Anda di halaman 1dari 18

REFLEKSI KASUS ANESTESI

PADA PASIEN OPERASI

Disusun Oleh :

ANGESTI WIDIPINASTI W

42150021

Pembimbing:

Dr. YOS KRESNA WARDANA, M.Sc, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI RUMAH SAKIT EMANUEL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA

YOGYAKARTA

2016
REFLEKSI KASUS

Operasi Spinal Anestesi pada Herniotomi

A. Identitas Pasien
Nama : Bp. IM

Usia : 35 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Parakan Banjarnegara

Tgl masuk RS : 12-10-2016

Nomer RM : 004770XX

Ruang Inap : Siloam D

B. Anamnesa
Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan nyeri perut kanan bawah.

Riwayat Penyakit Sekarang


HMRS: Pasien mengeluhkan adanya nyeri perut kiri bawah sejak satu jam yang lalu. Sakit
seperti kemeng dan pegal sekali. Terdapat benjolan pada selangkangan kiri. Nyeri tidak
menyebar ke tempat lain. Pasien mengalami hal seperti ini sejak 2 tahun belakangan namun
nyeri tidak sehebat sekarang. Biasaya benjolan di selangkangan timbul jika pasien melakukan
posisi jongkok atau terlalu kelelahan beraktivitas. Benjolan bisa hilang sendiri ketika pasien
beristirahat. Tidak ada gangguan lain yang menyangkut keluhan pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah mengalami operasi karena hernia sebelah kanan tahun 2007. Riwayat DM (-),
hipertensi (-), asma (-), alergi makanan (-), aergi obat (-). Pasien mengkonsumsi alkohol
seminggu 3 kali. Merokok (-), konsumsi obat dalam jangka waktu panjang (-).

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada dalam keluarga pasien yang mengeluhkan keluhan serupa. Riwayat DM (-),
hipertensi (-), sakit jantung (-).

C. Assesmen Pra Anestesi


Keadaan Umum : CM
Tanda Vital
Tekanan darah : 140/100 mmHg
Nadi : 84x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 37oC
Nyeri : (-)

D. Pemeriksaan Fisik
PRE OPERATIF
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 140/100 mmHg
Suhu : 37oC
Nadi : 70x/menit
Respirasi : 20x/menit
Nyeri : (-)
Punggung : (inspeksi, palpasi) -> tidak ada kelainan anatomis, tidak ada
luka/trauma, bisa dilakukan anestesi secara spinal.

A : Airway
Jalan napas : bebas (tidak menggunakan alat bantu nafas)
Hidung : sumbatan (-)
Mulut : gigi palsu/goyang/maju/ompong (-)
Lidah : simetris, ukuran normal.
Faring : malampati grade 1
TMD : < 6.5 cm
Mandibula : tidak ada kelainan mandibula

B : Breathing
Respirasi : 20x/menit
Suara nafas : vesikuler
Pergerakkan dinding dada : simetris

C : Circulation
Tekanan darah : 140/100 mmHg
Nadi :nadi kuat, reguler dengan hitungan 84x/menit
Saturasi : 100%
CPR : < 2 detik
kondisi akral : hangat

D : Disability
Keadaan umum : baik
GCS :E4V5M6
Kelainan neurologis : (-)

E. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (12/10/2016)
Hematologi

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN


Clotting Time 5 2-6
Bleeding Time 3 1-3
Darah Rutin
Hemoglobin 15,7 14-18 g/dl
Lekosit 12,9 H 4,8- 10,8 Ribu/mm3
Eritrosit 5,33 4,7-6,1 Juta/mm3
Hematokrit 46 42-52 %
MCV 86,1 79,0-99,0 fl
MCH 29,5 27,0-31,0 Pg
MCHC 34,2 33,0-37,0 g/dl
RDW 45 35-47 fl
Trombosit 214 150-450 Ribu/m3
PDW 9,8 9,0-13,0 fl
P-LCR 13 L 15,0-25,0 %
MPV 7,9 7,2-11-1 fl
Neutrofil% 75,3 H 50-70 %
Limfosit% 20,6 L 25-40 %

KIMIA DARAH
Glukosa Sewaktu 147 H 70-115 mg/dl
Creatinin Darah 0,72 0,9-1,3 mg/dl

EKG (12/10/2016): Sinur Ryhtm, HR 60 x/menit

Rontegn Thorak (12/10/2016):dalam batas normal, parenkim paru tampak tenang, CTR <0,5,
sudut costofrenicus lancip.

