Anda di halaman 1dari 26

Laporan Kasus

HIPERKALEMIA

Oleh:

dr. Nadiyah Puteri Ardhiyani

Pembimbing:

dr. Zuldian Syahputra , Sp.PD

Pendamping:

dr. Anggi Christian

DOKTER INTERNSIP
DIVISI ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD LEBONG
2023
LEMBAR PENGESAHAN
PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
LAPORAN KASUS RSUD LEBONG

HIPERKALEMIA

Laporan kasus ini diajukan dalam rangka memenuhi tugas Internsip di


RSUD LEBONG

DISUSUN OLEH:

dr. Nadiyah Puteri ardhiyani

DPJP Spesialis Penyakit Dalam Pendamping Internsip

dr. Zuldian Syahputra, Sp.PD dr. Anggi Christian


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kalium adalah kation paling banyak pada cairan intraseluler yang berperan
dalam menghantarkan impuls saraf ke serat-serat otot, memberikan kemampuan
otot untuk berkontraksi dan pembebasan tenaga dari protein, lemak, dan
karbohidrat sewaktu metabolisme. Kalium bermanfaat bagi tubuh kita untuk
mengendalikan tekanan darah serta membersihkan karbondioksida di dalam darah.
Kalium juga berperan menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan keseimbangan
asam basa. Sekitar 98% jumlah kalium dalam tubuh berada di dalam cairan intrasel.
Konsentrasi kalium intrasel sekitar 145 mEq/L dan konsentrasi kalium ekstrasel
3,5-5,1 mEq/L (sekitar 2%). Jumlah konsentrasi kalium ini bergantung pada baik
atau tidaknya fungsi ginjal, apabila keadaan ginjal baik maka kalium akan
dikeluarkan melalui urin. Ginjal yang mengalami penuruan fungsi maka kadar
kalium pada ekstraseluler akan menjadi sangat rendah atau sangat tinggi. kalium
bergerak di dalam tubuh secara difusi dari saluran usus melalui dinding kapiler dan
kemudian mengalami absorbsi aktif. Cara kalium masuk ke dalam sel-sel juga
dengan cara difusi dan metabolisme aktif. Kalium dibuang melalui urin dengan cara
sekresi dan filtrasi di glomerolus, kemudian direabsorpsi bersama dengan natrium
melalui traktus gastrointestinal, serta dibuang melalui feces. Kalium mudah diserap
dengan daya cerna dalam usus kecil mencapai 90%. Kebutuhan harian tubuh
terhadap kalium berbeda-beda bergantung usia. Pada usia 14-70 tahun dibutuhkan
2000 mg/hari. Kalium merupakan bagian esensial dari semua sel hidup, kalium
banyak terdapat di dalam semua makanan yang berasal tumbuh- tumbuhan dan
hewan. Sumber utama kalium adalah makanan mentah atau segar, terutama buah,
sayuran, kacangkacangan, dan susu. Konsumsi kalium berdasarkan kebutuhan
tubuh yang disarankan adalah ≥2000 mg/hari hal ini bertujuan untuk menjaga
keseimbangan asupan harian kalium.
BAB II
ANALISA KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama penderita : Ny. R
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 60 tahun
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Muara aman
MRS tanggal : 16 -8- 2023

2.2 Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan badan terasa lemas 1 minggu yang lalu sebelum masuk
rumah sakit hari yang lalu , pasien mengatakan kaki dan tangannya terasa berat , dan
terasa seperti kesemutan dan susah untuk berjalan seperti tidak ada tenaga.
2.2.1 Keluhan Utama: seluruh badan terasa lemas

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD dengan keluhan badan terasa lemas 1 minggu yang lalu sebelum
masuk rumah sakit , pasien mengatakan tubuh pasien susah di gerakan dan
mengakibatkan pasien sulit berjalan, keluhan ini dirasakan semenjak pasien sesudah
pulang dari rawatan di rumah sakit , dan pasien juga mengatakan bahwa dada pasien
sering berdebar debar , pasien juga mengatakan sebelumnya pasien mudah merasakan
lelah ketika berjalan dan terasa sedikit sesak, kaki bengkak (-), sering terbangun malam
sesak nafas (-), tapi pasien pernah mengatakan sering bangun tengah malam untuk
buang air kecil bisa 2 sampai 3 kali ,mudah lapar tidak (-), terasa haus (-), pasien juga
mengatakan punya riwayat minum obat darah tinggi beberapa tahun yang lalu dan
pasien juga mengatakan pernah ada riwayat sakit jantung .

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


- Pasien tidak memiliki keluhan yang serupa
- DM (+), HT (+), Riwayat sakit jantung (+)
- Asma (-)
- Riwayat batuk lama (-)

2.2.4 Riwayat Alergi


Tidak memiliki riwayat alergi
2.2.5 Riwayat Keluarga
Di keluarga tidak memiliki keluhan yang serupa
2.3 Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
GCS : E4M5V6 = 15
b. Pengukuran
Tanda vital  TD : 153/81 mmhg
Nadi : 96 x/menit, kuat angkat
RR : 23 x/menit
Suhu : 36,7 °C
SpO2 : 100 %
Kepala : Normacephali
Mata : SI (-/-), CA (-/-), pupil isokor (+/+), RCL/RCTL (+/+)
Mulut : Sianosis (-), Coated Tongue (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembengkakan TVJ (-)
Thorak : Ves (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), BJ1/BJ2 Reguler, Murmur (-)
Abdomen : Soepel, peristaltik (+) normal, timpani (+), NT Epigastrium(-)
Alat Gerak : Edemia (-/-), CRT < 2 det, akral hangat (+), purpure (-)
Anus/ Genitalia : Tidak diperiksa
2.4 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hematologi Hasil Nilai Normal
- Pr: 4-5 juta/mm3
Eritrosit
Lk: 4,5-5,5 juta/mm3
24 Pr: 34-42%
Hematocrit
Lk: 35-48%
8,7 Pr: 12-16 gr/dl
Hemoglobin
Lk: 14-18 gr/dl
Leukosit 8.320 4.000-11.000
MCV 82 80-108 FL
MCH 29 26-41 pg
MCHC 36 32-45 g/l
Trombosit 380.000 150-450.000/mm3
Diff Count:

Limfosit 20-50%

Monosit 3-10%
GDP 128 70-99 mg/dL
Ureum 31 Pr:15-40 mg/dl
Lk : 19-40 mg/dl
Kreatini 1,3 Pr: 0,5- 0,9 mg/dl
Lk : 0,7- 1,20 mg/dl

