Anda di halaman 1dari 11

PORTOFOLIO

DOKTER INTERNSIP

Topik
STEVEN JOHNSON SYNDROME

Penyusun
dr. Anisa Devianda Fidiandari

Narasumber
dr. Dwi Nurwulan Pravitasari, Sp.KK

Pendamping
dr. Ifit Bagus A.
Portofolio
Nama Peserta : dr. Anisa Devianda Fidiandari
Nama Wahana : RS Prima Husada Malang
Topik : Steven Johnson Syndrome Tanggal Kasus : 20/06/2022
Nama Pasien : Tn. H Nomor RM : 114697
Tanggal Presentasi : Nama Pendamping : dr. Ifit Bagus A.

Tempat Presentasi :
Objek Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Masalah Manajemen Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi :
Tujuan :
Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara Membahas : Diskusi Presentasi dan Diskusi Email Pos
Data Pasien Nama Pasien : Tn H Nomor RM : -
Nama Klinik : Terdaftar Sejak :
Data Utama untuk Bahan Diskusi
Keluhan utama :
Melepuh seluruh tubuh

Riwayat penyakit sekarang :


Pasien datang dengan keluhan melepuh seluruh tubuh. Keluhan sudah dirasakan sejak
2 hari sebelum masuk rumah sakit setelah minum obat allopurinol. Awalnya timbul
plentingan-plentingan berisi air. Muncul plentingan awal nya di punggung,
selangkangan, alat kelamin, pantat, kedua tangan, dan kedua kaki. Pasien merasa
seperti terbakar pada daerah yang melepuh.
Demam (-), mual (-), muntah (-), Pusing (-), Batuk (-), pilek (-), nyeri telan (-), BAB dan
BAK dbn, Flatus (+), Riwayat keluar kota (-), riwayat kontak covid (-).
Riwayat penyakit dahulu :
DM -, HT -
Riwayat Pengobatan:
Obat Allopurinol
Riwayat faktor risiko dan keluarga :
Penyakit serupa di keluarga di sangkal.

Riwayat sosial :
Pasien bekerja sebagai pensiun guru

Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum : lemah
Kesadaran :
GCS E3V4M6 = composmentis

Tanda – tanda vital


Tekanan darah : 130/80mmHg
Frekuensi nadi : 90x/menit
Suhu : 36,7 C
Frekuensi nafas : 20x/menit
SpO2 : 98 % Room Air

Status Generalis
Mata : Konjungtiva pucat -/- ; Sklera ikterik -/- ; Edema palpebra -/-
Leher : JVP 5-2cmH2O; distensi vena jugular -/-; pembesaran KGB (-)
Jantung : Bunyi jantung I-II regular; murmur (-); gallop (-)
Paru : Suara nafas vesikuler +/+; ronkhi -/- ; wheezing -/-
Abdomen : Datar; soepel; nyeri tekan (-); defans muskular (-); hepar-lien tidak
teraba membesar; Bising usus (+) 5x/menit; Shifting dullness (-)
Ekstremitas : Akral hangat, kering, dan merah; Edema ekstremitas (-); capillary
refilling time < 2 detik.

Status Dermatologis
Multiple makula eritematosa berbatas tegas, ukuran diameter bervariasi (2cm – 15cm),
dasar mukosa pada regio thoracalis anterior et posterior, abdomen anterior et posterior,
inguinal, urogenital, gluteal, femoralis dextra et sinistra (Luas lesi <20%).
Pemeriksaan penunjang :
Laboratorium :
Laboratory Result Normal Value Laborato Result Normal Value
ry
Hb 13,3 L: 13,3 – 17,7 g/dL Ureum 39,9 10-50 mg/dl
RBC 4,72 4,0-6,5 /µL Creatinine 0,88 0.6-1.1 mg/dl
4.000-10.000
WBC 7.280 GDS 92 mg/dL
cell/cmm
Hct 41,2% 40 – 54 % Swab
142.000- Antigen Negatif Negatif
PLT 228.100
424.000/µL Covid19
Eos/Bas/Neu/ 9 / - / 44 / 2-4/0-1/50-70/ Total 6,55
6,5 – 8,0 g/dL
Lymp/Mono 37 / 11 25-40/2-8% Protein g/dL
MCV 87 80 – 97 fl 3,38
Albumin 3,5 – 5,2 g/dL
MCH 28,3 27 – 34 pg g/dL
2,67
CRP - <5 mg/L Globulin 2,5 – 5,5 g/dL
g/dL
SGOT 24 <43 U/L
SGPT 33 <43 U/L

