Identitas pasien :
Nama : Bapak Torment I ketut
Usia : 44 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Gunung Mas Gang elang No 9 Denpasar
Pekerjaan : Guide turis
Tanggal masuk : 9 -1-2017
X. Follow up
Tanggal 10/1/2017
S: Lemas , mual (-), muntah (-), demam (-) , jaundice +, nafsu makan normal
O: Kesadaran CM, Keadaan stabil
TD: 100/60
Suhu: 36 C
Nadi : 80 x/menit
Mata: Sklera ikterik +/+
- Cek albumin, globulin, SGOT, SGPT, Fosfatase alkali, Gamma Gt, Biltot,
Bilirubin direk
Hasil lab 10/1/17
IMUNOSEROL
OGI
HBe-Ag NON REAKTIF
REAKTIF (Indeks
Anti Hbe 0.01) indeks: < 0.40 Reaktif
indeks : 0.40 s/d 0.50
equivocal
indeks : >0.50 non
reaktif
PENANDA
TUMOR
AFP 121.52 <11.53
Tanggal 11/1/2017
S: Lemas (-) , mual (-), muntah (-), demam (-) , jaundice +, nafsu makan normal
O: Kesadaran CM, Keadaan stabil
TD: 100/60
Suhu: 36 C
Nadi : 80 x/menit
Mata: Sklera ikterik +/+
A: : Hepatitis B kronis dengan HB e negatif dengan liver cirrhosis
P:
- Infus Nacl 0,9% : Aminofusin hepar: D10 1: 2:1 28 tpm
- Baraclode (1-0-0) 1x1
- Hepamax 2x1
- Estazor 2x1
- Pantopump 2 x40 mg
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hepatitis B merupakan penyakit yang banyak ditemukan didunia dan dianggap
sebagai persoalan kesehatan masyarakat yang harus diselesaikan. Hal ini karena selain
prevalensinya tinggi, virus hepatitis B dapat menimbulkan problema pasca akut
bahkan dapat terjadi cirroshis hepatitis dan karsinoma hepatoseluler primer. Sepuluh
persen dari infeksi virus hepatitis B akan menjadi kronik dan 20 % penderita hepatitis
kronik ini dalam waktu 25 tahun sejak tertular akan mengalami cirroshis hepatis dan
karsinoma hepatoselluler (hepatoma). Kemungkinan akan menjadi kronik lebih tinggi
bila infeksi terjadi pada usia balita dimana respon imun belum berkembang secara
sempurna.(Siregar, 2003)
Penyakit Hepatitis B adalah salah satu penyakit menular yang berbahaya di
dunia. Penyakit ini disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) yang menyerang hati
dan menyebabkan peradangan hati akut atau menahun. Walaupun terdapat 7 macam
virus Hepatitis yaitu A, B, C, D, E, F dan G, hanya Hepatitis B dan C yang berbahaya
karena dapat menjadi kronis dan akhirnya menjadi kanker hati. (Suprayitno, dkk,
2006)
Yang di golongkan sebagai hepatitis B kronis adalah hepatitis yang perjalanan
penyakitnya tidak menyembuh secra klinis atau labortorium atau pada gambaran
patologi anatomi selama lebih dari 6 bulan. (hadi, 2002)
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui etiologi, patofisologi,
cara penularan, gambaran klinis, prognosis dan terapi dari hepatitis B virus,
diharapkan dapat mencegah komplikasi yang mungkin terjadi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Etiologi
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh "Virus Hepatitis
B" (VHB), suatu virus DNA bercangkang ganda yang memiliki ukuran 42 nm,
anggota famili Hepadnavirus dengan masa inkubasi 26 160 hari dengan rata- rata 70
80 hari.( Harnawatiaj, 2008)
B. Patologi
Pada manusia hati merupakan target organ bagi virus hepatitis B. Virus
Hepatitis B (VHB) mula-mula melekat pada reseptor spesifik dimembran sel hepar
kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Dalam sitoplasma
VHB melepaskan mantelnya, sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya
nukleokapsid akan menembus dinding sel hati. Di dalam inti asam nukleat VHB akan
keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hospes dan berintegrasi;
pada DNA tersebut. Selanjutnya DNA VHB memerintahkan hati untuk membentuk
protein bagi virus baru dan kemudian terjadi pembentukan virus baru. Virus ini
dilepaskan ke peredaran darah, mekanisme terjadinya kerusakan hati yang kronik
disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi. Apabila reaksi
imunologik tidak ada atau minimal maka terjadi keadaan karier sehat. (Siregar, 2003)
C. Penularan
HBV dapat menular secara parenteral, perinatal, dan hubungan seksual. HBV
dapat menular melalui transfusi atau darah yang terinfeksi atau produk darah,
transpalantasi organ dari donor yang terinfeksi, dan penggunaan bersama jarum suntik
pada pecandu obat-obat terlarang. Trauma jarum suntik pada petugas kesehatan
merupakan faktor risiko untuk terinfeksi. Insidensi infeksi HBV pada petugas
kesehatan melalui jarum suntik mendekati 10%. (Buggs, 2004)
D. Gambaran Klinis
Penyakit seringkali asimtomatik atau dengan keluhan terutama perasaan lelah.
Mungkin ada riwayat pernah transfusi atau penyalahgunaan obat suntik, tetapi sering
pula tidak ada riwayat yang relevan. Perjalanan penyakit berlangsung secara perlahan-
lahan ditandai dengan fluktuasi transaminase yang terjadi dalam beberapa tahun.
Setiap peninggian enzim ini ada kaitannya dengan episode viremia. Kadar
transaminase rata-rata biasanya tiga kali nilai normal, jarang melampaui angka enam
kali nilai normal. Kadar albumin dan bilirubin menjadi mula-mula normal, secara
perlahan menjadi abnormal. Tanda-tanda hipertensi portal, jarang ditemukan pada
awal berobat, splenomegali ditemukan pada 50% kasus. Perdarahan varises esophagus
merupakan gejala pada stadium lanjut. Terjadi trombositopenia sejalan dengan
pembesaran limpa.(Abdurachman, 1996)
E. Pemeriksaan
Hepatitis akut:
Level ALT dan AST yang meningkat (1000-2000 IU/ml). Nilai yang lebih
tinggi ditemukan pada pasien hepatitis dengan ikterik. Biasanya ALT lebih
tinggi daripada AST.
Terdapat peningkatan level Alkaline phosphatase, tetapi biasanya tidak lebih
dari 3 kali batas atas normal.
Level albumin dapat mengalami sedikit penurunan, dan level serum iron dapat
mengalami peningkatan. Pada periode preicteric sering ditemukan leukopenia,
limfositosis, dan peningkatan LED.
Beberapa penanda serologi adalah didapatkannya HBsAg dan HBeAg pada
permulaan yang diikuti dengan HBc Ab(IgM).
Pada pasien yang membaik ditemukan serokonversi HBsAb dan HBeAb serta
IgG HBcAb. Pasien dengan HBsAg yang menetap lebih dari 6 bulan
berkembang menjadi hepatitis kronik.
Level AST dan ALT normal, dan penanda infectivitas (HBeAg Dan HBV
DNA) negatif.
Pada serum dapat ditemukan HBsAG, IgG HBcAb, dan HBeAb.
F. Diagnosis Banding
Hepatitis alkoholik, abses hepar amoeba, hepatitis autoimun, hepatitis non B
G. Komplikasi
Nekrosis hati akut/subakut, hepatitis kronik, sirosiss, gagal hati, dan
karsinoma hepatoseluler. (Buggs, 2004)
H. Prognosis
Sangat bervariasi; pada sebagian kasus, penyakit berjalan ringan dengan
perbaikan biokimia terjadi secara spontan dalam 1 3 tahun. Pada sebagian kasus
lainnya, hepatitis kronik persisten dan kronik aktif berubah menjadi keadaan yang
lebih serius, bahkan berlanjut menjadi sirosis. Secara keseluruhan, walaupun terdapat
kelainan biokimia, pasien tetap asimptomatik dan jarang terjadi kegagalan hati.
