Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

SINDROM NEFROTIK

Oleh:
dr. Annisa Rizka Fauziah

Pembimbing:
dr. Theresia Bintang Hotnida

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
PROVINSI BANTEN
APRIL 2023
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. MR
Usia : 16 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
TL : 19-04-2006
Alamat : Kragilan, Kabupaten Serang
Suku : Sunda
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Pembayaran : SKTM
Tanggal Masuk : 11-03-2023
Ruang Rawat : IGD
No RM : 1400XX

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa dengan pasien pada
tanggal 11 Maret 2023 pukul 00:10 WIB di IGD Yellow Zone RSUD Banten.
Keluhan Utama :
Bengkak seluruh tubuh.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Banten pada 11 Maret 2023 pukul 00:10
WIB dengan keluhan bengkak seluruh tubuh sejak 10 hari yang lalu. Menurut
pasien, bengkak diawali di bagian kaki kemudian seluruh tubuh hingga kedua
kelopak mata. Nyeri pada daerah bengkak (-), gatal (-), sesak (-). Pasien juga
merasa nyeri perut sejak kemarin, nyeri terasa seperti tertusuk, mual (+),

2
muntah (+) 1x di IGD berisi cairan dan sedikit makanan. Pasien merasa
demam (+) sempat minum parasetamol dari puskesmas dan demam turun.
Pasien mengaku dua minggu sebelumnya mengalami sakit batuk pilek dan
sudah berobat ke puskesmas, diberi antibiotic dan parsetamol setelah obat
habis pasien sembuh namun kembali demam. BAK keruh dan sedikit berbusa,
BAB tidak ada kelainan.

Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat penyakit serupa : Disangkal
b. Riwayat penyakit jantung, ginjal, dan liver : Disangkal
c. Riwayat Operasi sebelumnya : Disangkal
d. Riwayat Diabetes Melitus : Disangkal
e. Riwayat Hipertensi : Disangkal
f. Riwayat Alergi : Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat Penyakit DM : Disangkal
b. Riwayat Penyakit Kronis lainya : Disangkal
c. Riwayat Penyakit serupa : Disangkal

Riwayat Pengobatan
Tidak ada

Riwayat Kelahiran
BBL: 3,5 kg lahir spontan pervaginam
Riwayat imunisasi : tidak lengkap
Riwayat tumbuh kembang : sesuai usia

C. PEMERIKSAAN FISIK
a) Keadaan umum : Tampak sakit sedang

3
b) Kesadaran : GCS E4V5M6=15
c) Vital Sign
Tekanan Darah : 129/85 mmHg
Nadi : 86x/m
Respirasi rate : 20x/m
Suhu : 37.4°C
SaO2 : 99% on room air
d) Status Antropometri
BB : 55 kg (sebelum bengkak)
TB : 160 cm
IMT : 21,48
e) Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Refleks cahaya langsung (+/+), Refleks cahaya tidak langsung
(+/+), pupil bulat isokor, konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik
-/-, edema palpebral (+/+)
THT : dalam batas normal
Mulut : Mukosa lembab (+), bibir sianosis (-/-)
Thorax : Pulmo : pergerakan simetris, retraksi interkostalis (-) Suara
dasar vesikuler (+/+), Whezing (-/-), ronki (-/-).
Cor : BJ SI dan SII regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : supel, cembung, bising usus (+), nyeri tekan (+) epigstrium
sampai hipokondrium sinistra, hepar tidak teraba, shifting
dullness (+), undulasi (+)
Ekstremitas : akral hangat, edema +/+/+/+, CRT <2s, sianosis (-)
Edema anasarka
f) Diagnosis sementara :
Suspek Sindrom Nefrotik

4
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil Pemeriksaan Lab di RSUD Banten 11 Maret 2023
Pemeriksaa Hasil Nilai Rujukan
n
Darah Lengkap
Hemoglobin 14.6 L 11.7-15.5 g/dL
Leukosit 14.800 H 3600-11000 U/L
Hematokrit 41 L 35.0-47.0 %
Eritrosit 4.9 N 3.8-5.2 ^6/uL
Trombosit 386.000 N 150.000–440.000 /uL
Hitung jenis
- Basofil 0 N 0–1
- Eosinofil 0 N 2–4
- Batang 3 L 3–5
- Segmen 82 N 50 – 70
- Limfosit 11 25 – 40
- Monosit 4 2–8
MCV 85 80 – 95
MCH 30 23 – 31
MCHC 35 26 – 34
LED - <10
Fungsi Hati
Albumin 1.05 3.5 – 5
Fungsi Ginjal
Kreatinin 1.85 0.62 – 1.10
Ureum (Darah) 90 15 – 40
Karbohidrat
Gula Darah 114 <200
Rapid Test Negative Negative

