Anda di halaman 1dari 24

REFLEKSI KASUS SPINAL BLOK ANESTESI

Disusun Oleh :
SILVA ROSDINA WOREMBAI
42160074

Pembimbing Klinik :
dr. Yos Kresno Wardana, M.Sc, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI RUMAH SAKIT EMANUEL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2017
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny.K
Nomor RM : 001120xx
Tanggal lahir : 07 april 1972
Usia : 45thn
Alamat : Bancar, Purbalingga
Tanggal operasi : 18 oktober 2017
Rawat Inap : Bethania

II. STATUS UMUM


Keadaan umum : Baik, compos mentis
Tinggi badan : 160 cm
Berat badan : 55 kg
Status Gizi : Baik
KELUHAN
Keluhan utama : Perut membesar ± 2thn
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan perut membesar selama 2 thn,
nyeri hilang timbul, haid terakhir tanggal 22-9-2017
Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien memiliki riwayat hipertensi(+), asma(+), stroke(-),
penyakit jantung(-) penyakit pada liver(-), ginjal(-), DM(-). Pasien
mengaku tidak memiliki riwayat pengobatan, operasi dan mondok
sebelumnya.
Riwayat penyakit keluarga :Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal serupa. Tidak
ada riwayat penyakit jantung, stroke, DM, ginjal, liver, pada
keluarga.
III. ASSESMENT PRA ANESTESI (12.00 wib)
Kebiasaan : merokok (-); konsumsi kopi,teh 1-2x/hari, alkohol (-)
Aktivitas Fisik : perawat
Sesak saat beraktivitas : (-)
Riwayat minum obat : (-)
Riwayat operasi : (-)
Riwayat pembiusan : (-)
Riwayat penyakit berat : (-)
Riwayat alergi obat/makanan : ampisilin,metronidazol,ciproflokasasin
Pemakaian alat bantu : Kawat gigi, kaca mata, gigi palsu, kaki/tangan palsu (-)
Pelepasan aksesoris : (-)
Makan-minum terakhir : 20.00 WIB

IV. PEMERIKSAAN FISIK PRA ANESTESI


Keadaan umum : CM
Tanda vital :
 Tekanan darah : 140/80 mmHg
 Nadi : 82x/menit
 RR : 16x/menit
 Suhu : 36,5o C
Nyeri :-

A: Airway
Jalan napas : Bebas (tidak menggunakan alat bantu nafas)
Hidung : patensi hidung (+)
Mulut : gigi palsu/goyang/maju/ompong (-)
Lidah : simetris, ukuran normal
Faring : malampati 3
TMD : 3 jari
Mandibula : tidak ada kelainan mandibula
Gerak sendi atlanto-occipital: +
B: Breathing
Respirasi : 16x/menit
Suara nafas : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Pergerakan dinding dada : simetris

C: Circulation
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Nadi : 82x/menit; adekuat
Saturasi : 100%
CPR : <2 detik
Kondisi akral : hangat

D: Disability
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Kelainan neurologis : (-)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
Hematologi(17/10/2017; 15.52 wib)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Keterangan
Clotting Time 5 2-6
Bleeding Time 3 1-3
Darah rutin
Hemoglobin 10,3 L (14-18 g/dl) Nilai kritis (low<6, high>22)
Lekosit 5,28 (4.8-10.8ribu) Nilai kritis (low<2.0, high>30.0)
Eritrosit 4,58 (4.7-6.1 juta)
Hematokrit 31,7 (42-52%) Nilai kritis (low<25, high>60)

MCV 69,5 (79-99 mikro m3)


MCH 22,5 (27-31 pg)
MCHC 32,5 (33-37 g/dl)
RDW 41 (35-47%)
Trombosit 316 (150-450 ribu) Nilai kritis (low<50, high>1000)
PDW 10,4 (9-13%)
MPV 9,5 (7.2-11.1 mikro m3)
Neutrofil % 65,5 (50-70%)
Limfosit% 26,3 (25-40%)
Waktu Protrombin 11,3 11-15
Kimia Klinik
Gds 80.60 70-115
Sgot 19 13-35 UL
Sgpt 15 7-35 UL
Ureum 23,20 6-20 mg/dl
Creatinin 0,92 0,6- 1,1 mg/dl