(Abdurachman, 1996)
I. Terapi hepatitis B
Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitis B kroik yaitu:
Kelompok imunomodulasi
1. Interferon
2. PEG interferon
Kelompok terapi antivirus
1. Lamivudine
2. Adenovir dipivoksil
3. Entecavir
Tujuan pengobtan hepatitis B kronik adalah mencegah terjadinya liver injury
dengan cara menekan replikasi virus tersebut.
Dalam pengobatan hepatitis B kronik, titik akhir yang sering di pakai adalah
hilangnya pertanda repliksi virus yang aktif dan menetap (HBeAg dan HBV DNA)
J. Terapi imunomodulator
Interferon (IFN) alfa.
Pada penelitian menunjukkan bahwa pada pasien hepatitis B kronik sering
didapatkan penurunan produksi IFN. Sebagai salah satu akibatnya terjadi
gangguan penampilan molekul HLA kelas 1 pada membrane hepatosit yang sangat
di perlukan agar sel T sitotoksik dapat mengenali sel sel hepatosit yang terkena
infeksi VHB. Sel-sel tersebut menampilkan antigen sasaran VHB pada membrane
hepatosit.
IFN dalah salah satu pilihan untuk pengobatan pasien hepatitis B kronik
dengan HBeg positif, dengan aktivitas penyakit ringan sampae sedang, yang
belum mengalami sirosis. Pengaruh pengobatn IFN adalah menurunkan replikasi
virus. Efek antivirus kemungkinan sekali akibat interferon mengikat pada reseptor
khusus di permukaan sel yang kemudian reaksinya menghambat atau menggangu
proses uncoating, RNA transcription, protein synthesis dan assembly virus.
(Mansjoer, 1999)
Efek samping IFN:
Gejala seperti flu
Tanda-tanda supresi sumsum tulang
Depresi
Rambut rontok
Berat badan turun
Gangguan fungsi tiroid
Dosis IFN untuk hepatitis B kronik dengan HBeAg positif adalah 5-10
MU 3x seminggu selama 16-24 minggu.penelitian menunjukkn bahwa terapi
IFN untuk hepatitis B kronik HBeAg negative sebaiknya di berikan selama 12
bulan.
Kontra indikasi terapi IFN adalah sirosis dekompensata, depresi atau
riwayat depresi di waktu yang lalu, dan adanya penyakit jantung berat.
PEG Interferon
Penambahan polietilen glikol (PEG) menimbulkan senywa IFN dengan umur
paruh yang jauh lebih tinggi dibandingkn dengn IFN biasa. Dalam suatu penelitian
yang membandingkan pemakaian PEG IFN alfa 2a dengan dosis 90,180, atau 270
mikrogrm tiap minggu selama 24 minggu menimbulkan penurunan DNA VHB
yang lebih cepat dari IFN biasa yag diberik 4.5 MU 3x seminggu. Serokonversi
HBeAg pada kelompok PEG IFN pada masing-masing dosis adalah sebesar 27,
33, 37% dan pada kelompok IFN biasa sebesar 25%.