EKG

Reguler sinus ryhthm, laju 75x/menit, normal axis, durasi p-wave 0,10 s, durasi QRS-
complex 0,11 s. EKG dalam Batas normal

Radiologi :
Kesan hasil foto rongten thorax AP pada pasien adalah :
 Cor : ukuran membesar ke kiri
 Pulmo : tidak tampak infiltrate, nodul, massa. Trachea di tengah. Sinus dan
diafragma normal
Kesimpulan : Cardiomegali
Diagnosis
Diagnosis Kerja :
 Steven Johnson Syndrome
Diagnosis Banding :
 Toxic Epidermal Necrolysis

Tatalaksana IGD:
 Stop Allupurinol
 IVFD NaCl 0,9% 500cc loading
 IVFD NaCl 0,9% maintenance 18tpm
 Kompres kasa dengan NaCl 0,9% disetiap luka
 Inj Dexametasone 5mg iv
 Inj Diphenhydramine 10mg iv
 Inj Santagesik 1gram iv
 Inj Lansoprazole 30mg iv
 Pasang kateter
 Observasi keluhan, tanda vital, dan luka
 Pro konsul dokter Spesialis kulit dan kelamin untuk tatalaksana selanjutnya

Tatalaksana Ruangan :

 Inj Metilprednisolone 2 x 125mg iv


 Inj Diphenhydramine 3x10mg iv
 Inj Ceftriaxone 2x1g iv
 Rawat luka dengan kompres NaCl 0,9%

