Identitas pasien :
Nama : An. Abdullah Maulana Ishaq
Usia : 9 bulan 13 hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Imam Bonjol GG 100
BB : 6,7 kg
Tanggal masuk : 9 -1-2017
Diare adalah adanya perubahan konsistensi pada tinja seseorang menjadi lebih lembek atau
cair yang umumnya terjadi setidaknya tiga kali dalam 24 jam dan/atau terdapat peningkatan
frekuensi buang air besar dari biasanya.1 Walaupun demikian, perubahan pada konsistensi
tinja merupakan penilaian yang lebih menandakan diare dibandingkan dengan peningkatan
frekuensi defekasi, terutama pada bayi.2
Menurut World Health Organization (WHO), terdapat sekitar dua miliar kasus diare
di seluruh dunia tiap tahunnya dan 1.9 juta anak berusia dibawah 5 tahun (balita) menderita
diare setiap tahunnya.3 Pada tahun 2015, diare merupakan penyebab kematian utama yaitu
mencapai 9% dari seluruh kematian anak balita di dunia. Dengan demikian, terdapat lebih
dari 1400 anak meninggal setiap harinya atau lebih dari 530.000 kematian per tahun akibat
diare meskipun sudah tersedia penanganan yang sederhana dan efektif. 4 Di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia, diare merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
terutama pada anak usia dibawah 5 tahun.5
Meskipun angka kesakitan dan kematian diare masih tinggi, angka kematian diare
mengalami penurunan lebih dari 50% dari 1.2 juta menjadi 530.000 kematian pertahunnya
sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2015. Hal ini dikarenakan adanya perbaikan sistem
untuk meningkatkan pencegahan diare dengan melakukan intervensi dasar pada perbaikan air
minum, sanitasi, dan kebersihan. Selain itu juga dikarenakan luasnya penggunaan terapi
rehidrasi oral menggunakan oralit sebagai penanganan dehidrasi, serta akibat penggunaan
suplementasi zink untuk membantu proses penyembuhan diare.4 Pada tahun 2012,
penanganan diare sesuai standar di fasilitas kesehatan sebesar 36,6% dengan capaian tertinggi
di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Timur yang masing-masing sebesar 100%. 5 Berdasarkan
riskesdas tahun 2013, Angka pemakaian oralit dalam mengelola diare pada penduduk
Indonesia adalah 33,3 persen.7
Oralit mulai ditemukan sejak tahun 1940-an oleh inisiatif Daniel Harrow di
Universitas Yale dan Harold Harrison di RS Baltimore City. Larutan ini terbukti
menyumbangkan peranan besar dalam menurunkan angka mortalitas pada kejadian diare
akut. Sejak saat itu larutan oralit terus berkembang hingga saat ini ditemukan larutan oralit
dengan osmolaritas rendah yang sudah digunakan di seluruh dunia.6
Tabel 1: Klasifikasi penilaian derajat dehidrasi berdasarkan tanda klinis oleh WHO 10,11
Sebagian besar anak dengan diare dapat dan seharusnya bisa ditatalaksana di layanan
primer, namun kurangnya panduan untuk klinisi untuk mengidentifikasi anak dengan
dehidrasi yang lebih berat menyebabkan seringkali tatalaksana yang diberikan kurang tepat.12
Oleh karena sulitnya penentuan derajat dehidrasi secara objektif dan tepat sesuai dengan
defisit cairan tubuh, maka dibuatlah sebuah pendekatan klinis yang lebih sederhana oleh
National Institute for Health and Clinical Excellence /NICE guideline tahun 2009. Pasien
akan diklasifikasikan menjadi: tidak ada dehidrasi, tampak klinis dehidrasi, dan tampak
klinis syok (tabel 2). Dengan demikian maka klinisi hanya perlu mendeteksi adanya tanda
dan gejala dehidrasi secara klinis. Penyederhanaan skema ini tidak berarti semua derajat
dehidrasi disamakan, namun karena mengetahui adanya kesulitan dalam penentuan derajat
dehidrasi di lapangan sehingga skema disederhanakan. Semakin banyak tanda dan gejala
klinis dehidrasi yang tampak, maka derajat keparahan dehidrasi yang dialami juga semakin
berat. Tujuan akhir dari skema ini ialah pemilihan terapi cairan yang akan diterapkan pada
anak tersebut.