Lau et al melakukan penelitian terapi peginterferon tunggal dibandingkan
kombinasi pada 841 penderita hepatitis B kronis. Kelompok pertama mendapatkan
peginterferon alfa 2a (Pegasys) 180 ug/minggu + plasebo tiap hari, kelompok ke
dua mendapatkan peginterferon alfa 2a (Pegasys) 180 ug/minggu + lamivudin 100
mg/hari dan kelompok ke tiga memperoleh lamivudin 100 mg/hari, selama 48
minggu. Hasilnya pada akhir minggu ke 48, yaitu: (1). Serokonversi HBeAg
tertinggi pada peginterferon tanpa kombinasi, yaitu 27%, dibandingkan kombinasi
(24%) dan lamivudin tunggal (20%). (2). Respon virologi tertinggi pada
peginterferon + lamivudin (86%). (3). Normalisasi ALT tertinggi pada lamivudin
(62%). (4). Respon HBsAg pada minggu ke 72 : peginterferon tunggal 8 pasien,
terapi kombinasi 8 pasien dan lamivudin tidak ada serokonversi. (5). Resistensi
(mutasi YMDD) pada minggu ke 48 didapatlan pada: 69 (27%) pasien dengan
lamivudin, 9 pasien (4%) pada kelompok kombinasi, dan (6). Efek samping relatif
minimal pada ketiga kelompok. Disimpulkan bahwa berdasarkan hasil kombinasi
(serokonversi HBeAg, normalisasi ALT, penurunan HBV DNA dan supresi
HBsAg), peginterferon memberikan hasil lebih baik dibandingkan lamivudin.
K. Terapi antivirus
Lamivudin
Lamivudin adalah suatu enantiomer (-) dari 3` tiasitidin yang merupakan suatu
analog nukleosid.nukleosid berfingsi sebagai bahan pembentuk pregenom,
sehingga analog nukleosid bersaing dengan nukleosid asli. Lamivudin berkhasiat
menghambat enzim reverse transcriptase yang berfungsi dalam transkrip balik dari
RNA menjadi DNA yang terjadi dalam replikasi VHB. Lamivudin menghambat
produksi VHB baru dan mencegh terjadinya infeksi hepatosit sehat yang belum
terinfeksi, tetapi tidak mempengaruhi sel-sel yang telah terinfeksi Karena pada sl-
sel yg telah terinfeksi DNA VHB ada dalam keadaan covalent closed circulation
(cccDNA). Karen itu setelah obat dihentikan, titer DNA VHB akan kembali lagi
seperti semula Karen sel-sel yang terinfeksi akan memprodiksi virus baru lagi.
Lamivudin adalah analog nukleosid oral dengan aktivits antivirus yang kuat.jika
di berikan dalm dosis 100mg/hari, lamivudin akan menurunkan konsentrasi DNA
VHB sebesr 95% atau lebih dalam waktu 1 minggu.
Menurut penelitin, dalam waktu 1 tahun serokonversi HBeAg menjadi anti-
HBe terjadi pada 16-18% pasien yang mendapat lamivudin, sedangkan
serokonversi hanya terjadi pada 4-6% pasien yang mendapat placebo dan 19%
pada pasien yang mendapat IFN.
Setelah terapi, konsentrasi ALT berangsur-angsur menjadi normal. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pengobatan lamivudin selama 1 tahun telah terjadi
perbaikan derajat nekroinflamasi serta penurunan progresi fibrosis yang
bermakna. Di samping itu terjdi penurunan indeks aktivits histologik (histologic
activity index) lebih besar atau sama dengan 2 poin pada 62-70% pasien yang
mendapat lamivudin dibandingkn dengan 30-33% pada kelompok plasebo.
Lamivudin menurunkan progesi fibrosis sebesar 30% dibandingkan dengaan 15%
pada kelompok plsebo. Pada kelompok lamivudin progesi menjadi sirosis terjdi
pda 1,8% dibandingkan dengan 7,1% pada kelompok plasebo. Suatu penelitian
yang dilakukan pada 154 orang pasien sirosis yang mendapat lamivudin
menunjukkan bahwa pasien dengn sirosis yang relative lebih ringan mendapat
manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan pasien sirosis berat.