Pembahasan :
STEVEN JOHNSON SYNDROME dan TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS
Definisi dan Epidemiologi
Steven Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) adalah
sebuah reaksi mukokutan yang mengancam nyawa dengan adanya nekrosis epidermis
yang luas hingga terlepas sebagai tanda khasnya (Effendi, 2015). SJS dan TEN sendiri
pertama kali dijelaskan oleh Albert Mason Stevens dan Frank Chambliss Johnson pada
tahun 1992 (Deore et al., 2014). Insidens SJS di Indonesia ialah 1-6 kasus/juta
penduduk/tahun, sedangkan untuk TEN 0,4-1,2/kasus/juta penduduk/tahun. Angka
Kematian SJS sendiri sebesar 5-12%, sedangkan TEN jauh lebih tinggi yaitu sebesar
25-35% (Effendi, 2015).
Pasien SJS dan TEN diklasifikasika dalam tiga derajat permukaan kulit yang
terlibat. SJS digambarkan kurang dari 10% luas permukaan kulit yang terlibat,
sedangkan apabila lebih dari 30% luas permukaan kulit yang terlibat dikatakan sebagai
TEN. Kasus dengan derajat luas permukaan kulit 10-30% akan didiagnosis sebagai
SJS-TEN overlap (Su et al., 2017). Kedua penyakit ini digolongkan dalam suatu proses
yang identic karena memiliki kemiripan dalam etiologi, gejala klinis, patogenesis, dan
histopatologis yang hanya dibedakan berdasarkan derajat keparahan saja (Effendi,
2015).
Etiologi
Terdapat banyak sekali penyebab terjadinya SJS dan TEN, termasuk didalamnya
adalah infeksi, obat-obatan, keganasan (Jeung et al., 2010). Keganasan yang paling
banyak terjadi pada psien dengan kasus SJS dan TEN ialah kanker paru (Wu dan
Chung, 2014). Penyebab terjadinya SJS dan TEN tidak hanya satu, namun obat
dipercayai sebagai penyebab utama dari terjadinya SJS (50 hingga 80% kasus) dan
TEN (sekitar 80%). Obat-obatan dan kanker dinilai berhubungan dengan terjadinya SJS
dan TEN pada orang dewasa. Namun sebaliknya, pada anak-anak penyebab terbanyak
adalah infeksi (Sumit, 2018). Dalam studi case control multisenter internasional, studi
European Severe Cutaneus Adverse Reaction (EuroSCAR), allopurinol adalah
penyebab paling umum dari SJS dan TEN, terutama Ketika diresepkan pada dosis
yang sama atau lebih tinggi dari 200 mg per hari (Sumit, 2018). Sebuah penelittian
tentang epidemiologi SJS dan TEN di China pada tahun 2018 menyatakan bahwa
kelompok obat yang diduga menjadi SJS dan TEN ialah antibiotic dan antikonvulsan
(Yang et al., 2018). Penting untuk dicatat bahwa pada tahun 2014, Food and Drug
Administration (FDA) mewajibkan produsen acetaminophen (paracetamol) untuk
memasukan peringatan risiko SJS (Sumit, 2018). Studi European Severe Cutaneous
Adverse Reaction (EuroSCAR) mengidentifikasi terutama obat-obatan yang sama dan
menambahkan obat yang dipasarkan untuk akhirnya terdaftar sebagai obat berisiko
tinggi nevirapine, lamotrigine, carbamazepine, phenytoin, phenobarbital, cotrimoxazole,
sulfonamide, sulfasalazine, allopurinol, dan oxicam agen antiinflamasi nonsteroidal
(Mockenhaupt et al., 2008).
Penyebab paling banyak kedua terjadinya SJS dan TEN adalah infeksi.
Mycoplasma pneumonia telah disebut sebagai penyebab infeksi SJS yang paling
umum. SJS dan TEN yang berhubungan dengan bakteri ini paling sering menyerang
