Oleh:
Agra Dhira Narendraputra 0910710001
Dian Wulandaru S. P 0910710045
Izzul Haziq Bin Zahba 0910714005
Virginia A Nugroho 0910710130
Pembimbing:
dr. Atma Gunawan, SpPD-KGH
PENDAHULUAN
Gagal ginjal kronis (GGK) adalah suatu sindrom klinis disebabkan penurunan fungsi
ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, serta bersifat
persisten dan irreversibel (Mansjoer, 2000). GGK makin banyak menarik perhatian dan
makin banyak dipelajari, meskipun sudah mencapai tahap gagal ginjal terminal, penderita
masih dapat bertahan dengan kualitas hidup yang cukup baik (Sidabutar, 1992 dalam Lubis,
2006).
Prevalensi penderita GGK di Amerika Serikat pada akhir tahun 2002, sekitar 345.000
orang. Pada tahun 2007 bertambah 80.000 orang dan diperkirakan pada tahun 2010 angka
tersebut menjadi 660.000 orang. Hampir setiap tahunnya sekitar 70.000orang di Amerika
Serikat, meninggal dunia disebabkan oleh gagal ginjal (Lewis, Heitkemper, & Dirksen, 2004).
Di Indonesia, menurut Suhardjono (2000), berdasarkanPusat Data & Informasi Perhimpunan
Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PDPERSI) jumlah penderita gagal ginjal kronik
diperkirakan sekitar 50 orang per satu juta penduduk.Menurut Sinaga (2007), pada tahun
2006 ada sekitar 100.000 orang lebih penderita gagal ginjal di Indonesia. Syafei (2009),
mengatakan pada tahun 2009 sekitar 6,2 persen penduduk Indonesia menderita GGK. Dari
jumlah tersebut diketahui lebih kurang 70.000 orang memerlukan terapi pengganti ginjal
seperti Hemodialisa. Di Jakarta khususnya di RSUN Cipto Mangunkusumo, menurut Sinaga
(2007) ada sebanyak 120 orang pasien gagal ginjal menjalani pengobatan hemodialisa.
. Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada
kapiler-kepiler ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir keunit-
unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan
kematian. Dengan rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar melalui urin sehingga
tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema yang sering dijumpai pada
hipertensi kronik (Corwin, 2000).
Dilihat dari perjalanan penyakitnya, kerusakan ginjal yang lebih parah dapat dicegah
jika berhasil didiagnosis secara dini dan diberikan terapi yang agresif sehingga kecacatan
permanen serta komplikasi lain akibat gagal ginjal kronis dapat dihindari. Selain pemberian
perhatian khusus terhadap pasien dengan gagal ginjal, perhatian juga diberikan kepada
pasien dengan hipertensi agar dapat mencegah komplikasi lebih lanjut. Dalam Standar
Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012, gagal ginjal kronis dinilai sebagai
kompetensi 2 untuk dokter umum. Artinya bahwa lulusan dokter umum harus mampu
membuat diagnosis klinik dan segera merujuk ke dokter spesialis. Sedangkan untuk
hipertensi, dokter umum mempunyai komptenesi 4 yang mana seorang dokter umum harus
bias menanga7ni kasus hipertensi secara tuntas. Dalam karya tulis ilmiah ini,berpedoman
pada kompetensi yang diharapkan untuk lulusan dokter umum, maka akan dibahas
mengenai hipertensi dengan gagal ginjal krotis menggunakan metode studi kasus.
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.2 ANAMNESIS
Deskripsi
Pasien datang ke IGD karena keluhan sesak. Sesak sejak 1 bulan smrs dan
memberat sejak 1 minggu smrs. Sesak berhubungan dengan aktivitas. Sesak bila berjalan
jauh + 5 m dan membaik dengan istirahat. Pasien juga mengeluh mual tanpa muntah sejak
1 minggu smrs. Keluhan batuk disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal. Pasien juga
mengeluh pusing dan sulit tidur sejak 1 minggu sebelum mrs. Pasien didiagnosa hipertensi
sejak satu tahun yang lalu. Tekanan darah paling tinggi 190/... Pasien mendapat obat dari
puskesmas yaitu captopril, diminum 3 kali sehari . Pasien tidak rutin kontrol dan minum obat.
Riw DM disangkal. Riwayat penyakit dahulu CVA (+), riwayat penyakit keluarga HT (ibu
pasien), riwayat sosial, pasien sering mengonsumsi jamu-jamuan pegal linu 3 minggu sekali.
