Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

SINDROM NEFROTIK RELAPS

Disusun Oleh:
Sarah Nurulaini Saleh, dr.

Pendamping:
Nur Cholis, dr.

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA


INSTALASI GAWAT DARURAT
RSUD ARJAWINANGUN
KABUPATEN CIREBON
2020
Identitas Pasien
No. RM : 657237
Nama Pasien : An. RR
Jenis Kelamin : Laki-laki

Tanggal lahir/Usia : 19 April 2006/13 tahun

Pekerjaan : Pelajar

Alamat : Pasalakan, Sumber, Kabupaten Cirebon

Tanggal/Jam : 14 Maret 2020/12.05

Jenis Kasus

☐ Trauma:

☐KLL ☐Kecelakaan Kerja

☐Penganiayaan ☐Child Abuse

☑ Nontrauma

☐ Kebidanan
Triage

Kategori triage berdasarkan Australasian Triage Scale:

Anamnesis

Keluhan utama: Bengkak-bengkak

Anamnesis khusus:
Keluhan dirasakan sejak 3 hari SMRS, bengkak dirasakan muncul di
bagian kelopak mata seperti sembab yang semakin membengkak perlahan-lahan,
bermula dari kelopak mata, kemudian perut, lalu kedua tungkai. Ibu pasien
menyatakan bahwa bengkaknya jika ditekan seperti membentuk cekungan. Tidak
ada bengkak pada buah zakar dan tidak ada keluhan sesak.
Anamnesis umum:
Keluhan bengkak-bengkak ini bukan yang pertama kali, sebelumnya
pasien mengalami keluhan serupa pada Oktober 2019. Keluhan bengkak disertai
dengan air kencing pasien terlihat kuning pekat, keruh, dan cenderung sedikit.
Keluhan bengkak diiringi dengan kenaikan berat badan dari 29 kg menjadi 31 kg.
Keluhan juga disertai sesak dan mual.
Pasien memiliki alergi terhadap seafood terutama udang, akan tetapi
sebelum bengkak pasien tidak memakan seafood. Pasien tidak memiliki warna
kekuningan di mata dan kulit dan tidak ada penggunaan obat-obatan suntik
sebelumnya. Pasien tidak memiliki perawakan kurus ataupun penurunan nafsu
makan. Pasien tidak memiliki adanya sakit di bagian dada dan sesak nafas saat
melakukan aktivitas.
Tidak ada buang air kecil berwarna merah seperti cucian daging, sakit saat
buang air kecil, buang air kecil menjadi sedikit-sedikit, ataupun sulit buang air
kecil. Tidak terdapat demam sebelumnya, batuk pilek, sakit menelan, maupun
luka bernanah pada kulit. Tidak terdapat kemerahan seperti kupu kupu di bagian
wajah, kemerahan setelah terkena cahaya matahari dan atau sakit di bagian
persendian. Tidak terdapat riwayat darah tinggi ataupun menggunakan obat
antihipertensi dalam jangka waktu yang lama.
Pasien pernah berobat untuk penyakit batuk lama selama 6 bulan sampai
tuntas dan dinyatakan bebas dari TB pada Maret 2017. Tidak ada riwayat penyakit
serupa di keluarga.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Tingkat kesadaran : Composmentis, GCS 15 (E4M6V5)
Tanda vital :
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 90x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36,5˚C
SpO2 : 99%
BB : 31Kg
Status Generalis :
Kepala : Mata: Konjungtiva Anemis (+/+), Sklera Ikterik (-/-),
Puffy face/palpebra edema (+/+)
Leher : KGB tidak teraba
Thorax : Bentuk dan gerak simetris,
Cor: BJ I dan II murni reguler, murmur (-), gallops (-)
Pulmo: VBS (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Cembung, BU (+) normal, lembut, NT (-), hepar dan lien
sulit dinilai, shifting dullness (+), fluid wave test (+)
Genitalia`: skrotum edema (-)
Ekstremitas: akral hangat (+/+), CRT <2 detik, edema pretibial (+/+)