Dehidrasi Tanpa
Tampak klinis dehidrasi Tampak klinis syok
Tanda Klinis
Tampak tidak sehat atau
Tampak baik -
memburuk*
Responsif terganggu (iritabel, Penurunan tingkat
Gejala Siaga dan responsif
letargi)* kesadaran
Urine Output normal Urine Output menurun -
Warna kulit tidak
Warna kulit tidak berubah Kulit pucat atau mottled
berubah
Ekstremitas hangat Ekstremitas hangat Ekstremitas dingin
Responsif terganggu (iritabel, Penurunan tingkat
Siaga dan responsif
letargi)* kesadaran
Warna kulit tidak
Warna kulit tidak berubah Kulit pucat atau mottled
berubah
Ekstremitas hangat Ekstremitas hangat Ekstremitasdingin
Mata tidak cekung Mata cekung* -
Membran mukosa Membran mukosa kering
lembab (kecuali untuk pernafasan -
Penilaian tanda dan gejala syok hipovolemik pada anak dengan diare merupakan
sesuatu yang sangat penting karena membutuhkan tatalaksana emergensi yang spesifik
dengan pemberian bolus cairan intravena. Pasien dengan syok hipovolemik umumnya
disamping menunjukkan manifestasi klinis spesifik syok, juga menunjukkan tanda dehidrasi.
Tumpang tindih antara gejala dehidrasi dan syok sering terjadi dan seringkali menjadi sulit
dibedakan, terutama karena keduanya berhubungan dengan perubahan tingkat kesadaran.
Pada dehidrasi, letargi atau iritabel umumnya lebih sering ditemukan sedangkan pada syok
penurunan kesadaran akan terjadi lebih berat. Sama halnya dengan peningkatan laju nadi
yang dapat terjadi pada dehidrasi maupun syok, namun pada syok peningkatan yang terjadi
lebih signifikan. Pada pasien anak yang menunjukkan tanda atau gejala dehidrasi dengan
tanda bahaya(*) pada kategori tampak klinis dehidrasi, perlu diwaspadai adanya
kemungkinan progresi menjadi syok. Dengan demikian, pasien tersebut perlu mendapat
pemantauan ketat untuk menilai adanya perburukan.8
Berdasarkan sebuah meta analisis yang dilakukan tahun 2011 untuk menilai panduan
gastroenteritis akut ada anak, panduan yang dikeluarkan oleh National Institute for Health
and Clinical Excellence (NICE) guideline tahun 2009 merupakan panduan yang paling
direkomendasikan dibanding panduan-panduan sebelumnya.9
Dehidrasi merupakan penyebab utama kematian pada kejadian diare dan hal ini seharusnya
dapat dicegah dengan pemberian tatalaksana cairan yang tepat untuk menggantikan defisit
cairan dan elektrolit yang terjadi. Apabila dehidrasi sudah tampak secara klinis akibat banyak
kehilangan cairan karena diare (dehidrasi primer), maka rehidrasi perlu dilakukan. Selain itu,
setelah mendapat rehidrasi yang cukup, ada kemungkinan untuk terjadi dehidrasi rekuren
(dehidrasi sekunder) dan tatalaksana cairan yang tepat dapat mengurangi kejadian tersebut.9
Pada panduan sebelumnya yang diadaptasi dari WHO 2005, terapi cairan diberikan
berdasarkan derajat keparahan dehidrasi, yang terdiri dari rencana terapi A untuk diare tanpa
dehidrasi, rencana terapi B untuk diare dengan dehidrasi ringan sedang dan terapi C untuk
diare dengan dehidrasi berat. Namun tatalaksana mengenai syok hipovolemik akibat defisit
cairan pada diare belum dijabarkan pada panduan tersebut.10,11
Pencegahan dehidrasi
Pada anak diare tanpa dehidrasi, maka tatalaksana yang diberikan ialah:8
Teruskan ASI atau susu yang biasa diminum jika sudah tidak mengkonsumsi ASI
Berikan asupan cairan
Hindari meminum jus buah dan minuman bersoda, terutama pada anak-anak yang
lebih berisiko untuk mengalami dehidrasi (tabel 4)
Berikan oralit sebagai tambahan cairan terutama pada anak-anak yang lebih berisiko
untuk mengalami dehidrasi.
