambuthol
38-54 kg 3 tab 4KDT + 750 mg 3 tab 4KDT 3 tab 2 KDT + 3 tab
streptomisin inj etambuthol
55-70 kg 4 tab 4KDT + 1000 4 tab 4KDT 4 tab 2 KDT + 4 tab
mg streptomisin inj etambuthol
≥70 kg 5 tab 4KDT + 1000 5 tab 4KDT 5 tab 2 KDT + 5 tab
mg streptomisin inj etambuthol
Kategori-2 : Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang) yaitu: a) Pasien kambuh. b) Pasien gagal pada
pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya. c) Pasien yang diobati kembali
setelah putus berobat (lost to follow-up).

3.2 Anatomi Dan Fisiologi Pleura

16
Gambar 1. Pleura dan strukturnya

Pleura merupakan membran serosa yang tersusun dari lapisan sel yang
embriogenik dan bersifat memungkinkan organ yang diliputinya mampu
berkembang, mengalami retraksi atau deformasi sesuai dengan proses
perkembangan anatomis dan fisiologis suatu organisme. Pleura viseral
membatasi permukaan luar parenkim paru termasuk fisura interlobaris,
sementara pleura parietal membatasi dinding dada yang tersusun dari otot dada
dan tulang iga, serta diafragma, mediastinum dan struktur servikal. Pleura
viseral dan parietal memiliki perbedaan inervasi dan vaskularisasi. Pleura
viseral diinervasi saraf-saraf otonom dan mendapat aliran darah dari sirkulasi
pulmoner, sementara pleura parietal diinervasi sarafsaraf interkostalis dan
nervus frenikus serta mendapat aliran darah sistemik. Pleura viseral dan pleura
parietal terpisah oleh rongga pleura yang mengandung sejumlah tertentu cairan
pleura.
Cairan pleura mengandung 1.500-4.500 sel/mL, terdiri dari makrofag
(75%), limfosit (23%), sel darah merah dan mesotel bebas. Cairan pleura
normal mengandung protein 1-2 g/100 mL. Elektroforesis protein cairan pleura
menunjukkan bahwa kadar protein cairan pleura setara dengan kadar protein
serum, namun kadar protein berat molekul rendah seperti albumin, lebih tinggi
dalam cairan pleura. Kadar molekul bikarbonat cairan pleura 20-25% lebih
tinggi dibandingkan kadar bikarbonat plasma, sedangkan kadar ion natrium

17
lebih rendah 3-5% dan kadarion klorida lebih rendah 6-9% sehingga pH cairan
pleura lebih tinggi dibandingkan pH plasma. Keseimbangan ionik ini diatur
melalui transpor aktif mesotel. Kadar glukosa dan ion kalium cairan pleura
setara dengan plasma.
Pleura berperan dalam sistem pernapasan melalui tekanan pleura yang
ditimbulkan oleh rongga pleura. Terdapat tiga tekanan yang berperan penting
dalam proses ventilasi pernapasan yaitu tekanan atmosfer (barometrik),
tekanan intrapleura dan tekanan intra-alveolus. Tekanan atmosfer adalah
tekanan yang ditimbulkan oleh udara di atmosfer pada benda di permukaan
bumi, termasuk tubuh manusia. Pada ketinggian permukaan laut, tekanan
atmosfer sama adengan 760 mmHg. Tekanan atmosfer akan berkurang seiring
dengan penambahan ketinggian di atas permukaan laut. Tekanan intrapleura
atau dikenal juga sebagai tekanan intrathoraks adalah tekanan cairan di dalam
kantung pleura (ruang antara pleura parietalis dan pleura visceralis). Tekanan
intrapleura lebih rendah dari tekanan atmosfer, rerata tekanan intrapleura yaitu
756 mmHg pada saat istirahat. Tekanan udara pernapasan menggunakan
tekanan atmosfer sebagai titik referensi. Hal tersebut berarti tekanan sebesar
756 mmHg pada intrapleura saat istirahat dapat pula disebut sebagai tekanan -4
mmHg. Meskipun sebenarnya tidak ada tekanan negatif absolut, tekanan 756
mmHg pada ruang tertutup kantung pleura menjadi tekanan – 4 mmHg karena
lebih rendah 4 mmHg dibandingkan tekanan atmosfer. Selama inspirasi normal
pengembangan rangka dada akan menarik paru ke arah luar sehingga tekanan
intrapleura menjadi semakin negatif, menjadi rata - rata 6 mmHg. Peningkatan
negativitas tekanan intrapleura dari -4 menjadi -6 mmHg selama inspirasi
meningkatkan volume paru sebanyak 0,5 liter.
Tekanan intra-alveolus (intrapulmonal) adalah tekanan di dalam alveolus.
Arah dari aliran udara ditentukan oleh hubungan antara tekanan atmosfer dan
tekanan intra-alveolus. Ketika glottis terbuka, dan tidak ada udara yang
mengalir ke dalam atau ke luar paru maka tekanan pada semua saluran napas
sampai alveoli sama dengan tekanan atmosfer, yang dianggap sebagai tekanan
acuan 0 dalam jalan napas yaitu 0 mmHg. Saat tubuh relaksasi dan bernafas

