Anda di halaman 1dari 22

RESPONSI

HIPERTENSI PADA GAGAL GINJAL KRONIS

Oleh:
Agra Dhira Narendraputra 0910710001
Dian Wulandaru S. P 0910710045
Izzul Haziq Bin Zahba 0910714005
Virginia A Nugroho 0910710130

Pembimbing:
dr. Atma Gunawan, SpPD-KGH

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT DR. SAIFUL ANWAR – FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
BAB 1

PENDAHULUAN

Gagal ginjal kronis (GGK) adalah suatu sindrom klinis disebabkan penurunan fungsi
ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, serta bersifat
persisten dan irreversibel (Mansjoer, 2000). GGK makin banyak menarik perhatian dan
makin banyak dipelajari, meskipun sudah mencapai tahap gagal ginjal terminal, penderita
masih dapat bertahan dengan kualitas hidup yang cukup baik (Sidabutar, 1992 dalam Lubis,
2006).

Prevalensi penderita GGK di Amerika Serikat pada akhir tahun 2002, sekitar 345.000
orang. Pada tahun 2007 bertambah 80.000 orang dan diperkirakan pada tahun 2010 angka
tersebut menjadi 660.000 orang. Hampir setiap tahunnya sekitar 70.000orang di Amerika
Serikat, meninggal dunia disebabkan oleh gagal ginjal (Lewis, Heitkemper, & Dirksen, 2004).
Di Indonesia, menurut Suhardjono (2000), berdasarkanPusat Data & Informasi Perhimpunan
Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PDPERSI) jumlah penderita gagal ginjal kronik
diperkirakan sekitar 50 orang per satu juta penduduk.Menurut Sinaga (2007), pada tahun
2006 ada sekitar 100.000 orang lebih penderita gagal ginjal di Indonesia. Syafei (2009),
mengatakan pada tahun 2009 sekitar 6,2 persen penduduk Indonesia menderita GGK. Dari
jumlah tersebut diketahui lebih kurang 70.000 orang memerlukan terapi pengganti ginjal
seperti Hemodialisa. Di Jakarta khususnya di RSUN Cipto Mangunkusumo, menurut Sinaga
(2007) ada sebanyak 120 orang pasien gagal ginjal menjalani pengobatan hemodialisa.

. Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada
kapiler-kepiler ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir keunit-
unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan
kematian. Dengan rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar melalui urin sehingga
tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema yang sering dijumpai pada
hipertensi kronik (Corwin, 2000).

Tekanan darah tinggi (hipertensi) menyebabkan meningkatnya resiko terhadap


stroke, gagal jantung, serangan jantung dan kerusakan ginjal. Tanpa melihat usia atau jenis
kelamin, semuaorang bisa terkena penyakit jantung dan biasanya tanpa ada gejala-gejala
sebelumnya. Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan bahwa masih banyak masyarakat
yang tidak menyadari kalau sebagian besar penyakit ginjal berkaitan dengan tekanan darah
tinggi atau hipertensi yang tidak terdiagnosa atau diobati dengan baik. Jumlah penderita
penyakit ginjal kinidiketahui telah meningkat dengan pesat dan cukup banyak mendapatkan
perhatian.

Dilihat dari perjalanan penyakitnya, kerusakan ginjal yang lebih parah dapat dicegah
jika berhasil didiagnosis secara dini dan diberikan terapi yang agresif sehingga kecacatan
permanen serta komplikasi lain akibat gagal ginjal kronis dapat dihindari. Selain pemberian
perhatian khusus terhadap pasien dengan gagal ginjal, perhatian juga diberikan kepada
pasien dengan hipertensi agar dapat mencegah komplikasi lebih lanjut. Dalam Standar
Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012, gagal ginjal kronis dinilai sebagai
kompetensi 2 untuk dokter umum. Artinya bahwa lulusan dokter umum harus mampu
membuat diagnosis klinik dan segera merujuk ke dokter spesialis. Sedangkan untuk
hipertensi, dokter umum mempunyai komptenesi 4 yang mana seorang dokter umum harus
bias menanga7ni kasus hipertensi secara tuntas. Dalam karya tulis ilmiah ini,berpedoman
pada kompetensi yang diharapkan untuk lulusan dokter umum, maka akan dibahas
mengenai hipertensi dengan gagal ginjal krotis menggunakan metode studi kasus.
BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Purwanto