Kesimpulan assessment pra anestesi:


Diagnosis : mioma uteri
Status ASA : II
Rencana teknik anestesi : Regional (spinal)

VI. ASSESMENT PRA INDUKSI


Identitas pasien benar √
Persetujuan medis telah ditandatangani √
Teknik anestesi sudah ditentukan √
Tensi sitolik antara 90-180 mmHg √
Tensi diastolik antara 50-110 mmHg √
Nadi dewasa antara 50-130 kali per menit √
Laju nafas dewasa 8-35 kali per menit √
Suhu antara 36,5 sampai 39oC √
Saturasi oksigen antara 90-100% √
Jalan nafas bebas/terkontrol √
Nyeri minimal/tidak ada √

VII. LAPORAN ANESTESI


Tanggal operasi : 18 oktober 2017
Mulai anestesi :13.20 WIB
Selesai anestesi : 14.20 WIB
Anestesi : Regional (spinal)
Posisi pasien : terlentang
Dokter bedah : dr. Samuel Z Sp.B, MM
Dokter Anestesi : dr.Yos Kresno W, M.sc, Sp.An
 Intra operatif
Keadaan umum : baik
Subyektif : pasien merasa nyaman dan siap menjalani operasi
Obyektif : Posisi pasien sudah nyaman
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Obat Anestesi :
1) Bunascan 20mg : bupivacain 0,5% 1 ampul (5mg/ml) Spinal anestesi untuk operasi
urologi dan operasi dibawah umbilicus selama 2-3 jam, operasi abdominal selama 45-60
menit.
2) Sedacum 5mg : 1 ampul (5mg/ml) premedikasi, induksi anestesi dan penunjang anestesi
umum; sedasi untuk tindakan diagnostik & anestesi lokal.
3) Petidin 25 : 1 ampul (50mg/ml) : Pethidine adalah obat golongan Analgesik Narkotik.
Pethidine digunakan untuk mengobati nyeri sedang sampai berat, nyeri sebelum operasi,
selama dan paska operasi.
4) Invomit 4mg : Invomita 1 amp (4mg/2mL, 2mL ampule) Invomita mengandung
odasentron. Ondansetron merupakan antagonis selektif reseptor 5-HT3 menghambat
mual dan muntah
5) Remopain 30mg : Remopain (30mg/mL, 1mL ampule)Remopain mengandung
Ketorolac tromethamine. ketorolac trometamin yaitu senyawa anti inflamasi nonsteroid
( AINS ) yang bekerja dengan cara menghambat biosintesis prostaglandin dengan
aktivitas analgesik yang kuat.
6) Adona 50mg : 1 ampul (50mg/10ml) Perdarahan abnormal selama setelah pembedahan
oleh karena menurunnya resistensi kapiler.
7) Vit.k 2 ampul : 1 ampul (10mg/ml) untuk mencegah perdarahan dan antikoagulan
Maintenance : O2 (2 lpm)
Monitoring durante op:
Pukul Tekanan Darah Nadi Respirasi Saturasi Oksigen (%)
13.20 135/90 75 18 99
13.25 135/ 92 80 18 99
13.35 120/79 80 15 100
13.40 120/72 78 17 99
13.45 120/60 70 17 100
13.50 110/75 75 19 99
13.55 112/82 68 16 100
14.00 110/84 72 17 100
14.05 100/57 78 16 100
14.10 98/64 72 16 99
14.15 98/50 70 16 99
14.20 90/60 70 16 99