F. Pranestesi spinal :

Preparation
Mempersiapkan pasien, alat dan obat anestesi

Position
Memposisikan pasien saat injeksi anestesi spinal sesuai dengan kondisi pasien yaitu lateral
decubitus, duduk atau tengkurap

Projection and puncture


Ada 2 pendekatan untuk mengakses ruang subarachnoid :

Menggunakan pendekatan midline : identifikasi L2-L3, L3-L4, L4-L5, L5-S1 lebih mudah
dengan mengidentifikasi bagian atas dari crista iliaca.

Kesimpulan assesment pra-anestesi


Diagnosis : Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra
Status ASA : II
Rencana teknik anestesi : Spinal
DIAGNOSA KERJA

Diagnosa Medis : Hernia Inguinalis Lateralis Dextra

Diagnosa Tindakan : Herniotomy

Rencana Anestesi : Anestesi Spinal

Diagnosis Anestesi : ASA II

Persiapan Anestesi : makan minum terakhir jam 06.00

PELAKSANAAN OPERASI

Identitas : (sesuai yang tercantum)

Dokter bedah : dr. Samuel, Sp.B

Dokter anestesi : dr. Yos, Sp.An

Operasi : 14.00- 14.30

Obat yang disediakan :

- Decain spinal 0,5%


- Sedacum 0,1%
- Ondansentron
- Remopain 30 mg
- Pethidin 2 ml
- Ephedrin 50 mg/ml

S : Scope ; Stetoskop dan laringoscope

T : Tube ; ET

A : Airways ; mayo

T : Tape ; hipafix

I : Inserter ; kawat

C : Connector

S : Suction

Prosedur operasi :
- Pasien dilakukan pre op terlebih dahulu, jika kondisi pasien stabil, bisa dilakukan
proses operasi.
- Pasien di pasang infus, dan dipersiapkan ke ruang operasi.
- Di ruang operasi, pasien di dudukan di meja operasi.
- Dengan posisi duduk tegak dengan kepala yang menduduk, di cari L3-L4 untuk
di masukkan obat spinal berupa decain spinal 0,5% 4 ml (1 ampul) dengan
metode suntik spinal yang steril.
- Setelah itu pasien boleh ditidurkan kembali, dan di periksa apakah obatnya sudah
berfungsi atau belum (ex: suruh pasien mengangkat kaki atau ketika diberi
rangsang nyeri terasa atau tidak)
- Operasi bisa segera di mulai sambil diberikan sedacum 0,1% 1 ml.
- Selama operasi, diperhatikan terus apakah tensi turun, suhu stabil (kedinginan
atau tidak), dan tanda-tanda vital lainnya.
- Jika selama operasi tampak pasien menggigil, bisa kita berikan pethidin yang
sudah diencerkan terlebih dahulu. Berikan 25ml.
- Jika selama operasi tampak tensi turun mencapai < 90/60 berikan ephedrin yang
sudah diencerkan menjadi 10 cc, berikan 2 cc. Bisa dilihat efeknya selama 10
menit. Jika tensi masih saja turun, bisa segera di tambahkan lagi.
- Ketika operasi akan berakhir, segera berikan ondonsentron 2 ml sebagai anti mual
dan berikan pula ketorolac 30 mg guna analgetik.
- Pindahkan pasien di recovery room dan tetap perhatikan tanda tanda vital.

Hemodinamik selama operasi :

Waktu Tekanan Darah (mmHg) Nadi (x/menit)


14.00 120/80 80
14.15 115/75 75
14.30 110/70 75

Pasca operatif (Recovery Room)

Hemodinamik pasca operasi :

Waktu Tekanan Darah (mmHg) Nadi (x/menit)


14.45 110/75 70
15.00 120/85 80

Kesakitan diberikan injeksi remopain 30 mg

Mual/muntah diberi ondansentron 4 mg

Infus dalam 24 jam : tutofusin 1000cc/24 jam

Masuk rawat inap : 12 Oktober 2016


Subyektif : merasa nyeri pada bekas daerah operasi, pusing..

Obyektif : keadaan umum baik, CM.

Bila sistolik < 90 mmHg, diberikan injeksi ephedrin 10 mg (iv)

Khusus : pasien diperbolehkan jalan jika lebih dari 24 jam pasca operasi.

Bromage masuk : 3

Bromage keluar : 2

Kesimpulan : pasien bisa dipindahkan ke bangsal


jika bromage score nya > 2.