18
tenang, perbedaan tekanan intra-alveolus dan tekanan atmosfer relatif kecil.
Saat inspirasi paru-paru mengembang dan tekanan intra-alveolus turun menjadi
759 mmHg atau dapat dinyatakan sebagai -1 mmHg. Tekanan yang sedikit
negatif ini cukup untuk menarik sekitar 0,5 liter udara kedalam paru dalam
waktu 2 detik. Saat ekspirasi paru-paru kembali ke ukuran semula dan tekanan
intra pulmonal meningkat menjadi 761 mmHg atau +1 mmHg, tekanan ini
mendorong sekitar 0,5 liter udara inspirasi keluar paru saat ekspirasi selama 2
sampai 3 detik.
Perbedaan antara tekanan alveoli dan tekanan pada permukaan luar paru.
disebut tekanan transpulmonal Perbedaan tekanan menerminkan nilai daya
elastic dalam paru yang cenderung mengempiskan paru pada setiap
pernapasan.

3.3 Efusi Pleura


3.2.1 Definisi
Rongga pleura adalah ruangan di antara pleura parietalis dan pleura
viseralis. Pada orang normal mengandung 10-20 ml cairan yang bekerja
sebagai pelumas antara kedua permukaan pleura. Efusi pleura adalah
akumulasi abnormal cairan dalam rongga pleura. Pada keadaan normal,
sejumlah kecil (0,01 ml/kg/jam) cairan secara konstan memasuki rongga pleura
dari kapiler di pleura parietal. Lalu, cairan pleura direabsorpsi melalui saluran
limfatik pleura parietalis yang mempunyai kapasitas pengeluaran sedikitnya
0,2ml/kg/jam. Efusi pleura bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi
merupakan tanda suatu penyakit.

3.2.2 Epidemiologi
Prevalensi efusi pleura mencapai 320 per 100.000 penduduk di negara-
negara industri dan penyebaran etiologi berhubungan dengan prevalensi
penyakit yang mendasarinya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Khairani
dkk di RS Persahabatan tahun 2010-2011, dari 119 pasien dengan efusi pleura
didapatkan 66 orang adalah laki-laki dan 53 orang sisanya adalah perempuan.

19
Kelompok umur terbanyak antara 40-59 tahun dengan sisi hemithorax kanan
lebih dominan. Efusi pleura pada sebagian subjek penelitian adalah bersifat
eksudat (87%) dengan penyebab terbesar adalah infeksi dan malignansi.