Prosedur Anestesi
1. Menyiapkan peralatan dan obat yang digunakan dalam proses anestesi
Obat :
 Bunascan 20mg
 Sedacum 5mg
 Petidin 50mg
 Invomit 4mg
 Remopain 30mg
 Adona 50mg
 Vit.k 20mg
2. Pasien diposisikan duduk membungkuk agar processus spinal dapat dilakukan pada L2-
L3,L3-L4,L4-L5.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine
4. Tusukan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefall,kemudian masukan
jarum spinal kelubang jarum tersebut. Jarum spinal dicabut dan keluar likuor, masukan
bunascan 200mg dimasukan pelan-pelan(0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit.
5. Pasien diposisikan tidur secara terlentang dipasang tensimeter pada tangan kanan dan
pulseoxymetri pada tangan kiri.
6. Dilakukan maintenanace selama operasi menggunakan O2 (2lpm)
7. Diberikan obat sedacum 5mg
8. Disaat operasi sudah mau selesai, diberikan adona 50mg dan vit.k 20mg
9. Setelah operasi selesai, diberikan remopain 30mg dan invomit 4mg
10. Kemudian pasien diantar ke ruang recovery
11. Pasien diobservasi vital sign (tekanan darah,nadi,saturasi oksigen)
12. Pasien kemudian menggigil sehingga diberikan petidin 25mg
13. Pasien di observasi selama 20 menit di ruang recovery,kemudian dipindahkan ke
ruangan.
 Pasca operatif (Recovery Room)
Bromage skor
Kriteria
Gerakan penuh dari tungkai (0)
Tak mampu ekstensi tungkai (1)
Tak mampu fleksi lutut (2)
Tak mampu fleksi pergelangan kaki (3)
Masuk = 3
Keluar = 2
 Hemodinamik pasca operasi :
Waktu Tekanan Darah Nadi (x/menit) Respirasi Saturasi (%)
(mmHg) (x/menit)
14.20 100/80 88 20 100
14.25 110/90 82 18 100
14.30 110/88 88 18 100
14.35 120/88 90 17 100

 INSTRUKSI PASCA ANASTESI DI RUANGAN/BANGSAL


 Awasi tensi, nadi, pernafasan tiap 15 menit sampai 2 jam post operasi.
 Kesakitan diberi injeksi ketorolac 30 mg.
 Mual/muntah diberi injeksi : Ondansetron 4 mg
 Infus dalam 24 jam : RL
 Pasien sadar penuh +, mual muntah (-), minum bertahap.
 Bila sistolik <90 mmHg, berikan injeksi ephedrine 10 mg(iv).
 Bila pasien sesak nafas, lapor dr jaga atau dr. Anastesi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Anestesi spinal
Anestesi spinal adalah salah satu metode anestesi yang diinduksi dengan menyuntikkan
sejumlah kecil obat anestesi lokal ke dalam cairan cerebro-spinal (CSF). Anestesi
spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke
dalam ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.
(Peter Dunn, 2007)
Anestesi lokal yang sering dipakai adalah bupivakain. Lidokain5% sudah ditinggalkan
karena mempunyai efek neurotoksisitas, sehingga bupivakain menjadi pilihan utama
untuk anestesi spinal saat ini. Anestesi lokal dapat dibuat isobarik, hiperbarik atau
hipobarik terhadap cairan serebrospinal. Barisitas anestesi lokal mempengaruhi
penyebaran obat tergantung dari posisi pasien. Larutan hiperbarik disebar oleh gravitasi,
larutan hipobarik menyebar berlawanan arah dengan gravitasi dan isobarik menyebar
lokal pada tempat injeksi. Setelah disuntikkan ke dalam ruang intratekal, penyebaran zat
anestesi lokal akan dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama yang berhubungan dengan
hukum fisika dinamika dari zat yang disuntikkan, antara lain Barbotase (tindakan
menyuntikkan sebagian zat anestesi lokal ke dalam cairan serebrospinal, kemudian
dilakukan aspirasi bersama cairan serebrospinal dan penyuntikan kembali zat anestesi
lokal yang telah bercampur dengan cairan serebrospinal), volume, berat jenis, dosis,
tempat penyuntikan, posisi penderita saat atau sesudah penyuntikan. (Butterworth, 2004)

Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu anestesi umum dan
anestesi regional. Anestesi umum bekerja untuk menekan aksis hipotalamus-pituitari
adrenal, sementara anestesi regional berfungsi untuk menekan transmisi impuls nyeri dan
menekan saraf otonom eferen ke adrenal. Teknik anestesia yang lazim digunakan dalam
seksio sesarea adalah anestesi regional, tapi tidak selalu dapat dilakukan berhubung
dengan sikap mental pasien.
Anestesi spinal sangat cocok untuk pasien yang berusia tua dan orang-orang dengan
penyakit sistemik seperti penyakit pernapasan kronis, hati, ginjal dan gangguan endokrin
seperti diabetes. Banyak pasien dengan penyakit jantung ringan mendapat manfaat dari
vasodilatasi yang menyertai anestesi spinal kecuali orang-orang dengan penyakit katub
pulmonalis atau hipertensi tidak terkontrol. Sangat cocok untuk menangani pasien dengan
trauma yang telah mendapatkan resusitasi yang adekuat dan tidak mengalami
hipovolemik.
A. Indikasi:
1) Bedah ekstremitas bawah
2) Bedah panggul
3) Tindakan sekitar rektum perineum
4) Bedah obstetrik-ginekologi
5) Bedah urologi
6) Bedah abdomen bawah Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikan dengan anesthesia umum ringan.
B. Kontra indikasi absolut:
1) Pasien menolak
2) Infeksi pada tempat suntikan
3) Hipovolemia berat, syok
4) Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5) Tekanan intrakranial meningkat
6) Fasilitas resusitasi minim
7) Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.
C. Kontra indikasi relatif:
1) Infeksi sistemik
2) Infeksi sekitar tempat suntikan
3) Kelainan neurologis
4) Kelainan psikis
5) Bedah lama
6) Penyakit jantung
7) Hipovolemia ringan
8) Nyeri punggung kronik (mansyoer arif,2000)
D. Persiapan analgesia spinal :
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia umum. Daerah
sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan
anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus
spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
 Informed consent : tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal
 Pemeriksaan fisik : tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang
punggung
 Pemeriksaan laboratorium anjuran : Hb, ht,pt,ptt
Peralatan analgesia spinal :
 Peralatan monitor: tekanan darah, pulse oximetri, ekg
 Peralatan resusitasi
 Jarum spinal
 Jarum spinal dengan ujung tajam(ujung bamboo runcing, quinckebacock) atau jarum
spinal dengan ujung pensil (pencil point whitecare).
E. Teknik analgesia spinal :
1) Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa
dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
2) Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal
kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien
membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka, misal L2-L3,
L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla
spinalis.
3) Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4) Beri anastesi lokal pada tempat tusukan (Bupivacain 20 mg)
5) Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat
langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum
spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada
posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran
likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi
menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat
dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya
untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada
posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar.
Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
6) Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid dengan
anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm. Posisi:
a. Posisi Duduk
b. Pasien duduk di atas meja operasi
c. Dagu di dada
d. Tangan istirahat di lutut (latief,2011)

Posisi Lateral:
a) Bahu sejajar dengan meja operasi
b) Posisikan pinggul di pinggir meja operasi
c) Memeluk bantal/knee chest position
F. Faktor yang mempengaruhi:
a. Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
b. Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
c. Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah analgetik.
d. Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi. Kecepatan
penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
e. Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan akibat
batas analgesia bertambah tinggi.
f. Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung berkumpul ke
kaudal(saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung menyebar ke cranial.
g. Berat jenis larutan: hiper,iso atau hipo barik
h. Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas analgesia
yang lebih tinggi.
i. Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar dosis yang
diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
j. Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan,umumnya larutan analgetik sudah menetap
sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.

II. Anastesi Lokal untuk Anastesi Spinal


Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008. Anastetik lokal
dengan berat jenis sama dengan css disebut isobaric. Anastetik local dengan berat jenis lebih
besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari css
disebut hipobarik. Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh
dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya
digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
A. Anestetik local yang paling sering digunakan:
 Lidokaine (xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20-100 mg
(2-5ml)
 Lidokaine (xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat
hyperbaric, dose 20-50 mg (1-2 ml)
 Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20 mg
 Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,
dosis 5-15 mg (1-3 ml)
1) Bupivacaine
Obat anestetik lokal yang sering digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau
bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan
daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis
CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih
kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama
(isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan.