Follow up pasca operatif (13 Oktober 2016)

Keadaan umum : Baik

Subyektif : Masih merasa nyeri pada luka bekas operasi. Mual (-), mutah (-),
kaki kesemutan (-), pusing (-)

Obyektif : Keadaan umum baik. CM.

VS: Nadi: 67 x/menit, TD: 150/90 mmHg, R: 16 x/menit. BAK (+),


BAB (-), mual (-), muntah (-).

Efek samping anestesi spinal post op : hipotensi (-), menggigil (-),


pusing (-), gelisah (-), bradikardia (-), sesak napas (-),
Komplikasi Spinal Anestesi post operasi: hipotensi (-),
bradikardi(-), hopoventilasi (-), mual (-), mutah (-), retensi urin (-)

Saat rawat inap : menggunakan infus Ringer Latat dan tidak menggunakan alat bantu,

Edukasi : asupan nutrisi yang cukup dan baik dan menjaga hiegenitas daerah
bekas operasi.
TINJAUAN PUSTAKA

Anestesi spinal merupakan salah satu teknik anestesi regional yang dilakukan dengan cara
menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid untuk mendapatkan analgesia setinggi
dermatoma tertentu. Dalam sejarahnya anestesi spinal pertama kali dilakukan pada tahun 1887 oleh
seorang ahli bedah asal jerman, dr. August Bier dengan menggunakan jarum spinal untuk
memasukkan kokain ke dalam ruang subarachnoid .

Penggunaan obat anestesi lokal pada anestesi spinal bertujuan untuk mendapatkan blok yang
adekuat. Pemilihan obat anestesi lokal yang akan digunakan pada umumnya berdasar kepada
perkiraan durasi dari pembedahan yang akan dilakukan dan kebutuhan untuk segera pulih dan
mobilisasi.

Vertebra lumbalis merupakan vertebra yang paling penting dalam spinal anestesi, karena
sebagian besar penusukan pada spinal anestesi dilakukan pada daerah ini. Kolumna vertebralis terdiri
dari 33 korpus vertebralis yang dibagi menjadi 5 bagian yaitu 7 servikal, 12 thorakal, 5 lumbal, 5
sakral dan 4 koksigeus. Kolumna vertebralis mempunyai empat lengkungan yaitu daerah servikal dan
lumbal melengkung ke depan, daerah thorakal dan sakral melengkung ke belakang sehingga pada
waktu berbaring daerah tertinggi adalah L3, sedang daerah terendah adalah L5.

Segmen medulla spinalis terdiri dari 31 segmen : 8 segmen servikal, 12 thorakal, 5 lumbal, 5
sakral dan 1 koksigeus yang dihubungkan dengan melekatnya kelompok kelompok saraf. Panjang
setiap segmen berbeda-beda, seperti segmen tengah thorakal lebih kurang 2 kali panjang segmen
servikal atau lumbal atas. Terdapat dua pelebaran yang berhubungan dengan saraf servikal atas dan
bawah. Pelebaran servikal merupakan asal serabut-serabut saraf dalam pleksus brakhialis. Pelebaran
lumbal sesuai dengan asal serabut saraf dalam pleksus lumbosakralis. Hubungan antara segmen-
segmen medulla spinalis dan korpus vertebralis serta tulang belakang penting artinya dalam klinik
untuk menentukan tinggi lesi pada medulla spinalis dan juga untuk mencapainya pada pembedahan.
Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari luar yaitu kulit, subkutis,
ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan duramater. Arakhnoid terletak antara duramater
dan piamater serta mengikuti otak sampai medulla spinalis dan melekat pada duramater. Antara
arakhnoid dan piamater terdapat ruang yang disebut ruang sub arakhnoid. Duramater dan arakhnoid
berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2, sehingga dibawah batas tersebut tidak terdapat cairan
serebrospinal. Ruang sub arakhnoid merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang
belakang berisi cairan otak, jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal dari
medulla spinalis. Pada orang dewasa medulla spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra
lumbal.