Elektrolit
Elektrolit Hasil Nilai normal
Natrium 131 120-180 mmol/L
Kalium 8,5 3,4-5,3 mmol/L
Ca++ 1,09 1,12-1,32mmol/L
CL- 117 95-115mmol/L

EKG
2.6 Diagnosis
CHF FC NYHA I- II ec HHD
Hiperkalemia
AKI stage I ec. Diabetikum nefropati
DM Tipe 2
2.7 Tatalaksana
Advice dr.Zuldian Syahputra .Sp.PD
- IV Ca glukonas 10% 1 ampul
- Nebu farbivent 1 respul (2x1)
- Bolus dextrose 40 % 2 fls dengan novorapid 10 unit
- Inj. esomeprazole 40 mg/24 jam

2.8 Follow Up
Tanggal S O A P
23-8-2023 Sesak (+) N :89 x/i CHF FC NYHA I IV Ca glukonas 10% 1 ampul
RR : 27x/i –II ec HHD Nebu farbivent 1 respul

T : 37,0% AKI Stage I ec. Bolus dextrose 40 % 2 fls


dengan novorapid 10 unit
Spo2: 96% Diabetik nefropati
Inj. esomeprazole 40 mg/24
TD :160/78 mmhg Hiperkalemia
jam
Px : Rh(/),wh(-) DM Tipe 2

2.9 Prognosis:
- Ad Vitam : dubia ad bonam.
- Ad Functionam : dubia ad bonam.
- Ad Sanactionam : dubia ad bonam
Analisis kasus

Pasien datang dengan keluhan badan terasa hiperkalemia adalah kelelahan, palpitasi, mual,
lemas 1 minggu yang lalu sebelum masuk muntah, diare, nyeri otot, lemah dan kaku pada
rumah sakit hari yang lalu , pasien otot, kebingungan, kesemutan dan dispnea
mengatakan kaki dan tangannya terasa berat , Hiperkalemia merupakan keadaan darurat
dan terasa seperti kesemutan dan susah untuk medis, terutama karena efeknya pada jantung.
berjalan seperti tidak ada tenaga. Peningkatan ringan pada kalium ekstraseluler
Pada ekg memengaruhi fase repolarisasi potensial aksi
jantung, yang berakibat pada perubahan
morfologi atau arah gelombang T. Pada
hiperkalemia ringan hingga sedang menekan
konduksi intrakardia dengan gelombang PR
dan interval QRS memanjang secara progresif.
Hiperkalemia berat menyebabkan hilangnya
gelombang P dan kompleks QRS melebar, fusi
dengan gelombang T menyebabkan ritme
sinoventrikular. Aritmia jantung yang
Elektrolit Hasil Nilai normal
berkorelasi dengan hiperkalemia meliputi sinus
Natrium 131 120-180
bradikardi, henti sinus, irama idioventrikular
mmol/L
lambat, ventrikular takikardi, fibrasi ventrikel
Kalium 8,5 3,4-5,3
dan asistol.
mmol/L
Hiperkalemia berat – kadar kalium serum
Ca++ 1,09 1,12- ≥ 7 mEq/L (≥ 7 mmol/L)
1,32mmol/L
CL- 117 95-
115mmol/L

Tatalaksana
Advice dr.Zuldian Syahputra .Sp.PD
- IV Ca glukonas 10% 1 ampul
- Nebu farbivent 1 respul (2x1)
- Bolus dextrose 40 % 2 fls dengan
novorapid 10 unit
- Inj. esomeprazole 40 mg/24 jam

pasien pernah mengatakan sering bangun


tengah malam untuk buang air kecil bisa 2
sampai 3 kali ,mudah la[ar tidak (-), terasa
haus (-)
dari hasil GDP di dapatkan 128 mg/dl

Diabetes Melitus adalah suatu kelompok


penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemi yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kelainan kerja insulin atau
keduanya.
pasien juga mengatakan sebelumnya pasien
mudah merasakan lelah ketika berjalan dan
terasa sedikit sesak
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga retroperitoneal
bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke
medial. Cekungan ini disebut sebagai hilus renalis, yang di dalamnya terdapat apeks
pelvis renalis dan struktur lain yang merawat ginjal, yakni pembuluh darah, sistem
limfatik, dan sistem saraf . Ginjal berperan dalam berbagai fungsi tubuh yang sangat
penting bagi kehidupan, yakni menyaring (filtrasi) sisa hasil metabolisme dan toksin
dari darah, serta mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit tubuh, yang
kemudian dibuang melalui urine .
Fungsi ginjal diantaranya
(1) mengatur ekskresi garam dan air untuk mempertahankan volume cairan ekstraseluler
dan osmolalitas
(2) mempertahankan homeostasis asam-basa
(3) mengekskresikan produk akhir metabolisme dan zat asing
(4) menjaga reabsorpsi komponen bermanfaat (seperti glukosa)
(5) memproduksi hormon (seperti eritropoietin) dan hormon aktivator (renin), dan
(6) memiliki fungsi metabolik (katabolisme protein dan peptida, glukogenesis)
Selain itu ginjal juga menghasilkan hormon yaitu hormone:

1. Renin
yakni berperan dalam meregulasi cairan dan tekanan darah. Hormon ini diproduksi di
dalam sel juxta-glomerulus sebagai respon dari penurunan perfusi jaringan. Renin
merubah angiotensinogen (dari liver) menjadi angiotensin I, (AT I) yang kemudian
dirubah oleh Angiotensin Converting Enzyme (ACE) menjadi angiotensin II (AT II),
yang menyebabkan vasokonstriksi dan reabsorbsi natrium, untuk mengembalikan fungsi
perfusi.
2.Eritropoietin
Ginjal juga menghasilkan eritropoietin, yakni hormon yang merangsang jaringan
hemopoietik (sumsum tulang) membuat sel darah merah. Terdapat sel khusus yang
memantau konsentrasi oksigen di dalam darah, yaitu jika kadar oksigen turun, kadar
eritropoietin meningkat dan tubuh memulai memproduksi sel darah merah.
3.2 Diabetes melitus (DM)
Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kelainan kerja insulin atau
keduanya. Gambaran patologik DM sebagian besar dapat dihubungkan dengan salah
satu efek utama akibat kurangnya insulin yaitu penurunan pemakaian glukosa oleh sel-
sel tubuh dan peningkatan metabolisme lemak, serta berkurangnya protein dalam
jaringan tubuh.Prevalensi diabetes mellitus di dunia meningkat sangat pesat dalam 2
dekade terakhir. Meskipun prevalensi DM tipe I dan tipe II sama-sama meningkat,
namun DM tipe II kelihatannya akan lebih cepat peningkatannya di masa depan karena
semakin tingginya angka obesitas dan semakin kurangnya aktivitas fisik manusia. Pada
tahun 2000, prevalensi DM diperkirakan 0,19% pada orang umur <20 th dan 8,6% pada
orang umur >20 th. Pada lansia >65 th prevalensi DM adalah 20,1%. Prevalensi pada
pria dan wanita sama, kecuali pada usia >60 th lebih tinggi pria dibanding
wanita.Diabetes melitus yang tidak terkontrol akan menyebabkan terjadinya berbagai
komplikasi kronik, baik mikrovaskuler maupun makrovaskuler.
Manifestasi komplikasi makrovaskuler dapat berupa penyakit jantung koroner,
trombosis serebral, dan gangrene. Penyakit akibat komplikasi mikrovaskular yang dapat
terjadi pada pasien diabetes yaitu retinopati dan nefropati diabetik. Nefropati Diabetik
adalah komplikasi diabetes melitus pada ginjal yang dapat berakhir sebagai gagal ginjal.
Komplikasi kronik dari diabetes dapat berupa.Komplikasi vaskuler, yang dibagi
menjadi makrovaskular yaitu penyakit pembuluh darah koroner, pembuluh darah
tungkai bawah dan mikrovaskular yaitu retinopati, nefropati, dan lainnya Penyakit
diabetes melitus yang tidak terkontrol dalam waktu lama akan menyebabkan kerusakan
pada pembuluh darah dan saraf. Pembuluh darah yang dapat mengalami kerusakan
dibagi menjadi dua jenis, yakni pembuluh darah besar dan kecil.Yang termasuk dalam
pembuluh darah besar antara lain:
a. Pembuluh darah jantung, yang jika rusak akan menyebabkan penyakit jantung
koroner dan serangan jantung mendadak.
b. Pembuluh darah tepi, terutama pada tungkai, yang jika rusak akan menyebabkan luka
iskemik pada kaki.
c. Pembuluh darah otak, yang jika rusak akan dapat menyebabkan stroke. Kerusakan
pembuluh darah kecil (mikroangiopati) misalnya mengenai pembuluh darah retina dan
dapat menyebabkan kebutaan. Selain itu, dapat terjadi kerusakan pada pembuluh darah
ginjal yang akan menyebabkan nefropatidiabetikum.

3.3 Definisi Hiperkalemia


Hiperkalemia merupakan keadaan peningkatan kalium plasma 3-4 mEq/L dari nilai
normal akibat peningkatan kalium total tubuh karena ketidak seimbangan asupan
dengan ekskresi atau dari distribusi yang salah antara ruang intra dan ekstraseluler
Penyebab lain yaitu berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal yang terjadi pada
keadaan gagal ginjal, deplesi volume sirkulasi efektif, hiperaldosteronisme, pemakaian
siklosporin atau akibat koreksi ion kalium yang berlebihan pada kasus pasien yang
mendapat terapi ACEinhibitor dan potassium sparing diuretics. Fungsi ginjal yang
menurun menyebabkan metabolisme kalium terganggu. Aktivitas sel dipengaruhi oleh
keseimbangan natrium dan kalium. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal, terutama
ketika GFR < 15 ml/menit.
3.4 Etiologi hiperkalemi
Hiperkalemia dapat terjadi secara akut ataupun kronik. Hiperkalemia akut sering
disebabkan oleh keluarnya K+ dari sel dalam jumlah banyak, pada keadaan trauma,
asidosis metabolik, dan hemolisis. Hiperkalemia kronik disebabkan oleh gangguan
ekskresi K+ dan/ atau meningkatnya intake K+
3.5 Klasifikasi
berdasarkan level kalium dalam serum :

a. Hiperkalemia ringan – kadar kalium serum 5.2-6 mEq/L (5.2-6 mmol/L)