Hasil Pemeriksaan Penunjang

Hasil Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hematologi
Hemoglobin 13,6 g/dL 14-17,5 g/dL
Eritrosit 4,91 juta/uL 4,5-5,9 juta/uL
Leukosit 17.500/uL 4.500-11.000/uL
Hematokrit 40,0 % 40,0-54,0 %
Trombosit 288.000/uL 150.000-450.000/uL

Nilai Absolut Eritrosit


MCV 81,5 fL 80-96 fL
MCH 27,7 Pq 28-33 Pq
MCHC 34,0 g/dL 33-36 g/dL
Hitung jenis
Basofil 0,2% 0-1 %
Eosinofil 0,0% 1-6 %
Segmen 83,4 % 50-70 %
Limfosit 10,0 % 20-40 %
Monosit 6,4 % 2-9 %
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Darah
Hasil Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
GDS 119 mg/dL
Ureum 57,10 mg/dL 17,0-43,0 g/dL
Kreatinin 4,91 mg/dL 0,8-1,30 mg/dL
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Kimia Klinik

Hasil Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Makroskopis
Warna Kuning Kuning
Kekeruhan Keruh Jernih
Berat Jenis 1.050 1.001-1.035
pH 6,5 4,6-8,0
Eritrosit (+) (-)
Bilirubin (-) (-)
Urobilinogen Normal <1.0
Keton (-) (-)
Glukosa (-) (-)
Protein (+++) (-)
Nitrit (-) (-)
Leukosit (+) (-)
Sedimen Urine
Eritrosit 20,7/uL <9,1
Leukosit 11,9/uL ≤5,3
Sel epitel 3,0/uL ≤3,8
Silinder 1,0/uL <1,6
Bakteri 20/uL ≤26
Kristal 0,6/uL <0,9
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Urine (Urinalisis Lengkap)

Diagnosis Banding
1. Sindrom Nefrotik Relaps
2. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokus

Diagnosis Kerja
Sindrom Nefrotik Relaps

Tatalaksana
Nonfarmakologi
 IVFD RL 20 tpm
 Pemasangan DC, observasi urin/24 jam

Farmakologi
 Injeksi Furosemid 3x10mg iv
 Injeksi Ranitidine 2x31mg iv
 Injeksi Ondancetron 3x3,1mg iv

Keputusan
☐ R. Resusitasi ☑ R. Tindakan ☐Poliklinik ☐Pulang
Jam keputusan: 12.10
Konsultasi dokter spesialis anak
Advice:
 IVFD Futrolit 20 tpm
 Ambacim 3x1 gram iv
 Santagesik 3x500mg iv
 Pemeriksaan albumin dan kolesterol
 Pemeriksaan rontgen thoraks AP tegak
 Pemeriksaan USG whole abdomen
 Pemeriksaan urine rutin tiap hari
 Terapi lain lanjut
Pasien masuk ruangan rawat inap anak
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:1
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL

B. Epidemiologi
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan. Insiden SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggris adalah 2–7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan
prevalensi berkisar 12–16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang
insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada
anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan
2:1.1

C. Etiologi
Berdasarkan etiologinya, SN dibagi menjadi tiga, yaitu kongenital,
primer/idiopatik, dan sekunder.2
1. Kongenital Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik,
yakni:3
 Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)
 Denys-Drash syndrome (WT1) - Frasier syndrome (WT1)
 Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)
 Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)
 Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-4;
TRPC6)
 Nail-patella syndrome (LMX1B)
 Pierson syndrome (LAMB2)
 Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)

 Galloway-Mowat syndrome
 Oculocerebrorenal (Lowe syndrome 2)
2. Primer
Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau
idiopatik, yakni:3
 Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
 Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
 Mesangial Proliferative Difuse (MPD)
 Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
 Nefropati Membranosa (GNM)
3. Sekunder
Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain
sebagai berikut:3
 Lupus erimatosus sistemik (LES)
 Keganasan, seperti limfoma dan leukemia
 Vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis
dengan poliangitis)
 Sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan
poliangitis)
 Poliartritis nodosa
 Poliangitis mikroskopik
 Purpura Henoch Schonlein
 Immune complex mediated, seperti post streptococcal
(postinfectious) glomerulonephritis

