Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

DENGUE HEMORRHAGIC FEVER

Disusun Oleh :

Lathifah Hanum Yuhen 1102016101

Nur Anisa Muthia Ramadhani Musa 1102016157

Pembimbing:
dr. Tommy Yuner Sirait, Sp. A, SH

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 26 APRIL – 05 JUNI 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD KABUPATEN BEKASI
BAB I
PENDAHULUAN

Demam dengue dan demam berdarah dengue/DBD (Dengue Hemorrhagic fever/ DHF)
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam,
nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia
dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom
renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh
renjatan / syok.
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang
termasuk dalam genus flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flaviviridae merupakan virus dengan
diameter 30mm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106.
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Karibia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. DBD di
wilayah Indonesia antara 6 sampai 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995) dan pernah
meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998,
sedangkan angka mortalitasnya menurun mencapai 2% pada 1999.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


1. Nama Pasien : An. NR
2. Tanggal Lahir : 19 September 2011. Usia : 9 thn 6 bln
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Alamat : Setia Mekar, Tambun Selatan, Bekasi.
6. Tanggal Masuk Rumah Sakit : 25 April 2021
7. Tanggal Pemeriksaan : 28 April 2021
8. Ruang Rawat : Level 1
9. Nomor Rekam Medis : 203456

2.2 IDENTITAS ORANG TUA


Nama Ayah : Tn. A
Usia : 47 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan Terakhir : SMA

Nama Ibu : Ny. C


Usia : 31 Tahun
Pekerjaan : IRT
Pendidikan Terakhir : SD
2.3 ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis & alloanamnesis kepada nenek dan ayah
pasien

1. Keluhan Utama

Demam sejak 3 hari SMRS

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Kabupaten Bekasi diantar oleh orang tuanya pada tanggal
25 April 2021 pukul 17.30 dengan keluhan demam 3 hari SMRS. Menurut pengakuan
keluarga pasien, demam meningkat pada sore hingga malam hari & pada pagi hari
demamnya turun. Selain pasien mengeluh nyeri dibagian mata, perut & persendian. Mimisan
(-), gusi berdarah (-), BAK berdarah (-).

Pasien sebelumnya ke klinik dokter dan diberikan obat namun keluarga pasien lupa
nama obatnya, setelah mengkonsumsi obat tersebut demamnya tidak turun sehingga pasien
dibawa oleh keluarganya kembali ke klinik, kemudian dokter menyarankan untuk dilakukan
pemeriksaan LAB dan didapatkan hasil trombosit pasien turun 63 x 10.3/ul. Setelah itu
dokter menyarankan pasien dirujuk ke Rumah Sakit.

Diare (-), kejang (-), batuk (-), sesak (-)

3. Riwayat Penyakit Dahulu

● Pasien tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya


● Hipertensi disangkal, DM disangkal, alergi disangkal, asma disangkal.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

● Keluarga pasien tidak pernah mengalami hal ini


● Hipertensi disangkal, DM disangkal, alergi disangkal, asma disangkal.
5. Riwayat Kehamilan

Pasien merupakan anak pertama. Selama hamil ibu pasien tidak melakukan pemeriksaan
kehamilan (ANC). Tidak ada keluhan yang dirasakan timbul selama kehamilan. Kesan
kehamilan dalam batas normal.

6. Riwayat Persalinan

Pasien lahir dari ibu usia 22 tahun dengan umur kehamilan 36 minggu di bidan secara
pervaginam dengan berat badan lahir (BBL) panjang badan (PB) yang keluarga pasien lupa.

7. Riwayat Imunisasi

Keluarga pasien lupa.

8. Riwayat Nutrisi

Pasien sering mengkonsumsi mie instan dan jajanan di pinggir jalan.

9. Riwayat lingkungan & kebiasaan

Rumah pasien berada di sekitar kali, pasien memiliki kebiasaan bermain di sekitar kali di
sore hari untuk menangkap ikan-ikan kecil. Menurut pengakuan ayah pasien tetangga pasien
juga mengalami hal yang serupa.
2.4 PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Generalis

Pemeriksaan di Ruang Sakura Kamar 1 pada 28 April 2021 pukul 14.30 WIB

1. Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan


2. Kesadaran : Compos mentis

3. Tekanan darah : 120/90 mmHg

4. Nadi : 71 x/menit

5. Suhu : 37,1 ℃

6. Pernapasan : 28 x/menit

7. SpO2 : 98%

2. Status Gizi

1. Berat Badan : 35 kg

2. Tinggi Badan : 140 cm

Status gizi : 35/33 x 100% = 106% (Normal)


3. Pemeriksaan Fisik

1. Kepala : Normocephalic

2. Kulit : Petechiae (+), turgor baik

3. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

4. Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)

5. Telinga : Normotia, sekret (-/-)

6. Mulut : Mukosa bibir kering, coated tongue (+)

7. Leher : Tidak teraba KGB, trakea tidak deviasi

8. Paru-paru : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

9. Jantung : BJ I & II Regular, Murmur (-), Gallop (-)


10. Abdomen : Nyeri tekan epigastrium (-)

11. Ekstremitas : Akral dingin, CRT (capillary refill time) <2 detik, sianosis (-),
edema (-), hematoma (-)
2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium 23/04/2021