Bupivacaine adalah obat anestetik lokal yang termasuk dalam golongan amino amida.
Bupivacaine di indikasi pada penggunaan anestesi lokal termasuk anestesi infiltrasi, blok
serabut saraf, anestesi epidura dan anestesi intratekal. Bupiivacaine kadang diberikan
pada injeksi epidural sebelum melakukan operasi athroplasty pinggul. Obat tersebut juga
biasa digunakan untuk luka bekas operasi untuk mengurangi rasa nyeri dengan efek obat
mencapai 20 jam setelah operasi.

Bupivacaine dapat diberikan bersamaan dengan obat lain untuk memperpanjang durasi
efek obat seperti misalnya epinefrin, glukosa, dan fentanil untuk analgesi epidural.
Kontraindikasi untuk pemberian bupivacaine adalah anestesi regional IV (IVRA) karena
potensi risiko untuk kegagalan tourniket dan adanya absorpsi sistemik dari obat tersebut.

Bupivacaine bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium dan
memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi.
Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih
tipis dan tidak memiliki selubung mielin, maka bupivacaine dapat berdifusi dengan cepat
ke dalam serabut saraf nyeri dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa
proprioseptif yang mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.
2) Penyebaran anastetik local tergantung:
a) Factor utama:
 Berat jenis anestetik local(barisitas)
 Posisi pasien
 Dosis dan volume anestetik local
b) Faktor tambahan :
 Ketinggian suntikan
 Kecepatan suntikan/barbotase
 Ukuran jarum
 Keadaan fisik pasien
 Tekanan intra abdominal
c) Lama kerja anestetik local tergantung:
a. Jenis anestetia local
b. Besarnya dosis
c. Ada tidaknya vasokonstriktor
d. Besarnya penyebaran anestetik local
III. Komplikasi Anastesi Spinal
Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi delayed.
a) Komplikasi tindakan :
 Hipotensi berat: Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah
dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum
tindakan.
 Bradikardia : Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok
sampai T-2
 Hipoventilasi : Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
 Trauma pembuluh saraf
 Trauma saraf
 Mual-muntah
 Gangguan pendengaran
 Blok spinal tinggi atau spinal total
b) Komplikasi pasca tindakan:
 Nyeri tempat suntikan
 Nyeri punggung
 Nyeri kepala karena kebocoran likuor
 Retensio urine
 Meningitis

a. Komplikasi intraoperatif:
1) Komplikasi kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi karena
vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola
sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang
akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan
pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau
fenilefedrin.
Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi spinal.
Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat walaupun
hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini, hipotensi atau
hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari
mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl,Ringer
laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera setelah penyuntikan
anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus
diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19mg diulang setiap 3-4menit
sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran
darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4
mg IV.
2) Blok spinal tinggi atau total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan dosis yang
diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi,
henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan
henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas
pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi
spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak
dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral
merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal total.
Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat
dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenik biasanya dipertahankan.
Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika
hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi
iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti
jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan yang
lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan
positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan normal
seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen yang disebabkan oleh
komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.
3) Komplikasi respirasi
Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-paru normal.
Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi. Apnoe
dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena hipotensi berat dan
iskemia medulla. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tanda-
tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.