anak-anak dan dewasa muda. Pada pasien lebih muda, SJS dapat didahului oleh
gejala infeksi saluran pernafasan atas dari 2 hari sampai 2 minggu sebelum munculnya
ruam (Sumit, 2018). Selain infeksi bakteri, infeksi lain juga mampu menginduksi
terjadinya SJS dan TEN seperti infeksi virus, fungi, dan protozoal (Hazin et al., 2008).
Pasien yang mengalami masa pengobatan HIV juga meningkatkan risiko terjadinya
SJS. Ada peningkatan 100 kali lipat dalam kejadian SJS pada pasien HIV. Beberapa
obat antiretroviral yang digunakan untuk mengobati HIV yang dapat memicu terjadinya
SJS antara ,ain Viramune (nevirapine), Ziagen (abacavir), dan Isentress (raltegravir)
(Sumit, 2018).
Selain obat-obatan dan infeksi, penyebab lain terjadinya penyakit SJS ialah
pengaruh dari factor genetik. Beberapa orang dengan SJS memiliki predisposisi genetik
yang meningkatkan risiko mereka mengembangkan kondisi dalam menanggapi factor-
faktor pemicu SJS dan TEN seperti obat-obatan. Variasi genetik yang terkait dengan
SJS terjadi pada gen HLA-B. Gen ini adalah bagian dari keluarga gen yang disebut
kompleks antigen leukosit manusia (HLA). Kompleks gen ini membantu system
kekebalan membedakan protein tubuh sendiri dari protein yang dibuat oleh benda asing
(seperti virus dan bakteri). Antigen leukosit manusia (HLA) alel B1502 ditemukan pada
100% pasien SJS yang mengkonsumsi carbamazepine, menempatkan individu dengan
alel HLA tertentu pada risiko 900 kali lebih besar untuk mengembangkan SJS daripada
populasi umum (Hazin et al., 2008).
Patofisiologi
Mekanisme patofisiologi SJS dan TEN belum bisa ditegakkan secara pasti. Hal ini
diyakini sebagai reaksi hipersensitivitas tipe IV yang dimediasi oleh sel T (Sumit, 2018).
Di antara fakta-fakta yang ditunjukkan mengenai pathogenesis SJS dan TEN, telah
ditunjukkan bahwa reaksi hipersensitivitas ini merupakan penyakit yang diperantai sel
T. Berbagai teori telah menunjukkan keterlibatan utama dari respon imunologi,
khususnya yang dimediasi oleh sel-sel T sitotoksik. Senyawa obat nantinya akan
dikenali oleh reseptor sel T (Schneider dan Cohen, 2017). Sel CD8+ memainkan peran
utama dalam induksi apoptosis keratinosit tetapi juga dibantu oleh sel CD4+ dan
berbagai sel sistem kekebalan tubuh bawaan termasuk sel CD3-CD56+ NK, 12 sel
dendritik, sel mast, CD14+ CD16+ monosit, granulosit, dan sel NK/T. Mekanisme ini
awalnya diklasifikasikan kedalam tipe IV (reaksi Hipersensitivitas tipe lambat), namun
sekarang tampak bahwa mekanisme imunologi yang mengatur reaksi SJS dimulai oleh
molekul permukaan sel yang dapat memediasi apoptosis atau yang dikenal dengan
antigen Fas (Hazin et al., 2008).
Ada dua jalur yang mengarah ke proses apoptosis keratinosit, yaitu melalui
pengikatan ligas Fas (CD95) dengan reseptor membran hadir dalam keratinosit dan
dengan FasL ligan (CD95L), dan pelepasan jalur perforin dan granzim B (Sumit, 2018).
Peningkatan kadar perforin dan granzim B (Bersama dengan TNF-alpha dan ligan Fas)
berkorelasi dengan kejadian SJS dan TEN. Selain Ligas Fas, perforin serta granzim B,
ada pula granulisin yang berpengaruh dalam proses terjadinya SJS/TEN. Granulisisn
telah diidentifikasikan sebagai mediator kunci untuk kematian keratinosit di SJS dan