5
Antigen Sars
Cov2
Urin Lengkap (rutin dan Sedimen)
Makroskopis
- Kekeruhan Keruh Jernih
- Warna Kuning Kuning
- Berat jenis 1030 1010 – 1030
- pH 6.0 4.6 – 8.5
- Protein 3+ Negative
- Glukosa Negatif Negative
- Keton Negatif Negative
- Bilirubin Negatif Negative
- Nitrit Negatif Negative
- Urobilinogen Normal Normal
- Lekositesterase 2+ Negative
- Darah samar 1+ Negative
Mikroskopis/Sedimen
- Epitel + +
- Eritrosit 20 - 25 <1
- Leukosit 12 - 15 <5
- Silinder Negatif Negative
- Kristal Negatif Negative
- Jamur Negatif Negative
- Bakteri Negatif Negative
Lain-lain - Negative
Lemak
Kolesterol Total 480 <200
Elektrolit
Natrium 134 135 – 147
Kalium 5.9 3.5 – 5.0

6
Chloride 104 95 – 105

E. ASSESMENT
Sindrom Nefrotik

F. TATALAKSANA
IGD
Terapi medikamentosa dan non medikamentosa :
 Venflon
 Inj. Furosemide 1x40 mg
 Inj. Spironolakton 1x25 mg
 PO Parasetamol 3x500 mg k/p
 Konsul spesialis Anak, advis:
- IVFD Kaen 1b 500cc/24 jam
- IV Plasbumin 20% 100cc selama 3 hari
- Inj. Furosemide 1x40 mg
- Inj. Spironolakton 1x25 mg
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
- Inj. Omeprazole 2x20 mg
- PO Prednison tab 5 – 5 – 5
- PO Captopril 3x12.5 mg
- Diet Nefrotik 1000 kkal

G. PROGNOSIS
Ad Vitam : Bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad Bonam

BAB II

7
TINJAUAN PUSTAKA

1) Definisi
Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit glomerular yang ditandai
dengan edema, proteinuria masif >3,5 gram/hari, hipoalbunemia <3,5
gram/hari, hiperkolesterolemia. Sindrom nefrotik memiliki berbagai efek
metabolik yang berdampak pada individu, beberapa episode sindrom nefrotik
adalah self-limited dan sebagian diantaranya respon dengan terapi spesifik,
sementara sebagiannya lagi merupakan kondisi kronis.

2) Epidemiologi
Data epidemiologi sindrom nefrotik menunjukkan angka kejadian
yang lebih tinggi pada anak. Anak laki-laki dilaporkan lebih sering mengalami
sindrom nefrotik dibandingkan wanita. Secara global, insidensi sindrom
nefrotik pada anak usia kurang dari 18 tahun adalah 2 sampai 7 kasus per
100.000 per tahun. Pada usia dewasa, insidensi sindrom nefrotik berada pada
3 kasus per 100.000 per tahun.
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada anak laki-laki, namun pada
usia dewasa tidak ada perbedaan insidensi antara laki-laki dan perempuan.
Pada populasi anak, sindrom nefrotik paling sering disebabkan oleh minimal
change disease, sedangkan pada populasi dewasa nefropati diabetik
merupakan penyebab tersering sindrom nefrotik.
Di Amerika Serikat, sindrom nefrotik terkait nefropati diabetik terjadi
dengan insidensi 50 kasus per 1 juta populasi dewasa. Pada wilayah Asia
Selatan, termasuk India dan Pakistan, temuan biopsi ginjal pasien sindrom
nefrotik menunjukkan pola yang sama dengan negara Barat. Namun, pada
negara-negara Timur Tengah dan Afrika, sindrom nefrotik dikaitkan dengan
infeksi schistosomiasis urogenital.
Angka kejadian nasional sindrom nefrotik di Indonesia belum
diketahui. Beberapa studi observasional di rumah sakit rujukan lokal

8
mengindikasikan bahwa sindrom nefrotik di Indonesia lebih banyak terjadi
pada anak laki-laki, sama dengan data global.
Seiring dengan perkembangan terapi antibiotik dan kortikosteroid,
mortalitas sindrom nefrotik telah menurun menjadi kurang dari 5%. Mortalitas
pasien anak dengan sindrom nefrotik terutama dipengaruhi oleh adanya
infeksi. Anak dengan sindrom nefrotik berisiko tinggi mengalami infeksi
bakteri, seperti peritonitis, pneumonia, hingga sepsis akibat disfungsi sel-T
dan hilangnya immunoglobulin lewat urine. Faktor lain yang berpengaruh
terhadap mortalitas sindrom nefrotik adalah kekambuhan atau relaps penyakit,
serta efek samping dari terapi.