D. Batasan
Berikut ini adalah beberapa batasan yang dipakai pada sindrom nefrotik:1
1. Remisi
Apabila proteinuri negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m 2 LPB/jam)
3 hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut remisi.
2. Relaps
Apabila proteinuri ≥ 2+ ( >40 mg/m2 LPB/jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg) 3 hari berturut-turut
dalam satu minggu, maka disebut relaps.
3. Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis
penuh (2mg/kg/hari) selama 4 minggu mengalami remisi.
4. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis
penuh (2mg/kg/hari) selama 4 minggu tidak mengalami remisi.
5. Sindrom nefrotik relaps jarang
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2 kali dalam 6 bulan sejak
respons awal atau < 4 kali dalam 1 tahun.
6. Sindrom nefrotik relaps sering
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps ≥ 2 kali dalam 6 bulan sejak
respons awal atau ≥ 4 kali dalam 1 tahun.

E. Manifestasi Klinis dan Patofisiologi


Kelainan pokok pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas
dinding kapiler glomerulus yang menyebabkan proteinuria masif dan
hipoalbuminemia. Pada biopsi, penipisan yang luas dari prosesus kaki podosit
(tanda sindrom nefrotik idiopatik) menunjukkan peran penting podosit.
Sindrom nefrotik idiopatik berkaitan pula dengan gangguan kompleks pada
sistem imun, terutama imun yang dimediasi oleh sel T. 4
Pada focal segmental glomerulosclerosis (FSGS), faktor plasma,
diproduksi oleh bagian dari limfosit yang teraktivasi, bertanggung jawab
terhadap kenaikan permeabilitas dinding kapiler. Selain itu, mutasi pada
protein podosit (podocin, α-actinin 4) dan MYH9 (gen podosit) dikaitkan
dengan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS).4
Sindrom nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi NPHS2
(podocin) dan gen WT1, serta komponen lain dari aparatus filtrasi glomerulus,
seperti celah pori, dan termasuk nephrin, NEPH1, dan CD-2 yang terkait
protein:4
1. Proteinuria
Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik. Apabila
ekskresi protein ≥ 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan disebut dengan
protenuria berat. Hal ini digunakan untuk membedakan dengan protenuria
pada pasien bukan sindrom nefrotik.5
2. Hipoalbuminemia
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan
proteinuria adalah hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien
sindrom nefrotik pada anak terjadi hipoalbuminemia apabila kadar albumin
kurang dari 2,5 g/dL.5
Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12–14 g/hari
(130–200 mg/kg) dan jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang
dikatabolisme. Katabolisme secara dominan terjadi pada ekstrarenal,
sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus proksimal ginjal setelah
resorpsi albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien sindrom nefrotik,
hipoalbuminemia merupakan manifestasi dari hilangnya protein dalam urin
yang berlebihan dan peningkatan katabolisme albumin. 5
Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting
pada kejadian hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan
merupakan satu-satunya penyebab pada pasien sindrom nefrotik karena laju
sintesis albumin dapat meningkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan
begitu dapat mengompensasi hilangnya albumin melalui urin. Peningkatan
hilangnya albumin dalam saluran gastrointestinal juga diperkirakan
mempunyai kontribusi terhadap keadaan hipoalbuminemia, tetapi hipotesis
ini hanya mempunyai sedikit bukti. Oleh karena itu, terjadinya
hipoalbuminemia harus ada korelasi yang cukup antara penurunan laju
sintesis albumin di hepar dan peningkatan katabolisme albumin.5
Pada keadaan normal, laju sintesis albumin di hepar dapat meningkat
hingga 300%, sedangkan penelitian pada penderita sindrom nefrotik dengan
hipoalbuminemia menunjukan bahwa laju sintesis albumin di hepar hanya
sedikit di atas keadaan normal meskipun diberikan diet protein yang
adekuat. Hal ini mengindikasikan respon sintesis terhadap albumin oleh
hepar tidak adekuat.5
Tekanan onkotik plasma yang memperfusi hati merupakan regulator
mayor sintesis protein. Bukti eksperimental pada tikus yang secara genetik
menunjukkan adanya defisiensi dalam sirkulasi albumin, menunjukkan dua
kali peningkatan laju transkripsi gen albumin hepar dibandingkan dengan