b. Komplikasi postoperative:
1) Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi,hipoksia,tonus parasimpatis berlebihan,pemakaian
obat narkotik,reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta komplikasi
delayed,pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas
terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-
48jam pasca pungsi lumbal,dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih
jarang dan pada kehamilan meningkat.
2) Nyeri kepala
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala. Nyeri kepala
ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada anestesi epidural.
Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum yang
digunakan. Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri kepala.
Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien
yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 – 48 jam selepas
suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital
dan menjalar ke retro orbital, dan sering disertai dengan tanda meningismus, diplopia,
mual, dan muntah.
Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila
pasien dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan
berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24 – 48
jam harus di coba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan oral atau
intravena), analgesic, dan suport yang kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava
akan menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya
menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan tekanan
extradural. Jika terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin
kedalam epidural untuk menghentikan kebocoran.
3) Nyeri punggung
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari tusukan jarum
yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur ligament dengan atau
tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma suntikan jarum
dapat di obati secara simptomatik dan akan menghilang dalam beberapa waktu yang
singkat sahaja.
4) Komplikasi neurologic
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah. Komplikasi
neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam
waktu 24 jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan
fotofobia. Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya
akan menghilang dalam beberapa hari.
Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini mungkin
dapat menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau
bulan. Ia ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal,
dan derajat yang bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah.
Komplikasi neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini biasanya
terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom ini
ditandai oleh defisit sensoris dan kelemahan motorik pada tungkai yang progresif. Pada
penyakit ini terdapat reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature
korda spinal.
Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama.
Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah ke korda
spinal. Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma tusukan jarum pada spinal
maupun epidural, kateter epidural atau suntikan solution anestesi lokal intraneural adalah
jarang, tapi tetap berlaku.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang berlaku karena
ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang subaraknoid. Hanya
pembuluh darah radikular lateral merupakan pembuluh darah besar di area lumbar yang
menyebar ke ruang subaraknoid dari akar saraf. Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari
anesthesia adalah jarang. Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai bawah
karena iskemia pada 2/3 anterior bawah korda spinal. Kehilangan sensoris biasanya tidak
merata dan adalah sekunder dari nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukannya
akibat dari kerusakan didalam korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya
sindrom spinal-arteri : kekurangan bekalan darah ke arteri spinal anterior karena terjadi
gangguan bekalan darah dari arteri-arteri yang diganggu oleh operasi, kekurangan aliran
darah dari arteri karena hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran darah sama ada
dari kongesti vena mahu pun obstruksi aliran.
Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan terjadinya
sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya anestesi spinal
menggunakan obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi kemungkinan
epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal anterior atau pembuluh
darah yang memberikan bekalan darah.
Hipotensi yang kadang timbul setelah anestesi regional dapat menyebabkan kekurangan
aliran darah. Infeksi dari spinal adalah sangat jarang kecuali dari penyebaran bacteria
secara hematogen yang berasal dari fokal infeksi ditempat lain. Jika anestesi spinal
diberikan kepada pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat kemungkinan terjadi
penyebaran ke bakteri ke spinal. Oleh yang demikian, penggunaan anestesi spinal pada
pasien dengan bakteremia merupakan kontra indikasi relatif. Jika infeksi terjadi di dalam
ruang subaraknoid, akan menyebabkan araknoiditis. Tanda dan symptom yang paling
prominen pada komplikasi ini adalah nyeri punggung yang berat, nyeri lokal, demam,
leukositosis, dan rigiditas nuchal. Oleh itu, adalah tidak benar jika menggunakan anestesi
regional pada pasien yang mengalami infeksi kulit loka pada area lumbar atau yang
menderita selulitis. Pengobatan bagi komplikasi ini adalah dengan pemberian antibiotik
dan drenase jika perlu.
5) Retentio urine / Disfungsi kandung kemih
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun regional. Fungsi
kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali paling akhir pada analgesia
spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf pemanen merupakan
komplikasi yang sangat jarang terjadi.
PEMBAHASAN