3.2.3 Etiologi dan Patofisologi


Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan
antara cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan
pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah
kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan
jaringan interstisial sub mesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk ke
dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfa
sekitar pleura.
Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh
peradangan. Bila proses peradangan oleh kuman piogenik akan terbentuk
pus/nanah, sehingga terjadi empiema/piothorax. Bila proses ini mengenai
pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemothorax. Proses
terjadinya pneumothorax karena pecahnya alveoli dekat pleura parietalis
sehingga udara masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan
oleh trauma dada atau alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastis lagi
seperti pada pasien empisema paru.
Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain
bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom
nefrotik, dialisis peritoneum, hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan,
keganasan, atelektasis paru dan pneumothorax. Efusi eksudat terjadi bila ada
proses peradangan yang menyababkan permeabilitas kapiler pembuluh darah
pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau
kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab
pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena Mycobacterium
tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Sebab lain
seperti parapneumonia, parasit (amuba), jamur, pneumonia atipik (virus,
mikoplasma, fever), keganasan paru, proses imunilogik seperti pleuritis lupus,

20
pleuritis rematoid, sarkoisosis, radang sebab lain seperti pankreatitis,
asbestosis, pleuritis uremia dan akibat radiasi.

3.2.4 Diagnosis
Biasanya manifestasi klinisnya adalah yang disebabkan oleh etiologi
dan penyakit yang mendasari. Ukuran efusi akan menentukan keparahan
gejala. Pada kebanyakan penderita umumnya asimptomatis atau memberikan
gejala demam, ringan dan berat badan yang menurun seperti pada efusi yang
lain.

Anamnesis
a. Sesak nafas bila lokasi efusi luas. Sesak napas terjadi pada saat
permulaan pleuritis disebabkan karena nyeri dadanya dan apabila jumlah
cairan efusinya meningkat, terutama kalau cairannya penuh
b. Rasa berat pada dada
c. Batuk pada umumnya non produktif dan ringan, terutama apabila disertai
dengan proses tuberkulosis di parunya, batuk berdarah pada karsinoma
bronchus atau metastasis
d. Demam subfebris pada TB, demarn menggigil pada empyema

Pemeriksaan Fisik
a. Dinding dada lebih cembung dan gerakan tertinggal
b. Stem fremitus menurun
c. Perkusi pekak
d. Bunyi pernafasan menruun sampai menghilang
e. Pendorongan mediastinum ke sisi yang sehat dapat dilihat atau diraba
pada trakea

Pemeriksaan Penunjang

21
a. Rontgen Thorax. Merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk
mendiagnosis efusi pleura yang hasilnya menunjukkan adanya cairan. Foto
dada juga dapat menerangkan asal mula terjadinya efusi pleura seperti bila
terdapat jantung yang membesar
b. USG Thorax. USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan
cairan. Jumlahnya sedikit dalam rongga pleura. Pemeriksaan ini sangat
membantu sebagai penuntun untuk melakukan aspirasi cairan dalam
rongga pleura.
c. Torakosentesis. Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat
diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang
diperoleh melalui torakosentesis. Torakosentesis adalah pengambilan
cairan melalui sebuah jarum yang dimasukkan diantara sel iga ke dalam
rongga dada di bawah pengaruh pembiasan lokal dalam dan berguna
sebagai sarana untuk diuagnostik maupun terapeutik. Pelaksanaan
torakosentesis sebaiknya dilakukan pada penderita dengan posisi duduk.
Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru di sela iga V garis aksilaris
mediadengan memakai jarum Abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran
cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap kali
aspirasi. Lebih baik mengerjakan aspirasi berulang-ulang daripada satu
kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleural shock (hipotensi)
atau edema paru. Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang
terlalu cepat. Mekanisme sebenarnya belum diketahui secara pasti, namun
diperkirakan karena adanya tekanan intrapleura yang tinggi dapat
menyebabkan peningkatan aliran darah melalui permeabilitas kapiler yang
abnormal.Komplikasi torakosentesis lainnya seperti pneumothorax, (hal ini
sering terjadi karena udara masuk melalui jarum), hemothorax (karena
trauma pada pembuluh darah interkostalis)

d. Analisis cairan pleura. Untuk diagnostik cairan pleura, dilakukan


pemeriksaan :

22
 Warna Cairan, biasanya cairan pleura berwama agak kekuning-kuningan
(Serous-xanthoctrom). Bila agak kemerah-merahan, ini dapat terjadi pada
trauma, infark paru, keganasan. Bila kuning kehijauan dan agak purulen,
ini menunjukkan adanya empiema. Bila merah coklat, ini menunjukkan
adanya abses karena amuba.
 Biokimia. Secara biokimia, efusi pleura terbagi atas transudat dan
eksudat yang perbedaannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Perbedaan Transudat Eksudat