Tax : 37o C
Thorax :
LHM : at ictus
S1 S2 tunggal, murmur -
dinamis D=S
Stem fremitus N N
N N
N N
ss vv Rh - - Wh - -
ss vv - - - -
ss vv -- - -
Abdomen: flat, soefl, BU + N, nyeri tekan (-), traube space timpani, liver span
7cm
Jantung
Lab Value Satuan Value (normal)
Troponin I 0.5 ug/L Negative < 1
CK-NAC 393 U/L 39-308
CK-MB 35 U/L 7-25
PH 7.22 7,35-7,45
CXR
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Penyakit Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan
pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada
suatu saat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau
transplantasi ginjal (Suwitra, 2006). Hipertensi menurut JNC VII adalah suatu
keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah ≥ 140mm Hg (tekanan sistolik)
dan/atau ≥90 mmHg (tekanan diastolik).
3.2 Etiologi
Gagal ginjal kronik dapat timbul dari hampir semua penyakit. Apapun
sebabnya, dapat menimbulkan perburukan fungsi ginjal secara progresif. Dibawah
ini terdapat beberapa penyebab gagal ginjal kronik.
a. Tekanan Darah Tinggi
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan –
perubahan stuktur pada arteriol diseluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan
hialinisasi (sklerosis) didingding pembuluh darah. Organ sasaran utama organ ini
adalah jantung, otak, ginjal dan mata. Pada ginjal adalah akibat aterosklerosis ginjal
akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis begina. Gangguan ini
merupakan akibat langsung dari iskemia renal. Ginjal mengecil, biasanya simetris
dan permukaan berlubang – lubang dan berglanula. Secara histology lesi yang
esensial adalah sklerosis arteri arteri kecilserta arteriol yang paling nyata pada
arteriol eferen. Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan
glomerulusdan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak (Price & Wilson, 1995).
b. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis terjadi karena adanya peradangan pada glomerulus yang
diakibatkan karena adanya pengendapan kompleks antigen antibody. Reaksi
peradangan diglomerulus menyebabkan pengaktifan komplemen, sehingga terjadi
peningkatan aliran darah dan peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus dan
filtrasi glomerulus. Protein-protein plasma dan sel darah merah bocor melalui
glomerulus. Glomerulonefritis dibagi menjadi dua yaitu:
1) Gomerulonefritis Akut
Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak.
2) Glomerulonefritis Kronik
Glomerulonefritis kronik adalah pradangan yang lama dari sel-sel glomerulus. (Price
& Wilson, 1995).
c. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)
Nefritis lupus disebabkan oleh kompleks imun dalam sirkulasi yang
terperangkap dalam membrane basalis glomerulus dan menimbulkan kerusakan.
Perubahan yang paling dini sering kali hanya mengenai sebagian rumbai glomerulus
atau hanya mengenai beberapaglomerulus yang tersebar. (Price & Wilson, 1995).
d. Penyakit Ginjal Polikistik
Penyakit ginjal polikistik (PKD) ditandai dengan kista-kista multiple,
bilateral,dan berekspansi yang lambat laun mengganggu dan menghancurkan
parenkim ginjal normal akibat penekanan.semakin lama ginjal tidak mampu
mempertahankan fungsi ginjal, sehingga ginjal akan menjadi rusak (GGK) (Price &
Wilson, 1995).
e. Pielonefritis
Pielonefritis adalah infeksi yang terjadi pada ginjal itu sendiri. Pielonefritis itu
sendiri dapat bersifat akut atau kronik. Pielonefritis akut juga bias terjadi melalui
infeksi hematogen. Pielonefritis kronik dapat terjadi akibat infeksi berulang-ulang dan
biasanya dijumpai pada individu yang mengidap batu, obstruksi lain, atau repluks
vesikoureter. (Price & Wilson, 1995).
f. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus adalah penyebab tunggal ESRD yang tersering, berjumlah
30% hingga 40% dari semua kasus. Diabetes mellitus menyerang struktur dan
fungsi ginjal dalam bentuk. Nefropati diabetic adalah istilah yang mencakup semua
lesi yang terjadi diginjal pada diabetes mellitus (Price & Wilson, 1995). Riwayat
perjalanan nefropati diabetikum dari awitan hingga ESRD dapat dibagi menjadi lima
fase atau stadium:
1) Stadium 1 (fase perubahan fungsional dini) ditandai dengan hifertropi dan
hiperfentilasi ginjal, pada stadium ini sering terjadi peningkatan GFR yang
disebabkan oleh banyak factor yaitu, kadar gula dalam darah yang tinggi, glucagon
yang abnormal hormone pertumbuhan, efek rennin, angiotensin II danprostaglandin.
2) Stadium 2 (fase perubahan struktur dini) ditandai dengan penebalan membrane
basalis kapiler glomerulus dan penumpukan sedikit demi sedikit penumpukan
matriks mesangial.