A. Kolumna Vertebralis B. Ligamentum Vertebralis

Puncher pada anestesi spinal

L2-L3
L3-L4
L4-L5

Indikasi anestesi spinal :

Bedah ekstremitas bawah


Bedah panggul
Tindakan sekitar rektum perineum
Bedah obstetri-ginekologi
Bedah urologi
Bedah abdomen bawah
Bedah abdomen atas dan bedah anak biasanya dikombinasikan dengan anestesi umum ringan
Kontraindikasi anestesi spinal secara absolute :

Pasien menolak
Pasien dengan gangguan koagulasi berat karena dapat menyebabkan perdarahan subdural dan
epidural
Mitral stenosis berat
Aorta stenosis berat
Pasien dengan syok hipovolemik
Adanya infeksi di daerah suntikan
Peningkatan TIK
Fasilitas resusitasi yang minim
Kurang pengalaman

Kontraindikasi anestesi spinal relatif :

Kelainan anatomis tulang belakang


Kelainan neurologis
Previous laminektomi
Nyeri punggung kronik

Tahap persiapan analgesia spinal:


Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti pada persiapan anastesia umum. daerah tempat
ttusukan diteliti apaah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang pubggung
atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesu spinosus. Selain itu perlu
dipertimbangkan hal-hal dibawah ini:
Informed consent
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesi spinal
Pemeriksaan fisik
Tidk dijumoai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung dan lain-lainnya.
Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin hematokrit, PT (protombin time) dan PTT (partial tromboplastine time)
Status fisik dinyatakan dalam status ASA (American Society of Anesthesiologist) dibagi menjadi
beberapa tingkatan yaitu

- ASA 1
Pasien normal (sehat), tidak ada gangguan organik, fisiologis, atau kejiwaan, tidak termasuk
sangat muda dan sangat tua.

- ASA 2
Pasien memiliki kelainan sistemik ringan (misal : hipertensi, riwayat asma, diabetes mellitus
terkontrol)

- ASA 3
Pasien dengan kelainan sistemik berat terdapat beberapa keterbatasan fungsional, memiliki
penyakit lebih dari satu sistem tubuh atau satu sistem utama yang terkendali, tidak ada bahaya
kematian, gagal jantung kongestif terkontrol, angina stabil, serangan jantung tua, hipertensi
tidak terkontrol, obesitasi morbid, gagal ginjal kronis, penyakit bronkospastik dengan gejala
intermiten

- ASA 4
Pasien dengan kelainan sistemik berat dan incapacitance (misalnya pasien dengan gagal
jantung derajat tiga dan hanya bisa berbaring di tempat tidur saja). Pasien dengan setidaknya
satu penyakit berat yang tidak terkontrol atau pada tahap akhir, kemungkinan risiko kematian,
angina tidak stabil, PPOK bergejala, gejala CHF, kegagalan hepatorenal

- ASA 5
Pasien yang dengan atau tanpa operasi diperkirakan meninggal dalam 24 jam atau tidak
diharapkan untuk hidup lebih dari 24 jam tanpa operasi, risiko besar akan kematian,
kegagalan multiorgan, sindrom sepsis dengan tidak kestabilan hemodinamik, hipotermia, dan
koagulopati tidak terkontrol

- ASA 6
Mati batang otak untuk donor organ

Tujuan utama kunjungan pra anestesi :

Melihat keadaan umum pasien


Menentukan tingkat risiko (ASA)
Menentukan teknik anestesi
Menentukan analgesi pasca operasi
Mempersiapkan kondisi pasien secara optimal
Melihat adanya atau tidaknya patensi jalan nafas
Melihat ada atau tidaknya kesulitan intubasi
Melihat riwayat penyakit pasien (termasuk asma dan alergi)
Mengetahui cukup tidaknya durasi puasa pasien
Mengetahui riwayat operasi dan pembiusan
Mengurangi angka kesakitan
Mengurangi angka mortalitas

Pranestesi spinal :

Preparation
Mempersiapkan pasien, alat dan obat anestesi

Position
Memposisikan pasien saat injeksi anestesi spinal sesuai dengan kondisi pasien yaitu lateral
decubitus, duduk atau tengkurap

Projection and puncture


Ada 2 pendekatan untuk mengakses ruang subarachnoid :

1. Pendekatan paramedian

Mempalpasi proc.spinossus dan mengidentifikasi caudal tip lalu bergerak 1 cm ke bawah


dan 1 cm ke samping. Pendekatan ini membutuhkan jarum yang lebih panjang daripada
pendekatan midline.