Dalam kasus ini pasien Ny.K usia 45 tahun periksa ke dokter spesialis obsgyn dengan
keluhan perut membesar selama 2 tahun, setelah di lakukan pemeriksaan lebih lanjut
dianjurkan agar pasien operasi. Pasien di diagnosis mioma uteri dan dilakukan operasi
histerektomi. Pasien ini tergolong dalam kategori asa II karena pasien memiliki kelainan
sistemik yakni hipertensi. Pada pasien ini dilakukan anestesi tehnik regional spinal.
Obat-obatan yang diberikan selama operasi :
 Bunascan 20mg : bupivacain 0,5% 1 ampul (5mg/ml) Spinal anestesi untuk
operasi urologi dan operasi dibawah umbilicus selama 2-3 jam, operasi abdominal
selama 45-60 menit. Indikasi : Anastesi spinal untuk operasi abdomen, urologi
dan ekstremitas bawah. Kontra Indikasi : Meningitis, tumor, poliomielitis, dan
pendarahan cranial, TB aktif atau luka metastatik pada kolumna vertebral,
septicemia, anemia pernisiosa dengan generasi subakut pada korda spinalis,
infeksi pirogenik pada kulit, syok kardiogenik atau hipovolemia, gangguan
koagulasi atau pada terapi antikoagulan. Efek Samping: Hipotensi, bradikardia,
dan sakit kepala.
 Sedacum 5mg : 1 ampul (5mg/ml) premedikasi, induksi anestesi dan penunjang
anestesi umum; sedasi untuk tindakan diagnostik & anestesi lokal. Induksi
anestesi dewasa 10 mg secara Intra Vena. Dosis harus dikurangi untuk pasien
lanjut usia. Sedasi basal dewasa dosis awal: < 2.5 mg secara Intra Vena sebelum
operasi. Bila perlu, dosis dapat ditambahkan 1 mg secara Intra Vena dalam waktu
2 mnt. Dosis total tidak boleh melebihi 3.5 mg secara Intra Vena. Efek Samping:
Agitasi, pergerakan involunter, gangguan berbicara, letargi, pusing,
tromboflebitis, trombosis.
 Petidin 25mg : 1 ampul (50mg/ml) : Pethidine adalah obat golongan Analgesik
Narkotik. Pethidine digunakan untuk mengobati nyeri sedang sampai berat, nyeri
sebelum operasi, selama dan paska operasi.
 Invomit 4mg : Invomita 1 amp (4mg/2mL, 2mL ampule) Invomita
mengandung odasentron. Ondansetron merupakan antagonis selektif reseptor 5-
HT3 menghambat mual dan muntah
 Remopain 30mg : Remopain (30mg/mL, 1mL ampule)Remopain mengandung
Ketorolac tromethamine. ketorolac trometamin yaitu senyawa anti inflamasi
nonsteroid ( AINS ) yang bekerja dengan cara menghambat biosintesis
prostaglandin dengan aktivitas analgesik yang kuat.
 Adona 50mg : 1 ampul (50mg/10ml) Perdarahan abnormal selama setelah
pembedahan oleh karena menurunnya resistensi kapiler.
 Vit.k 2 ampul : 1 ampul (10mg/ml) untuk mencegah perdarahan dan antikoagulan

Setelah pasien pulih dari anestesi, diobservasi di ruang recovery selama 20 menit
dilakukan observasi vital sign. Vital sign pasien Ny.K dalam batas normal, Setelah
keluar dari ruang operasi pasien menggigil sehingga pasien diberikan obat petidin
sebanyak 25mg injeksi iv,sebagai obat analgesic. Pasien merasakan pusing, tidak
merasakan mual dan muntah. Kriteria Nilai Gerakan penuh dari tungkai, 0 Tak
mampu ekstensi tungkai, 1 Tak mampu fleksi lutut, 2 Tak mampu fleksi pergelangan
kaki, 3 Jika Bromage Score 2 dapat pindah ke ruangan. Pada pasien Ny.K didapatkan
hasil skor 2 sehingga dipindahkan ke ruangan.
KESIMPULAN

1. Pasien Ny.K dengan mioma uteri, dengan jenis tindakan operasi histerektomy
menggunakan anestesi regional spinal
2. Premedikasi : ondancentron 4mg, remopain 30mg
Induksi : spinal anestesi dengan no 27 pada kanalis spinalis region antara lumbal 3-4,
bunascan 20mg
3. Maintenance oksigen 2 liter/menit

4. Selama stadium anestesi kondisi hemodinamika pasien dalam keadaan relatif stabil nadi
dan frekuensi napas dalam batas normal
5. Bromage skor 2, sehingga pasien dipindahkan ke ruangan
DAFTAR PUSTAKA

1. Mashour, George A. Anesthesia for Cardiac Surgery. [ed.] Peter Dunn. Clinical Anesthesia
Procedures of the Massachusetts General Hospital 7th Edition. s.l. : Lippincott Williams &
Wilkins, 2007.
2. Muhardi, M, dkk. 1989. Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif, FKUI. CV
Infomedia: Jakarta. 
3. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan, M. R. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
kedua. Jakarta: Bagian Anastesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
4. Mangku, Gde dan Tjokorda Gde Agung S. 2010. Buku Ajar Ilmu Anastesi dan Reanimasi.
Indeks : Jakarta.
5. Mansjoer, Arif. dkk. Anestesi spinal. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran edisi III hal.261-
264. Jakarta.2000.

Anda mungkin juga menyukai