tikus normal. Meskipun demikian, peningkatan sintesis albumin di hepar
pada tikus tersebut tidak adekuat untuk mengompensasi derajat
hipoalbuminemia, yang mengindikasikan adanya gangguan respon sintesis.
Hal ini juga terjadi pada pasien sindrom nefrotik, penurunan tekanan
onkotik tidak mampu untuk meningkatkan laju sintesis albumin di hati
sejauh mengembalikan konsentrasi plasma albumin. Ada juga bukti pada
subjek yang normal bahwa albumin interstisial hepar mengatur sintesis
albumin. Oleh karena pada sindrom nefrotik pool albumin interstisial hepar
tidak habis, respon sintesis albumin normal dan naik dengan jumlah sedikit,
tetapi tidak mencapai level yang adekuat.5
Asupan diet protein berkontribusi pada sintesis albumin. Sintesis
mRNA albumin hepar dan albumin tidak meningkat pada tikus ketika
diberikan diet rendah protein, tetapi sebaliknya, meningkat pada tikus yang
diberikan diet tinggi protein. Meskipun begitu, level albumin serum tidak
mengalami perubahan karena hiperfiltrasi yang dihasilkan dari peningkatan
konsumsi protein menyebabkan peningkatan albuminuria.5
Kontribusi katabolisme albumin ginjal pada hipoalbuminemia pada
sindrom nefrotik masih merupakan hal yang kontroversial. Dalam penelitian
terdahulu dikemukakan bahwa kapasitas transportasi albumin tubulus ginjal
telah mengalami saturasi pada level albumin terfiltrasi yang fisiologis dan
dengan peningkatan protein yang terfiltrasi yang hanya diekskresikan dalam
urin, bukan diserap dan dikatabolisme. Penelitian pada perfusi tubulus
proksimal yang diisolasi pada kelinci membuktikan sebuah sistem
transportasi ganda untuk uptake albumin. Sebuah sistem kapasitas rendah
yang telah mengalami saturasi pada muatan protein yang berlebih, tetapi
masih dalam level fisiologis, terdapat pula sebuah sistem kapasitas tinggi
dengan afinitas yang rendah, memungkinkan tingkat penyerapan tubular
untuk albumin meningkat karena beban yang disaring naik. Dengan
demikian, peningkatan tingkat fraksi katabolik dapat terjadi pada sindrom
nefrotik.5
Hipotesis ini didukung oleh adanya korelasi positif di antara
katabolisme fraksi albumin dan albuminuria pada tikus dengan puromycin
aminonucleoside PAN yang diinduksi hingga nefrosis. Namun, karena
simpanan total albumin tubuh menurun dalam jumlah banyak pada sindrom
nefrotik, laju katabolik absolut mungkin normal atau bahkan kurang. Hal ini
berpengaruh pada status nutrisi, sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa
katabolisme albumin absolut berkurang pada tikus nefrotik dengan diet
protein rendah, tetapi tidak pada asupan diet protein normal.
Jadi cukup jelas bahwa hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik
merupakan akibat dari perubahan multipel pada homeostasis albumin yang
tidak dapat dikompensasi dengan baik oleh adanya sintesis albumin hepar
dan penurunan katabolisme albumin tubulus ginjal.5
3. Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema
pada sindrom nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang
pembentukan edema. Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh
menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan
merembes ke ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler
glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan
hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari
albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi
hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati
dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian
timbul edema.5

Gambar 1. Terbentuknya edema menurut teori underfilled.5

Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air
tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme
intrarenal primer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi
volume plasma dan cairan ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang
interstisial menyebabkan terbentuknya edema.5
Gambar 2. Terbentuknya edema menurut teori overfilled.5

4. Hiperkolesterolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum
meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan
antara lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis
protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein. Selain itu katabolisme
lemak menurun karena terdapat penurunan kadar lipoprotein lipase plasma,
sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.5

F. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain:1
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin
Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang mengarah
kepada infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED)
 Albumin dan kolesterol serum
 Ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwartz. Rumus Schwartz digunakan untuk
memperkirakan laju filtrasi glomerulus (LFG).6

eLFG = k x L/Scr

Keterangan:
eLFG : estimated LFG (ml/menit/1,73 m2 )
L : tinggi badan (cm)
Scr : serum kreatinin (mg/dL)
k : konstanta (bayi aterm:0,45; anak dan remaja putri:0,55;
remaja putra:0,7)
 Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear
antibody), dan anti ds-DNA
4. Biopsi ginjal
Biopsi ginjal terindikasi pada keadaan-keadaan di bawah ini:1
a. Pada presentasi awal
 Awitan sindrom nefrotik pada usia <1 tahun atau lebih dari 16
tahun
 Terdapat hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten, atau
kadar komplemen C3 serum yang rendah
 Hipertensi menetap
 Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia
 Tersangka sindrom nefrotik sekunder
b. Setelah pengobatan inisial
 SN resisten steroid
 Sebelum memulai terapi siklosporin
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Umum
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di
rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan
edukasi orang tua.1
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan
pemeriksaanpemeriksaan berikut:1
a. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
b. Pengukuran tekanan darah
c. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit
sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch
Schonlein.
d. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan.
Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid
dimulai.
e. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis
INH selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan
tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila
terdapat edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah,
infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan
dan aktivitas fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema
tidak berat, anak boleh sekolah.1
2. Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi
karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis
glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi
protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi
cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended
daily allowances) yaitu 1,5–2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1–2 g/hari)
hanya diperlukan selama anak menderita edema.1
3. Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya
diberikan loop diuretic seperti furosemid 1–3 mg/kgbb/hari, bila perlu
dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik
hemat kalium) 2–4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu
disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih
dari 1–2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan
natrium darah.1
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya
terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL), dapat
diberikan infus albumin 20–25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2–4 jam
untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan
pemberian furosemid intravena 1–2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu
dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-
pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi
jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari
untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload
cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan
dapat dilakukan pungsi asites berulang. Skema pemberian diuretik untuk
mengatasi edema tampak pada Gambar 3.1
Gambar 3. Algoritma pemberian diuretik.1

4. Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/
kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan
pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6
minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati,
seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison
selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral,
campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk
mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela.1
5. Pengobatan dengan Kortikosteroid
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal,
kecuali bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah
prednison atau prednisolon.1
a. Terapi inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan
prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/
hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison
dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi
badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4
minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan
4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5
mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah
makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak
terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid (Gambar 4).1

Gambar 4. Pengobatan inisial kortikosteroid.1

b. Pengobatan SN Relaps
Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 5, yaitu
diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN
remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema,
sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya
infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5–7
hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan
pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai
edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai
diberikan.1
Gambar 5. Pengobatan sindrom nefrotik relaps.1

c. Pengobatan SN Relaps Sering atau Dependen Steroid


Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:1
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian Levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi
terkhir)
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi sepperti tuberkulosis, infeksi di
gigi, radang telinga tengah, atau kecacingan
d. Pengobatan SN dengan Kontraindikasi Steroid
Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi
steroid, seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau
kreatinin, infeksi berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA oral
maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis
2–3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls).
CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan dengan dosis
500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL
0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis,
dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6
bulan).1
e. Pengobatan SN Reisten Steroid
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum
memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya
dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi,
karena gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis. Beberapa
pengobatan SNRS, yakni:1
1. Siklofosfamid (CPA)

2. Siklosporin (CyA)

3. Metilprednisolon puls

4. Obat imunosupresif lain, seperti vinkristin, takrolimus, dan


mikofenolat mofetil

6. Tatalaksana Komplikasi Sindrom Nefrotik


a. Infeksi
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila
terdapat infeksi perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi
yang terutama adalah selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi
peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram negatif dan
Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin
parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu
sefotaksim atau seftriakson selama 10–14 hari. Infeksi lain yang sering
ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran
napas atas karena virus.1
Pada orang tua dipesankan untuk menghindari kontak dengan
pasien varisela. Bila terjadi kontak diberikan profilaksis dengan
imunoglobulin varicella-zoster, dalam waktu kurang dari 96 jam. Bila
tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal
imunoglobulin intravena (400mg/kgbb). Bila sudah terjadi infeksi perlu
diberi obat asiklovir intravena (1500 mg/m2 /hari dibagi 3 dosis) atau
asiklovir oral dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7 – 10
hari, dan pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara.1