Khasiat lamivudin semakin meningkat bila diberikan dalm waktu yang lebih
panjang. Karena itu strategi pengobatan yang tepat adalah pengobatan jangka
panjang. Penelitian di lakukan secara prospektif ( cohort) pada terapi yang
diberikan Selama 4 tahun menunjukkan serokonversi berturut-turut setiap
tahunnya sebagai berikut: 22,29,40, dan 47%. Sayangnya, strategi terapi
berkepanjangan ini terhambat oleh munculnya virus yang kebal terhdap
lamivudin, yang biasa disebut YMDD. Mutant tersebut akan meningkat 20% tiap
tahunnya bila terapi lamivudin di teruskan.
Adefovir Dipivoksil
Adefovir merupakan analog asiklik dari deoxyadenosine monophosphate
(dAMP), yang sudah disetujui oleh FDA untuk digunakan sebagai anti virus
terhadap hepatitis B kronis. Cara kerjanya adalah dengan menghambat amplifikasi
dari cccDNA virus. Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa adalah 10
mg/hari oral paling tidak selama satu tahun (Fung, 2003)
Marcellin et al (2003) melakukan penelitian pada 515 pasien hepatitis B kronis
dengan HBeAg positif yang diterapi dengan adefovir 10mg dan 30mg selama 48
minggu dibandingkan plasebo. Disimpulkan bahwa adefovir memberikan hasil
lebih baik secara signifikan (p<0,001) dalam hal : respon histologi, normalisasi
ALT, serokonversi HBeAg dan penurunan kadar HBV DNA. Keamanan adefovir
10 mg sama dengan placebo.
Hadziyanmis et al memberikan adefovir pada penderita hepatitis B kronis
dengan HBeAg negatif. Pada pasien yang mendapatkan 10 mg adefovir terjadi
penurunan HBV DNA secara bermakna dibandingkan plasebo, namun efikasinya
menghilang pada evaluasi minggu ke 48. Pada kelompok yang medapatkan
adefovir selama 144 minggu efikasinya dapat dipertahankan dengan resistensi
sebesar 5,9%.
Keuntungan dan kerugian adefovir. Keuntungan penggunan adefovir adalah
jarang terjadi kekebalan, kerugiannya adalah toksisitas terhadap ginjal yang sering
di jumpai pda dosis 30mg tau lebih, harga yang lebih mahal dan masih kurngnya
data mengenai keamanan dan khasiat dalam jangka yang sangat panjang.
Entecavir
Entecavir adalah Antiretroviral Agent, Reverse Transcriptase Inhibitor
(Nucleoside), Meknisme khasiat entecavir hampir sama dengan lamivudin dan
adefovir dipivoksil. Mekanisme Aksi Entecavir merupakan analog inhibitor
guanosin yang berkompetisi dengan substrat natural deoxyguanosine triphosphate
yang secara efektif menghambat aktivitas polimerase virus hepatitis sehingga
mengurangi sintesis DNA virus.
Dosis untuk terapi hepatitis B kronik adalah 0,5mg per hari, sedangka pada
penderita yang resisten terhadap lamivudin menggunkan dosis 1 mg per-hari
diberikan pada perut kosong (2 jam sebelum atau setelah makan).
Efek samping:
o >10% peningkatan alanin aminotransferase (ALT/SGPT)
o CNS: pusing (2-4%), fatigue (1-3%)
o Endokrin dan metabolik : hiperglikemia (2%)
o Gastrointestinal: peningkatan lipase (7-8%), Peningkatan lipase (2-3%),
diarrhea (1%), dispepsia (1%)
o Hepatik : peningkatan AST (5%), peningkatan bilirubin (1-2%)
o Renal: Hematuria (9%), glycosuria (4%), peningkatan creatinine (1-2%),
o <1% : Dizziness, hypoalbuminemia, insomnia, nausea, somnolence,
thrombocytopenia, vomiting
Keuntungan dan kerugian entecavir. Keuntungan penggunan entecavir adalah
jarang terjadi kekebalan, dapat digunakan pada pasien yang kebal pada lamivudin,
kerugiannya adalah harga yang lebih mahal dan masih kurangnya data mengenai
keamanan dan khasiat dalam jangka yang sangat panjang.