Usia : 51 tahun
Alamat : Jl. Pelyu sujono gg cempaka 19 RT 02/ 02
Malang
Status perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Petani
Tanggal MRS : 7 Mei 2014
Pendidikan : SMA
Suku : Jawa
Agama : Islam
No RM : 1411554

2.2 ANAMNESIS

Keluhan utama : sesak

Deskripsi

Pasien datang ke IGD karena keluhan sesak. Sesak sejak 1 bulan smrs dan

memberat sejak 1 minggu smrs. Sesak berhubungan dengan aktivitas. Sesak bila berjalan

jauh + 5 m dan membaik dengan istirahat. Pasien juga mengeluh mual tanpa muntah sejak

1 minggu smrs. Keluhan batuk disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal. Pasien juga

mengeluh pusing dan sulit tidur sejak 1 minggu sebelum mrs. Pasien didiagnosa hipertensi

sejak satu tahun yang lalu. Tekanan darah paling tinggi 190/... Pasien mendapat obat dari

puskesmas yaitu captopril, diminum 3 kali sehari . Pasien tidak rutin kontrol dan minum obat.

Riw DM disangkal. Riwayat penyakit dahulu CVA (+), riwayat penyakit keluarga HT (ibu

pasien), riwayat sosial, pasien sering mengonsumsi jamu-jamuan pegal linu 3 minggu sekali.

Pasien juga merokok 3-4 pak (36-48 batang/hari)


2.3 Pemeriksaan Fisik:

KU : tampak sakit sedang

Kesadaran : GCS 456, compos mentis

Nadi : 92x/menit, reguler

Tekanan darah : 140/80 mmHg

Tax : 37o C

Pernafasan : 24 x/menit, reguler

Kepala : konjungtiva anemis +/+ ikterik-/-

Leher : JVP R +2 cmH2O (300 C)

Pembesaran kgb -/-

Thorax :

Jantung : ictus visible dan palpable pada ICS V MCL sinistra

RHM: sternal line dekstra

LHM : at ictus

S1 S2 tunggal, murmur -

Paru : inspeksi statis D=S

dinamis D=S

Stem fremitus N N

N N

N N

ss vv Rh - - Wh - -

ss vv - - - -

ss vv -- - -

Abdomen: flat, soefl, BU + N, nyeri tekan (-), traube space timpani, liver span

7cm

Ekstremitas: edema -+/- +


2.4 Laboratory Findings

Lab Value (Normal) Lab Value (Normal)

Leukocyte 8510 3.500- Na 124 136-145 mmol/L


10.000/µL
Haemoglobine 4.1 11,0-16,5 K 6,55 3,5-5,0 mmol/L
MCV 84 g/dl Cl 108 98-106 mmol/L
MCH 28,50 Osm 322,49 285-295
eosinofil 1,5 0-4 %
Basofil 0,1 0-1 %
Neutrofil 69,4 51-67 %
Limfosit 16,6 25-33 %
Monosit 12,2 2-5 %
PCV 12,1 35-50% Albumin 3.13 3.5-5.5g/dl

Trombocyte 156000 150.000- RBS 98 < 200 mg/dl


390.000/µL

SGOT 13 11-41 Ur 375,2 10-50 mg/dL


SGPT 20 10-41U/LU/L Cr 32,62 0,7-1,5 mg/dL
GFR 1,89
PPT P: 10,2 11,1-11.6 APTT P: 27.4 28.9-30.6
INR: detik
0.92 0.8-1.3 (normal)
(normal)
HBsAG Negative Anti- Negatif
HCV

Jantung
Lab Value Satuan Value (normal)
Troponin I 0.5 ug/L Negative < 1
CK-NAC 393 U/L 39-308
CK-MB 35 U/L 7-25