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

Hematologi

Hemoglobin 14.1 g/dL L:14-18, P:12-16

Leukosit 1.4 10^3/ul 4.0 - 10.0

Eritrosit 5.5 10^6/ul L:4,5-5,5, P:4-


5,2

Hematokrit 41 % 33,0 – 45,0

Hitung Jenis Sel

Basofil 0 % 0-1

Eosinofil 0 % 1-3

N. Batang 1 % 3-5

N. Segmen 52 % 50-70

Monosit 4 % 2-8

Limfosit 43 % 20-40

Nilai absolut
MCV 74 fL 80 - 94

MCH 25 pg/mL 20 - 31

MCHC 33 % 32 - 36

IMUNOSEROLOGI

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

Widal NEGATIF NEGATIF

Salmonella Typhi O 1/160 NEGATIF

Salmonella Paratyphi OA NEGATIF NEGATIF

Salmonella Paratyphi OB NEGATIF NEGATIF

Salmonella Paratyphi OC 1/80 NEGATIF

Salmonella Typhi H NEGATIF NEGATIF

Salmonella Paratyphi HA NEGATIF NEGATIF

Salmonella Paratyphi HB NEGATIF NEGATIF

Salmonella Paratyphi HC NEGATIF NEGATIF

Pemeriksaan Laboratorium 25/04/2021 19:42 WIB


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

HEMATOLOGI

Darah Lengkap

Hemoglobin 16,5 g/dL 10,8 - 15,6

Hematokrit 47 % 33,0 – 45,0

Eritrosit 6,53 10^6 / nL 3,80 – 5,80

MCV 72 fL 69 - 93

MCH 25 pg/mL 22 - 34

MCHC 35 g/dL 32 - 36

Trombosit 50 10^3 / nL 150 – 450

Leukosit 2,8 10^3/ nL 4,0 – 10,5

Hitung Jenis

Basofil 1 % 0,0 - 1,0

Eosinofil 0 % 1,0 - 6,0

Neutrofil 45 % 50 - 70

Limfosit 40 % 20 - 40
NLR 1,13 < = 5,80

Monosit 14 % 2-9

Laju Endap Darah 10 mm/jam < 15


(LED

KIMIA KLINIK

Glukosa Sewaktu 94 mg/dL 80 - 170

Paket Elektrolit

Natrium 134 mmol/L 136 - 146

Kalium 5,6 mmol/L 3,5 - 5,0

Klorida (Cl) 104 mmol/L 98 - 106

Pemeriksaan Laboratorium 27/04/2021 09:20 WIB

IMUNOLOGI

Anti Dengue IgM Non Reaktif Non Reaktif

Anti Dengue IgG Reaktif Non Reaktif

2.6 RESUME

An. NR berusia 9 tahun datang dengan keluhan demam 3 hari SMRS. Demam meningkat
pada sore hingga malam hari & pada pagi hari demamnya turun. Keluhan disertai nyeri pada
bagian mata, perut, serta nyeri otot & persendian. Keadaan umum tampak sakit ringan,
kesadaran compos mentis, nadi 71x/menit, suhu 37,1’C, pernapasan 28x/menit, Sp02 98%
dengan TD 120/90 mmHg. Pemeriksaan fisik pada kulit ditemukan ptekie (+), dan mulut coated
tongue (+) & mukosa bibir kering. Pada pemeriksaan uji bendung tampak uji tourniquet (+),
pemeriksaan LAB (25/04/21) didapatkan hasil trombosit adalah 50.000, hematokrit 47%,
leukosit 2.800/nL dan pemeriksaan LAB 27/04/2021 anti dengue IgG reaktif.

2.7 DIAGNOSIS BANDING


- Demam Tifoid

2.8 DIAGNOSIS KERJA


Demam Berdarah Dengue derajat I

2.9 PENATALAKSANAAN
- Ringer Laktat 500cc/6 Jam
- Ranitidine 30mg 2x1 IV
- Paracetamol 350mg 3X1 IV

2.10 EDUKASI
1. Banyak mengkonsumsi air untuk mencegah terjadinya dehidrasi
2. Memelihara lingkungan tetap bersih dan cukup sinar matahari
3. Melakukan pemberantasan sarang nyamuk
4. Memakai repellent nyamuk saat bermain keluar rumah

2.11 PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Functionam : ad bonam
Ad Sanactionam : ad bonam
2.12 FOLLOW UP

Rabu, 28 April 2021


S Nyeri Perut -

O Keadaan Umum Tampak sakit sedang Hb 13.1


Kesadaran Komposmentis Ht 38
HR 107x/m Eritrosit 5.23
RR 22x/m Trombosit 33 (LL)
T 36.6°C Leukosit 2.6 (L)
TD 120/90 mmHg

A Defisit Volume Cairan

P Manajeman cairan

Kamis, 29 April 2021

S Tidak ada keluhan

O Keadaan Umum Tampak sakit sedang Hb 12.7


Kesadaran Komposmentis Ht 38
HR 90x/m Eritrosit 5.13
RR 21 x/m Trombosit 44 (LL)
T 36,8°C Leukosit 2.8 (L)
TD 110/90 mmHg

A Defisit Volume Cairan

P Manajemen cairan

Jumat, 30 April 2021

S Tidak ada keluhan

O Keadaan Umum Tampak sakit sedang Hb 12.7


Kesadaran Komposmentis Ht 37
HR 94x/m Eritrosit 5.04
RR 22 x/m Trombosit 95 (LL)
T 36,4°C Leukosit 3.1 (L)
TD 120/90 mmHg

A Resiko kurang volume cairan

P Manajemen cairan
Rencana Pulang

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 DEFINISI
Infeksi virus dengue merupakan suatu penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus genus
Flavivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan
DEN-4, melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Keempat serotipe
dengue terdapat di Indonesia, DEN-3 merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan
dengan kasus berat, diikuti serotipe DEN-2.1

3.2 EPIDEMIOLOGI
Insiden pasti demam berdarah sulit untuk ditentukan tetapi perkiraan jumlah sebenarnya dari
infeksi dengue tahunan berkisar dari 284 hingga 528 juta dengan 96 juta di antaranya merupakan
kasus yang jelas. Kasus nyata didefinisikan sebagai semua infeksi gejala, termasuk yang tidak
terdeteksi oleh sistem pelaporan. Sebuah laporan yang menggunakan 1636 negara-tahun laporan
kasus demam berdarah dari 76 negara menemukan peningkatan yang substansial dalam kejadian
demam berdarah antara tahun 1990 dan 2013, dengan jumlah kasus yang jelas meningkat lebih
dari dua kali lipat setiap dekade, dari 8,3 juta pada tahun 1990 menjadi 58,4 juta di 2013. Di
antara kasus yang terjadi pada 2013, 10,5 juta dirawat di rumah sakit, 28,1 juta dirawat dalam
pengaturan perawatan kesehatan rawat jalan, dan 19,7 juta tetap di luar sistem perawatan
kesehatan. Angka kejadian standar usia tertinggi terjadi di Asia Tenggara, dengan rata-rata
tahunan 34,3 kasus per 1000 orang.2

3.3 ETIOLOGI
Infeksi dengue disebabkan oleh virus dengue (DENV), yang merupakan virus RNA untai tunggal
(panjangnya kira-kira 11 kilobase) dengan nukleokapsid ikosahedral dan ditutupi oleh selubung
lipid. Virus tersebut ada dalam famili Flaviviridae, genus Flavivirus, dan jenis virus yang
spesifik adalah demam kuning. Virus dengue memiliki 4 serotipe terkait tetapi berbeda secara
antigen: DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4.