TEN. Para peneliti menunjukkan bahwa granulisin, diproduksi dan dikeluarkan oleh
CD8+ dan sel NK, bukan hanya molekul sitotoksik yang paling diekspresikan dalam
cairan blister, tetapi juga mampu menginduksi perubakan kulit yang serupa dengan SJS
dan TEN ketika disuntukkan ke kulit tikus. Mereka juga melaporkan bahwa penurunan
granulisin mengurangi sitotoksisitas (Schneider dan Cohen, 2017). Interaksi kompleks
antara semua jenis sel yang disebutkan di atas pada akhirnya mengarah pada
pelepasan Tumor Necrosis Factor-alpha (TNF-), nitric oxide (NO), interleukin 8 (IL-8),
dan molekul adhesi sel yang menyebabkan kerusakan epidermal meskipun jumlah sel
imunologi terbatas pada lesi TEN (Obeid et al., 2015).
Gejala dan Tanda
Gejala prodromal dari SJS dan TEN terdiri dari gejala nonspesifik yang berlangsung
dalam hitungan hari sampai minggu, seperti:
1. Gangguan saluran pernapasan atas yang tidak jelas.
2. Demam
3. Menggigil
4. Sakit kepala
5. Malaise
6. Nyeri dada
7. Diare
Pada akhir fase prodromal, SJS dan TEN akan mulai bermanifstasi sebagai rasa
sakit saat menelan, fotofobia, sensasi terbakar pada mata, dan rasa sakit yang muncul
ketika berkemih. Setelah gejala prodromal selesai akan dilanjutkan dengan munculnya
lesi kulit yang simetris pada wajah, leher, dagu, serta ekstremitas proksimal. Ruam ini
kemudian meluas ke seluruh bagian tubuh (Obeid et al., 2015).
Lesi yang muncul pada SJS dan TEN berula makula eritematosa atau purpurik, bisa
dijumpai adanya les target. Seiring dengan berjalannya waktu, lesi kulit ini menjadi
nekrotik, sehingga terbentuk bula kendur dengan tanda Nikolsky positif. Selain lesi
pada kulit, pada SJS dan TEN juga dijumpai lesi pada mukosa berupa eritema dan
erosi biasa ditemukan minimal pada 2 lokasi. Lesi mukosa ini bisa ditemukan pada
konjungtiva dan mulut, dapat juga ditemukan pada mukosa genital. Lesi khas pada SJS
dan TEN ialah makula eritema difus dengan purpura, pusat nekrotik dan overlying
blistering (Effendi, 2015).
Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis
Pemeriksaan penunjang yang mampu menyingkirkan diagnosis banding untuk SJS
dan TEN ialah dengan biopsi. Gambaran histopatologis yang akan ditemukan ialah
adanya apoptosis dan nekrosis keratinosit bersama dengan pengelupasan
dermoepidermal dan infiltrasi limfositik daerah perivaskuler (Hazin et al., 2008). Selain
pemeriksaan biopsi, bisa juga dilaksanakan pemeriksaan penunjang yang lain seperti
imunofluoresensi, selain itu selama perawatan perlu juga dilakukan pemeriksaan
laboratorium untuk mewaspadai terjadinya sepsis (Effendi, 2015).
Penegakkan diagnosis SJS dan TEN ialah dengan anamnesis untuk mengatahui
kronologi perjalanan penyakit, disertai dengan pengamatan waktu untuk dicari
hubungan dengan konsumsi obat yang dicurigai. Selain dari anamnesis, penegakkan
diagnosis SJS dan TEN juga ditunjang dengan gambaran klinis lesi kulit dan mukosa
dari hasil pemeriksaan histopatologi (Effendi, 2015).
Prognosis
Setelah dilakukan penegakkan diagnosis perlu segera dilakukan penentuan tingkat
keparahan dan prognosis dengan menggunakan sistem skoring SCORTEN. Pasien