3) Klasifikasi
Klasifikasi SN lebih didasarkan pada respons klinik yaitu:
1. Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
2. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
Klasifikasi berdasarkan penyebab sindrom nefrotik
1. Glomerulonefritis primer
a. GN lesi minimal
b. Glomerulosklerosis segmental
c. GN membranosa
d. GN membranoproliferatif
e. GN proliferatif lain
2. Glomerulonefritis sekunder
a. Infeksi (HIV, hepatitis B dan C, Sifilis, malaria, skistosoma,
tuberkulosis dan lepra)
b. Keganasan (adenosarkoma paru, payudara, kolon, limfoma
hodgkin, mieloma multipel dan karsinoma ginjal)
c. Connective tissue disease ( SLE, artritis reumatoid, mixed
connective tissue disease)
d. Efek obat dan toksin ( NSAID, penisilamin, probenesid)

9
e. Lain – lain (Diabetes melitus, amiloidosis, pre-eklamsia, refluks
vesikoureter)

4) Patofisiologi
Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder
mengikuti penyakit sistemik, antara lain lupus eritematosus sistemik (LES),
purpura Henoch Schonlein, dan lain lain.
a. Proteinuria
Ada tiga jenis proteinuria yaitu glomerular, tubular dan overflow.
Kehilangan protein pada sindrom nefrotik termasuk dalam proteinuria
glomerular. Proteinuria pada penyakit glomerular disebabkan oleh
meningkatnya filtrasi makromolekul melewati dinding kapiler glomerulus.
Hal ini sering diakibatkan oleh kelainan pada podosit glomerular. Dalam
keadaan normal membran basal glomerulus mempunyai mekanisme
penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang
pertama berdasarkan ukuran molekul dan yang kedua berdasarkan muatan
listriknya.
Pada sindrom nefrotik kedua mekanisme tersebut terganggu.
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran
molekul protein yang keluar melalui urin. Protein selektif apabila protein
yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan yang
non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti
imunoglobulin.
b. Hipoalbuminemia
Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari
(130-200 mg/kg) dan jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang
dikatabolisme. Katabolisme secara dominan terjadi pada ekstrarenal,
sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus proksimal ginjal setelah resorpsi
albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien sindrom nefrotik, hipoalbuminemia

10
merupakan manifestasi dari hilangnya protein dalam urin yang berlebihan
dan peningkatan katabolisme albumin.
Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting
pada kejadian hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan
merupakan satu-satunya penyebab pada pasien sindrom nefrotik karena laju
sintesis albumin dapat meningkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan begitu
dapat mengompensasi hilangnya albumin melalui urin.
c. Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema
pada sindrom nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang
pembentukan edema. Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh
menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan
merembes ke ruang interstisial.
Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan
albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari albumin adalah
sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi hipoalbuminemia ini
menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma intravaskular menurun. Sebagai
akibatnya, cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular
ke ruang interstisial kemudian timbul edema.

11
Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air
tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme
intrarenal primer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi
volume plasma dan cairan ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang
interstisial menyebabkan terbentuknya edema.
d. Hiperkolesterolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein
serum meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan
penjelasan antara lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang
merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein.
Selain itu katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan kadar
lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari
plasma. Beberapa peningkatan serum lipoprotein yang di filtrasi di
glomerulus akan mencetuskan terjadinya lipiduria sehingga adanya temuan
khas oval fat bodies dan fatty cast pada sedimen urin.

5) Gambaran Klinis
Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila
lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Kadang-
kadang disertai oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare.
Bila disertai sakit perut, hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis
atau hipovolemia. Dalam laporan ISKDC (International Study for Kidney
Diseases in Children), pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi,
dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat
sementara.
Dari anamnesis akan di dapatkan bahwa pasien sindrom nefrotik
datang dengan edema yang progresif pada ekstremitas bawah, peningkatan
berat badan dan lemah, yang merupakan gejala tipikal pada sindrom nefrotik.
Selain itu juga dapat ditemukan urin berbusa.