Tatalaksana dehidrasi
Tatalaksana dehidrasi meliputi dua fase: rehidrasi dan rumatan. Pada fase rehidrasi, defisit
cairan diganti secara cepat (dalam 3-4 jam) dan status klinis hidrasi dinilai. Pada fase
rumatan, diberikan cairan dan kalori sesuai dengan kebutuhan rumatan.6
Terapi rehidrasi oral merupakan tatalaksana utama untuk semua anak dengan diare kecuali
terdapat indikasi penggunaan cairan intravena. Berdasarkan penelitian yang membandingkan
terapi rehidrasi oral dan intravena, didapatkan bahwa rehidrasi oral memiliki durasi lama
rawat lebih singkat dan pada terapi rehidrasi intarvena memiliki risiko phlebitis yang lebih
tinggi.13
Efikasi terapi rehidrasi oral dibandingkan dengan terapi intravena pada dehidrasi berat
juga sudah dibuktikan.2,9 Terdapat dua randomized controlled trial (RCT) yang mengevaluasi
efektifitas dan keamanan terapi rehidrasi oral dibandingkan dengan terapi cairan intarvena
pada anak dengan dehidrasi berat. Pada RCT dari Iran, sebuah studi populasi dengan jumlah
sampel 470 anak (usia 1-18 bulan) dengan diare cair dan muntah serta menunjukkan gejala
dehidrasi berat (kriteria WHO) dan RCT dari Indonesia dengan sampel berjumlah 75 anak
(usia 1-59 bulan) yang mengalami diare akut dengan dehidrasi berat. Keduanya menunjukkan
bahwa risiko kegagalan rehidrasi, durasi diare, dan risiko muntah saat rehidrasi, lebih rendah
pada terapi rehidrasi oral dibandingan dengan terapi cairan intarvena pada anak dengan
dehidrasi berat. Pada kedua modalitas terapi tersebut juga didapatkan tidak ada perbedaan
yang signifikan pada komplikasi yang ditimbulkan.14,15
Walaupun sebagian besar anak dengan dehidrasi berhasil ditatalaksana dengan terapi
rehidrasi oral, namun pada beberapa kejadian, terapi rehidrasi cairan intravena menjadi
pilihan terapi.
Anak dengan tanda bahaya (tabel 2) yang tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi
rehidrasi oral
Muntah persisten setelah pemberian larutan oralit baik secara oral maupun NGT.
Sebelumnya belum terdapat studi yang memberikan bukti untuk memulai terapi rehidrasi
intravena pada anak dengan dehidrasi. Seluruh anak dengan syok hipovolemik akibat
dehidrasi memerlukan terapi rehidrasi intravena. Pasien dengan dehidrasi berat memiliki
risiko untuk mengalami syok. Seperti dibahas sebelumnya bahwa manifestasi klinis daripada
syok dan dehidrasi seringkali tumpang tindih. Apabila terdapat keraguan dalam
membedakannya, tatalaksana anak sebagai pasien syok dan memerlukan terapi intravena. 8
Pada pasien dengan syok hipovolemik akibat diare maka tatalaksana yang diberikan
ialah bolus NaCL 0.9% 20 ml/kg.
Jika setelah bolus belum didapati perbaikan, maka dapat diberikan kembali bolus
kedua sebanyak 20 ml/kg sambil mencari kemungkinan penyebab syok selain
hipovolemia, misalnya sepsis.
Pertimbangkan untuk merujuk ke Pediatric Intensive Care Unit (PICU) jika anak
tetap dalam kondisi syok setelah bolus kedua.
Setelah syok teratasi setelah pemberian bolus cairan, maka dapat memulai rehidrasi
dengan terapi cairan intravena dengan menambahkan 100 ml/kg sebagai pengganti
defisit cairan ke dalam kebutuhan cairan rumatan dan pantau respon klinis yang
terjadi.