- Kadar protein dalam efusi (g/dl) <3 >3
- Kadar protein dalam efusi < 0,5 > 0,5
Kadar protein dalam serum
- Kadar LDH dalam efusi (I.U) < 200 > 200
- Kadar LDH dalam efusi
Kadar LDH dalam Serum < 0,6 > 0,6
- Berat jenis cairan efusi < 1,016 > 1,016
- Rivalta negatif positif

e. Sitologi. Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk


diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau
dominasi sel-sel tertentu.
- Sel neutrofil: Menunjukkan adanya infeksi akut.
- Sel limfosit: Menunjukkan adanya infeksi kronik seperti pleuritis
tuberkulosis atau limfoma malignum
- Sel mesotel: Bila jumlahnya meningkat, ini menunjukkan
adanya infark paru. Biasanya juga ditemukan banyak sel eritrosit.
- Sel mesotel maligna : Pada mesotelioma
- Sel-sel besar dengan banyak inti : Pada arthritis rheumatoid
- Sel L.E : Pada lupus eritematosus sistemik.

f. Bakteriologi. Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat


mengandung mikroorganisme, apalagi bila cairannya purulen,
(menunjukkan empiema). Efusi yang purulen dapat mengandung kuman-

23
kuman yang aerob ataupun anaerob. Jenis kuman yang sering ditemukan
dalam cairan pleura adalah: Pneumokokokkus, E. coli, Kleibsiella,
Pseudomonas, Entero-bacter. Pada pleuritis tuberkulosa, kultur cairan
terhadap kuman tahan asam hanya dapat menunjukkan yang positif sampai
20%.
g. Biopsi Pleura. Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan
penyebabnya maka dilakukan biopsi jaringan pleura parietal. Pemeriksaan
histologi satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat menunjukkan 50-
75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan tumor pleura. Hasil yang
didapat berupa peradangan granulomatosa, nekrosis kaseosa, dan BTA
positif. Komplikasi biopsi antara lain pneumothorax, hemothorax,
penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.

3.2.5 Tatalaksana
Efusi pleura harus segera mendapatkan tindakan pengobatan karena
cairan pleura akan menekan organ-organ vital dalam rongga dada.
Beberapa macam pengobatan atau tindakan yang dapat dilakukan pada
efusi pleura masif adalah sebagai berikut :
Obati penyakit yang mendasarinya.
a. Hemothorax
Jika darah memasuki rongga pleura, biasanya dikeluarkan melalui
sebuah selang. Melalui selang tersebut bisa juga dimasukkan obat untuk
membantu memecahkan bekuan darah (misalnya streptokinase dan
streptodornase). Jika perdarahan terus berlanjut atau jika darah tidak dapat
dikeluarkan melalui selang, maka perlu dilakukan tindakan pembedahan

b. Empiema
Pada empiema diberikan antibiotik dan dilakukan pengeluaran
nanah. Jika nanahnya sangat kental atau telah terkumpul di dalam bagian

24
fibrosis, maka pengaliran nanah lebih sulit dilakukan dan sebagian dari
tulang rusuk harus diangkat sehingga bisa dipasang selang yang lebih
besar. Kadang perlu dilakukan pembedahan untuk memotong lapisan
terluar dari pleura (dekortikasi).
c. Pleuritis TB
Pengobatan dengan OAT yang memakan waktu 6-12 bulan. Dosis
dan cara pemberian obat seperti pada pengobatan TB Paru Pengobatan ini
menyebabkan cairan efusi dapat diserap kembali, tapi untuk
menghilangkan eksudat ini dengan cepat dapat dilakukan torakosentesis.
Umumnya cairan diresolusi dengan sempurna, tapi kadang-kdang dapat
diberikan kortikosteroid secara sistematik (Prednison 1 mg/kgBB selama 2
minggu, kemudian dosis diturunkan).