12
Kemudian dari pemeriksaan fisik akan di temukan pada kondisi yang
lebih serius, akan terjadi edema periorbital dan genital (skrotum), ascites,
efusi pleura. Jika terjadi bengkak hebat dan generalisata dapat bermanifestasi
sebagai anasarka.

6) Diagnosa
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain:
1. Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis
yang mengarah kepada infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
a. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit,
trombosit, hematokrit, LED)
b. Albumin dan kolesterol serum
c. Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwartz
d. Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear
antibody), dan anti ds-DNA
4. Pemeriksaan Radiologi ; dapat dilakukan USG ginjal untuk
mengidentifikasi trombosis vena renalis jika terdapat indikasi curiga
adanya keluhan nyeri pinggang (flank pain), hematuria atau gagal ginjal
akut.

13
5. Pemeriksaan Histopatologi; pada pemeriksaan ini dapat dilakukan
biopsi ginjal, pemeriksaan ini direkomendasikan pada pasien sindrom
nefrotik untuk mengkonfirmasi subtipe penyakitnya atau untuk
konfirmasi diagnosis. Meskipun begitu, belum ada guidline yang pasti
menjelaskan kapan biposi ginjal di indikasikan.

Batasan diagnostik
a. Remisi. : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam)
3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
b. Relaps. : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu
c. Relaps jarang. : relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah
respons awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan
d. Relaps sering. (frequent relaps): relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama
setelah respons awal atau ≥ 4 x dalam periode 1 tahun
e. Dependen steroid. : relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid
diturunkan (alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan
f. Resisten steroid. : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis
penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.
g. Sensitif steroid. : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh
selama 4 minggu

7) Tata Laksana
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di
rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan
edukasi orangtua.
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan
berikut:
a. Pengukuran berat badan dan tinggi badan.

14
b. Pengukuran tekanan darah.
c. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik,
seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
d. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap
infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
e. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis. INH
selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan
obat antituberkulosis (OAT).
Dietetik
Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi
karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus.
Bila diberi diet rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP)
dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit
protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu
1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama
anak menderita edema.
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya
diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu
dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat
kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan
kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu
perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya
terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat
diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk
menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian
furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya,
dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit

15
untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila
diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi
kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites
sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi
asites berulang.

Pengobatan Dengan Kortikosteroid


Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal,
kecuali bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison
atau prednisolon.
A. Terapi Insial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan
prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari)
dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung
sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan).
Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila
terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua

16
dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara
alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4
minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien
dinyatakan sebagai resisten steroid.

B. Pengobatan SN Relaps
Skema pengobatan relaps yaitu diberikan prednison dosis penuh
sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan prednison intermittent
atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu. Pada pasien SN
remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum
pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran
nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila
kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps.
Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis
relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.
Pemberian Obat Non-Imunosupresif Untuk Mengurangi Proteinuria
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor
blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara
kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui
penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI

17
juga mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming
growth factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1,
keduanya merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya
glomerulosklerosis. Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan
kadarnya pada SNRS, berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun
dependen steroid mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang
sama dengan SNRS. Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian
kombinasi ACEI dan ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih
banyak.
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS
dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB,
bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa
digunakan adalah:
a. Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari,
enalapril 0.5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/kgbb
dosis tunggal
b. Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal
Tata Laksana Komplikasi Sindrom Nefrotik
1) Infeksi
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat
infeksi perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang
terutama adalah selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis
primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram negatif dan Streptococcus
pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi
dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson
selama 10-14 hari.12 Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak dengan
SN adalah pnemonia dan infeksi saluran napas atas karena virus.
2) Trombosis
Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan
bukti defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti

18
terdapat trombosis pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Bila
diagnosis trombosis telah ditegakkan dengan pemeriksaan fisis dan
radiologis, diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin
selama 6 bulan atau lebih. Pencegahan tromboemboli dengan pemberian
aspirin dosis rendah, saat ini tidak dianjurkan.
3) Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL
dan VLDL kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan
kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik
dan trombogenik, sehingga meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan
progresivitas glomerulosklerosis.
Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut
bersifat sementara dan tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka
cukup dengan pengurangan diit lemak. Pada SN resisten steroid,
dianjurkan untuk mempertahankan berat badan normal untuk tinggi
badannya, dan diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian
obat penurun lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase (statin).
4) Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena penggunaan steroid
jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia serta
kebocoran metabolit vitamin D.
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid
jangka lama (lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi
kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125-250 IU). Bila telah terjadi
tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5 mL/kgbb
intravena.
5) Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps
dapat terjadi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas
dingin, dan sering disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus

19
NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30
menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb
(tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan
pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena
6) Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam
perjalanan penyakit SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi
diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme), ARB
(angiotensin receptor blocker) calcium channel blockers, atau antagonis β
adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil 90.
7) Efek Samping Steroid
Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping
yang signifikan, karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien
dan orangtuanya. Efek samping tersebut meliputi peningkatan napsu
makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan risiko
infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pada
semua pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala
cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi
badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun
sekali.

20
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien anak laki-laki usia 16 tahun datang ke IGD Zona Yellow RSUD
Banten 11 Maret 2023 diantar oleh keluarganya dengan keluhan bengkak pada
seluruh tubuh. Bengkak dirasakan sejak 1 Maret 2023 yang lalu, bengkak dirasakan
di kedua tungkai kemudian ke bagian perut, tangan dan wajah. Pasien mengatakan
bengkak yang dialaminya ini baru pertama kali dan terjadi secara tiba-tiba. Awalnya
pasien hanya merasakan bengkak pada kedua tungkai bawah dari pangkal paha
sampai ujung kaki. Pasien mengaku sempat berobat ke puskesmas 2 minggu lalu
dengan keluhan batuk pilek.
Setelah konsumsi obat dari puskesmas, pasien merasa sembuh, namun 2 hari
setelahnya pasien mulai demam dan mengalami bengkak di kaki. Bengkak dirasakan
semakin membesar sampai ke bagian perut dan wajah. Bengkak dikatakan tidak
terasa gatal ataupun tidak nyeri saat digerakkan dan saat di tekan. Bengkak di kaki
membuat pasien sulit untuk beraktivitas seperti biasa. Pasien juga mengeluhkan
demam. Demam terjadi dua hari sebelum keluhan bengkak muncul. Demam
dikatakan mendadak tinggi dan terukurur 38oC dan membaik saat pemberian obat
penurun panas.
Selain itu pasien juga mengeluhkan kencing berbuih, kencing sedikit berbuih
dan keruh dikatakan bersamaan saat bengkak yang dirasakan. Nyeri saat berkemih
disangkal dan kencing berwarna kuning. Pasien juga mengeluh nyeri perut dan terasa
seperti tertusuk disertai mual dan muntah dialami 3 hari sebelum masuk rumah sakit
dan muntah 1 kali di IGD berisi cairan dan sedikit makanan. BAB dikatakan normal.
Riwayat penyakit sistemik seperti hipertensi, diabetes mellitus, penyakit
ginjal, jantung, ataupun liver di keluarga pasien disangkal. Pasien adalah seorang
pelajar SMA. Riwayat konsumsi rokok, alkohol, penggunaan tattoo, transfusi darah,
dan operasi disangkal.

21
Pada pemeriksaan fisik ditemukan edema anasarka dan nyeri tekan pada
abdomen regio epigastrum, sedangkan pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil
Pada pemeriksaan darah lengkap leukosit 14.800, kolesterol total 480. Pada
pemeriksaan urin lengkap didapatkan protein 3+, lekositerase 2+, darah samar 1+,
eritrosit 20 – 25. Pada pemeriksaan kreatinin 1.85 dan ureum darah 90, dan
pemeriksaan albumin didapatkan 1.05 g/dL.
Pada penegakan diagnosis kasus sindrom nefrotik dapat dilakukan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis akan di
dapatkan bahwa pasien sindrom nefrotik datang dengan edema yang progresif pada
ekstremitas bawah sampai mengalami edema anasarka, peningkatan berat badan yang
merupakan gejala tipikal pada sindrom nefrotik. Pada kondisi yang lebih serius, akan
terjadi edema periorbital dan genital (skrotum), ascites, efusi pleura. Dari anamnesis
yang dilakukan, pasien mengeluh bengkak pada kedua tungkai bawah dari pangkal
paha sampai ujung kaki, perut dan wajah. Bengkak yang dirasakan ini baru pertama
kali dan terjadi secara tiba-tiba.
Awalnya pasien hanya merasakan bengkak pada kedua tungkai bawah dari
pangkal paha sampai ujung kaki, namun semakin hari bengkak dirasakan semakin
membesar dan membuat pasien sulit untuk melakukan aktivitas sehari-hari kemudian
bengkak dirasakan di bagian wajah dan perut. Selain itu pasien juga mengeluhkan
sempat demam 3 hari sebelum bengkak dan membaik dengan pemberian obat
penurun panas. Pasien juga mengeluhkan kencing berbuih yang bersamaan saat
keluhan bengkak muncul.
Kemudian dari pemeriksaan fisik akan di temukan pretibial edema, edema
periorbita, edema anasarka. Pada pemeriksaan penunjang dari sindrom nefrotik
didapatkan proteinuria masif >3,5 gram/hari, hipoalbunemia <3,5 gram/hari,
hiperkolesterolemia dan hematuria. Pemeriksaan penunjang biakan urin dilakukan
jika terdapat gejala klinis yang mengarah pada infeksi saluran kemih (ISK).
Pemeriksaan protein urin kuantitatif dilakukan dengan menggunakan urin 24 jam atau
rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari, pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengetahui derajat dari proteinuria. Pemeriksaan darah lengkap (hemoglobin,