Penyebab penyakit Dengue adalah Arthropod borne virus, famili Flaviviridae, genus
flavivirus.Virus berukuran kecil (50 nm) ini memiliki single stranded RNA. Virion-nya terdiri
dari nucleocapsid dengan bentuk kubus simetris dan terbungkus dalam amplop lipoprotein.
Genome (rangkaian kromosom) virus. Dengue berukuran panjang sekitar 11.000 dan terbentuk
dari tiga gen protein struktural yaitu nucleocapsid atau protein core (C), membrane-associated
protein (M) dan suatu protein envelope (E) serta gen protein non struktural (NS). Terdapat
empat serotipe virus yang dikenal yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Keempat serotipe
virus ini telah ditemukan di berbagai wilayah Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia
menunjukkan bahwa Dengue-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan
serotipe yang paling luas distribusinya disusul oleh Dengue-2, Dengue-1 dan
Dengue -4. Terinfeksinya seseorang dengan salah satu serotipe tersebut diatas, akan
menyebabkan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang bersangkutan. Meskipun
keempat serotipe virus tersebut mempunyai daya antigenisitas yang sama namun mereka berbeda
dalam menimbulkan proteksi silang meski baru beberapa bulan terjadi infeksi dengan salah satu
dari mereka.3

Gambar 1. Virus Dengue

3.4 KLASIFIKASI
Gambar 2. Klasifikasi Demam Dengue

Infeksi virus dengue dapat asimtomatik atau dapat menyebabkan penyakit demam yang tidak
dapat dibedakan (sindrom virus), demam berdarah (DF), atau demam berdarah dengue (DBD)
termasuk sindrom syok dengue (DSS). Infeksi dengan satu serotipe dengue memberikan
kekebalan seumur hidup terhadap serotipe tersebut, tetapi hanya ada perlindungan silang jangka
pendek untuk serotipe lainnya. Manifestasi klinis tergantung pada strain virus dan faktor host
seperti usia, status kekebalan, dll.

Demam yang tidak dapat dibedakan


Bayi, anak-anak dan orang dewasa yang telah terinfeksi virus dengue, terutama untuk pertama
kali (yaitu infeksi dengue primer), dapat berkembang menjadi a demam sederhana tidak dapat
dibedakan dari infeksi virus lainnya. Ruam makulopapular bisa menyertai demam atau mungkin
muncul selama defervescence. Gejala pernapasan atas dan gastrointestinal sering terjadi.

Demam berdarah
Demam berdarah (DD) paling sering terjadi pada anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Ini
umumnya penyakit demam akut, dan kadang-kadang demam bifasik dengan sakit kepala parah,
mialgia, artralgia, ruam, leukopenia dan trombositopenia juga dapat diamati. Meskipun DF
mungkin jinak, ini bisa menjadi penyakit yang melumpuhkan dengan sakit kepala parah, nyeri
otot dan sendi dan tulang (demam patah tulang), terutama pada orang dewasa. Kadang terjadi
perdarahan yang tidak biasa seperti perdarahan gastrointestinal, hipermenore dan epistaksis
masif. Di daerah endemis DBD, wabah DF jarang terjadi di masyarakat setempat.

Demam Berdarah Dengue


dengue (DBD) lebih sering terjadi pada anak-anak kurang dari 15 tahun di daerah hiperendemik,
sehubungan dengan infeksi dengue berulang. Namun kejadian DBD pada orang dewasa semakin
meningkat. DBD ditandai dengan timbulnya demam tinggi secara akut dan berhubungan dengan
tanda dan gejala yang mirip dengan DF pada fase demam awal. Ada diatesis hemoragik yang
umum seperti tes tourniquet positif (TT), petekie, mudah memar dan / atau perdarahan GI pada
kasus yang parah. Pada akhir fase demam, terdapat kecenderungan terjadinya syok hipovolemik
(sindrom syok dengue) akibat kebocoran plasma.

Adanya tanda-tanda peringatan sebelumnya seperti muntah terus-menerus, sakit perut, lesu atau
gelisah, atau mudah tersinggung dan oliguria penting untuk intervensi untuk mencegah syok.
Hemostasis abnormal dan kebocoran plasma adalah tanda patofisiologis utama DBD.
Trombositopenia dan peningkatan hematokrit / hemokonsentrasi merupakan temuan konstan
sebelum demam / onset syok mereda. DBD paling sering terjadi pada anak-anak dengan infeksi
dengue sekunder. Ini juga telah didokumentasikan pada infeksi primer dengan DENV-1 dan
DENV-3 serta pada bayi.

Sindrom dengue yang meluas.


Manifestasi yang tidak biasa dari pasien dengan keterlibatan organ yang parah seperti hati,
ginjal, otak atau jantung yang berhubungan dengan infeksi dengue telah semakin banyak
dilaporkan pada DBD dan juga pada pasien dengue yang tidak memiliki bukti kebocoran plasma.
Manifestasi yang tidak biasa ini mungkin terkait dengan koinfeksi, komorbiditas, atau
komplikasi syok yang berkepanjangan. Penyelidikan menyeluruh harus dilakukan dalam kasus
ini. Sebagian besar pasien DBD yang memiliki manifestasi yang tidak biasa adalah akibat dari
syok berkepanjangan dengan kegagalan organ atau pasien dengan komorbiditas atau koinfeksi.4,5
3.5 PATOFISIOLOGI
Virus dengue ditransmisi melalui nyamuk aedes aegypti atau aedes albopictus. Vektor tsb meluas
di daerah tropis dan subtropis di berbagai belahan dunia. Virus dengue masuk ke sirkulasi perifer
manusia melalui gigitan nyamuk. Virus akan berada didalam darah sejak fase akut/fase demam
hingga klinis menghilang.

