SINDROM NEFROTIK
Disusun oleh :
dr. Hapsari Rianingtyas
Pembimbing :
dr. Kurniadi Murdini
dr. Megawati
LAPORAN KASUS
SINDROM NEFROTIK
Oleh :
Pembimbing, Pembimbing
h. Jantung :
i. Abdomen
a. Inspeksi : Tanda peradangan (-), bekas operasi (-), ascites (-)
b. Auskultasi : Bising usus (+): 16x/ menit
c. Perkusi : Timpani di seluruh regio
d. Palpasi : Supel, massa (-), pembesaran hepar (-), pembesaran lien
(-) , nyeri tekan (-)
j. Extremitas :
Superior Inferior
Oedem -/- +/+
Ruam -/- -/-
Akral hangat +/+ +/+
CRT < 2dtk <2dtk
D. Pemeriksaan Penunjang
03/09/2020 (sebelum masuk rs)
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
Hematokrit 36 % 40.0-48.0
Limfosit 19 % 25-50
Monosit 5 % 1-6
KIMIA KLINIK :
Albumin 1.51 g/dL 3.5-5.2
SEKRESI DAN
EKSKRESI :
Protein urine 500 mg/dL <10mg/dL
04/09/2020
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
KIMIA KLINIK
05/09/2020
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
Makroskopis :
Warna Kuning Kuning
muda
Kejernihan Agak Jernih
keruh
Berat jenis 1.010 g/mL 1.000-1.020
Mikroskopis :
06/09/2020
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
KIMIA KLINIK
Albumin 2,5 g/dL 3.4- 4.8
08/09/2020
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
Makroskopis :
Warna Kuning Kuning
muda
Kejernihan Jernih Jernih
Mikroskopis :
08/09/2020
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
KIMIA KLINIK
Kolesterol total 638 mg/dL <200
F. Tatalaksana
Inf. D 1/4 4 Tpm
Inj. Cefotaxime 750mg/12 jam
Inj. Furosemid 20mg/ 12 jam
Inj. Methyl prednisolon 20mg/ 8 jam
Captopril tab 12,5 mg / 8 jam
Simvastatin tab 10mg/24 jam
Transfusi albumin 20% 50cc
G. Prognosis
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
H. Follow Up Pasien
Suhu Tekanan Respirasi Nadi
darah rate (x/menit)
(x/menit)
04/09/202 37°C 20 88
0
05/09/202 36,8 °C 130/90 18 90
0
06/09/202 36,8 °C 130/90 18 87
0
07/09/202 36,6 °C 130/90 20 100
0
08/09/202 36,6 °C 120/70 22 102
0
09/09/202 37 °C 130/80 20 90
0
10/09/202 37 °C 110/70 20 102
0
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada
anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif,
hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta sembab. Yang dimaksud proteinuria masif
adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat badan/hari atau lebih.
Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Selain gejala-
gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula hipertensi, hematuri, bahkan kadang-
kadang azotemia
Epidemiologi
Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindroma
nefrotik primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak. Apabila ini timbul
sebagai bagian daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin
maka disebut sindroma nefrotik sekunder. Insidens penyakit sindrom nefrotik primer ini
2 kasus per-tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka
prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak. Insidens di Indonesia diperkirakan 6 kasus
per-tahun tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara lelaki dan perempuan
pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar negeri menunjukkan 2/3 kasus anak dengan SN
dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun.
Pasien syndrome nefrotik primer secara klinis dapat dibagi dalam tiga kelompok
:
1. Kongenital
2. Responsive steroid, dan
3. Resisten steroid
Bentuk congenital ditemukan sejak lahir atau segera sesudahnya. Umumnya
kasus-kasus ini adalah SN tipe Finlandia, suatu penyakit yang diturunkan secara resesif
autosom. Kelompok responsive steroid sebagian besar terdiri atas anak-anak dengan
sindroma nefrotik kelainan minimal (SNKM). Pada penelitian di Jakarta diantara 364
pasien SN yang dibiopsi 44,2% menunjukkan KM. kelompok tidak responsive steroid
atau resisten steroid terdiri atas anak-anak dengan kelainan glomerolus lain. Disebut
sindroma nefrotik sekunder apabila penyakit dasarnya adalah penyakit sistemik karena
obat-obatan, allergen, dan toksin, dll. Sindroma nefrotik dapat timbul dan besrsifat
sementara pada tiap penyakit glomerolus dengan keluarnya protein dalam jumlah yang
cukup banyak dan cukup lama.