22
leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, hematokrit, LED), albumin dan kolesterol
serum, ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin. Pemeriksaan ini dilakukan bertujuan
untuk megtahui kadar albumin, dan kolesterol dalam darah selain itu juga untuk
mengetahui apakah adanya tanda dari infeksi. Pada sindrom nefrotik pemeriksaan
penunjang yang ditemukan adalah hipoalbumin dan hiperkolesterolemia. Pada
penegakan diagnosis, diperlukan penunjang tambahan lain berupa pemeriksaan
radiologis seperti pemeriksaan USG ginjal, untuk mengidentifikasi trombosis vena
renalis jika terdapat indikasi curiga adanya keluhan nyeri pinggang (flank pain),
hematuria atau gagal ginjal akut. Pemeriksaan histopatologi yang dilakukan adalah
biopsi ginjal. Pemeriksaan ini direkomendasikan pada pasien sindrom nefrotik untuk
mengkonfirmasi subtipe penyakitnya atau untuk konfirmasi diagnosis.
Pada pasien ini pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan adalah
pemeriksaan urin lengkap, darah lengkap, pemeriksaan kadar albumin, kreatinin dan
ureum. Pada pemeriksaan urine lengkap didapatkan protein kreatinin rasio 3.735
tinggi dan terdapat eritrosit 20 – 25. Pada pemeriksaan darah lengkap kolesterol total
didapatkan 480 mg/dL dan pemeriksaan albumin didapatkan 1.05 g/dL. Hal ini
menunjukkan bahwa pasien mengalami proteinuria, hiperkolesterolemia, lipiduria,
hematuria dan hipoalbumin. Pendekatan diagnosis yang dilakukan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien mengarah ke sindrom nefrotik.
Sindrom nefrotik ditandai dengan edema, proteinuria berat, hipoalbuminemia, dan
hiperkolesterolemia. Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis
primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan ikat, obat atau
toksin dan akibat penyakit sitemik. Penyebab sindrom nefritik pada dewasa
dihubungkan dengan penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, amiloidosis atau
lupus eritemtosis sistemik.
Sesuai dengan teori dari hasil pemeriksaan fisik, berupa pemeriksaan fisik
akan di temukan pretibial edema, edema periorbita, edema anasarka, dan ascites.
Pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan edema kedua tungkai, wajah, perut, dan
peri orbital. Pemeriksaan penunjang dari sindrom nefrotik didapatkan proteinuria
masif >3,5 gram/hari, hipoalbunemia <3,5 gram/hari, hiperkolesterolemia dan