b. Hiperkalemia sedang – kadar kalium serum >6-6,9 mEq/L (>6-6,9 mmol/L)
c. Hiperkalemia berat – kadar kalium serum ≥ 7 mEq/L (≥ 7 mmol/L)
3.6 Homeostasis Kalium
Ion kalium (K+) adalah kation terbanyak dalam tubuh. Pada dewasa, estimasi total
kation ialah 3000-4000 mmol. Mayoritas ion K+ berada intraseluler, hanya 60 mmol
(2%) yang berada di ekstraseluler. Konsentrasi K+ ekstraseluler secara fisiologis
dipertahankan dalam rentang fisiologis sempit melalui mekanisme homeostasis yang
sangat efisien. Mekanisme ini mengontrol redistribusi K+ secara internal sambil
meregulasi ekskresi potasium. Pompa Na+ - K+ sel berperan mempertahankan kadar
K+ di dalam sel dan memompa Na+ keluar dari sel. Mayoritas K+ diekskresikan
melalui urin dan sisanya (10%) diekskresikan melalui feses dan keringat. Pada ginjal,
ekskresi K+ terjadi pada tubulus kontortus distal dan duktus kolektivus. Ekskresi K+
ginjal dipengaruhi oleh zat-zat berikut ini:
a. Aldosteron
b. Diuretik
c. Urin yang meningkat (diuresis osmosis)
d. Ion bermuatan negatif di tubulus distal (bikarbonat)
3.7 Gejala klinis
hiperkalemia adalah kelelahan, palpitasi, mual, muntah, diare, nyeri otot, lemah dan
kaku pada otot, kebingungan, kesemutan dan dispnea Hiperkalemia merupakan keadaan
darurat medis, terutama karena efeknya pada jantung. Peningkatan ringan pada kalium
ekstraseluler memengaruhi fase repolarisasi potensial aksi jantung, yang berakibat pada
perubahan morfologi atau arah gelombang T. Pada hiperkalemia ringan hingga sedang
menekan konduksi intrakardia dengan gelombang PR dan interval QRS memanjang
secara progresif. Hiperkalemia berat menyebabkan hilangnya gelombang P dan
kompleks QRS melebar, fusi dengan gelombang T menyebabkan ritme sinoventrikular.
Aritmia jantung yang berkorelasi dengan hiperkalemia meliputi sinus bradikardi, henti
sinus, irama idioventrikular lambat, ventrikular takikardi, fibrasi ventrikel dan asistol.
Hiperkalemia dapat diklasifikasikan berdasarkan kadar K+ serum menjadi ringan (5,5–
6,5 mmol/L), sedang (6,5–7,5 mmol/L), dan berat (>7,5 mmol/L).Beberapa literatur
terakhir membagi hiperkalemia dengan mempertimbangkan ada-tidaknya perubahan
EKG. Hiperkalemia sering asimtomatik.Pada hiperkalemia ringan dan sedang, sebagian
besar pasien asimtomatik.
Pasien mengeluh gejala-gejala non-spesifik seperti lemas, palpitasi, mual, nyeri otot,
kelemahan otot, parestesia, atau sinkop. Gejala tersering ialah kelemahan otot.
Kelemahan otot dapat menyerupai Guillain Barre Syndrome, kelemahan otot menjalar
secara ascending (dari tungkai bawah menuju ke atas). Gejala awal dapat berupa
parestesi dan fasikulasi otot lengan dan tungkai bawah. Pada umumnya, gejala timbul
pada kadar kalium lebih tinggi (6,5-7 mEq/L); kecepatan kenaikan lebih
dipertimbangkan dibandingkan kadar K+ sewaktu. Pasien hiperkalemia kronis dapat
menjadi asimtomatik pada kadar tinggi, sedangkan pasien dengan perubahan kadar
kalium secara akut/ mendadak akan mengalami gejala yang lebih berat pada kadar
kalium yang lebih rendah.
3.8 Faktor Risiko
Hiperkalemia sering dijumpai pada pasien diabetes, gangguan ginjal akut, gagal ginjal
kronik, keganasan, usia sangat tua/ sangat muda, dan asidosis. Hiperkalemia lebih
sering dijumpai pada laki-laki dibanding wanita karena massa otot yang lebih banyak,
kecepatan rhabdomyolisis yang lebih cepat, dan insidens penyakit neuromuskular yang
lebih tinggi.Hiperkalemia jarang dijumpai pada anak-anak, tetapi dapat terjadi pada
50% bayi prematur. Pada kondisi rawat inap, hiperkalemia sering disebabkan karena
obat-obatan dan insufisiensi renal. Risiko hiperkalemia meningkat pada penggunaan
ACE inhibitor, yang sering digunakan pasienpasien diabetes, gagal jantung, dan
penyakit vaskular perifer. Kerusakan sel dapat melepaskan K+ intrasel menuju
ekstrasel, seperti kondisi rhabdomyolisis pada crush injury, latihan fisik berlebihan,
serta proses hemolitik lainnya. Defisiensi insulin dan diabetik ketoasidosis dapat
menyebabkan perubahan kadar K+ intraseluler dan ekstraseluler secara signifikan dan
mendadak menyebabkan K+ serum meningkat, sedangkan total K+ tubuh berkurang.
Sindrom lisis tumor pascakemoterapi dapat menyebabkan hiperkalemia akut karena
kematian sel kanker secara masif. Ekskresi inadekuat dapat disebabkan oleh gagal ginjal
kronik, acute kidney injury, dan obat-obatan penghambat RAAS. Gagal ginjal kronik
merupakan penyebab tersering hiperkalemia, karena berkurangnya atau hilangnya
fungsi nefron. Hiperkalemia pada umumnya tampak saat eGFR di bawah 30 mL/ menit.
Hiperkalemia juga sering terjadi pada acute kidney injury, terutama bila dijumpai
oliguria. Keadaan ini dapat terjadi karena kurangnya volume darah secara akut akibat
dehidrasi, perdarahan, atau hipovolemia karena gagal jantung kongestif atau sirosis.
3.9 Diagnosis
Pada anamnesis, perlu digali riwayat penyakit berisiko hiperkalemia seperti
penyakit ginjal, hipertensi, diabetes, kemoterapi, trauma mayor, trauma listrik, crush
injury, atau rhabdomyolisis (keluhan nyeri otot). Penggunaan obat-obatan yang dapat
menyebabkan hiperkalemia juga perlu ditanyakan, seperti digoxin, diuretik hemat
kalium, NSAID, ACE inhibitor, pemberian kalium intravena, nutrisi parenteral total,
suksinilkolin, atau penicilin V potassium. Ada beberapa red flags yang menimbulkan
kecurigaan adanya hiperkalemia. Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda bervariasi sesuai
penyebab hiperkalemia. Pada pasien gagal ginjal, sering dijumpai hipertensi dan edema.
Pada kondisi syok, bisa ditemukan tanda-tanda hipoperfusi. Nyeri otot bisa tampak pada
keadaan rhabdomyolisis. Jaundice terlihat pada kondisi hemolitik. Selain itu, dapat
ditemui tanda hiperkalemia seperti, kelemahan otot, paralisis flaccid, atau menurunnya
refleks tendon dalam KDIGO merekomendasikan pemeriksaan EKG 12 lead dan
monitoring jantung saat kadar K+ >6,0 mmol/L.Hiperkalemia mengakibatkan konduksi
miokard menjadi tidak stabil dengan mengurangi potensial membran istirahat, sehingga
meningkatkan depolarisasi jantung, eksitabilitas miokard, ketidakstabilan jantung, dan
aritmia, yang dapat berakhir pada fibrilasi ventrikel dan asistol. Pada hiperkalemia
ringan (5,5-6,5 mM), peningkatan K+ ekstraseluler mempengaruhi fase repolarisasi
jantung, sehingga terbentuk gelombang T tinggi dan menukik (tall peaked T waves).
Hiperkalemia sedang (6,5-7,5 mM) menyebabkan hilangnya gelombang P. Seiring
meningkatnya konsentrasi K+, konduksi intrakardiak akan terhambat, menyebabkan
pemanjangan interval PR dan interval QRS. Hiperkalemia berat (7,0-8.0 mM) akan
menyebabkan kompleks QRS melebar. Pada akhirnya, hiperkalemia berat yang tidak
ditangani segera (>8,0 mM) dapat menimbulkan ritme sinoventrikular dengan
gelombang sine (sinewave) yang menandakan impending fibrilasi ventrikel atau asistol
yang mengancam nyawa, Akan tetapi, fase perubahan EKG ini tidak sensitif, terutama
pada pasien gagal ginjal kronik.Hiperkalemia juga dapat menimbulkan asidosis
metabolik karena mengganggu proses ekskresi asam pada ginjal. Selain EKG, pasien
hiperkalemia perlu menjalani pemeriksaan elektrolit lengkap, BUN, kreatinin,
osmolalitas serum, Mg dan Ca, pemeriksaan darah lengkap, urinalisis.
3.10 Tatalaksana
Sebelum tatalaksana agresif dilakukan, hiperkalemia sebaiknya dikonfirmasi terlebih
dulu, terutama jika K+ serum meningkat tanpa penyebab pasti. Langkah pertama ialah
menyingkirkan kemungkinan pseudohiperkalemia.Hiperkalemia akut yang sudah
terkonfirmasi memerlukan penanganan segera, seperti monitor jantung, intervensi medis
akut, dan mungkin dialisis.Tatalaksana awal harus fokus menstabilkan miokard dan
mencegah/memperbaiki disritmia, redistribusi/pemindahan K+ menuju intraseluler,
serta membuang K+ yang berlebih. Tatalaksana akut hiperkalemia direkomendasikan
saat K+ plasma mencapai >6,5 mmol/L atau adanya manifestasi gangguan jantung tanpa
melihat kadar K+ plasma.
I.Stabilisasi miokard
Pemberian kalsium intravena dapat mencegah fibrilasi ventrikel dan memproteksi