Analisa Gas Darah


BGA Value

PH 7.22 7,35-7,45

PCO2 22,4 35-45

PO2 92.0 80-100

HCO3 7.8 21-28


O2 saturation 95.4 > 95%

Base Excess -20.2 -3 until +3


Conclusion Asidosis Metabolik

CXR

• AP position, simetris, KV cukup


• Soft tissue normal, Bone normal
• Trachea in the middle
• Hemidiaphragm D/S dome shape
• Sudut Phrenicocostalis D/S tajam
• Pulmo D/S : BVP normal
• Cor: N, ukuran CTR 50 %, pinggang jantung (+)
• Conclusion : normal CXR
2.5 POMR

Cue & clue PL IDx PDx PTx PMo


Laki-laki/ 50 1. 1.1 CKD ECG Inj D40% 2 VS, SE
yo Hiperkalemi st V flash post
merokok 3-4 Short acting koreksi,
pak perhari insulin 10 iu ECG
K: 6,55 Ca Gluconas
1000 mg
HD elective
Laki-laki/50 yo 2. CKD st V 2.1 HT USG O2 2-4 Lpm VS
Ax: newly nephroscl abdomen, Nasal canul Sub, Urine
- SOB sejak 1 diagnosed erosis UL, Bed rest produksi,
bulan smrs, 2.1 GNC Posisi tanda
memberat semiflower overload
sejak 1 IVFD NaCl 0,9 cairan
minggu smrs % 500 cc/ 24
- mual tanpa jam
disertai Diet renal 1900
muntah kkal/hari
- riwayat low salt < 2
hipertensi 1 g/day diet, prot
tahun yang 0.6-0.8
lalu . tensi gr/kgBW/day
paling tinggi
190/...
- riwayat
minum jamu-
jamuan 3
minggu sekali
PE:
Anemis
BP 140/80
mmHg
rr:24
Lab:
Hb: 4.1
MCV/MCH:
84 / 28,50
Ur/Cr:
375,2/32,62
GFR: 1,89
K : 6,55
Laki/ 50 th 3. HT st I Funduscopy low salt < 2 Subjective
mmHg g/day diet, , VS
Ax:
-riwayat Amlodipine
hipertensi 1 10 mg-0-0
tahun yang
lalu . tensi
paling tinggi
190/...
- riwayat
minum obat
hipertensi
(capopril) dari
puskesmas 3
kali sehari
tetapi jarang
kontrol.
- riwayat
CVA+
- riwayat
keluarga HT +
-merokok 3-4
pak perhari
PE:
BP: 140/80
mmHg
N : 92 x/menit
rr : 24x/menit
Laki-laki/ 50 4. Anemia 1.1 CKD Tranfusi PRC 1 Subjective
tahun st V labu durante , VS,
Hb : 4,1 HD tanda-
McV/MCH : tanda
84/28,5 reaksi
tranfusi,
Hb post
tranfusi
Laki-laki/ 50 5. HF st B ECG O2 2-4 Lpm Subjective
tahun Echocardiog Nasal canul , VS, urine
Ax: raphy Bed rest produksi
- SOB sejak 1 Posisi
bulan smrs, semiflower
memberat Po: amodipin
sejak 1 10mg-0-0
minggu smrs
- Sesak
berhubungan
dengan
aktivitas. Sesak
bila berjalan
jauh + 5 m dan
membaik
dengan
istirahat.
- riwayat
hipertensi 1
tahun yang lalu
PE:
BP: 140/80
Rr : 24
JVP R+ 2 cm
H20
Lab:
BGA : asidosis
metabolik
ECG:
CXR:

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Penyakit Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan
pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada
suatu saat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau
transplantasi ginjal (Suwitra, 2006). Hipertensi menurut JNC VII adalah suatu
keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah ≥ 140mm Hg (tekanan sistolik)
dan/atau ≥90 mmHg (tekanan diastolik).