23
lipiduria. Sesuai dengan kriteria sindroma nefrotik yakni adanya edema, proteinuria,
hipoalbuminemia, dan hyperkoleterolemia. Pasien ini dapat didiagnosis dengan
sindrom nefrotik.
Manajemen pada sindrom nefrotik dibagi menjadi dua yakni non-
farmakologis dan farmakologis. Non-farmakologis Pemberian diet tinggi protein
dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk
mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis
glomerulus. Bila diberi diet rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein
(MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diet
protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2
g/kgbb/hari. Diet rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita
edema. Jika fungsi ginjal menurun maka diet disesuaikan hingga 0,6 gram/kgBB/hari
disertai ekskresi protein dalam urin/24 jam kemudian diet rendah kolesterol <600
mg/hari.
Pada pasien manajemen yang diberikan adalah istirahat dan diberikan diet
nefrotik 1000 kkal. Sedangkan, pada manajemen farmakologi diberikan obat-obatan
berupa diuretik seperti Furosemide (Lasix) pada 40 mg injeksi satu kali setiap hari
dan spironolakton 25 mg injeksi satu kali setiap hari. Pemberian agen diuretic ini
bertujuan untuk mengurangi gejala edema pada pasien. Pemberian Angiotensin-
converting enzyme (ACE) inhibitor captopril 12.5 mg per oral tiga kali sehari dapat
menurunkan proteinuria dengan menurunkan tekanan darah, mengurangi tekanan
intraglomerular dan aksi langsung di podosit, dan mengurangi risiko progresifitas dari
gangguan ginjal pada pasien sindrom nefrotik sekunder.
Terapi kortikosteroid golongan glukokortikoid yaitu prednison, prednisolon
dan metilprednisolon yang digunakan sebagai immunosupressan. Pada pasien belum
diberikan hiperlipidemic agents karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat
sementara dan tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan
pengurangan diit lemak. Pemberian antibiotik juga diberikan pada pasien yaitu
ceftriaxone injeksi satu gram dua kali sehari, antibiotik bertujuan untuk profilaksis
dan mengatasi infeksi

24
Pada pasien diberikan terapi yakni diet nefrotik 1000 kkal, Paracetamol 500
mg tiap 8 jam oral bila perlu, Captopril 12.5 mg tiap 8 jam oral, furosemide 40 mg
tiap 24 jam, Spironolactone 25 mg tiap 24 jam injeksi pagi hari dan Infus Albumin
20% 100cc selama 3 hari. Pemberian terapi ini sesuai dengan manajemen pada
sindrom nefrotik.

25
BAB IV

SIMPULAN

Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit glomerular yang ditandai dengan


edema, proteinuria masif >3,5 gram/hari, hipoalbunemia < 3,5 gram/hari,
hiperkolesterolemia dan lipiduria. Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh
glomerulonefritis primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan
ikat, obat atau toksin dan akibat penyakit sitemik. Pada pasien ini dari anamnesis
didapatkan gejela seperti edema pada extremitas bagian bawah, wajah dan bagian
abdomen sejak bulan Maret, pemeriksaan fisik yang dilakukan pada saat dilakukan
pada tanggal 11 Maret 2023 dan pemeriksaan penunjang saat pasien dirawat
didapatkan hiperkolesterolemia, proteinuria dan hipoalbunemia. Manajemen yang
diberikan adalah manajemen secara umum seperti istirahat, diet rendah kolesterol,
diet garam rendah garam dan diet protein. Pengobatan edema dengan Lasix dan
spironolakton, pengobatan proteinuria dengan penghambat ACE, pengobatan
dyslipidemia belum dilakukan pada pasien ini dan pengobatan sesuai dengan etiologi
dari sindrom nefrotik. Pada pasien sudah dilakukan manajemen planning dan terapi
yang sesuai dengan penanganan sindrom nefrotik.

26
DAFTAR PUSTAKA

Sinnakirouchenan R. Nephrotic Syndrome. Medscape. 2021.


https://emedicine.medscape.com/article/244631-overview#a1

Suwontopo ML, Umboh A, Wilar R. Analisis Hubungan Angka Kejadian, Gambaran


Klinik Dan Laboratorium Anak Dengan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid Di
RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manado. JKK (Jurnal Kedokteran Klinik). 2020
Jan 23;4(1):6-14.

Albar H, Bilondatu F. Profile of pediatric nephrotic syndrome in wahidin


sudirohusodo hospital, Makassar, Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran. 2019
Mar 1;46(3):185-8.

Kharisma, Y. (2017). Tinjauan Umum Sindrom Nefrotik. Universitas Islam Bandung.

Kulshrestha S, Grieff M, Navaneethan SD. (2009). Interventions for preventing


thrombosis in adults and children with nephrotic syndrome (intervention
protocol). Cochrane Database Syst Rev, (2):CD006024.

Koedner, C. (2016). Diagnosis and Management of Nephrotic Syndrome in Adults.


American Academy of Family Physician, 93(6):479-485.

PAPDI. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta.

UKK IDAI. (2014). Konsensus Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak.
Jakarta.

27

Anda mungkin juga menyukai