(HBeAg-positive) (HBeAg-negative)
Entecavir 0.5 Lamivudine 100 Entecavir 0.5 Lamivudine 100
mg (n=354) mg (n=355) mg (n=325) mg (N=313)
HBV DNA 67 percent* 36 percent 90 percent* 72 percent
Proportion
undetectable
(<300 copies/mL)
HBV DNA Mean -6.86* -5.39 -5.04* -4.53
changes from
baseline (log10
copies/mL)
ALT 68 percent* 60 percent 78 percent* 71 percent
normalization (1
X ULN)
HBeAg 21 percent 18 percent - -
seroconversion
Entecavir VS Lamivudin
* p <0.05.
Berdasarkan tabel di atas entecavir lebih efektif dari pada lamivudin, entecavir
dapat digunakan pada pasien yang resisten lamivudin, dan keuntungn lainnya adalah
efek samping pada entecavir lebih sedikit dibandingkan lamivudin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, S. A.: Hepatitis Virus Kronik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta. Edisi 3. Jilid 1., 269-70, 1996.
Andra., Strategi Tatalaksana Hepatitis B, Pertemuan Ilmiah Nasional PAPDI Ke-4. Edisi
Januari 2007 (Vol.6 No.6)
Buggs, A. M.: Hepatitis dalam http://www.emedicine.com/ emerg/topic244.htm. Last
updated: June 16, 2004.
Fung YM., Lai CL. Current and future antiviral agents for chronic hepatitis B. J. Antimicrob
Chemotherapy 2003 : 51 : 481-85
Hadi, S., Gstroenterologi. Edisi 7., Penerbit alumni., bandung. 2002
Hadziyannis SJ, Tassopoulos NC, Heathcote EJ, Chang TT, Kitis G, Rizzeto EJ, Marcellin P,
Lim SG, Goodman Z, Jia Ma MS, Arterbun S, Xiong S, urrie G, Brosgart CL. Long
term therapy with adefovir dipivoxil for HBVeAg-negative chronic hepatitis B. New
Engl J Med 2005; 352 : 26: 2673-81
Harnawatiaj., Hepatitis (diakses pada 1, January 2009)
http://harnawatiaj.wordpress.com/author/harnawatiaj/
Lau GK, Piratvisuth ., Lou XL, Marcellin P, Thongsawat S, Cooksley G, Gane E, Fried MW,
Chow WC, Paik SW, Chang WY, Berg T, Flisiak R, McLoud P, Pluck N.
Peginterferon alfa-2a, lamivudin, and the combination for HBeAg_positive chronic
hepatitis B. New Engl J Med 2005; 352 : 26 : 2682
Lok ASF., Entecavir in the treatment of chronic hepatitis B virus infection. Up to date 2007.
Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W. I., Setiowulan, W.: Hepatitis kronik
(Hepatologi) dalam Kapita Selekta Kedokteran. Penerbit Media Aesculapius. Jakarta.
Ed 3. Jilid 1., 515-516, 1999.
Marcellin P, Chang TT, Lim SG, Tong MJ, Sievert W, Shiffman ML,Jefferes L. et.al.
Adefovir dipovoxil for treatment of hepatitis Be antigen-positive chronic hepatitis B.
New Engl J Med 2003; 348 : 806-16.
Siregaar, FA., Hepatitis B ditinjau dari kesehatan masyarakat dan upaya pencegahan. Fakultas
Kesehatan masyarakat. Universitas Sumatera Utara., 2003
Soemohardjo, S., Gunwan, S. Hepatitis B Kronik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Edisi 4. Jilid 1., 2006.
Suharjo, JB., Cahyono B., Diagnosis dan Manajemen Hepatitis B Kronis, Cermin Dunia
Kedokteran No. 150, 2006.
Suprayitno, A., Putra, SE., Microsphere Drug Delivery untuk Hepatitis B (diakses pada 1,
January 2009) www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=97