3.2 Etiologi
Gagal ginjal kronik dapat timbul dari hampir semua penyakit. Apapun
sebabnya, dapat menimbulkan perburukan fungsi ginjal secara progresif. Dibawah
ini terdapat beberapa penyebab gagal ginjal kronik.
a. Tekanan Darah Tinggi
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan –
perubahan stuktur pada arteriol diseluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan
hialinisasi (sklerosis) didingding pembuluh darah. Organ sasaran utama organ ini
adalah jantung, otak, ginjal dan mata. Pada ginjal adalah akibat aterosklerosis ginjal
akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis begina. Gangguan ini
merupakan akibat langsung dari iskemia renal. Ginjal mengecil, biasanya simetris
dan permukaan berlubang – lubang dan berglanula. Secara histology lesi yang
esensial adalah sklerosis arteri arteri kecilserta arteriol yang paling nyata pada
arteriol eferen. Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan
glomerulusdan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak (Price & Wilson, 1995).
b. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis terjadi karena adanya peradangan pada glomerulus yang
diakibatkan karena adanya pengendapan kompleks antigen antibody. Reaksi
peradangan diglomerulus menyebabkan pengaktifan komplemen, sehingga terjadi
peningkatan aliran darah dan peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus dan
filtrasi glomerulus. Protein-protein plasma dan sel darah merah bocor melalui
glomerulus. Glomerulonefritis dibagi menjadi dua yaitu:
1) Gomerulonefritis Akut
Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak.
2) Glomerulonefritis Kronik
Glomerulonefritis kronik adalah pradangan yang lama dari sel-sel glomerulus. (Price
& Wilson, 1995).
c. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)
Nefritis lupus disebabkan oleh kompleks imun dalam sirkulasi yang
terperangkap dalam membrane basalis glomerulus dan menimbulkan kerusakan.
Perubahan yang paling dini sering kali hanya mengenai sebagian rumbai glomerulus
atau hanya mengenai beberapaglomerulus yang tersebar. (Price & Wilson, 1995).
d. Penyakit Ginjal Polikistik
Penyakit ginjal polikistik (PKD) ditandai dengan kista-kista multiple,
bilateral,dan berekspansi yang lambat laun mengganggu dan menghancurkan
parenkim ginjal normal akibat penekanan.semakin lama ginjal tidak mampu
mempertahankan fungsi ginjal, sehingga ginjal akan menjadi rusak (GGK) (Price &
Wilson, 1995).
e. Pielonefritis
Pielonefritis adalah infeksi yang terjadi pada ginjal itu sendiri. Pielonefritis itu
sendiri dapat bersifat akut atau kronik. Pielonefritis akut juga bias terjadi melalui
infeksi hematogen. Pielonefritis kronik dapat terjadi akibat infeksi berulang-ulang dan
biasanya dijumpai pada individu yang mengidap batu, obstruksi lain, atau repluks
vesikoureter. (Price & Wilson, 1995).
f. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus adalah penyebab tunggal ESRD yang tersering, berjumlah
30% hingga 40% dari semua kasus. Diabetes mellitus menyerang struktur dan
fungsi ginjal dalam bentuk. Nefropati diabetic adalah istilah yang mencakup semua
lesi yang terjadi diginjal pada diabetes mellitus (Price & Wilson, 1995). Riwayat
perjalanan nefropati diabetikum dari awitan hingga ESRD dapat dibagi menjadi lima
fase atau stadium:
1) Stadium 1 (fase perubahan fungsional dini) ditandai dengan hifertropi dan
hiperfentilasi ginjal, pada stadium ini sering terjadi peningkatan GFR yang
disebabkan oleh banyak factor yaitu, kadar gula dalam darah yang tinggi, glucagon
yang abnormal hormone pertumbuhan, efek rennin, angiotensin II danprostaglandin.
2) Stadium 2 (fase perubahan struktur dini) ditandai dengan penebalan membrane
basalis kapiler glomerulus dan penumpukan sedikit demi sedikit penumpukan
matriks mesangial.
3) Stadium 3 (Nefropati insipient)
4) Stadium 4 (nefropati klinis atau menetap)
5) Stadium 5 (Insufisiensi atau gagal ginjal progresif)