b. Trombosis
Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps
menunjukkan bukti defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi
yang berarti terdapat trombosis pembuluh vaskular paru yang
asimtomatik.29 Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan dengan
pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin secara subkutan,
dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih. Pencegahan
tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah, saat ini tidak
dianjurkan.1

c. Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar
LDL dan VLDL kolesterol, trigliserida dan lipoprotein(a) (Lpa) sedangkan
kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik
dan trombogenik, sehingga meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan
progresivitas glomerulosklerosis.1
Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut
bersifat sementara dan tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka
cukup dengan pengurangan diit lemak. Pada SN resisten steroid,
dianjurkan untuk mempertahankan berat badan normal untuk tinggi
badannya, dan diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian
obat penurun lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase (statin).1

d. Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena: 1. Penggunaan steroid
jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia 2.
Kebocoran metabolit vitamin D Oleh karena itu pada pasien SN yang
mendapat terapi steroid jangka lama (lebih dari 3 bulan) dianjurkan
pemberian suplementasi kalsium 250–500 mg/hari dan vitamin D (125–
250 IU).32 Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10%
sebanyak 0,5 mL/kgbb intravena.1

e. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps
dapat terjadi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas
dingin, dan sering disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus
NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15–20 mL/kgbb dalam 20–30
menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb
(tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan
pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1–2 mg/kgbb intravena.1

f. Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam
perjalanan penyakit SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi
diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme), ARB
(angiotensin receptor blocker) calcium channel blockers, atau antagonis β
adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil 90.1

g. Efek samping steroid


Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping
yang signifikan, karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan
orang tuanya. Efek samping tersebut meliputi peningkatan napsu makan,
gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan risiko infeksi,
retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pada semua
pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid,
pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan
setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali.1

H. Komplikasi
Komplikasi pada SN dapat terjadi sebagai bagian dari penyakitnya sendiri
atau sebagai akibat pengobatan, yakni:1
1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis
2. Perubahan hormon dan mineral
3. Pertumbuhan abnormal dan nutrisi
4. Infeksi
5. Peritonitis
6. Infeksi kulit
7. Anemia
8. Gangguan tubulus renal
Komplikasi mayor dari SN adalah infeksi. Anak dengan SN yang
relaps mempunyai kerentanan yang lebih tinggi untuk menderita infeksi
bakterial karena hilangnya imunoglobulin dan faktor B properdin melalui
urin, kecacatan sel yang dimediasi imunitas, terapi imuosupresif, malnutrisi,
dan edema atau ascites.4
Spontaneus bacterial peritonitis adalah infeksi yang biasa terjadi,
walaupun sepsis, pneumonia, selulitis, dan infeksi traktus urinarius mungkin
terjadi. Meskipun Streptococcus pneumonia merupakan organisme tersering
penyebab peritonitis, bakteri gram negatif seperti Escherichia coli, mungkin
juga ditemukan sebagai penyebab.4
DAFTAR PUSTAKA

1. Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Konsensus Tata Laksana


Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2012.
2. Widajat HRR, Muryawan MH, Mellyana O. Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid.
In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Semarang: Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Universitas Diponegoro;2011;252-9.
3. Lane JC. Pediatric nephrotic syndrome 2013 [cited 2013 27 November].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/982920-
overview#aw2aab6b2b3aa.
4. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, III JWSG, Behrman RE. Nelson
Textbook of Pediatrics. 19 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;2011:1801-7.
5. Wirya IW. Sindrom Nefrotik. In: Buku Ajar Nefrologi: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2004.p. 385-9
6. Schwartz GJ, Work DF. Measurement and estimation of GFR in children and
adolescents. Clin J Am Soc Nephrol [Internet]. 2009 [cited 2013 Nov
27];4(11):1832-43. Available from:Pubmed.

Anda mungkin juga menyukai