Secara klinis, perjalanan penyakit dengue dibagi menjadi tiga, yaitu fase demam (febrile), fase
kritis dan fase penyembuhan. Fase demam berlangsung pada demam hari ke-1 hingga 3, fase
kritis terjadi pada demam hari ke-3 hingga 7, dan fase penyembuhan terjadi setelah demam hari
ke-6-7. Perjalanan penyakit tsb menentukan dinamika perubahan tanda dan gejala klinis pada
pasien dengan infeksi demam berdarah dengue (DBD)

Demam merupakan tanda utama infeksi dengue, terjadi mendadak tinggi, selama 2-7 hari.
Demam juga disertai gejala konstitusional lainnya seperti lesu, tidak mau makan, dan muntah.
Selain itu, pada anak lebih sering terjadi gejala facial flush, radang faring, serta pilek.

Pada DBD, terjadi peningkatan permeabilitas vaskular yang menyebabkan kebocoran plasma ke
jaringan, sedangkan pada demam dengue tidak terjadi hal ini. Kondisi tsb dapat mengakibatkan
syok hipovolemia. Peningkatan permeabilitas vaskular akan terjadi pada fase kritis dan
berlangsung maksimal 48 jam. Hal tsb yang menjadi alasan mengapa cairan diberikan maksimal
48 jam.

Kebocoran plasma terjadi akibat disfungsi endotel serta peran kompleks dari sistem imun:
monosit dan sel T, sistem komplemen, serta produksi mediator inflamasi dan sitokin lainnya.
Trombositopenia pun terjadi akibat beberapa mekanisme yang kompleks, seperti gangguan
megakariositopoiesis (akibat infeksi sel hematopoietik), serta peningkatan destruksi dan
konsumsi trombosit.

Pada kasus DBD, tanda hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering ditemukan.
Manifestasi perdarahan yang paling dijumpai pada anak ialah perdarahan kulit (petekie) dan
mimisan (epistaksis). Tanda perdarahan lainnya yang patut diwaspadai, antara lain melena,
hematemesis, dan hematuria. Pada kasus tanpa perdarahan spontan maka dapat dilakukan uji
turniket.

Kebocoran plasma secara masif akan menyebabkan pasien mengalami syok hipovolemik.
Kondisi ini disebut sindrom syok dengue (SSD).5,7,8

Gambar 3. Skema Perjalanan Pennyakit Infeksi Dengue

3.6 MANIFESTASI KLINIS


Tabel 1. Klasifikasi WHO infeksi dengue & grading keparahan DHF

Manifestasi klinis infeksi dengue sangat bervariasi dan sulit dibedakan dari penyakit infeksi lain
terutama pada fase awal perjalanan penyakit-nya. Dengan meningkatnya kewaspadaan
masyarakat terhadap infeksi dengue, tidak jarang pasien demam dibawa berobat pada fase awal
penyakit, bahkan pada hari pertama demam. Sisi baik dari kewaspadaan ini adalah pasien
demam berdarah dengue dapat diketahui dan memperoleh pengobatan pada fase dini, namun di
sisi lain pada fase ini sangat sulit bagi tenaga kesehatan untuk menegakkan diagnosis demam
berdarah dengue. Oleh karena itu diperlukan petunjuk kapan suatu infeksi dengue harus
dicurigai, petunjuk ini dapat berupa tanda dan gejala klinis serta pemeriksaan laboratorium rutin.
Tanpa adanya petunjuk ini di satu sisi akan menyebabkan keterlambatan bahkan kesalahan dalam
menegakkan diagnosis dengan segala akibatnya, dan di sisi lain menyebabkan pemeriksaan
laboratorium berlebih dan bahkan perawatan yang tidak diperlukan yang akan merugikan baik
bagi pasien maupun dalam peningkatan beban kerja rumah sakit.3,5

3.7 DIAGNOSIS

Kriteria diagnosis klinis DBD / DSS


Manifestasi klinis :

● Demam: onset akut, tinggi dan terus menerus, berlangsung dua sampai tujuh hari pada
kebanyakan kasus.
● Manifestasi hemoragik berikut ini termasuk tes torniket positif(itu paling umum),
petechiae, purpura (di lokasi vena pungsi), ekimosis, epistaksis, gusi perdarahan, dan
hematemesis dan / atau melena.
● Pembesaran hati (hepatomegali) diamati pada beberapa tahap penyakit pada 90% –98%
dari anak-anak. Frekuensi bervariasi dengan waktu dan / atau pengamat.
● Syok, dimanifestasikan oleh takikardia, perfusi jaringan buruk dengan nadi lemah dan
menyempit tekanan nadi (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi dengan adanya kulit
yang dingin dan lembap dan / atau kegelisahan.8

Temuan laboratorium :

● Trombositopenia (100.000 sel per mm3 atau kurang)


● Hemokonsentrasi; hematokrit meningkat ≥20% dari baseline
pasien atau populasi pada usia yang sama.8

Dua kriteria klinis pertama, ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau naiknya
hematokrit, cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Adanya pembesaran hati di

Selain dua kriteria klinis pertama adalah sugestif DBD sebelum timbulnya kebocoran plasma.

Adanya efusi pleura (rontgen dada atau ultrasonografi) adalah bukti yang paling obyektif
kebocoran plasma sementara hipoalbuminemia memberikan bukti pendukung. Ini sangat berguna
untuk diagnosis DBD pada pasien berikut:8

● Anemia.
● Perdarahan hebat.
● di mana tidak ada hematokrit dasar.
● Peningkatan hematokrit hingga <20% karena terapi intravena dini.

Dalam kasus dengan syok, hematokrit tinggi dan trombositopenia yang ditandai
mendukung diagnosis DSS. ESR yang rendah (<10 mm / jam pertama) selama syok
membedakan DSS dari septik syok.