3.3 Manifestasi Klinis


Oleh karena ginjal memainkan peran yang sangat penting dalam mengatur
keseimbangan homeostasis tubuh, penurunan fungsi organ tersebut akan
mengakibatkan banyak kelainan dan mempengaruhi pada sistem tubuh yang lain.
Antara gejala-gejala klinis
yang timbul pada GGK adalah (Pranay & Stoppler, 2010):
1. Poliuria, terutama pada malam hari (nokturia).
2. Udem pada tungkai dan mata (karena retensi air).
3. Hipertensi.
4. Kelelahan dan lemah karena anemia atau akumulasi substansi buangan dalam
tubuh.
5. Anoreksia, nausea dan vomitus.
6. Gatal pada kulit, kulit yang pucat karena anemia.
7. Sesak nafas dan nafas yang dangkal karena akumulasi cairan di paru.
8. Neuropati perifer. Status mental yang berubah karena ensefalopati akibat
akumulasi bahan buangan atau toksikasi uremia.
9. Nyeri dada karena inflamasi di sekitar jantung penderita.
10. Perdarahan karena mekanisme pembekuan darah yang tidak berfungsi.
11. Libido yang berkurang dan gangguan seksual.

3.4 Patogenesis
Patogenesis dari hipertensi dalam CKD cukup kompleks dan multifactorial.
Selain dari faktor-faktor klasik, seperti peningkatan volume intravascular dan
aktivitas RAS yang ekstensif, ditemukan faktor-faktor baru seperti peningkatan
aktivitas dari sistem saraf
simpatis, adanya disfungsi endotel, dan alterasi pada faktor-faktor humoral dan
neural yang
meningkatkan tekanan darah (Morgado & Neves, 2012).
a. Status natrium dan volume
Dalam beberapa dekade terakhir, banyak bukti menunjukkan bahwa ekspansi
volume merupakan mekanisme patologik pertama dan terutama untuk terjadinya
hipertensi pada CKD. Pada stadium awal CKD, pasien sudah memiliki peningkatan
pertukaran sodium dan volume darah, yang berkorelasi dengan tekanan darah
(Bereta-Picolli, 1976).
Pertama, jumlah darah yang meningkat ini meningkatkan cardiac output dan
terjadi penurunan tahanan vaskuler perifer. Selanjutnya, mekanisme auto-regulasi
meningkatkan resistensi vaskuler yang menyebabkan tekanan natriuresis (Navar &
Majid, 1996), dan terjadi normalisasi dari cardiac output serta tensi tinggi yang tetap
dipertahankan.
b. RAS
Ketika tekanan darah turun, penurunan perfusi jaringan, atau peningkatan
aktivitas simpatis, sel-sel juxtaglomerular mensekresi renin, yang mengubah
angiotensinogen sehingga terjadi peningkatan angiotensin II. Oktapeptida ini
merupakan vasokonstriktor hebat dan juga menstimulasi produksi aldosterone, yang
meningkatkan reabsorpsi natrium. Namun, jika volume darah normal, maka
peningkatan aktivitas RAS ini akan menyebabkan peningkatan tekanan darah yang
abnormal (Morgado & Neves, 2012).
c. Stres oksidatif dan NO antagonis
Pada pasien dengan CKD terjadi peningkatan molekul-molekul oksidan
seperti superoksida dan hydrogen peroksida, dan penurunan molekul-molekul
antioksidan, seperti katalase, superoksida dismutase dan glutation dismutase
(Vaziri, Ni, Oveisi, Liang, & Pandian, 2002). Peningkatan ROS secara langsung
menstimulasi kontraksi vaskuler, yang pada akhirnya berkontribusi pada terjadinya
hipertensi pada CKD (Hu, Corda, Zweier, Capogrossi, & Ziegelstein, 1998).

3.5 Faktor Risiko


1. Kardiovaskular
- Usia tua
- GFR < 90-120 mL/menit/1.73 m2
- Peningkata indeks massa tubuh
- Diabetes
- Merokok
- Hipertensi
- Level kolestrol HDL rendah
2. Obesitas dan sindrom metabolic
3. Peningkatan asam urat
4. Faktor genetic

3.6 Kriteria diagnosis


1. Glomerular filtration rate (GFR) < 60ml/menit/1.73m2
2. Kerusakan ginjal ditandai > 1 yaitu,
- Albuminuria
- Kelainan sendiment urin
- Kelainan elektrolit
- Kelainan histology
- Kelainan struktur ginjal
- Riwayat transplantasi ginjal