jantung, dengan menaikkan potensial aksi dan mengurangi eksitabilitas, tanpa
mengubah potensial membran istirahat. Kalsium mampu memperbaiki abnormalitas
EKG dalam waktu singkat. Dosis dapat diulang bila tidak ada perbaikan EKG atau EKG
kembali memburuk setelah perbaikan awal. Hati-hati pemberian calcium gluconate pada
pasien yang mengonsumsi digoxin karena bersifat toksik terhadap jantung.Calcium
gluconate memiliki efek toksisitas jaringan yang lebih rendah dibandingkan calcium
chloride. Perlu diingat bahwa calcium tidak mengurangi konsentrasi K+ dan durasi
kerja hanya 60 menit. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengobatan selanjutnya untuk
mengurangi K+. Pemberian kalsium direkomendasikan pada pasien hiperkalemia
dengan perubahan EKG atau pasien hiperkalemia dengan kadar K+ >6,5 mmol/L tanpa
pemeriksaan EKG (tidak tersedia saat itu)
II.Redistribusi kalium ke intraseluler, sehingga kalium plasma berkurang secara
cepat
Insulin mampu menurunkan konsentrasi K+ plasma dengan memasukkan K+ ke
intraseluler. Tipe insulin yang digunakan ialah regular atau short acting. Untuk
mencegah hipoglikemia, pasca-pemberian insulin dan dextrosa, perlu diberi infus
dextrosa 10% 50- 75 mL/jam, dan pemantauan ketat konsentrasi glukosa plasma. Jika
pasien hiperkalemia dengan hiperglikemia (glukosa ≥200-250 mg/ dL), insulin dapat
diberikan tanpa glukosa, tetapi dengan pemantauan ketat konsentrasi glukosa plasma.
Pemberian insulin 20 IU memiliki efek menurunkan kalium setara dengan insulin 10 IU,
tetapi dengan risiko hipoglikemia yang lebih besar. Selain insulin, pemberian β2 agonis,
seperti albuterol/salbutamol, juga efektif mengatasi hiperkalemia dan direkomendasikan
sebagai terapi lini pertama pada hiperkalemia tidak berat pada pasien bernapas spontan
tanpa takikardi. β2 agonis memberikan efek aditif pada insulin; efek sampingnya ialah
takikardia, hiperglikemia, dan peningkatan laktat. Pemberian melalui inhalasi/
nebulisasi dapat mengurangi efek terhadap jantung. Hati-hati nebulisasi β2 agonis pada
pasien penyakit jantung (gagal jantung atau angina tidak stabil), karena dapat
menyebabkan takikardia. Sebanyak 20% pasien gagal ginjal kronik dengan
hiperkalemia resisten terhadap nebulisasi β2 agonis. Pemberian bikarbonat intravena
kurang tepat untuk tatalaksana akut hiperkalemia, karena onset yang lama, tetapi cukup
memberi manfaat bagi pasien asidosis atau hipovolemik. Bikarbonat diberikan dalam
bentuk infus cairan isotonik atau hipotonik (150 mEq dalam D5W 1 L). Pada asidosis
metabolik, berkurangnya kadar K+ serum dapat dilihat setelah 4-6 jam infus bikarbonat
isotonik. Pemberian bikarbonat memerlukan banyak cairan, sehingga dapat
menyebabkan fluid overload, hipernatremia, dan alkalosis respiratorik. Pengobatan ini
dikontraindikasikan pada pasien hipertensi atau gagal jantung
III.Pembuangan K+
Pembuangan K+ dapat dengan cation exchange resin, diuretik, dan/atau dialisis.
Hemodialisis merupakan metode paling efektif untuk mengurangi konsentrasi K+
plasma. Hemodialisis emergensi dipertimbangkan pada pasien dengan perubahan EKG
persisten atau menunjukkan respons inadekuat terhadap β2 agonis dan insulin, serta
pada kondisi AKI stage 2 atau stage 3 dengan/ tanpa hiperkalemia.Pasien hiperkalemia
yang lebih stabil (euvolemik/ hipervolemik) dapat diberi diuretik loop/ thiazide, jika
fungsi ginjal adekuat untuk merespons diuretik. Cara ini dapat dikombinasikan dengan
salin intravena atau bikarbonat isotonik untuk menjaga atau mencapai euvolemia.
Cation exchange resin berupa sodium polystyrene sulfonate (SPS) bekerja melalui
pergantian Na+ dengan K+ pada saluran gastrointestinal dan meningkatkan ekskresi K+
pada feses. SPS telah lama digunakan untuk mengurangi K+ plasma, tetapi dapat
menimbulkan nekrosis kolon. Onset SPS cukup lama dan sulit diprediksi. Oleh karena
itu, dalam keadaan gawat darurat, pertimbangkan alternatif tatalaksana lainnya. Selain
natrium, juga tersedia resin berbahan dasar kalsium. Hati-hati pemberian SPS pada
pasien overload cairan karena dapat menambah cairan dan menimbulkan gagal jantung,
dengan pertukaran K+ dengan Na+.1,8 Potassium-binder baru, seperti patiromer dan
sodium zirconium cyclosilicate memberikan efek menjanjikan menurunkan K+ dalam
waktu singkat, tetapi masih perlu diteliti efek samping jangka panjangnya terhadap
gastrointestinal.
3.11 Pemantauan dan Re-Evaluasi
Pada hiperkalemia akut, diperlukan pemantauan tekanan darah, jantung, kadar K+, dan
kadar glukosa darah. Pemeriksaan ulang K+ dilakukan 60 menit setelah pemberian
pengobatan, mengingat kerja insulin dan β2 agonis selama 30-60 menit. Hiperkalemia
dapat rekuren dalam 2-3 jam bila K+ tidak diekskresikan karena obatobatan ini tidak
mengekskresikan K+, tetapi memindahkan K+ ke dalam sel. Pemantauan glukosa darah
diperlukan mengingat risiko hipoglikemia pada terapi insulin. Durasi dan frekuensi
monitoring dan pemeriksaan laboratorium tergantung derajat hiperkalemia,
kecenderungan rebound, konteks klinis pasien keseluruhan, dan respons terhadap
pengobatan.
3.12 Prognosis
Mortalitas hiperkalemia berat mencapai 30,7%. Prognosis tergantung selisih K+ antara
K+ saat awal masuk dan kadar K+ tertinggi makin besar selisih K+, makin buruk
prognosis. Infeksi, hipovolemi, perdarahan, keganasan, kegagalan multiorgan,
perawatan di ICU, dan riwayat henti jantung akibat hiperkalemia memperburuk
prognosis. Mortalitas pasien hiperkalemia dengan gagal ginjal akut (Acute Kidney
Injury/ AKI) yang sebelumnya memiliki fungsi ginjal baseline normal, lebih tinggi
dibandingkan pada pasien AKI-on-CKD (Acute Kidney Injury on Chronic Kidney
Disease). Hal ini karena pasien dengan fungsi ginjal baseline yang baik kurang mampu
beradaptasi.
3.13 Definisi
Hipokalemia adalah keadaan konsentrasi kalium darah di bawah 3,5 mEq/L yang
disebabkan oleh berkurangnya jumlah kalium total tubuh atau adanya gangguan
perpindahan ion kalium ke dalam sel.
3.14 Etiologi
Hipokalemia Redistributif
Insulin, aktivitas β2-adrenergik, hormon tiroid, dan alkalosis memicu pengambilan K+
seluler yang dimediasi oleh Na+/K+ -ATPase, dengan jalur berbeda-beda. Stimulasi β2-
Adrenergik memicu aktivitas pompa Na-K-ATPase melalui jalur independen cAMP-
dan protein kinase A (PKA), sedangkan insulin yang berikatan dengan reseptornya
memicu fosforilasi protein substrat reseptor insulin (IRS-1) yang kemudian akan
berikatan dengan phosphatidylinositide3-kinase (PI3-K). Interaksi IRS-1-PI3-K memicu
aktivasi 3-phosphoinositide-dependent protein kinase-1 (PDK1). PDK-1 akan
menstimulasi jalur dependen Akt yang bertanggung jawab untuk penambahan membran
pengangkut glukosa GLUT4, sedangkan aktivasi protein atipikal kinase C (aPKC)
menstimulasi penyisipan pompa Na-K-ATPase.
pengelolaan keadaan deplesi Kalium+, seperti pada kondisi diabetes ketoasidosis.
Sebaliknya, stimulasi insulin endogen juga dapat memicu hipokalemia,
hipomagnesemia, dan/atau hipofosfatemia pada pasien kurang gizi yang mendapat
asupan karbohidrat berlebih Perubahan aktivitas sistem saraf simpatis endogen dapat
menyebabkan hipokalemia, contohnya pada kondisi withdrawal alkohol,
hipertiroidisme, infark miokard akut, dan cedera kepala berat, serta penggunaan
obatobatan tertentu. Agonis β2, contohnya obatobatan bronkodilator dan tokolitik,
memicu sistem saraf simpatis dan menstimulasi enzim ATPase natrium-kalium
membran sehingga mengakibatkan masuknya kalium ke dalam sel.
Nebulisasi albuterol 2,5 mg selama kurang lebih 10 menit terbukti menurunkan
konsentrasi K+ serum secara signifikan. Ritodrin dan terbutalin, obat penghambat
kontraksi uterus bisa menurunkan kalium serum sampai serendah 2,5 mmol per liter
setelah pemberian intravena selama 6 jam Jalur lain, overdosis teofilin atau asupan
berlebih kafein dapat menyebabkan hipokalemia melalui jalur cAMP. Teofilin dan
kafein bukan obat simpatomimetik, tetapi bisa merangsang pelepasan amina
simpatomimetik serta meningkatkan aktivitas Na+/K+ ATPase.
Hipokalemia redistributif juga dapat terjadi pada kondisi hipertiroidisme dengan