2. Pendekatan midline

Identifikasi L2-L3, L3-L4, L4-L5, L5-S1 lebih mudah dengan mengidentifikasi bagian
atas dari crista iliaca, mampu meminimalisir lumbar lordosis dan memaksimalkan jarak
antara proc.spinossus

(nb : mempersiapkan segala alat yang dibutuhkan dalam teknik anestesi spinal, juga
dibutuhkan alat-alat anestesi GA seandainya sewaktu-waktu dibutuhkan)
Efek samping anestesi spinal durante op :

Hipotensi dan segala akibatnya (menggigil, mual muntah, pusing, gelisah)


Bradikardi
Sesak napas atau sulit bernapas.

Penanganan :
Usahakan jalan napas tetap bebas, kadang diperlukan bantuan napas lewat face mask
Jika depresi pernapasan makin berat, perlu segera dilakukan intubasi endotrakeal dan
control ventilasi untuk menjamin oksigenasi yang adekuat
Bantuan sirkulasi dengan dekompresi jantung luar diperlukan bila terjadi henti jantung
Pemberian cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB diperlukan untuk mencegah hipotensi
Jika hipotensi tetap terjadi atau jika pemberian cairan yang agresif harus dihindari maka
pemberian vasopresor merupakan pilihan seperti adrenalin dan sulfas atropin

Penyebaran anestitik lokal tergantung dari:

1. Faktor utama
- Berat jenis anestetik lokal (barisitas)
- Posisi pasien (kecuali isobarik)
- Dosis dan volume anesttik lokal ( kecuali isobarrik)
2. Faktor tambahan
- Ketinggian suntikan
- Kecepatan suntikan
- Ukuran jarum
3. Lama kerja anestetik lokal tergantung
- Jenis anestesi lokal
- Besarnya dosis
- Ada tidaknya vasokonstriksi
- Besarnya penyebaran anestetik lokal

Komplikasi post op anestesi spinal:

Defisit neurologis
Retensi urin
Nyeri radikuler saraf
PDPH (Post Dural Puncher Headache)
PDPH merupakan komplikasi iatrogenik dari anestesi spinal yang diakibatkan dari tusukan
atau robekan pada duramater yang menyebabkan terjadinya kebocoran pada liquor
cerebrospinal (LCS). Tanda dan gejala yang ditimbulkan dari PDPH merupakan akibat
keluarnya LCS dari celah yang terbentuk pada penusukan jarum spinal yang mengakibatkan
terjadinya traksi pada komponen-komponen intrakranial dan refleks vasodilatasi serebral.
Postdural Puncture Headache mengakibatkan nyeri kepala yang dirasakan terletak di frontal
dan oksipital menjalar ke leher dan bahu yang diperberat pada posisi berdiri dan membaik
pada posisi berbaring. Nyeri kepala pada PDPH merupakan salah satu bentuk nyeri pasca
operasi yang dapat dinilai dengan Visual Analogue Scale (VAS). Pasien yang mengalami
PDPH juga mengalami gejala yang terkait dengan nyeri kepala yaitu mual, muntah, gangguan
pendengaran dan penglihatan. Umumnya nyeri kepala muncul dalam dua hari pertama setelah
anestesi spinal dan sembuh secara spontan dalam beberapa hari.

Pengawasan di recovery room :

Monitoring hemodinamik
Monitoring keadaan fisik pasien
Mengisi bromage score

Jika bromage score 2 dapat dipindahkan ke bangsal.


Pembahasan :