3) Stadium 3 (Nefropati insipient)
4) Stadium 4 (nefropati klinis atau menetap)
5) Stadium 5 (Insufisiensi atau gagal ginjal progresif)
3.4 Patogenesis
Patogenesis dari hipertensi dalam CKD cukup kompleks dan multifactorial.
Selain dari faktor-faktor klasik, seperti peningkatan volume intravascular dan
aktivitas RAS yang ekstensif, ditemukan faktor-faktor baru seperti peningkatan
aktivitas dari sistem saraf
simpatis, adanya disfungsi endotel, dan alterasi pada faktor-faktor humoral dan
neural yang
meningkatkan tekanan darah (Morgado & Neves, 2012).
a. Status natrium dan volume
Dalam beberapa dekade terakhir, banyak bukti menunjukkan bahwa ekspansi
volume merupakan mekanisme patologik pertama dan terutama untuk terjadinya
hipertensi pada CKD. Pada stadium awal CKD, pasien sudah memiliki peningkatan
pertukaran sodium dan volume darah, yang berkorelasi dengan tekanan darah
(Bereta-Picolli, 1976).
Pertama, jumlah darah yang meningkat ini meningkatkan cardiac output dan
terjadi penurunan tahanan vaskuler perifer. Selanjutnya, mekanisme auto-regulasi
meningkatkan resistensi vaskuler yang menyebabkan tekanan natriuresis (Navar &
Majid, 1996), dan terjadi normalisasi dari cardiac output serta tensi tinggi yang tetap
dipertahankan.
b. RAS
Ketika tekanan darah turun, penurunan perfusi jaringan, atau peningkatan
aktivitas simpatis, sel-sel juxtaglomerular mensekresi renin, yang mengubah
angiotensinogen sehingga terjadi peningkatan angiotensin II. Oktapeptida ini
merupakan vasokonstriktor hebat dan juga menstimulasi produksi aldosterone, yang
meningkatkan reabsorpsi natrium. Namun, jika volume darah normal, maka
peningkatan aktivitas RAS ini akan menyebabkan peningkatan tekanan darah yang
abnormal (Morgado & Neves, 2012).
c. Stres oksidatif dan NO antagonis
Pada pasien dengan CKD terjadi peningkatan molekul-molekul oksidan
seperti superoksida dan hydrogen peroksida, dan penurunan molekul-molekul
antioksidan, seperti katalase, superoksida dismutase dan glutation dismutase
(Vaziri, Ni, Oveisi, Liang, & Pandian, 2002). Peningkatan ROS secara langsung
menstimulasi kontraksi vaskuler, yang pada akhirnya berkontribusi pada terjadinya
hipertensi pada CKD (Hu, Corda, Zweier, Capogrossi, & Ziegelstein, 1998).
3.7 Komplikasi
1. Kelainan elektrolit
- Ketidakseimbangan natrium
- Asidosis metabolic
- Hiperurisemia
- Hiperkalemia
- hipokalemia
2. Uremia
3. Penyakit jantung
4. Kelainan hematologi
- Disfungsi platelet
- Anemia
5. Kelainan tulang
- Defisiensi vitamin D tersering pada anak-anak dengan gagal ginjal kronik.
6. Komplikasi lain
- Anorexia
- Malnutrisi
- Kejang
- Neuropathy perifer
- Hiperlipidemia
- Intoleransi glukosa
3.8 Terapi
a) Terapi Non farmakologis
Terapi hipertensi pada CKD memiliki tiga tujuan utama, yakni mengontrol
tekanan darah; memperlambat progresi dari CKD itu sendiri; serta mengurangi risiko
komplikasi kardiovaskuler (Morgado & Neves, 2012). Peran dari terapi non
farmakologis cenderung diremehkan, namun, diet restriksi garam dan perubahan
pola hidup sebenarnya memegang
peran utama untuk mencapai tujuan-tujuan tersebuta. Restriksi garam dan
perubahan pola hidup Berdasarkan guideline CKD, direkomendasikan diet garam
yang rendah (70-100mmol/hari) (Joint Specialty committee on Renal Medicine of the
Royal college of Physiscians and the Renal Association, and the Royal College of
General Practitioners, 2006). Rekomendasi ini berdasarkan bukti bahwa intake
natrium yang rendah memiliki hubungan dengan penurunan tekanan darah (Sacks,
2001), peningkatan efek protektif dari ACE inhibitor pada pasien dengan proteinuria
(Heeg, 1989) dan menurunkan progresi dari gagal ginjal (Cianciaruso, 1998).
b. Terapi farmakologis
i. Target tekanan darah
Hampir semua guideline menyangkut pasien CKD menetapkan tekanan darah
harus < 130/80 mmgHg (Levin, 2008). Akan tetapi, tidak ada bukti yang kuat bahwa
tekanan darah < 130/80 mmHg lebih baik, terutama bagi pasien-pasien dengan CKD
(Morgado & Neves, 2012). Menurut guideline dari European Society of Hypertension
/European Society of Cardiology (2013),direkomendasikan untuk menurunkan
tekanan darah sistolik < 140 mmHg untuk pasien dengan nefropathy, dan < 130
mmHg untuk pasien dengan proteinuria.