Walaupun belum ada cara yang tepat untuk dapat mengetahui secara akurat defisit cairan
dan volume cairan pengganti yang dibutuhkan, namun apabila seseorang sudah berada dalam
stase syok hipovolemik, maka volume intravaskular sudah pasti menurun secara signifikan
akibat kehilangan cairan. Untuk dapat mencapai stase tersebut, setidaknya anak tersebut
sudah mengalami dehidrasi sebanyak minimal 10% sebelumnya, oleh karena itu anak tersebut
perlu menerima 100 ml/kg cairan sebagai pengganti defisit cairan yang terjadi setelah syok
teratasi.8
Jika terapi rehidrasi intravena diperlukan pada anak diare dengan dehidrasi (dan anak tidak
menunjukkan gejala hipernatremia), maka:8
Gunakan cairan isotonik seperti NaCl 0.9% atau NaCl0.9% dengan glukosa 5%
sebagai cairan pengganti defisit dan rumatan.
Pada anak dengan dehidrasi tanpa syok, maka tambahkan 50 ml/kg sebagai pengganti
defisit cairan ke dalam kebutuhan cairan rumatan dan pantau respon klinis yang
terjadi.
Laju rehidrasi terapi cairan intravena dilakukan secara cepat (rapid rehydration therapy).
Dengan pemberian terapi rehidrasi secara cepat, maka perfusi gastrointestinal akan
meningkat sehingga terapi oral dapat dimulai lebih cepat. Selain itu terapi rehidrasi secara
cepat juga dapat memperbaiki perfusi ginjal yang dapat berpengaruh pada keadaan asidosis
dan gangguan elektrolit akibat dehidrasi. Terdapat beberapa rekomendasi dalam menetapkan
laju kecepatan rehidrasi misalnya yang diterapkan oleh WHO yaitu 100 ml/kg dalam 3-6 jam,
namun panduan yang dikeluarkan oleh NICE 2009 tidak menyebutkan laju optimal untuk
pemberian terapi carian rehidrasi intravena pada anak diare dengan dehidrasi. 8
European Society for Paediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition (ESPGHAN)
menyebutkan bahwa pada anak dengan dehidrasi berat yang memerlukan terapi intravena,
dapat diberikan terapi rehidrasi intravena secara cepat yaitu NaCl 0.9% 20 ml/kg/jam selama
2-4 jam dan untuk cairan rumatan menggunakan cairan yang mengandung dextrosa.2
Kesimpulan
Dehidrasi merupakan komplikasi utama yang menyumbang angka mortalitas tinggi pada
diare yang seharusnya dapat dicegah dengan pemberian tatalaksana cairan yang tepat.
Namun, adanya kesulitan dalam menentukan derajat keparahan dehidrasi kadangkala
menyebabkan terapi cairan yang diberikan kurang tepat. Selain itu, tanda dan gejala dehidrasi
yang tumpang tindih dengan syok hipovolemik seringkali menimbulkan kontroversi dalam
penanganan terapi cairan pada diare. Oleh karena itu, penting bagi klinisi untuk dapat
mewaspadai gejala dehidrasi dengan tanda bahaya karena memiliki kemungkinan untuk
mengalami progresi menjadi syok. Dengan demikian, terapi emergensi spesifik sebagai
penanganan syok hipovolemik juga dapat diberikan.
Daftar Pustaka
1 Diarrhoeal disease Fact sheet N330". World Health Organization. April 2013.
Retrieved 9 July 2014.
2 Guarino A, Ashkenazi S, Gendrel D, Vecchio AL, Shamir R, Szajewska H.
European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and
Nutrition/European Society for Pediatric Infectious Diseases Evidence-Based
Guidelines for the Management of Acute Gastroenteritis in Children in Europe:
Update 2014. JPGN 2014; 59(1):132-42
3 World gastroenterology Organisation (WGO). World gastroenterology
Organisation global guideline: acute diarrhea in adults and children: a global
perspective. Milwakee (WI): World gastroenterology Organisation (WGO); 2012
Feb. 24p
4 United Nations Children's Fund (UNICEF). Diarrhoea remains a leading killer of
young children, despite the availability of a simple treatment solution [Internet].
2016 [updated 2016 Oct; cited 2016 Oct 13] Available from:
http://data.unicef.org/topic/child-health/diarrhoeal-disease/
5 Kementerian Kesehatan. Pusat Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia
2012. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2012.