serangan periodik kelumpuhan hipokalemia (thyrotoxic periodic paralysis [TPP]).
Episode kelemahan hipokalemik serupa dapat terjadi pada kelumpuhan periodik
hipokalemia familial (hypokalemic periodic paralysis [HPP]), yang disebabkan oleh
mutasi missense subunit α1 di saluran kalsium tipe-L atau saluran Na + skeletal; mutasi
ini menghasilkan aliran listrik abnormal yang diaktifkan oleh hiperpolisasi. Meskipun
jarang, penghambatan eflux pasif K+ juga dapat menyebabkan hipokalemia; biasanya
terjadi pada penghambatan sistemik saluran K+ oleh ion barium beracun.
Deplesi Kalium Non-Renal Hipokalemia bisa merupakan manifestasi deplesi cadangan
kalium tubuh. Dalam keadaan normal, kalium total tubuh diperkirakan 50 mEq/kgBB
dan kalium plasma 3,5-5 mEq/L. Asupan K+ yang sangat kurang dalam diet
menghasilkan deplesi cadangan kalium tubuh.
Deplesi Kalium Renal
Beberapa jenis obat dapat meningkatkan ekskresi K+ ginjal dengan mekanisme berbeda.
Diuretik adalah penyebab utama deplesi kalium renal akibat obat, karena peningkatan
pada tubulus distal Na+ distal dan laju alir tubulus distal, selain hiperaldosteronisme
sekunder. Diuretik golongan tiazida memiliki efek lebih besar pada konsentrasi K+
plasma daripada diuretik loop. Efek diuretik tiazida sebagian besar disebabkan oleh
penghambatan kotransporter Na-Cl di sel tuba kolektivus distal yang memicu
penambahan Na+ masuk melalui electrogenic amiloride-sensitive epithelial Na+
channels (ENaC), meningkatkan perbedaan potensial lumen-negatif, dan meningkatkan
sekresi K+.Kondisi ini berlawanan dengan terjadinya hiperkalsiuria pada penggunaan
diuretik loop; peningkatan kalsium sebagai respons terhadap diuretik loop menghambat
ENaC pada sel utama, sehingga mengurangi perbedaan potensial lumen-negatif dan
mengurangi ekskresi K + distal.
Defisiensi Magnesium
Deplesi magnesium memiliki efek penghambatan aktivitas Na+/K+-ATPase,
mengurangi masuknya K+ ke dalam sel otot dan menyebabkan kaliuresis sekunder.
Selain itu, deplesi magnesium menyebabkan sekresi K+ berlebihan oleh nefron distal.
Sebagai konsekuensinya, pasien hipomagnesemia secara klinis refrakter terhadap
penggantian K+ jika kadar Mg2+ tidak dikoreksi.
Pseudohipokalemia
Nilai serum atau plasma K+ yang tidak akurat dapat terjadi pada kondisi seperti
leukemia akut atau adanya penundaan dalam transport sampel darah dikarenakan
penyerapan K+ berlebihan oleh sel-sel yang aktif secara metabolik, khususnya oleh
massa sel darah putih.Analisis darah segera setelah pengambilan sampel, atau
menyimpan sampel pada suhu 4 ° C sebelum analisis, dapat mencegah ambilan K+ dan
menyebabkan pseudohipokalemia.
Derajat Hipokalemia
Hipokalemia ringan: kadar serum 3-3,5 mEq/L. „
Hipokalemia sedang: kadar serum 2,5-3 mEq/L.
Hipokalemia berat: kadar serum < 2,5 mEq/L. Hipokalemia<2 mEq/L biasanya sudah
disertai kelainan jantung dan mengancam jiwa.
3.15 Gejala dan Tanda Kinis
Tingkat keparahan klinis hipokalemia cenderung sebanding dengan derajat dan durasi
deplesi serum kalium. Gejala umumnya muncul apabila serum kalium di bawah 3,0
mEq/L, kecuali jika penurunan kadar kalium mendadak atau pasien memiliki faktor
komorbid, contohnya kecenderungan aritmia.Gejala biasanya membaik dengan koreksi
hipokalemia.
3.16 Diagnosa
Anamnesis harus berfokus pada obat-obatan (khususnya obat pencahar, diuretik,
antibiotik), diet, kebiasaan makan, dan/atau gejala yang mengarah pada etiologi tertentu
(misalnya kelemahan periodik, muntah, dan diare). Pemeriksaan fisik harus memberi
perhatian khusus pada tekanan darah dan tandatanda tertentu, misalnya, hipertiroidisme
dan sindrom Cushing. Evaluasi penunjang mencakup pemeriksaan elektrolit, BUN,
kreatinin, osmolalitas serum, kadar Mg2+, kadar Ca2+, pemeriksaan darah lengkap, pH
urin, osmolalitas, kreatinin, dan elektrolit. „ Asidosis pada pemeriksaan non-anion-gap
menunjukkan asidosis tubulus ginjal distal atau diare hipokalemik; perhitungan anion
gap urin dapat membantu membedakan dua diagnosis ini. „ Ekskresi K+ ginjal dapat
dinilai dengan pengumpulan urin 24 jam, nilai K+ 1,5 mmol/mmol) menandakan
adanya ekskresi K+ ginjal berlebihan.Kadar Cl- urin biasanya turun pada hipokalemia
dari anion tidak terabsorbsi, seperti antibiotik atau Penyebab paling umum alkalosis
hipokalemik kronik adalah muntah dan penyalahgunaan diuretik.Pemeriksaan lain,
seperti pemeriksaan kadar Ca2+, tes fungsi tiroid, dan/atau PRA dan aldosteron pada
kasus tertentu. „ Rasio aldosteron plasma: PRA> 50 karena penekanan renin beredar
dan peningkatan aldosteron bersirkulasi, mengarah ke hiperaldosteronisme. Pasien
hiperaldosteronisme atau mineralokortikoid berlebih yang jelas mungkin memerlukan
uji lebih lanjut, misalnya pengambilan sampel vena adrenal atau uji klinis genetik
(misalnya, FH-I, SAMA, sindrom Liddle).
3.17 Tatalaksana
Untuk memperkirakan jumlah kalium pengganti, perlu disingkirkan faktor-faktor
penyebab, contohnya insulin dan obatobatan. Setelah itu, perlu diperhatikan hal berikut:
Cara Pemberian Kalium
1.Penggantian kalium secara oral paling aman tetapi kurang ditoleransi karena iritasi
lambung. Pada hipokalemia ringan (kalium 3—3,5 mEq/L) dapat diberikan KCl oral 20
mEq 3 – 4 kali sehari5 dan edukasi diet kaya kalium. Makanan mengandung cukup
kalium dan menyediakan 60 mmol kalium. Kalium fosfat dapat diberikan pada pasien
hipokalemia gabungan dan hipofosfatemia. Kalium bikarbonat atau kalium sitrat harus
dipertimbangkan pada pasien dengan penyulit asidosis metabolik. Pada hipokalemia
dengan hipomagnesemia, koreksi defisiensi Mg2+ perlu dilakukan bersamaan.
Mengingat distribusi kalium ke dalam kompartemen intraseluler tidak langsung, defisit
harus dikoreksi bertahap selama 24-48 jam dengan pemantauan konsentrasi plasma K+
rutin untuk menghindari overrepletion sementara dan hiperkalemia transien.
2.Jalur intravena harus dibatasi hanya pada pasien yang tidak dapat menggunakan
jalur enteral atau dalam komplikasi berat (contohnya paralisis dan aritmia). K+-Cl harus
selalu diberikan dalam larutan garam, bukan dekstrosa, karena peningkatan insulin yang
diinduksi dekstrosa dapat memperburuk hipokalemia.Pemberian dekstrosa bisa
menyebabkan penurunan sementara K+ serum sebesar 0,2—1,4 mmol/L karena
stimulasi pelepasan insulin oleh glukosa.9 Dosis intravena perifer biasanya 20-40 mmol
K+-Cl- per liter. Konsentrasi lebih tinggi dapat menyebabkan nyeri lokal flebitis kimia,
iritasi, dan sklerosis.
Kecepatan Pemberian Kalium Intravena
Jika kadar serum > 2 mEq/L, kecepatan lazim adalah 10 mEq/jam, maksimal 20
mEq/jam untuk mencegah hiperkalemia. Pada anak, 0,5—1 mEq/kg/dosis dalam 1 jam.
Dosis tidak boleh melebihi dosis maksimum dewasa.Pada kadar < 2 mEq/L, bisa
diberikan 40 mEq/jam melalui vena sentral dan pemantauan ketat di ICU. Untuk koreksi
cepat ini, KCl tidak boleh dilarutkan dalam larutan dekstrosa karena justru mencetuskan
hipokalemia lebih berat.Pertimbangan Sediaan Kalium KCl biasanya digunakan untuk
menggantikan defisiensi K+ pada kondisi metabolik alkalosis dan deplesi Cl-, terutama
pada pasien muntah dan pengobatan diuretik. Pada kondisi metabolik asidosis
(contohnya pada diare kronik) lebih diutamakan kalium yang dikombinasikan dengan
garam lain, yaitu potasium bikarbonat atau ekuivalen bikarbonat lainnya (sitrat, asetat,
atau glukonat) untuk mengatasi kondisi asidosis.Hipokalemia pada penyalahgunaan
alkohol atau ketoasidosis diabetes umumnya disertai defisiensi fosfat sehingga
diutamakan menggunakan potasium fosfat.Diet Kalium. Diet orang dewasa
mengandung kalium rata-rata 50-100 mEq/hari (contoh makanan tinggi kalium
termasuk kismis, pisang, aprikot, jeruk, advokat, kacang-kacangan, dan kentang).
3.18 Prognosis
Konsumsi suplemen kalium biasanya mengoreksi hipokalemia. Hipokalemia berat dapat
menyebabkan masalah jantung yang dapat fatal.Hipokalemia yang tidak dapat
dijelaskan, hiperkalemia refrakter, atau gambaran diagnosis alternatif (misalnya,
aldosteronisme atau kelumpuhan periodik hipokalemia) harus dikonsultasikan ke
endokrinologi atau nefrologi.
BAB IV
KESIMPULAN