ii. Pemilihan obat antihipertensi
Dalam dekade terakhir, superioritas ACE inhibitor dan ARB dalam mencegah
progresi CKD dan kemampuannya dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskuler telah banyak dilaporkan dalam literature medis (Morgado & Neves,
2012). Oleh sebab ini, ACE inhibitor dan ARB menjadi terapi pilihan untuk pasien
CKD yang dikombinasikan dengan diuretic. Menurut Canadian Hypertension
Education Program (2013), untuk pasien nondiabetic CKD, jika ada hipertensi dan
proteinuria (protein urin > 500 mg/24jam atau rasio albumin – creatinine > 30
mg/mmol), terapi pilihan inisial adalah ACE inhibitor atau ARB jika ACEinhibitor tidak
dapat ditoleransi. Selanjutnya terapi tambahannya adalah thiazide atau diuretika
loop.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien adalah seorang laki-laki berusia 51 tahun mengeluh
sesak sejak 1 bulan lalu smrs dan memberat sejak 1 minggu smrs. Sesak
berhubungan dengan aktivitas. Sesak bila berjalan jauh + 5 m dan membaik dengan
istirahat. Pasien juga mengeluh mual tanpa muntah sejak 1 minggu smrs. Keluhan
batuk disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal. Pasien juga mengeluh pusing
dan sulit tidur sejak 1 minggu sebelum mrs. Pasien didiagnosa hipertensi sejak satu
tahun yang lalu. Tekanan darah paling tinggi 190/... Pasien mendapat obat dari
puskesmas captopril 3x mg. Pasien tidak rutin kontrol dan minum obat. Riw DM
disangkal. Riwayat penyakit dahulu CVA (+), riwayat penyakit keluarga HT (ibu
pasien), riwayat sosial, pasien sering mengonsumsi jamu-jamuan pegal linu 3
minggu sekali. Pasien juga merokok 3-4 pak (36-48 batang/hari). Dari hasil
pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, tekanan darah 140/80 mmHg, laju
nafas 24 kali/menit.Dari hasil lab terdapat anemis (Hb 4,1), MCV/MCH 84/28,5 ;
Ur/Cr 375,2/32,62 ; GFR 1,89 ; K 6,55.
Ada dua kriteria penegakan diagnosa chronic kidney disease, yaitu
kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus dan laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal. Kelainan struktural dapat tegak dengan adanya hasil USG
abdomen. Kelainan fungsional dapat dilihat dari hasil pemerikasaan ureum,
creatinin, dan urinalisisnya. Dari hasil laboratorium berupa ureum dan creatinin
dapat dihitung estimated glomerular filtration rate-nya dengan menggunakan rumus
Cockcroft-Gault dan hasilnya 1,89. Dari hasil GFR ini menunjukkan pasien sudah
masuk ke dalam stadium 5 dimana pasien sudah memerlukan terapi pengganti
ginjal.
Pada pasien ini didapatkan tanda-tanda anemia, yaitu konjunctiva yang anemis dan
kadar Hb 4,1 ; MCV/MCH 84/28,5(anemia normokrom normositair). Pada pasien dengan
chronic kidney disease dapat terjadi anemia, baik normokrom normositer ataupun hipokrom
mikrositer. Pada anemia normokrom mikrositer mekanisme yang mungkin terjadi adalah
menurunnya produksi erythropoietin oleh korteks ginjal yang diperlukan untuk proses
hemopoeisis. Sedangkan anemia hipokrom mikrositer dapat disebabkan oleh defisiensi Fe,
baik karena kurangnya asupan Fe, hilangya ferritin melalui urin, maupun proses inflamasi
yang menyebabkan lepasnya mediator inflamasi, interleukin 1, yang mengakibatkan
kurangnya absorbs Fe pada sumsum tulang.
Terapi yang diberikan pada pasien ini terbagi kepada dua, yaitu non farmakologis
yaitu diet ginjal 1900 kkal/hr, rendah protein, rendah garam serta terapi farmakologis terdiri
amilodipin 10mg per oral sehari sekali. Selain itu diberikan diet rendah protein dan rendah
garam. Karena pasien mengalami anemia dengan Hb 4,1 maka pasien diberikan transfuse
PRC 2 labu sampai Hb ≥8mg/dl.
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah hiperfiltrasi glomerulus.
Untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus dapat dilakukan 2 cara, yaitu dengan cara non
farmakologis dan cara farmakologis.
DAFTAR PUSTAKA