Tes laboratorium berikut tersedia untuk mendiagnosis demam berdarah dan DBD: 8

• Isolasi virus

- Karakterisasi serotipe / genotipe

• Deteksi asam nukleat virus

• Deteksi antigen virus

• Tes berbasis respons imunologis

- Tes antibodi IgM dan IgG

• Analisis parameter hematologis

Gambar 5. Pemeriksaan LAB untuk mendiagnosis DBD

3.8 DIAGNOSIS BANDING

Kondisi yang menyerupai fase demam dari infeksi dengue 9


Flu Like Syndromes Influenza, Measles, Chikungunya, HIV

Illnesses with a rash Measless, Scarlet Fever, Rubella,


Meningococcal infection, chikungunya,
Drug reactions

Diarrheal dissease Rotavirus, Other enteric infection

Illnes with neurogical manifestations Meningoencephalitits ferbrile seizure

Tabel 2. Kondisi yang menyerupai fase demam dari infeksi dengue

Kondisi yang menyerupai fase kritis infeksi dengue.9

Infection Acute gastroenteritis, leptospirosis, malaria,


thypoid, thypus, viral hepatitis, acute HIV,
bacterial serpsis, septic shock

Malignancies Acute leukimia


Miscellaneous conditions Acute abdomen-

Acute appendiciitis

Acute cholecystitis

Perforates viscus

Diabetic ketoacidosis

Lactic acidosis

Leukopenia & trombocytopenia ± bleeding

Platelet disorders

Renal failure

Respiratory distress (kusmaul breathing)

Systemin lupus erytematosus

Tabel 3. Kondisi yang menyerupai fase kritis infeksi dengue

3.9 TATALAKSANA

Pengobatan kasus dengue menurut klasifikasi diagnosis WHO 2011 tidak jauh berbeda dengan
klasifikasi WHO 1997 yang selama ini dipergunakan di Indonesia. Dalam tata laksana kasus
dengue terdapat dua keadaan klinis yang perlu diperhatikan yaitu

1. Sistem triase yang harus disosialisasikan kepada dokter yang bertugas di unit gawat
darurat atau puskesmas. Dalam sistem triase tersebut, dapat dipilah pasien dengue
dengan warning signs dan pasien yang dapat berobat jalan namun memerlukan observasi
lebih lanjut (Gambar 6).
2. Tata laksana kasus sindrom syok dengue (DSS) dengan dasar pemberian cairan yang
adekuat dan monitor kadar hematokrit. Apabila syok belum teratasi selama 2 x 30 menit,
pastikan apakah telah terjadi perdarahan dan transfusi PRC merupakan pilihan (Gambar
7). 10

Pada tabel 2 tertera beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan apabila kita menghadapi kasus
dengue berat yang tidak tampak membaik walaupun pemeberian cairan telah adekuat sesuai
pedoman. Maka perlu dilakukan pemeriksaan analisis gas darah, evaluasi kadar hematokrit,
kadar elektrolit termasuk kalsium, kadar gula darah dalam serum, dan segera dikoreksi apabila
terdapat kelainan. 10

Gambar 6. Triase pada tersangka dengue


Gambar 7. Pemberian cairan pada Dengue Shock Syndrom

Tabel 4. Pemeriksaan LAB pada Dengue dengan komplikasi


Tata laksana penting pada dengue

Tatalaksana dengue sesuai dengan perjalanan penyakit yang terbagi atas 3 fase. Pada fase demam
yang diperlukan hanya pengobatan simtomatik dan suportif. Parasetamol merupakan antipiretik
pilihan pertama dengan dosis 10mg/kg/dosis selang 4 jam apabila suhu >38oC. Pemberian aspirin
dan ibuprofen merupakan kontra indikasi. Kompres hangat kadang membantu apabila anak
merasa nyaman dengan pemberian kompres. Pemberian antipiretik tidak mengurangi tingginya
suhu, tetapi dapat memperpendek durasi demam.10

Pengobatan suportif lain yang dapat diberikan antara lain larutan oralit, larutan gula-
garam, jus buah, susu, dan lain-lain. Apabila pasien memperlihatkan tanda dehidrasi dan muntah
hebat, koreksi dehidrasi sesuai kebutuhan. Apabila cairan intravena perlu diberikan, maka pada
fase ini biasanya kebutuhan sesuai rumatan. Semua pasien tersangka dengue harus diawasi
dengan ketat sejak hari sakit ke-3. Selama fase demam, belum dapat dibedakan antara DD
dengan DBD. Ruam makulopapular dan mialgia/artralgia lebih banyak ditemukan pada pasien
DD. Setelah bebas demam selama 24 jam tanpa antipiretik, pasien demam dengue akan masuk
dalam fase penyembuhan, sedangkan pasien DBD memasuki fase kritis.10

Hati yang membesar dan lunak merupakan indikator fase kritis.Pasien harus diawasi ketat
dan dirawat di rumah sakit. Leukopenia <5000 sel/ mm3 dan limfositosis disertai peningkatan
limfosit atipikal mengindikasikan bahwa dalam waktu 24 jam pasien akan bebas demam serta
memasuki fase kritis. Trombositopenia mengindikasikan pasien memasuki fase kritis dan
memerlukan pengawasan ketat di rumah sakit.10