Kondisi pasien preoperasi termasuk dalam ASA II karena pasien memiliki kelainan sistemik
ringan yaitu hipertensi namun tidak ada keterbatasan fungsional, sehat secara psikiatrik dan biokimia.
Rencana anestesi yang akan dilakukan yaitu anestesi regional dengan blok spinal. Dilakukan pre
operasi terhadap pasien dengan diagnosis Hernia Inguinalis Lateralis sinistra dan siap untuk dioperasi.
Setelah dilakukan preoperasi pasien segera dipersiapkan dengan pemasangan infus dan puasa selama
8 jam. Setelah itu pasien dibawa ke ruang operasi.
Induksi anestesi pada kasus ini menggunakan Bupivakain 20 mg. Bupivakain bekerja
dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium dan memblok influk natrium
kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang
menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung
mielin, maka bupivacaine dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri
dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai selubung
mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal. Bupivakain diberikan dengan penyuntikan
anestesi lokal pada ruang subaraknoid segmen L3-L4 dengan posisi duduk. Pasien ditidurkan
kembali sambil dilihat efek obat apakah sudah bereaksi atau belum dengan dicek reasa nyeri
pada bagian kaki ketika diberikan rangsang nyeri, adalah rasa kesemutan dan apakah pasien
bisa mengangkat kakinya ketika diberi instruksi, jika tidak berarti obat obat anestesi telah
bekerja.
Mekanisme kerja anestetik adalah dengan bekerja pada reseptor sifik di saluran
natrium (sodium chanel), kemudian mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap
ion natrium dan kalium sehingga terjadi depolarisasi pada membran sel saraf dan berakibat
tidak terjadi konduksi saraf.
Selama operasi, terdapat berbapa hal yang perlu diperhatikan dari pasien.
1. Apakah pasien merasa tidak nyaman dan malu karena metode operasi
menggunakan teknik spinal sehingga pasien dalam keadaan sadar. Jika iya maka
dapat diberikan Sedacum 0,1% sebanyak 1 ampul sehingga pasien bisa tertidur.
Jika tidak maka tidak perlu ditambahkan Sedacum.
2. Memperhatikan kestabilan tensi, nadi dan saturasi oksigen. Jika tensi terus turun
diberikan ephedrin 1 ml yang telah diencerkan dengan 10 cc dan diberikan 2 cc
setiap tekanan darah turun (< 90 /60 mmHg), reaksi muncul setelah 10 menit. Jika
saturasinya <95%, perhatikan kesediaan oksigen dan berikan pasien oksigen
melalui nassal canul 2-3 lpm.
3. Pesien yang tampak kedinginan karena pengaruh suhu ruangan diberikan pethidin
1 ampul (2ml) yang sebelumnya diencerkan menjadi 10 cc.
4. Kebutuhan cairan selama operasi perlu diperhatikan. Dalam operasi ini pasien
diberikan bolus RL 1 fl.

Lima belas menit sebelum operasi selesai pasien diberikan antiemetik yaitu
ondancetron 4 mg/ml.ondancetron merupakan suatu antagonis reseptor serotonin
5-HT3 selektif yang diindikasikan sebagai pencegahan dan pengobatan mual dan
muntah pasca bedah. Pelepasan HT3 ke dalam usus dapat merangsang refleks
muntah denga mengaktifkan serabut aferen vagal lewat reseptornya. Ondancetron
juga bisa mencegah aspirasi karena mutah.
Diberikan analgetik yaitu Ketorolac 30 mg/ml yang merupakan NSAID,
bekerja pada jalur oksigenasi menghambat biosi ntesis protaglandin dengan
analgesic yang kuat secaraperifer atau sentral. Selain itu Ketorolac juga memiliki
efek antiemetik dan antiinflamasi. Mula kerja efek analgesia ketorolac mungkin
sedikit lebih lanmbat namun lama kerjanya lebih panjang dibanding opioid.
Durasinya 4-6 jam.
Setelah operasi selesai pasien dipantau di recovery room untuk pemantauan
vital sign dan Bromage score. Pasien dalam keadaan tekanan darah, pernapasan
dan nadi yang cukup stabil. Nilai bromage keluar RR adalah 2 sehingga bisa
dipindahkan ke bangsal. Selama di bangsal vital sign dan keluhan pasien juga
harus tetap dipantau, jika nyeri tak tertahankan ditambahkan analgetik Ketorolac,
jika mual bisa diberikan ondansetron dosis tunggal 4 mg secara intramuskular atau
melalui injeksi intravena lambat tidak kurang dari 30 detik (sebaiknya antara 2-5
menit. Infus tetap diberikan yaitu RL 1000 cc/24 jam.
Keesokan harinya dilakukan follow up untuk memantau pasien, tidak terdapat
adanya efek samping maupun komplikasi anestesi spinal.

Kesimpulan :

Telah dilakukan operasi terhadap pasien dengan diagnosa Hernia Inguinal Laeralis
Dextra ASA II, dilakukan metode anestesi spinal. Tidak efek samping yang ditemukan
selama jalannya operasi baik berupa tensi turun ataupunn pasien kedinginan Dengan
pengawasan di recovery room, pasien bisa dipindahkan ke bangsal di rawat untuk pemulihan.
DAFTAR PUSTAKA

Pramono, Ardi. 2014. Buku Kuliah Anestesi.LPM Universitas Muhamadiyah Yogyakarta.


Penerbit buku. EGC; Jakarta

Latief. Said A. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi kedua. Fakultas Kedokteran
Uniesitas Indonesia.

Mansyoer, Arief dkk. 2000. Anestesi Spinal Dalam . Kapita Selekta Kedokteran edisi
III.Jakarta

Anda mungkin juga menyukai