Etiologi
Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan
minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.4
2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau
sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.
Penyebab yang sering dijumpai adalah :
Patofisiologi
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom
nefrotik, sedangkan gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder.
Penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar, salah satu teori yang dapat
menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang
endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut
menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler
glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat.
Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya
tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang
interstitial.7 proteinuria dinyatakan ”berat” untuk membedakan dengan proteinuria yang
lebih ringan pada pasien yang bukan sindroma nefrotik. Ekskresi protein sama atau
lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan, dianggap proteinuria berat.
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh
penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-glikoprotein sebagai
perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan
ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal.8
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding
kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema.
Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya
retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha
kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal.
Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian
menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi
cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu
rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan
air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah.
Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill.3 Dalam teori ini dijelaskan bahwa
peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia.
Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena
tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan
volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga
timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium
dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi
sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma
dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke
dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma
yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat
hipervolemia.
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang
dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan
atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit
glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.3
Teori Underfilled Teori Overfilled
Kelainan Glomerolus
Kelainan Glomerolus
Hipoalbuminemia
Volume Plasma >>>
Tek.Onkotik koloid
plasma <<<
Penatalaksanaan
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-
gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10%
kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari.
Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan
sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel berikut :
Tabel 2. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom
nefrotik
Remisi Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama
3 hari berturut-turut.
Kambuh tidak sering Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12
bulan.
Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal, atau
Kambuh sering 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan.
Dependen-steroid Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid,
atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan.
Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60
Resisten-steroid mg/m2/hari selama 4 minggu.
Responder lambat Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa
Nonresponder awal tambahan terapi lain.
PROTOKOL PENGOBATAN
a. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke
bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan
penurunan fungsi ginjal.
b. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau
albumin konsentrat.
e. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka.
Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Jika ada
hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi.
1. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah
diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita
mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi
spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau
kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu
waktu 14 hari.
Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse ditegakkan.
Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali dalam
masa 12 bulan.
1. Induksi
2. Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m 2/48 jam, diberikan selang sehari
dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, prednison
dihentikan.
adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam
masa 12 bulan.
1. Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari,
diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
2. Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m 2/48 jam, diberikan selang sehari
dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison
diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu, kemudian 30
mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya
10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari
diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan.
Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak
respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat
indikasi kontra steroid, atau untuk biopsi ginjal
Siklofosfamid atau
klorambusil
8-12 minggu
Prednison selang
sehari dosis efektif
minimal
Tabel 3. Cara pengobatan yang diusulkan terhadap pasien SNKM dengan relaps frekuen
atau dependen steroid
Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya
akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan
steroid.
DAFTAR PUSTAKA
1. Chesney RW, 1999. The idiopathic nephrotic syndrome. Curr Opin Pediatr 11 :
158-61.
2. International Study of Kidney Disease in Children, 1978. Nephrotic syndrome in
children. Prediction of histopathology from clinical and laboratory chracteristics
at time of diagnosis. Kidney Int 13 : 159.
3. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI pp. 381-426.
4. Feehally J, Johnson RJ, 2000. Introduction to Glomerular Disease : Clinical
Presentations. In : Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive Clinical
Nephrology. London : Mosby; p. 5 : 21.1-4.
5. Wila Wirya IGN, 1992. Penelitian beberapa aspek klinis dan patologi anatomis
sindrom nefrotik primer pada anak di Jakarta. Disertasi. Jakarta : Universitas
Indonesia, 14 Oktober.
6. Noer MS, 1997. Sindrom Nefrotik. In: Putra ST, Suharto, Soewandojo E,
editors. Patofisiologi Kedokteran. Surabaya : GRAMIK FK Universitas
Airlanggap. 137-46.
7. A Report of the International Study of Kidney Disease in Children, 1981. The
primary nephrotic syndrome in children : Identification of patients with minimal
change nephrotic syndrome from initial response to prednison. J Pediatr 98 :
561.
8. Kaysen GA, 1992. Proteinuria and the nephrotic syndrome. In : Schrier RW,
editor. Renal and electrolyte disorders. 4th edition. Boston : Little, Brown and
Company pp. 681-726.
9. Travis L, 2002. Nephrotic syndrome. Emed J [on line] 2002, 3 : 3 [2002 Mar 18]
[(20) : screens]. Available from:
URL:http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm on September 16, 2002 at
08.57.
10. Niaudet P, 2000. Treatment of idiopathic nephrotic syndrome in children. Up To
Date 2000; 8.
A.