Torakosentesis
Keluarkan cairan seperlunya hingga sesak berkurang, jangan lebih 1-
1,5 liter pada setiap kali aspirasi. Zangelbaum dan Pare menganjurkan
jangan lebih 1.500 ml dengan waktu antara 20-30 menit. Torakosentesis
ulang dapat dilakukan pada hari berikutnya. Torakosentesis untuk tujuan
diagnosis setiap waktu dapat dikerjakan, sedangkan untuk tujuan
terapeutik pada efusi pleura tuberkulosis dilakukan atas beberapa indikasi.

Chest tube
Jika efusi yang akan dikeluarkan jumlahnya banyak, lebih baik
dipasang selang dada (chest tube), sehingga cairan dapat dialirkan dengan
lambat tapi sempurna. Tidaklah bijaksana mengeluarkan lebih dari 500 ml
cairan sekaligus. Selang dapat diklem selama beberapa jam sebelum 500
ml lainnya dikeluarkan. Drainase yang terlalu cepat akan menyebabkan
distres pada pasien dan di samping itu dapat timbul edema paru
Pleurodesis
Pipa selang dimasukkan pada ruang antar iga dan cairan efusi
dialirkan ke luar secara perlahan. Setelah tidak ada lagi cairan yang keluar,

25
masukkan 500 mg tetrasiklin yang dilarutkan ke dalam 20 cc garam
fisiologis ke dalam rongga pleura. Kunci selang selama 6 jam dan selama
itu pasien diubah ubah posisinya, sehingga tetrasiklin dapat didistribusikan
kesaluran rongga pleura. Selang antariga kemudian dibuka dan cairan di
dalam rongga pleura kembali dialirkan keluar sampai tidak ada lagi yang
tersisa. Selang kemudian dicabut

26
BAB IV
ANALISIS KASUS

Dilaporkan kasus efusi pleura sinistra ec TB + TB Paru pada seorang laki-


laki usia 48 tahun yang dirawat di Ruangan Cempaka RS Pertamina Plaju.
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis pasien mengeluh sesak yang bertambah hebat sejak ±1
hari SMRS. Gejala sesak dapat disebabkan oleh kelainan jantung, metabolik
maupun paru. Kelainan jantung dapat disingkirkan karena sesak tidak dipengaruhi
oleh aktivitas dan emosi, tidak ada riwayat darah tinggi maupun jantung serta
tidak ada peningkatan JVP, pembesaran jantung maupun suara bunyi jantung
tambahan pada asuskultasi. Tidak ada edema pretibial, jumlah BAK biasa serta
tidak ada riwayat kencing manis pada pasien, maka kelainan metabolik dapat
disingkirkan. Kemungkinan sesak napas pada pasien ini diakibatkan oleh kelainan
paru. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dan tidak ada suara mengi, maka Asma
dapat disingkirkan. Penyakit PPOK juga dapat disingkirkan karena tidak dijumpai
barrel chest maupun clubbing finger pada pemeriksaan fisik.
Sesak berkurang apabila pasien berbaring ke arah kiri. Keluhan tersebut
timbul akibat terjadinya timbunan cairan dalam rongga pleura yang memberikan
kompresi patologis pada paru sehingga ekspansinya terganggu dan sesak tidak
disertai bunyi tambahan karena bronkus tetap normal. Semakin banyak timbunan
cairan maka sesak makin terasa hebat.
Keluhan batuk berdahak ada, dahak berwarna putih, konsistensi kental dan
jumlahnya ± ½ sendok makan sekali batuk. Batuk darah disangkal, nyeri dada
disangkal, badan lemas ada, demam tidak terlalu tinggi yang hilang timbul masih
dirasakan, menggigil disangkal, sering berkeringat pada malam hari walau tanpa
aktivitas ada, penurunan nafsu makan ada, penurunan berat badan ada dalam 3
minggu ± 7 kg, Batuk pada efusi pleura mungkin disebabkan oleh rangsangan
pada pleura oleh karena cairan pleura yang berlebihan, proses infeksi ataupun