Peningkatan nilai hematokrit (Ht) 10-20% menandakan pasien memasuki fase kritis dan
memerlukan pengobatan cairan intravena apabila tidak dapat minum oral. Pasien harus dirawat
dan diberikan cairan sesuai kebutuhan. Tanda vital, hasil laboratorium, asupan dan luaran cairan
harus dicatat dalam lembar khusus. Penurunan hematokrit merupakan tanda-tanda perdarahan.
Umumnya pada fase ini pasien tidak dapat makan dan minum karena anoreksia atau dan muntah.
Kewaspadaan perlu ditingkatkan pada pasien dengan risiko tinggi, seperti bayi, DBD derajat III
dan IV, obesitas, perdarahan berat, penurunan kesadaran, adanya penyulit lain, seperti kelainan
jantung bawaan dll, atau rujukan dari Rumah Sakit lain.10
Cairan intravena diberikan apabila terlihat adanya kebocoran plasma yang ditandai
dengan peningkatan Ht 10-20% atau pasien tidak mau makan dan minum melalui oral. Cairan
yang dipilih adalah golongan kristaloid (ringer laktat dan ringer asetat). Selama fase kritis pasien
harus menerima cairan rumatan ditambah defisit 5-8% atau setara dehidrasi sedang. Pada pasien
dengan berat badan lebih dari 40 kg, total cairan intravena setara dewasa, yaitu 3000 ml/24 jam.
Pada pasien obesitas, perhitungan cairan intravena berdasarkan berat badan idéal. Pada kasus non
syok, untuk pasien dengan berat badan (BB) <15 kg, pemberian cairan diawali dengan tetesan 6-
7 ml/ kg/jam, antara 15-40 kg dengan 5 ml/kg/jam, dan pada anak dengan BB >40 kg, cairan
cukup diberikan dengan tetesan 3-4 ml/kg/jam.10

Setelah masa kritis terlampaui, pasien akan masuk dalam fase penyembuhan, yaitu saat
keadaan overload mengancam. Pada pasien DBD, cairan intravena harus diberikan dengan
seksama sesuai kebutuhan agar sirkulasi intravaskuler tetap memadai. Apabila cairan yang
diberikan berlebihan maka kebocoran terjadi ke dalam rongga pleura dan abdominal yang
selanjutnya menyebabkan distres pernafasan. Tetesan intravena harus disesuaikan berkala
dengan mempertimbangkan tanda vital, kondisi klinis (penampilan umum, pengisian kapiler),
laboratorium (hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit), serta luaran urin. Pada fase ini sering
dipergunakan antipiretik yang tidak tepat dan pemberian antibiotik yang tidak perlu. Cairan
intravena tidak perlu diberikan sebelum terjadinya kebocoran plasma. Penderita DD umumnya
tidak perlu diberikan cairan intravena.10

Cairan yang dibutuhkan pada fase kritis setara dengan dehidrasi sedang yang berlangsung
tidak lebih dari 48 jam. Kemampuan untuk memberi cairan sesuai kebutuhan pada fase ini
menentukan prognosis. Sebagian pasien sembuh setelah pemberian cairan intravena, sedangkan
pasien dengan kondisi berat atau tidak mendapat cairan sesuai dengan kebutuhan akan jatuh ke
dalam fase syok. Pemberian cairan intravena sebelum terjadi kebocoran plasma sebaiknya
dihindarkan karena dapat menimbulkan kelebihan cairan. Pemantauan tanda vital pada fase kritis
bertujuan untuk mewaspadai gejala syok. Kegagalan tata laksana pada fase ini biasanya
disebabkan oleh penggunaan cairan hipotonik dan keterlambatan penggunaan koloid selama fase
kritis.10
Dengue berat harus dipertimbangkan apabila ditemui bukti adanya kebocoran plasma,
perdarahan bermakna, penurunan kesadaran, perdarahan saluran cerna, atau gangguan organ
berat. Tata laksana dini pemberian cairan untuk penggantian plasma dengan kristaloid dapat
mencegah terjadinya syok sehingga menghindari terjadinya penyakit berat. Apabila terjadi syok,
maka berikan cairan sebanyak-banyaknya 10-20 ml/kgBB atau tetesan lepas selama 10-15 menit
sampai tekanan darah dan nadi dapat diukur, kemudian turunkan sampai 10 ml/kg/jam. Berikan
oksigen pada kasus dengan syok. Enam sampai 12 jam pertama setelah syok, tekanan darah dan
nadi merupakan parameter penting untuk menentukan tetesan cairan, tetapi kemudian
perhitungkan semua parameter sebelum mengatur tetesan.10

Setelah resusitasi awal, pantau pasien 1 sampai 4 jam. Apabila tetesan tidak dapat
dikurangi menjadi <10ml/kg/jam karena tanda vital tidak stabil (tekanan nadi sempit, cepat dan
lemah), ulangi pemeriksaan Ht. Dalam keadaan seperti ini, dapat dipertimbangkan pemberian
koloid (diindikasikan pada keadaan syok berulang atau syok berkepanjangan). Apabila ada
kenaikan Ht, ganti cairan dengan koloid yang sesuai, dengan tetesan 10ml/kg/jam. Siapkan darah
dan nilai kembali pasien untuk kemungkinan pemberian transfusi apabila diperlukan.10

Apabila nilai awal Ht rendah, pikirkan kemungkinan perdarahan internal dan pantau nilai
Ht lebih sering. Berikan transfusi darah sesuai kebutuhan bila perlu. Hentikan perdarahan dengan
tindakan yang tepat. Indikasi transfusi darah adalah bila terdapat kehilangan darah bermakna,
misalnya >10% volume darah total. (T\total volume darah= 80 ml/kg). Berikan darah sesuai
kebutuhan. Setelah 6 jam, apabila Ht menurun, meski telah diberikan sejumlah besar cairan
pengganti dan tetesan tidak dapat diturunkan sampai <10 ml/kg/jam, pertimbangkan untuk
pemberian transfusi darah segera.10

Apabila syok masih berkepanjangan meski telah diberikan cairan memadai dan
didapatkan penurunan Ht, maka mungkin terdapat perdarahan bermakna yang memerlukan
transfusi darah. Pasien dengan perdarahan tersembunyi dicurigai apabila ada penurunan Ht dan
tanda vital yang tidak stabil meski telah diberi cairan pengganti dengan volume cukup banyak.
Pada keadaan demikian, berikan packed red cell (PRC) 5 ml/kg/kali. Apabila tidak tersedia,
dapat diberikan sediaan darah segar 10 ml/kg/kali.10
Transfusi trombosit hanya diberikan pada perdarahan masif untuk menghentikan
perdarahan yang terjadi. Dosis transfusi trombosit adalah 0,2 U/kg/dosis. Pemberian trombosit
sebagai upaya pencegahan perdarahan atau untuk menaikkan jumlah trombosit tidak dianjurkan.
Perdarahan masif dengue disebabkan terutama oleh syok berkepanjangan atau syok berulang.
Meski jumlah trombosit rendah, dengan pemberian cairan pengganti yang seksama dalam fase
kritis, perdarahan masif sangat jarang terjadi.10