Hiperkalemia merupakan keadaan peningkatan kalium plasma 3-4 mEq/L dari nilai
normal akibat peningkatan kalium total tubuh karena ketidak seimbangan asupan
dengan ekskresi atau dari distribusi yang salah antara ruang intra dan ekstraseluler
Penyebab lain yaitu berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal yang terjadi pada
keadaan gagal ginjal, Fungsi ginjal yang menurun menyebabkan metabolisme kalium
terganggu. Aktivitas sel dipengaruhi oleh keseimbangan natrium dan kalium. Pasien
dengan gangguan fungsi ginjal, terutama ketika GFR < 15 ml/menit. Faktor Risiko
Hiperkalemia sering dijumpai pada pasien diabetes, gangguan ginjal akut, gagal ginjal
kronik, keganasan, usia sangat tua/ sangat muda, dan asidosis. Diagnosis Pada
anamnesis, perlu digali riwayat penyakit berisiko hiperkalemia seperti penyakit ginjal,
hipertensi, diabetes, kemoterapi, trauma mayor, trauma listrik, crush injury, atau
rhabdomyolisis (keluhan nyeri otot). Penggunaan obat-obatan yang dapat menyebabkan
hiperkalemia juga perlu ditanyakan, seperti digoxin, diuretik hemat kalium, NSAID,
ACE inhibitor, pemberian kalium intravena, nutrisi parenteral total, suksinilkolin, atau
penicilin V potassium. Ada beberapa red flags yang menimbulkan kecurigaan adanya
hiperkalemia. Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda bervariasi sesuai penyebab
hiperkalemia. Pada pasien gagal ginjal, sering dijumpai hipertensi dan edema. Pada
kondisi syok, bisa ditemukan tanda-tanda hipoperfusi. Nyeri otot bisa tampak pada
keadaan rhabdomyolisis. Langkah pertama ialah menyingkirkan kemungkinan
pseudohiperkalemia.Hiperkalemia akut yang sudah terkonfirmasi memerlukan
penanganan segera, seperti monitor jantung, intervensi medis akut, dan mungkin
dialisis.Tatalaksana awal harus fokus menstabilkan miokard dan
mencegah/memperbaiki disritmia, redistribusi/pemindahan K+ menuju intraseluler,
serta membuang K+ yang berlebih. Tatalaksana akut hiperkalemia direkomendasikan
saat K+ plasma mencapai >6,5 mmol/L atau adanya manifestasi gangguan jantung tanpa
melihat kadar K+ plasma.
DAFTAR PUSTAKA