27
massa pada paru-paru. Keluhan penurunan berat badan disertai demam yang tidak
terlalu tinggi, berkeringat pada malam hari walau tanpa aktivitas dan penurunan
nafsu makan biasanya ditemukan pada efusi pleura yang dicurigai akibat
tuberculosis. Adanya kontak terhadap adik pasien dengan keluhan sama yang
sedang dalam terapi OAT juga mendukung penyebab efusi pleura pada pasien ini
akibat tuberculosis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan BTA I dan II yang
masing-masing bernilai +1.
Pada pemeriksaan fisik paru pasien ini, saat inspeksi ditemukan asimetris
statis dan dinamis (hemithorax kiri sedikit tertinggal dari kanan, pada palpasi
ditemukan stem fremitus pada dada kiri melemah dibanding kanan, pada perkusi
ditemukan redup pada dada kiri mulai dari ICS III ke bawah dan sonor pada dada
kanan, pada auskultasi ditemukan suara vesikuler yang menurun pada dada kiri
disertai rhonki. Semua abnormalitas yang ditemukan pada pasien ini disebabkan
karena timbunan cairan pada rongga pleura kiri. Pada tuberkulosis, efusi pleura
timbul karena reaksi hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein sehingga terjadi
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah pleura.
Untuk konfirmasi dugaan akan adanya efusi pleura maka diperlukan
pemeriksaan foto thorax PA. Suatu perselubungan yang menutupi gambaran paru
normal yang dimulai dari diafragma (bila posisi pasien duduk atau berdiri) adalah
suatu tanda jelas dari efusi pleura. Batas perselubungan ini akan membentuk suatu
kurva dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi dari bagian medial. Kelainan
dapat unilateral atau bilateral tergantung dari etiologi penyakitnya. Pada kasus ini
telah dilakukan pemeriksaan foto thorax PA dan ditemukan adanya perselubungan
pada hemithorax kiri dengan kesan efusi pleura sinistra
Etiologi dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan melakukan
pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui torakosentesis.
Torakosentesis adalah pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang
dimasukkan diantara sel iga ke dalam rongga dada di bawah pengaruh pembiusan
lokal dalam dan berguna sebagai sarana untuk diagnostik maupun terapeutik.
Pelaksanaan torakosentesis sebaiknya dilakukan pada penderita dengan posisi
duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru di sela iga IX garis aksilaris

28
posterior dengan memakai jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan
pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap kali aspirasi. Hasil total
torakosentesis pada pasien didapati ± 900 cc serousxanthocrome. Sebagai terapi
terapeutik, evakuasi ini bertujuan mengeluarkan sebanyak mungkin cairan
patologis yang tertimbun dalam rongga pleura, sehingga paru pada sisi yang sakit
dapat mengembang lagi dengan baik dan penderita dapat bernapas dengan lega
kembali.
Untuk pengobatan kausal, karena efusi pleura pada pasien diakibatkan oleh
TB Paru maka diberikan obat anti tuberkulosis (OAT) dalam bentuk fixed dose
combination (FDC) yang terdiri dari empat obat anti tuberkulosis dalam satu
tablet, yaitu rifampisin 150mg, isoniazid 75mg, pirazinamid 400mg dan etambutol
275mg yang diberikan sesuai dengan berat badan.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. 2018. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan


Republik Indonesia.
(https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodat
in-tuberkulosis-2018.pdf, diakses pada tanggal 15 Januari 2020).

2. Kemenkes RI.2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.67


Tahun 2016 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis. hal 36-90.

3. Darma, Made. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Pleuritis Tuberkulosis. CDK-


240. 43(5): hal. 341-345.

4. Pratomo, IP., Yunus, F. 2013. Anatomi dan Fisiologi Pleura. CDK-205.


40(6): hal. 407- 412.

5. Price, SA., Lorraine, MW. 2004. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Bab 4. Edisi VI. Jakarta: EGC.

6. Kumar, V., Abbas, AK., dan Fausto, N. 2010. Dasar Patologi Penyakit. Edisi
7. Jakarta: EGC.

7. Corwin EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC.

8. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam. 2006. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. Jilid 2. Edisi IV. Jakarta: IPD FKUI.

9. Mansjoer. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi III. Jakarta: Media
Aesculapius.

10. Halim, H. 2014. Penyakit-Penyakit Pleura. Dalam: Setiati, S.,dkk . Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. hal. 1631

30

Anda mungkin juga menyukai