Koreksi gangguan metabolit dan elektrolit, seperti hipoglikemia, hiponatremia,


hipokalsemia dan asidosis harus diperhatikan. Penggantian volume cairan harus dipantau dengan
ketat bergantung beratnya derajat kebocoran plasma yang dapat dilihat dari nilai Ht, tanda vital,
dan luaran urin, untuk menghindari kelebihan cairan (kebocoran lebih cepat pada 6-12 jam
pertama). Apabila pasien mengalami syok berkepanjangan atau syok berulang maka peluang
untuk terjadinya perdarahan semakin besar. Hindari tindakan prosedur yang tidak perlu, seperti
pemasangan pipa nasogastrik pada perdarahan saluran cerna.10

Upayakan lama pemberi cairan jangan melebihi 24-48 jam. Segera hentikan pemberian
cairan apabila pasien sudah masuk fase penyembuhan untuk menghindari terjadinya kelebihan
cairan yang dapat mengakibatkan bendungan/edema paru karena reabsorpsi ekstravasasi
plasma.10

Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan sembuh tanpa komplikasi dalam waktu
24-48 jam setelah syok. Tanda pasien masuk ke dalam fase penyembuhan adalah keadaan umum
membaik, meningkatnya nafsu makan, tanda vital stabil, Ht stabil dan menurun sampai 35-40%,
dan diuresis cukup. Pada fase penyembuhan dapat ditemukan confluent petechial rash (30%)
atau sinus bradikardi akibat mikokarditis yang umumnya tidak memerlukan pengobatan. Cairan
intravena harus dihentikan segera apabila memasuki fase ini. Apabila nafsu makan tidak
meningkat dan dan perut terlihat kembung dengan atau tanpa penurunan atau menghilangnya
bising usus, kadar kalium harus diperiksa karena sering terjadi hipokalemia (fase diuresis). Buah-
buahan, jus buah atau larutan oralit dapat diberikan untuk menanggulangi gangguan elektrolit.10

Penderita dapat dipulangkan apabila paling tidak dalam 24 jam tidak terdapat demam
tanpa antipiretik, kondisi klinis membaik, nafsu makan baik, nilai Ht stabil,tiga hari sesudah
syok teratasi, tidak ada sesak napas atau takipnea, dan jumlah trombosit >50.000/mm3.10

Kegagalan tata laksana umumnya disebabkan oleh kegagalan untuk memantau tetesan
dan jumlah cairan pengganti selama fase kritis. Pemberian cairan yang berlebihan atau lebih
lama dari masa kebocoran plasma, kegagalan mengenal perdarahan internal/tersembunyi,
pemberian transfusi trombosit yang tidak perlu, serta kegagalan memantau pasien berobat jalan,
dan penggunaan pipa lambung (nasogastric tube) untuk menentukan adanya perdarahan
seringkali menjadi penyebab tata laksana yang tidak tepat.10

Penerangan kepada orang tua

Penerangan pada orang tua mengenai petanda gejala syok yang mengharuskan anak
dibawa ke rumah sakit yang harus diberikan. Petanda tersebut antara lain adalah keadaan yang
memburuk sewaktu pasien mengalami penurunan suhu, setiap perdarahan yang ditandai dengan
nyeri abdominal akut dan hebat, mengantuk, lemah badan, tidur sepanjang hari, menolak untuk
makan dan minum, lemah badan, gelisah, perubahan tingkah laku, kulit dingin, lembab, tidak
buang air kecil selama 4-6 jam. Anak harus dirawat apabila ada tanda-tanda syok, sangat lemah
sehingga asupan oral tidak dapat mencukupi, perdarahan, hitung trombosit <100.000/mm3, dan
atau peningkatan Ht >10-20%, perburukan ketika penurunan suhu, nyeri abdominal akut hebat
serta tempat tinggal yang jauh dari Rumah Sakit.10

3.10 KOMPLIKASI

Komplikasi DF

DF dengan perdarahan dapat terjadi sehubungan dengan penyakit yang mendasari seperti tukak
lambung yang parah pada trombositopenia dan trauma.8

Komplikasi DBD

Ini biasanya terjadi sehubungan dengan syok berat / berkepanjangan yang menyebabkan asidosis
metabolik dan perdarahan hebat akibat DIC dan kegagalan multiorgan seperti disfungsi hati dan
ginjal.
Penggantian cairan yang berlebihan selama periode kebocoran plasma menyebabkan efusi masif
menyebabkan gangguan pernapasan, kongesti paru akut, dan / atau gagal jantung. Cairan
lanjutan terapi setelah periode kebocoran plasma akan menyebabkan edema paru akut atau gagal
jantung, terutama bila terjadi reabsorpsi cairan ekstravasasi.

Selain itu, syok yang dalam / berkepanjangan dan terapi cairan yang tidak tepat dapat
menyebabkan gangguan metabolisme / elektrolit. Kelainan metabolik sering ditemukan sebagai
hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia, dan kadang-kadang, hiperglikemia. Gangguan ini
dapat menyebabkan berbagai manifestasi yang tidak biasa, misalnya. Ensefalopati.8

3.11 PROGNOSIS

Demam berdarah biasanya merupakan penyakit yang sembuh sendiri dengan tingkat kematian
kurang dari 1%. Saat dirawat, demam berdarah dengue memiliki angka kematian 2-5%. Jika
tidak diobati, demam berdarah dengue memiliki angka kematian mencapai 50%. Korban
biasanya sembuh tanpa gejala sisa dan mengembangkan kekebalan terhadap serotipe yang
menginfeksi.11

Tingkat kematian yang terkait dengan demam berdarah parah bervariasi di setiap negara, dari 12-
44%. Pada epidemi Kuba tahun 1997, angka kematian pada pasien yang memenuhi kriteria
demam berdarah parah adalah sekitar 6%. Angka kematian yang terkait dengan demam berdarah
kurang dari 1%. Data dari epidemi Kuba 1997 menunjukkan bahwa, untuk setiap kasus demam
berdarah yang terlihat secara klinis, 13,9 kasus infeksi dengue tidak dikenali karena gejala yang
tidak ada atau minimal.11