dengan skoring SCORTEN 3 atau lebih sebaiknya segera ditangani di unit perawatan
intensif (Thaha, 2009).
Tabel 1.1 SCORTEN (Skor Keparahan penyakit pada Sindrom)
Parameter Skor Individu SCORTEN Prediksi Mortalitas
SCORTEN (jumlah skor (%)
individu)
Usia >40 tahun Ya : 1 Tidak : 0 0-1 3,2
Keganasan Ya : 1 Tidak : 0 2 12,1
Takikardi Ya : 1 Tidak : 0 3 35,8
>120x/menit
Luas awal pelepasan Ya : 1 Tidak : 0 4 58,3
epidermis >10%
Serum urea Ya : 1 Tidak : 0 5 90
>10mmol/L
Serum glukosa Ya : 1 Tidak : 0
>14mmol/L
Bicarbonat Ya : 1 Tidak : 0
>20mmol/L
Prognosis SJS dan TEN pada anak-anak lebih baik daripada orang dewasa dan
dikaitkan dengan mortalitas yang lebih rendah dan re-epitelisasi yang lebih cepat.
Tatalaksana
 Terapi akut
- Menghentikan seluruh obat yang dicurigai menginduksi SJS dan TEN
- Mencari akses vena yang mana pada kulit yang tidak terluka untuk
melakukan resusitasi cairan.
- Mempertahankan pasien untuk tetap mendapatkan hidrasi dan nutrisi
yang adekuat
- Jika terdapat keterlibatan urogenital berupa dysuria atau retensi,
pasang kateter pada pasien (Cremer et al., 2016).
 Terapi suportif
Terapi ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kegagalan organ dan atau
syok, terdiri atas :
a. Penutupan luka
Melakukan penutupan luka pada pasien SJS dan TEN untuk
mencegah kehilangan protein dan cairan semakin banyak lagi,
menghambat terjadinya kolonisasi bakteri, mengurangi rasa sakit,
serta membantu mempercepat re-epitelisasi (Cremer et al., 2016).
b. Menjaga kebutuhan cairan pasien tetap terpenuhi
Cairan yang dibutuhkan sesuai dengan luas permukaan yang
terlibat, dimana rumus Parkland umum digunakan. Namun untuk
pasien SJS dan TEN cairan pengganti yang dibutuhkan biasanya
lebih rendah dari hasil prediksi menggunakan rumus Parkland, hal
ini dikarenakan jika terlalu banyak cairan nantinya bisa dihubungkan
dengan edema paru, kulit, ataupun usus (Creamer et al., 2016).
c. Menjaga kebutuhan nutrisi pasien tetap terpenuhi
Pemberian Nasogastric Tube (NGT) dapat dipertimbangkan jika
pasien mengalami kesulitan untuk mengonsumsi melalui mulut.
Pengawasan terhadap nutrisi yang tetap masuk untuk pasien ini
berguna untuk mengatasi gangguan metabolic, meminimalisir
kehilangan protein, serta menunjang penyembuhan. Pemberian
nutrisi secara oral juga membantu mengurangi ulkus peptikum dan
meminimalisir perpindahan bakteri (Creamer et al., 2016).
 Terapi spesifik
- Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Penggunaan terapi IVIG untuk pasien dengan SJS dan TEN jarang
digunakan karena harga nya yang cukup mahal (Rahmawati dan
Indramaya, 2016).
- Kortikosteroid sistemik
Penggunaan kortikosteroid sistemik pada SJS terbukti dapat
menurunkan respon inflamasi. Kortikosteroid yang digunakan adalah
potensi sedang atau tinggi (Prednisolone 2mg/kg/hari atau
Metilprednisolone 30-40mg/hari) yang di turunkan secara berkala
sampai 7-10 hari.
- Siklosporin
Dinilai sebagai terapi spesifik yang paling efektif untuk pasien SJS dan
TEN. Pemberian siklosporin ialah 3-4mg/kg/hari selama 10 hari, atau
selama 1 bulan jika memang dibutuhkan (Ho, 2008).
Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada penderita SJS dan TEN antara lain :