3.7 Komplikasi
1. Kelainan elektrolit
- Ketidakseimbangan natrium
- Asidosis metabolic
- Hiperurisemia
- Hiperkalemia
- hipokalemia
2. Uremia
3. Penyakit jantung
4. Kelainan hematologi
- Disfungsi platelet
- Anemia
5. Kelainan tulang
- Defisiensi vitamin D tersering pada anak-anak dengan gagal ginjal kronik.
6. Komplikasi lain
- Anorexia
- Malnutrisi
- Kejang
- Neuropathy perifer
- Hiperlipidemia
- Intoleransi glukosa

3.8 Terapi
a) Terapi Non farmakologis
Terapi hipertensi pada CKD memiliki tiga tujuan utama, yakni mengontrol
tekanan darah; memperlambat progresi dari CKD itu sendiri; serta mengurangi risiko
komplikasi kardiovaskuler (Morgado & Neves, 2012). Peran dari terapi non
farmakologis cenderung diremehkan, namun, diet restriksi garam dan perubahan
pola hidup sebenarnya memegang
peran utama untuk mencapai tujuan-tujuan tersebuta. Restriksi garam dan
perubahan pola hidup Berdasarkan guideline CKD, direkomendasikan diet garam
yang rendah (70-100mmol/hari) (Joint Specialty committee on Renal Medicine of the
Royal college of Physiscians and the Renal Association, and the Royal College of
General Practitioners, 2006). Rekomendasi ini berdasarkan bukti bahwa intake
natrium yang rendah memiliki hubungan dengan penurunan tekanan darah (Sacks,
2001), peningkatan efek protektif dari ACE inhibitor pada pasien dengan proteinuria
(Heeg, 1989) dan menurunkan progresi dari gagal ginjal (Cianciaruso, 1998).
b. Terapi farmakologis
i. Target tekanan darah
Hampir semua guideline menyangkut pasien CKD menetapkan tekanan darah
harus < 130/80 mmgHg (Levin, 2008). Akan tetapi, tidak ada bukti yang kuat bahwa
tekanan darah < 130/80 mmHg lebih baik, terutama bagi pasien-pasien dengan CKD
(Morgado & Neves, 2012). Menurut guideline dari European Society of Hypertension
/European Society of Cardiology (2013),direkomendasikan untuk menurunkan
tekanan darah sistolik < 140 mmHg untuk pasien dengan nefropathy, dan < 130
mmHg untuk pasien dengan proteinuria.
ii. Pemilihan obat antihipertensi
Dalam dekade terakhir, superioritas ACE inhibitor dan ARB dalam mencegah
progresi CKD dan kemampuannya dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskuler telah banyak dilaporkan dalam literature medis (Morgado & Neves,
2012). Oleh sebab ini, ACE inhibitor dan ARB menjadi terapi pilihan untuk pasien
CKD yang dikombinasikan dengan diuretic. Menurut Canadian Hypertension
Education Program (2013), untuk pasien nondiabetic CKD, jika ada hipertensi dan
proteinuria (protein urin > 500 mg/24jam atau rasio albumin – creatinine > 30
mg/mmol), terapi pilihan inisial adalah ACE inhibitor atau ARB jika ACEinhibitor tidak
dapat ditoleransi. Selanjutnya terapi tambahannya adalah thiazide atau diuretika
loop.