3.12 PENCEGAHAN

Strategi pencegahan dan pengendalian

Pengendalian fisik

● Pemetaan kasus demam berdarah seri-positif di dalam suatu wilayah

penularan demam berdarah dapat dicegah dengan menemukan fokus demam berdarah, dan
kemudian menanganinya dengan strategi pencegahan yang beragam.
● Surveilans yang terfokus dan efektif

Informasi mengenai resiko, reaksi outbreak, evaluasi program dan petunjuk untuk pencegahan
dan pengontrolan dbd edukasi mengenai indentifikasi fektor dan eradikasi yang berisi bagaimana
siklus nyamuk dbd

● Penentuan situs oviposisi

Aedes aegypti betina bertelur di atas air dalam wadah atau toples dan sebagainya untuk
peningkatan kelangsungan hidupnya.

● Program kontrol berdasarkan komunitas

Program pengendalian berbasis masyarakat dikembangkan dengan tujuan untuk mengedukasi


masyarakat tentang langkah-langkah pemusnahan lokasi perkembangbiakan nyamuk.

● Edukasi mengenai strategi pencegahan

Pendidikan berfungsi sebagai dasar bagi kemampuan individu untuk mengidentifikasi dan
menangani habitat vektor, dan menggunakan tindakan pencegahan.12

Pengendalian Biologi

● Paratransgenesis dan penggunaan wolbachia

Pendekatan ini memanfaatkan bakteri simbiosis hasil rekayasa genetika yang diperkenalkan
kembali dalam vektor untuk menjajah populasi vektor, sehingga membatasi penularan penyakit.
Bakteri hasil rekayasa genetika ini menyebabkan efek berbahaya pada tubuh inang, mengganggu
siklus seksualnya, menurunkan kompetensi inang dan mengganggu proses perkembangan spesies
vektor, sehingga menekan populasi vektor.

● Modifikasi genetik spesies vektor

Metode genetik untuk pengendalian A. aegypti bertujuan untuk menekan populasi menyediakan
gen efektor untuk pengurangan dan penghambatan penularan penyakit.

● Penggunaan teknik serangga steril (SIT)


Pelepasan vektor jantan yang disterilkan di laboratorium pada populasi target. Setelah
dilepaskan, nyamuk jantan ini membantu menekan laju fekunditas pada nyamuk betina dan,
akibatnya mengontrol kepadatan vektor di lingkungan perkotaan.

● Penggunaan ikan larvivorous dan krustasea

Karena larva vektor demam berdarah berada di perairan terbuka, penggunaan ikan larvivorous,
menjadi efektif dari segi biaya, ramah lingkungan., dan inovasi strategi pengendalian populasi A.
aegypti. 12

Pengendalian kimia

● Penggunaan insektisida dan turunan tumbuhan

Senyawa kimia yang disebut insektisida telah digunakan untuk pengendalian nyamuk selama
beberapa dekade. Insektisida ini menjadi strategi terpadu yang paling umum digunakan; Namun
demikian, penggunaan terus menerus mengembangkan resistensi dalam populasi vektor target,
dan dapat menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan. Untuk mengatasi efek dari
senyawa ini, peneliti mengembangkan metode pengendalian alternatif yaitu, pengenalan
insektisida nabati yang dapat mempertahankan dan menyebabkan lebih sedikit toksisitas di
lingkungan daripada insektisida sintetis.

● Penggunaan zat pengatur tumbuh serangga / Insect Growth Restriction (IGRs)

Digunakan untuk menghambat pertumbuhan dan perkembangan serangga. Selama tahap awal
perkembangan, IGR menyebabkan perubahan yang membunuh serangga sebelum menjadi
dewasa. Ada sejumlah IGR seperti, diflubenzuron, endotoksin, dan metopren yang telah
digunakan untuk melawan infeksi virus yang disebarkan oleh A. aegypti.12

Pembuatan imunoterapi dan vaksin

● Meskipun tidak ada vaksin khusus untuk demam berdarah yang telah dilisensikan dalam
skala komersial, beberapa kandidat telah menjalani fase perkembangan.12
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI). Jakarta : Badan Penerbit IDAI
2. Harapan, et al. 2020. Dengue: A Minireview. MDPI journal 12(8): 829
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Pedoman Pencegahan &
Pengendalian Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta : KEMENKES RI
4. Wang W-H et al. 2020. Dengue hemorrhagic fever A systematic literature review of
current perspectives on pathogenesis, prevention and control. Journal of Microbiology,
Immunology and Infection https://doi.org/10.1016/j.jmii)
5. World Health Organization. Regional Office for South-East Asia. (2011). Comprehensive
Guideline for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever.
Revised and expanded edition. WHO Regional Office for South-East Asia.
https://apps.who.int/iris/handle/10665/204894
6. Whitehorn J. Simmons CP. 2011. The Pathogenesis of Dengue. Vaccine 722(1-8)
7. Sumarmo SPS, Herry G, dkk. 2012. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Jakarta : Badan
penerbit IDAI
8. Kalra L. dkk. 2011. Comperhensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue
and Dengue Haemorrhagic Fever. India. World Health Organization
9. Hasan S. dkk. 2016. Dengue virus: A global human threat: Review of literature. Journal
of International Society of Preventive & Community Dentistry, 6(1). doi: 10.4103/2231-
0762.175416
10. Hadinegoro S. dkk. 2012. Update Management of Infectious Diseases and
Gastrointestinal Disorders, Jakarta. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
11. Smith S. 2019. What is the prognosis of dengue fever. Diunduh 2 Mei 2021
https://www.medscape.com/answers/215840-43493/what-is-the-prognosis-of-dengue-
fever
12. Rather I. dkk. 2017. Prevention and Control Strategies to Counter Dengue Virus
Infection. Frontiers in Cellular and Infection Microbiology, 336(7). doi:
10.3389/fcimb.2017.00336

Anda mungkin juga menyukai