1. Sepsis
Sepsis merupakan penyebab utama kematian pada penderita SJS dan
TEN. Lesi pada kulit yang luas menyebabkan pasien untuk memiliki risiko
lebih tinggi untuk bakteri dan jamur untuk masuk dan menyebabkan
kegagalan organ (Ho, 2008).
2. Sistem Pernafasan
Terdapat komplikasi tidak spesifik seperti edema paru, atelectasis dan
pneumonitis. Selain itu, terdapat komplikasi yang lain seperti penyakit paru
interstitialm bronkiektasis, serta bronchitis (Lee et al., 2017).
3. Sistem Penglihatan
Pada fase akut terjadi SJS dan TEN, didapati adanya inflamasi pada
bagian mata dan permukaan konjungtiva. Sering juga diikuti dengan
terbentukknya pseudomembran dan defek pada epitel kornea (Lee et al.,
2017).
4. Sistem Urogenital dan Ginekologi
Dispareunia sering terjadi pada pasien SJS dan TEN. Komplikasi ginekologi
yang bisa terjadi ialah vagina adenosis dan endometriosis vulvovaginal
(Lee et al., 2017).
5. Sistem Gastrointestinal
Komplikasi pada saluran pencernaan jarang terjadi, namun yang umum
terjadi ialah struktur oesophageal yang biasa berkembang dalam rentang
waktu 2 bulan hingga 2 tahun setelah fase akut SJS dan TEN. Stenosis
hipofaringeal juga telah dilaporkan menjadi salah satu komplikasi SJS dan
TEN yang juga bisa menyebabkan terjadinya disfagia dan aspirasi berulang
pada pasien. Ulserasi pada bagian usus juga salah satu komplikasi bisa
terjadi walaupun jarang, terjadi selama beberapa bulan dan menyebabkan
terjadinya diare dan malabsorbsi pada penderita SJS dan TEN (Lee et al.,
2017).
6. Sistem Ekskresi
Gangguan ginjal akut telah dilaporkan banyak terjadi pada kasus SJS dan
TEN bersamaan dengan terjadinya proteinuria (Lee et al., 2017).
Daftar Pustaka :
Cremer, D et al., 2016. UK guidelines for the management of Stevens Johnson
syndrome/toxic epidermal necrolysis in adults 2016. British Journal of
Dermatology, 174(6), pp.1194-1227.
Deore, S et al., 2014. Drug induced-Stevens Johnson Syndrome: A Case Report. Int J
Sci Stud, 2(4),pp.84-87.
Effendi, E.H., 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Hazin, R et al., 2008. Stevens Johnson Syndrome: Pathogenesis, diagnosis, and
management. Annals of medicine, 40(2), pp.129-138.
Ho, H.H.F, 2008. Diagnosis and management of Stevens Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis. Medical Bulletin, 13(10).
Jeung, Y.J et al., 2010. Comparison of the causes and clinical features of drug rash with
eosinophilia and systemic symptoms and Steven Johnson syndrome. Allergy,
asthma & immunology research, 2(2),pp.123-126.
Lee, H.Y et al., 2017. Longterm complications of Stevens Johnson syndrome/toxic
epidermal necrolysis (SJS/TEN): The spectrum of chronic problems in patients
who survive an episode of SJS/TEN necessitates multidisciplinary follow-up.
British Journal of Dermatology, 177(4), pp.924-935.
Obeid, G et al., 2015. Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) and Steven Johnson
Syndrome (SJS). In European Handbook of Dermatological Treatments (pp.
971-982). Springer, Berlin, Heidelberg.
Rahmawati, Y.W. dan Indramaya, D.M., 2016. A Retrospective Study: Steven Johnson
Syndrome and Toxic Epiderman Necrolysis. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin, 28(2),PP.146-154.
Schneider, J.A dan Cohen, P.R., 2017. Steven Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolysis: a concise review with a comprehensive summary of therapeutic
interventions emphasizing supportive measures. Advances in therapy, 34(6),
pp.1235-1244.
Sim and Benjamin. 2015. Guide to The Essentials in Emergency Medicine 2nd Edition :
Hypoglycaemia. McGraw-Hill Education. Asia: 409-414.
Su, S.C et al., 2017. Interleukin-15 is associated with severity and mortality in Steven
Johnson syndrome/toxic epidermal necrolysis. Journal of Investigative
Dermatology, 137(5),pp.1065-1073.
Sumit S. Understanding Etiophatogenensis of Steven Johnson Syndrome. Glob J Oto
2018; 14(1): 555879. DOI: 10.19080/ GJO.2018.14.555879
Thaha, M.A., 2009. Sindrom Stevens Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksis di
RSUP MH Palembang Periode 2006-2008. Media Medika Indonesiana, 43(5),
pp.234-239.
Yang, S.C et al., 2018. The Epidemiolgy of Stevens Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis in China. Journal of immunology research, 2018.
Wu, J dan Chung, W.H., 2014. The role of malignancy in the mortality of Stevens-
Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Clinical and translational
allergy, 4(S3),p.P21.
Pendamping 1

dr. Ifit Bagus A.

Anda mungkin juga menyukai