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien adalah seorang laki-laki berusia 51 tahun mengeluh
sesak sejak 1 bulan lalu smrs dan memberat sejak 1 minggu smrs. Sesak
berhubungan dengan aktivitas. Sesak bila berjalan jauh + 5 m dan membaik dengan
istirahat. Pasien juga mengeluh mual tanpa muntah sejak 1 minggu smrs. Keluhan
batuk disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal. Pasien juga mengeluh pusing
dan sulit tidur sejak 1 minggu sebelum mrs. Pasien didiagnosa hipertensi sejak satu
tahun yang lalu. Tekanan darah paling tinggi 190/... Pasien mendapat obat dari
puskesmas captopril 3x mg. Pasien tidak rutin kontrol dan minum obat. Riw DM
disangkal. Riwayat penyakit dahulu CVA (+), riwayat penyakit keluarga HT (ibu
pasien), riwayat sosial, pasien sering mengonsumsi jamu-jamuan pegal linu 3
minggu sekali. Pasien juga merokok 3-4 pak (36-48 batang/hari). Dari hasil
pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, tekanan darah 140/80 mmHg, laju
nafas 24 kali/menit.Dari hasil lab terdapat anemis (Hb 4,1), MCV/MCH 84/28,5 ;
Ur/Cr 375,2/32,62 ; GFR 1,89 ; K 6,55.
Ada dua kriteria penegakan diagnosa chronic kidney disease, yaitu
kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus dan laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal. Kelainan struktural dapat tegak dengan adanya hasil USG
abdomen. Kelainan fungsional dapat dilihat dari hasil pemerikasaan ureum,
creatinin, dan urinalisisnya. Dari hasil laboratorium berupa ureum dan creatinin
dapat dihitung estimated glomerular filtration rate-nya dengan menggunakan rumus
Cockcroft-Gault dan hasilnya 1,89. Dari hasil GFR ini menunjukkan pasien sudah
masuk ke dalam stadium 5 dimana pasien sudah memerlukan terapi pengganti
ginjal.

Pendekatan diagnosis juga bisa didasarkan pada gambaran klinis pasien


meskipun gejala yang ditimbulkan kurang spesifik. Gambaran klinis dapat berupa
poliuria, udem pada tungkai dan mata, hipertensi, kelelahan dan lemah karena
anemia , anoreksia, nausea dan vomitus, gatal pada kulit, kulit yang pucat karena
anemia, sesak nafas dan nafas yang dangkal karena akumulasi, neuropati perifer,
dan perdarahan. pada pasien ini didapatkan sesak nafas, hipertensi, anemia,dan
nausea.

3.2 Hipertensi pada Pasien Chronic Kidney Disease


3.2.1.1 Diagnosa Hipertensi
Satu tahun yang lalu dan sampai saat ini pasien memiliki riwayat hipertensi. Pasien
jarang untuk kontrol dan meminum obat yang diberikan dari puskesmas. Tekanan darah
tertinggi selama kontrol 190/... Didapatkan juga riwayat penyakit hipertensi pada keluarga
pasien. Pada pemeriksaan fisik juga didapatkan tekanan darah pasien 140/80.
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua, yaitu hipertensi primer
dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer adalah hipertensi yang penyebab pastinya tidak
diketahui. Terjadinya hipertensi primer biasanya meningkat seiring dengan meningkatnya
usia. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang dapat diketahui secara pasti penyebabnya.
Penyebab hipertensi sekunder antara lain sindroma genetik, penyakit ginjal, renal vascular
hypertension, hiperaldosteronisme primer, chusing syndrome, pheochromocytoma,
coarctation aorta, kehamilan, penggunaan estrogen, hiperkalsemia, dan obat-obatan.

Hipertensi yang terjadi pada pasien ini kemungkinan merupakan hipertensi


sekunder, dimana didapatkan kelainan pada ginjalnya. Terjadinya hipertensi pada pasien
dengan chronic kidney disease dapat disebabkan oleh adanya restriksi garam sehingga
meningkatkan retensi cairan yang akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.

3.2.2 Anemia pada Pasien Chronic Kidney Disease

Pada pasien ini didapatkan tanda-tanda anemia, yaitu konjunctiva yang anemis dan
kadar Hb 4,1 ; MCV/MCH 84/28,5(anemia normokrom normositair). Pada pasien dengan
chronic kidney disease dapat terjadi anemia, baik normokrom normositer ataupun hipokrom
mikrositer. Pada anemia normokrom mikrositer mekanisme yang mungkin terjadi adalah
menurunnya produksi erythropoietin oleh korteks ginjal yang diperlukan untuk proses
hemopoeisis. Sedangkan anemia hipokrom mikrositer dapat disebabkan oleh defisiensi Fe,
baik karena kurangnya asupan Fe, hilangya ferritin melalui urin, maupun proses inflamasi
yang menyebabkan lepasnya mediator inflamasi, interleukin 1, yang mengakibatkan
kurangnya absorbs Fe pada sumsum tulang.