1. Busatta F. 2011. Obesity, diabetes an the thrifty gene. Antrocom Online Journal of
Anthropology.2011;7(1)
2. American Diabetes Association. Diagnosis and classification of diabetes mellitus.
Diabetes Care. 2010; 33(1)
3. Perkeni. Konsensuspengelolaandanpencegahan diabetes melitustipe 2 di Indonesia.
2011
4. Suherman SK. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Gaya Baru; 2007.
5. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, et al. Harrison’s principle of internal medicine.
18th ed. United States of America; 2012.
7. Waspadji S. Buku ajarilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jilid ketiga. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.
8. Soewanto. Nefropati diabetik: pathogenesis, klasifikasi, dan terapi. Dalam:
Symposium nasional diabetes dan lipid. Surabaya: PB PERKENI; 1994.hlm.78-81.
9. Kasper DL, Hauser S, Jameson JL, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J. Harrison’s
principles of internal medicine. 19th ed. New York: McGraw-Hill; 2015.
10. Lindner G, Burdmann EA, Clase CM, Hemmelgarn BR, Herzog CA, Małyszko J, et
al. Acute hyperkalemia in the emergency department: A summary from a kidney
disease: Improving global outcomes conference. Eur J Emergency Med.
2020;27(5):329.
11. Simon LV, Hashmi MF, Farrell MW. Hyperkalemia. In: StatPearls [Internet]. 2020
[cited 2020 Oct 26]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470284/
12. Dépret F, Peacock WF, Liu KD, Rafique Z, Rossignol P, Legrand M. Management
of hyperkalemia in the acutely ill patient. Ann Intensive Care [Internet]. 2019 Feb 28
[cited 2020 Nov 25];9. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6395464/
13. Montford JR, Linas S. How dangerous is hyperkalemia? J Am Soc Nephrology.
2017;28(11):3155–65.
14. Best practices in managing hyperkalemia in chronic kidney disease. National
Kidney Foundation [Internet]. 2014. Available from: https://www.kidney.org/sites/
default/files/02-10-7259%20Hyperkalemia%20Tool.pdf
15. Lehnhardt A, Kemper MJ. Pathogenesis, diagnosis and management of
hyperkalemia. Pediatr Nephrol. 2011;26(3):377–84.
16. Rossignol P, Legrand M, Kosiborod M, Hollenberg S, Peacock W, Emmett M, et al.
Emergency management of severe hyperkalemia: Guideline for best practice and
opportunities for the future. Pharmacol Res. 2016;113:585-91.
17. Elliott MJ, Ronksley PE, Clase CM, Ahmed SB, Hemmelgarn BR. Management of
patients with acute hyperkalemia. CMAJ. 2010;182(15):1631–5.
18. Pitt B, Bakris GL. New potassium binders for the treatment of hyperkalemia:
Current data and opportunities for the future. Hypertension. 2015;66(4):731–8.
19. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation and management of
chronic kidney disease Clinical Practice Guidelines [Internet]. [cited 2019 Nov 26].
Available from: https://www.guidelinecentral.com/summaries/kdigo-2012-clinical-
practice-guideline-for-the-evaluation-and-management-of-chronic-
kidneydisease/#section-420
20. Longo DL, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s
manual of medicine. 19th ed. McGraw-Hill; 2016.
21. An JN, Lee JP, Jeon HJ, Kim DH, Oh YK, Kim YS, et al. Severe hyperkalemia
requiring hospitalization: Predictors of mortality. Critical Care. 2012;16(6):225.

Anda mungkin juga menyukai