3.3 Terapi Chronic Kidney Disease

3.3.1 Terapi Hipertensi

Terapi yang diberikan pada pasien ini terbagi kepada dua, yaitu non farmakologis
yaitu diet ginjal 1900 kkal/hr, rendah protein, rendah garam serta terapi farmakologis terdiri
amilodipin 10mg per oral sehari sekali. Selain itu diberikan diet rendah protein dan rendah
garam. Karena pasien mengalami anemia dengan Hb 4,1 maka pasien diberikan transfuse
PRC 2 labu sampai Hb ≥8mg/dl.
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah hiperfiltrasi glomerulus.
Untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus dapat dilakukan 2 cara, yaitu dengan cara non
farmakologis dan cara farmakologis.

Cara non farmakologis dapat dilakukan dengan melakukan pembatasan asupan


protein. Pembatasan asupan protein dapat mulai dilakukan bila nilai GFR ≤60 ml/mnt
sedangkan bila nilai GFR di atas nilai tersebut tidak selalu dianjurkan. Jumlah pemberian
protein harus disesuaikan dengan status nutrisi pasien. Bila pasien mengalami malnutrisi,
asupan protein dapat ditingkatkan. Pada pasien dengan GFR 5-25ml/mnt asupan protein
yang diperbolehkan adalah 0,6-0,8g/kgBB/hr. Asupan garam juga perlu dibatasi. Bila asupan
garam > 3-4g/hari dapat menyebabkan hipertensi, edema, dan congestive heart failure. Bila
asupannya < 1g/hari maka dapat terjadi volume deplesi dan hipotensi.

DAFTAR PUSTAKA

Bereta-Picolli, C. (1976). Hypertension associated with early stage kidney disease.


Complementary roles of circulating renin, the body sodium/volume state and
duration of hypertension. Am J Med, 61, 739-47.
Cianciaruso, B. (1998). Salt intake and renal outcome in patients with progressive
renal disease. Miner Electrolyte Meta, 24(4), 296-301.
ESH/ESC. (2013). Guidelines for the management of arterial hypertension. Eur
Heart J, 34(28), 2159- 219.
Heeg, J. E. (1989). Efficacy and variability of the antiproteinuric effect of ACE
inhibition by lisinopril. Kidney Int, 35(1), 272-279.
Hu, Q., Corda, S., Zweier, J. L., Capogrossi, M. C., & Ziegelstein, R. C. (1998).
Hydrogen peroxide induces intracellular calcium oscillations in human.
Circulation, 97, 268-75.
Joint Specialty committee on Renal Medicine of the Royal college of Physiscians and
the Renal Association, and the Royal College of General Practitioners. (2006).
Chronic Kidney Disease in Adults: UK Guidelines for Indentification,
Management and Referral. London: Royal College of Physicians.
Levin, A. (2008). Guidelines for the management of chronic kidney disease. CMAJ,
179(11), 1154-62.
Morgado, E., & Neves, P. L. (2012). Hypertension and Chronic Kidney Disease:
Cause and Consequence - Therapeutic Considerations. In H. Babaei,
Antihypertensive Drugs (pp. 45-66). Tabriz: InTech.
Navar, L. G., & Majid, D. S. (1996). Interactions between arterial pressure and
sodium excretion. Curr Opin Nephrol Hypertens, 5(1), 64-71.
Pranay, K., & Stoppler, M. C. (2010). Chronic Kidney Disease. Retrieved September
3, 2013, from eMedicine Health:
http://www.emedicinehealth.com/chronic_kidney_disease/page18_em.htm#A
uthors%20and%20Editors
Price, S. A., & Wilson, L. M. (1995). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses
penyakit. Jakarta: EGC.
Sacks, F. M. (2001). Effects on blood pressure of reduced dietary sodium and
teh Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) diet. DASH-Sodium
Collaborative Research Group. N Engl J Med, 344(1), 3-10.
Suwitra, K. (2006). Penyakit ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi IV
ed., Vol. I). Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUB.
Vaziri, N. D., Ni, Z., Oveisi, F., Liang, K., & Pandian, R. (2002). Enhanced nitric oxide
inativation and protein nitration by reactive. Hypertension, 39(1), 135-41.

Anda mungkin juga menyukai